Pengembangan Film Nanokomposit Berbasis Pektin dan : Nanopartikel ZnO serta Aplikasinya sebagai Pelapis Buah : Salak Pondoh Utuh

PENGEMBANGAN FILM NANOKOMPOSIT BERBASIS PEKTIN
DAN NANOPARTIKEL ZnO SERTA APLIKASINYA SEBAGAI
PELAPIS BUAH SALAK PONDOH UTUH

IMAN SABARISMAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Pengembangan
Film Nanokomposit Berbasis Pektin dan Nanopartikel ZnO serta Aplikasinya
sebagai Pelapis Buah Salak Pondoh Utuh adalah karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2015

Iman Sabarisman
NIM F152120081

RINGKASAN
IMAN SABARISMAN. Pengembangan Film Nanokomposit Berbasis Pektin
dan Nanopartikel ZnO serta Aplikasinya sebagai Pelapis Buah Salak Pondoh
Utuh. Dibimbing oleh Nugraha Edhi Suyatma dan Usman Ahmad.
Pektin merupakan biopolimer pembentuk film yang murah dan melimpah
kesediaannya di alam. Sayangnya film yang terbuat dari pektin saja memiliki sifat
barrier terhadap uap air yang rendah serta tidak tahan terhadap serangan kapang.
Penambahan asam lemak dan nanopartikel ZnO (NP ZnO) diharapkan dapat
memperbaiki karakteristik film berbasis pektin. Salah satu aplikasi penggunaan
larutan nanokomposit yaitu sebagai pelapis pada produk pertanian segar, terutama
buah dan sayuran. Pelapisan merupakan cara yang mudah untuk melindungi
produk dari kehilangan air dan kontaminasi mikroba yang mengakibatkan
kerusakan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi karakteristik

film nanokomposit berbasis pektin dengan penambahan asam stearat dan NP ZnO
serta mempelajari pengaruh pelapisan nanokomposit berbasis pektin terhadap
mutu buah salak pondoh utuh selama penyimpanan.
Tahap pertama pada penelitian ini yaitu persiapan dan karakterisasi film
nanokomposit berbasis pektin dengan penambahan asam stearat dan NP ZnO.
Film nanokomposit dibuat dengan cara mendispersikan NP ZnO (0, 1, dan 2 %b/b
pektin) dan asam stearat (0 dan 1 %b/b pektin) ke dalam larutan pektin (1 %b/v
aquades) kemudian dicetak dan dikeringkan pada suhu 45 ⁰C selama 20 jam.
Karakteristik film yang diuji meliputi ketebalan, kadar air, warna, kuat tarik dan
elongasi, laju transmisi uap air, kemampuan antimikroba, serta analisis sifat
termal film. Tahap kedua yaitu aplikasi formula terbaik larutan nanokomposit
yang diperoleh dari tahap pertama sebagai pelapis buah salak pondoh utuh.
Setelah disortasi, buah salak pondoh dicelupkan ke dalam larutan nanokomposit
selama 30 detik kemudian dikeringanginkan. Buah salak pondoh disimpan pada
suhu ruang selama 14 hari dan dianalisis mutunya secara berkala meliputi laju
respirasi, susut bobot, warna kulit, total padatan terlarut, dan pertumbuhan
mikroba.
Film nanokomposit berbasis pektin yang terbentuk memiliki ketebalan
antara 0.07 hingga 0.0975 mm, kadar air antara 11.51 hingga 13.38%, laju
transmisi uap air antara 57.4 hingga 103.2 g/m2.jam, kuat tarik antara 18.3 hingga

28.3 kPa, persen elongasi antara 8.9 hingga 30.9%, dan titik leleh antara 132.11
hingga 165.79 ⁰C. Selain itu, film yang mengandung NP ZnO, baik 1% maupun
2%, mampu menghambat pertumbuhan E. coli, S. aureus, dan Penicillium sp.
Aplikasi pelapisan pada buah salak pondoh utuh dengan larutan nanokomposit
(1% asam stearat dan 2% NP ZnO) mampu menekan susut bobot, menghambat
pertumbuhan mikroba, dan mempertahankan warna kulit buah.
Kata kunci: film, nanopartikel ZnO, pektin, pelapisan, salak pondoh

SUMMARY
IMAN SABARISMAN. Development of Pectin Based Nanocomposite Films
and ZnO Nanoparticles and Its Application as Coating on Snake Fruits.
Under direction of Nugraha Edhi Suyatma and Usman Ahmad.
Pectin, as a film-forming biopolymer, was low price and abundantly
available. Unfortunately, film made only with pectin has a poor water vapour
barrier characteristic and irresistance againts fungi. Addition of stearic acid and
ZnO nanoparticles (ZnO NPs) were intended to improve the pectin film
properties. One of the potential applications of nanocomposite solution is for
coating fresh food product, such as fruits and vegetables. Coating was effective
method to preserve the product from water loss and microorganism decay. The
present study was aimed to evaluate characteristics of pectin based nanocomposite

films by incorporating ZnO NPs and stearic acid, and to observe the effect of
pectin based nanocomposite coating on snake fruit quality during storage.
The first experiment were preparation and characterization of pectin based
nanocomposite films incorporated by ZnO NPs and stearic acid. The
nanocomposite films based on pectin were fabricated by dispersing ZnO NPs (0,
1, and 2%, w/w pectin) and stearic acid (0 and 1%, w/w pectin) into a pectin
solution (1% w/v aquadest) followed by casting and drying process at 45⁰C, 20 h.
The characteristics of nanocomposites films were evaluated on the thickness,
water content, surface color, tensile strength and elongation, water vapour
transmission rate, thermal properties, and antimicrobial activity. The second
experiment was application of the best formula of nanocomposite solution
obtained from the first experiment as snake fruit coating. After sorting, the snake
fruits were dipped in the nanocomposite solution for 30 s then stored for 14 days
at room temperature. Respiration rate, weight loss, skin color, total soluble solid,
and microbial growth were evaluated periodically.
The results showed that the thickness of pectin based nanocomposite films
was 0.07-0.0975 mm, the water content was 11.51-13.38%, the water vapour
transmission rate was 57.4-103.2 g/m2.h, the tensile strength was 18.3-28.3 kPa,
the percentage of elongation was 8.9-30.9%, and melting point 132.11-165.79⁰C.
Besides that the films with addition ZnO NPs could inhibit growth of E. coli, S.

aureus, and Penicillium sp. The results of coating application showed that
nanocomposite coating (1% stearic acid and 2% ZnO NPs) on snake fruits could
reduce weight loss, inhibit microbial growth, and preserve skin color of snake
fruit.
Keywords: coating, film, pectin, snake fruit, ZnO nanoparticle

©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGEMBANGAN FILM NANOKOMPOSIT BERBASIS PEKTIN
DAN NANOPARTIKEL ZnO SERTA APLIKASINYA SEBAGAI
PELAPIS BUAH SALAK PONDOH UTUH


