Pengembangan Peternakan Sapi Perah dan Perubahan Struktur Sosial di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung

PENGEMBANGAN PETERNAKAN SAPI PERAH DAN
PERUBAHAN STRUKTUR SOSIAL
DI KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG

MOCHAMAD ALI MAULUDIN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengembangan
Peternakan Sapi Perah dan Perubahan Struktur Sosial di Kecamatan Pangalengan
Kabupaten Bandung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2014

Mochamad Ali Mauludin
NIM I353100071

RINGKASAN
MOCHAMAD ALI MAULUDIN. Pengembangan Peternakan Sapi Perah dan
Perubahan Struktur Sosial di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung
Dibimbing oleh Djuara P. Lubis dan Winati Wigna.
Penelitian tentang Pengembangan Peternakan Sapi Perah dan Perubahan
Struktur Sosial di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung ini mengkaji
permasalahan mengapa dan bagaimana peternak sapi perah di Pangalengan masih
tetap bertahan hingga sekarang, selain itu bagaimana penetrasi modernisasi
peternakan di Pangalengan berdampak pada perubahan struktur komunitas
peternak sapi perah. Adapun tujuan dari penelitian ini antara lain : 1)
Menganalisis perubahan moda produksi yang terjadi pada komunitas peternak
sapi dalam pengembangan peternakan sapi perah dari masa ke masa dan formasi
sosial yang terbentuk setelah terjadi penetrasi modernisasi peternakan sapi perah

di Pangalengan, 2) Menganalisis dampak pengembangan peternakan sapi perah
melalui modernisasi peternakan terhadap struktur komunitas peternak sapi perah
di Pangalengan, dan 3) Menganalisis perubahan moda produksi berdampak pada
keberlangsungan usaha peternakan sapi perah dengan skala kecil
Penelitian ini didasarkan pada paradigma kritis dan menggunakan metode
kualitatif. Dengan demikian untuk pengumpulan data melalui indepth interview,
studi arsip, dokumen, dan studi pustaka, sedang analisinya digunakan model
analisis interaktif. Dalam upaya memperoleh validitas data yang sebenarnya dapat
diyakini, keabsahan data diuji melalui teknik triangulation data dan metode.
Hasil penelitian menunjukan, bahwa pada pengembangan peternakan sapi
perah di Pangalengan mengalami perjalanan panjang atau periodisasi dimulai
pada masa kolonial Belanda hingga sekarang. Periodisasi tersebut antara lain : 1)
periode penjajahan (sebelum tahun 1945), 2) periode perintis (tahun 1945 sampai
1975), dan 3) periode Kontemporer (tahun 1975 sampai sekarang). Periodisasi
pengembangan peternakan sapi perah mengakibatkan perubahan moda produksi.
Perubahan moda produksi pada usaha peternakan sapi perah berupa peralihan alatalat produksi, cara-cara produksi, dan pola-pola hubungan produksi dari cara-cara
produksi tradisonal ke cara produksi yang lebih modern. Hasil studi
mengungkapkan bahwa perubahan moda produksi (kekuatan produksi dan
hubungan produksi) yang diartikulasikan peternakan sapi perah berdampak pada
perubahan struktur komunitas peternak sapi perah. Periodisasi dalam

pengembangan peternakan sapi perah mengungkapkan bahwa setiap periode akan
membentuk formasi sosial.
Formasi sosial capitalist terjadi pada periode penjajahan (sebelum tahun
1945) dan pada periode perintis (tahun 1945 sampai1975) terbentuk formasi sosial
semi-petty commodity serta yang terjadi pada periode kontemporer (tahun 1975
sampai sekarang) terbentuk formasi sosial petty commodity. Moda produksi yang
dominan di antara moda produksi yang lain memberikan gambaran dalam suatu
komunitas peternak sapi perah pada periode tertentu. Dominasi moda produksi
capitalist pada periode penjajahan menghasilkan akumulasi modal, polarisasi
peguasaan lahan dan ternak, sedangkan dominasi moda produksi semi-petty
commodity pada periode perintis mengungkapkan bahwa pasar yang dibentuk oleh
kolektor (pengumpul susu) dan kelembagan lokal adalah pasar persaingan

sempurna yaitu hanya komoditi produksi susu, sedangkan periode kontemporer
dominasi moda produksi petty commodity membentuk peternakan sapi perah
terbagi dalam stratifikasi peternak yaitu peternak kelas atas, peternak kelas
menengah, dan peternak kelas bawah. Tipe ekonomi yang berkembang adalah
peternak sapi perah sebagai penjual dan koperasi peternakan adalah sebagai
pembeli.
Perubahan struktur komunitas peternak sapi perah terjadi setelah adanya

penetrasi modernisasi peternakan di Pangalengan. Perspektif penetrasi
modernisasi adalah kebijakan pemerintah mengenai pembangunan di berbagai
sektor peternakan, pendirian industri pengolahan susu, dan melalui koperasi
(agent of change) yaitu adopsi inovasi teknologi dalam produksi usaha peternakan
sapi perah. Hasil penelitian menunjukan adanya perubahan struktur komunitas
dengan melihat sebelum dan sesudah penetrasi modernisasi peternakan antara lain
pembagian kelas lebih menyebar sehingga terbentuk peternak kelas atas, peternak
kelas menengah, dan peternak kelas bawah. Selanjutnya buruh ternak terbagi
dalam buruh lepas (tidak menginap) dan buruh tetap (menginap di rumah
peternak), selanjutnya perubahan hubungan sosial terjadi antara peternak dengan
peternak, peternak dengan institusi. Dengan perubahan struktur komunitas
tersebut mengakibatkan kemunculan struktur pekerjaan baru antara lain penyedian
pakan ternak baik konsentrat maupun hijauan di luar dari koperasi dan
dibangunnya home industry dalam pengolahan susu.
Kata kunci: Fomasi Sosial, Moda Produksi, Pengembangan Peternakan Sapi
Perah, Struktur Sosial.

