Materi Pasca Sertifikasi Kompetensi Kepribadian Guru

(1)

Kompetensi Kepribadian Guru

1

Oleh Nugroho

2

a. Pengantar

Rendahnya daya saing sumberdaya manusia Indonesia, mengilhami pemerintah untuk melakukan reformasi di bidang pendidikan. Sebab, sebagaimana diyakini dalam teori human investment dikatakan bahwa kualitas pendidikan berpengaruh terhadap produktivitas dan kesejahteraan masyarakat suatu negara. Hal ini terbukti di negara-negara OECD bahwa lama seseorang menempuh pendidikan berkorelasi positif dengan tingkat kesejahteraan yang dapat dicapai. Di Indonesia yang terjadi adalah sebuah anomaly, karena semakin lama seseorang menempuh pendidikan, maka peluangnya untuk menjadi pengangguran terdidik semakin tinggi.

Atas realitas itu pertanyaannya adalah : ada apa dengan pendidikan kita? Pendidikan mahal namun tidak memberi kontribusi yang nyata terhadap kesejahteraan rakyatnya. Berbagai studi awal yang dilakukan oleh Balitbang Depdiknas sampai pada simpulan perlunya reformasi pendidikan yang dimulai dengan diterbitkannya sejumlah peraturan perundang-undangan antara lain UU Sisdiknas, serta UU Guru dan Dosen; dari kedua regulasi tersebut diturunkan sejumlah PP (Peraturan Pemerintah) dan Permen.

Kajian-kajian tentang mutu pendidikan mengindikasikan bahwa salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di negeri ini adalah

1 Naskah disajikan dalam forum Teaching Clinic Guru Pascasertifikasi Dinas Pendidikan Propinsi Jateng tgl 15 – 22 - 2010


(2)

rendahnya kinerja guru. Bahkan hasil kajian LPMP Jateng terhadap guru pasca sertifikasi ternyata menunjukkan bahwa tidak ada bedanya kinerja guru sertifikasi dengan guru yang belum sertifikasi. Kondisi ini jelas kurang menguntungkan bagi dunia pendidikan itu sendiri dan lebih luas lagi jelas tidak menguntungkan bagi masa depan bangsa. Padahal untuk meningkatkan kinerja guru sudah dilakukan berbagai langkah peningkatan kualifikasi, kompetensi dan peningkatan kesejahteraan guru melalui tunjangan profesi. Pemerintah bermaksud meningkatkan kompetensi guru dengan menerbitkan Permendiknas No 16 Tahun 2007 tentang Standar Kompetensi Guru.

Guru merupakan komponen penting dalam keseleruhan system pendidikan karena guru ada orang yang pertama dan utama bersinggungan langsung dengan peserta didik. Oleh karena itu tidak berlebihan jika kualitas guru memberikan kontribusi yang sangat signifikan bagi terwujudnya pendidikan yang berkualitas.

Berbagai upaya peningkatan mutu guru sampai saat ini memang belum memberikan hasil yang memuaskan. Namun hal itu tidak menjadi alasan itu lelah, putus asa atau berhenti mencari strategi baru. Kondisi ni membutuhkan usaha yang konsisten dengan komitmen yang tinggi dari semua pihak. Guru gharus memiliki kesadaran bahwa hanya mereka sendiri yang bisa merubah kepribadiannnya menjadi lebih professional, bukan orang lain.

b. Mengapa Guru Harus Bermutu

Dari semua jenis tenaga kependidikan, gurulah yang memiliki peranan yang sangat strategis dan menentukan keberhasilan


(3)

pakar, berikut: (1) Heyneman Oxley, 1983 (dalam Dedi Supriadi 1998 : 178) yang dilakukan di 29 negara (16 negara sedang berkembang dan 13 negara industri), menemukan bahwa mutu pendidikan yang dinilai dari prestasi belajar siswa sangat ditentukan oleh guru, yaitu 34 % pada negara sedang berkembang dan 36 % pada negara industri. (2) Cheng dan Wong, 1996, melaporkan hasil penelitiannya di Zhejiang, Cina, bahwa ada empat karakteristik sekolah dasar yang unggul (berprestasi), yaitu : (1) adanya dukungan pendidikan yang konsisten dari masyarakat, (2) tingginya derajat profesionalisme di kalangan guru, (3) adanya tradisi jaminan kualitas (quality ensurance) dari sekolah, dan (4) adanya harapan yang tinggi dari siswa untuk berprestasi.(3) Jalal dan Mustafa, 2001, menyimpulkan bahwa komponen guru sangat mempengaruhi kualitas pengajaran melalui: (1) penyediaan waktu lebih banyak pada siswa, (2) interaksi yang lebih sering bagi siswa, (3) tingginya tanggung jawab mengajar dari guru. Karena itu, sekolah menjadi baik atau tidak baik sangat tergantung pada peran dan fungsi guru.