IMAN SABARISMAN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Departemen Teknik Mesin dan Biosistem

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Fahim M. Taqi, STP, DEA

Judul Penelitian

Nama
NIM


: Pengembangan Film Nanokomposit Berbasis Pektin dan
: Nanopartikel ZnO serta Aplikasinya sebagai Pelapis Buah
: Salak Pondoh Utuh
: Iman Sabarisman
: F152120081

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Nugraha Edhi Suyatma, STP, DEA
Ketua

Dr Ir Usman Ahmad, MAgr
Anggota

Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Teknologi Pascapanen

Dekan Sekolah Pascasarjana


Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 3 Juli 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas karuniaNya sehingga penulis bisa
menyelesaikan karya ilmiah ini. Tema yang diambil dalam penelitian ini adalah
film nanokomposit, dengan judul Pengembangan Film Nanokomposit Berbasis
Pektin dan Nanopartikel ZnO serta Aplikasinya sebagai Pelapis Buah Salak
Pondoh Utuh.
Pada kesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada:
1. Dr Nugraha Edhi Suyatma, STP, DEA dan Dr Ir Usman Ahmad, MAgr
selaku pembimbing atas arahan, ilmu dan motivasi yang diberikan dari awal
hingga akhir proses penelitian ini,

2. Dr Fahim M. Taqi, STP, DEA selaku penguji atas masukan dan saran demi
sempurnanya karya ilmiah ini,
3. Orangtua dan mertua karena atas doa dan ridha mereka penulis mampu
menyelesaikan studi dan penelitian ini,
4. Istri Nurwulan Purnasari dan putra Muhammad Rayhan A. atas dukungan dan
perhatian selama penulis menjalani studi dan penelitian,
5. DIKTI yang telah membiayai studi penulis melalui program Beasiswa
Unggulan.
Selain itu tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada para sahabat,
partner penelitian dan diskusi, laboran, teman-teman TPP 2012 serta pihak-pihak
yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu atas dukungannya selama ini. Akhir
kata semoga penelitian ini bermanfaat demi perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Bogor, Juli 2015
Iman Sabarisman

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. ix
DAFTAR TABEL ................................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... x

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
Latar Belakang ................................................................................................... 1
Perumusan Masalah ............................................................................................ 3
Tujuan Penelitian ................................................................................................ 3
Hipotesis Penelitian ............................................................................................ 3
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 4
Pektin dan Asam Lemak..................................................................................... 4
Nanopartikel ZnO ............................................................................................... 5
Salak Pondoh ...................................................................................................... 6
Pascapanen Salak ............................................................................................... 6
Penyakit Pascapanen .......................................................................................... 8
Pelapisan (Coating) ............................................................................................ 8
METODOLOGI PENELITIAN ............................................................................ 10
Tempat dan Waktu Penelitian .......................................................................... 10
Bahan ................................................................................................................ 10
Alat ................................................................................................................... 10
Prosedur Percobaan .......................................................................................... 10
Tahap 1: Karakterisasi film nanokomposit berbasis pektin dan NP ZnO ........ 12
Tahap 2: Aplikasi larutan nanokomposit sebagai pelapis buah salak pondoh . 15
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 17

Karakteristik Film Nanokomposit .................................................................... 17
Pemilihan Larutan Nanokomposit Terbaik ...................................................... 24
Analisis Mutu Buah Salak Pondoh Selama Penyimpanan ............................... 24
SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 30
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 31
LAMPIRAN .......................................................................................................... 31

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 (a) Struktur pektin dan grup fungsional: (b) karboksil, (c) ester, (d)
amida dalam rantai pektin .................................................................... 4
Gambar 2 Diagram alir penelitian ........................................................................ 11

Gambar 3 Perubahan nilai kuat tarik film nanokomposit ..................................... 20
Gambar 4 Perubahan persentase pemanjangan film nanokomposit ..................... 20
Gambar 5 Perbandingan sifat termal film nanokomposit ..................................... 23
Gambar 6 Laju produksi CO2 salak pondoh selama penyimpanan ...................... 25
Gambar 7 Laju konsumsi O2 salak pondoh selama penyimpanan ....................... 25
Gambar 8 Perbandingan susut bobot buah salak pondoh ..................................... 26
Gambar 9 Perbandingan total padatan terlarut buah salak pondoh ...................... 28
Gambar 10 Total mikroba pada buah salak pondoh selama penyimpanan .......... 29

DAFTAR TABEL
Tabel 1 Kelas mutu buah salak pondoh (SNI 01-3167-1992) ................................ 7
Tabel 2 Ketebalan film nanokomposit (×10-2 mm) .............................................. 17
Tabel 3 Kadar air film nanokomposit (%) ............................................................ 17
Tabel 4 Nilai ∆E film nanokomposit .................................................................... 18
Tabel 5 Laju transmisi uap air (g/m2.jam) ............................................................ 21
Tabel 6 Zona hambat pengujian kemampuan antimikroba (mm)......................... 22
Tabel 7 Suhu transisi gelas, titik leleh, dan entalpi film nanokomposit ............... 23
Tabel 8 Penilaian formula larutan nanokomposit ................................................. 24
Tabel 9 Warna kulit buah salak pondoh selama penyimpanan ............................ 27

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil analisis statistik ketebalan film ................................................. 35
Lampiran 2 Hasil analisis statistik kadar air film .................................................. 36
Lampiran 3 Hasil analisis statistik warna film ...................................................... 37
Lampiran 4 Hasil analisis statistik kuat tarik film ................................................. 38
Lampiran 5 Hasil analisis statistik elongasi film ................................................... 39
Lampiran 6 Hasil analisis statistik WVTR ............................................................ 40
Lampiran 7 Hasil analisis statistik kemampuan antimikroba ................................ 41

