Potensi Biomassa pada Model-model Penanaman Mangrove.

POTENSI BIOMASSA PADA MODEL-MODEL PENANAMAN
MANGROVE
Studi Kasus di Pemalang, Banten, dan Banyuwangi

BERTO DIONSIUS NAIBAHO

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Potensi Biomassa
pada Model-model Penanaman Mangrove” adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014

Berto Dionsius Naibaho
NIM E44080070

ABSTRAK
BERTO DIONSIUS NAIBAHO. Potensi Biomassa
Penanaman Mangrove. Dibimbing oleh ISTOMO.

pada

Model-model

Silvofisheri merupakan teknologi yang mengacu pada prinsip sustainable
ecology, karena kegiatan rehabilitasi ekosistem pesisir tidak menghentikan
kegiatan budidaya perikanan yang sedang berlangsung. Penelitian ini bertujuan
untuk mendapatkan prediksi total biomassa pada site Pemalang, site Banten, dan
site Banyuwangi pada model sabuk hijau dan model silvofiseri. Metode yang
digunakan untuk analisis vegetasi adalah metoda jalur berpetak dan metode sensus,

sedangkan untuk rumus alometrik diambil dari berbagai sumber. Hasil penelitian
menunjukkan potensi biomassa pada site Pemalang sebesar 116 ton/ha pancang,
7.74 ton/ha pohon pada model hutan tanaman; 0.47 ton/ha pancang, 1.65 ton/ha
pohon pada model empang parit terbuka; dan 10.73 ton/ha pancang pada model
komplangan. Site Banten sebesar 3.58 ton/ha pancang, 178.71 ton/ha pohon pada
model hutan alami; 108.33 ton/ha pancang, 46.70 ton/ha pohon pada model
komplangan; 0.12 ton/ha pancang, 12.39 ton/ha pohon pada model kao˗kao alami;
dan 30 ton/ha pancang pada model kao-kao buatan WI˗IP. Site Banyuwangi
sebesar 75.91 ton/ha pancang, 94.08 ton/ha pohon pada model hutan tanaman; dan
55.96 ton/ha pancang, 65.09 ton/ha pohon pada model komplangan.
Kata kunci: biomassa, mangrove, silvofisheri, sustainable ecology

ABSTRACT
The Potential of Biomass at the Mangrove Planting Models. Supervised by
ISTOMO
Silvofishery is a technology based on the principles of sustainable ecology
of coastal ecosystem rehabilitation activities which do not disrupt the ongoing
aquaculture. This research aims to get predictions of total biomass at the site of
Pemalang, site of Banten, and Banyuwangi on the model green belt and
silvofisery models. The methods used for the analysis of vegetation is a terraced

path method and census method, while for the formula alometrik is taken from a
variety of sources. The results showed the potential of biomass on site of
Pemalang amounted to 116 tons/ha stake class, 7.74 tons/ha of trees class on the
planted forest model; 0.47 tons/ha stake class, 1.65 tons/ha of trees class on the
empang parit terbuka model; and 10.73 tons/ha stake class on the komplangan
model. Banten site of 3.58 tons/ha stake class, 178.71 tons/ha trees class on the
natural forest model; 108.33 tons/ha stake class, 46.70 tons/ha trees class on the
komplangan model; 0.12 tons/ha stake class, 12.39 tons/ha trees class on the
natural kao-kao model; and 30 tons/ha trees class on the kao-kao WI-IP program.
Site Banyuwangi of 75.91 tons/ha stake class, 94.08 tons/ha on the planted forest
model; 55.96 tons/ha stake class, 65.09 tons/ha trees class on the komplangan
model.
Key words: biomass, mangrove, silvofishery, sustainable ecology.

POTENSI BIOMASSA PADA MODEL-MODEL PENANAMAN
MANGROVE
Studi Kasus di Pemalang, Banten, dan Banyuwangi

BERTO DIONSIUS NAIBAHO


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Silvikultur

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Potensi Biomassa pada Model-model Penanaman Mangrove (Studi
Kasus di Pemalang, Banten, dan Banyuwangi)
Nama
: Berto Dionsius Naibaho
NIM
: E44080070

Disetujui oleh


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober sampai Desember 2012 ini ialah
biomassa, dengan judul Potensi Biomassa pada Model-Model Penanaman
Mangrove.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Istomo MS selaku
pembimbing, Bapak Ir Ahmad Hadjib MS selaku penguji, dan Ibu Dr Ir Arum
Sekar Wulandari MS selaku moderator dalam uji komprehensif karya ilmiah ini.
Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Audri Sihanenia
dan Ibu Eka dari Wageningen University serta tim Mangrove Capital Wetlands
International ˗ Indonesia Programme yang telah membantu selama pengumpulan
data dan penulisan karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada ayah Edward Naibaho, ibu Rusmani Sianturi, adik-adik tercinta Mangihut
Tua Conery Naibaho, Daniel Naibaho, Maria Sari Inne Naibaho serta seluruh
keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Terimakasih khusus penulis
sampaikan kepada Gina Meilisa Sitorus yang telah banyak membantu penulis
dalam menyusun karya ilmiah ini, serta kepada sahabat-sahabat dan temanteman; Rocky Evander Tobing, Pirnando Purba, Fransisxo Tambunan, Gusto

Togatorop, Ainstain Saragih, Erick Sinulingga, Jumadin Sidabutar, dan Silvikultur
45, atas dukungan motivasi yang telah diberikan kepada penulis.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2014
Berto Dionsius Naibaho

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN

viii


PENDAHULUAN

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

METODE

3


Tempat dan Waktu Penelitian

3

Alat dan Bahan

4

Prosedur Analisis Data

4

Prosedur Kerja

5

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

6


Kondisi Fisik

6

Sejarah Penggunaan Lahan

7

Model-model Penanaman Mangrove

8

Luasan Penggunaan Lahan untuk Model Penanaman Mangrove

9

Komoditi yang Dibudidayakan
HASIL

10

11

Kompisisi dan Struktur Jenis

11

Kerapatan Individu

13

Luas Bidang Dasar dan Volume

14

Indeks Nilai Penting dan Indeks Shannon Wiever

15

Biomassa


17

PEMBAHASAN

19

SIMPULAN DAN SARAN

22

Simpulan

22

Saran

23

DAFTAR PUSTAKA

23

LAMPIRAN

25

RIWAYAT HIDUP

32

DAFTAR TABEL
1 Persamaan alometrik yang digunakan dalam penelitian ini
2 Koordinat lokasi peneltian
3 Luasan penggunaan lahan yang ditumbuhi vegetasi mangrove pada
lokasi
penelitian
4 Analisis vegetasi di ketiga site penelitian
5 Pendugaan biomassa di atas permukaan tanah

5
6
10
12
18

DAFTAR GAMBAR
1 Sketsa plot penelitian metode jalur berpetak
2 Letak lokasi penelitian; (01) site Pemalang, (02) site Banten, (03) site
Banyuwangi
3 (a), (b), dan (c) merupakan geomorfologi pantai dan hubungannya
dengan sedimen˗sedimen tanah sebagai habitat ekosistem mangrove
menurut Thom (1982 dalam Woodroffe 1993), sumber gambar
woodroffe 1993
4 Model silvofisheri/wanamina yang ditemukan di ketiga site penelitian.
Keterangan gambar : M= mangrove, T= air tambak, PA= pintu air.
5 (a) Formasi mangrove (greenbelt), (b) Areal rehabilitasi, (c) Vegetasi
di sekitar tambak (areal rehabilitasi), (d) Vegetasi di sekitar desa
6 Perbandingan tingkat pertumbuhan pancang dan pohon di ketiga site
7 Tingkat kerapatan individu vegetasi mangrove di ketiga site penelitian
8 Pendugaan luas bidang dasar untuk tingkat pertumbuhan pancang dan
pohon di ketiga lokasi penelitian
9 Pendugaan volume untuk tingkat pertumbuhan pancang dan pohon di
ketiga site penelitian
10 (a), (b), (c), (d), (e), dan (f) menunjukkan perbandingan indeks nilai
penting di ketiga site penelitian.
11 Pendugaan biomassa di atas permukaan tanah pada ketiga site
penelitian
12 Teknik silvikultur dengan (a) model hutan alami/tanaman, (b) model
komplangan, (c) model kao˗kao, (d) model empang parit terbuka.
(sumber gambar Hapsari 2011)

