Identifikasi Morfologi Dan Molekuler Antar Generasi Pada Bawang Merah (Allium Cepa L. Aggregatum Group).

IDENTIFIKASI MORFOLOGI DAN MOLEKULER
ANTAR GENERASI PADA BAWANG MERAH
(Allium cepa L. Aggregatum group)

DINA FITRIANA

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Identifikasi Morfologi
dan Molekuler antar Generasi pada Bawang Merah (Allium cepa L. Aggregatum
group) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Dina Fitriana
NIM A24110073

ABSTRAK
DINA FITRIANA. Identifikasi Morfologi dan Molekuler antar Generasi pada
Bawang Merah (Allium cepa L. Aggregatum group). Dibimbing oleh SOBIR.
Perbanyakan bawang merah (Allium cepa L. Aggregatum group) secara
generatif menggunakan true shallots seed (TSS), kemudian secara vegetatif
menggunakan umbi (bulb). Bawang merah merupakan tanaman yang menyerbuk
silang, perbanyakan secara generatif dapat menimbulkan segregasi. Perbanyakan
secara klonal akan menurunkan produktivitas akibat degenerasi. Segregasi dan
degenerasi dapat menimbulkan variasi pada varietas bawang merah. Tujuan dari
penelitian ini adalah mengidentifikasi variasi pada tiga generasi bawang merah
akibat pola perbanyakannya. Dalam percobaan digunakan penanda morfologi dan
penanda molekuler. Pengamatan morfologi bawang merah dilakukan di Kebun
Percobaan Pasir Kuda, sementara analisis molekuler dengan menggunakan ISSR
dilakukan di Laboratorium Molekuler PKHT. Hasil analisis statistik menunjukkan

terdapat perbedaan morfologi, sementara itu tingkat polimorfisme pada analisis
molekuler hingga 26.67%.
Kata kunci: analisis gerombol, degenerasi, ISSR, PCR

ABSTRACT
DINA FITRIANA. Morphological and Molecular Identification Inter Generation
in Shallot (Allium cepa L. Aggregatum group). Supervised by SOBIR.
Shallots multiplication generatively using true shallots seed (TSS), then
vegetatively using bulbs. Shallots are cross-pollinated plants, generative
propagation encountered problems due to segregation. Meanwhile, a decreace in
productivity by clonal propagation will occur due to degeneration. Segregation
and degeneration causing variation in shallots. The aims of this research was to
identify variations in three generations of shallot, as result of its multiplication
pattern. Morphological markers and molecular markers was used in this
experiment. Morphological observation done at Pasir Kuda Experimental Field,
while ISSR molecular analysis conducted at Molecular Laboratory of PKHT.
Statistical analysis shows that there are differences in morphology characters,
while the level of polymorphism in molecular analysis is up to 26.67%.
Keywords: cluster analysis, degeneration, ISSR, PCR


IDENTIFIKASI MORFOLOGI DAN MOLEKULER
ANTAR GENERASI PADA BAWANG MERAH
(Allium cepa L. Aggregatum group)

DINA FITRIANA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2014 ini ialah
identifikasi morfologi dan molekuler bawang merah, dengan judul Identifikasi
Morfologi dan Molekuler antar Generasi pada Bawang Merah (Allium cepa L.
Aggregatum group).
Terima kasih penulis sampaikan kepada
1. Prof Dr Ir Sobir, MSi selaku dosen pembimbing skripsi yang banyak
memberikan masukan selama pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi,
2. Dr Awang Maharijaya, SP, MSi dan Dr Ir Asep Setiawan, MS selaku dosen
penguji atas saran dan masukan penulisan skripsi ini,
3. Mbak Pipit, Bapak Baisuni, dan Bapak Enjai atas bantuannya di
laboratorium dan di lapangan,
4. Keluarga AGH 48 atas dukungan semangatnya, serta
5. Ayah, Ibu, dan keluarga lainnya atas doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2015
Dina Fitriana

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Hipotesis
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Bawang Merah
Kultivar (Varietas)
PCR
Penanda Molekuler ISSR
METODE
Waktu dan Tempat
Bahan dan Alat
Metode Percobaan
Prosedur Percobaan
Pengamatan
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Percobaan
Karakter Kuantitatif
Karakter Kualitatif
Analisis Molekuler
Analisis Gerombol
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vii
vii
vii
1
1
2
2
2

2
3
3
4
4
4
5
5
6
6
7
8
8
8
9
11
13
14
14
14

15
17
20

DAFTAR TABEL
1 Daftar primer ISSR yang digunakan
2 Karakter kuantitatif tajuk bawang merah
3 Karakter kuantitatif umbi bawang merah
4 Karakter kualitatif tajuk dan umbi bawang merah

5
8
9
10

DAFTAR GAMBAR
1 PCR pada ISSR
2 Tajuk setiap kombinasi generasi dan bentuk umbi
3 Kluster umbi setiap kombinasi generasi dan bentuk umbi
4 Hasil visualisasi DNA setelah amplifikasi

5 Dendogram berdasarkan karakter morfologi dan molekuler

4
10
11
12
13

DAFTAR LAMPIRAN
1 Individu umbi setiap kombinasi perlakuan
2 Tabel data iklim wilayah Bogor
3 Matriks ketidakmiripan antar kombinasi generasi dan bentuk umbi
berdasarkan karakter morfologi
4 Matriks ketidakmiripan antar kombinasi generasi dan bentuk umbi
berdasarkan analisis molekuler
5 Kombinasi generasi dan bentuk umbi pada percobaan
6 Deskripsi bawang merah aksesi PKHT berdasarkan identifikasi
morfologi pada percobaan

17

18
18
18
18
19

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bawang merah (Allium cepa L. Aggregatum group) di wilayah tropis lebih
populer dibandingkan bawang bombai. Bawang bombai dapat ditumbuhkan di
dataran tinggi wilayah tropis, tetapi bawang merah yang menghasilkan kluster
umbi yang kecil lebih banyak ditanam petani di dataran rendah (Currah 2002).
Bawang merah menjadi komoditas hortikultura yang penting di Indonesia. Harga
bawang merah sangat fluktuatif dan kebutuhan bawang merah hampir selalu
dipenuhi oleh bantuan impor (Kementan 2013). Permasalahan utama bawang
merah disebabkan produksinya yang tidak merata sepanjang tahun. Bawang
merah di Indonesia kebanyakan ditanam di lahan sawah. Pada musim basah petani
lebih memilih untuk menanam padi daripada bawang merah sehingga di pasaran
tidak terdapat pasokan bawang merah yang cukup, kemudian pada musim kering
produksi bawang merah meningkat kembali. Terlepas dari hal tersebut, sistem

