Keragaman Genetik Bawang Merah (Allium Cepa L.) Berdasarkan Marka Morfologi Dan Issr

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keragaman Genetik
Bawang Merah (Allium cepa L.) Berdasarkan Marka Morfologi dan ISSR adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Vebrita Sari
G353130051

RINGKASAN
VEBRITA SARI. Keragaman Genetik Bawang Merah (Allium cepa L.)
Berdasarkan Marka Morfologi dan ISSR. Dibimbing oleh MIFTAHUDIN dan
SOBIR.
Bawang merah (Allium cepa L.) merupakan salah satu spesies dari marga
Allium dengan karakteristik morfologi umbi berlapis, memiliki aroma dan rasa

yang unik. Bawang merah sangat populer dalam dunia kuliner yaitu sebagai
bumbu masakan, saat ini bawang merah sedang dikembangkan sebagai obat
tradisional. Pengembangan varietas bawang merah membutuhkan variasi genetik
dari plasma nutfah bawang merah. Namun, informasi tentang keragaman genetik
bawang merah lokal Indonesia masih terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis keragaman genetik dari 34 genotipe bawang merah koleksi Pusat
Kajian Hortikultura Tropika Institut Pertanian Bogor (PKHT-IPB) berdasarkan
marka morfologi dan ISSR. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
informasi dasar dalam pengelolaan sumber daya genetik dan pemuliaan bibit
unggul bawang merah di Indonesia.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2014 sampai dengan
September 2015. Sebanyak 34 genotipe bawang merah yang berupa umbi
dikoleksi dari beberapa daerah di Indonesia. Sejumlah 24 karakter morfologi dan
agronomi diamati dalam penelitian ini. Marka Inter Simple Sequences Repeat
(ISSR) juga digunakan untuk menganalisis keragaman genetik bawang merah.
DNA total diisolasi menggunakan metode CTAB. Amplifikasi PCR menggunakan
GoTaq® Green PCR Mix dengan 13 primer ISSR. Hasil PCR dielektroforesis
dalam gel agarosa 1.2%, divisualilasikan dengan sinar ultraviolet dan
didokumentasikan menggunakan kamera digital. Karakter morfologi diskoring
menjadi data multistate dan pita polimorfik diskoring menjadi data biner. Hasil

skoring data morfologi dan molekuler ditabulasi dalam matriks, kemudian
dianalisis menggunakan program NTSys. Dendrogram dikonstruksi menggunakan
metode UPGMA dengan koefisien kemiripan simple matching (SM). Principal
component analysis (PCA) dikonstruksi menggunakan metode SIMINT dengan
koefisien correlation. Analisis struktur genetika populasi menggunakan program
GenAlex.
Pengamatan morfologi menghasilkan 19 karakter polimorfik dari 24
karakter yang diamati. Karakter informatif untuk menganalisis keragaman
morfologi bawang merah antara lain: tingkat kepatahan daun, jumlah siung umbi
dan morfologi pada umbi. Bobot basah umbi tertinggi dimiliki oleh varietas
Bangkok (57.56 g/rumpun) dan terendah dimiliki oleh varietas Kuning (2.33
g/rumpun). Hampir semua genotipe bawang merah yang diamati pada penelitian
ini termasuk dalam kategori mutu I yang disenangi oleh konsumen dan petani.
Rata-rata diameter umbi yang diamati lebih dari 1.7 cm (mutu I), yaitu berkisar
antara 1.51 cm (genotipe Solo 7) sampai 7.54 cm (varietas Bangkok).
Dendrogram menunjukkan bahwa 34 genotipe bawang merah terbagi menjadi dua
kelompok utama (kelompok I dan II) dengan koefisien kemiripan berkisar antara
0.68 sampai 0.95.
Marka ISSR menghasilkan 103 pita DNA polimorfik dengan persentase
polimorfik total sebesar 89.57%. Dendrogram menunjukkan bahwa 34 genotipe