Di samping hasil penelitian tersebut di atas, didukung pula oleh pendapat berbagai pakar antara sebagai berikut : (a) Murphy, (1992) menyatakan bahwa keberhasilan dalam pembaharuan sekolah sangat ditentukan oleh gurunya, karena guru adalah pemimpin pembelajaran, tidak hanya sekadar fasilitator, sekaligus merupakan pusat inisiatif pembelajaran. Karena itu guru harus senantiasa mengembangkan diri secara mandiri dan tidak tergantung pada inisiatif kepala sekolah dan supervisor. (b) Ronald Brand dalam Educational Leadership (1993) menyatakan bahwa “Hampir semua usaha reformasi dalam pendidikan seperti pembaharuan kurikulum dan penerapan


(4)

metode mengajar baru, akhirnya semua tergantung kepada guru. Tanpa penguasaan bahan pelajaran dan strategi belajar-mengajar, dan tanpa dapat mendorong siswanya untuk belajar bersungguh-sungguh, maka segala upaya peningkatan mutu pendidikan tidak akan mencapai hasil yang maksimal.

Sertifikasi kompetensi melalui pendidikan profesi guru sebagai upaya penjamin mutu pendidik dan tenaga kependidikan di Indonesia mempunyai arti strategis dan mendasar dalam upaya peningkatan mutu guru. Sertifikasi merupakan jawaban terhadap adanya kebutuhan untuk meningkatkan kompetensi profesional guru. Oleh karena itu proses sertifikasi kompetensi dipandang sebagai bagian esensial dalam memperoleh sertifikat kompetensi yang diperlukan.

c. Guruku Sayang, Guruku Malang

Di tengah gencarnya tuntutan profesionalisme guru, ternyata yang terjadi justru sebaliknya guru terjerembab dalam kubangan perilaku yang nista (tidak semuanya tentu, tapi fenomena ini cukup mencemaskan kalaupun tidak boleh dibilang menyedihkan). Ketika pemerintah meluncurkan program sertfikasi sebagai langkah untuk mengakui profesi guru; ternyata yang dilakukan oleh para guru adalah berbagai tindak kriminal yang tidak pantas dilakukan oleh guru. Hal itu bisa kita simak dari hasil monitoring Tim Independen Program Sertifikasi yaitu:

a. Ada 87% kejanggalan yang terkait dengan dokumen porto folio yang diajukan para guru.

b. Ada kecenderungan melakukan penyuapan dan pemalsuan dokumen


(5)

c. Dalam hal pemalsuan dokumen tersebut ditemukan hal-hal sebagai berikut:

 Pemalsuan tanda tangan 13 %

 Pemalsuan tanggal pelaksanaan kegiatan 22 %

 Pemalsuan nama sebesar 31 %

 Pemalsuan lain-lain 34 %

Jika kita cermati realitas tersebut sejatinya akan kita temukan protret buram guru negeri ini. Guru telah mengkhianati profesinya dan juga mengkhianati masyarakat yang mempercayainya. Guru hari tidak mampu mengimbangi kemajuan regulasi yang diciptakan oleh pemerintah yang sebagian besar juga merupakan respon atas tuntutan para guru sendiri (kaji ulang tayangan TV tentang Demo PGRI dalam menuntut disahkannya UUGD) dan juga tuntutan masyarakat terhadap mutu pendidikan. Pada konteks inilah kita layak mempertanyakan etos kerja guru dalam mewujudkan guru sebagai profesi.