3
6

7
8
9
11
13
14
15
16
19

22

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Peta penggunaan lahan mangrove di site Pemalang
Peta penggunaan lahan mangrove di site Banten
Peta penggunaan lahan mangrove di site Banyuwangi
Tabel analisis vegetasi mangrove di ketiga site penelitian
Dokumentasi lapangan

25
26
27
28
28

PENDAHULUAN
Menurut Shorter Oxford (1613) dalam Sukardjo (1999a), kata mangrove
diturunkan dari kombinasi kata Portugis Mangue dan kata Spanyol Mangle, yaitu
untuk menyebut pohon, dengan kata inggris Grove untuk menyebut tegakan
pohon˗pohon. Menurut Sukardjo (1999b), mangrove merupakan sekelompok
tumbuhan yang terdiri dari berbagai jenis dari suku yang berbeda, tetapi
mempunyai persamaan adaptasi morfologi dan fisiologi yang sama terhadap
habitat yang dipengaruhi oleh pasang˗surut.
Mangrove terdapat di pantai tropika dan sub tropika (Chapman 1976, dalam
Tomlinson 1986). Secara geografis, mangrove tersebar antara 30 ˚LU ˗ 30 ˚LS
(Giri et al. 2011). Posisi Indonesia yang berada pada garis lintang sebaran
mangrove menjadikan hampir seluruh pulau˗pulau di Indonesia memiliki
mangrove.
Peranan ekosistem mangrove sangat penting karena merupakan ekosistem
penyangga (buffer zone) antara ekosistem darat dengan laut. Ekosistem ini
memiliki jasa-jasa lingkungan yang meliputi fisik, biologi, dan ekonomi. Besaran
jasa-jasa ini dapat diukur dengan parameter biodiversitas dan biomassa.
Biomassa adalah bahan organik yang dihasilkan melalui proses fotosintetik,
baik berupa produk maupun buangan. Biomassa mengandung energi tersimpan
yang berasal dari matahari. Energi kimia dalam tumbuhan akan diteruskan ke
hewan dan orang˗orang yang memakannya/menggunakannya. Sumber energi ini
bersifat terbarukan. Beberapa contohnya adalah kayu, tanaman, pupuk, dan
beberapa jenis sampah.
Hasil penelitian CIFOR dan USDA Forest Services (Departemen Pertanian
Amerika Serikat Bidang Kehutanan) yang dirilis tahun 2011dalam Gumilang
(2012a) menunjukkan bahwa perusakan dan degradasi ekosistem mangrove
diperkirakan menghasilkan hingga 10 % dari emisi deforestasi global. Padahal,
luas hutan mangrove hanya 0,7 % dari hutan tropis.
Menurut International Panel on Climate Change/IPCC (2003), sampai akhir
tahun 1980 emisi karbon di dunia adalah sebesar 117±35 G ton C (82˗152 G ton
C) akibat pembakaran fosil berupa bahan bakar minyak dan batubara, alih fungsi
hutan dan pembakaran hutan. Hutan mangrove memiliki peran penting terkait
pemanasan global mengingat eksistensinya sebagai penyerap dan penyimpan
karbon (carbon-sink). Kepadatan karbon hutan mangrove lebih tinggi empat kali
daripada hutan tropis umumnya. Semua pelepasan karbon akan menambah karbon
yang berada dalam vegetasi sebagai kantong karbon aktif (active carbon pool).
Tingginya laju pembakaran bahan bakar fosil dan kerusakan hutan saat ini adalah
faktor yang menyebabkan jumlah karbon yang berada di atmosfer meningkat
dengan pesat.
Rosot karbondioksida berhubungan erat dengan biomassa tegakan. Jumlah
biomassa suatu kawasan diperoleh dari produksi dan kerapatan biomassa yang
diduga dari pengukuran diameter, tinggi, berat jenis dan kepadatan setiap jenis
pohon. Biomassa dan rosot karbon pada hutan tropis merupakan jasa hutan di luar
potensi biofisik lainnya. Potensi biomassa hutan yang besar adalah menyerap dan
menyimpan karbon guna pengurangan kadar CO2 di udara. Manfaat langsung dari

2
pengelolaan hutan berupa hasil kayu secara optimal hanya 4.1%. Sedangkan
fungsi optimal dalam penyerapan karbon mencapai 77.9% (Darusman 2006).
Berdasarkan hal tersebut, kajian terhadap potensi biomassa yang terkandung
pada vegetasi hutan mangrove ini perlu dilakukan untuk mengetahui besaran
kapasitas fungsi jasa lingkungan yang mampu diperankan oleh ekosistem hutan
mangrove pada site Banten, Pemalang, dan Banyuwangi dalam membantu
pengurangan emisi karbondioksida.

Perumusan Masalah
Hutan mangrove terdapat di sepanjang garis pantai di kawasan tropis dan
menjadi pendukung berbagai jasa ekosistem, termasuk produksi perikanan dan
siklus unsur hara. Namun luas hutan mangrove telah mengalami penurunan
sampai 30˗50% dalam setengah abad terakhir ini karena pembangunan daerah
pesisir, perluasan pembangunan tambak dan penebangan yang berlebihan. Teknik
silvofisheri (wanamina) merupakan teknologi sederhana yang dapat dilakukan
tanpa merusak tanaman mangrove ataupun konstruksi tambak yang telah ada dan
dapat dilakukan sebagai kegiatan sampingan sambil berusaha menghutankan
kembali kawasan jalur hijau di daerah pantai yang kritis.
Benarkah deforestasi dan degradasi mangrove terjadi di site Pemalang, site
Banten, dan site Banyuwangi? Sejauh mana perkembangan silvofisheri pada
ketiga site penelitian? Berapa besar nilai tambah ekosistem mangrove pada ketiga
site penelitian khususnya biomassa?

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan potensi mangrove pada areal
Desa Sawah Luhur, Serang, Banten; Desa Pesantren, Pemalang, Jawa Tengah;
Desa Wringin Putih dan Desa Kedungsari, Banyuwangi, Jawa Timur. Parameter
potensi mangrove ini berupa biodiversitas dan biomassa.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang besaran nilai
biomassa pada daerah site Banten, Pemalang, dan Banyuwangi. Data biomassa
yang tersedia di setiap lokasi penelitian dapat digunakan untuk melihat kualitas
dan kuantitas vegetasi mangrove di ketiga site penelitian. Data biomassa yang
didapat nantinya menjadi nilai tambah dari pengelolaan hutan mangrove secara
lestari yang telah dilakukan di ketiga site penelitian. Hasil penelitian ini juga dapat
digunakan untuk mengukur besaran siklus unsur hara yang terjadi di dalam hutan
mangrove.

