Identifikasi Parasetamol Dalam Jamu Asam Urat Secara Kromatografi Lapis Tipis Dan Spektrofotometri

(1)

IDENTIFIKASI PARASETAMOL DALAM JAMU ASAM URAT SECARA KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS DAN SPEKTROFOTOMETRI

TUGAS AKHIR

Oleh:

ELIDA HAFNI NIM 072410012

PROGRAM DIPLOMA III ANALIS FARMASI DAN MAKANAN FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

IDENTIFIKASI PARASETAMOL DALAM JAMU ASAM URAT SECARA KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS DAN SPEKTROFOTOMETRI

TUGAS AKHIR

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Ahli Madya Pada Program Diploma III Analis Farmasi dan Makanan

Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Oleh: ELIDA HAFNI NIM 072410012

Medan, Mei 2010 Disetujui Oleh: Dosen Pembimbing,

Prof. Dr. rer. nat. Effendy De Lux Putra, SU, Apt. NIP 195306191983031001

Disahkan Oleh: Dekan,


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

Adapun judul dari tugas akhir ini adalah: IDENTIFIKASI PARASETAMOL DALAM JAMU ASAM URAT SECARA KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS DAN SPEKTROFOTOMETRI. Yang di buat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Studi diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Tak lupa penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi dorongan, bantuan dan dukungan moral maupun secara spiritual kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik dan pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. rer. nat. Effendy De Lux Putra, SU, Apt., selaku dosen pembimbing pada penyelesaian Tugas Akhir ini yang telah memberikan panduan dan penuh kepercayaan kepada saya untuk menyempurnakan kajian ini.

3. Bapak Prof. Dr. Jansen Silalahi, M.App.Sc., Apt., Selaku koordinator program studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan.


(4)

4. Bapak dan Ibu dosen beserta seluruh staf Program Studi Diploma III Analis farmasi dan Makanan Universitas Sumatera Utara.

5. Kakanda Dwi selaku kakak pembimbing di tempat PKL di POM Medan. 6. Yopi, Dewi, dan Wira teman sekelompok PKL di POM Medan.

7. Ayahanda Parluhutan Harahap dan Ibunda Husni tercinta yang telah memberikan do’a restu dan motivasi sehingga Laporan Tugas Akhir ini selesai.

8. Kakanda Ahmad Ganti dan Adinda Syarif yang telah memberikan do’a dan motivasi hingga Laporan Tugas Akhir ini selesai.

9. Semua teman–teman Denny, Hasna, Feli, Guntur, Ana, Iin yang telah membantu dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.

10.Semua rekan-rekan Mahasiswa Analis Farmasi dan Makanan Angkatan 2007 yang telah memberikan saran dan dukungan dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.

11.Kakanda Retno yang telah membantu dan memberikan saran dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.

12.Kakanda Riza yang telah membantu dan memberikan saran dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.

Penulis menyadari sepenuhnya penulisan Tugas Akhir ini masih belum sempurna, oleh karna itu segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagi pihak sangat penulis harapkan demi kesempurnaan penulisan dimasa yang akan datang.


(5)

Dan akhirnya atas bimbingan, dorongan dan bantuan yang telah diberikan dari semua pihak, penulis mengucapkan terima kasih serta semoga penulisan Tugas Akhir ini bermanfaat bagi kita semua dan semoga Allah SWT memberikan Rahmad dan Berkah-Nya atas bantuan yang diberikan kepada penulis. Amin.

Medan, Mei 2010 Penulis

Elida Hafni NIM 072410012


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan dan Manfaat ... 2

1.1.1 Tujuan ... 2

1.1.2 Manfaat ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Obat Tradisional ... 3

2.2 Tanaman Obat ... 5

2.3 Simplisia yang terdapat dalam jamu ... 6

2.4 Jamu ... 7

2.5 Obat Analgetika ... 7

2.5.1 Parasetamol ... 7

2.5.1.1 Sifat Zat berkhasiat ... 8

2.5.1.2 Sifat Fisika ... 8

2.5.1.3 Indikasi... 8

2.5.1.4 Efek samping ... 9

2.6 Kromatografi ... 9

2.6.1 Kromatografi Lapis Tipis ... 9

2.7 Spektrofotometri ... 12

2.7.1 Spektrofotometri UV-Vis ... 12

BAB III METODOLOGI ... 13

3.1 Alat ... 13

3.2 Bahan ... 13


(7)