Jika benar tugas guru adalah mencerdaskan anak bangsa dan menjadi teladan bagi anak didiknya, apakah perilaku kriminal semacam itu memang pantas dilakukan ? Pada perspektif ini kita layak mempertanyakan derajat kompetensi kepribadian guru. Berbagai tindak kriminal para guru untuk sekedar mengejar tunjangan professi sepertinya masih akan berlanjut hal itu bisa dilihat dari kian maraknya pemalsuan dokumen PAK (Penilaian Angka Kredit) guru di berbagai kabupaten.

Bicara tentang etos kerja guru, kita juga bisa menyimak hasil temuan lebih lanjut yang menunjukkan bahwa dokumen porto folio yang sulit dipenuhi oleh guru adalah:


(6)

 Keikutsertaan Dalam Forum Ilmiah 20%

 Penghargaan Yang Relevan Dengan Bidang Pendidikan 31% Fakta ini memberikan penjelasan pada kita bahwa selama ini memang etos kerja guru masih jauh dari kesan profesional. Bahkan bisa dikatakan bahwa guru tidak secara gigih memberdayakan dirinya untuk mampu tampil sebagai orang profesional. Hal ini tidak ada yang bisa merubahnya kecuali niat baik dan ketulusan para guru sendiri. Sebab apapun aturannya bagaimanapun prosedurnya jika guru tidak memiliki kesadaran kritis untuk berlaku jujur, bertanggung jawab dan profesional maka harapan tentang peningkatan mutu guru dan mutu pendidikan hanyalah impian belaka.

d.Kompetensi Kepribadian

Sadar tentang rendahnya kualitas kepribadian guru, maka pemerintah melalui Permendiknas No 16 Tahun 2007 ini secara eksplisit menegaskan sejumlah standar kompetensi yang harus dimiliki oleh guru, termasuk kompetensi kepribadian. Dalam Permendiknas No 16 Tahun 2007 ada lima (5) dimensi kepribadian yang harus dimiliki seorang guru yakni sebagai berikut:

No Dimensi Indikator

1. Bertindak sesuai dengan norma

agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia.

Menghargai peserta didik tanpa membedakan keyakinan yang dianut, suku, adat-istiadat, daerah asal, dan gender.

Bersikap sesuai dengan norma agama yang dianut, hukum dan norma sosial yang berlaku dalam masyarakat, serta kebudayaan


(7)

2. Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat.

Berperilaku jujur, tegas, dan manusiawi. Berperilaku yang mencerminkan ketakwaan, dan akhlak mulia.

Berperilaku yang dapat diteladani oleh peserta didik dan anggota masyarakat di sekitarnya.

3. Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa.

Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap dan stabil.

Menampilkan diri sebagai pribadi yang dewasa, arif, dan berwibawa.

4. Menunjukkan etos kerja, tanggungjawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri.

Menunjukkan etos kerja dan tanggung jawab yang tinggi.

Bangga menjadi guru dan percaya pada diri sendiri.

Bekerja mandiri secara profesional. Menjunjung tinggi kode etik profesi guru.

5. Menjunjung tinggi kode etik Guru

Memahami kode etik profesi guru. Menerapkan kode etik profesi guru. Berperilaku sesuai dengan kode etik guru.

Rumusan dalam dimensi dan indicator kompetensi kepribadian yang harus dimiliki guru sudah cukup jelas; yang menarik untuk


(8)

dicermati adalah mengapa sampai lahir rumusan kompetensi kepribadian semacam itu.

Ada sejumlah fakta empiris yang menjadi tilikan rendahnya “ketaqwaan” guru yang itu membawa implikasi pada kesalahan-kesalahan dalam memperlakukan atau mendidik. Contoh; guru sering mengeluh bahwa sekolahnya adalah sekolah pinggiran sehingga inputnya buruk. Oleh karenanya sulit untuk mencapai prestasi. Pernyataan seperti itu jelas menunjukkan rendahnya keimanan seorang guru yang “menilai” murid sebagai ciptaan Tuhan sebagai individu yang buruk. Padahal semua agama mengajarkan bahwa manusia sebagai ciptaan Tuhan adalah makhluk yang sempurna. Stigma negative yang dilekatkan guru kepada muridnya jelas suatu hal yang salah! dan tidak boleh terjadi. Guru lah yang semestinya lebih cermat menemukan potensi siswa dan memfasilitasi agar potensinya berkembang optimal. Sebagaimana tertuang dalam teori multiple intelligence yang disampaikan Gardner bahwa semua anak adalah jenius di bidangnya masing-masing. Hal ini menguatkan pendapat kalangan pendidik humanis yang meyakini setiap anak punya potensi hebat, tergantung bagaimana guru mengelobarasi dan membantu perkembangannya. Celakanya yang terjadi justru guru sering “menyalahkan” murid tanpa ada usaha yang riil bagaimana menjadikan murid lebih hebat. Hal lain yang juga bisa menjadi tilikan rendahnya ketaqwaan guru adalah perlakukan diskriminatif terhadap murid-murid nya.