SUMMARY
MOCHAMAD ALI MAULUDIN. Development of Dairy Farming and the
Change of Social Structure in Pangalengan Sub-District, Bandung Regency

Supervised by Djuara P. Lubis and Winati Wigna.
Research on Development of Dairy Farming and the Change of Social
Structure in Pangalengan Sub-District, Bandung Regency studied the questions of
why and how dairy farmers in Pangalengan keep surviving until recently,
meanwhile it also studied how modernization penetration of animal husbandry in
Pangalengan has given impact on structural change of dairy farmer community.
The aims of this research were: 1) to analyze mode of productions changes
occured on dairy farmer community in the dairy farming devlopment from time to
time and social formation formed in the post-modernization penetration of dairy
farming in Pangalengan, 2) to analyze the impact of dairy farming development
through animal husbandry modernization on the structure of dairy farmer
community in Pangalengan, and 3) to analyze whether the changes of mode of
productions have impact on small-scale dairy farming sustainability.
This research was based on critical paradigm that methodologically
implied on the use of qualitative method. Thus, data gathering was conducted
through indepth inteview, archives, documentary and bibliographic studies, and
the analysis used interactive analysis model. In the efforts of finding data validity
which was truly reliable, data validity were tested through triangultion techniques
on data and method.
The result showed that the development of dairy farming in Pangalengan

has been through long journey or can be described into periodization which has
begun in Dutch Colonialization until recently. The periodization consisted of three
parts: 1) Colonial period (before 1945), 2) Pioneering period (1945-1975, and 3)
Contemporary period (1975-now). The periodization of dairy farming
development has given impact on mode of production. Mode of production
changes on dairy farming business were on the shift of production tools,
production ways, and production patterns from traditional ways of productions to
more modern production ways. The study results revealed that mode of
production changes (production forces and production relations) which were
articulated by dairy farmer has given impact on structural changes of dairy farmer
community. Periodization in the development of dairy farming revealed that each
period would form the social formation.
Capitalist social formation took place in the Colonial period (before 1945)
and in the Pioneering period (1945-1975) a semi-petty production social
formation was formed and in the contemporary period (1975-now) petty
commodity social formation was formed. Dominant mode of production among
other mode of productions gave description in a dairy farmer community in a
particular period. The domination of Capitalist mode of production in the colonial
period created capital accumulation, polarization of land and dairy cow
ownership. Meanwhile, the domination of semi-petty commodity mode of

production in the Pioneering period revealed that market which was formed by
collectors (dairy collectors) and local institution was the perfect competition

market that was merely dairy product commodity, and in the Contemporary
period, the domination of petty commodity mode of production formed dairy
farming which was divided into farmer stratification as upper class farmer, middle
class farmer and lower class farmer. Developing economic type was dairy farmer
as seller and dairy Cooperation as buyer.
The structural changes of dairy farmer community occured after the
penetration of dairy farming modernization took place in Pangalengan. The
perspective of modernization penetration belonged to the Government Policy on
Multisectors Development of Animal Husbandry, the build of dairy
manufacturing industry and through Coopration (agent of change) that was
adoption of technological inovation in the production of dairy farming business.
The result showed there has been structural changes on community by looking at
the condition of pre and post dairy farming modernization penetration that class
division was more distributive thus formed upper class, middle class and lower
class dairy farmer. Meanwhile, the laborers was divided into loose laborers (who
did not reside in the dairy farmer‟s house) and permanent laborer (who stayed in
dairy farmer‟s house), then social relations changes took place between dairy

farmer and dairy farmer, dairy farmer and institution. By the structural changes on
community gave impact on the emergence of new occupational structures as to
provide the cattle feeding both in concentrate and green grass outside the
cooperation and the establishment of dairy manufacturing home industry.
Key words : Dairy Farming Development, Mode of Production, Social formation,
Social Structure.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGEMBANGAN PETERNAKAN SAPI PERAH DAN
PERUBAHAN STRUKTUR SOSIAL
DI KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG


MOCHAMAD ALI MAULUDIN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Rilus A. Kinseng, MA

Judul Tesis : Pengembangan Peternakan Sapi Perah dan Perubahan Struktur
Sosial di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung
Nama
: Mochamad Ali Mauludin

NIM
: I353100071

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Djuara P Lubis, MS
Ketua

Dra Winati Wigna, MDS
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Sosiologi Pedesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Arya H Dharmawan, MScAgr


Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 13 Juni 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, karena hanya dengan segala
rahmat, karunia dan ridha-Nya penulisan tesis dengan judul “ Pengembangan
Peternakan Sapi Perah dan Perubahan Struktur Sosial di Kecamatan Pangalengan
Kabupaten Bandung” yang merupakan salah satu syarat bagi penulis untuk
memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
Sekolah Pascasarjana IPB dapat penulis selesaikan pada waktunya.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada
Komisi Pembimbing Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS dan Dra Winati Wigna, MDS
atas bimbingan, masukan dan kritik yang membangun kepada penulis selama
proses pengerjaan tesis ini. Tidak lupa ucapan terima kasih penulis sampaikan
kepada Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc.Agr selaku Ketua Program Studi
Sosiologi Pedesaan, juga kepada Penguji Luar Komisi Dr. Ir. Rilus A. Kinseng,
M.A yang telah memberikan masukan dan pencerahan dalam penulisan tesis ini.
Pada kesempatan ini Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada
seluruh staf pengajar di Laboratorium Sosiologi dan Penyuluhan Peternakan
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran yang telah memberikan dukungan
moral. Teman-teman seperjuang SPD FEMA IPB 2010 yang selalu kompak dan
memberi semangat kepada penulis untuk dapat menyelesaikan tesis ini.
Tidak lupa penulis mengucapakan terima kasih kepada KPBS Pangalengan
melalui Pengurus, Manajer dan Koordinator Rayon serta Staf di bawahnya yang
telah sangat membantu penulis dalam berdiskusi dan pengumpulan data primer
maupun sekunder. Penulis tidak lupa menyampaikan ucapan terima kasih kepada
para informan dan responden di dua desa yaitu Desa Margamukti yaitu Komunitas
Peternak Sapi Perah di TPK Los Cimaung I dan II serta Desa Margamekar yaitu
Komunitas Peternak Sapi Perah di TPK Babakan Kiara dan TPK Cisangkuy yang
telah meluangkan waktunya untuk dapat berdiskusi dan menjawab pertanyaanpertanyaan yang penulis ajukan.
Penulisan tesis ini juga dapat terwujud berkat doa dan dukungan moral
yang tiada putus-putusnya dari kedua orang tua tercinta yaitu Ibunda Hj. Entit Sri
Warty dan H. Deden Djakaria dan saudara-saudara penulis. Demikian juga doa
dan segenap pertolongan baik moril maupun materil dari mertua penulis, H.
Mahyuddin dan Hj. Bismar Haryati. Untuk itu semua, penulis menghaturkan rasa
hormat dan terima kasih yang tak terhingga. Semoga Allah SWT membalas
kebaikan dan jasa-jasa mereka.
Terakhir, kepada isteri tercinta Viani Puspita Sari yang telah sangat sabar
mendampingi hidup penulis dan terus menyemangati penulis, menjadi sahabat dan
pemberi inspirasi dalam diskusi yang panjang serta brain storming dalam
penyelesaian tesis ini, juga kepada anak-anak penulis, Hafidzah Alivia Sybilla
Mauludin dan Muhammad Ikram Syafiq Mauludin yang selalu memberikan
kebahagian dan keceriaan serta kelengkapan dalam hidup dan sebagai motivasi
penulis untuk dapat segera menyelesaikan tesis ini.
Bandung, Juni 2014