3

METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan untuk mendapatkan data di lapangan pada
penelitian ini ada dua yaitu metode jalur berpetak dan metode sensus.
Model˗model penanaman mangrove seperti: empang parit terbuka, komplangan,
jalur (kao˗kao), hutan alami, dan tanaman dikaji dengan membuat plot ukur.
Metode risalah pohon yang digunakan adalah metode jalur dengan garis berpetak
(Kusmana 1997). Untuk model penanaman empang parit terbuka dan jalur
(kao˗kao) digunakan metode sensus. Ukuran plot ukur yang digunakan adalah 10
meter x 30 meter. Luas data sampling penelitian untuk metode jalur berpetak
adalah 0.09 ha/model atau bisa lebih kecil tergantung dengan luasan yang terdapat
di lapangan.
Ukuran permudaan dan luas petak yang digunakan dalam kegiatan analisis
vegetasi hutan mangrove adalah sebagai berikut: (i) Pohon; berdiameter 10 cm
atau lebih, ukuran sub˗petak 10 m x 10 m; (ii) Pancang; berdiameter kurang dari
10 cm, permudaan dengan tinggi 1.5 m, ukuran sub˗petak 5 m x 5 m; (iii) Semai;
permudaan mulai dari kecambah sampai anakan setinggi kurang dari 1.5 m,
ukuran sub-petak 2 m x 2 m; (iv) Tumbuhan bawah; tumbuhan selain pohon,
misalnya rumput, herba, dan semak belukar, ukuran sub˗petak 2 m x 2 m. Kedua
metode ini digunakan dengan alasan kepraktisannya digunakan saat pengambilan
data di lapangan. Pengambilan data vegetasi mangrove dilakukan secara acak.
Ilustrasi plot petak penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Sketsa plot penelitian metode jalur berpetak S = Seedling 2 m x 2 m
(tinggi ≤ 1.5 m), P = Pool 5 m x 5 m (tinggi > 1.5 m dan diameter <
10 cm), T = Tree 10 m x 10 m ( diameter > 10 cm)

Tempat dan Waktu Penelitian
Daerah penelitian terletak di tiga lokasi yaitu : (a) Lokasi penelitian pertama
terletak di daerah pesisir Desa Pesantren dan Desa Mojo di Kabupaten Pemalang,
Jawa Tengah; (b) Lokasi penelitian kedua terletak di Desa Sawah luhur,
Kabupaten Serang, Banten; (c) Lokasi penelitian ketiga terletak di Desa
Wringinputih dan Kedung Asri, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Penelitian
ini dilakukan pada bulan Oktober sampai Desember 2012.

4
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah (a) perangkat
laptop, perangkat lunak Microsoft Office 2007 khususnya microsoft office word
dan microsoft office excel, dan ArcGis; (b) alat pengecekan lapangan: Garmin
Global positioning system (GPS) dan klinometer; (c) Peralatan inventarisasi
vegetasi: meteran gulung (50 m), meteran jahit (phi-band) (150 cm), buku
pengenalan jenis, patok˗patok dari bambu/kayu, peta lokasi penelitian, dan tally
sheet; (d) alat dokumentasi: kamera digital; (e) alat tulis menulis. Bahan penelitian
yang dibutuhkan adalah tegakan mangrove di ketiga site penelitian.

Prosedur Analisis Data
Data vegetasi mangrove yang diperoleh diolah dengan menggunakan rumus:
a. Kerapatan (K)

=

b. Kerapatan relatif (KR)

=

c. Frekuensi (F)

=

d. Frekuensi relatif (FR)

=

e. Dominasi (D)

=

f. Dominansi relative (DR) =
g. INP

= KR + FR (pancang)
= KR + FR + DR (pohon)

h. LBDS

=

i. V = LBDS.Tbc.f ,dimana:
V

= Volume (m3)

LBDS = Luas bidang dasar (m2)
Tbc = Tinggi bebas cabang
f
= angka bentuk (0.8)
j. H’ =

, dimana:

H’ = Indeks keanekargaman jenis (Shannon-Wiener Index of general
diversity)
ni = Indeks nilai penting jenis i
N = Total indeks nilai penting

5
Pengukuran simpanan total biomassa pada pohon didasarkan pada hasil
analisis vegetasi dan dipadukan dengan persamaan alometrik yang sudah ada.
Total biomassa ini mencakup biomassa di atas dan di bawah permukaan.
Persamaan alometrik digunakan untuk menghitung total biomassa masing˗masing
spesies mangrove. Persamaan alometrik yang digunakan dalam penelititan ini
adalah seperti tertera pada Tabel 1.
Tabel 1 Persamaan alometrik yang digunakan dalam penelitian ini
No
1
2

Jenis
Avicennia marina
Rhizophora apiculata

Rumus alometrik

Ø (cm)

Sumber

D = 6.4 ˗ 35.2

Dharmawan & Siregar 2008

Dmax = 28

Ong et al. (2004)

2.31809304

D = 10 - 40

E. Hilmi 2003

-1.32

H= 50 - 100

Hapsari M.R (2011)

Dmax = 49

Komiyama et al. (2005)

2.2598

Y = 0.2905DBH

2.42

Wtop = 0.235DBH

2.61

Wr = 0.00698DBH
3
4
5

Rhizophora mucronata
Rhizophora spp.
General equation

Y = 0.4999022826DBH
B (gram) = 0.113(DBH)

2.29

H

2.46

Wtop = 0.251p DBH
Wr = 0.199p

0.899

2.22

DBH

Dmax = 45

Y : nilai total biomassa kering per pohon (kg), B : nilai total biomassa kering per pohon (gr, Wtop : Biomassa di
atas permukaan tanah (kg), Wr : Biomassa di bawah permukaan tanah (kg), p : Wood density (g/cm3) (source
http://www.worldagroforestry.org), Ø : Batasan diameter, General equation : Persamaan umum untuk jenis
mangrove (Komiyama 2005)

Prosedur Kerja
Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder.
Pengumpulan data primer melalui pengambilan data biofisik di setiap lokasi
penelititan. Informasi utama yang diperhatikan adalah model˗model penanaman
mangrove, jenis vegetasi, komposisi vegetasi, dan kelimpahannya. Seluruh
individu tumbuhan mangrove pada setiap sub˗petak tingkat pertumbuhan
diidentifikasi dan dihitung jumlahnya. Tingkat pertumbuhan tumbuhan bawah,
semai, pancang, pohon dihitung jumlah dan diukur diameter pohonnya. Diameter
pohon yang diukur adalah diameter batang pada ketinggian 1.3 m dari atas
permukaan tanah atau 10 cm di atas akar tunjang (untuk pohon˗pohon dari marga
Rhizophoracea) apabila akar tunjang tertinggi terletak pada ketinggian 1.3 m atau
lebih.
Vegetasi mangrove di area penelitian terlebih dahulu diobservasi lapangan
dengan bantuan GPS Garmin. Data yang ditemukan di lapangan di input berupa
titik˗titik plot dan trayek. Vegetasi mangrove yang ditemukan dibagi menjadi tiga
kategori, yaitu kerapatan tinggi, sedang, dan jarang. Kemudian, tiap kategori
dilakukan risalah pohon dengan metode jalur berpetak dan metode sensus sesuai
dengan model penanaman yang ditemukan di lapangan.
Data sekunder berupa: (a) rumus-rumus alometrik untuk pendugaan total
biomassa yang diambil dari berbagai sumber literatur; (b) informasi dari
penduduk ataupun petambak di lokasi penelitian tentang sejarah penggunaan
lahan Inter Tidal zone (ITZ); (c) aktivitas masyarakat di kawasan penelitian; (d)
literatur tentang mangrove khususnya tentang biomassa ekosistem mangrove.