Salah satu titik lemah kepribadian guru saat ini adalah kurangnya keberanian guru untuk bertindak jujur, berakhlak mulia dan bisa diteladani murid-muridnya serta masyarakat sekitar. Tengok saja maraknya sejumlah pemalsuan dokumen portofolio, PAK, mark up nilai demi kelulusan siswa (meski atas restu Kasek dan Kadis) jelas hal itu bukanlah cerminan kejujuran, ketaqwaan yang pantas diteladani!


(9)

Stabilitas emosi dan kedewasaan kepribadian adalah juga problem yang harus diatasi para guru. Fenomena saat ini menunjukkan guru belum sepenuhnya mampu menampilkan diri sebagai pribadi yang otonom dan stabil emosnya. Buktinya, guru masih mudah dipengaruhi, diprovokasi, diintimidasi untuk melakukan berbagai demo mensukseskan berbagai agenda politik seperti pemilihan DPD, Pilkada, demo pembubaran Dirjen PMPTK. Guru masih sering merasa takut dan terancam atas kondisi politik yang menyeret mereka sebagai basis kekuatan massa padahal hal itu tidak ada hubungannnya dengan kinerja professional. Jika guru memiliki kedewasaan dan stabilitas emosi maka mereka mestinya berani menolak bahkan melawan. Guru hanya boleh takut kepada Tuhan dan UU yang mengatur perilaku guru, bukan kepada pihak lain. Guru harus belajar mengembangkan diri mencapai kedewasaan kepribadian yang mantap. Guru harus lebih banyak belajar untuk menjadi pribadi yang dewasa dan otonom, sehingga tidak perlu lagi bekerja bergantung pada Juklak dan Juknis, ancaman dan himbauan dari atasan. Idealnya guru harus mampu mengelola perubahan diri sendiri atas dasar kesadaran kritis demi tercapainya kinerja professional dalam derajat yang optimal.

Wilayah lain yang harus diperbaiki di kalangan guru adalah etos kerja, kebanggan terhadp profesi dan tanggungjawab profesi. Harus jujur diakui bahwa saat ini ada 2.7 juta orang menyandarkan hidupnya pada profesi guru, namun sangat sedikit dari jumlah itu yang secara sadar dan bertanggungjawab berbuat sesuatu untuk “menghidupi” dan “menghidupkan” profesi guru. Seringkali mereka masih mengaku ‘terpaksa” menjadi guru dan tidak bangga menjadi guru. Kondisi kepribadian ini berdampak pada lemahnya etos kerja, rasa percaya diri yang dalam prakteknya potensial menumbuhkan sikap pesimistis yang melahirkan kinerja rendah, kinerja asal-asalan yang jauh dari citra sebagi pribadi yang punya tanggungjawab tinggi terhadap profesi.


(10)

Tengok saja, malasnya para guru menyiapkan perangkat pembelajaran, suka datang ke sekolah terlambat dan pulang lebiih awal, tidak mengoreksi pekerjaan siswa dengan cermat dan adil, malas membuat RPP (RPP copy paste), adalah contoh buruknya tanggungjawab, etos kerja dan kebanggan terhadap profesi.