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bahan yang paling banyak digunakan untuk mengemas produk pangan saat
ini adalah plastik. Selain dari segi harga yang sangat terjangkau, plastik bersifat
fleksibel, kuat, dan tidak korosif. Akan tetapi, plastik tidak bersifat biodegrable
sehingga membutuhkan waktu yang lama atau bertahun-tahun untuk terurai secara
sempurna. Dengan demikian, plastik dapat menimbulkan pencemaran lingkungan
apabila tidak ditangani dengan baik. Oleh karena itu, pemakaian bahan–bahan
ramah lingkungan mulai dikembangkan dalam pembuatan kemasan. Salah satunya
yaitu muncul kemasan edible. Edible packaging merupakan pengemas bersifat
biodegradable yang pada umumnya dibuat dari bahan hidrokoloid, lemak atau
campuran keduanya. Edible film komposit (gabungan hidrokolid dan lemak) dapat
menggabungkan kelebihan sifat-sifat dari film hidrokoloid dan lemak, serta
mengurangi kelemahannya.
Pektin sering digunakan sebagai bahan baku edible film karena
ketersediannya di alam memlimpah, banyak terdapat pada bahan pertanian yang
tidak termanfaatkan lagi, misalnya pada kulit buah. Pektin merupakan bahan dasar
pembuatan edible film/coating berbasis hidrokoloid, yang memiliki permeabilitas
terhadap gas yang bagus tetapi kurang baik dalam menahan uap air (Krochta dan
De Moulder-Johnson 1997). Oleh karena itu, sering dilakukan penambahan lemak
untuk menurunkan permeabilitasnya terhadap uap air karena lemak bersifat
hidrofobik. Pembuatan edible film dari lemak saja juga tidak baik karena rapuh
dan mudah teroksidasi (tengik). Menurut Hagenmaier dan Shaw (1990), asam
lemak rantai panjang dapat digunakan dalam pembuatan edible film/coating
karena mempunyai titik leleh (melting point) yang tinggi dan permeabilitas uap air
yang rendah. Salah satu jenis asam lemak rantai panjang yang dapat digunakan
dalam pembuatan edible film adalah asam lemak stearat (C:18).
Penelitian dan penemuan nanoteknologi dalam bidang kemasan pangan
mulai bermunculan akhir–akhir ini. Salah satunya yaitu penggunaan nanopartikel
ZnO (NP ZnO) yang dapat menghambat pertumbuhan berbagai bakteri dan
cendawan patogen. Agen antimikroba dalam ukuran lebih kecil (nanometer)
memiliki sifat lebih reaktif sehingga lebih cepat dan efisien menghambat
pertumbuhan mikroba. Selain itu, penambahan nanopartikel juga mampu
memperbaiki sifat mekanis film (Zheng et al. 2015).
Salah satu pemanfaatan kemasan edible yaitu digunakan sebagai pelapis
(coating) makanan semi basah maupun buah-buahan (Nurhayati dan Agusman
2011). Akan tetapi, penelitian dan penggunaan nanokomposit untuk pelapisan
buah segar masih sangat jarang dilakukan di Indonesia. Padahal larutan
nanokomposit memiliki sifat barrier terhadap gas maupun uap air yang lebih baik
dan kemampuan menghambat pertumbuhan mikroba. Oleh karena itu, perlu
dilakukan pengembangan dan aplikasi film/coating nanokomposit untuk
pengawetan buah segar.
Salak merupakan salah satu buah khas Indonesia. Buah salak terkenal
sebagai buah meja sejak petani Kabupaten Sleman menanam varietas Pondoh.
Varietas ini sangat populer dan mencapai tahun keemasan pada periode 1997–
2002. Buah salak dapat dipanen sepanjang tahun sehingga membuat permintaan

2

domestik maupun manca negara begitu tinggi. Konsumsi salak per kapita pada
tahun 2008 sebesar 1.64 kg/tahun dengan level kerusakan buah sekitar 15%.
Permintaan buah salak per tahun sebesar 420 000 ton, sudah termasuk permintaan
ekspor, pasar modern, dan olahan buah. Kabupaten Sleman, Magelang, dan
Banjarnegara menjadi daerah produsen salak terbesar, sekitar 60–70% buah salak
yang ada di pasar – pasar Jakarta merupakan pasokan yang berasal dari kabupaten
tersebut. Jumlah buah yang dibutuhkan untuk pasar ekspor mencapai 32 755
ton/tahun untuk berbagai negara tujuan seperti Singapura, Hong Kong, dan
Malaysia. Beberapa negara seperti China, Jepang, Belanda, dan Amerika Serikat
juga menunjukkan ketertarikannya untuk mengimpor salak dari Indonesia
(Dimyati et al. 2008).
Umur simpan buah salak relatif pendek yaitu sekitar satu minggu.
Penentuan umur simpan ini terkait dengan penurunan mutu dan sifat/karakteristik
buah salak. Selama distribusi, pemasaran dan penyimpanannya buah salak pondoh
akan mengalami perubahan sifat yang mengarah ke penurunan mutu yaitu kulit
berangsur-angsur kering sehingga sulit dikupas, daging buah berubah warna
menjadi cokelat, lunak, berair dan bahkan busuk sehingga akan menyebabkan
terjadinya penurunan bobot buah serta nilai gizi dan rasanya. Buah salak pondoh
memiliki pola respirasi nonklimakterik dan laju transpirasi yang tinggi (Santosa
2007). Transpirasi merupakan salah satu proses utama penyebab penurunan mutu
produk yang mengganggu nilai komersial serta fisiologis buah. Akibat hilangnya
air dari buah ialah rusaknya kenampakan tekstur, cita rasa, dan menurunnya bobot
buah. Semakin tinggi laju transpirasi suatu produk pertanian maka penurunan
mutu akan semakin cepat terjadi.
Penyebab penurunan mutu lainnya yaitu adanya penyakit pascapanen salak
yang disebabkan oleh cendawan. Salah satu penyakit yang muncul setelah salak
dipanen adalah penyakit busuk ujung buah. Hal ini kemungkinan terjadi karena
salak yang dipanen lepas tandan mengalami luka dan sedikit terkelupas pada
ujung buahnya. Seperti yang ditemukan oleh Murtiningsih et al. (1995) dalam
Kusumo (1995), penyakit pascapanen buah salak disebabkan oleh cendawan
Thielaviopsis sp. yang menimbulkan gejala kerusakan 6.6 hari setelah panen.
Pencelupan dalam air pada suhu 50 0C selama 30 menit (hot water treatment)
dapat mempertahankan umur simpan selama 10.8 hari pada suhu ruang. Penyakit
akan sangat cepat menular dan mengakibatkan kerusakan yang parah karena salak
akan semakin cepat busuk. Oleh karena itu, diperlukan metode lain untuk
mengatasi permasalahan ini.
Pertumbuhan cendawan dan transpirasi akan menurunkan kualitas dan
kuantitas buah salak sehingga menyebabkan turunnya harga dan laba penjualan.
Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan teknologi
pelapisan pada kulit buah. Pelapisan adalah teknik pengawetan yang efisien untuk
memperpanjang umur simpan buah terutama bagi negara-negara berkembang
karena tidak memerlukan teknologi tinggi serta lebih ekonomis dibanding dengan
teknik pengawetan lainnya (Sumnu dan Bayindirli 1997). Pelapisan dengan
larutan nanokomposit berbasis pektin dengan penambahan NP ZnO dan asam
lemak diharapkan mampu mengatasi permasalahan transpirasi dan kerusakan
akibat mikroba patogen.