bawang merah berkelompok menjadi dua kelompok (kelompok I dan II) dengan
nilai koefisien kemiripan genetik berkisar antara 0.62 sampai 0.89. Primer
informatif untuk menganalisis keragaman genetik bawang merah antara lain:
primer ISSRred 4, ISSRred 9 dan ISSRred 20.
Keseluruhan genotipe, baik berdasarkan marka morfologi maupun marka
ISSR menghasilkan dua kelompok utama, namun pengelompokkan tidak
berhubungan dengan asal geografi genotipe tersebut. Pengelompokan diduga
karena proses budidaya dalam waktu yang lama dan juga dipengaruhi oleh
distribusi perdagangan bawang merah. Berdasarkan nilai struktur genetika
populasi dari populasi bawang merah yang diamati, populasi asal Solo memiliki
keragaman genetik tertinggi (I= 0.44, h= 0.31 dan PLP= 77.39%) dan populasi
asal Solok memiliki keragaman genetik terendah (I= 0.37, h= 0.24 dan PLP=
67.83%).
Genotipe bawang merah yang dikategorikan unggul diantaranya genotipe
dengan diameter umbi terbesar yaitu varietas Bangkok (7.54 cm) dan Sembrani
(4.99 cm). Selain itu genotipe yang memiliki jumlah siung umbi terbanyak yaitu
genotipe asal Pekanbaru (27 siung/rumpun) dan Nganjuk (20 siung/rumpun).
Varietas Bangkok dan Sembrani dapat disilangkan dengan genotipe asal
Pekanbaru dan Nganjuk karena memiliki jarak genetik cukup jauh. Genotipe

tersebut dapat dijadikan sebagai genotipe tetua yang potensial dalam merakit
varietas unggul bawang merah Indonesia.
Kata Kunci: karakter morfologi, marka ISSR, shallot

SUMMARY
VEBRITA SARI. Genetic Diversity of Shallot (Allium cepa L.) Based on
Morphological Characters and ISSR Markers. Supervised by MIFTAHUDIN and
SOBIR.
Shallot (Allium cepa L.) is a member of Allium genus with layered-bulbs
as its specific morphological characteristic, unique aroma and taste. The shallot is
very common cooking ingredient in culinary world and now being developed as
traditional medicine. Development of shallot varieties requires genetic variation of
shallot germplasm. However, information about the genetic diversity of local
shallot in Indonesia is still lacking. This study aimed to analyze the genetic
diversity of 34 shallot collection’s genotypes from Center for Tropical
Horticulture Studies of Bogor Agricultural University (PKHT- IPB) based on
morphological characters and ISSR markers. It is expected that the result of this
research will be valuable information for shallot genetic resource management
and breeding program in Indonesia.
This study was conducted in October 2014 until September 2015. The 34shallot collection’s genotypes were collected from several regions in Indonesia in

the form of the bulb. An amount of 24 marker morphological and agronomic
characters were observed in this research. Inter Simple Sequences Repeat (ISSR)
markers were also used to analyze genetic diversity of shallot. Total DNA were
isolated based on CTAB methode. The PCR amplification was used GoTaq®
Green PCR Mix with 13 ISSR primers. PCR products was electrophoresed in
1.2% agarose gel, visualized using ultraviolet light and documented with a digital
camera. The morphological characters was scored into multistate data and the
polymorphic DNA band was scored into binary data. The morphological and
molecular scoring data were tabulated in data matrix, then analyzed using NTSys.
Dendrogram was constructed using similarity coefficient of simple matching and
UPGMA method. Principal component analysis (PCA) was constructed using
SIMINT method with coeffisient of correlation. The genetic population structure
was analyzed using GenAlex.
The morphological observation resulted 19 polymorphic characters out of
24 observed morphological characters. The informative characters to analyze
genetic diversity of shallot were foliage cranking, bulb number and bulb
morphological characters. The highest bulb fresh weight is owned by Bangkok
varieties (57.56 g/clump) and the lowest is owned by Kuning varieties (2.33
g/clump). Almost all observed shallot genotypes are included in the first quality
favored by consumers and farmers. The average bulb diameter observed was