Etika profesi adalah juga wilayah yang tidak banyak dihidupi para guru. kemalasan untuk membaca, kemalasan untuk terus belajar guna menemukan metode kerja yang lebih maju, lebih sesuai dengan tentang etos kerja. Guru ternyata bukanlah pribadi yang rajin belajar sebagaimana mereka sering menganjurkan dan menuntut muridnya untuk rajin belajar. Self efficacy yang dimiliki guru umumnya rendah sehingga mereka tidak termotivasi untuk mencari strategi baru dalam menjalankan tanggungjawab profesionalnya.

e.Strategi Peningkatan Kompetensi Kepribadian

Mencermati berbagai titik lemah kompetensi kepribadian guru seperti di atas maka berikut diajukan – diatawarkan sejumlah solusi, seperti:

 Menjalankan perintah agama secara lebih kontekstual (bukan sebatas ritual tekstual). Intinya kerja dalam profesi guru hendaknya diletakkan dalam kerangka ibadah sehingga harus tulus dan sungguh-sungguh. memahami bahwa murid adalah ciptaan Alloh – Tuhan, maka dia (murid) sempurna adanya sehingga tidak boleh dikambinghitamkan dan dijadikan alasan atas rendahnya prestasi sekolah.

 Membentuk komunitas belajar seperti misal MGMP dan forum


(11)

untuk bisa menjadi tempat – wadah meningkatkan kemampuan profesional guru dan menghidupi profesi guru.

 Membentuk diri menjadi manusia pembelajar yang secara terbuka sanggup ”berburu” ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengembangkan kemampuan dan keahlian diri sebagaimana layaknya orang profesional.

 Mampu mengelola waktu dan memanfaatkan waktu luang untuk

berkomunikasi dengan orang-orang yang sigfikan di bidangnya, meningkatkan produktivitas kepenulisan atau inovasi model-modelpembelajaran sehingga memberi nilai tambah terhadap derajad profesional guru

 Guru harus berlatih untuk tidak terlalu berorientasi pada

petunjuk atasan dan kebiasaan lingkungan sehingga bebas berkreasi untuk menemukan aktualisasi diri optimal sebagai orang profesional.

 Secara mandiri atau bersama-sama, guru harus sering membedah secara kritis berbagai regulasi dan peraturan pemerintah yang menjadi sumber rujukan perilaku profesional di bidangnya.

Sejumlah strategi diatas masih bisa diperkaya dan diperluas sesuai dengan konteks sosio-kultural yang melingkupi guru di masing-masing wilayah.

f. Penutup

Negeri ini mendambakan sosok guru prefesional yang memiliki kepribadian matang. untuk itu pemerintah sudah memberikan semua hal yang menjadi hak guru. Rakyat negeri ini sudah merelakan


(12)

sebagian besar pajak yang dibayarkandigunakan untuk meningkatkan kesejahteraan guru, tentu saja wajar jika kini yang dituntut adalah kinerja profesional guru.

Sekarang berpulang kepada kearifan para guru akankah mereka mengkhianati amanat rakyat dan bekerja ala kadarnya seperti sekarang ini, ataukah sanggup menorehkan sejarah baru mewarnai makna profesionalisme guru. Berbagai pelatihan, workshop dan seminar yang diikuti mestinya benar-benar diniatkan unutk mengembangkan diri; bukan sekedaar memenuhi syarat untuk mengumpulkan kredit point kenaikan pangkat.

Di tengah persaingan global, pemerintah berusaha keras meningkatkan mutu dan daya saing yang kunci keberhasilannnya adalah kinerja profesional guru. Tanpa guru-guru yang profesional, upaya peningkatan mutu dan daya saing hanyalah omong kosong belaka.


(1)

2. Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat.

Berperilaku jujur, tegas, dan manusiawi. Berperilaku yang mencerminkan ketakwaan, dan akhlak mulia.

Berperilaku yang dapat diteladani oleh peserta didik dan anggota masyarakat di sekitarnya.

3. Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa.

Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap dan stabil.

Menampilkan diri sebagai pribadi yang dewasa, arif, dan berwibawa.

4. Menunjukkan etos kerja, tanggungjawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri.

Menunjukkan etos kerja dan tanggung jawab yang tinggi.

Bangga menjadi guru dan percaya pada diri sendiri.

Bekerja mandiri secara profesional. Menjunjung tinggi kode etik profesi guru.

5. Menjunjung tinggi kode etik Guru

Memahami kode etik profesi guru. Menerapkan kode etik profesi guru. Berperilaku sesuai dengan kode etik guru.

Rumusan dalam dimensi dan indicator kompetensi kepribadian yang harus dimiliki guru sudah cukup jelas; yang menarik untuk


(2)

dicermati adalah mengapa sampai lahir rumusan kompetensi kepribadian semacam itu.

