Bhante Aṅgulimāla Tidak Membaca Tipiṭaka

a. Bhante Aṅgulimāla Tidak Membaca Tipiṭaka

Pada akhir bulan Februari yang lalu, suatu malam ketika saya sedang mendengarkan radio, ada orang datang membacakan artikel

di koran ‘Pim Thai’ . Artikel itu menyatakan bahwa Bhante Aṅgulimāla

tidak perlu membaca Tipiṭaka pun berhasil menjadi arahanta. Saya berpikir bahwa ini adalah contoh yang bagus yang dapat membantu

menjelaskan umat-umat untuk mengenal Tipiṭaka. Saya lalu meminta umat mencarikan koran itu dan mendapat-

kannya. Tertanggal dalam koran itu Hari Kamis 25 Februari 1999, Ko- lom ‘Vivad (Pertikaian)’. Izinkan saya memakainya untuk membangun pengetahuan dan pengertian benar (Mohon maaf kepada Penulis. Ini demi manfaat pembaca, bukan bertujuan mendebat). Bagian artikel yang terkait dalam kolom itu berbunyi:

“…mau bertanya, ‘Apakah pada buddhakāla orang yang men- capai arahatta itu menggunakan pustaka atau Tipiṭaka dalam me-nuntun jalan ke nibbāna ataukah tidak?’

Bhante Aṅggulimāra membunuh sekian banyak orang, tapi berhasil mencapai arahatta hanya dengan ucapan Sang Bud- dha kepadanya, ‘Aku sudah berhenti. Engkau belum berhenti.’ Tipiṭaka jilid mana dibaca oleh Bhante Aṅggulimāra?

Sang Buddha sebelum ber-parinibbāna berkata secara jelas, bahwa setelah Beliau meninggal, Dhammavinaya menjadi pe- gangan dalam mengarahkan praktik mengikuti jalan beliau. Beliau tidak berkata untuk memegang Tipiṭaka sebagaimana yang kita mengerti.”

MENGENAL TIPIṬAKA SECARA AWAM

Sebenarnya pertanyaan di atas itu mestinya dibalik:

“…mau bertanya, ‘Jika tidak ada Tipiṭaka, akankah kita meng- etahui tentang Bhante Aṅgulimāla dan perihal orang yang berhasil mencapai arahatta pada buddhakāla?”

Sesungguhnya, karena ada Tipiṭaka kita mengetahui riwayat Bhante Aṅgulimāla, yaitu kita membaca dan mengetahui hal tentang Bhante Aṅgulimāla itu dari Tipiṭaka.

Jika tidak ada Tipiṭaka, kita pun tidak mengetahui seperti apa Sang Buddha berbincang dengan Bhante Aṅgulimāla.

Jika tidak ada Tipiṭaka, kita pun tidak mengenal meskipun nama ‘aṅgulimāla’.

Bagaimana mungkin Bhante Aṅgulimāla membaca Tipiṭaka. Pe- ristiwa Bhante Aṅgulimāla itulah disampaikan di dalam Tipiṭaka. Jus- teru kita sendiri membaca Tipiṭaka untuk mengetahui perihal Bhante Aṅgulimāla (dan perihal lain-lain yang berkaitan dengan Sang Buddha dan para arahanta pada buddhakāla)

Akan tetapi patut disayangkan, zaman sekarang ini sedikit sekali orang di antara kita yang membaca perihal Sang Buddha dari Tipiṭaka.

Hampir setiap orang, kita, mendengar perihal Sang Buddha dan men- dengar dhamma yang ada di dalam Tipiṭaka dari para bhikkhu, para guru pengajar, dari orang-orang tua, dan lain-lain, yang mendengar secara beruntun dari satu orang ke orang yang lain, yang tidak dapat diketahui sudah melewati berapa puluh atau berapa ratus orang sebe-

lum tiba ke kita. Karenanya, sebelum sampai ke kita, ceritanya mung- kin bergeser jauh, mungkin ada kesalahmengertian. Ini adalah bahaya akut yang membuat Agama Buddha menjadi kabur karena penganut

buddhis sendiri tidak tertarik belajar dhamma dari sumbernya yaitu Tipiṭaka.

KASUS DHARMMAKĀYA

Kembali ke perihal tentang Bhante Aṅgulimāla lagi. Tanya : Apakah Bhante Aṅgulimāla mencapai arahanta sendiri?

