Melekati Tipiṭaka – Melekati Literatur

b. Melekati Tipiṭaka – Melekati Literatur

Beberapa hari yang lalu seorang umat datang memberi koran Matichon Akhir Pekan (tidak ingat tanggal dan terbitan ke berapa,

namun ingat sekitar akhir Februari atau awal maret 1999). Sewaktu membaca, saya menemukan artikel seseorang (tidak ingat nomor halamannya, tapi tidak masalah karena ini hanya untuk contoh men- jelaskan ajaran Buddha kepada umat-umat).

Penulis membahas tentang perdebatan tentang kasus Dharma- kāya yang terjadi pada saat terakhir ini. Dalam artikel itu dikatakan ‘mengapa harus berdebat untuk mengerti bahwa nibbāna adalah anattā? Sikap demikian ini adalah bentuk kelekatan pada Tipiṭaka. Nibbāna memungkinkan adalah anattā, attā, atau bukan attā maupun anattā ….’ 1

Membaca sepintas, saya cukup dapat mengetahui titik masalah- nya bahwa penulis belum menemukan poin yang diperdebatkan, atau

salah tangkap poin persoalan (barangkali pihak yang berdebat tidak menyampaikan tema perdebatannya).

Penulis itu menganggap poin perdebatan adalah apakah nibbāna adalah attā ataukah anattā’.

Sesungguhnya, poinnya adalah ‘menurut doktrin Agama Buddha Theravāda, nibbāna dinyatakan sebagai attā ataukah anattā’.

Kasus ini, jika dibahas dalam bentuk tanya jawab secara awam pun sangat mudah, dapat langsung dipahami, yaitu:

Jika topik yang diperdebatkan adalah ‘Bagaimana pandangan Anda, nibbāna adalah attā ataukah anattā?’ siapa pun dipersilakan memerdebatkannya, dan kita akan tidak berkomentar atau turut

campur. Akan tetapi topik yang diperdebatkan adalah ‘Bagaimanakah

pandangan dalam Agama Buddha Theravāda tentang nibbāna, bahwa nibbāna adalah attā ataukah anattā?’. Topik demikian ini harus dibahas

1 Pemahaman tentang makna kata ‘attā – anattā’ dapat dilihat di butir a) di atas. 54

MENGENAL TIPIṬAKA SECARA AWAM

berdasarkan doktrin dan sumber bukti, dan karenanya menuntut ke- akuratan dan kejujuran.

Si penulis mungkin tidak mengetahui jelas tentang hal yang di- perdebatkan atau diperbincangkan sehingga menyisihkan faktor bukti

dan doktrin, sebaliknya mengarahkan ke faktor pendapat, lari ke luar topik bahasan, menyampaikan penjelasan dengan gaya bahasa keil- muan, filsafat, serta mengaitkan cendekiawan Barat.

Untuk itu, izinkan saya menceritakan sedikit hal berbentuk analogi atau perbandingan untuk membantu memberikan pemaham- an bagi orang-orang lulusan pendidikan Barat.

Ada seseorang yang berkelana untuk mengajarkan dan menye- barkan pandangan, bahwa, ‘Plato berpendapat bahwa pengalaman in- derawi (sense experience) adalah hal sebenarnya dan lebih pasti dari pada pemikiran atau pemahaman secara rasio (idea). Plato sehingga disebut empiricist (juru filsafat pengalaman).

Agar lebih jelas, ia membuat analogi dengan mengangkat cerita tentang orang yang dibelenggu di goa (myth of the cave) dari artikel Plato sendiri tentang Politeia (yang diterjemahkan ke Bahasa Inggris dengan judul ‘ The Republic’), tapi isi dan cerita yang ditampilkan itu bergeser dan salah terjemah (dalam kasus seperti penerjemahan ‘sun’ yaitu matahari atau terik menjadi anak lelaki) juga.