3.4 Pembuatan Pereaksi ... 13

3.5 Prosedur ... 14

3.5.1 Identifikasi Parasetamol dalam Jamu secara Kromatografi Lapis Tipis ... 14

3.5.2 Identifikasi Parasetamol dalam Jamu Dengan metode spektrofotometri ultraviolet ... 15

3.6 Persyaratan ... 16

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17

4.1Hasil Kromatografi Lapis Tipis... 17

4.1.1 Dengan fase gerak Etil asetat-metanol-Amoniak (85:10:3) ... 17

4.1.2 Dengan fase gerak Kloroform-aseton (4:1) ... 17

4.1.3 Dengan fase gerak Kloroform-metanol (90:10) .... 18

4.2 Hasil Spektrofotometri ... 18

4.2.2 Dengan fase gerak Etil asetat-metanol-Amoniak (85:10:3) ... 18

4.2.3 Dengan fase gerak Kloroform-aseton (4:1) ... 18

4.2.4 Dengan fase gerak Kloroform-metanol (90:10) .... 19

4.3 Pembahasan ... 19

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 21

5.1 Kesimpulan ... 21

5.2 Saran ... 21

DAFTAR PUSTAKA ... 22

LAMPIRAN ... 23 LAMPIRAN A (fase gerak Etil asetat-metanol-Amoniak) ... LA-1 LAMPIRAN B (fase gerak Kloroform-aseton) ... LB-1 LAMPIRAN C (fase gerak Kloroform-metanol) ... LC-1


(8)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Obat tradisional adalah obat-obatan yang diolah secara tradisional, turun-temurun, berdasarkan resep nenek moyang, adat-istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan setempat, baik bersifat magik maupun pengetahuan tradisional (Dirjen POM, 1994).

Obat tradisional jamu telah dipergunakan oleh bangsa dan masyarakat dunia dengan secara luas. Para ahli pengobatan tradisional memberikan defenisi tentang kehidupan lebih bebas sebagai “kesatuan dari tubuh, perasaan, pikiran dan jiwa” sehingga dianggap sehat apabila “kesatuan yang positif dari kesejahteraan fisik, mental, sosial, moral dan spiritual” (Suyono, 1996) .

Faktor pendorong terjadinya peningkatan penggunaan obat tradisional di negara maju adalah usia harapan hidup yang lebih panjang pada saat penyakit kronik meningkat, adanya kegagalan penggunaan obat modern untuk penyakit tertentu diantaranya kanker, serta semakin luas akses informasi mengenai obat tradisional di seluruh dunia. Khasiat alamiah dan kemurnian obat-obatan tradisional seringkali “dinodai” oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab terutama produsen obat tradisional yang hanya mencari keuntungan finansial saja tanpa memperhatikan kemurnian dan resiko dari kandungan obat tradisional (Anonim, 2008).


(9)

1.2 Tujuan dan Manfaat

1.2.1 Tujuan

1. Untuk mengetahui hasil pengujian bahan kimia obat dari jamu di Laboratorium Obat Tradisional BPOM Medan.

2. Untuk mengetahui apakah jamu yang telah diuji memenuhi persyaratan atau tidak memenuhi persyaratan.

1.2.2 Manfaat

1. Dapat mengetahui sistem pengawasan mutu dan keamanan pada Laboratorium Obat Tradisional BPOM.

2. Untuk mengetahuan tentang pengujian-pengujian yang dilakukan untuk menjamin mutu dan keamanan dari sediaan obat tradisional.

3. Untuk menambah pengalaman kerja di laboratorium pengawasan mutu dan keamanan obat tradisional.


(10)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Obat Tradisional

Obat tradisional yang diperlukan oleh masyarakat adalah obat tradisional yang mengandung bahan atau ramuan bahan yang dapat memelihara kesehatan, mengobati gangguan kesehatan, serta dapat memulihkan kesehatan.

Bahan-bahan ramuan obat tradisional seperti bahan tumbuh-tumbuhan, bahan hewan, sedian sarian atau galenik yang memiliki fungsi, pengaruh serta khasiat sebagai obat, dalam pengertian umum kefarmasian bahan yang digunakan sebagai obat disebut simplisia. Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum menglami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).

Bukan yang pertama kali Badan Pengawas Obat dan Makanan menarik obat tradisional dari peredaran. Seperti halnya yang terjadi, beberapa macam obat tradisional dan suplemen berkhasiat menambah stamina pria ditarik dari peredaran. Obat-obat itu mengandung bahan kimia obat. Bahan kimia obat keras itu dapat membahayakan kesehatan bahkan dapat mematikan jika digunakan tanpa resep dokter (Anonim, 2008).

Keamanan dan mutu obat tradisional tergantung dari bahan baku, bangunan, prosedur, dan pelaksanaan pembuatan, peralatan yang digunakan,


(11)

pengemasan termasuk bahan serta personalia yang terlibat dalam pembuatan obat tradisional (Suyono, 1996).