6

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Kondisi Fisik
Daerah penelitian terletak di tiga lokasi yaitu : (a) Lokasi penelitian pertama
terletak di daerah pesisir Desa Pesantren dan Desa Mojo di Kabupaten Pemalang,
Jawa Tengah; (b) Lokasi penelitian kedua terletak di Desa Sawah luhur,
Kabupaten Serang, Banten; (c) Lokasi penelitian ketiga terletak di Desa
Wringinputih dan Kedung Asri, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Penelitian
ini dilakukan pada bulan Oktober sampai Desember 2012.
Tabel 2 Koordinat lokasi peneltian
Koordinat
Latitude
Longitude
6˚47'54.26"S 109˚30'46.79"E
Pemalang
Banten
6˚01'05"S
106˚11'38"E
Banyuwangi 8˚28'45.41"S 114˚21'24.28"E
Site

Gambar 2 Letak lokasi penelitian; (01) site Pemalang, (02) site Banten, (03) site
Banyuwangi
Keadaan vegetasi mangrove pada ketiga site penelitian rata-rata telah
mengalami penurunan kuantitas dan kualitas. Namun upaya perbaikan dengan
kegiatan penanaman kembali telah dilakukan di ketiga site penelitian. Hasil
penanaman cukup bagus terlihat pada site Pemalang dan site Banyuwangi.
Berdasarkan kriteria geomorfologi habitat mangrove Thom (1982) dalam
Woodroffe (1993) maka geomorfologi pantai site Pemalang termasuk pada tipe
composite river and wave dominated. Site Banten pada tipe wave dominated,
sedangkan site Banyuwangi termasuk pada tipe drowned bedrock valley, untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.

7

(a)

(b)

(c)

Gambar 3 (a), (b), dan (c) merupakan geomorfologi pantai sebagai habitat
ekosistem mangrove menurut Thom (1982) dalam Woodroffe (1993)

Sejarah Penggunaan Lahan
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat di lokasi penelitian,
degradasi, dan deforestrasi lahan mangrove pada ketiga site ini dimulai pada awal
tahun 1980˗an. Menyusutnya luas hutan mangrove di Indonesia antara tahun 1982
sampai 1993 sebesar 513.670 ha atau sebesar 46.697 ha per tahun (Sukardjo 1984;
1999c). Fenomena ini terjadi karena adanya pembangunan tambak udang windu
(Penaeus monodon) secara besar˗besaran yang terjadi di hampir seluruh Pulau
Jawa. Data tahun 1977 menunjukkan bahwa luas tambak di Indonesia
diperkirakan 174.605 ha dan pada tahun 1993 meningkat menjadi 268.743 ha,

8
artinya selama 16 tahun meningkat sebesar 54% dengan konversi tahunannya
sebesar 5.884 ha per tahun (Sukardjo 1999d).
Sepanjang periode ini, mangrove di site Pemalang dan site Banyuwangi
ditebang habis dan dialih fungsikan menjadi lahan tambak budidaya udang windu.
Namun usaha pertambakan udang windu hanya bertahan sekitar 10 tahun˗an. Pada
awal tahun 1990˗an terjadi wabah penyakit yang dikenal dengan istilah white spot
yang melumpuhkan sektor pertambakan udang windu. Akibat dari penyakit ini,
tambak˗tambak udang windu mulai ditinggalkan oleh pemilik modal yang
umumnya merupakan orang “per-kotaan”. Lahan˗lahan tambak yang ditinggalkan
kemudian mulai diambil alih oleh masyarakat sekitar.
Sekitar tahun 1995 sampai 1996 dimulai reklamasi lahan tambak dengan
menanam kembali lahan bibir pantai dan areal tambak masyarakat bersama˗sama
dengan berbagai dinas pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat
sekitar dengan jenis Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Rhizophora
stylosa, Sonneratia alba, Ceriops Tagal khususnya pada site Pemalang dan
Banyuwangi. Pada site Banten reklamasi lahan tambak dimulai pada tahun
2000˗an yang dilaksanakan oleh lembaga swadaya masyarakat dan dinas
pemerintahan terkait. Tapi masih dalam skala yang kecil dibandingkan dengan site
Pemalang dan site Banyuwangi.

Model-model Penanaman Mangrove
Menurut Ghufran dan Kordi (2012) ada 4 jenis model tambak akua˗forestri
atau wanamina yaitu: (1). Tambak parit atau empang parit atau yang dikenal
dengan tambak parit tradisional, yang dikembangkan paling awal. Tanaman
mangrove berada dalam tambak sedangkan petak budidaya (ikan, udang, dll)
berupa parit yang mengelilingi tanaman mangrove. (2). Tambak komplangan,
tanaman mangrove bersebelahan dengan tambak, dengan perbandingan 60%
tanaman mangrove dan 40% petak budi daya, atau 80% tanaman mangrove dan
20% petak budidaya. (3). Tambak kao˗kao, tumbuhan mangrove ditanam
berjejer/berbaris di dalam petak tambak, sedangkan petak budidaya berada di
antara tanaman mangrove tersebut. (4). Tambak parit terbuka, tanaman mangrove
ditanam di bagian dalam tambak. Secara umum model˗model tambak silvofisheri
di ketiga site penelitian disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Model silvofisheri/wanamina yang ditemukan di ketiga site penelitian
( M= mangrove, T= air tambak, PA= pintu air)

9
Model˗model penanaman mangrove yang ditemukan di lapangan cukup
beragam. Pada site Pemalang ditemukan 3 model penanaman mangrove yaitu
hutan tanaman, empang parit terbuka, dan komplangan. Empang parit terbuka
merupakan model penanaman yang paling luas. Model komplangan pada daerah
ini merupakan percobaan yang diterapkan oleh pemilik tambak karena pernah
melihat tambak dengan model tersebut di tempat lain. Jenis mangrove yang
ditanam adalah R. mucronata.
Site Banten ditemukan 4 model penanaman yaitu hutan alami, komplangan
buatan, kao˗kao alami, dan kao˗kao buatan. Hutan alami di sini merupakan
mangrove yang berada di Cagar Alam Pulau Dua (CAPD) yang kondisinya masih
terjaga baik. Model komplangan alami pada site ini ada dikarenakan
ketidaksengajaan pemilik tambak. Tanaman R. mucronata pada model tersebut
awalnya diperuntukkan pada bibit yang akan dijual. Bibit tersebut diletakkan di
tengah˗tengah tambak dengan maksud agar mendapatkan air payau di dalam
tambak. Model kao˗kao alami merupakan suksesi alami mangrove yang
dikonversi menjadi lahan tambak. Namun keberadaan suksesi ini terbatas
jumlahnya karena sebagian masyarakat merasa aktivitas pertambakannya
terganggu akibat permudaan alami ini. Umumnya jenis permudaan ini adalah A.
marina, sedangkan untuk model kao˗kao buatan merupakan kerjasama antara
masyarakat sekitar Desa Sawah luhur dengan Wetlands International˗Indonesia
Programme. Jenis yang ditanam adalah R. apiculata, R. mucronata, dan R.
stylosa.
Site Banyuwangi model penanaman mangrove hanya ditemukan sebanyak 2
jenis yaitu, model hutan tanaman dan model komplangan. Model hutan tanaman
terdapat hampir di sepanjang bibir Teluk Pangpang. Jenis yang ditanam juga
cukup beragam diantaranya adalah R. mucronata, R. apiculata, R. stylosa, S. alba,
dan C. tagal. Model ini ditanam oleh berbagai dinas pemerintahan, lembaga
swadaya masyarakat, dan masyarakat sekitar Teluk Pangpang. Kemudian model
komplangan terdapat di lahan PERHUTANI yang dikelola oleh masyarakat. Jenisjenis yang ditanam adalah R. mucronata, R. apiculata, R. stylosa, dan C. tagal.

