Analisis Sidik Jari Kromatografi Lapis Tipis Tanaman Pegagan (Centella Asiatica)

ANALISIS SIDIK JARI KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS
TANAMAN PEGAGAN (Centella asiatica)

ADITYA UTAMA FATAHILLAH

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Sidik jari
Kromatografi Lapis Tipis Tanaman Pegagan (Centella asiatica) adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2016

Aditya Utama Fatahillah
NIM G44134013

ABSTRAK
ADITYA UTAMA. Analisis Sidik Jari Kromatografi Lapis Tipis Tanaman
Pegagan (Centella asiatica). Dibimbing oleh MOHAMAD RAFI dan WULAN
TRI WAHYUNI.
Pola sidik jari kromatografi lapis tipis dapat dimanfaatkan untuk evaluasi
dan kendali mutu multikomponen bahan baku maupun produk tanaman obat.
Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan metode analisis sidik jari
kromatografi lapis tipis (KLT) pegagan untuk kendali mutunya. Fase gerak yang
terdiri atas kloroform, metanol, dan asam asetat (64:35:1) diketahui sebagai fase
gerak yang dapat memisahkan 11 pita dengan keterpisahan yang baik. Sebagai
senyawa penciri digunakan asiatikosida (RF rerata=0.50) dengan pita berwarna
hijau pucat dalam sinar tampak dan berpendar hijau dalam sinar ultraviolet 366
nm menggunakan pereaksi Liebermann-Burchard sebagai pendeteksi pita.

Validasi metode analisis sidik jari KLT menghasilkan keterulangan pola
pemisahan dan nilai RF yang baik, warna yang stabil lebih dari 30 menit, dan
ketegaran yang baik terhadap penurunan jarak pengembangan serta perubahan
jenis bejana kromatografi. Oleh karena itu metode yang dikembangkan ini dapat
digunakan untuk kendali mutu bahan baku pegagan.
Kata kunci: analisis sidik jari, asiatikosida, Centella asiatica, KLT

ABSTRACT
ADITYA UTAMA. Thin Layer Chromatography Fingerprint Analysis of Pegagan
(Centella asiatica). Supervised by MOHAMAD RAFI and WULAN TRI
WAHYUNI.
Thin layer chromatography fingerprint analysis can be used for evaluation
and quality control of medicinal plants raw material and products. In this work,
we developed a TLC fingerprint analysis method of pegagan to evaluate the
quality. A mixture of chloroform, methanol, and acetic acid (64:35:1) was found
as optimum mobile phase in silica TLC plate and could separate 11 bands.
Asiaticoside was choosed as a marker (RF=0.50) and detected as a pale green band
in visible light and green fluorescence in ultraviolet at 366 nm after derivatization
with Liebermann-Burchard reagent. Validation of the method also proved that the
method gives excellent RF and separation pattern repeatability, stable color within

30 minutes, and good robustness as the development distance decreased and at
different chamber type. Therefore, the method could be used for quality control of
pegagan.
Keywords: asiaticoside, Centella asiatica, fingerprint analysis, TLC

ANALISIS SIDIK JARI KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS
TANAMAN PEGAGAN (Centella asiatica)

ADITYA UTAMA FATAHILLAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2016

ii

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhaanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2015 ini adalah teknik
pemisahan, dengan judul Analisis Sidik jari Kromatografi Lapis Tipis Tanaman
Pegagan (Centella asiatica).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Mohamad Rafi, MSi dan Dr
Wulan Tri Wahyuni, MSi selaku pembimbing atas bimbingan, arahan, dan
sarannya kepada penulis. Penghargaan penulis sampaikan kepada analis dan staf
di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka LPPM-IPB (Nunuk Kurniati Nengsih,
SFam; Salina Febriany, SSi; Laela Wulansari, SSi; Antonio Kautsar, SSi; dan Mas
Endi Suhendi) serta seluruh staf Laboratorium Kimia Analitik (Ibu Nunung
Nuryanti, Bapak Eman Suherman, Bapak Edi Suhendar, dan Bapak Kosasih) yang
telah membantu penulis selama masa studi di Departemen Kimia IPB. Ungkapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu, Ayah dan seluruh keluarga atas
segala doa, dukungan dan kasih sayangnya, Hajar Laraswati; Dewi Anggraeni,

SSi; dan Teguh Yanuar yang selalu memberikan motivasi dan masukan selama
penelitian.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2016

Aditya Utama Fatahillah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

viii


PENDAHULUAN

1

METODE

2

Bahan dan Alat

2

Lingkup Penelitian

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

6


Pengoptimuman Fase Gerak Sidik Jari KLT

6

Stabilitas Analit

9

Uji Spesifitas

11

Uji Presisi dan Presisi Antara

13

Uji Ketegaran

14


SIMPULAN DAN SARAN

15

Simpulan

15

Saran

16

DAFTAR PUSTAKA

16

LAMPIRAN

18


RIWAYAT HIDUP

28

DAFTAR TABEL
1 Hasil uji presisi dan presisi antara
2 Hasil uji ketegaran

13
15

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7

8
9
10
11
12
13

Morfologi tanaman pegagan (Mora dan Fernando 2012)
Struktur asiatikosida (James dan Dubery 2011)
Hasil pengembangan menggunakan fase gerak tunggal
Total pita ekstrak pegagan dari berbagai fase gerak campuran
Hasil pengembangan level keempat dan uji coba pengembangan
standar
Perbandingan kromatogram hasil pengembangan standar
asiatikosida dan ekstrak pegagan
Hasil uji stabilitas analit sebelum kromatografi
Hasil uji stabilitas analit selama proses kromatografi
Hasil uji stabilitas analit setelah proses kromatografi dengan
pereaksi Liebermann-Burchard pada sinar ultraviolet 366 nm
Pegagan, pegagan tipe daun bulat, dan semanggi gunung

Hasil uji spesifitas dengan pereaksi Liebermann-Burchard pada
sinar tampak dan ultraviolet 366 nm
Perbandingan kromatogram hasil pengembangan menggunakan
bejana twin-trough dan flat-bottom
Perbandingan kromatogram dengan jarak pengembangan 8 cm dan
7 cm

1
1
6
7
8
9
10
10
11
11
12
14
15

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

Diagram alir penelitian
Pengoptimuman fase gerak
Komposisi fase gerak yang dioptimumkan
Indeks kepolaran fase gerak tunggal (Sadek 2002)
Hasil pengembangan ekstrak pada pengoptimuman level kedua
Hasil pengembangan ekstrak pada pengoptimuman level ketiga
Hasil pengembangan ekstrak pada pengoptimuman level keempat
Hasil pengembangan standar dan sampel pada pengoptimuman level
kelima
Resolusi pemisahan ekstrak pegagan menggunakan eluen campuran
kloroform, metanol, dan asam asetat (6.25:3.5:0.25)
Resolusi pemisahan ekstrak pegagan menggunakan eluen campuran
kloroform, metanol, dan etil asetat (5:4:1)
Resolusi pemisahan ekstrak pegagan menggunakan eluen campuran
kloroform, metanol, dan asam asetat (6.4:3.5:0.1)
Contoh perhitungan resolusi kromatogram
Hasil uji stabilitas analit sebelum proses kromatografi
Hasil uji stabilitas analit setelah proses kromatografi dengan pereaksi
Liebermann-Burchard pada sinar tampak
Hasil uji spesifitas dalam ultraviolet 254 nm, 366 nm, dan sinar tampak
Hasil uji presisi hari pertama
Hasil uji presisi antara
Bejana kromatografi (CAMAG®) jenis twin-trough dan flat-bottom
(Reich dan Schibli 2006)

18
19
20
20
21
21
21
22
23
23
24
24
25
25
26
26
27
27

PENDAHULUAN
Pegagan (Centella asiatica) (Gambar 1) adalah tanaman herba yang sudah
lama dimanfaatkan sebagai tanaman obat. Tanaman ini telah dipasarkan di
Australia dengan nama gotu kola yang bermanfaat sebagai penghilang stres dan
antidemensia. Pegagan telah banyak dimanfaatkan di Asia Tenggara sebagai obat
untuk penyembuhan luka, radang, rematik, asma, wasir, tuberkulosa, lepra,
disentri, demam, dan penambah selera makan. Masyarakat India dan Srilanka
memanfaatkan pegagan sebagai obat untuk memperlancar sirkulasi darah bahkan
dianggap lebih bermanfaat dibandingkan dengan Ginkgo biloba atau ginseng
(Januwati dan Yusron 2005).