Untuk meningkatkan mutu suatu obat tradisional, maka pembuatan obat tradisional haruslah dilakukan dengan sebaik-baiknya mengikutkan pengawasan menyeluruh yang bertujuan untuk menyediakan obat tradisional yang senantiasa memenuhi persyaratan yang berlaku (Dirjen POM, 1994).

Menurut Materia Medika Indonesia (1995), simplisia dapat digolongkan dalam tiga kategori, yaitu:

a. Simplisia nabati

Simplisia nabati adalah simplisia berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat tanaman. Eksudat tanaman ialah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau isi sel yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya dan belum berupa zat kimia murni.

b. Simplisia hewani

Simplisia hewani adalah simplisia yang berupa hewan atau bagian hewan atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia murni.

c. Simplisia pelikan (mineral)

Simplisia pelikan adalah simplisia yang berupa bahan-bahan pelikan atau mineral yang belum diolah dengan cara sederhana dan belum berupa zat kimia murni.

Zat kimia berkhasiat (obat) tidak diperbolehkan digunakan dalam campuran obat tradisional karena obat tradisional diperjual belikan secara bebas.


(12)

Dengan sendirinya apabila zat berkhasiat (obat) ini dicampurkan dengan ramuan obat tradisional dapat berakibat buruk bagi kesehatan (Dirjen POM, 1986).

2.2 Tanaman obat

Para ahli mengelompokkan tanaman obat berkhasiat menjadi tiga kelompok sebagai berikut:

1. Tumbuhan obat tradisional merupakan spesies tumbuhan yang diketahui atau dipercayai masyarakat memiliki khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku obat tradisional.

2. Tumbuhan obat modern merupakan spesies tumbuhan yang secara ilmiah telah dibuktikan mengandung atau memiliki senyawa atau bahan bioaktif berkhasiat obat dan penggunaanya dapat dipertanggung jawabkan secara klinis.

3. Tumbuhan obat potensial merupan spesies tumbuhan yang diduga mengandung atau memiliki senyawa atau bahan bioaktif berkhasiat obat tetapi belum dibuktikan penggunaanya secara ilmiah medis sebagai bahan obat.

Menurut para ahli tanaman obat didefenisikan sebagai jenis tanaman yang sebagian, seluruh tanaman dan atau eksudat tanaman tersebut digunakan sebagai obat, bahan atau ramuan obat-obatan (Widyastuti, 2004).

Bahan baku obat tradisional sebagian besar berasal dari tanaman, baik keseluruhan maupun bagian dari tanaman seperti daun, buah, akar, kulit dan batang. Bahan tersebut dapat dimanfaatkan dalam keadaan segar maupun kering (Mursito, 2002).


(13)

2.3Simplisia yang terdapat dalam jamu

Menurut Depkes RI. (1989), simplisia yang terdapat dalam jamu adalah sebagai berikut:

- Zingiberis Rhizoma

Lempuyang wangi adalah Zingiberis aromaticum L.

Mengandung : minyak atsiri seperti : limonen dan zerumben.

Penggunaan : anti kejang, penghilang rasa sakit, asma, rematik, dan radang lambung.

- Phyllantnus Urinarialin

Meniran adalah Phyllantnus urinarialin.

Mengandung : Saponin, flavonoid, filantin, hipopilantin dan tannin. Penggunaan : peluruh seni, peluruh haid, diare, dan demam. - Mimosae Pudicae Folium

Daun putri malu adalah daun Mimosa pudicae L., suku Minosaceae.

Mengandung : Tanin 6,8 %, flavonoid, steroid/triterpenoid, sterol. Penggunaan : anti inflamasi.

- Capsicum Frutescents L

Cabe rawit adalah Capsicum frutescents L., suku Solanaceae.

Menandung : Kapsaisin 0,02%, alkaloid atsiri, resin, minyak lemak dan Vitamin C.


(14)

2.4 Jamu

Jamu adalah sebutan untuk obat tradisional dari populer dengan sebutan berupa bagian dari tumbuhan seperti batang dan buah. Ada juga menggunakan bahan dari tubuh hewan, seperti kambing atau tangkur buaya (Suyono, 1996).

2.5 Obat Analgetika

Analgetika atau obat penghalang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Nyeri merupakan suatu perasaan pribadi dan ambang toleransi nyeri yang berbeda-beda bagi setiap orang. Batas nyeri untuk suhu adalah konstan yakni 44-45oC (Tan dan Kirana, 2002).

2.5.1 Parasetamol

Asetaminofen (parasetamol) merupakan metabolit dari fenasetin. Khasiatnya analgetis dan antipiretis, tetapi tidak anti radang. Dewasa ini pada umumnya dianggap sebagai zat anti nyeri yang paling aman, juga untuk swamedikasi (pengobatan mandiri).