Mochamad Ali Mauludin

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................ ..............
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. ...........
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... ..........

xiv
xv
xvi

I PENDAHULUAN
Latar Belakang ..........................................................................................
Perumusan Masalah ..................................................................................
Tujuan Penelitian ......................................................................................
Manfaat Penelitian ....................................................................................

1
5
6
7

II TINJAUAN PUSTAKA
Paradigma Pembangunan .........................................................................
Moda Produksi ..........................................................................................
Formasi Sosial ....................................................................................... ..
Struktur Sosial ..........................................................................................
Kerangka Pemikiran .................................................................................
Hipotesis Pengarah ...................................................................................
Batasan Konsep ........................................................................................

8
9
12
15
17
19
19

III METODE PENELITIAN
Paradigma Penelitian .................................................................................
Metode Penelitian .....................................................................................
Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................................
Teknik Pengumpulan Data ........................................................................
Teknik Analisis Data .................................................................................

21
21
22
24
25

IV LATAR HISTORIS PERKEMBANGAN PETERNAKAN SAPI PERAH
DI PANGALENGAN
Gambaran Umum Kecamatan Pangalengan..............................................
Geografis dan Demografis ................................................................
Budaya Masyarakat Pegunungan ......................................................
Sosial Ekonomi .................................................................................
Profil Dua Komunitas Peternak Sapi perah di Dua Desa Kasus ..............
Desa Margamekar (Geografis dan Demografis) ...............................
Komunitas Peternak Sapi Perah di Desa Margamekar ............... ......
Desa Margamukti (Geografis dan Demografis) ...............................
Komunitas Peternak Sapi Perah di Desa Margamukti ......................
Perbandingan Dua Desa Kasus dan Kesimpulan ......................................
Perkembangan Peternakan Sapi Perah di Pangalengan ............................
Periode Penjajahan (sebelum tahun 1945) ........................................
Periode Perintis (tahun 1945 sampai 1975) .......................................
Periode Kontemporer (tahun 1975 sampai sekarang) ........................
Ikhtisar .................................................................................................... . .

27
27
30
31
34
34
39
41
42
44
45
46
48
50
52

V DINAMIKA MODA PRODUKSI DI BIDANG PETERNAKAN DAN
PEMBENTUKAN FORMASI SOSIAL
Moda Produksi pada Periode Penjajahan (sebelum tahun 1945) ..............
Kekuatan Produksi .............................................................................
Hubungan Produksi ...........................................................................
Formasi Sosial Capitalist....................................................................
Moda Produksi pada Periode Perintis (tahun 1945 Sampai 1975) ...........
Kekuatan Produksi .............................................................................
Hubungan Produksi ...........................................................................
Formasi Sosial Semi-Petty Commodity............................................. .
Moda Produksi pada Periode Kontemporer (tahun 1975 sampai sekarang)
Kekuatan Produksi dalam Moda Produksi Petty Commodity.............
Kekuatan Produksi dalam Moda Produksi Capitalist .................. .....
Hubungan Produksi dalam Moda Petty Commodity....................... ...
Hubungan Produksi dalam Moda Produksi Capitalist................ .......
Formasi Sosial Petty Commodity........................................................
Ikhtisar ......................................................................................................
VI PERUBAHAN STRUKTUR SOSIAL PADA KOMUNITAS
PETERNAK SAPI PERAH
Struktur Komunitas Peternak Sapi Perah Sebelum
Penetrasi Modernisasi ...............................................................................
Struktur Komunitas Peternak Sapi Perah Setelah
Penetrasi Modernisasi ...............................................................................
Perubahan Startifikasi Sosial ........................................................... ..
Perubahan Hubungan Sosial ..............................................................
Ikhtisar ..................................................................................................... .

55
56
57
59
60
61
62
64
65
65
68
69
70
72
73

75
78
78
80
80

VII KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ...............................................................................................
Saran ..........................................................................................................

83
84

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................
LAMPIRAN ............................................................................................ ............
RIWAYAT HIDUP ................................................................................. ...........

85
89
97

DAFTAR TABEL
Halaman
1. Tipe-tipe Moda Produksi .................................................................................... 10
2. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur Tahun 2011 .............................. .. 29
3. Luas Lahan Kecamatan Panglengan Menurut Peruntukannya Tahun 2012 ..... .. 32
4. Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas Menurut Lapangan Pekerjaan /
Matapencaharian Tahun 2012 ........................................................................ . .. 33
5. Komposisi Pemilikan Lahan Pertanian Tanaman Pangan Desa Margamekar
Tahun 2011 ......................................................................................................... 34
6. Komposisi Luas Tanaman Pangan Menurut Komoditas Desa Margamekar
Tahun 2011 ........................................................................................................ 35
7. Jumlah Anggota KPBS dan Populasi Ternak di TPK Cisangkuy ...................... 40
8. Jumlah Anggota KPBS dan Populasi Ternak di TPK Babakan Kiara ............... 40
9. Jumlah Anggota KPBS dan Populasi Ternak di TPK Los Cimaung I ............. . 43
10. Jumlah Anggota KPBS dan Populasi Ternak di TPK Los Cimaung II ............... 44
11 Struktur „pemain‟ Pada Peternakan Sapi Perah ................................................ 54
12. Moda Produksi Capitalist Kolonial Belanda dan Subsistence.......................... 58
13. Moda produksi Subsistence dan Moda Produksi Semi-Petty Commodity ..... . 64
14. Moda produksi Moda Produksi Petty Commodity dan
Moda Produksi Capitalist ............................................................................... . 72
15. Struktur Komunitas Peternak Sapi Perah di Pangalengan Sebelum dan
Setelah Penetrasi Modernisasi .......................................................................... 81