Gambar 1 Morfologi tanaman pegagan (Mora dan Fernando 2012)
Salah satu komponen pegagan adalah keluarga triterpenoid saponin dengan
komposisi utama asiatikosida (Gambar 2), madekasosida, asam asiatat, dan asam
madekasat (James dan Dubery 2011). Kadar triterpenoid total bervariasi sesuai
dengan tempat tumbuh.

Gambar 2 Struktur asiatikosida (James dan Dubery 2011)
Kualitas dan keaslian tanaman obat dapat dievaluasi berdasarkan senyawa
penciri yang terkandung di dalamnya. Kehadiran senyawa-senyawa penciri tidak
selalu menjamin bahwa produk tersebut mengandung satu jenis tanaman obat
tanpa adanya campuran tanaman lain yang mempunyai kemiripan fisik (Soares et
al. 2007) atau bekerja sinergis dalam menimbulkan efek biologis tertentu (Liang
et al. 2004). Sediaan obat herbal biasanya diperoleh dari ekstraksi satu atau
beberapa jenis tanaman obat sehingga kendali mutu obat herbal lebih sulit dari
obat sintetis yang biasa digunakan di negara-negara barat (Liang et al. 2004).

2

Oleh karena itu, perlu dikembangkan suatu metode kendali mutu untuk tanaman
obat.
Analisis sidik jari dapat membantu dalam proses identifikasi dan autentikasi
spesies tanaman untuk kendali mutunya (Borges et al. 2007). Senyawa kimia yang
dikandung oleh tanaman obat dapat ditampilkan dalam sidik jari kromatografi
sehingga karakteristik kimia tanaman obat tersebut dapat digambarkan secara
menyeluruh (Liang et al. 2004). Dalam kendali mutu produk tanaman obat,
analisis sidik jari menggunakan kromatografi merupakan teknik yang dapat
digunakan untuk mengevaluasi dan membandingkan komponen-komponen kimia
yang terdapat pada produk tersebut. Pola sidik jari kromatografi menunjukkan
profil keseluruhan komponen karena dapat merepresentasikan keragaman
komponen yang ada dalam tanaman obat tanpa memperhatikan jenisnya (Liang et
al. 2004). Analisis sidik jari dimanfaatkan untuk evaluasi dan kontrol kualitas
multikomponen dari bahan baku obat herbal karena profil kromatografi yang
dihasilkan dapat digunakan untuk pencirian komposisi sampel dari suatu tanaman
obat (Zhao et al. 2008).
Analisis sidik jari dalam penelitian ini menggunakan metode kromatografi
lapis tipis karena hasil yang diperoleh dapat langsung dievaluasi secara visual.
Kontaminasi juga dapat dihindarkan karena sistem kromatografi lapis tipis
digunakan hanya sekali dalam pengembangan (Reich dan Schibli 2006). Beberapa
keuntungan lainnya adalah preparasi sampel yang mudah, prosedur kerja yang
sederhana, dan volume pelarut yang digunakan sedikit sehingga biaya operasional
relatif murah. Penelitian bertujuan mengembangkan metode deteksi sidik jari
tanaman pegagan untuk kendali mutunya.

METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan adalah serbuk pegagan yang diperoleh dari
Pusat Studi Biofarmaka (PSB) Bogor, serbuk pegagan tipe daun bulat, serbuk
semanggi gunung, pelat silika gel 60 F254 (Merck, Darmstadt, Jerman), standar
asiatikosida (ChromaDex, Santa Ana, CA92705, USA), metanol pa (Merck,
Darmstadt, Jerman), kloroform pa (Merck, Darmstadt, Jerman), asam asetat
glasial (Merck, Darmstadt, Jerman), etil asetat pa (Merck, Darmstadt, Jerman),
dietil eter pa (Merck, Darmstadt, Jerman), diklorometana pa (Merck, Darmstadt,
Jerman), n-butanol pa (Merck, Darmstadt, Jerman), p-anisaldehida pa (Sigma
Aldrich, St. Louis, MO63103, USA), anhidrida asetat pa (Merck, Darmstadt,
Jerman), dan asam sulfat pekat (Merck, Darmstadt, Jerman). Peralatan yang
digunakan adalah bejana kromatografi jenis flat-bottom, twin-trough (CAMAG,
Muttenz, Swiss), oven (Memmert GmbH + Co. KG, Schwabach, Jerman), neraca
analitik XT 220A (Precisa Gravimetrics AG, Moosmattstrasse, Swiss), aplikator
CAMAG Linomat 5 (CAMAG, Muttenz, Swiss), CAMAG Repostar 3 (CAMAG,
Muttenz, Swiss), dan peralatan kaca yang umum terdapat di laboratorium kimia.

3

Lingkup Penelitian
Tahapan yang dilakukan dalam penelitian terdiri atas ekstraksi serbuk
tanaman pegagan dengan sonikasi, pengembangan pelat menggunakan berbagai
komposisi pelarut untuk mendapatkan fase gerak terbaik, dan proses validasi.
Validasi yang dilakukan terdiri atas uji stabilitas analit dalam larutan dan pelat,
stabilitas analit selama proses kromatografi, stabilitas warna hasil derivatisasi
analit, spesifitas, presisi, presisi antara, ketegaran terhadap perbedaan jenis bejana
kromatografi, dan ketegaran terhadap penurunan jarak pengembangan pelat
(Lampiran 1).
Ekstraksi Tanaman Pegagan secara Sonikasi
Serbuk tanaman pegagan ditimbang sebanyak 1 g, dimasukkan ke dalam
labu Erlenmeyer 100 mL dan ditambahkan 10 mL metanol. Mulut labu
Erlenmeyer ditutup dengan aluminium foil kemudian labu dimasukkan ke dalam
sonikator. Sonikasi dilakukan selama 30 menit. Ekstrak disaring ke dalam botol
yang bersih kemudian ditutup rapat.
Pembuatan Pereaksi Pewarna
Pereaksi anisaldehida-asam sulfat disiapkan dengan mencampurkan 10 mL
asam sulfat pekat dengan campuran 170 mL metanol dan 20 mL asam asetat
glasial sambil didinginkan di dalam penangas es, diikuti dengan penambahan 1
mL p-anisaldehida ke dalam campuran tersebut (Widmer et al. 2008). Pereaksi
dipindahkan ke dalam botol gelap dan ditutup rapat.
Pereaksi Liebermann-Burchard dibuat dengan mencampurkan 1 mL asam
sulfat pekat dan 20 mL anhidrida asetat ke dalam 79 mL kloroform (Reich dan
Schibli 2006). Bahan-bahan diaduk hingga bercampur sempurna di dalam labu
Erlenmeyer dengan pendingin berupa air bersih. Pereaksi dipindahkan ke dalam
botol gelap dan ditutup rapat.
Preparasi Pelat sebelum Digunakan
Pelat silika gel 20×20 cm dipotong sesuai kebutuhan. Pelat diberi garis awal
dan akhir menggunakan pensil, dengan jarak setiap garis 1 cm dari tepi pelat.
Selanjutnya, dilakukan pengembangan pelat dalam bejana kromatografi jenis flatbottom atau twin-trough yang telah terjenuhkan oleh metanol. Pelat dikeringkan
dalam oven pada 100 °C selama 10 menit.
Pemilihan Pelarut sebagai Fase Gerak
Sebanyak 10 mL masing-masing pelarut, yaitu dietil eter, diklorometana,
kloroform, n-butanol, etil asetat, metanol, dan asam asetat dimasukkan ke dalam
bejana flat-bottom dan dijenuhkan selama 30 menit.
Sebanyak 8 L ekstrak pegagan diaplikasikan dengan lebar 8 mm. Pelat
yang telah berisi ekstrak dikembangkan dalam bejana flat-bottom yang telah
terjenuhkan hingga fase gerak mencapai tinggi 8 cm dari posisi aplikasi ekstrak.
Setelah pengembangan selesai, pelat dikeluarkan dan dikeringkan pada suhu
ruang. Selanjutnya, dilakukan pengembangan dengan fase gerak campuran dua
atau tiga pelarut tersebut dengan berbagai perbandingan hingga dihasilkan
kromatogram dengan jumlah bercak terbanyak dan keterpisahan terbaik.