Ambang nyeri didefenisikan sebagai tingkat (level) di mana nyeri dirasakan untuk pertama kali. Jadi, intensitas rangsangan yang terendah saat seseorang merasakan nyeri. Untuk setiap orang, ambang nyeri adalah konstant (Tan dan Kirana, 2002).


(15)

2.5.1.1 Sifat Zat Berkhasiat

Menurut Dirjen POM. (1995), sifat-sifat parasetamol adalah sebagai berikut:

Sinonim : 4-Hidroksiasetanilida Berat Molekul : 151.16

Rumus Empiris : C8H9NO2.

Rumus bangun :

2.5.1.2 Sifat fisika

Pemerian : Serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit. Kelarutan : larut dalam air mendidih dan dalam NaOH 1N; mudah

larut dalam etanol. Jarak lebur : Antara 168o dan 172o.

2.5.1.3 Indikasi

Di Indonesia, penggunaan parasetamol yaitu sebagai analgesik dan antipiretik, telah menggantikan penggunaan salisilat. Sebagai analgesik, parasetamol sebaiknya tidak diberikan terlalu lama karena kemungkinan menimbulkan nefropati analgesik (kerusakan pada ginjal). Jika dosis terapi tidak memberi manfaat, biasanya dosis lebih besar tidak menolong. Penggunaannya


(16)

untuk meredakan demam tidak seluas penggunaannya sebagai analgesik (Moko, 2008).

2.5.1.4 Efek Samping

Efek samping tak jarang terjadi, antara lain reaksi hipersensitivitas dan kelainan darah. Pada penggunaan kronis dari 3-4 g sehari dapat terjadi kerusakan hati, wanita hamil dapat menggunakan parasetamol dengan aman, juga selama laktasi walaupun mencapai air susu ibu (Tan dan Kirana, 2002).

2.6 Kromatografi

Kromatografi adalah suatu nama yang diberikan untuk tekhnik pemisahan tertentu. Cara yang asli telah diketengahkan pada tahun 1903 oleh TSWEET, telah menggunakan untuk pemisahan senyawa-senyawa yang berwarna dan nama kromatografi diambil dari senyawa yang berwarna. Pada dasarnya semua cara kromatografi menggunakan dua fasa yaitu fasa tetap (stasionary) dan yang lain fasa bergerak (mobile), pemisahan-pemisahan tergantung pada gerakan relatif dari dua fasa ini . Senyawa pemisahan dengan kromatografi tergantung pada kenyataan bahwa senyawa-senyawa yang dipisahkan terdistribusi sendiri diantara fasa-fasa bergerak dan tetap dalam perbandingan yang sangat berbeda-beda dari satu senyawa yang lain (Sastrohamidjojo, 1985).

2.6.1 Kromatografi lapis tipis

Kromatografi lapis tipis dapat digunakan untuk keperluan yang luas dalam pemisahan-pemisahan. Disamping menghasilkan pemisahan yang baik, juga membutuhkan waktu yang lebih cepat.


(17)

Plat kromatografi dibuat dengan cara penjerap padat yang berbentuk bubukan halus dibuat menjadi bubur (slury) dengan air (kurang umum dengan zat cair organik yang mudah menguap) dan dibentang diatas plat glas. Plat yang telah dilapisi dipanaskan atau diaktifkan dengan jalan memanaskannya pada suhu kira-kira 100oC selama 30 menit.

Senyawa-senyawa yang terpisah pada lapisan tipis diidentifikasi dengan melihat flourosensi dalam sinar ultraviolet. Dan mencari harga Rf. Faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan noda dalam kromatografi lapis tipis yang juga mempengaruhi harga Rf, yaitu:

1. Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan 2. Sifat dari penyerap dan derajat aktifitasnya

Perbedaan penyerap akan memberikan perbedaan yang besar terhadap harga-harga Rf meskipun mengunakan fasa bergerak dalam solut yang sama, tetapi hasil akan dapat diperoleh jika menggunakan penyerap yang sama juga ukuran partikel tetap dan jika pengikat (kalau ada) dicampur hingga homogen.

3. Tebal dan kerataan dari lapisan penyerap

Meskipun dalam prakteknya tebal dan lapisan tidak dapat dilihat pengaruhnya, tetapi perlu diusahakan tebal lapisan yang rata. Ketidakrataan akan menyebabkan aliran pelarut menjadi tak rata pula dalam daerah yang kecil dari plat.


(18)

Kemurnian dari pelarut yang digunakan sebagai fasa bergerak dalam kromatografi lapisan tipis adalah sangat penting dan bila campuran pelarut digunakan maka perbandingan yang dipakai harus betul-betul diperhatikan.