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Skema Moda Produksi ...................................................................................... ...
2. Formasi Sosial Masyarakat ....................................... ....................................... ..
3. Bagan Alur Berfikir ............................................................................................
4. Lokasi Penelitian ..................................................................................................
5. Komposisi Sarana Perekonomian di Pangalengan Tahun 2012 ....................... ...
6. Komposisi aset tanah Desa Margamekar Tahun 2011 ...................................... ...
7. Komposisi Jenis Ternak Desa Margamekar Tahun 2011............ ..................... ..
8. Komposisi Umur dan Jenis Kelamin Desa Marga Mekar Tahun 2011 .............
9. Komposisi Jenis Mata Pencaharian Desa Margamekar Tahun 2011 ............... .
10. Komposisi aset tanah Desa Margamukti Tahun 2011 .....................................
11. Alur Pemasaran Susu Periode Perintis .............................................................

11
13
18
23
34
36
36
37
38
42
77

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Peta Kecamatan Pangalengan .................................................... ......................
2. Data Populasi dan Produksi Susu Di Pangalengan ..........................................
2. Pedoman Wawancara ............................................................................... .......
3. Foto-foto Penelitian ................................................................................. ........

89
90
91
94

I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pangalengan sudah sejak lama dikenal sebagai sentra peternakan sapi
perah dan dapat dikatakan sebagai gambaran peternakan sapi perah Jawa Barat.
Menurut Homzah (1986) ternak sapi perah masuk ke Pangalengan sebelum tahun
1860 dan dipelihara oleh keluarga Belanda dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari rumah tangganya. Sementara itu Syarief (1997)
menyebutkan bahwa pada Zaman Belanda di Pangalengan terdapat empat
perusahaan peternakan sapi perah besar diantaranya de Friesche Trep, Almanak,
Van der Est dan Bigman, dengan target pemasarannya sebagian besar adalah
orang-orang Belanda yang berdomisili di Pangalengan dan kawasan Bandung dan
sekitarnya.
Selanjutnya terjadi dinamika yang cukup mempengaruhi kehidupan
masyarakat terutama setelah terjadinya peralihan penjajahan dari Belanda kepada
Jepang pada tahun 1942. Menurut Umboh (1954) yang dikutip oleh Subandriyo
dan Adiarto (2009) pada periode pendudukan Jepang, perusahaan sapi perah
Belanda diambil alih oleh Pemerintahan Jepang. Pada masa itu, pengelolaannya
berlangsung secara darurat sehingga menyebabkan ketersediaan bahan baku
konsentrat mengalami keterbatasan. Implikasi yang diperoleh adalah produksi
susu sapi mengalami penurunan yang tajam sedangkan harga pakan konsentrat
mengalami peningkatan. Pada masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia
mengakibatkan banyak perusahaan susu yang terlantar dan mengakibatkan stok
sapi penghasil susu pun mulai tidak terkelola dengan benar. Sebagian ternak sapi
secara berangsur-angsur dipotong dan dikonsumsi, sementara sebagian lainnya
mulai tersebar di kalangan masyarakat setempat. Sapi-sapi tersebut yang berada
di tangan masyarakat setempat diperihara dan dikembangkan hingga sekarang
sehingga merupakan cikal-bakal usaha peternakan sapi perah rakyat (Dasuki,
1983).
Istilah, konsep, dan paradigma pembangunan dikenal luas di era tahun
1950-1970-an. Pada rentang waktu tersebut banyak Negara Dunia Ketiga yang
baru memperoleh kemerdekaannya dan dihadapkan pada persoalan krusial yaitu
penanganan dengan segera masalah kemiskinan dan keterbelakangan. Pendapat
Seers yang dikutip oleh Chaniago (2012) menyatakan, bahwa pembangunan
belum bisa dikatakan berhasil bila salah satu atau dua dari tiga kondisi, yaitu
kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan menjadi lebih buruk, meskipun
pendapatan perkapita melambung tinggi.
Dalam perkembangannya, ada beberapa negara yang berhasil dalam
menjalankan pembangunan sehingga mampu mengejar ketertinggalan dan masuk
dalam negara industri baru. Jika ditilik dari aspek sejarah dari waktu ke waktu,
pemerintahan baru di berbagai negara yang menyatakan dirinya sedang
berkembang cepat merasa perlu untuk menyajikan usaha pembangunan di bidang
sosial, ekonomi atau politik yang dapat dianggap sebagai aspek-aspek
modernisasi. Aspek yang paling spektakuler dalam modernisasi suatu masyarakat
adalah pergantian teknik produksi dari cara-cara tradisonal ke cara-cara modern,
yang tertampung dalam pengertian revolusi industri (Schoorl, 1980).