4

Deteksi dan Derivatisasi Komponen
Pelat berisi ekstrak yang telah dikembangkan dikeringkan pada suhu ruang
selama 5-10 menit dan diamati pada sinar tampak, ultraviolet 366 dan 254 nm
(Fernand 2003). Derivatisasi komponen pita ekstrak pegagan dilakukan dengan
mencelupkan pelat ke dalam pereaksi anisaldehida-asam sulfat atau LiebermannBurchard.
Derivatisasi menggunakan pereaksi anisaldehida-asam sulfat dilakukan
dengan mencelupkan pelat ke dalam 25 mL pereaksi tersebut. Pelat dipanaskan
pada 95 °C selama 10 menit (James dan Dubery 2011). Pencirian menggunakan
pereaksi Liebermann-Burchard dilakukan dengan mencelupkan pelat ke dalam 25
mL pereaksi tersebut dan memanaskannya pada 100 °C selama 20 menit (Reich
dan Schibli 2006 dengan modifikasi). Pelat yang telah diderivatisasi diamati pada
sinar tampak dan ultraviolet 366 nm.
Stabilitas Analit dalam Larutan dan Pelat (Reich dan Schibli 2006)
Ekstrak diaplikasikan pada lajur 1 pelat 10 10 cm sebanyak 8 µL. Ekstrak
dan pelat tersebut dibiarkan selama 3 jam kemudian ekstrak yang sama
diaplikasikan sebanyak 8 µL pada lajur 3. Disiapkan pula ekstrak baru sebagai
pembanding yang diaplikasikan pada lajur 2 dan 4 masing-masing sebanyak 8 µL.
Pelat dikembangkan dalam bejana twin-trough hingga fase gerak mencapai tinggi
8 cm dari posisi aplikasi ekstrak. Pelat didokumentasi sebelum dan setelah
derivatisasi dengan pereaksi Liebermann-Burchard. Nilai RF pita asiatikosida pada
lajur 1 dibandingkan dengan lajur 2 untuk mengevaluasi stabilitas analit dalam
pelat, sedangkan lajur 3 dibandingkan dengan lajur 4 untuk mengevaluasi
stabilitas analit dalam larutan. Ekstrak dikatakan stabil 3 jam dalam larutan dan 3
jam pada pelat sebelum proses kromatografi jika perbedaan nilai RF yang tidak
lebih dari 0.05.
Stabilitas Analit selama Kromatografi (Reich dan Schibli 2006)
Pelat 10×10 cm diberi garis dengan jarak 10 mm dari masing-masing tepi.
Sebanyak 3 L ekstrak pegagan diaplikasikan sebagai bercak di bagian tepi kiri
bawah pelat tersebut (10 mm dari tiap tepi) dengan lebar bercak 0.6 mm. Pelat
dikembangkan dalam bejana twin-trough hingga fase gerak mencapai tinggi 8 cm
dari posisi aplikasi ekstrak. Setelah pengembangan dilakukan, pelat diangkat dan
dikeringkan. Pelat diputar 90° ke kanan kemudian pengembangan dilakukan untuk
kedua kalinya menggunakan fase gerak dengan komposisi sama namun baru
disiapkan hingga fase gerak mencapai tinggi 8 cm dari garis awal. Pelat
diderivatisasi dengan pereaksi Liebermann-Burchard dan didokumentasi. Uji
stabilitas dilakukan juga dengan ekstrak pegagan sebanyak 0.5 L. Kedua hasil
dibandingkan. Analit stabil selama proses kromatografi jika semua bercak berada
pada posisi diagonal yang menghubungkan posisi awal aplikasi ekstrak dengan
perpotongan garis kedua fase gerak.
Stabilitas Hasil Derivatisasi Pita (Reich dan Schibli 2006)
Ekstrak diaplikasikan sebanyak 8 L pada pelat 10 10 cm kemudian
dilakukan pengembangan hingga fase gerak mencapai tinggi 8 cm dari posisi
aplikasi ekstrak. Pelat diderivatisasi dengan pereaksi Liebermann-Burchard. Hasil