Luasan Penggunaan Lahan untuk Model Penanaman Mangrove
Secara umum ilustrasi profil melintang vegetasi mangrove di pesisir dapat
dilihat pada Gambar 5. Sumber gambar berasal dari Hapsari (2011a) dan Sualia
(2011a).

Gambar 5 (a) Formasi mangrove (greenbelt), (b) Areal rehabilitasi, (c) Vegetasi
di sekitar tambak (areal rehabilitasi), (d) Vegetasi di sekitar desa

10
Berdasarkan peta Project Mangrove Capital 2013, site Pemalang
merupakan daerah dengan mangrove paling luas sebesar 1010 ha. Site
Banyuwangi dengan luasan sebesar 784 ha, sedangkan site Banten merupakan site
dengan luasan paling sedikit yaitu sebesar 603.52 ha namun dengan model
penanaman mangrove terbanyak. Luasan model˗model penanaman mangrove
pada ketiga site disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Luasan penggunaan lahan yang ditumbuhi vegetasi mangrove pada lokasi
penelitian

No Model penanaman
Luas (ha) Persentase luas (%)
Pemalang
1
Hutan tanaman
23
2.28
2
Empang parit terbuka
985
97.52
3
Komplangan
2
0.20
Banten
1
Hutan alami
32
9.02
2
Komplangan buatan
2
0.56
3
Kao-kao alami
311.11
87.73
4
Kao-kao buatan WI-IP
9.52
2.68
Banyuwangi
1
Hutan tanaman
756
96.43
2
Komplangan
28
3.57

Pada Tabel 3, luasan yang mendominasi adalah tambak wanamina untuk
model empang parit terbuka (97.52%) di site Pemalang dan kao˗kao alami
(87.73%) di site Banten. Tetapi pada site Banyuwangi luasan yang mendominasi
adalah model greenbelt atau hutan tanaman (96.43%). Model kao˗kao alami pada
site Banten tidak semuanya ditumbuhi oleh mangrove, hanya sekitar 500 meter
tegak lurus dari zona green belt.

Komoditi yang Dibudidayakan
Komoditi yang dibudidayakan saat dilakukannya penelitian ini pada site
Pemalang dan site Banten adalah ikan bandeng (Chanos chanos), sedangkan pada
site Banyuwangi adalah udang putih (Pennaeus vannamei). Tambak˗tambak pada
daerah ini dikelola secara tradisional dan semi intensif. Pada site Banyuwangi,
sisa˗sisa kejayaan tambak udang windu masih terlihat jelas sampai sekarang,
karena pematang-pematang tambak, kanal air, dan bibir pantai pada daerah ini
dibeton dengan baik.
Tangkapan udang liar pada site Pemalang dan site Banten secara harian
masih didapatkan oleh petambak. Dengan memasang perangkap bubu di pintu air
tambak dari sore hari kemudian diangkat pagi keesokan harinya. Tetapi pada site
Banyuwangi tangkapan udang liar secara harian dilakukan oleh nelayan banjang.

11

HASIL
Kompisisi dan Struktur Jenis
Sebagian besar mangrove yang tersisa di semua lokasi menyebar pada
bagian tepi sungai dan pantai dengan lebar yang bervariasi. Komunitas mangrove
yang pernah berkembang merata di bagian pantai, saat ini hanya berupa jalur yang
terputus˗putus akibat perluasan tambak. Lebarnya bervariasi antara beberapa
puluh sampai satu kilometer. Kualitas dan kuantitas vegetasi mangrove secara
rata-rata telah mengalami penurunan di ketiga site penelitian. Hal ini disebabkan
pengalihan fungsi lahan mangrove alami menjadi areal tambak yang terjadi pada
tahun 1980˗an.
Sekarang ini tegakan mangrove yang terdapat di ketiga site penelitian
merupakan hasil dari penanaman kembali, dimana dapat strata pancang sangat
mendominasi seperti yang disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6 Perbandingan tingkat pertumbuhan pancang dan pohon di ketiga site
penelitian
Gambar 6 menggambarkan perbandingan strata tegakan mangrove di ketiga
site penelitian. Site Pemalang terdapat 87% pancang dan 13% pohon, 57%
pancang dan 43% pohon pada site Banten, sedangkan pada site Banyuwangi
terdapat 56% pancang dan 44% pohon. Hal ini dikarenakan vegetasi mangrove
yang ada sekarang ini merupakan vegetasi hasil reboisasi yang dimulai pada tahun

12
1995˗an pada site Pemalang dan Banyuwangi. Reboisasi pada site Banten dimulai
pada tahun 2000˗an.
Perbedaan geomorfologi habitat mangrove yang berbeda-beda
mempengaruhi jenis dan kelimpahan jenis mangrove di ketiga site penelitian. Site
Pemalang memiliki substrat berlumpur, site Banten memiliki substrat berpasir.
Sedangkan pada site Banyuwangi merupakan gabungan kedua substrat dimana
substrat teluk terluar berpasir sedangkan teluk bagian dalam memiliki substrat
berlumpur. Substrat berlumpur sangat baik untuk jenis Avicennia spp. dan
Rhizophora spp. Sedangkan Sonneratia spp. tumbuh baik di pantai yang agak
berpasir. Jenis mangrove dan kelimpahannya yang ditemukan pada
masing˗masing lokasi disajikan dalam Tabel 4.
Tabel 4 Analisis vegetasi di ketiga site penelitian
No

Model Penanaman

1 Pemalang
Hutan tanaman

Empang parit terbuka
Komplangan
2 Banten
Hutan alami
Komplangan

Jenis
Aa
Am
Rm
Rm
Rm

n
Pc
13
4
104
121
203
58

Ph
2
3
1
6
51
0

K (ind/ha)
Pc
Ph
650.00
200.00
5200.00
6050.00
44.51
3866.67

LBDS (m2/ha) V (m3/ha)
Pc
Ph
Pc
Ph

25.00 1.82 4.52
37.50 0.88 4.62
12.50 10.33 1.35
75.00 13.03 10.50
11.18 0.04 0.12
0.00 1.61 0.00