3

Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, muncul permasalahan yaitu belum
diketahuinya karateristik atau sifat-sifat dari film nanokomposit berbasis pektin
dan NP ZnO, baik sifat fisik, mekanis, maupun antimikrobanya. Pengaruh larutan
nanokomposit sebagai pelapis buah salak pondoh juga merupakan salah satu hal
yang perlu dipelajari. Aplikasi pelapisan pada buah menimbulkan pertanyaan
tentang efek dari larutan nanokomposit berbasis pektin dan NP ZnO terhadap
perubahan mutu buah selama penyimpanan.
Tujuan Penelitian
1. Mendapatkan informasi karakteristik film nanokomposit berbasis pektin
dengan penambahan asam stearat dan nanopartikel ZnO.
2. Mempelajari pengaruh pelapisan nanokomposit berbasis pektin terhadap
mutu buah salak pondoh utuh selama penyimpanan.
Hipotesis Penelitian
Penambahan NP ZnO dan asam stearat ke dalam film pektin diduga mampu
meningkatkan sifat mekanis, permeabilitas uap air, dan sifat termalnya. Selain itu,
dengan adanya NP ZnO film yang terbentuk akan memiliki kemampuan
antimikroba sehingga mampu menghambat pertumbuhan mikroba. Penggunaan
larutan nanokomposit sebagai pelapis buah salak pondoh diduga mampu
mempertahankan mutu buah selama penyimpanan.

4

TINJAUAN PUSTAKA
Pektin dan Asam Lemak
Menurut Sriamornsak (2003), pektin merupakan merupakan polimer dari
asam D-galakturonat yang dihubungkan oleh ikatan β-1,4 glikosidik. Sebagian
gugus karboksil pada polimer pektin mengalami esterifikasi dengan metil
(metilasi) menjadi gugus metoksil. Senyawa ini disebut sebagai asam pektinat
atau pektin. Struktur asam pektinat atau pektin dapat dilihat sebagai berikut:

Gambar 1 (a) Struktur pektin dan grup fungsional: (b) karboksil, (c) ester, (d)
amida dalam rantai pektin
Pektin pada tanaman sebagian besar terdapat pada lamela tengah dinding sel
(Glicksman 1986). Pada dinding sel tanaman tersebut pektin berikatan dengan ion
kalsium dan berfungsi untuk memperkuat struktur dinding sel. Oleh karena itu,
untuk memaksimalkan proses ekstraksi, pektin harus dilepaskan dari ion kalsium.
Secara kimiawi, pektin adalah salah satu polisakarida linear. Pektin mengandung
sekitar 300 sampai 1 000 unit monosakarida. Unit monosakarida dari pektin
adalah asam D-galakturonat.
Berdasarkan hasil penelitian Murdianto (2005), penambahan asam strearat
mempengaruhi sifat fisik dan mekanik edible film pektin dari cincau hitam.
Peningkatan konsentrasi asam stearat menyebabkan kenaikan ketebalan tetapi
menurunkan kuat regang putus, kelarutan dan laju transmisi uap air edible film
yang dihasilkan.
Penambahan asam lemak laurat dapat menyebabkan penurunan plastisitas
karena adanya diskontinuitas polimer matriks film, sehingga kekakuan film
bertambah (Jimenez A et.al. 2010). Selain itu Ayranci dan Tunc (2001) juga
melaporkan bahwa penambahan asam lemak laurat dan stearat pada edible film
berbasis selulosa dapat menurunkan nilai laju transmisi uap airnya (water vapour
transmission rate).
Penambahan jumlah asam lemak dapat menurunkan nilai laju transmisi uap
air suatu film kemasan. Hal ini diperngaruhi oleh sifat hidrofobik dari asam lemak
tersebut. Penambahan asam lemak stearat menghasilkan penurunan nilai WVTR
yang lebih tinggi dibandingkan dengan laurat. Hal ini sesuai dengan teori bahwa

5

peningkatan tingkat hidrofobisitas asam lemak berbanding lurus dengan panjang
rantai karbonnya (Ayranci dan Tunc 2001). Asam lemak stearat memiliki rantai
hidrokarbon yang panjang (18 atom C) dan memiliki mobilitas yang rendah. Pada
penelitian yang lain juga disebutkan bahwa edible film dengan stearat lebih efektif
dibandingkan dengan edible film yang mengandung laurat dan palmitat (Ayranci
dan Tunc 1997).
Asam stearat, atau asam oktadekanoat, adalah asam lemak jenuh yang
mudah diperoleh dari lemak hewani serta minyak masak. Wujudnya padat pada
suhu ruang, dengan rumus kimia CH3(CH2)16COOH. Asam lemak stearat
tergolong ke dalam asam lemak rantai panjang karena memiliki jumlah atom
karbon 18, lebih dari 12. Kata stearat berasal dari bahasa Yunani stear, yang
berarti "lemak padat". Asam lemak stearat terdapat pada sumber hewani dan
nabati. Namun pada umumnya lebih sering dijumpai pada lemak hewani. Akan
tetapi pengecualian yang penting adalah asam stearat banyak ditemukan pada
cocoa butter yang memiliki kandungan stearat sebesar 28-45% (Beare-Rogers
et.al. 2001).
Nanopartikel ZnO
Nanopartikel merupakan bahan dengan ukuran partikel antara 1 hingga 100
nanometer. Nanokomposit merupakan gabungan beberapa bahan yang berukuran
nano atau satu bahan berukuran nano yang dimasukkan ke dalam sebuah bahan
curah (Zheng et al. 2015). ZnO merupakan senyawa anorganik yang biasa
digunakan dalam aplikasi sehari-hari yang telah masuk dalam daftar bahan GRAS
(generally recognized as safe) oleh Badan Pangan Amerika (FDA). Senyawa ZnO
ini menunjukkan aktivitas antimikroba untuk menghambat pertumbuhan patogen
terbawa pangan (Espitia et al. 2012).
Zinc (Zn) adalah mikronutrien esensial bagi kesehatan manusia.
Kekurangan zat Zn secara serius dapat menyebabkan masalah kesehatan yang
sangat parah. Oleh karena itu, fortifikasi Zn pada bahan pangan tertentu sering
dilakukan untuk mencukupi kebutuhan Zn dalam tubuh. ZnO merupakan sumber
Zn yang aman sebagai bahan tambahan pangan atau fortifikasi karena akan
didekomposisi menjadi ion Zn setelah dikonsumsi (Shi dan Gunasekaram 2008).
Nanopartikel zinc oxide telah banyak dikembangkan karena memiliki
aktivitas antibakteri, antifungi, filter UV, fotokimia dan katalis yang tinggi.
Antibakteri nanoparikel ZnO (NP-ZnO) lebih kuat daripada bubuk ZnO. Hal ini
disebabkan oleh ukuran partikel yang lebih kecil memiliki luas permukaan yang
lebih besar sehingga lebih efisien dalam menghambat pertumbuhan mikroba
(Jayaseelan et al. 2012).
Zandi et al. (2013) mengemukakan bahwa kemasan plastik yang
mengandung nanopartikel ZnO dapat menghambat pertumbuhan Penicillium sp.
selama penyimpanan buah strawberry. Mekanisme penghambatan bakteri oleh
nanopartikel ZnO yang disampaikan Emamifar et al. (2010) terjadi karena
akumulasi NP-ZnO dalam membran bakteri. Ion Zn yang dilepaskan dari
permukaan nanopartikel akan mengikat membran sel. Kemudian terjadi oksidasi
protein, lipid, dan DNA yang menyebabkan degradasi struktur membran sel
sehingga bakteri lambat laun akan mati.