5

didokumentasi setelah 2, 5, 10, 20, 30, dan 60 menit. Pita yang dihasilkan stabil
jika tidak terjadi perubahan yang signifikan minimal selama 30 menit.
Uji Spesifitas
Ekstrak pegagan, ekstrak pegagan tipe daun bulat, ekstrak semanggi gunung,
pegagan umur panen 3 bulan, 4 bulan, dan 5 bulan diaplikasikan berturut-turut
pada lajur 1, 2, 3, 5, 6, dan 7 sebanyak 8 µL pada pelat 10 10 cm. Standar
asiatikosida 1230 ppm diaplikasikan pada lajur 4 sebanyak 3.3 µL di pelat yang
sama. Pengembangan dilakukan hingga fase gerak mencapai tinggi 8 cm dari
posisi aplikasi ekstrak. Pelat didokumentasi sebelum dan setelah derivatisasi
dengan pereaksi Liebermann-Burchard untuk membandingkan pola-pola yang
terbentuk di setiap lajurnya.
Presisi (Reich dan Schibli 2006)
Ekstraksi dilakukan sebanyak tiga kali ulangan. Masing-masing ekstrak
diaplikasikan tiga kali sebanyak 8 L pada pelat 15 10 cm. Aplikasi ekstrak
dilakukan pada 3 pelat berbeda. Pengembangan setiap pelat dilakukan dengan
bejana twin-trough menggunakan fase gerak yang baru disiapkan, hingga fase
gerak mencapai tinggi 8 cm dari posisi aplikasi ekstrak. Pelat didokumentasi
sebelum dan setelah derivatisasi. Nilai RF pada masing-masing zona pita
asiatikosida dihitung kemudian ditentukan rerata dan simpangan relatifnya. Hasil
dapat diterima jika pola sidik jari identik terkait dengan jumlah, letak, warna,
intensitas warna, dan perbedaan nilai RF yang tidak lebih dari 0.02.
Presisi Antara (Reich dan Schibli 2006)
Ekstrak diaplikasikan tiga kali sebanyak 8 L berbentuk pita pada pelat
10 10 cm. Aplikasi ekstrak dilakukan pada 2 hari yang berbeda setelah pengujian
presisi, satu pelat perhari. Pengembangan setiap pelat dilakukan dengan bejana
twin-trough hingga fase gerak mencapai tinggi 8 cm dari posisi aplikasi ekstrak.
Pelat didokumentasi sebelum dan setelah derivatisasi. Nilai RF pada masingmasing zona pita asiatikosida dihitung kemudian ditentukan rerata dan simpangan
relatifnya. Hasil dapat diterima jika pola sidik jari identik terkait dengan jumlah,
letak, warna, intensitas warna, dan perbedaan nilai RF yang tidak lebih dari 0.05.
Ketegaran terhadap Jenis Bejana Kromatografi (Reich dan Schibli 2006)
Ekstrak sebanyak 8 L dan standar asiatikosida sebanyak 3.3 L
diaplikasikan pada pelat 10 10 cm. Ekstrak diaplikasikan pada lajur 1 dan 3,
sedangkan standar diaplikasikan pada lajur 2. Proses tersebut dilakukan pada dua
pelat yang berbeda. Masing-masing pelat dikembangkan dalam bejana twintrough dan flat-bottom hingga fase gerak mencapai tinggi 8 cm dari posisi aplikasi
ekstrak. Pelat didokumentasi sebelum dan setelah derivatisasi. Hasil dapat
diterima jika pola sidik jari identik terkait dengan jumlah, letak, warna, intensitas
warna, dan perbedaan nilai RF yang tidak lebih dari 0.05.
Ketegaran terhadap Jarak Pengembangan (Reich dan Schibli 2006)
Ekstrak sebanyak 8 L dan standar asiatikosida 1230 ppm sebanyak 3.3 L
diaplikasikan pada pelat 10 10 cm. Ekstrak diaplikasikan pada lajur 1 dan 3,
sedangkan standar diaplikasikan pada lajur 2. Pelat dikembangkan dalam bejana

6

twin-trough hingga fase gerak mencapai tinggi 7 cm dari posisi aplikasi ekstrak.
Pelat didokumentasi sebelum dan setelah derivatisasi. Pelat hasil pengujian
menggunakan jarak pengembangan 7 cm dibandingkan dengan pelat hasil
pengujian menggunakan jarak pengembangan 8 cm. Hasil dapat diterima jika pola
sidik jari identik terkait dengan jumlah, letak, warna, intensitas warna, dan
perbedaan nilai RF yang tidak lebih dari 0.05.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengoptimuman Fase Gerak Sidik Jari KLT
Pengoptimuman fase gerak dilakukan hingga lima level (Lampiran 2).
Masing-masing level mencirikan komposisi pelarut yang diubah-ubah untuk
memperbaiki pemisahan yang dihasilkan. Pengoptimuman level pertama
dilakukan dengan menguji tujuh macam pelarut tunggal, yaitu dietil eter,
diklorometana, kloroform, n-butanol, etil asetat, metanol, dan asam asetat. Pelarut
yang paling banyak memunculkan pita adalah kloroform dan diklorometana
(Gambar 3) sehingga diduga senyawa-senyawa dalam sampel cenderung bersifat
nonpolar.
Resolusi dan jumlah pita dapat ditingkatkan dengan mencampurkan fase
gerak tunggal dengan fase gerak tunggal lainnya (Reich dan Schibli 2006). Oleh
karena itu, dilakukan modifikasi dengan mencampurkan fase gerak nonpolar
(dietil eter, diklorometana, dan kloroform) dengan fase gerak yang lebih polar
(metanol dan etil asetat). Perbandingan antara fase gerak nonpolar terhadap fase
gerak polar dalam campuran yang diuji adalah 7:3, 9:1, dan 9.5:0.5. Penambahan
n-butanol tidak lagi dilakukan untuk mempercepat waktu pengembangan. Melalui
modifikasi tersebut diketahui bahwa campuran kloroform dan metanol (7:3) dapat
menghasilkan pita terbanyak (Lampiran 5).

Gambar 3 Hasil pengembangan menggunakan fase gerak tunggal, dari kiri ke
kanan: dietil eter, diklorometana, n-butanol, kloroform, etil asetat,
metanol, dan asam asetat di bawah sinar ultraviolet 366 nm
Fase gerak campuran kloroform dan metanol dimodifikasi kembali dengan
menambahan sedikit etil asetat (Lampiran 6). Etil asetat dipilih sebagai

7

pemodifikasi karena memiliki indeks kepolaran di antara kloroform dan metanol
(Lampiran 4). Adanya komponen pemodifikasi dapat menambah ketajaman pitapita yang berhasil terpisah (Reich dan Schibli 2006). Modifikasi ini menghasilkan
13 pita menggunakan fase gerak campuran kloroform, metanol, dan etil asetat
(9:0.75:0.25)(Gambar 4) dengan deteksi menggunakan sinar ultraviolet 254 nm
dan 366 nm (Lampiran 7), serta pereaksi anisaldehida-asam sulfat pada sinar
tampak (Gambar 5). Senyawa-senyawa yang berhasil dipisahkan diduga termasuk
keluarga terpenoid karena menghasilkan warna ungu setelah diderivatisasi dengan
pereaksi anisaldehida (Santosa dan Hertiani 2005) (Gambar 5).

Gambar 4 Total pita ekstrak pegagan dari berbagai fase gerak campuran yang
dideteksi menggunakan sinar tampak, sinar ultraviolet 254 dan 366 nm,
pereaksi anisaldehida, dan pereaksi Liebermann-Burchard
Fase gerak campuran kloroform, metanol, dan etil asetat (9:0.75:0.25) dapat
menghasilkan banyak pita namun tidak cocok digunakan dalam deteksi sidik jari
pegagan karena tidak berhasil memisahkan pita asiatikosida (Gambar 5). Hal ini
dapat disebabkan sifat asiatikosida yang cenderung polar karena termasuk ke
dalam keluarga triterpenoid saponin (James dan Dubery 2011). Oleh karena itu,
dilakukan penambahan kadar metanol dalam fase gerak pada level pengembangan
selanjutnya dan penggunaan pereaksi Liebermann-Burchard sebagai pewarna
(Reich dan Schibli 2006).