0.53
0.52
7.53
8.57
0.05
0.64

0.19
1.12
0.31
1.62
0.37
0.00

INP (%)
Pc
Ph
35.74
19.97
144.28
200.00
200.00
200.00

109.75
144.01
46.24
300.00
300.00
0.00

Indeks H'
Pc Ph
0.31
0.23
0.24
0.77
0.00
0.00

0.37
0.35
0.29
1.01
0.00
0.00

2 67 72.73 609.09 0.54 21.72 1.09 43.40 200.00 300.00 0.00 0.00
5 21 400.00 420.00 5.39 7.31 10.67 14.01 63.39 300.00 0.36 0.00
97
0 7760.00
0.00 8.84 0.00 11.58 0.00 136.61 0.00 0.26 0.00
102 21 8160.00 420.00 14.24 7.31 22.25 14.01 200.00 300.00 0.62 0.00
Kao-kao alami
Am
1 85
0.40 34.27 0.00 1.44 0.00 2.63 66.67 272.17 0.37 0.09
Ra
5
2
2.02
0.81 0.01 0.01 0.02 0.13 133.33 27.83 0.27 0.22
6 87
2.42 35.08 0.01 1.44 0.02 2.75 200.00 300.00 0.64 0.31
Kao-kao buatan WI-IP R spp. 109
0 4844.44
0.00 1.48 0.00 0.15 0.00 200.00 0.00 0.00 0.00
3 Banyuwangi
Hutan tanaman
Ct
1
0 14.81
0.00 0.03 0.00 0.01 0.00 3.94 0.00 0.08 0.00
Ra
47 62 696.30 229.63 3.12 2.87 10.72 11.09 58.66 105.63 0.36 0.37
Rm
101 20 1496.30 74.07 4.51 1.12 7.80 2.52 111.59 45.55 0.33 0.29
Sa
15 74 222.22 274.07 0.90 4.83 1.60 6.80 25.81 148.82 0.26 0.35
164 156 2429.63 577.78 8.56 8.82 20.14 20.41 200.00 300.00 1.03 1.00
Komplangan
Ct
26
0 1155.56
0.00 0.69 0.00 0.28 0.00 46.55 0.00 0.34 0.00
Ra
39
3 1733.33 33.33 3.27 0.31 3.50 0.57 86.49 38.94 0.36 0.27
Rm
22 37 977.78 411.11 2.92 4.46 5.01 9.56 66.95 261.06 0.37 0.12
87 40 3866.67 444.44 6.88 4.77 8.78 10.14 200.00 300.00 1.07 0.39
Am
Am
Rm

n= jumlah individu (individu); K= Kerapatan (ind/ha); Pc = pancang; Ph = pohon; LBDS= luas bidang dasar;
INP= indeks nilai penting; Indeks H’= indeks Shannon-wiever; Aa = Avicennia alba; Am = Avicennia marina;
Ct = Ceriops tagal; Ra = Rhizophora apiculata; Rm = Rhizophora mucronata; R spp. = Rhizophora spp.

Komposisi jenis merupakan suatu variabel untuk mengetahui proses suksesi
yang sedang berlangsung pada komunitas di suatu areal, sehingga dapat diketahui
apakah suatu komunitas dan ekosistem tersebut terganggu atau tidak. Tingkat
pertumbuhan semai tidak ditemukan pada plot penelitian. Hal ini disebabkan
karena anakan tegakan mangrove yang mendominasi seperti R. mucronata
merupakan jenis yang intoleran terhadap naungan (Nybacken 1992)

13
Kerapatan Individu
Hutan mangrove berbeda nyata dari hutan lahan kering dan dari hutan rawa
pedalaman, dengan tidak adanya tumbuhan memanjat dan tumbuhan tingkat
bawah (van Steenis 1958 dalam Whitten et al. 1987a). Pada ketiga site penelitian
hanya dua strata yang ditemukan yaitu pancang dan pohon seperti yang tersaji
pada Gambar 7.

Gambar 7 Tingkat kerapatan individu vegetasi mangrove di ketiga site penelitian

Pada Gambar 7 dapat dilihat hasil perhitungan kerapatan jenis didominasi
strata pancang. Site Pemalang memiliki 6050 ind/ha pancang, 75 ind/ha pohon
untuk model hutan tanaman; 45 ind/ha pancang, 11 ind/ha pohon untuk model
empang parit terbuka; 3867 ind/ha pancang untuk model komplangan, tingkat
pertumbuhan pohon tidak terdapat pada model ini karena umur tanaman
mangrove yang masih berumur 3 tahun.
Site Banten memiliki 73 ind/ha pancang, 609 ind/ha pohon untuk model
hutan alami; 8160 ind/ha pancang, 420 ind/ha pohon untuk model komplangan; 2
ind/ha pancang, 35 ind/ha pohon untuk model kao˗kao alami; 4844 ind/ha
pancang untuk model kao˗kao buatan Wetlands International˗Indonesia
Programme (WI˗IP). Model kao˗kao buatan WI˗IP merupakan hasil reboisasi
yang ditanam pada tahun 2008 bekerjasama dengan masyarakat sekitar yang
bertujuan sebagai model tambak percontohan.

14
Site Banyuwangi memiliki 2430 ind/ha pancang, 578 ind/ha pohon untuk
model hutan tanaman; 3867 ind/ha pancang, 444 ind/ha pohon untuk model
komplangan. Model komplangan ini terdapat di lahan Perhutani yang dikelola
oleh masyarakat sekitar.
Luas Bidang Dasar dan Volume
Luas bidang dasar dan volume pohon merupakan indikator potensi,
produktivitas, dan nilai dari suatu hutan. Gambar 8 dan Gambar 9 menunjukkan
luas bidang dasar dan volume pada setiap model˗model penanaman mangrove
yang ditemukan di ketiga site penelitian.

Gambar 8 Pendugaan luas bidang dasar untuk tingkat pertumbuhan pancang dan
pohon di ketiga lokasi penelitian
Rincian luas bidang dasar vegetasi mangrove pada site penelitian adalah
sebagai berikut: site Pemalang memiliki luas bidang dasar sebesar 13.03 m2/ha
pancang, 10.50 m2/ha pohon untuk model hutan tanaman; 0.04 m2/ha pancang,
0.12 m2/ha pohon untuk model empang parit terbuka; 1.61 m2/ha pancang untuk
model komplangan. Site Banten memiliki luas bidang dasar sebesar 0.54 m2/ha
pancang, 21.72 m2/ha pohon untuk model hutan alami; 14.24 m2/ha pancang,
7.31 m2/ha pohon untuk model komplangan; 0.01 m2/ha pancang, 1.44 m2/ha
pohon untuk model kao-kao alami; 1.48 m2/ha pancang untuk model kao-kao

15
buatan WI˗IP. Site Banyuwangi memiliki luas bidang dasar sebesar 8.56 m2/ha
pancang, 8.82 m2/ha pohon, untuk model hutan tanaman; 6.88 m2/ha pancang,
4.77 m2/ha pohon untuk model komplangan. Luas bidang dasar berbanding lurus
dengan besaran volume yang dipengaruhi oleh besaran diameter, tinggi total,
ataupun tinggi bebas cabang. Tabel volume dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Pendugaan volume untuk tingkat pertumbuhan pancang dan pohon di
ketiga site penelitian
Pada site Banten, luas bidang dasar dan volume pohon sangat tinggi. Hal ini
disebabkan oleh tegakan pohon yang masih terjaga keberadaanya diakibatkan dari
fungsi lahan yang dijadikan menjadi Cagar Alam yaitu Cagar Alam Pulau Dua.

Indeks Nilai Penting dan Indeks Shannon Wiever
Untuk melihat dominasi suatu jenis digunakan indeks nilai penting (INP).
Penguasaan suatu jenis terhadap jenis˗jenis lain ditentukan berdasarkan INP,
volume, biomassa, persentase penutupan tajuk, luas bidang dasar, banyaknya
individu atau kelimpahan (Soerianegara 1996). Salah satu indikator untuk
menduga jenis keanekaragaman adalah dengan menggunakan indeks
keanekaragaman atau sering disebut dengan Indeks Shannon˗Wiever (H’)
(Shannon-Wiever, 1949 dalam Ludwig dan Reynolds, 1988). Indeks H’
menunjukkan jumlah jenis, jumlah individu, dan distribusi dari individu dari
setiap jenis tanaman. Nilai dari H’ akan tinggi jika jumlah jenis dan jumlah

16
individu dari setiap jenis tanaman juga tinggi, dan distribusi dari individu untuk
setiap jenis juga tinggi (Istomo et al. 2009). Secara rinci, indeks nilai penting pada
masing˗masing model penanaman mangrove disajikan pada Gambar 10 berikut
ini.
INP Pohon di Site Pemalang
K
Rm
0%
HT Aa
18%
EPT Rm
50%

HT Am
24%

HT Rm
8%

(a)