5. Derajat kejenuhan dari uap dalam bejana pengembangan yang digunakan.

6. Tekhnik percobaan

Arah dalam mana pelarut bergerak diatas plat. (metoda aliran penaikan yang hanya diperhatikan, karena cara ini yang paling umum meskipun tekhnik aliran penurunan dan mendatar juga digunakan).

7. Jumlah cuplikan yang digunakan

Penetesan cuplikan dalam jumlah yang berlebihan memberikan tendensi penyebaran noda-noda dengan kemungkinan terbentuknya ekor dan efek tak kesetimbangan lainnya hingga akan mengakibatkan kesalahan-kesalahan pada harga-harga Rf.

8. Suhu

Pemisan-pemisahan sebaiknya dikerjakan pada suhu tetap, hal ini terutama untuk mencegah perubahan–perubahan dalam komposisi pelarut yang disebabkan oleh penguapan atau perubahan-perubahan fasa.

9. Kesetimbangan

Ternyata bahwa kesetimbangan dalam lapisan tipis lebih penting dalam kromatografi kertas, hingga perlu mengusahakan atmosfer dalam


(19)

bejana jenuh dengan uap pelarut. Suatu gejala bila atmosfer dalam bejana tidak jenuh dengan uap pelarut, bila digunakan pelarut campuran, akan terjadi pengembangan dengan permukaan pelarut yang terbentuk cekung dan fasa bergerak lebih cepat pada bagian tepi-tepi dari pada bagian tengah. keadaan ini harus dicegah.

Alat kromatografi lapis tipis yaitu lempengan kaca, dengan tebal serba rata dengan ukuran yang sesuai, umumnya 20 x 20 cm. Bejana kromatografi yang dapat memuat satu atau lebih lempeng kaca dan dapat ditutup seperti tertera pada kromatografi menaik (Sastromidjojo, 1985).

2.7 Spektrofotometri

2.7.1 Spektrofotometri UV-Vis

Spektrofotometer UV-Vis adalah pengukuran panjang gelombang dan intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorbsi oleh sampel. Spektrofotometer UV-Vis biasanya digunakan untuk molekul dan ion anorganik atau kompleks didalam larutan. Sinar ultraviolet berada pada panjang gelombang 200-400 nm sedangkan sinar tampak berada pada panjang gelombang 400-800 nm.

Sebagai sumber cahaya biasanya digunakan lampu hydrogen atau deuterium untuk pengukuran UV dan lampu tungsten untuk pengukuran pada cahaya tampak. Panjang gelombang dari sumber cahaya akan dibagi oleh pemisah panjang gelombang, Seperti prisma atau monokromtor. Panjang gelombang adalah jarak antara satu lembah dan satu puncak. Sedangkan frekwensi adalah


(20)

kecepatan cahaya dibagi dengan panjang gelombang. Bilangan gelombang (V) adalah satu satuan perpanjang gelombang (Dachriyanus, 2004).


(21)

BAB III METODOLOGI

3.1 Alat

Alat-alat yang digunakan adalah Alat Spektrofotometri Ultraviolet, Alat pendeteksi Sinar ultraviolet, Bejana kromatografi, Indikator pH Universal, Erlenmeyer, Corong pisah, Labu takar, Corong, Beakar glass, dan Gelas ukur.

3.2 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan adalah Sampel jamu TEN, Air suling dan BPFI Parasetamol.

3.3 Pereaksi Khusus

Adapun pereaksi yang digunakan berkualitas p.a. keluaran PT. Merck:

Natrium Hidroksida 1 N, Asam Sulfat 0,1 N, Eter, dan Etanol.

3.4 Pembuatan pereaksi Pembuatan NaOH 1 N

Dilarutkan 162 g Natrium hidroksida P dalam 150 ml air bebas karbondioksida P, dinginkan larutan hingga suhu kamar, saring melelui kertas saring yang dikeraskan. Masukkan 54,5 ml filtrat jernih kedalam wadah piliolefin bertutup rapat, dan encerkan dengan air bebas karbon dioksida P hingga 1000 ml (Moffat, 1986).


(22)

Pembuatan Asam sulfat 0,1 N

Dilarutkan 40 g besi (II) ammonium sulfat P dalam campuran 40 ml asam sulfat P dan 200 ml air yang sebelumnya telah didinginkan, encerkan dengan air hingga 1000 ml dan campur (Moffat, 1986).

3.5 Prosedur

3.5.1 Identifikasi Parasetamol dalam jamu secara Kromatogrsfi Lapis Tipis 1 LARUTAN UJI

- Sejumlah satu dosis cuplikan yang telah diserbuk halus, dimasukkan kedalam labu Erlenmeyer 250 ml.

- ditambahkan 50 ml air, dibasakan dengan NaOH 1N hingga pH 9-10 dan dikocok selama 30 menit dan disaring.