Jawab : Tidak, beliau mencapai karena mendengarkan sabda Sang

Buddha.’ Tanya : Lalu, bagaimana dengan kita semua pada zaman sekarang,

apakah kita mengetahui dhamma sendiri? Jawab : Tidak, kita semua pun mengetahuinya dari Sang Buddha,

hanya lewat bhikkhusaṅgha, guru pengajar, orang tua, literatur, berbagai buku yang mengajarkan secara beruntun.

Tanya : Apakah bhikkhusaṅgha, guru pengajar, dan lain-lain itu telah bertemu dengan Sang Buddha dan lalu Sang Buddha meng- ajar?

Jawab : Tidak bertemulah. Sang Buddha telah ber-parinibbāna lebih dari 2500 tahun yang lalu.

Tanya : Kalau begitu, dari mana bhikkhusaṅgha, guru pengajar, dan

lain-lain itu mendapat ajaran Sang Buddha? Jawab : Ajaran Sang Buddha dikumpulkan dan dicatat dalam Tipiṭaka

lalu dijaga secara turun temurun dengan baik. Siapa yang ingin mengetahui perihal tentang Sang Buddha dan ajaran

Beliau dapat mencari baca di Tipiṭaka. Hal yang dibahas di atas adalah Tipiṭaka. Mudahnya mengetahui,

sebagai berikut: a. Ketika Sang Buddha masih hidup

Sang Buddha menyabdakan buddhavacana = Dhammavinaya (ajaran Sang Buddha)

b. Setelah Sang Buddha parinibbāna Tipiṭaka memuat buddhavacana = Dhammavinaya (ajaran Sang Buddha)

MENGENAL TIPIṬAKA SECARA AWAM

Menjelang berparinibbāna Sang Buddha mengarahkan agar

sepeninggal Beliau para siswa memegang Dhammavinaya sebagai

Guru Agung (menggantikan Beliau). Perlu ditanyakan pula bahwa dari manakah kita memeroleh

Dhammavinaya untuk dianut? Jawabannya adalah dari yang ada di Tipiṭaka.

Demikian inilah runtutannya. Karenanya kita dapat mengata- kan bahwa Tipiṭaka adalah tempat kediaman Sang Guru Agung (yaitu

Dhammavinaya yang dibabarkan oleh Sang Buddha untuk dijadikan sebagai Guru Agung kita menggantikan Beliau).

Jika kita menghargai Sang Buddha dan jika kita mengakui arti penting Dhammavinaya, kita pun harus menilik arti penting Tipiṭaka

(lalu memelajari dan menjaga Tipiṭaka). Agama Buddha sampai ke generasi kita pun karena keberadaan

Tipiṭaka yang telah dijaga, atau kita dapat mengetahui Agama Buddha pun karena terdapatnya Tipiṭaka yang diturunkan ke kita.

Apa pun tentang Agama Buddha yang kita ketahui, perbincang- kan, ajarkan, turunkan, melalui siapa pun atau apa pun, selidik punya

selidik akan mengarah ke pangkal yang pasti yaitu Tipiṭaka. Kebaikan, keburukan, dāna, sīla, bhāvanā, sīla lima untuk perumahtangga, sīla delapan untuk upāsaka-upāsikā, sīla sepuluh untuk sāmaṇera, sīla 227 untuk bhikkhu, mettā, karuṇā, sati, paññā, samādhi, semangat, neraka, surga, nibbāna, atau kalau pun Sang Buddha, berikut dhamma, saṅgha, perihal penahbisan, kaṭhina, saṅghadāna, gedung uposatha, vihāra, ce- tiya, hingga bhikkhu, sāmaṇera, upāsaka, upāsikā, semuanya ini ber- asal dari Tipiṭaka.

Orang mungkin berkata bahwa ia dapat melihat ini dan itu melalui praktiknya. Sebanyak apa pun kata yang ia tuturkan, semua hal

yang terkait dengan dhamma dalam berkomunikasi dengan bhikkhu, sāmaṇera, upāsaka, upāsikā, dan umat Buddha berasal dari Tipiṭaka (hanya mungkin melewati sekian banyak mulut).