higher than 1.7 cm (quality I) ranging from 1.51 cm (Solo 1) up to 7.54 cm
(Bangkok varieties). The dendrogram showed that 34 shallot genotypes are
grouped into two main groups (group I and II) with a similarity coefficients
ranged from 0.68 up to 0.95.
ISSR markers generated 103 DNA band polymorphic with the total
polymorphic percentage of 89.57%. The dendrogram showed that 34 shallot
genotypes clustered into two groups (I and II) with the genetic similarity
coefficients ranged from 0.62 up to 0.89. The informative primers for genetic
diversity analysis of shallot are ISSRred 4, ISSRred 9 and ISSRred 20.

Although both morphological characters and ISSR markers grouped all
genotypes into two main groups, the grouping is not related to the geographic
origin of genotypes. The grouping is suggested due to long-term cultivation and
trade distribution. Based on the genetic population structure of the observed
shallot populations, Solo population has the highest genetic diversity (I= 0.44, h=
0.31; PLP= 77.39%) and Solok population has the lowest genetic diversity (I=
0.37, h= 0.24 dan PLP= 67.83%).
The genotypes of shallot that have good characters for shallot breeding
program in Indonesia are Bangkok and Sembrani varieties because both genotypes
have biggest bulb diameter (7.54 cm and 4.99 cm). Furthermore, genotypes from

Pekanbaru and Nganjuk because both genotypes have most number of bulb (27
blub/clump and 20 bulb/clump). Bangkok and Sembrani varieties can be crossed
with Pekanbaru and Nganjuk genotypes because those genotypes have largest
genetic distance. Those genotypes can be used as a potential parents for shallot
breeding program in Indonesia.
Keywords: ISSR markers, morphological characters, shallot

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang–Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

KERAGAMAN GENETIK BAWANG MERAH (Allium cepa L.)
BERDASARKAN MARKA MORFOLOGI DAN ISSR


VEBRITA SARI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Tumbuhan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Utut widyastuti, MSi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga tesis yang berjudul “Keragaman
Genetik Bawang Merah (Allium cepa L.) Berdasarkan Marka Morfologi dan
ISSR” dapat diselesaikan, sebagai syarat utama untuk memperoleh gelar Magister

Sains pada Mayor Biologi Tumbuhan, Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Oktober 2014 hingga Sebtember 2015.
Penulis menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada 1) Dosen
pembimbing (Dr Ir Miftahudin, MSi dan Prof Dr Ir Sobir, MSi) yang telah
memberikan nasehat, saran, motivasi, waktu luang untuk konsultasi, serta solusi
dari setiap permasalahan yang dihadapi penulis selama melaksanakan penelitian
dan penyusunan tesis ini; 2) Dosen penguji luar komisi (Dr Ir Utut widyastuti,
MSi); 3) Ketua Program Studi Biologi Tumbuhan (Dr Ir Miftahudin, MSi) atas
kesediaannya untuk menguji dan mengoreksi penulisan tesis ini agar menjadi
lebih baik; 4) DIKTI atas Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri tahun
2013 yang telah diberikan selama menempuh pendidikan; 5) Kepala LPPMPKHT IPB Dr Ir Darda Efendi, MSi atas fasilitas yang telah diberikan selama
penelitian; 6) Bapak Awang sebagai staf di kebun percobaan PKHT-IPB; 7) Mbak
Sulassih, MSi sebagai staf peneliti di Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT)
yang telah banyak membantu dan membimbing penulis; 8) seluruh dosen dan staf
Program Studi Biologi Tumbuhan; 9) teman-teman seperjuangan baik temanteman dari Program Studi Biologi Tumbuhan Pascasarjana IPB 2013 dan temanteman seperantauan dari Riau atas kebersamaan yang berharga dan penuh
kenangan serta 10) pihak lainnya yang tidak tersebutkan.
Ungkapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada
orang tua tersayang (Ayah Ir Zulkifli H dan Mamah Rahmi Hidayati), mertua
(Mama Dahlia) dan adik-adik (Arief Munandar, ST dan Zidef Rizky), Ibu
motivator saya (Dr Fitmawati Sofyan, MSi) serta seluruh keluarga besar atas