produksi bawang merah di Indonesia juga belum terprogram dengan baik.
Perbanyakan bawang merah di Indonesia dilakukan secara vegetatif. Aturan
mengenai batas generasi umbi bawang merah yang dapat digunakan sebagai
bahan tanam belum jelas, padahal perbanyakan secara vegetatif dapat
menimbulkan penurunan produktivitas akibat degenerasi klonal. Degenerasi pada
kultivar klonal utamanya terjadi karena asal perbanyakan tanaman telah terinfeksi
bakteri atau virus, dan degenerasi lain disebabkan mutasi alami (Brown dan
Caligari 2008).
Pola perbanyakan bawang merah diawali dengan produksi benih botani
bawang merah atau true shallots seed (TSS), kemudian dilanjutkan dengan
perbanyakan secara vegetatif menggunakan umbi. Bawang merah merupakan
tanaman yang menyerbuk silang (Rabinowitch dan Kameenetsky 2002), oleh
karena itu penggunaan TSS menemui permasalahan akibat adanya segregasi
(Permadi 1994). TSS dapat menghasilkan umbi yang ukurannya hampir sama
dengan bawang bombai, dengan tingkat kepedasan dan kualitas penyimpanan
yang baik, tetapi ukuran, bentuk, warna, dan kematangannya belum homogen
(Grubben 1994).
Segregasi dan degenerasi pada perbanyakan bawang merah dapat
menimbulkan variasi pada varietas bawang merah, padahal dalam Permentan
No.37 tahun 2006 disebutkan bahwa seluruh varietas tanaman harus memiliki ciri
keseragaman. Varietas merupakan satu kelompok tanaman yang serupa dengan
ciri struktural dan penampilan yang dapat diidentifikasi berbeda dari varietas lain
dalam spesies yang sama (Poehlman dan Sleper 1995). Keseragaman berkaitan
dengan tingkat dan jenis variasi yang terlihat (biasanya fenotipik) antar tanaman
dalam varietas yang sama (Brown dan Caligari 2008). Variasi apapun harus dapat
diprediksi dan dapat dideskripsikan. Variasi harus dapat diterima secara komersial
dan frekuensi kejadiannya tidak lebih besar dari yang telah didefinisikan.
Tiga generasi bawang merah dari varietas yang sama akan diidentifikasi
variasinya menggunakan penanda morfologi. Morfologi sering kali mudah
berubah akibat pengaruh lingkungan, sehingga digunakan juga analisis molekuler.
Penanda molekuler yang digunakan berbasis PCR, yaitu inter simple sequences

2
repeat (ISSR). Menurut Shu et al. (2012) ISSR adalah wilayah yang berada di
antara sekuens mikrosatelit atau SSR (simple sequences repeat), yang dapat
diamplifikasi menggunakan sekuens SSR sebagai primer. Studi keragaman
genetik pada spesies Allium dengan menggunakan analisis ISSR telah dilakukan
oleh Smolik et al. (2007) dan Mukherjee et al. (2013), dengan hasil yang
menunjukkan polimorfisme yang tinggi. Studi keragaman genetik bawang merah
di Indonesia juga telah dilakukan Arifin et al. (2000) dan Soegianto et al. (2011)
dengan masing-masing menggunakan analisis SSR dan RAPD (randomly
amplified polymorphic DNAs). Namun demikian, studi keragaman genetik
bawang merah antar generasi dengan menggunakan penanda molekuler ISSR
belum pernah dilakukan.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi keragaman morfologi dan
molekuler dalam dan antar generasi pada bawang merah.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan pada penelitian adalah tidak terdapat keragaman
morfologi dan molekuler dalam dan antar generasi pada bawang merah.

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Bawang Merah
Menurut Hanelt (1990) dalam Rabinowitch dan Kamenetsky (2002) Allium
ascalonicum selama bertahun-tahun telah salah digunakan sebagai literatur untuk
bawang merah, karena pertama kali nama tersebut digunakan untuk spesies Allium
liar. Hanelt pada 1990 membagi Allium cepa yang dibudidayakan ke dalam dua
kelompok besar hortikultura, yaitu kelompok common onion dan kelompok
aggregatum. Bawang merah termasuk dalam kelompok aggregatum dengan nama
ilmiah Allium cepa L. Aggregatum group.
Umbi (bulb) bawang merah lebih kecil dari kelompok common onion
(bawang bombai), karena pada bawang merah bulb dengan cepat membelah dan
secara lateral membentuk kluster (Brewster 2008). Batang bawang merah, yang
berada di dalam tanah, memadat membentuk piringan pada dasar tanaman, atau
disebut sebagai basal plate (Brewster 2008, Rabinowitch dan Kamenetsky 2002).
Pada bagian tengah batang terdapat tunas apikal. Setiap daun terdiri atas blade
(helai daun) dan sheath (pelepah). Pelepah berkembang mengelilingi titik tumbuh,
dan pada akhirnya menutupi daun yang lebih muda dan tunas apikal (Brewster
2008).
Rabinowitch dan Kamenetsky (2002) membuat perbandingan antara bulb
bawang bombai dan bawang merah. Bawang bombai hanya memiliki satu titik
tumbuh sementara bawang merah menghasilkan tunas lateral. Inisiasi
pembungaan bawang merah dan bawang bombai terjadi ketika panjang daun
terakhirnya 10 – 14 cm dan terdapat minimal 6 daun. Bawang merah dan bawang

3
bombai sama-sama memerlukan induksi dingin untuk pembungaan, dengan suhu
optimum 5 – 10oC. Bunga bawang merah dan bawang bombai serupa secara
morfologi, namun perkembangan bunga pada bawang merah dapat disertai
perkembangan tunas lateral.
Kultivar (Varietas)
Varietas adalah subdivisi dari spesies. Varietas merupakan satu kelompok
tanaman yang serupa dengan ciri struktural dan penampilan yang dapat
diidentifikasi berbeda dari varietas lain dalam spesies yang sama (Poehlman dan
Sleper 1995). Kultivar (atau varietas) juga dapat didefinisikan sebagai sebuah
kelompok yang terdiri atas satu atau lebih genotipe yang memiliki kombinasi
karakter yang memberikan keunikan keseragaman, dan kestabilan (distictness,
uniformity, dan stability, atau disingkat DUS) (Brown dan Caligari 2008).
Keunikan sering didefinisikan sebagai karakter dasar morfologi yang tidak
banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Saat dirilis untuk diproduksi, kultivar harus
benar-benar baru dan unik, berbeda dari kultivar yang telah ada. Kultivar baru
harus dapat dipastikan belum pernah didaftarkan sebelumnya. Keseragaman
berkaitan dengan tingkat dan jenis variasi yang terlihat (biasanya fenotipik) antar
tanaman dalam kultivar yang sama. Variasi apapun harus dapat diprediksi dan
dapat dideskripsikan. Variasi harus dapat diterima secara komersial dan frekuensi
kejadiannya tidak lebih besar dari yang telah didefinisikan. Jumlah variasi yang
diizinkan bergantung pada negara tempat kultivar dirilis. Sementara itu, stabilitas
pada kultivar merujuk pada kebenaran deskripsi kultivar ketika kultivar tersebut
diperbanyak (Brown dan Caligari 2008).
PCR
Proses replikasi DNA telah dimanfaatkan dalam PCR (polymerase chain
reaction) untuk memperoleh salinan sekuens DNA yang diinginkan. Replikasi
DNA di dalam sel menggunakan template DNA, dan dimulai oleh enzim DNA
polimerase. Proses ini hanya terjadi ketika sebuah primer menempel pada DNA,
selanjutnya enzim akan mulai menambahkan nukleotida. Dalam PCR, reaksi yang
sama terjadi. Amplifikasi DNA tersebut menggunakan dua primer oligonukleotida
yang cocok dengan ujung 5’ ataupun 3’ sekuens DNA (Chahal dan Gosal 2002).
Beberapa tahapan dalam PCR dijelaskan oleh Grainger dan Madden (1993)
dalam Chahal dan Gosal (2002). DNA utas ganda yang telah diekstraksi,
dipanaskan pada suhu 95 – 98oC, sehingga terpisah menjadi dua DNA utas
tunggal (single strand DNA). Primer sintetik yang merupakan potongan pendek
DNA utas tunggal yang komplemen terhadap DNA target sebelumnya telah
ditambahkan. Campuran didinginkan hingga 37oC, sehingga primer menempel
pada DNA utas tunggal. Suhu dinaikkan hingga 72oC, sehingga enzim Taq
polymerase mulai menginisiasi pemanjangan utas DNA dengan menambahkan
nukleotida untuk melengkapi sekuens DNA target. Setiap tahapan tersebut adalah
satu siklus, sehingga secara teori salinan DNA pada PCR sebanyak 2n, dengan n
adalah banyaknya siklus yang terjadi.