1

2

Pembangunan di Indonesia sendiri diawali setelah negara terbebas dari
belenggu penjajahan yaitu dimulai setelah bangsa Indonesia memproklamirkan
kemerdekaan pada tahun 1945 sampai dengan saat sekarang1. Modernisasi di
bidang pertanian melalui revolusi hijau menjadikan perubahan yang sangat
mendasar pada kehidupan masyarakat Indonesia, hal serupa terjadi pula pada sub
sektor peternakan. Pembangunan peternakan merupakan bagian integral dari
pembangunan pertanian dan juga tidak terlepas dari pembangunan nasional.
Pembangunan peternakan yang berkelanjutan mengoptimalkan bagaimana
permintaan terhadap komoditas hasil peternakan sebagai sumber protein hewani
(daging dan susu) dapat tersedia keberadaannya.
Iklim pembangunan pertanian dalam hal ini subsektor peternakan
menghendaki pembaharuan-pembaharuan melalui modernisasi. Modernisasi di
negara-negara berkembang melalui peningkatan arus modal dan teknologi
maupun industrialisasi di berbagai bidang memberikan perubahan dalam tatanan
kehidupan masyarakat. Perubahan yang mendasar pada struktur masyarakat
tersebut ditandai dengan tumbuhnya pekerjaan-pekerjaan baru dan meningkatnya
spesialisasi pekerjaan sehingga secara tidak langsung berimplikasi terhadap
kehidupan masyarakat. Bierstedt (1970) mengemukakan pemikiran terhadap
pembagian kerja yang terbagi menjadi tiga antara lain: (1) merupakan fungsi dari
ukuran masyarakat, semakin besar masyarakat semakin nyata pembagian kerja;
(2) merupakan syarat untuk terbentuknya kelas/ pelapisan; dan (3) menghasilkan
ragam posisi/ status dan peranan yang berbeda, yang satu dinilai lebih tinggi dari
yang lainnya. Berdasarkan proposisi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa

1

Pembangunan di awali pada masa pemerintahan Soekarno. Ia menyelenggarakan
Pembangunan Berencana (1956-1961) dan Pembangunan Nasional Semesta (1961-1968), dengan
ketidakstabilan politik pada masa tersebut mengakibatkan ketidaksempurnaan dalam
pembangunan. Hal lainnya, di masa tersebut yaitu pada tahun 1963 Indonesia turut menunjang
Revolusi Hijau (Tjondronegoro, 2011). Revolusi Hijau sebagai tonggak penting pembangunan
pertanian dengan program intensifikasi pertanian tanaman pangan yang berhasil menggunakan
varietas bibit baru yang sangat responsif terhadap pemupukan dan penggunaan pestisida.
Selanjutnya, pembangunan berlangsung pada masa pemerintahan Presiden Soeharto (19691999) melalui Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai landasan hukum perencanaan
pembangunan dengan penjabarannya yaitu Rencana Pembangunan Lima Tahunan (REPELITA).
Dengan model pembangunan yang top-down, birokratis dan sentralistik menjadikan pemerintah
sangat berperan dalam pembangunan di berbagai sektor terutama pada periode awal yaitu
PELITA I (1 April 1969 - 31 Maret 1974) yang menekankan pembangunan pada sektor pertanian.
Periodisasi pembangunan yang terjadi pada masa Pemerintahan Soeharto berlangsung dari Pelita
I sampai dengan Pelita VI yang hampir semua kebijakan pembangunan mengarahkan kepada
sektor pertanian dan pengembangan industri. Kesempurnaan rencana pembangunan tidak
berjalan optimal, hal tersebut terlihat pada Repelita VI bergulir, ternyata tidak sampai tuntas
disesebabkan pada tahun 1997-an terjadi reformasi di berbagai bidang sehingga terjadi krisis
multidimensional, dan berujung pada krisis kepercayaan terhadap pemerintahan sehingga
berdampak pada lengsernya presiden Soeharto. Selanjutnya, program pembangunan nasional
dilanjutkan oleh pemerintahan Presiden Megawati (tahun 2000-2004) melalui Propenas (Program
Pembangunan Nasional) dan Repeta (Rencana Pembangunan Tahunan) dan yang terakhir dan
masih berjalan untuk program pembangunan nasional yaitu pada masa pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (2004 - sekarang) melalui Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional (SPPN).

3

dengan adanya modernisasi memperlihatkan adanya perubahan struktur dan
perbedaan posisi atau kelas di masyarakat.
Dalam rangka usaha modernisasi peternakan terdapat 7 unsur penting
antara lain : 1) penggunaan jenis ternak unggul, 2) keterampilan teknologi, 3)
kontinuitas suplai sarana produksi, 4) pengendalian penyakit yang efektif, 5)
modal untuk investasi dan eksploitasi, 6) tanah sebagai input utama sumber
hijauan makanan ternak, dan 7) bantuan penyempurnaan organisasi pemasaran.
Sedangkan dalam pelaksanaan operasional lebih dipusatkan kepada apa yang
dinamakan dengan Panca Krida Usaha Peternakan, yaitu : 1) penyempurnaan
bibit, 2) penyempurnaan gizi dan pemberian makanan, 3) pengendalian penyakit
secara efektif, 4) penyempurnaan manajemen, dan 5) penyempurnaan organisasi
pemasaran (Atmadilaga, 1991). Pembangunan subsektor peternakan, khususnya
pengembangan usaha peternakan sapi perah, merupakan salah satu alternatif
upaya peningkatan penyediaan sumber kebutuhan protein (susu dan daging).
Peternakan sapi perah sejak dahulu sudah ada di daerah Jawa, terutama
Jawa Barat. Salah satu jenis atau bangsa sapi perah yang berkembang dan
menjadi preferensi adalah bangsa Fries Holland (FH)2 di samping bangsa sapi
perah lainnya seperti Jersey, Ayreshire, Hereford dan Shorthorn (Subandriyo dan
Adiarto, 2009). Bangsa sapi perah FH sangat adaptif di daerah Pangalengan, tidak
ada lagi bangsa sapi perah FH yang murni melainkan hasil perkawinan dan
melahirkan keturunan dari bangsa FH. Jadi ternak sapi perah yang berkembang di
Pangalengan saat ini adalah peranakan sapi perah FH atau dikenal dengan
peranakan Fries Holland (PFH).
Pangalengan sebagai salah satu sentra peternakan sapi perah selain
Lembang dan Garut, sudah ada sejak zaman kolonial Belanda hingga sekarang.
Pengembangan peternakan sapi perah di Pangalengan mulai terasa setelah
kemerdekaan Republik Indonesia terutama pada masa Orde Baru. Perubahan
yang terjadi di Pangalengan dalam pengembangan peternakan sapi perah yaitu
terjadinya penetrasi modernisasi pada usaha peternakan sapi perah dan melalui
pembangunan kelembagaan lokal sebagai penghimpun dan penyaluran
(pemasaran) susu, sehingga terbentuk komersialisasi untuk produk peternakan
sapi perah yaitu susu. Tercatat data bahwa perubahan sangat drastis terjadi dalam
peningkatan jumlah populasi ternak sapi perah di Pangalengan yang semakin
bertambah. Data awal populasi ternak sapi perah pada tahun 1969 berjumlah
2.608 ekor dan di tahun 2013 berjumlah 13.428 ekor (diolah dari laporan tahunan
dan dokumen KPBS). Peningkatan sebesar kurang lebih 4.7 kali dari jumlah awal
selama kurun waktu kurang lebih 44 tahun memberikan gambaran terhadap
perkembangan peternakan sapi perah di Pangalengan. Hal tersebut berkorelasi
dengan produksi susu yang dihasilkan pada tahun 1969 yaitu 1.360.486 liter dan
pada tahun 2013 menghasilkan susu sebanyak 32.118.305 liter (lampiran 2).
Berbagai studi mengenai modernisasi dan pembangunan yang
berimplikasi terhadap perubahan struktur masyarakat pedesaan, kebanyakan
2