Ada sejumlah fakta empiris yang menjadi tilikan rendahnya “ketaqwaan” guru yang itu membawa implikasi pada kesalahan-kesalahan dalam memperlakukan atau mendidik. Contoh; guru sering mengeluh bahwa sekolahnya adalah sekolah pinggiran sehingga inputnya buruk. Oleh karenanya sulit untuk mencapai prestasi. Pernyataan seperti itu jelas menunjukkan rendahnya keimanan seorang guru yang “menilai” murid sebagai ciptaan Tuhan sebagai individu yang buruk. Padahal semua agama mengajarkan bahwa manusia sebagai ciptaan Tuhan adalah makhluk yang sempurna. Stigma negative yang dilekatkan guru kepada muridnya jelas suatu hal yang salah! dan tidak boleh terjadi. Guru lah yang semestinya lebih cermat menemukan potensi siswa dan memfasilitasi agar potensinya berkembang optimal. Sebagaimana tertuang dalam teori multiple intelligence yang disampaikan Gardner bahwa semua anak adalah jenius di bidangnya masing-masing. Hal ini menguatkan pendapat kalangan pendidik humanis yang meyakini setiap anak punya potensi hebat, tergantung bagaimana guru mengelobarasi dan membantu perkembangannya. Celakanya yang terjadi justru guru sering “menyalahkan” murid tanpa ada usaha yang riil bagaimana menjadikan murid lebih hebat. Hal lain yang juga bisa menjadi tilikan rendahnya ketaqwaan guru adalah perlakukan diskriminatif terhadap murid-murid nya.

Salah satu titik lemah kepribadian guru saat ini adalah kurangnya keberanian guru untuk bertindak jujur, berakhlak mulia dan bisa diteladani murid-muridnya serta masyarakat sekitar. Tengok saja maraknya sejumlah pemalsuan dokumen portofolio, PAK, mark up nilai demi kelulusan siswa (meski atas restu Kasek dan Kadis) jelas hal itu bukanlah cerminan kejujuran, ketaqwaan yang pantas diteladani!


(3)

Stabilitas emosi dan kedewasaan kepribadian adalah juga problem yang harus diatasi para guru. Fenomena saat ini menunjukkan guru belum sepenuhnya mampu menampilkan diri sebagai pribadi yang otonom dan stabil emosnya. Buktinya, guru masih mudah dipengaruhi, diprovokasi, diintimidasi untuk melakukan berbagai demo mensukseskan berbagai agenda politik seperti pemilihan DPD, Pilkada, demo pembubaran Dirjen PMPTK. Guru masih sering merasa takut dan terancam atas kondisi politik yang menyeret mereka sebagai basis kekuatan massa padahal hal itu tidak ada hubungannnya dengan kinerja professional. Jika guru memiliki kedewasaan dan stabilitas emosi maka mereka mestinya berani menolak bahkan melawan. Guru hanya boleh takut kepada Tuhan dan UU yang mengatur perilaku guru, bukan kepada pihak lain. Guru harus belajar mengembangkan diri mencapai kedewasaan kepribadian yang mantap. Guru harus lebih banyak belajar untuk menjadi pribadi yang dewasa dan otonom, sehingga tidak perlu lagi bekerja bergantung pada Juklak dan Juknis, ancaman dan himbauan dari atasan. Idealnya guru harus mampu mengelola perubahan diri sendiri atas dasar kesadaran kritis demi tercapainya kinerja professional dalam derajat yang optimal.

Wilayah lain yang harus diperbaiki di kalangan guru adalah etos kerja, kebanggan terhadp profesi dan tanggungjawab profesi. Harus jujur diakui bahwa saat ini ada 2.7 juta orang menyandarkan hidupnya pada profesi guru, namun sangat sedikit dari jumlah itu yang secara sadar dan bertanggungjawab berbuat sesuatu untuk “menghidupi” dan “menghidupkan” profesi guru. Seringkali mereka masih mengaku ‘terpaksa” menjadi guru dan tidak bangga menjadi guru. Kondisi kepribadian ini berdampak pada lemahnya etos kerja, rasa percaya diri yang dalam prakteknya potensial menumbuhkan sikap pesimistis yang melahirkan kinerja rendah, kinerja asal-asalan yang jauh dari citra sebagi pribadi yang punya tanggungjawab tinggi terhadap profesi.