- Filtrat diasamkan dengan beberapa tetes HCl 0,1 N hingga pH 3-4, diekstraksi 4 kali, setiap kali dengan 20 ml CHCl3.

- diuapkan dengan penguap rotasi vakum hingga hampir kering, sisa dilarutkan dalam 5 ml etanol (A).

- Sejumlah satu dosis cuplikan yang telah diserbuk halus dan 15 mg Parasetamol BPFI dimasukkan kedalam labu Erlenmeyer 250 ml.

- ditambahkan 50 ml air, dibasakan dengan NaOH 1N hingga pH 9-10 dan dikocok selama 30 menit dan disaring.

- Filtrat diasamkan dengan beberapa tetes HCl 0,1 N hingga pH 3-4, diekstraksi 4 kali, setiap kali dengan 20 ml CHCl3.

- diuapkan dengan penguap rotasi vakum hingga hampir kering, sisa dilarutkan dalam 5 ml etanol (B).


(23)

2 LARUTAN BAKU

Sebanyak 15 mg Parasetamol BPFI ditimbang seksama, dimasukkan kedalam labu tentukur 5 ml, dilarutkan dan diencerkan dengan etanol hingga tanda (C).

3 IDENTIFIKASI

a Cara Kromatografi Lapis Tipis

Larutan A, B, dan C masing-masing ditotolkan secara terpisah dan dilakukan kromatografi Lapis Tipis sebagai berikut:

Fase Diam : Silika gel GF 254

Fase Gerak : i. Etil asetat-Metanol-Amoniak (85:10:3) ii. Kloroform-Aseton (4:1)

iii. Kloroform-Metanol (90:10) Penjenuhan : Kertas saring

Jarak rambat : 15 cm

Volume Totol : Larutan A, B dan C masing-masing 25 µl

Penampak Bercak: Cahaya ultraviolet 254 nm, terjadi peredaman flouresensi.

3.5.2 Identifikasi Parasetamol dalam jamu dengan Metode Spektrofotometri Ultraviolet

- Dilakukan percobaan KLT seperti 3.5.1, Larutan A, B dan C (volume penotolan disesuaikan hingga diperoleh bercak setara dengan 70 µg Parasetamol).

- bercak baku dan senyawa yang mempunyai harga Rf sama ditandai dan dikerok.


(24)

- Hasil kerokan dikerok secara terpisah dalam 5 ml etanol dan disaring. - serapan filtrat diukur pada panjang gelombang antara 200 nm dan 380 nm.

3.6 Persyaratan


(25)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Kromatografi Lapis Tipis

4.1.1 Dengan fase gerak Etil asetat-Metanol-Amoniak (85:10:3) Hasil kromatogram lampiran 1.

Harga Rf =

tEluen JarakRamba k PusatBerca JarakTitik Harga Rf:

Baku Parasetamol = 15

2 , 6

= 0,413

Sampel Jamu = 15

1 , 6

= 0,406

Maka harga Rf Baku Parasetamol adalah 0,413 dan harga RF Parasetamol dalam sampel jamu adalah 0,406.

4.1.2 Dengan fase gerak Kloroform-Aseton (4:1) Hasil kromatogram lampiran 2.

Harga Rf:

Baku Parasetamol = 15

2 , 2 = 0,146

Sampel Jamu = 15

3 , 2 = 0,153

Maka harga Rf Baku Parasetamol adalah 0,146 dan harga RF Parasetamol dalam sampel jamu adalah 0,153.


(26)

4.1.3.Dengan fase gerak Kloroform-Metanol (90:10) Hasil kromatogram lampiran 3.

Harga Rf:

Baku Parasetamol = 15 3 , 1 = 0,086

Sampel + Baku = 15 5 , 1 = 0,1

Sampel Jamu = 15

5 , 1 = 0,1

Maka harga Rf Baku Parasetamol adalah 0,086 dan harga RF Parasetamol dalam sampel + baku adalah 0,1 dan harga Rf Parasetamol dalam sampel jamu adalah 0,1.

4.2 Hasil Spektrofotometri

4.2.1 Dengan fase gerak Etil asetat-Metanol-Amoniak (85:10:3) Hasil Spektrum lampiran 4.

Nama Zat Faktor

Pengenceran

Serapan Maksimum

Serapan

Baku Parasetamol 5 ml 248,5 0,6538

Sampel +Baku 5ml 244,5 0,5013

Sampel 5ml 242,4 0,4508

4.2.2 Dengan fase gerak Kloroform-Aseton (4:1) Hasil Spektrum lampiran 5.

Nama Zat Faktor

Pengenceran

Serapan Maksimum

Serapan

Baku Parasetamol 5 ml 248,6 0,7472

Sampel +Baku 5 ml 248,9 0,8725


(27)