4
Penanda Molekuler ISSR
Inter simple sequence repeats (ISSR) merupakan metode berbasis PCR yang
pertama kali dikembangkan oleh Zietkiewicz et al. (1994). ISSR adalah daerah
genom yang berada di antara daerah berulang sederhana (simple sequence repeats
atau disingkat SSR, atau microsatelit). Pada dasarnya daerah SSR terdapat dalam
jumlah banyak pada genom eukariotik. Zietkiewicz et al. (1994)
mendemonstrasikan penggunaan SSR untuk mengamplifikasi ISSR. Primer yang
digunakan berupa oligonukleotida. Percobaan Zietkiewicz et al. (1994)
menggunakan primer (CA)n dengan 2 – 4 residu nukleotida.

Gambar 1 PCR pada ISSR menurut Zietkiewicz et al. (1994)
ISSR banyak digunakan untuk mempelajari keragaman genetik tanaman
seperti pada manggis (Widiastuti et al. 2012), pisang (Naipospos et al. 2014), juga
anggrek (Romeida et al. 2012). Smolik et al. (2007) melakukan studi keragaman
genetik terhadap enam aksesi spesies Allium, yaitu A. cepa var. cepa, A.
tuberosum, A. ascalonicum, A. fistulosum, dan A. cepa var. proliferum.
Penelitiannya dengan menggunakan 30 primer ISSR. Primernya terdiri atas 17 –
18 pasang basa dengan variasi pengulangan di-, tri-, tentra-, dan pentanukleotida.
Dari 30 primer yang digunakan, 16 primer menunjukkan polimorfisme.
Selanjutnya, Mukherhjee et al. (2013) menggunakan RAPD dan ISSR untuk
mempelajari keragaman genetik dan mengklarifikasi hubungan phylogenetic
beberapa spesies Allium. Pada studinya, primer RAPD maupun ISSR
menunjukkan polimorfisme yang tinggi untuk kelompok bawang bombai (A. cepa
var. cepa), secara berurut yaitu 77.23% dan 91.66%. ISSR juga menunjukkan
tingkat polimorfisme yang lebih tinggi (75.67%) dibandingkan RAPD (61.68%)
untuk bawang putih (A. sativum).

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan PKHT IPB Pasir Kuda, Desa
Pasir Mas, Bogor. Analisis molekuler dilaksanakan di Laboratorium Molekuler
PKHT. Pelaksanaan penelitian selama 3 bulan mulai bulan November 2014
hingga Februari 2015.

5
Bahan dan Alat
Bahan tanaman yang digunakan adalah aksesi bawang merah PKHT yang
terdiri atas tiga generasi yaitu BM22 (generasi nol), BM20 (generasi satu), dan
generasi dua (BM17). Umbi-umbi yang berbentuk bulat (B) dan lonjong (L)
dipilah dalam setiap generasi. Umbi bulat pada generasi dua dibedakan menjadi
bulat besar (BB) dan kecil (BK). Terdapat 7 kombinasi perlakuan yaitu bawang
merah generasi nol berbentuk bulat (BM22B), generasi nol berbentuk lonjong
(BM22L), generasi satu berbentuk bulat (BM20B), generasi satu berbentuk
lonjong (BM20L), generasi dua berbentuk bulat besar (BM17BB), generasi dua
berbentuk bulat kecil (BM17BK), dan generasi dua berbentuk lonjong (BM17L).
Bahan lain yang digunakan meliputi media tanam, yaitu campuran tanah, sekam,
dan pupuk kandang (1:1:1), PGPR, polybag, pupuk SP-36, Urea, dan KCl.
Peralatan yang digunakan meliputi alat-alat pertanian pada umumnya, meteran,
jangka sorong, dan chlorophyll meter (at leaf).
Bahan yang dibutuhkan untuk isolasi DNA antara lain daun muda bawang
merah, buffer ekstraksi (CTAB 10%, EDTA 0.5 M pH 8.0, Tris-HCl 1 M pH 8.0,
NaCl 5 M), merkaptoetanol 1%, pasir kuarsa, polyvinylpoly-pyrrolidone,
kloroform:isomasil alkohol (24:1), isopropanol dingin, buffer TE (Tris-HCl 1 M
pH 8.0, EDTA 0.5 M), dan alkohol 70%. Bahan untuk teknik PCR meliputi 4
primer ISSR (Tabel 1), PCR mix (GoTaq Green Master), dan air bebas ion. Bahan
elektroforesis meliputi gel agarosa, loading dye, lambda, DNA ladder 1 kb, buffer
TAE (Tris base, asam asetat, EDTA), etidium bromida 1%, dan aquades.
Sementara itu, alat yang digunakan dalam kegiatan analisis molekuler meliputi
alat-alat yang digunakan untuk isolasi DNA meliputi tabung mikro, seperangkat
mortar, tip pipet mikro, pipet mikro, vorteks, sentrifus, waterbath, lemari es, dan
alat PCR. Alat lain yang digunakan adalah seperangkat alat elektroforesis dan UV
Transiluminator yang digunakan untuk visualisasi hasil elektroforesis.
Tabel 1 Daftar primer ISSR yang digunakan
Primer
Suhu annealing (oC)
5’ – 3’
PKBT 1
54
(AC)8TG
PKBT 2
53
(AC)8TT
PKBT 6
53
(AG)8TT
PKBT 11
54
(GT)9C
Metode Percobaan
Percobaan dilakukan dengan menggunakan rancangan kelompok lengkap
teracak (RKLT) satu faktor dengan generasi dan bentuk umbi sebagai perlakuan.
Setiap polybag ditanami 2 – 3 umbi dari setiap perlakuan. Dalam percobaan ini
terdapat tiga ulangan, sehingga terdapat 21 satuan percobaan. Model linier aditif
yang digunakan adalah sebagai berikut.
Yij= μ + Ui +Kj + Gij
Yij
: Nilai hasil pengamatan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j
μ
: Rataan umum
Ui
: Pengaruh generasi dan bentuk umbi ke-i
Kj
: Pengaruh pengelompokan ke-j
Gij
: Galat percobaan pada perlakuan ke-i, ulangan ke-j