6

Aktivitas antifungi NP-ZnO juga diamati oleh He et al. (2011) pada dua
jenis cendawan patogen yaitu Botryris cinerea dan Penicillium expansum. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi NP-ZnO lebih dari 3 mmol/l
secara signifikan mampu menghambat pertumbuhan B. cinerea dan P. expansum.
Hasil ini mendukung bahwa NP-ZnO dapat digunakan sebagai fungisida yang
efektif dalam aplikasi pertanian dan keamanan pangan.
Salak Pondoh
Salak pondoh merupakan jenis salak yang paling terkenal di daerah Sleman,
Yogyakarta. Daerah penghasil salak pondoh tersebar pada tiga kecamatan, yaitu
Tempel, Turi dan Pakem, khususnya di desa Soka, Turi dan Candi. Keunggulan
jenis salak ini dibandingkan dengan salak lain adalah buahnya manis meskipun
masih muda dan gurih tanpa rasa sepat (Putra 2011). Hal ini dipengaruhi oleh
komposisi kimianya, yaitu kandungan taninnya yang relatif kecil 0.08% dan
kandungan gulanya yang relatif tinggi 23.3% dengan kandungan total asam yang
kecil 0.32%.
Putra (2011) juga mengungkapkan bahwa komposisi kimia daging buah
salak berubah dengan makin meningkatnya umur buah dan bervariasi menurut
varietasnya. Salak pondoh mempunyai kandungan kimiawi yang relatif konstan
pada umur 5 bulan sesudah penyerbukan. Pada saat ini kadar gulanya mencapai
nilai tertinggi, sedangkan kadar asam dan taninnya adalah terendah. Oleh sebab
itu, umur 5 bulan merupakan saat petik yang baik untuk konsumsi, karena pada
saat itu buah rasanya manis dan rasa asamnya hampir tidak ada.
Masih menurut Putra (2011), apabila dibandingkan dengan tiga varietas
yang lain, yaitu salak Sleman, salak Bali dan salak Condet, ternyata salak Pondoh
mempunyai rasio gula asam yang tertinggi (72.81), disusul salak Sleman (52.44),
salak Bali (41.47) dan yang terendah salak Condet 38.87. Bentuk penampilan
salak Pondoh juga agak berbeda dibandingkan buah salak yang lain, yaitu
mendekati bundar, ukurannya relatif kecil (30-100 gram), teksturnya lebih keras,
warna dagingnya lebih putih tetapi warna kulitnya lebih hitam. Salak Pondoh
Hitam mempunyai warna yang tidak menarik tetapi mempunyai rasa paling enak.
Buah salak bahkan mempunyai nilai gizi (nutrisi) yang hampir sama dengan buah
kiwi (Gorinstein et al. 2009).
Pascapanen Salak
Penanganan pasca panen merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan
terhadap suatu jenis komoditas buah setelah selesai panen untuk mengurangi
kerusakan dan mempertahankan kualitas serta umur simpan buah tersebut. Bayak
kegiatan yang dilakukan dan banyak pihak yang terlibat dalam sistem penanganan
pascapanen produk hortikultura. Secara umum, untuk produk buah – buahan,
operasi utamanya yaitu panen, pengumpulan, pembersihan, pengemasan,
pengangkutan, dan distribusi ke konsumen. Dalam perjalanannya dari kebun ke
konsumen, produk hortikultura biasanya ditangani oleh orang – orang yang
berbeda, mungkin saja diangkut dan disimpan beberapa kali sejak dipanen
(Ahmad, 2013). Tahap penanganan pascapanen buah salak pondoh meliputi

7

pembersihan, penyortiran dan pengkelasan, pengemasan, penyimpanan, dan
pengangkutan.
Pembersihan
Pembersihan buah salak dilakukan dengan menyikat buah menggunakan
sikat ijuk atau plastik dengan gerakan searah susunan sisik. Kebersihan salak
berpengaruh terhadap masa simpan buah salak (Siregar 2007).
Penyortiran dan pengkelasan
Sortasi bertujuan untuk memilih buah yang baik, tidak cacat, dan dipisahkan
dari buah yang busuk, pecah, tergores, atau tertusuk. Selain itu juga berguna untuk
membersihkan buah salak dari kotoran, sisa-sisa duri, tangkai, dan ranting
(Siregar 2007). Standar mutu salak Indonesia tercantum pada Standar Nasional
Indonesia (SNI) 01-3167-1992. Salak dibagi dalam 2 (dua) kelas mutu, yaitu kelas
A dan kelas B. Ukuran berat dibagi atas ukuran besar untuk salak yang berbobot
61 gram atau lebih per buah, ukuran sedang berbobot 33-60 g/buah, dan ukuran
kecil berbobot 32 g atau kurang per buah.
Tabel 1 Kelas mutu buah salak pondoh (SNI 01-3167-1992)
Tingkat
Ketuaan
Kekerasan
Kerusakan
Ukuran
Busuk (bobot/bobot)
Kotoran
Toleransi mutu

Kelas A
Seragam tua
Keras
Kerusakan kulit buah Utuh
Seragam
2%
Bebas
10%

Kelas B
Kurang seragam
Keras
Kurang utuh
Seragam
5%
Bebas
10%

Pengemasan
Buah salak biasanya dikemas dalam keranjang bambu, peti kayu, kardus
(kotak karton gelombang) atau kemasan tradisional khas sentra produksi, seperti
salak sidimpuan yang dikemas dalam karung anyaman pandan. Beberapa jenis
kemasan salak pondoh untuk tujuan pasar lokal yang umum digunakan yaitu
keranjang dari anyaman bambu sedangkan untuk tujuan pasar swalayan dikemas
dengan polyetylene atau bungkus plastik (Siregar, 2007).
Penyimpanan
Penyimpanan bertujuan untuk memperpanjang daya gunanya dan dalam
keadaan tertentu memperbaiki mutunya, menghindarkan banjirnya produk ke
pasar, meningkatkan keuntungan produsen, membantu pemasaran yang teratur,
pengendalian laju transpirasi dan repirasi, serta infeksi penyakit (Pantastico,1986).
Pengangkutan
Komoditas hortikultura memiliki sifat bulky dan sulit diangkut sehingga
biaya pengangkutan mahal (Siregar 2007). Faktor utama dalam sistem
pengangkutan ialah bahwa sistem itu harus mampu mendistribusikan buah-buahan
dan sayuran dalam lingkungan yang terkendali secara cepat dari daerah-daerah