8

M

N

O

P

(a)
(b)
Gambar 5 Hasil pengembangan ekstrak pegagan pada level keempat (a) dan uji
coba pengembangan ekstrak pegagan di lajur kanan dan standar
asiatikosida di lajur kiri menggunakan fase gerak campuran kloroform,
metanol, dan etil asetat (9:0.75:0.25) (b)
Modifikasi kembali dilakukan dengan meningkatkan jumlah metanol dari
0.75 mL menjadi 3, 3.25, 3.5, dan 4 mL dalam 10 mL campuran fase gerak
(Lampiran 2) untuk meningkatkan kepolarannya. Digunakan pula bahan
pemodifikasi berupa etil asetat dan asam asetat dengan jumlah berkisar antara 0.5
hingga 2 mL (Lampiran 2). Diketahui tiga dari sembilan macam fase gerak yang
diuji (Lampiran 8) menghasilkan kromatogram dengan pita-pita yang tersebar
merata (Gambar 6). Ketiga fase gerak tersebut adalah campuran kloroform,
metanol, dan asam asetat (6.25:3.5:0.25), campuran kloroform, metanol, dan etil
asetat (5:4:1), serta campuran kloroform, metanol dan asam asetat (6.4:3.5:0.1).
Ketiganya menghasilkan pita asiatikosida pada RF~0.5. Kromatogram yang
dihasilkan ketiga fase gerak dibandingkan (Gambar 6) untuk dihitung nilai
resolusinya (Lampiran 12). Masing-masing pita pada ketiga kromatogram diberi
kode huruf berdasarkan letak dan warnanya mulai dari pita A sampai K (Gambar
6).
Fase gerak campuran kloroform, metanol, dan etil asetat (5:4:1) tidak dipilih
karena tidak berhasil memisahkan pita H, I, dan J (Gambar 6). Resolusi pita F
dengan pita G pada fase gerak campuran kloroform, metanol dan asam asetat
(6.4:3.5:0.1) lebih besar dari fase gerak campuran kloroform, metanol, dan asam
asetat (6.25:3.5:0.25), tetapi fase gerak campuran kloroform, metanol, dan asam
asetat (6.25:3.5:0.25) menghasilkan resolusi yang lebih besar antara pita F dengan
pita E (Lampiran 9, 10, dan 11) sehingga dapat dikatakan kedua fase gerak
memiliki selektivitas yang hampir sama terhadap asiatikosida (Reich dan Schibli
2006). Fase gerak optimum dapat ditentukan dengan membandingkan resolusi
antarpita lainnya pada kedua kromatogram sehingga fase gerak campuran
kloroform, metanol dan asam asetat (6.4:3.5:0.1) dipilih sebagai fase gerak
optimum yang digunakan selanjutnya.

9

(c)
(b)
(a)
Gambar 6 Perbandingan kromatogram hasil pengembangan standar asiatikosida di
lajur kiri dan ekstrak pegagan di lajur kanan menggunakan fase gerak
campuran kloroform, metanol, dan asam asetat (6.25:3.5:0.25) (a),
campuran kloroform, metanol, dan etil asetat (5:4:1) (b), dan campuran
kloroform, metanol dan asam asetat (6.4:3.5:0.1) (c). Huruf berwarna
kuning menandakan pita tersebut tidak terdeteksi. Pita asiatikosida
ditunjukkan huruf F (ekstrak) dan F* (standar)
Stabilitas Analit
Stabilitas analit sebelum dan selama proses kromatografi penting untuk
diketahui karena sistem dalam kromatografi lapis tipis tidak saling terhubung
(offline). Aplikasi, pengembangan, hingga proses deteksi dilakukan secara
terpisah sehingga peralihan setiap tahapnya memerlukan selang waktu. Hal
tersebut menyebabkan banyak gangguan dari lingkungan yang dapat
memengaruhi sistem, misalnya udara, cahaya, uap, debu, dan perubahan suhu.
Adsorben pada pelat juga dapat bertindak sebagai katalis permukaan yang
memfasilitasi perubahan analit (Koll et al. 2003; Reich dan Schibli 2006).
Stabilitas analit sebelum kromatografi dapat diketahui dengan
mengembangkan dua ekstrak yang disiapkan pada waktu berbeda. Nilai RF pita
asiatikosida pada lajur 1 dibandingkan dengan lajur 2 untuk mengevaluasi
stabilitas analit dalam pelat, sedangkan lajur 3 dibandingkan dengan lajur 4 untuk
mengevaluasi stabilitas analit dalam larutan (Reich dan Schibli 2006). Hasil
pengembangan menunjukkan keempat lajur menghasilkan pola dan nilai RF yang
sama (Gambar 7 dan Lampiran 13). Hal ini mengindikasikan analit tetap stabil
selama tiga jam sebelum kromatografi dimulai.

10

*0.46

1

2

3 4
1 2
3 4
(a)
(b)
Gambar 7 Hasil uji stabilitas analit sebelum kromatografi dengan deteksi pita
menggunakan pereaksi Liebermann-Burchard pada sinar tampak (a)
dan ultraviolet 366 nm (b)
Pengembangan dua dimensi dilakukan untuk mengetahui stabilitas analit
selama kromatografi berlangsung. Uji stabilitas menggunakan pengembangan dua
dimensi berdasar pada asumsi bahwa senyawa yang stabil akan memiliki nilai RF
yang sama pada dimensi pertama dan kedua (Reich dan Schibli 2006). Terdapat
penyimpangan pada letak bercak analit yang terlihat berwarna merah di bawah
cahaya ultraviolet 366 nm (Gambar 8). Berdasarkan hasil pengembangan pada
pengoptimuman level keempat (Gambar 5 dan Lampiran 11), bercak tersebut
diduga merupakan kumpulan berbagai jenis terpenoid. Tumpang tindih banyak
bercak mengakibatkan terjadinya fronting pada pengembangan dimensi kedua.
Penumpukan pada bercak yang sama masih terjadi ketika jumlah ekstrak
yang diaplikasikan dikurangi jumlahnya hingga 0.5 µL. Bercak tersebut masih
memperlihatkan intensitas yang sangat tinggi ketika bercak lainnya redup
(Gambar 8). Walaupun demikian, bercak masih tepat menyentuh garis diagonal.
Hal ini mengindikasikan analit tidak terdekomposisi selama kromatografi.
Berdasarkan hasil yang didapat, analit stabil selama proses kromatografi karena
membentuk garis diagonal pada kromatogram dua dimensi, termasuk asiatikosida
yang terdeteksi di bagian tengah pelat (Gambar 8).

asiatikosida

pengembangan kedua

pengembangan pertama

pengembangan pertama

pengembangan kedua

(a)
(b)
Gambar 8 Hasil uji stabilitas analit selama proses kromatografi, dengan ekstrak
yang dikembangkan sebanyak 3 µL (a) dan 0.5 µL (b)

11

Stabilitas hasil derivatisasi diketahui dengan mengamati stabilitas warna
pelat yang sudah diberi pereaksi Liebermann-Burchard selama 60 menit. Hasil
pengamatan menunjukkan warna hasil derivatisasi stabil selama lebih dari 60
menit. Walaupun secara visual terjadi penurunan intensitas warna setelah 5 menit
pertama, tidak ada pita yang hilang hingga 60 menit setelah pewarnaan (Gambar 9,
Lampiran 14).

Gambar 9 Hasil derivatisasi menggunakan pereaksi Liebermann-Burchard di
bawah sinar ultraviolet 366 nm, dari kiri ke kanan: sesaat setelah
pewarnaan, 5 menit, 10 menit, 20 menit, 30 menit, dan 60 menit
setelah pewarnaan
Uji Spesifitas
Suatu metode kualitatif dikatakan spesifik jika pengujian terhadap dua
sampel dengan identitas yang berbeda memberikan hasil yang berbeda nyata.
Selain itu, hasil pengujian dua sampel dengan identitas yang sama harus
memperlihatkan hasil yang sama (Reich dan Schibli 2006). Uji spesifitas metode
dilakukan dengan mengembangkan sampel pegagan dengan umur panen yang
diketahui, pegagan tipe daun bulat, dan semanggi gunung (Hydrocotyle
sibthorpioides) (Gambar 10).