6
Prosedur Percobaan
Media tanam berupa campuran tanah, arang sekam, dan pupuk kandang
(1:1:1), serta pupuk SP-36 dipersiapkan tiga hari sebelum tanam. Pupuk susulan
berupa Urea dan KCl diaplikasikan pada 15 dan 30 hari setelah tanam. Polybag
ditempatkan di bawah rumah plastik. Penyiraman dilakukan satu kali setiap dua
hari. Penyiangan dilakukan setiap minggu. Pengamatan organ vegetatif selain
umbi dilakukan saat pertumbuhan vegetatif telah sempurna (2 bulan setelah
tanam). Pemanenan pada saat daun rebah.
Isolasi DNA
Isolasi DNA yang dilakukan menggunakan metode CTAB dengan
penambahan polyvinilpoly-pyrolidone dan merkaptoetanol. DNA diperoleh dari
daun muda bawang merah. Daun muda bawang merah bersama polyvinilpolypyrolidone dan pasir kuarsa digerus sampai halus pada mortar. Hasil gerusan
ditambahkan buffer ekstraksi (telah dipanaskan dan dicampurkan dengan
merkaptoenanol 1%). Campuran dipanaskan pada waterbath pada suhu 65 oC
selama 60 menit. Campuran ditambahkan larutan kloroform:isoamil alkohol
(24:1) dan dikocok kuat-kuat (vorteks), kemudian disentrifugasi selama 10 menit
dengan kecepatan 11 000 rpm. Supernatan dipipet ke tabung lain dan ditambahkan
isopropanol dingin, dikocok perlahan hingga homogen, lalu disimpan di lemari es
selama satu hari. Cairan tersebut disentrifus kembali dengan kecepatan 11 000
rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang dengan hati-hati, sehingga endapan
(pelet DNA) di bawah tabung tidak ikut terbuang. Pelet DNA dicuci dengan
alkohol 70%, dengan cara disentrifugasi selama 10 menit pada kecepatan 11 000
rpm. Supernatan dibuang, sementara pelet DNA dikeringanginkan. Pelet DNA
ditambahkan buffer TE setelah dikeringanginkan. DNA total dicek untuk
mengetahui sampel berisi DNA atau tidak. DNA sebanyak 5 μL diambil dari
setiap sampel, dicampurkan dengan loading dye sebanyak 2 μL pada parafilm.
Campuran dipipet pada gel agarose (0.8%), dielektroforesis selama 15 menit pada
tegangan 50 volt. Gel direndam pada etidium bromida, lalu dibilas dengan
aquades. Hasil dilihat dengan menggunakan UV Transiluminator.
Amplifikasi DNA dan Elektroforesis
DNA (1 μL) ditambahkan primer (1 μL), air bebas ion (5 μL), dan PCR mix
(6 μL). Amplifikasi dilakukan dengan menggunakan mesin PCR sebanyak 35
siklus setelah pradenaturasi selama 4 menit (94 oC). Setiap siklus terdiri atas 30
detik denaturasi (94 oC), 30 detik annealing (53 – 54 oC), 1 menit elongasi (72 oC)
dan 5 menit elongasi akhir (72 oC). Sekuens DNA hasil amplifikasi kemudian
dielektroforesis selama 47 menit pada tegangan 50 volt bersama DNA ladder 1 kb
pada gel agarosa 1.2%. Gel kemudian direndam dalam etidium bromida dan
dibilas dengan akuades. Pola pita hasil amplifikasi divisualisasi dengan
menggunakan UV Transiluminator.
Pengamatan
Pengamatan dilakukan terhadap karakter kuantitatif maupun kualitatif pada
fase vegetatif. Pengamatan karakter mengacu pada panduan International Union
for the Protection of New Varieties of Plants (UPOV) dengan kode TG/46/7 200804-09 dan Calibration Book Onion and Shallot (Naktuinbouw 2010) dengan
pengurangan dan penambahan beberapa karakter.

7
Karakter pengamatan tersebut adalah:
1. Jumlah daun pada setiap batang semu
2. Perilaku tajuk (tegak, tegak semi tegak, semi tegak, semi tegak-mendatar,
mendatar)
3. Intensitas warna hijau tajuk
4. Kandungan klorofil (at leaf unit)
5. Lengkungan tajuk (tidak ada atau sangat lemah, sedang, gelap)
6. Panjang daun (diukur pada daun terpanjang)
7. Diameter daun (diukur pada daun terpanjang)
8. Panjang batang semu (diukur sampai daun hijau paling atas)
9. Diameter batang semu (diukur pada pertengahan titik panjang)
10. Tingkat membelah menjadi bagian-bagian umbi (tidak ada atau sangat
lemah, lemah, sedang, kuat, sangat kuat)
11. Jumlah umbi tanaman-1
12. Tinggi umbi
13. Diameter umbi
14. Rasio tinggi diameter umbi-1
15. Posisi umbi pada diameter terluas (ke arah ujung batang, pertengahan, ke
arah ujung akar)
16. Bentuk umbi secara membujur (lonjong, oval sedang, lonjong lebar, bulat,
oval lebar, oval terbalik lebar, belah ketupat lebar, belah ketupat, elips
melintang sedang, elips melintang sempit)
17. Bentuk umbi pada ujung batang (melengkung, rata, agak naik, membulat,
agak miring, sangat miring)
18. Bentuk umbi pada ujung akar (melengkung, rata, agak naik, membulat, agak
miring, sangat miring)
19. Warna dasar pada kulit umbi kering (putih, abu-abu, hijau, coklat, merah
muda, merah)
20. Intensitas warna dasar kulit umbi kering (terang, sedang, gelap)
Analisis Data
Data kuantitatif hasil penelitian dianalisis menggunakan uji F dengan taraf
5%. Uji lanjut yang akan digunakan adalah uji DMRT taraf 5%. Software yang
akan digunakan adalah Ms. Excel dan STAR. Hasil visualisasi DNA berupa pita
pada agar diterjemahkan ke dalam data biner, dengan nilai 0 diberikan apabila
tidak terdapat pita, dan nilai 1 diberikan apabila terdapat pita. Analisis gerombol
berdasarkan data morfologi dan molekuler menggunakan program R i1386 3.2.2.
Matriks ketidakmiripan dibuat berdasarkan koefisien gower, sementara
dendogram dibuat dengan metode average-linkage.