KASUS DHARMMAKĀYA

Jika kita memelajari Agama Buddha langsung dari Tipiṭaka, kita akan mendapatkan ajaran Sang Buddha (sejauh yang sampai ke kita)

yang terarah dan pasti. Sebaliknya jika kita mendapatkan tahu dari orang atau dari buku-buku

lain yang semakin jauh urutannya, kita pun semakin riskan mendapat Agama Buddha yang bergeser, membias, atau bercampur baur. 1

Akan tetapi, Tipiṭaka mungkin sulit kita dapatkan. Oleh ka- rena itu, upaya jalan tengahnya adalah kita meminta guru atau buku dhamma untuk membantu menghubungkan kita dengan Tipiṭaka atau

memelajari Tipiṭaka melalui guru atau buku sebagai penasihat (ber- sandar ke bhikkhusaṅgha dalam mendengarkan dhamma Sang Bud-

dha). “Kalaupun ada guru yang mengajar, kita pun tak semestinya

menjauh dari Tipiṭaka” Kini, para bhikkhu dan perumahtangga telah sangat menjauh

dari Tipiṭaka sehingga muncul banyak ajaran dan praktik yang ber- geser, bias; atau kalau tidak, menjadi celah bagi pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk menyatakan kandungan isi Tipiṭaka secara

keliru guna mengelabuhi. Akan tetapi, sejauh Tipiṭaka masih ada, kita bisa berlega hati bahwa bagaimanapun ada sumber yang memung-

kinkan kita mendapatkan kembali ajaran yang asli dan benar. Dengan mengetahui Tipiṭaka sedemikian rupa, jika ada pihak

yang menyampaikan dhamma lalu berkata untuk jangan percaya Tipiṭaka, kita akan menjadi tahu bahwa dhamma yang ia sampaikan

itu pun didapat dari Tipiṭaka, kita curiga dia menyampaikan ajarannya sendiri alih-alih ajaran Sang Buddha sehingga melarang kita menge- tahui ajaran yang benar dan awal dalam Tipiṭaka.

1 Contohnya adalah artikel yang diambil dari koran ‘Pim Thai’ di atas. Baik kata ‘Bhante Aṅggulimāra’, maupun ‘setelah Beliau meninggal’, adalah contoh kata yang telah bergeser. Jika tidak ada Tipiṭaka sebagai patokan pemeriksaan untuk menjaga kesatuan umat

Buddha, kata-kata atau kandungan-kandungan isi pun akan bergeser, terdapat perbedaan tanpa berujung, selain katanya berbeda, orangnya pun akan berbeda juga.

MENGENAL TIPIṬAKA SECARA AWAM

Hal yang sangat penting adalah bahwa artikel di koran ‘ Pim Thai’ itu menunjukkan keberadaan umat Buddha pada masa kini yang tidak mengetahui Tipiṭaka dan seberapa penting keberadaannya.

Selanjutnya, agar kondisinya jangan sampai lebih merosot dari- pada yang sekarang ini, kita harus mengajar masyarakat untuk me- ngenal Tipiṭaka agar kalaupun anak-anak dapat mengatakan bahwa

‘setelah Sang Buddha ber-parinibbāna, Tipiṭaka mengajarkan Dham- mavinaya menggantikan Beliau.’

Pada akhir artikel itu ada kalimat:

“Sebagai yang terakhir, tentang nibbāna adalah attā ataukah anattā ini, mohon berhenti memertengkarkannya karena kedua hal ini harus bergantung satu sama lain. Jika tidak ada attā, anattā pun tidak ada. Jika tidak ada anattā, attā pun ti- dak ada....?”

Pernyataan di atas tidak ada sesuatu yang besar selain menun- jukkan bahwa penulis tidak mengerti apakah attā – anattā itu.

Persoalannya adalah orang yang diwarnai oleh kotoran batin. Kotoran batin melekat pada attā/diri sehingga memunculkan banyak

masalah, terutama himpitan, desakan, yang adalah penderitaan. Sang Buddha mengajar untuk tidak melekati, tidak memandang segala

sesuatunya sebagai attā/diri. ‘Anattā’ (na = tidak + attā = diri) pun sekedar merupakan kata sangkalan atas pandangan tentang attā, se- kadar agar menjadi tahu tidak ada attā.

Maksud yang dikandung bukannya ada attā di satu sisi, lalu ada sesuatu lagi yang disebut anattā yang merupakan kebalikannya, bukan seperti ini. Penganut Buddha tidak semestinya terkicoh oleh kata-kata

lalu menjadi salah mengerti seperti itu.

KASUS DHARMMAKĀYA