(4)

Tengok saja, malasnya para guru menyiapkan perangkat pembelajaran, suka datang ke sekolah terlambat dan pulang lebiih awal, tidak mengoreksi pekerjaan siswa dengan cermat dan adil, malas membuat RPP (RPP copy paste), adalah contoh buruknya tanggungjawab, etos kerja dan kebanggan terhadap profesi.

Etika profesi adalah juga wilayah yang tidak banyak dihidupi para guru. kemalasan untuk membaca, kemalasan untuk terus belajar guna menemukan metode kerja yang lebih maju, lebih sesuai dengan tentang etos kerja. Guru ternyata bukanlah pribadi yang rajin belajar sebagaimana mereka sering menganjurkan dan menuntut muridnya untuk rajin belajar. Self efficacy yang dimiliki guru umumnya rendah sehingga mereka tidak termotivasi untuk mencari strategi baru dalam menjalankan tanggungjawab profesionalnya.

e.Strategi Peningkatan Kompetensi Kepribadian

Mencermati berbagai titik lemah kompetensi kepribadian guru seperti di atas maka berikut diajukan – diatawarkan sejumlah solusi, seperti:

 Menjalankan perintah agama secara lebih kontekstual (bukan sebatas ritual tekstual). Intinya kerja dalam profesi guru hendaknya diletakkan dalam kerangka ibadah sehingga harus tulus dan sungguh-sungguh. memahami bahwa murid adalah ciptaan Alloh – Tuhan, maka dia (murid) sempurna adanya sehingga tidak boleh dikambinghitamkan dan dijadikan alasan atas rendahnya prestasi sekolah.

 Membentuk komunitas belajar seperti misal MGMP dan forum


(5)

untuk bisa menjadi tempat – wadah meningkatkan kemampuan profesional guru dan menghidupi profesi guru.

 Membentuk diri menjadi manusia pembelajar yang secara terbuka sanggup ”berburu” ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengembangkan kemampuan dan keahlian diri sebagaimana layaknya orang profesional.

 Mampu mengelola waktu dan memanfaatkan waktu luang untuk

berkomunikasi dengan orang-orang yang sigfikan di bidangnya, meningkatkan produktivitas kepenulisan atau inovasi model-modelpembelajaran sehingga memberi nilai tambah terhadap derajad profesional guru

 Guru harus berlatih untuk tidak terlalu berorientasi pada

petunjuk atasan dan kebiasaan lingkungan sehingga bebas berkreasi untuk menemukan aktualisasi diri optimal sebagai orang profesional.

 Secara mandiri atau bersama-sama, guru harus sering membedah secara kritis berbagai regulasi dan peraturan pemerintah yang menjadi sumber rujukan perilaku profesional di bidangnya.

Sejumlah strategi diatas masih bisa diperkaya dan diperluas sesuai dengan konteks sosio-kultural yang melingkupi guru di masing-masing wilayah.

f. Penutup

Negeri ini mendambakan sosok guru prefesional yang memiliki kepribadian matang. untuk itu pemerintah sudah memberikan semua hal yang menjadi hak guru. Rakyat negeri ini sudah merelakan


(6)

sebagian besar pajak yang dibayarkandigunakan untuk meningkatkan kesejahteraan guru, tentu saja wajar jika kini yang dituntut adalah kinerja profesional guru.

Sekarang berpulang kepada kearifan para guru akankah mereka mengkhianati amanat rakyat dan bekerja ala kadarnya seperti sekarang ini, ataukah sanggup menorehkan sejarah baru mewarnai makna profesionalisme guru. Berbagai pelatihan, workshop dan seminar yang diikuti mestinya benar-benar diniatkan unutk mengembangkan diri; bukan sekedaar memenuhi syarat untuk mengumpulkan kredit point kenaikan pangkat.

Di tengah persaingan global, pemerintah berusaha keras meningkatkan mutu dan daya saing yang kunci keberhasilannnya adalah kinerja profesional guru. Tanpa guru-guru yang profesional, upaya peningkatan mutu dan daya saing hanyalah omong kosong belaka.