8

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Percobaan
Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan PKHT Pasir Kuda, Desa Pasir
Mas, Kecamatan Ciomas, Bogor. Kebun berada pada ketinggian 260 mdpl. Suhu
rata-rata bulanan selama percobaan berkisar 25.2 – 26.3oC, sementara kelembapan
relatif berkisar 45 – 87% (BMKG 2015). Bawang merah ditanam di bawah rumah
plastik sehingga curah hujan dianggap kurang penting. Menurut Balitsa (2005)
bawang merah sangat peka terhadap air, sehingga penyiraman dilakukan satu kali
dalam dua hari. Di wilayah tropis bawang merah baik ditanam di daerah dengan
kisaran suhu 25 – 32oC dan kelembapan relatif 50 – 70%. Kelembapan relatif di
kebun percobaan sedikit lebih tinggi, namun secara umum tanaman masih dapat
tumbuh dengan baik. Tidak terdapat serangan hama ataupun penyakit yang berarti
selama periode penelitian. Bawang merah generasi dua, dipanen lebih awal (72
hari setelah tanam), sementara bawang merah generasi nol dan satu dipanen lebih
lama (77 hari setelah tanam).
Karakter Kuantitatif
Terdapat 6 karakter kuantitatif yang diamati pada tajuk, 2 karakter di
antaranya menunjukkan perbedaan, yaitu panjang daun dan panjang batang semu.
Bawang merah generasi satu cenderung menghasilkan daun dan batang semu
lebih pendek dibanding dua generasi lainnya. Dalam generasi yang sama tidak
terdapat perbedaan yang signifikan untuk kedua karakter tersebut, kecuali pada
generasi dua. Bawang merah berbentuk bulat besar pada generasi dua memiliki
daun yang lebih pendek dibanding bawang merah berbentuk bulat kecil, namun
bawang merah berbentuk bulat besar ataupun kecil tidak menghasilkan panjang
daun yang berbeda secara signifikan dengan bawang merah yang berbentuk
lonjong. Berdasarkan Tabel 2, tidak terdapat penurunan performa tajuk bawang
merah dengan penggunaan umbi sampai generasi dua sebagai bahan tanam.
Tabel 2 Karakter kuantitatif tajuk bawang merah
Perlakuan
BM22B
BM22L
BM20B
BM20L
BM17BB
BM17BK
BM17L
a

JDPBSa
4.6
4.7
4.0
4.3
4.6
4.7
4.8

PD
35.2 b
34.1 bc
29.8 d
32.1 cd
34.9 b
38.1 a
35.9 ab

DD
4.4
4.0
4.2
4.1
4.3
4.5
4.5

PBS
6.4 ab
6.0 bc
5.3 c
5.1 c
7.2 a
7.1 a
6.4 ab

DBS
4.5
4.8
4.1
4.8
4.2
4.3
5.0

KKD
62.8
62.4
69.1
67.7
64.5
63.9
65.9

JDPBS:jumlah daun batang semu-1, PD: panjang daun (cm), DD: diameter daun (mm), PBS:
panjang batang semu (cm), DBS: diameter batang semu (mm), KKD: kandungan klorofil daun (at
leaf unit); angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada
uji lanjut DMRT taraf 5%.

9
Pengamatan pada umbi dilakukan terhadap 4 karakter kuantitatif, dan 2
karakter di antaranya menunjukkan perbedaan, yaitu karakter jumlah umbi
tanaman-1 dan tinggi umbi (Tabel 3). Generasi nol menghasilkan 5 – 6 umbi
tanaman-1, lebih sedikit dibanding dua generasi lainnya. Pada setiap generasi,
jumlah umbi tanaman-1 dari bawang merah berbentuk lonjong lebih sedikit
dibanding jumlah umbi yang dihasilkan bawang merah berbentuk bulat, meskipun
pada generasi nol tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Bawang merah
berbentuk bulat pada generasi satu dan dua menghasilkan sekitar 10 – 11 umbi
tanaman-1. Penggunaan bawang merah sampai generasi dua sebagai bahan tanam
tidak menimbulkan penurunan jumlah umbi tanaman-1.
Tabel 3 Karakter kuantitatif umbi bawang merah
Perlakuan
BM22B
BM22L
BM20B
BM20L
BM17BB
BM17BK
BM17L
a

JUPTa
05.6 cd
04.8 d
10.8 a
07.7 bc
09.9 ab
09.8 ab
06.9 cd

TU
26.5 bcd
25.7 d
26.2 cd
24.7 d
29.3 abc
30.5 a
29.5 ab

DU
16.8
16.5
18.7
19.5
17.0
18.0
19.5

RTDU
1.7
1.6
1.4
1.3
1.8
1.8
1.5

JUPT: jumlah umbi tanaman-1; TU: tinggi umbi (mm), DD: diameter umbi (mm), RTDU (rasio
tinggi diameter umbi-1); angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada uji lanjut DMRT taraf 5%.

Produksi bawang merah dengan menggunakan umbi berukuran kecil akan
menghasilkan beberapa umbi berukuran besar, sementara penggunaan umbi
berukuran besar akan menghasilkan anakan kecil dalam jumlah banyak (Messiaen
dan Rouamba 2004). Umbi generasi nol dan umbi-umbi yang berbentuk lonjong
pada generasi satu ataupun dua berukuran kecil (Lampiran 5), sehingga diduga
tidak mampu menyediakan cadangan makanan yang cukup untuk mendukung
pertumbuhan anakan yang banyak. Berdasarkan hasil percobaan, tidak terdapat
indikasi bahwa umbi berukuran kecil akan menghasilkan beberapa anakan dengan
ukuran besar. Ukuran umbi (tinggi dan diameter umbi) dari bawang merah yang
berbentuk lonjong ataupun bulat pada setiap generasi tidak berbeda secara
signifikan. Berdasarkan percobaan, penggunaan bawang merah sampai generasi
dua sebagai bahan tanam juga tidak menimbulkan penurunan ukuran umbi.
Karakter Kualitatif
Terdapat 10 karakter kualitatif yang diamati, 5 karakter di antaranya
menunjukkan perbedaan, yaitu perilaku tajuk, kelengkungan tajuk, intensitas
warna hijau tajuk, derajat umbi membelah, dan intensitas warna dasar kulit umbi
kering (Tabel 4). Warna hijau pada tajuk bawang merah dapat dibedakan menjadi
dua intensitas, yaitu terang (generasi nol), dan gelap (generasi satu dan dua).
Intensitas warna hijau pada tajuk terlihat semakin gelap dengan meningkatnya
kandungan klorofil daun (Tabel 2).

10
Tabel 4 Karakter kualitatif tajuk dan umbi bawang merah
Perlakuan

BM22B
BM22L
BM20B
BM20L
BM17BB
BM17BK
BM17L
a

PTa
semi tegak
semi tegak
tegak
tegak
tegak
tegak
tegak

KT
sedang
sedang
lemah
lemah
sedang
sedang
sedang

IWHT
terang
terang

gelap
gelap
gelap
gelap
gelap

DUM
sedang
sedang
kuat
sedang
kuat
kuat
sedang

IWDKUK
sedang
sedang
terang
terang
sedang
sedang
sedang

PT: perilaku tajuk, KT: kelengkungan tajuk, IWHT: intensitas warna hijau tajuk, DUM: derajat
umbi membelah, IWDKUK: intensitas warna dasar kulit kering umbi kering.

Umbi generasi nol memiliki tajuk yang semi tegak sementara generasi lain
memiliki tajuk yang tegak. Kelengkungan tajuk dapat dilihat dari tingkat patahan
pada daun bawang merah. Bawang merah generasi satu memiliki kelengkungan
tajuk yang lemah, sementara generasi satu dan dua kelengkungannya sedang
(Gambar 2).