8

penghasil utamanya ke konsumen. Pemilihan kendaraan angkutan bergantung
pada taksiran umur komoditi, waktu dan jarak ke pasar, nilai komoditi, biaya
pengangkutan, dan tersedianya cara-cara pengangkutan itu (Pantastico 1986).
Penyakit Pascapanen
Komoditas buah-buahan bersifat rentan dan dapat terinfeksi oleh patogen
dengan cara penetrasi langsung menembus kutikula yang masih utuh, melalui
luka-luka atau lubang alami yang terdapat pada permukaan inang. Semua produk
yang dihasilkan tanaman berupa buah, batang, daun dan akar yang bersifat
pascapanen memiliki sifat rentan terhadap patogen (Pratomo 2009). Selain
itu,banyak penyakit pascapanen diawali oleh adanya luka selama dan sesudah
pemanenan. Penyakit pascapanen pada buah atau bagian tanaman lain dapat
terjadi selama pemanenan dan pengemasan, saat transportasi atau saat siap
dikonsumsi.
Beberapa cendawan patogen diketahui dapat membentuk tubuh buah berupa
peritesium (teleomorf), seperti pada ordo Diaporthales (Diaporthe,Cryphonectria,
Gnomonia, Magnaporthe dan Gaeumannomyces); Phyllachorales (Glomerella);
Hypocreales (Nectria, Colanectria, Gibberella dan Claviceps); Ophiostomatales
(Ophiostoma) serta Microascales (Ceratocystis). Perkembangan cendawan pada
stadia tidak sempurna, seperti pada genus Chalara (Moniliaceae), Chalaropsis
dan Thielaviopsis (Dematiaceae) membentuk endokonidium dengan panjang 11–
16 cm dan lebar 4–5 cm yang berbentuk silindris. Khusus Chalaropsis dan
Thielaviopsis, konidiofor dapat membentuk aleurio konidium yang berwarna
gelap, berdinding tebal dan berfungsi seperti klamidospora (Pratomo 2009).
Murtiningsih et al. (1995) dalam Kusumo (1995) menemukan bahwa
penyakit pascapanen buah salak disebabkan oleh cendawan Thielaviopsis sp. yang
menimbulkan gejala kerusakan 6.6 hari setelah panen. Pencelupan dalam air pada
suhu 50 0C selama 30 menit (hot water treatment) dapat mempertahankan umur
simpan selama 10.8 hari pada suhu ruang. Sedangkan menurut Pratomo (2009),
cendawan penyebab penyakit pascapanen salak yaitu Chalaropsis sp. Lebih lanjut
lagi Pratomo (2009) menyatakan bahwa cendawan Thielaviopsis, terutama T.
bassicola adalah patogen tular tanah penyebab penyakit rebah kecambah dan
busuk hitam perakaran pada beberapa tanaman. Cendawan ini memiliki banyak
tanaman inang yang tersebar luas terutama di daerah tropika. T. paradoxa
diketahui menjadi penyebab busuk hitam buah nenas dengan gejala utama berupa
pelunakan daging buah.
Pelapisan (Coating)
Teknik pengawetan buah dan sayuran dengan aplikasi coating digunakan
pada buah-buahan dan sayuran untuk mengurangi terjadinya kehilangan
kelembaban, memperbaiki penampilan, berperan sebagai barrier yang baik
(bersifat selective permeable) untuk pertukaran gas dari produk ke lingkungan
atau sebaliknya, serta memiliki fungsi sebagai antifungi dan antimikroba (Krochta
et al. 1994). Selain untuk memperpanjang umur simpan, film atau selaput banyak
digunakan karena tidak membahayakan kesehatan manusia, dapat dimakan serta
mudah diuraikan alam (biodegradable). Beberapa coating komersial yang tersedia

9

umum berbagai warna dan juga diperkaya dengan vitamin serta zat-zat gizi
lainnya untuk melakukan perbaikan gizi tanpa merusak keutuhan produk pangan.
Menurut Donhowe dan Fennema (1994), metode untuk aplikasi coating
pada buah dan sayuran terdiri dari beberapa cara, yakni metode pencelupan
(dipping), pembusaan, penyemprotan (spraying), penuangan (casting), dan
aplikasi penetesan terkontrol. Cara aplikasi ini tergantung pada jumlah, ukuran,
sifat produk, dan hasil yang diinginkan. Metode dipping merupakan metode yang
paling banyak digunakan terutama untuk sayuran, buah, daging, dan ikan, dimana
melalui metode ini produk akan dicelupkan kedalam larutan yang digunakan
sebagai bahan coating. Krochta et al. (1994) menyebutkan bahwa secara umum
ada tiga kelompok materi yang biasa digunakan untuk pembuatan film atau
coating, yakni protein, polisakarida, dan lipid (termasuk lilin, emulsifier, serta
turunannya).
Prinsip pembuatan edible coating sama dengan edible film. Hal yang
membedakannya adalah cara pembentukannya. Pelapis edibel langsung dibentuk
pada permukaan produk, sedangkan edible film dibentuk secara terpisah dari
produk. Donhowe dan Fennema (1994) mengemukakan bahwa pembuatan film
dan pelapis edibel dapat dilakukan dengan cara konservasi (conservation),
pemisahan pelarut (solvent removal) dan pemadatan larutan (solidification of
melt). Larutan coating yang baik berupa larutan yang memiliki viskositas dan pH
yang stabil, mampu menghambat pertukaran gas dan uap air dengan baik, serta
tidak mudah rapuh atau retak. Selain itu, karakteristik lain yang penting yaitu
memiliki surface tension rendah sehingga menempel di permukaan produk
(Krochta et al. 1994). Menurut Suzan (1994), bahan tambahan seperti antimikroba
dan bahan pengawet sering digunakan dalam pembuatan edible film untuk
meningkatkan fungsinya.
Menurut Wrasiati et al. (2001) pelapisan lilin pada perrnukaan kulit buah
salak Bali dapat memperpanjang umur simpan buah salak yang semula 7 hari
menjadi 12 hari dan dapat mempertahankan kualitas salak Bali segar karena dapat
menghambat susut bobot, kehilangan air dan pembentukan gula reduksi serta
mempertahankan pH, total asam organik, vitamin C, dan tanin selama
penyimpanan. Pelapisan lilin dengan konsentrasi 10% memberikan hasil terbaik
terhadap kualitas salak Bali dengan tingkat kerusakan kurang dari 20%, dan waktu
penyimpanan paling lama yaitu 12 hari.