segala doa, dukungan, motivasi dan kasih sayangnya selama ini. Secara khusus
dan istimewa ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada sahabat jiwa, suami
tercinta Brigadir Rio Andria, SH yang selalu memberikan dukungan dalam segala
hal, pengertian dan kesabaran yang luar biasa hingga studi yang panjang ini dapat
terselesaikan. Semoga tesis ini selalu bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan
selanjutnya.
Bogor, Agustus 2016
Vebrita Sari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xv

DAFTAR GAMBAR

xv

DAFTAR LAMPIRAN


xvi

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian

1
1
2

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Bawang Merah (Allium cepa L.)
Varietas Bawang Merah di Indonesia
Marka Morfologi
Inter Simple Sequences Repeat (ISSR)

3
3
6
7
7

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan Tanaman
Pengamatan Morfologi
Isolasi DNA Total
Elektroforesis
Amplifikasi DNA
Analisis Data

9
9
9
10
11
11
12
13

HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
Keragaman Morfologi Pada Bawang Merah
Analisis Hubungan Genetik Bawang Merah Berdasarkan Marka
Morfologi
Keragaman Genetik Bawang Merah Berdasarkan Marka ISSR
Analisis Hubungan Genetik Bawang Merah Berdasarkan Marka ISSR
Struktur Genetika Populasi Bawang Merah Asal Indonesia
PEMBAHASAN

15
15
15
19

KESIMPULAN

28

DAFTAR PUSTAKA

29

LAMPIRAN

33

RIWAYAT HIDUP

55

20
22
23
24

DAFTAR TABEL
1

Varietas bawang merah yang telah dilepas Kementrian RI

6

2

Genotipe bawang merah yang dikoleksi PKHT

9

3

Karakter pengamatan morfologi pada bawang merah

10

4

Primer ISSR yang digunakan dalam penelitian

12

5

Tahapan PCR menggunakan primer ISSR

12

6

Profil pita hasil amplifikasi dari 34 genotipe bawang merah menggunakan 21
primer ISSR

7

Struktur genetika populasi pada 8 populasi bawang merah di Indonesia

24

DAFTAR GAMBAR
1

Morfologi bawang merah (a) umbi; (b) bunga dan (c) daun

2

Kemampuan berbunga. (A) tidak berbunga pada varietas Manjung; (B)
15
berbunga pada genotipe asal Cirebon

3

Variasi pada tingkat kepatahan daun. (1) Absent or weak pada varietas
Sembrani; (2) Intermediet pada varietas Kuning; (3) Strong pada genotipe 16
asal Solo 3

4

Variasi panjang daun. (A) pendek pada genotipe Solo 2; (B) sedang pada
16
varietas Tuk-tuk; (C) panjang pada varietas Bangkok

5

Variasi bentuk umbi dan bentuk leher umbi (garis kuning). (A) Bentuk
umbi flat-globe dan bentuk leher umbi broad pada varietas Sembrani; (B)
Bentuk umbi rhomboid dan bentuk leher umbi narrow pada varietas Tuktuk; (C) Bentuk umbi broad-oval dan bentuk leher umbi medium pada
varietas Trisula; (D) Bentuk umbi globe dan bentuk leher umbi medium
pada varietas Batu Ijo; (E) Bentuk umbi broad-elliptic dan bentuk leher
17
umbi very narrow pada genotipe Solo 3