(a)
(b)
(c)
Gambar 10 Pegagan (a), pegagan tipe daun bulat (b), dan semanggi gunung (c)

12

Lajur 1 menunjukkan sidik jari KLT ekstrak pegagan. Sementara lajur 5, 6,
dan 7 berturut-turut menunjukkan sidik jari KLT ekstrak pegagan dengan umur 3,
4, dan 5 bulan (Gambar 11 dan Lampiran 15). Pegagan dengan umur panen 3, 4,
dan 5 bulan menghasilkan pola yang identik. Pola ketiga ekstrak tersebut juga
memperlihatkan banyak kesamaan dengan ekstrak pegagan di lajur 1. Pegagan
pada lajur 1 menghasilkan pita pada RF=0.37 namun tidak menghasilkan pita pada
RF=0.22 seperti pada lajur 5, 6, dan 7 (Gambar 11). Diduga perbedaan tersebut
disebabkan umur panen pegagan pada lajur 1 jauh lebih tua jika dibandingkan
dengan pegagan pada lajur 5, 6, dan 7 sehingga dimungkinkan senyawa tersebut
merupakan hasil dekomposisi senyawa pada RF=0.22 pada lajur 5, 6, dan 7.
1

2

3

4

5

6

7

1

2

3

4

5

6

7

*0.91

0.51*
*0.37 *0.38

0.30*
0.22*

0.11*

(a)
(b)
Gambar 11 Hasil uji spesifitas dengan pereaksi Liebermann-Burchard dalam sinar
tampak (a), dan sinar ultraviolet 366 nm (b). Lajur 1, pegagan; lajur
2, pegagan tipe daun bulat; lajur 3, semanggi gunung; lajur 4,
standar asiatikosida; lajur 5, pegagan umur 3 bulan; lajur 6, pegagan
umur 4 bulan; lajur 7, pegagan umur 5 bulan
Selain morfologi daun, pegagan tipe daun bulat berbeda dari pegagan pada
umumnya pada kadar asiatikosida yang terkandung di dalamnya (Zainol et al.
2008). Berdasarkan hasil pengujian (Gambar 11, lajur 2), pegagan tipe daun bulat
memiliki pita yang sama dengan pegagan di RF=0.37, juga pita-pita lainnya yang
hampir bertumpuk pada RF~0.95. Secara visual, pita asiatikosida pada RF=0.51
terlihat sangat redup. Menurut Zainol (2008), pegagan tipe daun bulat memiliki
rerata kandungan asiatikosida sebesar 0.39 µg/mL sangat rendah jika
dibandingkan dengan pegagan pada umumnya yang memiliki rerata kandungan
asiatikosida sebesar 2.56 µg/mL.
Semanggi gunung yang disebut juga antanan beurit atau pegagan embun
memiliki morfologi daun yang sangat mirip dengan pegagan (Gambar 10). Profil
sidik jari KLT semanggi gunung memiliki kesamaan dengan pegagan pada
RF=0.22 dan RF=0.37 (Gambar 11, lajur 3). Menurut Asakawa (1982), semula
pegagan digolongkan ke dalam genus Hydrocotyle seperti semanggi gunung
namun perbedaan sifat fitokimia membuat pegagan digolongkan ke dalam genus
lainnya, Centella. Hal tersebut didukung oleh hasil pengujian, semanggi gunung
menghasilkan beberapa perbedaan pola sidik jari. Salah satunya adalah pita yang
dihasilkan pada RF=0.11 (Gambar 11, lajur 3). Terdapat pita redup berwarna hijau
terang dalam sinar ultraviolet 366 nm yang sejajar dengan pita standar

13

asiatikosida (RF=0.51) sehingga tanaman ini diduga mengandung senyawa
tersebut dalam jumlah kecil.
Uji Presisi dan Presisi Antara
Presisi dalam validasi metode kualitatif untuk kromatografi lapis tipis dapat
diketahui melalui simpangan baku nilai RF pita-pita senyawa yang sama. Uji
presisi dilakukan dengan mengembangkan tiga ekstrak pegagan yang disiapkan
dalam waktu yang sama dalam satu pelat. Masing-masing ekstrak diaplikasikan 3
kali, dengan demikian terdapat 9 lajur dalam satu pelat pada uji presisi.
Pengembangan ketiga ekstrak dilakukan dengan 3 pelat pada hari yang sama.
Secara visual, presisi juga dapat ditentukan dari pola garis yang tersusun dari pitapita senyawa yang sama di setiap lajur pada kromatogram (Reich dan Schibli
2006). Presisi semakin baik jika pola yang terlihat mendekati garis lurus (Reich
dan Schibli 2008).
Diketahui simpangan baku RF asiatikosida intrapelat masih mendekati 0.01
(Tabel 1). Simpangan baku RF asiatikosida antarpelat pada hari pertama sebesar
0.0139 (Tabel 1). Syarat keberterimaan simpangan baku RF adalah 0.02. Dapat
disimpulkan presisi dapat diterima. Penurunan RF rerata pelat ketiga (Tabel 1)
dimungkinkan karena naiknya suhu udara sehingga penjenuhan fase gerak lebih
cepat terjadi. Terbentuknya garis bergelombang (Lampiran 16) antara lain
disebabkan oleh kelembaban yang tidak seragam atau kebocoran pada tutup
bejana (Reich dan Schibli 2006).
Tabel 1 Hasil uji presisi dan presisi antara
RF asiatikosida
Ekstrak pegagan
Lajur
Hari 1
Hari 2
Pelat 1 Pelat 2 Pelat 3
1
0.55
0.52
0.51
0.49
1
2
0.54
0.53
0.49
0.49
3
0.53
0.52
0.49
0.50
4
0.52
0.52
0.49
2
5
0.51
0.52
0.50
6
0.51
0.52
0.50
7
0.52
0.52
0.50
3
8
0.52
0.52
0.50
9
0.52
0.52
0.51
Rerata RF
0.52
0.52
0.50
0.49
Intrapelat
SD RF
0.0133 0.0033 0.0078 0.0058
Rerata RF
0.51
0.49
Antarpelat
SD RF
0.0058
0.0139
Rerata RF
0.50
Semua pelat
SD RF
0.0107

Hari 3
0.50
0.50
0.51

0.50
0.0058
0.50
0.0058

14

Pengujian presisi dilanjutkan pada dua hari berikutnya. Hasil yang didapat
dari pengujian tersebut dibandingkan dengan hasil uji presisi hari pertama sebagai
presisi antara (Tabel 1). Uji presisi antara dilakukan dengan mengembangkan
hanya satu pelat masing-masing pada hari kedua dan ketiga. Satu ekstrak pegagan
disiapkan dan diaplikasikan sebanyak tiga kali pada pelat tersebut (Reich dan
Schibli 2006). Berdasarkan simpangan baku RF intrapelat pada hari kedua dan
ketiga (Tabel 1), presisi pada hari kedua dan ketiga dapat diterima. Selanjutnya,
presisi dalam tiga hari pengujian dibandingkan (Lampiran 17). Simpangan baku
RF dalam tiga hari pengujian sebesar 0.0107 (Tabel 1). Karena kriteria
keberterimaan presisi antara tidak boleh lebih besar dari 0.05 (Reich dan Schibli
2008), dapat disimpulkan presisi antara dapat diterima.
Uji Ketegaran
Ketegaran adalah kemampuan suatu metode mempertahankan hasil yang
tidak berbeda signifikan jika satu atau beberapa parameter mengalami perubahan
(Reich dan Schibli 2006). Telah dilakukan penggantian jenis bejana kromatografi
dan pengurangan jarak pengembangan untuk menguji ketegaran metode ini. Jenis
bejana twin-trough yang digunakan diganti dengan flat-bottom (Lampiran 18).
Secara teknis, perbedaan kedua jenis bejana terletak pada dasar bejana dan
volume fase gerak yang dipakai. Bejana twin-trough hanya memerlukan 20 mL
fase gerak, sedangkan bejana flat-bottom memerlukan minimal 50 mL fase gerak.
Uji ketegaran dilakukan dengan mengembangkan standar di lajur 2 dan sampel di
lajur 1 dan 3 menggunakan dua jenis bejana tersebut.
Hasil uji ketegaran
menunjukkan penggunaan kedua jenis bejana
menghasilkan pola yang sama secara visual (Gambar 12). Berdasarkan hasil
perhitungan rerata nilai RF kedua pelat (Tabel 2) dapat disimpulkan perbedaan
jenis bejana kromatografi tidak menimbulkan perbedaan nyata pada nilai RF
asiatikosida karena simpangan baku nilai RF yang diperbolehkan lebih kecil dari
0.05 (Reich dan Schibli 2006). Nilai RF yang lebih rendah pada hasil
pengembangan menggunakan flat-bottom chamber diduga karena volume fase
gerak yang digunakan lebih besar sehingga uap yang terbentuk lebih banyak
(Reich dan Schibli 2006).