BMG22B

BMG22L

BMG17BB

BMG20B

BMG20L

BMG17BK

BMG17L

Gambar 2 Tajuk setiap kombinasi generasi dan bentuk umbi
Umbi generasi nol dan dua memiliki kulit kering umbi berwarna merah
dengan intensitas yang sedang, sementara umbi yang dihasilkan generasi satu
intensitas warnanya terang (Gambar 3). Derajat pembelahan umbi terkait dengan
jumlah umbi tanaman-1 (Tabel 3). Derajat pembelahan yang kuat menunjukan
jumlah anakan yang banyak. Aksesi bawang merah yang diuji memiliki derajat
membelah sedang sampai kuat.
Umbi berbentuk bulat ataupun lonjong sama-sama menghasilkan anakan
yang berbentuk bulat dan lonjong. Bentuk umbi terkait dengan jumlah umbi yang
terdapat pada kluster. Kompetisi ruang tumbuh antar individu umbi terjadi pada
kluster bawang merah. Jumlah umbi yang banyak pada kluster menimbulkan

11
penyempitan ruang tumbuh, sehingga umbi-umbi yang dihasilkan lebih banyak
yang berbentuk lonjong. Sebaliknya, kluster dengan anakan lebih sedikit
menghasilkan umbi berbentuk bulat lebih banyak. Umbi-umbi berbentuk bulat
kebanyakan ditemukan pada bagian terluar kluster bawang merah, karena
pertumbuhannya lebih sedikit dibatasi oleh umbi lain.

BMG22B

BMG22L

BMG20B

BMG20L

BMG17BB

BMG17BK

BMG17L

Gambar 3 Kluster umbi setiap kombinasi generasi dan bentuk umbi
Karakter lain yang diamati meliputi bentuk umbi pada bagian yang
mendekati akar, bentuk umbi pada bagian yang mendekati batang semu, dan
posisi diameter terluas umbi. Anakan yang berbentuk lonjong dan bulat memiliki
bentuk yang berbeda pada bagian bagian yang mendekati batang semu dan akar.
Umbi berbentuk bulat akan membulat pada bagian tersebut, sementara umbi yang
berbentuk lonjong agak miring. Anakan yang berbentuk lonjong ataupun bulat
memiliki diameter terluas pada bagian yang mendekati akar.
Analisis Molekuler
Variasi genetik dapat dikenali pada tingkat molekuler yang didasarkan pada
perubahan DNA dan pengaruhnya terhadap fenotipe. Penanda molekuler memiliki
karakter terdapat dimana-mana, bebas dari pengaruh lingkungan, dan menunjukan
polimorfisme yang tinggi (Brown dan Caligari 2008). Penanda molekuler yang
digunakan dalam percobaan adalah ISSR. ISSR adalah daerah genom yang berada
di antara daerah berulang sederhana. Daerah ini termasuk sekuens DNA
nonfungsional karena tidak mengkode protein. Amplifikasi daerah ISSR dengan
menggunakan sekuens SSR. Keberadaan SSR dapat dijadikan penanda
keberadaan suatu gen (Sobir dan Syukur 2015). Primer yang digunakan untuk
mengamplifikasi daerah ISSR pada percobaan terdiri atas 18 – 19 pasang basa
dengan pengulangan dinukleotida (Tabel 1). Ukuran sekuens DNA (pita) yang
dihasilkan berkisar 250 – 1 500 pasang basa (base pairs, disingkat bp) (Tabel 5).

12
Tabel 5 Jumlah pita hasil amplifikasi DNA bawang merah dengan empat primer
Ukuran pita
Jumlah
Jumlah pita
Jumlah pita
Primer
(bp)
Pita
monomorfik
polimorfik
PKBT 1 300 – 1 250
5
3 (60%)
2 (40%)
PKBT 2 375 – 1 250
4
4 (100%)
0 (0%)
PKBT 6 250 – 750
4
2 (50%)
2 (50%)
PKBT 11 375 – 1 000
6
5 (83.33%)
1 (16.67%)
Rata-rata
26.67%
Berdasarkan pola pita hasil amplifikasi sekuens DNA, hampir tidak terdapat
perbedaan. Jumlah pita antara 4 – 6 pita. Hanya terdapat 5 pita polimorfik dari 19
pita yang dihasilkan. 4 dari 14 pita monomorfik dihasilkan oleh primer PKBT 2.
Primer PKBT 2 menghasilkan pita yang seluruhnya monomorfik (Gambar 4).
A.

C.

M

M

1

1

2

3

4

5

6

7

B. M 1

2

3

4

5

6

7

2

3

4

5

6

7

D. M 1

2

3

4

5

6

7

Gambar 4 Hasil visualisasi DNA setelah amplifikasi dengan primer PKBT 1
(A), PKBT 2 (B), PKBT 6 (C), dan PKBT 11 (D); M: marker (1
kb DNA ladder), 1: BM17L, 2: BM17BB, 3: BM17BK, 4:
BM20L, 5: BM20B, 6: BM22L, 7: BM22B
Variasi pada daerah penempelan primer menimbulkan pita polimorfik.
Amplifikasi tidak terjadi apabila susunan basa primer tidak komplemen dengan
sekuens DNA target. Mukherhjee et al. (2013) menggunakan RAPD dan ISSR
untuk mempelajari keragaman genetik beberapa spesies Allium. Pada studinya,
primer RAPD maupun ISSR menunjukkan polimorfisme yang tinggi untuk
kelompok bawang bombai (A. cepa var. cepa), secara berurut yaitu 77.23% dan
91.66%. ISSR juga menunjukkan tingkat polimorfisme yang lebih tinggi (75.67%)
dibandingkan RAPD (61.68%) untuk bawang putih (A. sativum). Pada dasarnya
setiap generasi bawang merah yang digunakan dalam percobaan berasal dari
varietas yang sama. Oleh karena itu, tingkat polimorfisme yang dihasilkan cukup
rendah (26.67%). Naipospos et al. (2014) juga pernah melakukan identifikasi
molekuler dengan menggunakan primer ISSR pada pisang yang telah disubkultur
sebanyak 6 kali, dan hasilnya tidak menunjukan perbedaan pola pita DNA.

13
Namun demikian, polimorfisme yang terdapat antar kombinasi generasi dengan
bentuk umbi menunjukan masih terdapat keragaman dalam aksesi bawang merah
yang digunakan.
Analisis Gerombol
Pembagian satu set objek yang heterogen ke dalam kelompok yang relatif
homogen dilakukan dalam analisis gerombol. Objek-objek yang berada dalam
suatu kelompok memiliki kemiripan dibandingkan kelompok yang lain (Hoft et al.
1999). Analisis gerombol pada percobaan dibuat berdasarkan karakter morfologi
dan molekuler (Gambar 5). Hasil analisis gerombol berdasarkan karakter
morfologi menunjukkan kombinasi generasi dan bentuk umbi bawang merah
dapat dibedakan dalam dua kelompok, dimana umbi generasi nol dan dua
menggerombol, berbeda kelompok dengan generasi satu pada koefisien
ketidakmiripan 60%.