6

Variasi bentuk ujung batang umbi. (A) flat pada varietas Sembrani; (B) 17
strongly-sloping pada genotipe Solo 3; (C) slightly sloping pada varietas
Batu Ijo; (D) rounded pada genotipe Vietnam 3

7

Variasi bentuk ujung akar umbi. (A) round pada varietas Batu Ijo; (B) 18
weakly-tapered pada genotipe Cirebon; (C) strongly pada genotipe Solo 3;
(D) flat pada varietas Sembarani; (E) depressed pada genotipe Bantaeng

5

8

Variasi jumlah siung umbi. (A) sedikit (2-5 siung); (B) sedang (6-9 siung); 18
(C) banyak (>10 siung)

9

Variasi posisi diameter umbi. (A) mendekati ujung batang; (B) di bagian 18
tengah; (C) mendekati ujung akar (tanda panah kuning)

10 Variasi warna kulit umbi. (A) merah; (B) merah keunguan; (C) merah 18
kecoklatan; (D) merah tua; (E) coklat kekuningan
11 Variasi diameter umbi. (A) kecil; (B) sedang; (C) besar

19

12 Dendogram hasil analisis 34 genotipe bawang merah berdasarkan ciri 19
morfologi. V = Varietas yang sudah dilepas; BM = Koleksi PKHT
13 Matrix plot hasil Principal Component Analysis berdasarkan ciri morfologi 20
34 genotipe bawang merah, terbentuk dua kelompok yaitu kelompok I dan
II. V = Varietas yang sudah dilepas; BM = Koleksi PKHT
14 Elektroforegram hasil amplifikasi Primer ISSRred 4 (CAG)6G sebagai 21
representasi pita dengan persentase pita polimorfik tinggi. Genotipe (1)
Solo 8, (2) Solo 9, (3) Varietas Trisula, (4) Bilitar, (5) Kediri, (6) Aceh, (7)
Pekanbaru, (8) Solok, (9) Bukittinggi, (10) Varietas Brebes, (11) Varietas
Batu Ijo, (12) Varietas Sembrani, (13) Varietas Bangkok, (14) Vietnam 1,
(15) Vietnam 2, (16) Cirebon, (17) Bantaeng, (18) Tanduyung, (19) Solo 1,
(20) Solo 3, (21) Solo 4 dan (22) Tungganamo
15 Dendogram hasil analisis 34 genotipe bawang merah berdasarkan 13 primer 22
ISSR. V = Varietas yang sudah dilepas; BM = Koleksi PKHT
16 Matrix plot hasil Principal Component Analysis 34 genotipe bawang merah 23
berdasarkan 13 primer ISSR. V = Varietas yang sudah dilepas; BM =
Koleksi PKHT

DAFTAR LAMPIRAN
1

Karakter morfologi yang diamati pada bawang merah sebagai penjelasan 34
untuk Tabel 3 (IPGRI 2001; UPOV 2008)

2

Proporsi karakter polimorfik (kualitatif dan kuantitatif) hasil pengamatan 36
morfologi 34 genotipe bawang merah yang dianalisis