0.49*
0.48*

*0.49

0.45*

*0.45 *0.45

(a)
(b)
Gambar 12 Perbandingan kromatogram hasil pengembangan menggunakan bejana
twin-trough (a) dan flat-bottom(b)

15

Uji ketegaran terhadap jarak pengembangan dilakukan dengan menurunkan
jarak pengembangan dari 8 cm menjadi 7 cm. Berdasarkan kromatogram yang
dihasilkan (Gambar 13) dan perhitungan rerata RF (Tabel 2) pemisahan tidak
terpengaruh oleh penurunan jarak pengembangan hingga 7 cm.

0.49*
0.48*

*0.49

0.50* 0.49*

*0.49

(a)
(b)
Gambar 13 Kromatogram dengan jarak pengembangan 8 cm (a) dan 7 cm (b)

Lajur
1
2
3
Rerata RF
SD RF
Rerata RF
Antarpelat
SD RF
Intrapelat

Tabel 2 Hasil uji ketegaran
RF asiatikosida
Jenis bejana
Jarak pengembangan
Twin-trough Flat-bottom
8 cm
7 cm
0.49
0.45
0.49
0.50
0.48
0.45
0.48
0.49
0.49
0.45
0.49
0.49
0.49
0.45
0.49
0.49
0.0058
0.0000
0.0058
0.0058
0.47
0.49
0.0259
0.0047

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Fase gerak yang optimum dalam memisahkan ekstrak pegagan adalah
campuran kloroform, metanol, dan asam asetat (64:35:1). Pola sidik jari tanaman
pegagan berhasil ditentukan dengan rerata RF asiatikosida sebesar 0.50. Walaupun
pola sidik jari KLT tanaman pegagan yang berbeda umur panen tidak terbedakan,
metode ini berhasil membedakan pola sidik jari KLT tanaman pegagan, pegagan
tipe daun bulat, dan semanggi gunung. Berdasarkan hasil validasi dapat
disimpulkan metode ini dapat digunakan dalam kendali mutu tanaman pegagan.

16

Saran
Sebaiknya dilakukan uji ketegaran metode terhadap kenaikan jarak
pengembangan. Selain itu, diperlukan bejana kromatografi yang terkontrol suhu,
kelembaban, dan kejenuhannya agar keterulangan pola sidik jari KLT yang
dihasilkan lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
Asakawa Y, Matsuda R, Takemoto T. 1982. Mono- and sesquiterpenoids from
Hydrocotyle and Centella species. Phytochemistry. 21 (10): 2590-2592
Borges CN, Bruns RE, Almeida AA, Scarminio IS. 2007. Mixture design for the
fingerprint optimalization of chromatographic mobile phases and extraction
solutions for Camelia sinensis. Anal Chim Acta. 595: 28-37
Soares PK, Burns RE, Scarminio IS. 2007. Statistical mixture design-principal
component optimization for selective compound extraction from plant
material. J Separation Sci. 30: 3302-3310
Fernand VE. 2003. Initial characterization of crude extracts from Phyllanthus
amarus Schum. and Thonm. and Quissia amara L. using normal phase thin
layer chromatography [tesis]. Lousiana (US): University of Suriname
James J, Dubery I. 2011. Identification and quantification triterpenoid centelloids
in Centella asiatica L. Urban by densitometric TLC. J Planar Chromatogr.
24 (1): 82-87
Januwati M, Yusron M. 2005. Budidaya Tanaman Pegagan. Bogor (ID): Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian Tanaman Obat
dan Aromatika
Koll K, Reich E, Blatter A, Veit M. 2003. Validation of standardized high
performance thin layer chromatographic methods for quality control and
stability testing of herbals. J AOAC Int. 86: 909-915
Liang YZ, Xie P, Chan K. 2004. Quality control of herbal medicines. J
Chromatogr B. 812: 53-70
Mora E, Fernando A. 2012. Pengoptimuman ekstraksi triterpenoid total pegagan
[Centella asiatica (Linn.) Urban] yang tumbuh di Riau. JPFI. 1(1): 11-16
Reich E, Schibli A. 2006. High-Performance Thin-Layer Chromatography for the
Analysis of Medicinal Plants. New York (US): Thieme
Reich E, Schibli A. 2008. Validation of high performance thin layer
chromatographic methods for identification of botanicals in a cGMP
environment. J AOAC Int. 9: 13-20
Sadek P. 2002. The HPLC Solvent Guide. New York (US): Wiley Interscience
Santosa CM, Hertiani T. 2005. Kandungan senyawa kimia dan efek ekstrak air
daun bangun-bangun (Coleus amboinicus L) pada aktivitas fagositosis
netrofil tikus putih. MFI. 16: 141-148
Widmer V, Reich E, DeBatt A. 2008. Validated HPTLC method for identification
of Hoodia gordonii. J Planar Chromatogr. 21 (1): 21-26

17

Zainol NA, Voo SC, Sarmidi MR, Azis RA. 2008. Profiling of Centella asiatica L.
Urban extract. Malays J Anal Sci. 12 (2): 322-327
Zhao L, Chaoyu H, Zhen S, Bingren X, Linghua M. 2008. Fingerprint analysis of
Psoralea corylifolia L. by HPLC and LC-MS. J Chromatogr. 821: 67-74

18

Lampiran 1 Diagram alir penelitian

Sonikasi serbuk pegagan

Pengoptimuman fase gerak tunggal
dan campuran dua atau tiga pelarut

Validasi metode kualitatif

Stabilitas analit

Spesifitas

Presisi dan presisi antara

Ketegaran

Sebelum kromatografi
Stabilitas pada pelat

Ketegaran terhadap penggantian
jenis bejana kromatografi

Stabilitas dalam larutan

Selama kromatografi

Setelah kromatografi (stabilitas warna derivatif)

Ketegaran terhadap penurunan
jarak pengembangan fase gerak

19

Lampiran 2 Pengoptimuman fase gerak

Keterangan gambar






Teks berwarna ungu: komponen pelarut yang dimanipulasi jumlahnya
dalam satu level pengoptimuman
Teks berwarna merah: komponen pelarut yang berperan sebagai aditif
pemodifikasi fase gerak
Bilangan tanpa tanda kurung: volume suatu pelarut tunggal dalam total 10
mL fase gerak campuran
Bilangan dalam tanda kurung: indeks kepolaran pelarut tunggal
Kotak berwarna ungu: komposisi fase gerak optimum

20

Lampiran 3 Komposisi fase gerak yang dioptimumkan
Kode fase gerak
A
B
C=a
D
E
F
G
H
I
J
K
L
M
N
O
P
b
c
d
e
j
k
l
m