10

METODOLOGI PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan
Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen TMB Fateta IPB, serta Laboratorium
Mikrobiologi dan Laboratorium Rekayasa Pangan di Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan IPB. Penelitian ini dilakukan selama 4 bulan dari November
2014 hingga Februari 2015.
Bahan
Bahan yang digunakan yaitu buah salak pondoh yang diperoleh dari
perkebunan salak di Turi, Sleman, DIY. Untuk pembuatan film nanokomposit dan
aplikasi pelapisan digunakan bubuk pektin, bubuk nanopartikel ZnO, aquades,
asam lemak stearat, gliserol, dan Polyoxyethylene (20) sorbitan monooleate
(Tween 80). Sedangkan untuk analisis antimikroba dan total mikroba diperlukan
media NA dan PCA. Silika gel digunakan untuk analisis karakteristik film.
Alat
Peralatan yang digunakan antara lain neraca analitik, gelas piala, gelas ukur,
magnetic stirrer, sudip, cawan petri, pisau pinset, plastik berklep, label,
termometer, oven pengering, aluminium foil, kertas saring, kaleng transmisi uap
air, mikropipet, cetakan cawan plastik diameter 9 cm, gunting, desikator,
homogenizer dan hot plate. Alat yang digunakan untuk proses pelapisan larutan
nanokomposit antara lain wadah tempat larutan naokomposit dan rak atau nampan
untuk meletakkan salak terlapisi larutan nanokomposit. Sedangkan peralatan
analisis yang digunakan adalah mikrometer, Universal Testing Machine, Gas
Analyzer, rheometer, chromameter, dan DSC (Differential Scanning Calorimeter).
Prosedur Percobaan
Penelitian ini akan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama yaitu
karakterisasi terhadap film nanokomposit berbasis pektin dengan penambahan
asam lemak dan NP-ZnO. Pada tahap ini dilakukan beberapa pengujian terhadap
film nanokomposit. Hasil terbaik dari hasil akhir tahap pertama akan digunakan
pada tahap kedua. Tahap kedua yaitu aplikasi pelapisan larutan nanokomposit
pada buah salak pondoh utuh. Selanjutnya, buah yang sudah terlapisi akan
disimpan selama dua minggu dan diamati perubahan mutunya. Alur percobaan
dapat dilihat pada gambar 2.

11

Tahap 1

Asam stearat (0 dan 1
%b/b pektin
1. Persiapan film
nanokompost

Nanopartikel ZnO (0,
1, dan 2 %b/b pektin

Ketebalan
Kadar air
Warna

2. Karakterisasi film
nanokompost

Mekanis
WVTR
Kemampuan
antimikroba

Pemilihan larutan
coating

Tahap 2

Sifat termal

Pencelupan

3. Aplikasi pelapisan
dan penyimpanan

Suhu ruang

Laju respirasi
Susut bobot
4. Analisis mutu
selama penyimpanan

Warna kulit
Total padatan
terlatut
Total mikroba

Gambar 2 Diagram alir penelitian

12

Tahap 1: Karakterisasi film nanokomposit berbasis pektin dan NP ZnO
Persiapan film nanokomposit
Larutan nanokomposit untuk pembuatan edible film disiapkan menggunakan
gabungan metode yang digunakan oleh Maftoonazad (2006) dan Suyatma et al.
(2013). Proses pembuatan larutan ini dilakukan dengan basis pektin sebesar 1%
(b/v larutan). Secara rinci persiapan larutan nanokomposit berbasis pektin yaitu
sebagai berikut:
a. Larutan pektin tanpa asam stearat dan NP ZnO: pektin sebanyak 2.5 gram
direhidrasi menggunakan 250 ml aquades selama 24 jam. Kemudian
dihomogenisasi dengan homogenizer selama 3 menit.
b. Larutan pektin dengan penambahan asam stearat: pektin sebanyak 2.5 gram
direhidrasi menggunakan 200 ml aquades selama 24 jam. Kemudian
dihomogenisasi selama 2 menit dan dipanaskan. Asam stearat (1%, b/b
pektin) dimasukkan ke dalam 50 ml aquades pada gelas beker yang lain, lalu
ditambahkan 0.1% (b/v larutan) Tween 80 dan 40% (b/b pektin) sorbitol.
Larutan asam stearat dipanaskan dan diaduk di atas hot plate hingga asam
stearat meleleh. Larutan pektin yang telah panas dihomogenisasi kembali
selama 2 menit. Selama proses homogenisasi tersebut dimasukkan larutan
asam stearat sedikit demi sedikit.
c. Larutan pektin dengan penambahan NP ZnO: nanopartikel ZnO (1 dan 2%,
b/b pektin) dimasukkan ke dalam 100 ml aquades selanjutnya dihomogenisasi
selama 2 menit. Pada gelas beker yang berbeda, pektin sebanyak 2.5 gram
direhidrasi menggunakan 150 ml aquades selama 24 jam. Kemudian
dihomogenisasi selama 4 menit. Selama proses homogenisasi tersebut
dimasukkan larutan NP-ZnO sedikit demi sedikit.
d. Larutan pektin dengan penambahan asam stearat dan NP ZnO: nanopartikel
ZnO (1 dan 2%, b/b pektin) dimasukkan ke dalam 100 ml aquades
selanjutnya dihomogenisasi selama 2 menit. Pada gelas beker yang berbeda,
pektin sebanyak 2.5 gram direhidrasi menggunakan 100 ml aquades selama
24 jam kemudian dihomogenisasi selama 2 menit. Selama proses
homogenisasi tersebut dimasukkan larutan NP ZnO sedikit demi sedikit lalu
dipanaskan. Asam stearat (1%, b/b pektin) dimasukkan ke dalam 50 ml
aquades pada gelas beker yang lain, lalu ditambahkan 0.1% (b/v larutan)
Tween 80 dan 40% (b/b pektin) sorbitol. Larutan asam stearat dipanaskan dan
diaduk di atas hot plate hingga asam stearat meleleh. Larutan asam stearat
sedikit demi sedikit dimasukkan ke dalam larutan pektin-NP ZnO yang telah
panas melalui proses homogenisasi selama 2 menit.
Semua larutan didiamkan terlebih dahulu sebelum dicetak hingga buih
yang ada dalam larutan hilang. Larutan nanokomposit (40 ml) dimasukkan ke
dalam cawan petri plastik kemudian dikeringkan menggunakan oven pada suhu
45oC selama 20 jam. Film yang sudah kering dikeluarkan dari oven lalu dikeringanginkan pada suhu ruang hingga film dapat diambil atau dikeluarkan dari
cetakan (cawan plastik).
Pengukuran ketebalan
Film yang dihasilkan diukur ketebalannya dengan menggunakan
mikrometer sekrup dengan ketelitian 0.01 mm pada lima tempat yang berbeda.
Nilai ketebalan diukur dari rata-rata lima pengukuran ketebalan.