4.2.3 Dengan fase gerak Kloroform-Metanol (90:10) Hasil Spektrum lampiran 6.

Nama Zat Faktor

Pengenceran

Serapan Maksimum

Serapan

Baku Parasetamol 5 ml 249,0 0,8215

Sampel +Baku 5 ml 249,0 0,4502

Sampel 5 ml 249,3 0,1728

4.3 Pembahasan

Dari hasil pengujian Kromatografi Lapis Tipis, Harga Rf menunjukkan sampel mengandung Parasetamol karena Harga Rf Baku Parasetamol sama atau hampir sama dengan harga Rf Sampel Jamu dengan menggunakan 3 eluen atau fase gerak yakni dengan fase gerak Etil asetat-Metanol-Amoniak (85:10:3) didapat harga Rf baku Parasetamol = 0,413 sedangkan sampel jamu = 0,406. Dengan fase gerak Kloroform-Aseton (4:1) didapat Harga Rf baku Parasetamol = 0,146 sedangkan sampel jamu =0,153. Dengan fase gerak Kloroform-Metanol (90:10) didapat Harga Rf baku Parasetamol = 0,086 sedangkan sampel + baku = 0,1 dan sampel jamu = 0,1.

Untuk memperjelas atau membuktikan maka dilanjutkan pengujian secara spektrofotometri. Dari hasil pengujian spektrofotometri menunjukkan sampel mengandung parasetamol karena serapan maksimum baku parasetamol sama atau hampir sama dengan serapan maksimum sampel jamu yakni hal ini diketahui dengan membandingkan serapan maksimum pada baku parasetamol dengan sampel yakni jamu asam urat. Hasil spektrum dengan fase gerak Etil asetat-Metanol-Amoniak (85:10:3) didapat baku parasetamol = 248,5 nm sedangkan


(28)

sampel + baku = 244,5 nm dan sampel jamu = 242,4 nm. Dengan fase gerak Kloroform-Aseton (4:1) didapat baku parasetamol = 248,6 nm sedangkan sampel + baku = 244,5 nm dan sampel jamu = 249,1 nm. Dengan fase gerak Kloroform-Metanol (90:10) didapat baku Parasetamol = 249,0 nm sedangkan sampel + baku = 249,0 nm dan sampel jamu = 249,3 nm. Dari hasil ini maka jamu ini mengandung BKO atau Bahan Kimia Obat yakni Parasetamol.


(29)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Pada pemeriksaan Jamu Asam Urat tidak memenuhi persyaratan karena mengandung Parasetamol.

5.2 Saran

Diharapkan agar pada praktek kerja lapangan selanjutnya dilakukan pengujian kembali terhadap Jamu Asam Urat dan dilakukan penarikan apabila ternyata tetap tidak memenuhi persyaratan.


(30)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (2008). Obat Tradisional.WWW.Wikipedia.com. Tgl akses 21 Maret 2010.

Dachriyanus. (2004). Analisis Struktur Senyawa Organik Secara Spektroskopi. Edisi I. Padang: Penerbit Andalas University Press.

Depkes RI. (1995). Materia Medika Indonesia. Jilid IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Dirjen POM. (1986). Pengujian Bahan Kimia Sintetik Dalam Obat Tradisional. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Dirjen POM. (1994). Petunjuk Pelaksanaan Cara Pembuatan Obat Tradisional

Yang Baik (CPOTB). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik

Indonesia.

Dirjen POM RI. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 649.

Mursito. B. (2002). Ramuan Tradisional. Cetakan I. Jakarta: Penerbit Swadaya. Hal. 24.

Moffat, A. C. (1986). Clarke’s Isolation and Identification of Drugs. Edisi 2. London. The Pharmaceutical Press. Hal. 420-421, 457-458, 849, 932-933.

Moko. (2008). Aplikasi Farmakokinetika pada Klinik akses 28 Maret 2010.

Sastrohamidjojo. H. (1985). Kromatografi. Edisi I. Yogyakarta: Liberty. Hal.1, 29, 34-35.

Suyono. H. (1996). Obat Tradisional Jamu di Indonesia. Surabaya. Universitas Airlangga. Hal. 25, 53.

Tan, T. H., dan Kirana. (2002). Obat-Obat Penting Khasiat Penggunaan dan

Efek-Efek Sampingnya. Edisi V. Cetakan I. Jakarta: PT. Elax Media

Komputindo Gramedia. Hal. 295-297.

Widyastuti. Y. (2004). Penanganan Hasil Panen Tanaman Obat Komersil. Edisi Revisi. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 17.