Waktu itu ada salah seorang yang berkomentar dan menjelaskan kebenaran bahwa Plato bukan seorang empiricist, justru sebaliknya. Cerita dan kandungan isi menurut Mith of the Cave dalam Politeia pun bukan seperti yang orang tersebut tunjukkan. Orang yang berkomentar

tersebut mengutip kandungan isi dan terjemahan yang benar dari Bab

ketujuh, Politeia.

Pada kasus di atas, poinnya bukan perdebatan tentang ‘pe- ngalaman inderawi (sense experience) adalah hal sebenarnya ataukah pemikiran dan pemahaman secara rasional (idea) adalah hal sebenar- nya’, melainkan ‘Plato berpandangan bahwa pengalaman inderawi

adalah hal sebenarnya ataukah pemikiran dan pemahaman secara

KASUS DHARMMAKĀYA

rasional adalah hal sebenarnya’. Dalam ‘seseorang’ berkomentar terhadap ‘seseorang lainnya’,

dan menjelaskan berbagai hal itu:

1. Ini dapat dilakukan tanpa harus ‘seseorang’ itu mengetahui mana yang benar antara sense experience dengan idea, (namun harus

mengetahui sumber bukti atau doktrin dalam ‘ The Republic’)

2. ‘Seseorang’ tersebut mungkin malah tidak tertarik dalam turut berdebat mana yang benar antara kedua hal itu, (tapi dia tertarik

dalam menjaga keakuratan bukti dan pengarahan ke kejujuran dalam mengutip).

3. Ia sama sekali tidak bertindak sebagai penentu kebenaran bahwa harus seperti apa (melainkan sebagai penegas bahwa sumber bukti dan doktrin berdasarkan bukti adalah yang demikian).

4. Ia dapat dipastikan bahwa tindakan tersebut tidak memonopoli, membatasi, atau menutup pemikiran orang lain (melainkan

menyampaikan pemikiran dengan memilah secara jelas mana yang merupakan doktrin, mana yang merupakan pandangan sendiri,

baik sisi negatif maupun sisi positifnya).

5. Dan, bersamaan dengan itu, ‘seseorang’ itu bukan orang yang melekati literatur atau memegang kuat pustaka (‘seseorang’ itu

malah tidak mengatakan bahwa ‘ The Republic’ adalah benar, atau kalaupun mengatakan bahwa dia memercayai Plato).

Sesungguhnya, tidak ada siapa pun dapat mengetahui secara telak bahwa kata dan kandungan isi dalam Politeia yang diturunkan

selama dua ribu tahun itu adalah benar-benar kata-kata Plato seluruh- nya, atau seberapa banyak yang merupakan kata-katanya, namun kita

pun harus menyatakan atau menyanggah di atas dasar data yang kuat atau yang paling dapat dipercaya.

Jika sumber bukti atau doktrin menurut bukti yang diangkat itu tidak bersesuaian dengan yang sebenarnya, yaitu bukan bukti asli–

pemikiran, pernyataan, perdebatan yang berkaitan dengan pandangan

MENGENAL TIPIṬAKA SECARA AWAM

Plato pun tidak berarti sama sekali. Dalam mengusut kasus ini, setidaknya ada pemikiran yang jelas,

menyusun data secara berurut, dan memegang poin secara benar. Mudahnya bicara adalah bahwa persoalan muncul berasal dari

‘perusakan sumber data’. Permasalahan dalam kasus Dharmakāya dapat dipilah menjadi

beberapa sudut, misalnya:

1. Ketiadaan kejujuran terhadap data, atau penggunaan atau pengu- tipan data secara tidak jujur.

2. Upaya membuat data bergeser, bias, atau membuatnya disalah mengerti.

3. Ketiadaan pengakuan atas doktrin-doktrin dalam sumber data asli dan tindak pengaburan dengan memuntir atau berupaya me-

malsukan data demi menjejalkan pandangan pribadi mengganti- kannya.