0.6

0.5

0.4

0.3

0.2

Koefisien ketidakmiripan

0.1

BM20L

BM20L

BM20B

BM20B

BM17L

BM17BK

BM17BK

BM17BB

BM17BB

BM17L

BM22L

BM22L

BM22B

BM22B

0.0

0.5

0.4

0.3

0.2

0.1

0.0

Koefisien ketidakmiripan

Gambar 5 Dendogram berdasarkan karakter morfologi (kiri) dan molekuler
(kanan)
Antar kombinasi perlakuan cukup bervariasi secara morfologi, analisis
molekuler juga menunjukan masih terdapat perbedaan. Hasil pengelompokan
menggunakan data molekuler menunjukan, pada koefisien ketidakmiripan 50%,
aksesi bawang merah dapat dibedakan ke dalam dua kelompok. Pola
pengelompokan tersebut sejalan dengan analisis gerombol berdasarkan karakter
morfologi, dimana bawang merah generasi nol dan dua menggerombol, berbeda
kelompok dengan bawang merah generasi satu. Namun demikian, analisis
molekuler menunjukan bawang merah generasi nol berbentuk lonjong dan
generasi dua berbentuk lonjong sama secara genetik. Secara morfologi kedua
kombinasi tersebut berbeda hingga 49.9%, namun secara molekuler
ketidakmiripannya 0% (Lampiran 3 dan Lampiran 4). Penanda morfologi mudah
digunakan, akan tetapi memiliki beberapa kekurangan seperti tidak dapat selalu
digunakan pada awal perkembangan tanaman, seringkali berasosiasi dengan
pengaruh delesi (albino), sering menunjukkan sifat dominan dan resesif, dan
ekspresinya dipengaruhi lingkungan tumbuh (Brown dan Caligari 2008). Aksesi
bawang merah dalam percobaan cukup bervariasi secara morfologi, namun secara
molekuler setiap individu memiliki kemiripan yang tinggi.

14
Aksesi bawang merah yang digunakan berasal dari varietas yang sama.
Varietas merupakan satu kelompok tanaman yang serupa dengan ciri struktural
dan penampilan yang dapat diidentifikasi berbeda dari varietas lain. Terdapat
variasi pada aksesi bawang merah yang digunakan, meskipun dalam tingkat yang
relatif rendah. Umbi generasi nol ditanam dari biji botani bawang merah. Bawang
merah adalah tanaman yang menyerbuk silang, segregasi dapat menimbulkan
variasi pada umbi generasi nol. Variasi pada generasi lebih lanjut dapat berasal
dari efek segregasi yang terus terpelihara selama perbanyakan vegetatif dan
degenerasi yang disebabkan mutasi alami. Tidak terdapat indikasi bahwa umbi
generasi lebih lanjut akan mengalami perubahan lebih besar akibat mutasi alami,
karena generasi dua (generasi paling lanjut dalam percobaan) justru berada satu
kelompok dengan generasi nol.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Karakter-karakter morfologi antar kombinasi generasi dan bentuk umbi pada
bawang merah menunjukan perbedaan, yaitu karakter perilaku tajuk, intensitas
warna hijau daun, panjang daun, panjang batang semu, jumlah umbi tanaman-1,
tinggi umbi, tingkat membelahnya umbi, dan intensitas warna kulit kering umbi.
Penurunan performa umbi bawang merah tidak terjadi dengan penggunaan umbi
sampai generasi dua sebagai bahan tanam. Umbi berbentuk lonjong menghasilkan
anakan lebih sedikit dibanding umbi yang berbentuk bulat dalam setiap generasi.
Analisis molekuler menunjukkan tingkat polimorfisme bawang merah mencapai
26.67%. Analisis gerombol berdasarkan karakter morfologi dan molekuler
menunjukkan generasi nol dan dua menggerombol, berbeda kelompok dengan
umbi generasi satu.
Saran
Umbi generasi dua masih dapat digunakan sebagai bahan tanam karena
performa umbi yang dihasilkan generasi tersebut tidak menunjukkan penurunan.
Penggunaan umbi yang berbentuk bulat disarankan untuk perbanyakan bawang
merah, karena jumlah anakan yang dihasilkan lebih banyak dibanding umbi yang
berbentuk lonjong. Penelitian serupa dengan penggunaan generasi yang lebih
lanjut agar diperoleh informasi mengenai batas generasi umbi yang dapat
digunakan sebagai bahan tanam.

15

DAFTAR PUSTAKA
Arifin NS, Ozaki Y, Okubo H. 2000. Genetic diversity in indonesian shallot
(Allium cepa var. ascalonicum) and Allium wakegi revealed by RAPD
markers and origin of A. wakegi identified by RFLP analyses of amplified
chloroplast. Euphytica. 111:23–31.
[Balitsa] Balai Penelitian Tanaman Sayuran. 2005. Budidaya Bawang Merah.
Bandung (ID): Balitsa.
[BMKG] Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. 2015. Data Klimatologi
untuk Bulan November 2014 – Januari 2015 di Bogor, Jawa Barat.
Brewster JL. 2008. Onion and other vetegable Alliums. Second Edition.
Wallingford (GB): CAB International.
Brown J, Caligari DS. 2008. An Introduction to Plant Breeding. Oxford (GB):
Blackwell Publishing.
Chahal GS, Gosal SS. Principles and Procedures of Plant Breeding.
Biotechnology and Conventional Approaches. New Delhi (IND): Narosa
Publishing House.
Currah L. 2002. Onions in the tropics: cultivars and country reports. Di dalam:
Rabinowitch HD, Currah L, editor. Allium Crop Science: Recent Advances.
Wallingford (GB): CAB International.
Fritsch RM, Friesen N. 2002. Onions in the tropics: cultivars and country reports.
Di dalam: Rabinowitch HD, Currah L, editor. Allium Crop Science: Recent
Advances. Wallingford (GB): CAB International.
Graigner J, Madden D. 1993. The polymerase chain reaction: turning needles into
haystacks. Di dalam: Chahal GS, Gosal SS. Principles and Procedures of
Plant Breeding. Biotechnology and Conventional Approaches. New Delhi
(IN): Narosa Publishing House.
Grubben GJH. 1994. Constraints for shallot, garlic, and welsh onion in Indonesia:
a case study on the evolution of allium crops in the equatorial tropics. Acta
Horticulturae. 358: 333–339.
Hanelt P. 1990. Taxonomy, evolution and history. Di dalam Rabinowitch HD,
Currah L, editor. Allium Crop Science: Recent Advances. Wallingford (GB):
CAB International.
Hoft M, Barik SK, Lykke AM. 1999. Quantitative Ethnobotany: Applications of
Multivariate and Statistical Analyses. Paris (FR): UNESCO.
[Kementan] Kementerian Pertanian. 2013. Kinerja Perdagangan Komoditas
Pertanian Vol.4 No.1 Tahun 2013. Jakarta (ID): Pusat Data dan Informasi
Pertanian Kementerian Pertanian.
Mukherjee A, Sikdar B, Ghosh B, Banerjee A. 2013. RAPD and ISSR analysis of
some economically important species, varieties, and cultivars of genus
Allium (Alliaceae). Tuk J Bot. 37: 605–618.
Messiaen CM, Rouamba A. 2004. Allium cepa L. Di dalam: Plant Research of
Tropical Africa 2: Vegetables. Grubben GJH, Denton OA, editor.
Wageningen (NL): PROTA Foundation.
Naipospos N, Miftahudin, Sobir. 2014. Identifikasi morfologi dan marka
molekuler terpaut sifat tidak berbunga jantan pada mutan pisang kepok.
J.Hort. 24(1):23–31.