(31)

Lampiran 1

Kromatogram Etil asetat-Metanol-Amoniak (85:10:3)

Baku parasetamol sampel jamu

Lampiran 2

Kromatogram Kloroform-Aseton (4:1)


(32)

Lampiran 3

Kromatogram Kloroform-Metanol (90:10)


(1)

4.2.3 Dengan fase gerak Kloroform-Metanol (90:10) Hasil Spektrum lampiran 6.

Nama Zat Faktor

Pengenceran

Serapan Maksimum

Serapan

Baku Parasetamol 5 ml 249,0 0,8215

Sampel +Baku 5 ml 249,0 0,4502

Sampel 5 ml 249,3 0,1728

4.3 Pembahasan

Dari hasil pengujian Kromatografi Lapis Tipis, Harga Rf menunjukkan sampel mengandung Parasetamol karena Harga Rf Baku Parasetamol sama atau hampir sama dengan harga Rf Sampel Jamu dengan menggunakan 3 eluen atau fase gerak yakni dengan fase gerak Etil asetat-Metanol-Amoniak (85:10:3) didapat harga Rf baku Parasetamol = 0,413 sedangkan sampel jamu = 0,406. Dengan fase gerak Kloroform-Aseton (4:1) didapat Harga Rf baku Parasetamol = 0,146 sedangkan sampel jamu =0,153. Dengan fase gerak Kloroform-Metanol (90:10) didapat Harga Rf baku Parasetamol = 0,086 sedangkan sampel + baku = 0,1 dan sampel jamu = 0,1.

Untuk memperjelas atau membuktikan maka dilanjutkan pengujian secara spektrofotometri. Dari hasil pengujian spektrofotometri menunjukkan sampel mengandung parasetamol karena serapan maksimum baku parasetamol sama atau hampir sama dengan serapan maksimum sampel jamu yakni hal ini diketahui dengan membandingkan serapan maksimum pada baku parasetamol dengan sampel yakni jamu asam urat. Hasil spektrum dengan fase gerak Etil asetat-Metanol-Amoniak (85:10:3) didapat baku parasetamol = 248,5 nm sedangkan


(2)

sampel + baku = 244,5 nm dan sampel jamu = 242,4 nm. Dengan fase gerak Kloroform-Aseton (4:1) didapat baku parasetamol = 248,6 nm sedangkan sampel + baku = 244,5 nm dan sampel jamu = 249,1 nm. Dengan fase gerak Kloroform-Metanol (90:10) didapat baku Parasetamol = 249,0 nm sedangkan sampel + baku = 249,0 nm dan sampel jamu = 249,3 nm. Dari hasil ini maka jamu ini mengandung BKO atau Bahan Kimia Obat yakni Parasetamol.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Pada pemeriksaan Jamu Asam Urat tidak memenuhi persyaratan karena mengandung Parasetamol.

5.2 Saran

Diharapkan agar pada praktek kerja lapangan selanjutnya dilakukan pengujian kembali terhadap Jamu Asam Urat dan dilakukan penarikan apabila ternyata tetap tidak memenuhi persyaratan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (2008). Obat Tradisional.WWW.Wikipedia.com. Tgl akses 21 Maret 2010.

Dachriyanus. (2004). Analisis Struktur Senyawa Organik Secara Spektroskopi. Edisi I. Padang: Penerbit Andalas University Press.

Depkes RI. (1995). Materia Medika Indonesia. Jilid IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Dirjen POM. (1986). Pengujian Bahan Kimia Sintetik Dalam Obat Tradisional. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Dirjen POM. (1994). Petunjuk Pelaksanaan Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik (CPOTB). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Dirjen POM RI. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 649.

Mursito. B. (2002). Ramuan Tradisional. Cetakan I. Jakarta: Penerbit Swadaya. Hal. 24.

Moffat, A. C. (1986). Clarke’s Isolation and Identification of Drugs. Edisi 2. London. The Pharmaceutical Press. Hal. 420-421, 457-458, 849, 932-933.

Moko. (2008). Aplikasi Farmakokinetika pada Klinik akses 28 Maret 2010.

Sastrohamidjojo. H. (1985). Kromatografi. Edisi I. Yogyakarta: Liberty. Hal.1, 29, 34-35.

Suyono. H. (1996). Obat Tradisional Jamu di Indonesia. Surabaya. Universitas Airlangga. Hal. 25, 53.

Tan, T. H., dan Kirana. (2002). Obat-Obat Penting Khasiat Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi V. Cetakan I. Jakarta: PT. Elax Media Komputindo Gramedia. Hal. 295-297.


(5)

Lampiran 1

Kromatogram Etil asetat-Metanol-Amoniak (85:10:3)

Baku parasetamol sampel jamu

Lampiran 2

Kromatogram Kloroform-Aseton (4:1)


(6)

Lampiran 3

Kromatogram Kloroform-Metanol (90:10)