Perihal ini tidak akan muncul menjadi permasalahan jika ada pemilahan secara jelas dan bertindak secara jujur, yaitu dengan memi-

lah-milah antara:

1. Doktrin-doktrin yang sesuai dengan sumber bukti atau data asal yang digunakan sebagai standar, pusat referensi, dan sebagai perekomendasi atas pengungkapan pandangan pribadi, perde- batan, atau perbincangan lainnya.

2. Pandangan pribadi dan berbagai issu perdebatan atau perbincang- an, baik dalam sisi positif maupun sisi negatif dalam membahas doktrin-doktrin dan merujuk doktrin-doktrin.

Masalah akan muncul jika,:

1. Pada sumber bukti atau data asal yang sama itu, sekelompok orang menyatakan pandangan pribadinya sebagai doktrin guna me-

numpangi atau membaur ke doktrin-doktrin asal, atau berhasrat menggantikan doktrin-doktrin asal.

KASUS DHARMMAKĀYA

2. Terkait sumber bukti atau data asal yang ternyata tidak bersesuaian dengan doktrin-doktrin baru miliknya, sekelompok orang itu lalu

menindakkan bermacam hal yang tidak jujur terhadap sumber bukti atau data asal itu (misalnya dengan memuntir, menghapus,

memengaruhi orang untuk tidak mempercayai, dsb.) Dalam kasus perlakuan terhadap Plato, kalaupun dampak ne-

gatif yang muncul hanya dalam lingkup sempit dan dalam perihal filsafat yang belum tersimpulkan, perilaku tersebut dapat digolongkan sebagai tindak mencederai hak milik pemikiran sesama manusia.

Setidaknya, tindakan tersebut adalah tindak curang, pelanggaran kode etika dalam dunia keilmuan dengan mengutip secara salah, me- muntir, dan memalsukan data.

Kasus Dharmakāya ini, selain adalah perihal pelanggaran kode etika dalam dunia keilmuan dan tindak mencederai hak milik pemikir-

an sesama manusia, merupakan permasalahan keagamaan yang ber- dampak besar dan menyeluruh karena:

1. Berdampak ke pelaksanaan hidup yang nyata yaitu mengubah si- kap hidup seseorang.

2. Merupakan permasalahan masyarakat umum atau perhimpunan orang dalam jumlah banyak, atau bahkan memengaruhi masyara-

kat tersebut secara keseluruhan. Contohnya:

1. Pemuntiran doktrin-doktrin agar terjadi perubahan sikap dari menjauhi urusan kesaktian, kemukzizatan, menjadi mengejar dan

bergumul pada kesaktian, kemukzizatan itu, yang cenderung me- ngantar ke pola berpikir menggantungkan diri, budaya menunggu anugerah pahala, kelemahan, kealpaan dalam mengembangkan

kepribadian diri, dan sebagainya.

2. Pemuntiran doktrin-doktrin agar terjadi perubahan sikap dari pe- ngembangan diri melalui perilaku, pikiran, dan kecerdasan yang

menekankan pada penggunaan kebijaksanaan sebagai penunjuk

MENGENAL TIPIṬAKA SECARA AWAM

jalan menuju ke kebebasan, berbalik menjadi menekankan pada pengalaman mental di sisi kepuasan mendalam yang menjurus

ke kondisi pikiran yang terobsesi, melekati diri secara kuat, me- negakkan keyakinan yang menggila atau membuta, menjadi pasif

dan lengah. Demikian sebagai percontohan.

Karenanya, pertimbangan atas kasus ini sehingga bukan seba- tas bidang kefilsafatan (pihak penimbang justeru mungkin tidak ter-

tarik pada bidang kefilsafatannya), melainkan mencakupi ke setiap sisi kehidupan dan masyarakat dengan dampaknya ke setiap orang dalam

jangka waktu panjang.

KASUS DHARMMAKĀYA