3

Deskripsi 34 genotipe bawang merah yang dianalisis

38

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bawang merah (Allium cepa L.) merupakan salah satu tanaman
hortikultura penting yang multiguna, baik di Indonesia maupun di negara lainnya
setelah tomat dan semangka (FAOSTAT 2015). Bawang merah dapat
dimanfaatkan sebagai bumbu masakan (flavor), sayuran (acar dan salad) dan
produk olahan contohnya bawang goreng (Chyau dan Mau 2001). Saat ini ekstrak
bawang merah telah dikembangkan sebagai obat tradisional (antimikroba,
antikanker dan antiinflamasi) (Motlagh et al. 2011). Sebagai komoditas
hortikultura yang bermanfaat dan bernilai ekonomi tinggi, bawang merah
dibudidayakan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Potensi pengembangan
bawang merah di Indonesia masih terbuka lebar, baik untuk kebutuhan dalam
negeri maupun luar negeri. Namun produktivitas bawang merah di Indonesia saat
ini masih rendah (10.16 ton ha-1) jika dibandingkan dengan negara lainnya seperti
Cina (20 ton ha-1) dan India (15 ton ha-1) (BPS 2015a).
Peningkatan penduduk dan penurunan luas lahan penanaman menuntut
tersedianya varietas baru yang berdaya hasil tinggi. Pengembangan varietas
unggul merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan produktivitas bawang
merah di Indonesia. Dalam pengembangan varietas unggul dibutuhkan informasi
keragaman genetik (plasma nutfah) yang cukup di antaranya informasi varietas
dengan produktivitas tinggi, toleran terhadap cekaman biotik maupun abiotik,
serta memiliki mutu umbi yang diterima oleh konsumen. Kondisi agroekosistem
Indonesia yang beragam dapat menyebabkan tingginya keragaman genetik
bawang merah sehingga melahirkan varietas-varietas lokal. Varietas lokal bawang
merah Indonesia merupakan sumber plasma nutfah yang penting untuk tujuan
pemuliaan. Namun penelitian dan informasi tentang keragaman genetik bawang
merah lokal Indonesia masih terbatas. Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT)
Institut Pertanian Bogor (IPB) memiliki koleksi genotipe bawang merah dari
berbagai daerah di Indonesia yang belum dianalisis keragaman genetiknya, untuk
itu perlu dilakukannya penelitian ini.
Analisis keragaman genetik dari setiap sumber plasma nutfah yang
tersedia perlu dilakukan untuk mendapatkan data deskripsi atau karakter spesifik
dari masing-masing genotipe baik secara morfologi maupun molekuler. Informasi
keragaman genetik diperlukan untuk mengetahui kemiripan atau hubungan
genetik antar genotipe. Hubungan genetik atau jarak genetik tersebut dapat
digunakan sebagai dasar untuk menentukan genotipe tetua yang akan digunakan
dalam proses pemuliaan bawang merah. Persilangan antar genotipe yang memiliki
jarak genotipe terjauh akan memberikan hasil terbaik pada tanaman menyerbuk
silang seperti bawang merah (Degewione et al. 2011).
Keragaman genetik bawang merah dapat dianalisis menggunakan marka
morfologi dan molekuler (Akter et al. 2015). Marka morfologi merupakan marka
yang paling cepat dan mudah diamati yaitu berupa karakter morfologi yang
tampak. Namun, marka morfologi memiliki keterbatasan yaitu bersifat tidak
konsisten karena merupakan hasil interaksi gen dan lingkungan. Keterbatasan
tersebut dapat diatasi dengan penggunaan marka molekuler yang berbasis DNA.
Marka DNA yang memiliki tingkat akurasi cukup tinggi salah satunya adalah

2

Inter Simple Sequences Repeat (ISSR) yang dikembangkan dari wilayah
mikrosatelit. Keunggulan ISSR antara lain: tidak dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan dan musim, tidak membutuhkan informasi sekuen terlebih dahulu,
berbasis Polymerase Chain Reaction (PCR), DNA yang digunakan lebih sedikit
(5-50 ng per reaksi), wilayah sekuen tersebar diseluruh genom sehingga
menghasilkan pola polimorfisme lebih tinggi dibandingkan dengan teknik
Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) dan dapat diaplikasi pada tingkat
takson terendah (spesies dan varietas) (Son et al. 2012; Syahruddin 2012; Sulassih
et al. 2013).