Fries Holland (FH) berasal dari Belanda dengan ciri-ciri umum adalah sebagai berikut 1)
berwarna belang hitam dan putih, atau coklat dan putih, 2) pada kaki bagian bawah dan ekornya
berwarna putih, 3) tanduk pendek dan mengahadap ke muka, 4) terkadang pada dahinya
terdapat belang warna putih yang berbentuk segitiga, 5) sifatnya jinak dan mudah dikuasai, 6)
tidak tahan panas, 7) lambat dewasanya, 8) berat badan jantan rata-rata 850 kg atau lebih,
sedang yang betina bisa mencapai 650 kg, dan 9) tubuhnya tegap.

4

masih berpusat pada kasus masyarakat agraris dalam konteks ekologi padi sawah
dan perkebunan serta pada sektor perikanan (masyarakat pesisir). Perubahan
sosial masyarakat pesisir (nelayan) melalui modernisasi mengakibatkan
perubahan moda produksi terutama alat produksi (perahu, alat tangkap dan lainlain). Selanjutnya, modernisasi terjadi pada masyarakat agraris dalam konteks
ekologi padi sawah merepresentasikan masyarakat dengan moda produksi
sederhana atau bahkan komersial, dimana moda produksi kapitalis yang padat
teknologi belum berkembang, sehingga dinamika formasi sosial belum terlalu
tinggi (Satria, 2000)
Selanjutnya, bagaimana dengan studi masyarakat pegunungan dalam
konteks peternakan sapi perah sebagai perekonomian lokal yang sudah muncul
pada masa kolonial Belanda dan berkembang hingga sekarang dimana hasil
produksi utama berupa susu belum banyak dilakukan di Indonesia3, padahal studi
perubahan sosial komunitas peternak sapi perah sangat penting untuk dapat
menggambarkan potret masyarakat pegunungan dimana aktivitas kehidupan
ekonomi lokalnya dalam sektor pertanian (palawija), perkebunan dan peternakan
sapi perah. Peternakan sapi perah dapat berkembang terlebih kesesuain ternak
sapi perah dari bangsa PFH sangat cocok untuk dikembangkan di daerah dataran
tinggi yang bertemperatur dingin. Pemahaman mendalam terhadap sosiologi
komunitas peternak sapi perah akan bermanfaat dalam upaya penyiapan tatanan
kelembagaan dalam meyongsong sebuah gerakan revolusi putih.
Dengan demikian, subsektor peternakan sapi perah menjadi sangat
menarik untuk diteliti dan dikaji serta ditelaah lebih dalam mengenai perubahan
struktur pada komunitas peternak sapi perah yang keberadaannya pada awal
kemerdekaan masih bersifat tradisional hingga sekarang yang sudah banyak
perubahan dalam alat produksi, manajemen dan hubungan produksi terlebih
munculnya modernisasi peternakan, sehingga memungkinkan terdiferensiasi
ataupun terjadinya stratifikasi sosial pada komunitas peternak sapi perah serta
terbentuknya kelas atau dominasi dari peternak dengan skala besar terhadap
peternak skala kecil.
Salah satu sentra peternakan sapi perah di Kabupaten Bandung provinsi
Jawa Barat yaitu di Kecamatan Pangalengan. Pangalengan menarik untuk
dijadikan kasus dalam studi ini dengan alasan bahwa dari 31 kecamatan yang ada
di Kabupaten Bandung hanya satu kecamatan yaitu Pangalengan yang memiliki
kesejarahan dalam peternakan sapi perah hingga saat ini dan masih bertahan
dalam pengmbangan peternakan sapi perah serta kecamatan Pangalengan
merupakan salah satu yang terbesar dari jumlah populasi sapi perah yang terdapat
di daerah selatan Kabupaten Bandung selain Kertasari, Pacet, Ciwidey dan Pasir
Jambu.
Sebelum modernisasi, komunitas peternak sapi perah belum terlalu
terstratifikasi karena pola produksi masih bersifat homogen. Bila penguasaan alat
produksi berupa tanah dan ternak dijadikan dasar startifikasi maka hanya terbagi
menjadi dua yakni peternak berskala kecil dan peternak berskala besar. dengan
terjadinya penetrasi modernisasi, terjadi perubahan dalam startifikasi karena
tingkat usaha yang semakin besar, akses yang tinggi untuk peningkatan produksi,
3

Studi tentang aspek sosial ekonomi peternakan masih jarang dilakukan dibandingkan dengan
aspek biologis dan teknis, oleh karena itu studi sosial ekonomi sangat penting dalam upaya
perbaikan kinerja usaha peternakan baik budidaya maupun pemasaran.