16
Naktuinbouw. 2010. Calibration Book Onion and Shallot. Roelofarendsveen
(NL): Naktuinbouw.
Permadi AH. 1994. Allium production and research status in Indonesia. Acta
Horticulturae. 358: 87–93.
Poehlman JM, Sleper DA. 1996. Breeding Field Crops. Ames (US): Lowa State
University Press.
Rabinowitch HD, Kamenetsky R. 2002. Shallot (Allium cepa, Aggregatum
Group). Dalam Rabinowitch HD, Currah L, editor. Allium Crop Science:
Recent Advances. Wallingford (GB): CAB International
Romeida A, Sutjahjo SH, Purwito A, Sukma D, Rustikawati. 2012. Variasi
genetik mutan anggrek Spathoglottis plicata Blume. berdasarkan marker
ISSR. J. Agron Indonesia. 40(3): 218–224.
Shu QY, Frostet BP, Nakagawa H. 2012. Plant Mutation Breeding and
Biotechnology. London (GB): CAB International and FAO.
Smolik M, Rzepta-Plevnes D, Kowaleczys K, Grabiec Marta. 2007. Study of
genetic diversity of the onion species by ISSR-PCR analysis.
Biotechnologia. 6(1): 13–21.
Sobir, Syukur M. 2015. Genetika Tanaman. Bogor (ID): IPB Press.
Soegianto A, Sugiharto AN, Windiastika G. 2011. Molecular identification of
shallot progenitors generated from true seeds by pcr based techniques. J
Agric Food Tech. 1(8): 145–148.
[UPOV] Internasional Union for the Protection of New Varieties of Plants. 2008.
Guidelines for the Conduct of Tests for Distinctness, Homogeneity and
Stability: Onion, Echalion; Shallot; Grey Shallot.
Widiastuti A, Sobir, Suhartanto MR. 2012. Analisis keragaman genetik manggis
(Garcinia mangostana diiradiasi dengan sinar gamma berdasarkan penanda
ISSR. Bioteknologi. 10(1): 15–22.
Zietkiewicz E, Rafalski A, Labuda D. 1994. Genome fingerprinting by simple
sequence repeat (ssr)-anchored polymerase chain reaction amplification.
Genomics (20): 176 –183.

17

LAMPIRAN
Lampiran 1 Individu umbi setiap kombinasi perlakuan

BMG22B

BMG22L

BMG20B

BMG20L

BMG17BB

BMG17BK

BMG17L

18
Lampiran 2 Tabel data iklim wilayah Bogor (BMKG 2015)
Bulan
Suhu rata-rata
Curah hujan
Kelembaban relatif
(oC)
(mm bulan-1)
(%)
November 2014
26.3
673.2
64
Desember 2014
26.3
209.5
45
Januari 2015
25.2
251.0
87
Lampiran 3 Matriks ketidakmiripan antar kombinasi generasi dan bentuk umbi
berdasarkan karakter morfologi
BM22B
BM22B
0.0000
BM22L
0.1518
BM20B
0.6637
BM20L
0.5831
BM17BB 0.4617
BM17BK 0.4735
BM17L
0.4122

BM22L

BM20B

BM20L

0.0000
0.6792
0.5219
0.5287
0.6062
0.4999

0.0000
0.2710
0.4784
0.5582
0.6022

0.0000
0.6042
0.6697
0.4386

BM17BB BM17BK BM17L

0.0000
0.1292
0.3393

0.0000
0.2852

0.0000

Lampiran 4 Matriks ketidakmiripan antar kombinasi generasi dan bentuk umbi
berdasarkan analisis molekuler
BM22B
BM22L
BM20B
BM20L
BM17BB
BM17BK
BM17L

BM22B
0.0000
0.2000
0.6000
0.8000
0.4000
0.6000
0.2000

BM22L

BM20B

BM20L BM17BB BM17BK BM17L

0.0000
0.4000
0.6000
0.2000
0.4000
0.0000

0.0000
0.2000
0.2000
0.4000
0.4000

0.0000
0.4000
0.6000
0.6000

0.0000
0.2000
0.2000

0.0000
0.4000

0.0000

Lampiran 5 Kombinasi generasi dan bentuk umbi pada percobaan; A: BM22B, B:
BM22L, C: BM20B, D: BM20L, E: BM17BB, F: BM17BK, G:
BM17BK
A.

B.

C.

D.

E.

F.

G.

19
Lampiran 6 Deskripsi bawang merah aksesi PKHT berdasarkan identifikasi
morfologi pada percobaan
Jumlah daun batang semu-1
Perilaku tajuk
Kelengkungan tajuk
Intensitas warna hijau tajuk
Kandungan klorofil
Panjang daun
Panjang batang semu
Diameter daun
Diameter batang semu
Jumlah umbi tanaman-1
Derajat umbi membelah
Warna kulit kering umbi
Intensitas warna kulit kering umbi
Bentuk umbi secara longitudinal
Bentuk umbi mendekati batang
Bentuk umbi mendekati akar
Posisi diameter terluas umbi
Tinggi umbi
Diameter umbi
Rasio tinggi diameter umbi-1

:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:

4–5
Semi tegak, tegak
Lemah, sedang
Terang, gelap
62.4 – 69.1 at leaf unit
29.8 – 38.1 cm
5.1 – 7.2 cm
4.0– 4.5 mm
4.3 – 5.0 mm
5 – 11 umbi
Sedang, kuat
Merah
Terang, sedang
Lonjong, bulat
Agak miring, membulat
Agak miring, membulat
Mendekati akar
24.7 – 30.5 mm
16.5 – 19.5 mm
1.3 – 1.8

20

RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Bogor, tanggal 7 Mei 1993, dari pasangan Dodi Permana
dan Aminah, putri kedua dari dua bersaudara. Penulis lulus tahun 2011 dari SMA
Negeri 3 Bogor dan pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian
Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri Undangan
di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian.
Selama mengikuti perkuliahan di IPB, penulis aktif dalam kegiatan
organisasi dan kepanitiaan, antara lain: anggota Unit Kegiatan Mahasiswa Gentra
Kaheman 2012/2013, anggota Departemen Komunikasi dan Informasi Himpunan
Mahasiswa Agronomi dan Hortikultura 2013/2014, Divisi Publikasi, Dokumentasi,
dan Dekorasi pada Kepanitiaan Semarak Inovasi Pembangunan Pertanian
Indonesia 2013 dan Festival Bunga dan Buah Nusantara 2014. Proposal Penulis
dan Tim mengenai produksi dan pemasaran beras aromatik lolos dan berhasil
didanai pada Program Mahasiswa Wirausaha yang diadakan Career Development
and Alumni Affairs (CDA) IPB pada 2014. Pada akhir perkuliahan penulis
diterima sebagai Asisten Pengujian Pupuk di Departemen Agronomi dan
Hortikultura.