(b)
INP Pohon di Site Banten

INP Pancang di Site Banten

KA Ra
3%

KB R spp.
0%

HA Am
25%

KB R spp.
25%

HA Am
34%

KA Am
30%
K Am
8%

KA Ra
17%
K Rm
17%

K Am
33%

K Rm
0%

KA Am
8%

(c)

(d)

INP Pancang di Site Banyuwangi

INP Pohon di Site Banyuwangi
HT Ct
1%

K Rm
17%

HT Ct
0%
HT Ra
18%

HT Ra
15%

HT Rm
8%

K Rm
43%

K Ra
21%

HT Rm
28%
K Ct
12%

(e)

HT Sa
25%
HT Sa
6%

K Ra
6%

K Ct
0%

(f)

Gambar 10 (a), (b), (c), (d), (e), dan (f) menunjukkan perbandingan indeks nilai
penting di ketiga site penelitian HT = hutan tanaman, HA = hutan
alami, K = komplangan, EPT = empang parit terbuka, KA = kaokao alami, KB = kao-kao buatan WI-IP, Aa = Avicennia alba, Am
= Avicennia marina, Ct = Ceriops tagal, Ra = Rhizophora
apiculata, Rm = Rhizophora mucronata, R spp. = Rhizophora
spp., Sa = Sonneratia alba

17
Gambar 10 menyajikan data INP strata site pemalang, untuk strata pancang
didominasi oleh jenis R. mucronata. Penguasaan jenis R. mucronata tertinggi
terdapat pada model empang parit terbuka dan model komplangan yaitu sebesar
34% dan 33%. Pada model hutan tanaman terdapat tiga jenis vegetasi mangrove
yaitu R. mucronata 24%, A. alba 6%, A. marina 3%. Untuk strata pohon, R.
mucronata mendominasi pada model empang parit terbuka sebesar 50%,
sedangkan pada model hutan tanaman didominasi oleh A. marina sebesar 24%.
Jenis A. alba 18% dan R. mucronata 8% terdapat juga pada model hutan tanaman.
Penguasaan jenis R. mucronata tinggi pada model empang parit terbuka dan
komplangan disebabkan penanaman monokultur untuk jenis R. mucronata.
Pada site Banten, jenis yang mendominasi untuk strata pancang adalah A.
marina 25% pada model penanaman hutan alami dan Rhizophora spp. 25% pada
model penanaman kao˗kao buatan. Jenis lainnya adalah R. apiculata 17% dan A.
marina 8% pada model kao˗kao alami. R mucronata 17% dan A. marina 8% pada
model komplangan. Strata pohon didominasi oleh A. marina masing˗masing pada
model penanaman hutan alami sebesar 34%, komplangan 33%, dan kao˗kao alami
30%. Jenis lainnya adalah R. apiculata yang terdapat pada model kao˗kao alami
sebesar 3%.
Pada site Banyuwangi, untuk strata pancang didominasi jenis R. mucronata
sebesar 28% pada model penanaman hutan tanaman, sedangkan untuk model
komplangan didominasi oleh R. apiculata sebesar 21%. Jenis lainnya yang
terdapat pada model hutan tanaman adalah R. apiculata sebesar 15%, S. alba 6%,
dan C. tagal 1%; dan pada model komplangan terdapat R. mucronata sebesar 17%
dan C. tagal 12%. Untuk strata pohon didominasi oleh R. mucronata sebesar 43%
pada model komplangan dan S. alba sebesar 25% pada model hutan tanaman.
Jenis lainnya yang terdapat pada model hutan tanaman adalah R. apiculata 18%,
R. mucronata 8%; dan pada model komplangan terdapat R. apiculata sebesar 6%.
Menurut analisis indeks Shannon˗wiever yang telah dilakukan, indeksnya
berada pada selang 0 sampai 1 yang artinya keberagaman jenis pada ketiga site
penelitian relatif kecil. Hal ini dipengaruhi oleh penanaman monokultur dengan
jenis R. mucronata, R. apiculata, atau R. stylosa. Pemilihan akan jenis ini
didasarkan pada kemudahan penyemaian jenis ini, buah yang tidak tergantung
musim sehingga stock bibit melimpah, dan batang yang lurus lebih memudahkan
petambak untuk melakukan aktivitas budidayanya. Selain itu daun R. mucronata
dimanfaatkan juga sebagai makanan ternak kambing seperti yang terdapat di site
Pemalang.

Biomassa
Besaran biomassa sangat dipengaruhi oleh besaran diameter, umur tegakan,
dan luasan. Semakin besar diameter, umur, dan luasan, maka semakin besar pula
biomassa yang terkandung pada tegakan. Hasil pengolahan data biomassa
disajikan pada Tabel 5 berikut ini.

18
Tabel 5 Pendugaan biomassa di atas permukaan tanah

No
1

2

3

Model Penanaman
Pemalang
Hutan tanaman

Luasan (ha)

Jenis

23

Aa
Am
Rm

Empang parit terbuka
Komplangan
Banten
Hutan alami
Komplangan

985
2

Rm
Rm

32
2

Am
Am
Rm

Kao-kao alami

560

Am
Ra

Kao-kao buatan WI-IP
Banyuwangi
Hutan tanaman

9,52 R spp.

Komplangan

756

Ct
Ra
Rm
Sa

28

Ct
Ra
Rm

Bpc (ton/ha) Bph (ton/ha)
14.44
5.75
95.97
116.16
0.47
10.73

3.90
2.39
1.46
7.74
1.65
0.00

3.58
35.33
73.00
108.33
0.02
0.11
0.12
30.00

178.71
46.70
0.00
46.70
12.30
0.09
12.39
0.00

0.32
23.62
44.77
7.20
75.91
5.46
20.89
29.62
55.96

0.00
26.40
15.62
52.06
94.08
0.00
2.59
62.50
65.09

Bpc = biomassa pancang; Bph = biomassa pohon Aa = Avicennia alba; Am = Avicennia marina; Ct = Ceriops
tagal; Ra = Rhizophora apiculata; Rm = Rhizophora mucronata; R spp. = Rhizophora spp.

Tabel 5 menyajikan data biomassa pada ketiga site penelitian. Mangrove
pada site Pemalang menyediakan biomassa sebesar 116.16 ton/ha pancang, 7.74
ton/ha pohon untuk model hutan tanaman; 0.47 ton/ha pancang, 1.65 ton/ha pohon
untuk model empang parit terbuka; 10.73 ton/ha untuk model komplangan. R.
mucronata merupakan jenis dengan biomassa tertinggi untuk strata pancang
sebesar 95.97 ton/ha dan A.alba untuk strata pohon sebesar 3.90 ton/ha pada
model hutan tanaman.
Site Banten menyediakan biomassa sebesar 3.58 ton/ha pancang, 178.71
ton/ha pohon untuk model hutan alami; 108.33 ton/ha pancang, 46.70 ton/ha
pohon untuk model komplangan; 0.12 ton/ha pancang, 12.39 ton/ha pohon untuk

19
model kao˗kao alami; 30 ton/ha pancang untuk model kao˗kao buatan WI˗IP. R.
mucronata menyediakan biomassa tertinggi untuk strata pancang sebesar 73.00
ton/ha pada model komplangan, sedangkan jenis A. marina menyediakan
biomassa tertinggi untuk strata pohon sebesar 178.71 ton/ha.
Site Banyuwangi menyediakan biomassa sebesar 75.91 ton/ha pancang,
94.08 ton/ha pohon pada model hutan tanaman; 55.96 ton/ha pancang, 65.09
ton/ha pohon pada model komplangan. R. mucronata merupakan jenis dengan
biomassa tertinggi untuk strata pancang dan pohon yaitu sebesar 44.77 ton/ha
pada model hutan tanaman dan 62.50 ton/ha pada model komplangan. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Pendugaan biomassa di atas permukaan tanah pada ketiga site
penelitian