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) menganalisis keragaman genetik dari 34
genotipe bawang merah koleksi PKHT-IPB; 2) menganalisis struktur genetika
populasi bawang merah asal Indonesia dan 3) seleksi genotipe potensial sebagai
tetua unggul. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi dasar dalam
pengelolaan sumber daya genetik dan pemuliaan bibit unggul bawang merah
Indonesia.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Bawang Merah (Allium cepa L.)
Marga Allium merupakan tanaman herba perennial berumah satu
(monoecious) dengan karakteristik morfologi memiliki umbi berlapis, berdaun
sempit, bunga dengan 6 sepal atau tidak ada sepal dan memiliki aroma juga rasa
yang unik karena kandungan sulfurnya (Li et al. 2010). Informasi mengenai
karakter morfologi, anatomi dan molekuler marga Allium telah banyak dilaporkan.
Namun karena kemiripan morfologi antar spesies dan data yang tersedia sangat
bergantung pada sampel herbarium, masih banyak kesenjangan informasi
mengenai taksonomi antar spesies yang berbeda (interspesies) dan dalam spesies
yang sama (intraspesies), diferensiasi dan evolusi dalam marga Allium. Untuk itu
penelitian mengenai marga Allium masih terus dilakukan hingga sekarang (Samiei
et al. 2015). Posisi marga Allium telah lama menjadi kontroversi, dalam
klasifikasi awal angiosperma, Allium merupakan anggota dari suku Liliaceae
kemudian berdasarkan struktur bunga dan data molekulernya, marga Allium
menjadi anggota Amaryllidaceae, sub-suku Alliaceae, suku Allieae (Chase et al.
2009). Marga Allium merupakan salah satu marga terbesar dengan anggota lebih
dari 900 spesies. Allium memiliki pusat keanekaragaman di daerah Timur
Mediterania, Asia Tenggara dan Asia Tengah (Rabinowitch dan Currah 2002).
Sebagian besar spesies dari anggota marga Allium dibudidayakan secara luas di
dunia untuk dimanfaatkan sebagai rempah-rempah, sayuran, obat-obatan dan
tanaman hias (Samiei et al. 2015).
Bawang merah (Allium cepa L.) merupakan salah satu spesies dari marga
Allium yang multiguna dan bernilai ekonomi tinggi. Bawang merah sangat
populer dalam dunia kuliner yaitu sebagai bumbu masakan, saat ini bawang merah
sedang dikembangkan sebagai obat tradisional. Bawang merah memiliki nama
lain yang populer yaitu shallot. Selama beberapa tahun nama latin bawang merah
dalam dunia taksonomi mengalami sedikit kekeliruan. Sebelumnya bawang merah
diberi nama latin Allium ascalonicum karena merupakan salah satu spesies dari
marga Allium yang tumbuh liar. Helm (1956) mengklasifikasikan shallot ke dalam
takson Allium cepa, berdasarkan bentuk umbi dan pertumbuhannya. Helm (1956)
mengelompokkan Allium cepa menjadi 4 varietas botani antara lain (1) var. cepa
(common onion); (2) var. vivaparum (top onion); (3) var. aggregatum (multiplier
onion atau shallot) dan (4) var. cepiform (the shallot-like). Jones dan Mann
(1963) kemudian membagi Allium cepa menjadi 3 kelompok sebagai tanaman
hortikultura antara lain (1) common onion gruop (bulb onion) yaitu bawang
dengan ukuran umbi yang besar, umbi tunggal dan perbanyakan dengan biji
(generatif); (2) aggregatum group (shallot, potato onion) yaitu bawang dengan
umbi berukuran kecil, jumlah siung banyak dan perbanyakan dengan umbi
(vegetatif) dan (3) proliferum group (top onion) yaitu bawang dengan jumlah
siung umbi banyak, namun kurang berkembang dan bunganya steril. Hanelt
(1990) juga mengklasifikasikan Allium cepa menjadi 2 kelompok antara lain (1)
common onion (sinonim; Allium cepa L. var. cepa; Allium cepa L. spp. cepa dan
spp. australe Trofim.) dan (2) aggregatum group (sinonim; Allium ascalonicum
auct. non strand; Allium cepa spp. orientale Kazak.; Allium cepa var. ascalonicum
Baker.). Messiaen (1993) merevisi nama latin shallot menjadi Allium cepa var.