5

dan perubahan dalam kelembagaan kerja. Adanya perubahan-perubahan tersebut,
memunculkan pertanyaan: Bagaimana posisi peternak berskala kecil, apakah
mengalami perubahan setelah terjadi modernisasi? atau bagaimana peternak
berskala kecil masih tetap bertahan hingga sekarang walaupun munculnya
penetrasi kapitalis di usaha peternakan sapi perah? Jawaban inilah yang
menentukan apakah modernisasi akan sama dengan pembangunan ataukah tidak.
Jika dalam modernisasi peternakan sapi perah tersebut para peternak berskala
kecil tidak mengalami perubahan atau bahkan mereka mengalami proletarisasi .
maka apa yang dikatakan Sajogyo (1982) “modernization without development “
terbukti.
Dengan demikian persoalan yang dihadapi peternak sapi perah sangat
kompleks terutama peternak dengan skala kecil yang sulit untuk mengembangkan
kualitas dan kuantitas produksi susu. Hal tersebut dapat diketahui dari alat
produksi dan hubungan produksi yang terjadi. Perubahan moda produksi
peternakan sapi perah sebagai dampak dari modernisasi peternakan dengan tujuan
untuk meningkatkan produksi dan kesejahteraan peternak, justru sebaliknya dapat
menjadi penyebab termajinalnya peternak sapi perah khususnya peternak degan
skala kecil. Selanjutnya perubahan moda produksi dapat mendorong terbentuknya
ketimpangan struktur sosial dan kesenjangan ekonomi.

Perumusan Masalah
Peternak sapi perah di Kecamatan Pangalengan tampak tidak hanya
menghadapi persoalan dalam dimensi kultural seperti keterbatasan kemampuan
sumber daya manusia dan teknologi semata, tetapi juga menyangkut dimensi
struktural seperti struktur sosial masyarakat peternak sapi perah itu sendiri, tata
niaga produksi susu dan sapi perah serta ekonomi global. Dalam struktur
ekonomi global tampaknya terbangun suatu mekanisme pemasaran dan distribusi
perdagangan produk olahan susu4 di tingkat internasional yang menyebabkan
susu Indonesia tidak menjadi komoditas global melainkan hanya melengkapi
untuk perusahaan pengolahan susu. Tercatat sepanjang tahun 2013 produksi susu
sebesar 32.118.305,08 liter dengan rata-rata produksi susu perhari di wilayah
kerja koperasi peternakan sapi perah Pangalengan adalah 87.995,56 liter/ hari
terdistribusi penyaluran dan pemasaran kepada IPS sebesar 92 % dan sisanya 8 %
untuk diolah di milk treatment dan home industry (diolah dari data laporan
tahunan KPBS). Ketergantungan koperasi terhadap IPS menjadikan lemahnya
dalam posisi tawar terutama masalah harga. Permainan pada tingkat makro
melalui pasar bebas menjadikan IPS memiliki otoritas yang tinggi untuk
mengatur berapa persentase produksi susu lokal yang terhimpun dalam koperasi
peternakan sapi perah dapat diterima oleh IPS. Sementara itu hingga saat ini

4

Whole milk (susu utuh yang belum diolah/susu murni ) dapat dipecah menjadi 12 produk yang
berguna untuk campuran olahan lain yang siap dikonsumsi. Duabelas produk tersebut antara lain
1) FCMP (Full Cream Milk Powder), 2) SMP (Skim Milk Powder), 3) Milk Protein Consentrate
(Powder), 4) Casein, 5) Caseinates, 6) AMF (Anhydrous Milk Fat, Butter), 7) BMP (Butter Milk
Powder), 8) BMP (Butter Milk Powder), 9) Cheese, 10) Whey Powder, 11) Demineralised whey
Powder, dan 12) WPC (Whey Protein Consentrat Powder)

6

secara jelas dan tegas tidak ada tata niaga susu nasional, jadi untuk komoditas
susu yang dihasilkan oleh peternakan sapi perah rakyat hanya dikelola oleh
koperasi primer yang ada di Pangalengan.
Dalam hal ini dapat dikemukakan, bahwa peternak sapi perah yang
menguasai sumberdaya ekonomi terutama peternak sapi perah berskala besar
dengan kepemilikan ternak lebih dari 10 ekor laktasi pada umumnya
menyerahkan pekerjaannya pada buruh ternak dengan pembayaran secara upah
atau dengan sistem gaduh atau maro, selanjutnya peternak dengan penguasaan
ternak dengan skala besar tersebut dengan mudah mengakses atau menguasai
faktor-faktor produksi. Di sisi lain peternak sapi perah dengan penguasaan ternak
sapi perah skala kecil hanya mendapatkan sedikit akses dan menguasai faktorfaktor produksi.
Bertitik tolak dari hal-hal itulah maka yang menjadi pertanyaan utama
dalam penelitian ini adalah bagaimana dan sejauhmana perubahan moda produksi
yang diakibatkan oleh modernisasi peternakan dapat memicu perubahan struktur
sosial pada komunitas peternak sapi perah. Penelitian ini menfokuskan diri pada
proses perubahan struktur ekonomi lokal yaitu usaha peternakan sapi perah di
Pangalengan dengan menguraikan dinamika perubahan-perubahan moda-moda
produksi yang membangunnya. Dengan demikian perubahan sruktur ekonomi
lokal dapat dibedah menggunakan konsep formasi sosial sebagai turunan teori
sosiologi aliran Marxis. Untuk lebih memperjelas arah penelitian ini, maka dapat
dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana perubahan moda produksi dalam pengembangan peternakan
sapi perah dari masa ke masa? Dan bagaimana formasi sosial yang
terbentuk setelah penetrasi modernisasi peternakan sapi perah di
Pangalengan?
2. Bagaimana dampak pengembangan peternakan sapi perah melalui
penetrasi modernisasi peternakan sapi perah terhadap struktur komunitas
peternak sapi perah di Pangalengan?
3. Sejauhmana perubahan moda produksi berdampak pada keberlangsungan
usaha peternakan sapi perah dengan skala kecil?

Tujuan Penelitian
Tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk menelusuri dan
menganalisis perubahan moda produksi yang diakibatkan oleh modernisasi
peternakan dan perubahan struktur sosial pada komunitas peternak sapi perah di
Pangalengan. Secara lebih rinci tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut:
1. Menganalisis perubahan moda produksi yang terjadi pada komunitas
peternak sapi dalam pengembangan peternakan sapi perah dari masa ke
masa dan formasi sosial yang terbentuk setelah terjadi penetrasi
modernisasi peternakan sapi perah di Pangalengan.
2. Menganalisis dampak pengembangan peternakan sapi perah melalui
modernisasi peternakan terhadap struktur komunitas peternak sapi perah
di Pangalengan.
3. Menganalisis perubahan moda produksi berdampak pada keberlangsungan
usaha peternakan sapi perah dengan skala kecil.