13

Pengukuran kadar air
Kadar air film nanokomposit diukur dengan metode gravimetri. Sebanyak 5
gram film dimasukkan ke dalam cawan kemudian dikeringkan dengan oven pada
suhu 105 oC selama 24 jam atau hingga berat konstan. Kadar air dihitung dengan
cara membandingkan jumlah air yang menguap dengan berat film awal.
Pengamatan warna
Pengukuran intensitas warna dilakukan dengan alat Chromameter Minolta
CR-400. Alat ini menggunkan sistem CIE L*, a*, dan b*. L menunjukkan
kecerahan dengan nilai 0 (gelap/hitam) hingga 100 (terang/ putih), sedangkan a
dan b adalah koordinat-koordinat chroma. Parameter a adalah cahaya pantul yang
menghasilkan warna kromatik campuran merah–hijau dengan nilai +a dari nol
sampai 100 (merah) dan nilai –a dari nol sampai 80 (hijau). Parameter b adalah
warna kromatik campuran biru–kuning dengan nilai +b dari nol sampai 70
(kuning) dan nilai –b dari nol sampai 70 (biru).
Metode yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kekeruhan film
adalah menggunakan nilai ∆E. Film nanokomposit ditembak dengan chromameter
di atas alas warna putih (L = 88.76, a = 0.87, b = -2.37). Semakin kecil nilai ∆E
yang dihasilkan, maka semakin mirip warna antara dua objek tersebut dan dapat
dikatakan semakin transparan film nanokomposit yang diukur tersebut. Rumus
yang digunakan untuk menghitung ∆E yaitu:
∆E= (L2 -L1 )2 +(a1 -a2 )2 +(b1 -b2 )2

(1)

Pengukuran kuat tarik dan elongasi film nanokomposit
Kuat tarik dan persentase pemanjangan diukur dengan menggunakan
Universal Testing Machine (ASTM D882-91). Nilai gaya maksimum untuk
memotong film dan deformasi film yang diukur dapat dilihat dari grafik dan tabel
pada monitor komputer. Kuat tarik ditentukan berdasarkan beban maksimum pada
saat film pecah dan persentase pemanjangan didasarkan atas pemanjangan film
saat film putus. Secara matematis hubungan tersebut dapat ditulis sebagai berikut:
Kuat tarik = F/A
Keterangan:
F : gaya kuat tarik (N);
A : luas penampang (m2)

(2)

Persen pemanjangan (elongasi) dihitung dengan membandingkan panjang
film nanokomposit saat putus dan panjang film sebelum ditarik oleh alat. Secara
matematis persen pemanjangan tersebut dapat ditulis sebagai berikut:
(3)
Keterangan:
a : panjang awal (m);

b : panjang saat putus (m)

14

Pengukuran laju transmisi uap air
Laju transmisi uap air (water vapor transmission rate/WVTR) terhadap film
diukur dengan menggunakan metode gravimetri (ASTM E96-95). Prinsip kerja
dari metode ini adalah mengukur besarnya uap air yang mampu menembus
sampel film nanokomposit dengan cara menghitung pertambahan berat pada
bahan penyerap uap air (desikan) yang menyerap uap air dari sisi luar film. Pada
penelitian ini digunakan model jendela, pada bagian atas kaleng ditutup
menggunakan aluminium foil yang memiliki celah di tengahnya dengan besaran
luas yang diketahui dan celah tersebut diisi oleh sampel film nanokomposit. Oleh
karena itu, besarnya luas permukaan dapat terseragamkan.
Bahan penyerap uap air (silika gel) diletakkan dalam kaleng. Sampel
diletakkan di atas kaleng tersebut sedemikian rupa sehingga menutupi mulut
kaleng lalu direkatkan dengan lem. Kaleng ditimbang dengan timbangan analitik
kemudian dimasukkan dalam desikator yang berisi air distilasi (kelembaban relatif
100%). Cawan ditimbang tiap hari pada jam yang sama dengan selang waktu
tertentu dan ditentukan panambahan berat dari cawan. Selanjutnya dibuat grafik
hubungan antara pertambahan berat dan waktu. Nilai WVTR dihitung dengan
rumus:

WVTR =

slope
g
=
luas sampel (m2 ) m2 .jam

(4)

Pengujian kemampuan antimikroba
Pengujian kemampuan antimikroba dilakukan dengan metode difusi sumur
untuk bakteri dan metode cakram untuk cendawan. Pada metode sumur, kultur
bakteri uji (Eschericia coli dan Staphylococcus aureus) sebanyak 0.2 mL
diinokulasi ke dalam Natrium Agar (NA) 100 mL. 20 mL NA yang sudah
ditambah patogen kemudian dituang ke dalam cawan petri steril dan didiamkan
hingga mengeras. Lubang sumur dibuat dengan diameter 6 mm. 30 µL larutan
nanokomposit dituangkan ke dalam sumur dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama
24 jam. Untuk metode cakram, film nanokomposit disiapkan dengan ukuran 3 cm
× 3 cm kemudian diletakkan di atas permukaan PDA yang sudah ditumbuhkan
isolat cendawan murni (Penicillium sp.) selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 oC
selama 24 jam. Zona hambat ditunjukkan dengan area bening yag terbentuk di
sekitar sumur atau cakram film.
Analisis sifat termal
Sampel ditimbang sebesar 10 mg kemudian dimasukkan ke dalam pan
tempat sampel. Setelah itu dilakukan pengepresan lalu dimasukkan ke dalam
tempat sampel pada DSC. Analisis dilakukan pada suhu -30 ºC sampai dengan
220 ºC dengan percepatan suhu 10 ºC per menit. Perubahan yang terjadi dapat
diamati berupa grafik termogram pada monitor komputer.
Pemilihan larutan nanokomposit terbaik
Pemilihan larutan nanokomposit terbaik yang akan digunakan untuk aplikasi
pelapisan salak pondoh dilakukan dengan pemberian skor dan pembobotan.
Kriteria yang digunakan sebagai pertimbangan yaitu kadar air, warna, laju
transmisi uap air, dan kemampuan antimikroba.

15

Tahap 2: Aplikasi larutan nanokomposit sebagai pelapis buah salak pondoh
Persiapan Sampel Salak Pondoh
Salak pondoh yang diperoleh dari kebun disortasi berdasarkan ukuran, ada
tidaknya kulit terkelupas, memar, dan kebusukan. Sortasi ini dimaksudkan agar
diperoleh bahan/sampel yang bisa mewakili kerusakan akibat faktor pertumbuhan
mikroba. Jadi, buah yang telah disortasi merupakan buah yang bermutu baik.
Aplikasi pelapisan buah salak dengan larutan nanokomposit
Pelapisan buah salak pondoh dilakukan dengan metode pencelupan. Buah
salak pondoh utuh direndam pada larutan nanokomposit selama 30 detik
kemudian dikeringanginkan.
Penyimpanan dan analisis mutu buah salak pondoh
Buah salak pondoh yang sudah terlapisi larutan nanokomposit disimpan
pada suhu ruang (25–30 oC) selama 14 hari. Setiap 2 hari diamati penurunan
mutunya meliputi susut bobot, warna, tekstur (kekerasan), total padatan terlarut,
dan total mikroba. Begitu pula pengamatan yang dilakukan terhada