PEMBAHASAN
Potensi ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang memiliki tingkat
keragaman jenis tertinggi di dunia dengan luasan 75% dari total mangrove di Asia
Tenggara. Tetapi saat ini kualitas dan kuantitas potensi ekosistem ini terancam
akibat deforestasi dan meningkatnya kegiatan mengkonversi hutan mangrove
untuk peruntukan lainnya. Menurut Saparinto (2007) dalam Hapsari (2011b)
menyebutkan penyusutan luasan hutan mangrove di Pulau Jawa adalah salah satu
yang tercepat yaitu tinggal 34.65%. Menurut data Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial (RLPS 2007) dan Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut

20
(PSSDAL 2009) laju deforestasi dan degradasi lahan mangrove di Pulau Jawa dari
tahun 2007 sampai 2009 adalah 152.001,55 ha/tahun.
Umur tegakan mangrove di ketiga site penelitian bervariasi mulai dari umur
2 sampai 17 tahun untuk tegakan mangrove tanaman hasil reboisasi. Namun pada
site Banten tegakan mangrove alami masih ditemukan yang telah berumur
puluhan tahun. Tegakan mangrove merupakan tegakan slow growing species.
Menurut Versteeg (1951) yang dikutip oleh Soerianegara (1981), riap volume
hutan bakau 5 m3/ha/tahun. Hal ini yang menyebabkan tingkat pertumbuhan
pancang lebih mendominasi di ketiga site penelitian yaitu sebesar 87% untuk site
Pemalang, 57% untuk site Banten, dan 56% untuk site Banyuwangi. Hal ini
menunjukkan tegakan mangrove di ketiga site penelitian masih tergolong muda.
Tingkat pertumbuhan pohon lebih tinggi dari tingkat pertumbuhan pancang hanya
terdapat di satu model penanaman yaitu model hutan alami pada site Banten
dimana strata pohon sebesar 97.10% pada model ini. Hal ini dipengaruhi oleh
keberadaan Cagar Alam Pulau Dua yang tegakan mangrovenya dijaga agar
fungsinya tetap terjaga.
Reboisasi lahan tambak sampai saat ini masih dilakukan di ketiga site
penelitian sebagai upaya perbaikan kualitas dan kuantitas mangrove.
Kelompok˗kelompok petambak telah terbentuk di ketiga site penelitian yang
khusus membidangi reboisasi tambak. Namun site Pemalang lebih baik daripada
site Banten dan site Pemalang. Pada site Pemalang lahan˗lahan tambak hampir
merata ditanami Rhizophora spp. dan masyarakat sekitar juga rutin
bergotong˗royong menanam mangrove di lahan˗lahan yang kosong. Pada site
Banten, reboisasi tidak berjalan merata karena masyarakat hanya sebagai penyewa
lahan, sedangkan di site Banyuwangi kendala yang dialami untuk melakukan
reboisasi di lahan tambak adalah sisa˗sisa konstruksi berupa beton di sisi˗sisi
pematang tambak. Beton˗beton ini merupakan sisa˗sisa tambak intensif zaman
kejayaan budidaya udang windu tahun 1980˗an.
Sistem silvofisheri/wanamina memiliki teknologi sederhana, dapat
dilakukan tanpa merusak tanaman mangrove ataupun konstruksi tambak yang
telah ada dan dapat dilakukan sebagai kegiatan sela sambil berusaha
menghutankan kembali kawasan jalur hijau di daerah pantai yang kritis
(Gumilang 2012b). Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan
menerapkan silvofisheries, yaitu: (i). Kontruksi pematang tambak akan menjadi
kuat karena akan terpegang akar-akar mangrove dan pematang akan nyaman
dipakai para pejalan kaki karena akan dirimbuni oleh tajuk tanaman mangrove;
(ii). Keanekaragaman hayati akan meningkat (termasuk bibit ikan alami dan
kepiting) dan ini akan meningkatkan pendapatan masyarakat petani ikan; (iii).
Mencegah erosi pantai dan intrusi air laut ke darat sehingga pemukiman dan
sumber air tawar dapat dipertahankan; (iv). Terciptanya sabuk hijau di pesisir
(coastal green belt) serta ikut mendukung program mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim global karena mangrove akan mengikat (sequester) CO2 dari
atmosfer dan melindungi kawasan pemukiman dari kecenderungan naiknya muka
air laut; (v). Mangrove akan mengurangi dampak bencana alam, seperti badai dan
gelombang air pasang, sehingga kegiatan berusaha dan lokasi pemukiman di
sekitarnya dapat diselamatkan.
Kerapatan individu, luas bidang dasar, dan volume berbanding lurus dengan
biomassa. Artinya semakin besar nilai kerapatan individu, luas bidang dasar, dan

21
volume tegakan mangrove maka nilai biomassanya pun semakin besar. Konversi
lahan mangrove menjadi lahan tambak sangat besar pengaruhnya terhadap
biomassa. Nilai total biomassa untuk model silvofisheri dari ketiga site penelitian
selalu lebih rendah dari model penanaman hutan alami dan hutan tanaman.
Biomassa merupakan ukuran yang berguna dan mudah diperoleh, tetapi
tidak memberikan petunjuk mengenai dinamika suatu ekosistem. Menurut
Whitten et al. (1987b) biomassa merupakan istilah untuk bobot bahan hidup,
biasanya dinyatakan sebagai bobot kering, untuk seluruh atau sebagian tubuh
organisme, populasi atau komunitas. Ahli-ahli ekologi tertarik kepada
produktivitas, karena bila bobot kering suatu komunitas dapat ditentukan pada
waktu yang diberikan dan laju perubahan bobot kering dapat diukur, data itu dapat
diubah menjadi perpindahan energi melalui suatu ekosistem. Dengan
menggunakan informasi ini, ekosistem yang berbeda-beda dapat dibandingkan,
dan efisiensi nisbi untuk perubahan penyinaran matahari menjadi bahan organik
dapat dihitung (Whitten et al. 1987c).
Beberapa penelitian telah dilakukan di semenanjung Malaya yang
memperkirakan biomassa pohon˗pohon dalam suatu hutan mangrove adalah
antara 122 sampai 245 ton/ha. Dalam hutan mangrove lain di Malaya, yang
dieksploitasi dan dikelola untuk kayu papan atas dasar swasembada selama
delapan tahun, biomassa pohon˗pohon mangrove adalah 300 ton/ha (Ong et al.
1980 dalam Whitten et al. 1987d).
Zona sabuk hijau meliputi model hutan tanaman ataupun hutan alami
sedangkan zona silvofisheri meliputi model empang parit terbuka, komplangan,
dan kao-kao. Potensi biomassa pada zona sabuk hijau di site Pemalang untuk
strata pancang dan pohon sebesar 57.38%, sedangkan zona silvofisheri sebesar
42.62%. Besaran potensi biomassa dipengaruhi oleh kerapatan individu dan
luasan areal penggunaan lahan. Kerapatan individu pada lokasi penelitian ini
sangat rapat yaitu sebesar 6125 ind/ha untuk model sabuk hijau dan untuk model
silvofisheri sebesar 3922 ind/ha. Hal ini disebabkan oleh vegetasi mangrove disini
hampir semuanya merupakan hasil reboisasi yang ditanam hampir merata di
lokasi penelitian. Luasan penggunaan lahan untuk sabuk hijau sebes