7

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
pengembangan pengetahuan dalam khasanah keilmuan dalam bidang sosiologi
pedesaan dalam hal struktur sosial masyarakat pedesaan khususnya komunitas
peternak sapi perah. Selain itu, Pengembangan pengetahuan dalam kajian dampak
perubahan moda produksi terhadap perubahan formasi sosial yang terjadi pada
komunitas peternak sapi perah. Berdasarkan pengetahuan tersebut, melalui hasil
penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah untuk merumuskan
kebijakan terkait dengan pembangunan dan pemberdayaan pada peternak sapi
perah rakyat umumnya dan khususnya peternak dengan skala kecil. Selain itu,
penelitian ini juga dapat bermanfaat menjadi acuan penting untuk dapat
mengetahui peta permasalahan dan potensi yang mungkin dikembangkan

8

II TINJAUAN PUSTAKA
Paradigma Pembangunan
Paradigma pembangunan dimulai sejak istilah pembangunan
(development) mulai dikenalkan oleh Negara Amerika Serikat pada tahun 1947,
bersamaan dengan hal tersebut para ahli ekonomi dan guru besar ekonomi alumni
Berkeley turut mengembangkan pemikiran tentang pembangunan di negara
berkembang seperti Indonesia. Salah satu karakteristik atau ciri pokok adalah
berorientasi pada pertumbuhan dan pro modal asing. Dialektika paradigma
pembangunan terus mengalami perkembangan hingga sekarang, berbagai definisi
bermunculan dari waktu ke waktu. Kurang lebih lima dekade sejak program
pembangunan digulirkan untuk negara-negara Dunia Ketiga terdapat banyak
perdebatan teoritik dan kontestasi berbagai perspektif dalam melihat
pembangunan.
Berbagai pandangan dari para ahli, bahwa mereka tidak bersepakat
bagaimana pembangunan dikerjakan, namun ada suatu kesepakatan luas bahwa
harus ada usaha-usaha untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat (Winarno, 2013). Adrian Leftwich (2000) dalam Winarno (2013),
mengemukakan bahwa pemahaman pembangunan yang paling umum dapat
dikatagorikan ke dalam Sembilan pendekatan pokok, yakni pembangunan dilihat
sebagai kemajuan historis (development as historical progress), pembangunan
sebagai eksploitasi sumber daya alam (development as the exsploitation of
natural resources), pembangunan sebagai promosi kemajuan ekonomi, dan
(kadangkala) sosial, dan politik yang direncanakan (development as the
promotion of planned economic, and (sometimes) social and political
advancement), pembangunan sebagai suatu kondisi (development as a condition),
pembangunan sebagai suatu proses (development as a process), pembangunan
sebagai pertumbuhan ekonomi (development as economic growth), pembangunan
sebagai perubahan struktural (development as structural changes), pembangunan
sebagai modernisasi (development as modernization), dan pembangunan sebagai
suatu peningkatan kekuatan produksi (development as an increase in the force of
production).
Diantara pendekatan tersebut, pertumbuhan, modernisasi, dan perubahan
struktur telah menjadi ortodoksi dominan menyangkut makna dan tujuan
pembangunan pada tahun-tahun segera setelah Perang Dunia II. Ortodoksi
semacam ini muncul bersamaan dengan peristiwa rekontruksi dan pembangunan
ekonomi di negara-negara barat sebagai benteng dari komunisme (Leftwitch,
2000 dalam Winarno 2013). Selanjutnya, secara universal politik Marshall Plan
hadir untuk mengalahkan ideologi Komunis dari Unisoviet dalam perang dingin.
Sehingga, Sekitar tahun 1950-an Paradigma Teori Modernisasi Muncul untuk
mendukung Marshall Plan yang menancapkan kapitalisme di negara dunia ketiga.
Memasuki tahun 1960-an paradigma tersebut dikritik oleh Paradigma Teori
Ketergantungan. Selanjutnya, pada tahun 1970-an dialektika paradigma teori di
atas menghasilkan Paradigma Teori Sistem Dunia. Menurut Suwarsono dan So
(2006) menyebutkan paradigma teori modernisasi, pengertian pembangunan
(development) disamakan dengan evolusi (evolution), artinya masyarakat yang

9

disebut mengalami modernisasi adalah masyarakat yang berkembang dari
kesederhanaan (tradisional) menjadi terdiferensiasi dan kompleks dalam aspek
kehidupannya.
Paradigma modernisasi dalam keilmuan sebenarnya lahir dari teori
evolusi yang digagas oleh Darwin. Konsep modernisasi menekankan pada
pertumbuhan ekonomi (economic growth) untuk mensejahterakan seluruh lapisan
masyarakat, melalui pemerataan (trickle down effect). Selain itu, pendapat
Schroorl (1980) mengemukakan bahwa modernisasi sering diidentikkan dengan
tipe perubahan sosial yang berasal dari revolusi industri, sehingga seringkali
modernisasi itu identik dengan industrialisasi.
Perkembangan teori pembangunan tidak selamanya bertahan, kritikan dan
sanggahan mengemuka kepermukaan. Hal tersebut di kritik oleh Frank (1984)
bahwa pembangunan melalui modernisasi menyebabkan ketergantungan Negara
Dunia Ketiga terhadap Negara Maju. Konsep trickle down effect ternyata tidak
berjalan dan kesejahteraan tidak merata. Kemiskinan dan keterbelakangan yang
terdapat di negara-negara dunia ketiga yang mengkhususkan diri pada produk
pertanian (tradisional) dipandang sebagai struktur perekonomian dunia yang
bersifat eksploitatif, dimana negara maju melakukan eksploitasi terhadap dunia
ketiga. Akibatnya surplus dari negara-negara dunia ketiga beralih ke negaranegara industri maju.
Paradigma teori sistem dunia memandang bahwa dalam dunia terdapat
suatu sistem antar negara dari negara-negara maju yang saling bertentangan dan
terjalin terhadap dunia ketiga dan dengan ekonomi dunia kapitalis. Immanuel
Wallerestein dengan teori ketergantungan menyebutkan bahwa negara-negara
berkembang sekarang adalah akibat dari dominasi kelompok kapitalis pusat yang
berabad-abad. Negara-negara berkembang menerapkan pembangunan se