Volume fase gerak tunggal dalam 10 mL campuran (mL)
EtOEt CH2Cl2
CHCl3 EtOAc MeOH HOAc
7.00
3.00
7.00
3.00
7.00
3.00
7.00
3.00
7.00
3.00
7.00
3.00
9.00
1.00
9.00
1.00
9.00
1.00
9.50
0.50
9.50
0.50
9.50
0.50
9.50
0.25
0.25
9.00
0.50
0.50
9.00
0.25
0.75
9.00
0.75
0.25
6.75
3.00
0.25
6.50
3.50
6.25
3.50
0.25
4.00
2.00
4.00
4.5
2.00
3.50
5.00
1.00
4.00
6.75
3.25
6.40
3.50
0.10

Lampiran 4 Indeks kepolaran fase gerak tunggal (Sadek 2002)
Fase gerak
Indeks kepolaran
Dietil eter (EtOEt)
2.8
Diklorometana (CH2Cl2)
3.1
n-butanol (n-BuOH)
4.0
Kloroform (CHCl3)
4.1
Etil asetat (EtOAc)
4.4
Metanol (MeOH)
5.1
Asam asetat (HOAc)
6.2

21

Lampiran 5 Kromatogram hasil pengembangan ekstrak pada level kedua dalam
sinar ultraviolet 254 nm (a) dan 366 nm (b)
A

B C

D

E

F

A

B C

D

E

F

(b)

(a)

Lampiran 6 Kromatogram hasil pengembangan ekstrak pada level ketiga dalam
sinar ultraviolet 254 nm (a) dan 366 nm (b)
G

H

I

J

K

L

G

H

I

J

K

L

(b)

(a)

Lampiran 7 Kromatogram hasil pengembangan ekstrak pada level keempat dalam
sinar ultraviolet 254 nm (a), 366 nm (b), dan pereaksi anisaldehidaasam sulfat pekat dalam sinar tampak (c)
M

N

(a)

O

P

M

N

O

(b)

P

M

N

O

(c)

P

22

Lampiran 8 Kromatogram hasil pengembangan standar (lajur kiri) dan sampel
(lajur kanan) level kelima dalam sinar ultraviolet 254 nm (a), 366 nm
(b), pereaksi Liebermann-Burchard dalam sinar tampak (c) dan
ultraviolet 366 nm (d)
a

b

c

d

e

j

k

l

m

j

k

l

m

(a)
a

b

c

d

e

(b)
a

b

c

d

e

j

k

l

m

j

k

l

m

(c)
a

b

c

d

e

(d)

23

Lampiran 9 Resolusi pemisahan ekstrak pegagan menggunakan eluen campuran
kloroform, metanol, dan asam asetat (6.25:3.5:0.25)
Pita senyawa
d (cm) dw (cm)
RF
RS
A
7.6
0.5
0.96
1.13
B

7.2

0.2

0.91

C

6.8

0.4

0.86

D

6.5

0.3

0.82

E

5.3

0.3

0.67

3.91

F

3.3

0.7

0.42

1.00

G

2.8

0.4

0.34

H

2.3

0.6

0.28

I

1.8

0.4

0.22

J

0.9

0.2

0.12

K

0.4

0.2

0.04

1.50
1.00
4.15

0.96
1.00
2.92
3.25

Keterangan untuk Lampiran 4, 5, dan 6:

Lampiran 10 Resolusi pemisahan ekstrak pegagan menggunakan eluen campuran
kloroform, metanol, dan etil asetat (5:4:1)
Pita senyawa
d (cm) dw (cm)
RF
RS
A
7.2
0.4
0.89
1.18
D

6.7

0.3

0.84

C

6.2

0.2

0.78

B

6.0

0.2

0.75

E

4.7

0.2

0.58

3.37

F

3.2

0.7

0.41

1.92

G

2.2

0.4

0.28

H

1.8

0.6

0.22

I

-

-

-

J

-

-

-

K

0.3

0.2

0.04

1.83
1.00
6.67

0.91
3.88
-

24

Lampiran 11 Resolusi pemisahan ekstrak pegagan menggunakan eluen campuran
kloroform, metanol, dan asam asetat (6.4:3.5:0.1)
Pita senyawa
d (cm) dw (cm)
RF
RS
A
7.6
0.4
0.94
1.75
B

6.9

0.3

0.87

C

6.5

0.4

0.82

D

6.2

0.3

0.78

E

5.0

0.2

0.62

F

3.2

0.8

0.40

G

2.4

0.4

0.29

H

2.0

0.4

0.25

I

1.6

0.4

0.19

J

0.8

0.2

0.10

K

0.1

0.2

0.02

1.29
1.00
5.09
3.33
1.31
0.89
1.25
2.83
3.33

Lampiran 12 Contoh perhitungan resolusi kromatogram


Faktor retensi (RF) pita A menggunakan eluen d



Resolusi antara pita A dan B menggunakan eluen d

Keterangan
d : Jarak bagian tengah zona pita senyawa dari garis start
dW : Lebar pita senyawa
RF : Faktor retensi
RS : Resolusi antara dua pita senyawa

25

Lampiran 13 Kromatogram hasil uji stabilitas analit sebelum kromatografi.
Deteksi dengan sinar ultraviolet 254 nm (a) dan 366 nm (b), sinar
tampak (c), dan sinar ultraviolet 366 nm dengan pereaksi
Liebermann-Burchard (e)

1

2

3

4

1

2

(a)

1

2

3
(c)

3

4

3

4

(b)

4

1

2
(d)

Lampiran 14 Kromatogram hasil derivatisasi menggunakan pereaksi LiebermannBurchard di bawah sinar tampak sesaat setelah pewarnaan, 5
menit, 10 menit, 20 menit, 30 menit, dan 60 menit setelah
pewarnaan

26

Lampiran 15 Kromatogram hasil uji spesifitas dalam sinar ultraviolet 254 nm (a)
dan 366 nm (b), dan sinar tampak (c)
1

2 3

4 5

6 7

1 2

3 4 5

6 7

1 2 3

(b)

(a)

4 5

6 7

(c)

Lampiran 16 Hasil uji presisi RF hari pertama ulangan 1 (a), ulangan 2 (b), dan
ulangan 3 (c)

(b)

(a)

(c)

27

Lampiran 17 Hasil uji presisi antara RF salah satu ulangan hari pertama (a), hari
kedua (b), dan hari ketiga (c)

(a)

(b)

(c)

Lampiran 18 Bejana kromatografi (CAMAG®) jenis twin-trough (a) dan flatbottom (b) (Reich dan Schibli 2006)

(a)

(b)

28

RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Jakarta pada 27 November 1989 dari dan Ibu Gita dan
Bapak Andi. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Tahun 2007
penulis lulus dari SMAN 44 Jakarta. Selanjutnya, pada tahun yang sama penulis
lulus seleksi masuk Program Diploma Program Keahlian Analisis Kimia, Institut
Pertanian Bogor (IPB), melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan
(PMDK).
Bulan Maret hingga Mei 2010 penulis melakukan praktik lapangan di
Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Pertamina, Pulogadung, Jakarta.
Pada tahun yang sama, penulis lulus dari Program Diploma IPB kemudian bekerja
sebagai tentor tetap untuk mata pelajaran Kimia di Ganesha Operation cabang
Jakarta. Tahun 2013 penulis lulus ujian seleksi masuk Alih Jenis Kimia,
Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA),
IPB. Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis pernah menjadi asisten Teknik
Pemisahan 2015.