4

Aggregatum dan satu spesies dengan bawang bombay (onion). Bawang merah
dapat menghasilkan keturunan fertil jika disilangkan dengan bawang bombay,
selain itu sitologi dan morfologi keduanya sangat mirip, sehingga keduanya
dikelompokkan dalam satu spesies Allium cepa dengan nama latin Allium cepa L.
Aggregatum group, namun nama latin yang sering digunakan saat ini adalah
Allium cepa L. (Rabinowitch dan Currah 2002).
Morfologi bawang merah telah banyak diteliti dan dilaporkan oleh para
ahli taksonomi. Bawang merah merupakan tanaman herba perennial dengan tinggi
tanaman mencapai 100 cm dan membentuk rumpun. Perakarannya berupa akar
serabut namun tidak terlalu panjang. Daun bawang merah berwarna hijau muda
sampai hijau tua, berbentuk bulat panjang dan berlubang seperti pipa (Gambar
1c). Bagian ujung daun bawang merah runcing sedangkan pangkalnya melebar
memeluk batang semu (pseudostem). Pembentukan primordial daun dimulai
dengan tonjolan pada permukaan atas umbi yang akan berkembang menjadi daun.
Primordial daun berikutnya tumbuh di sisi berlawanan (the opposite side) dari
daun sebelumnya. Setiap daun yang baru akan tumbuh di dalam daun sebelumnya
sehingga daun pertama akan menyelimuti daun yang baru secara konsentris.
Percabangan pada bawang merah merupakan hasil dari hilangnya dominansi
apikal, dimana terjadi inisiasi lateral setelah perkembangan dua atau tiga daun.
Pada titik ini meristem apikal terbagi menjadi dua bagian sehingga terbentuklah
percabangan yang akan menumbuhkan daun-daun baru dan tunas lateral (Krontal
et al. 1998; Rabinowitch dan Currah 2002).
Bawang merah dapat menghasilkan bunga tetapi sangat sulit bahkan
terkadang tidak menghasilkan biji. Inflorescence (perbungaan) bawang merah
bersifat majemuk terdiri dari banyak rangkaian bunga dan berbentuk seperti
payung yang disebut umbels (Gambar 1b). Umbels dapat terdiri dari 50 sampai
200 bunga yang tersususun melingkar. Tangkai rangkaian bunga lebih tinggi
dibandingkan daun dan setiap kuntum bunga memiliki tangkai tetapi lebih
pendek. Bunga bawang merah termasuk bunga sempurna dengan setiap bunga terdiri
atas benang sari dan kepala putik. Biasanya terdiri atas 5 sampai 6 benang sari dan
satu buah putik dengan kelopak bunga berwarna hijau bergaris putih, serta bakal buah
duduk di atas bunga membentuk suatu bangun seperti kubah. Penyerbukan pada
bunga bawang merah bersifat open-pollination yaitu dapat menyerbuk antar bunga
dalam satu umbel atau antar umbel, antar bunga berbeda tanaman pada satu spesies
bawang merah (intraspesifik) dan antar bawang merah dengan spesies yang berbeda
tapi masih dalam satu marga Allium (interspesifik). Penyerbukan silang antar jenis
dan antar varietas dapat terjadi secara alami, sehingga peluang munculnya varietas
baru cukup tinggi.
Proses pembungaan pada bawang merah sama seperti anggota marga
Allium lainnya. Selama proses transisi dari perbanyakan secara vegetatif menuju
ke generatif, terjadi perubahan pertumbuhan monopodial menjadi simpodial pada
batang tetapi tidak mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman
secara keseluruhan. Buah berbentuk bulat dengan ujung tumpul membungkus biji
dan berjumlah 2 sampai 3 butir. Biji berbentuk pipih, biji muda berwarna bening atau
putih, tetapi setelah masak menjadi hitam (Krontal et al. 1998; Brewster 2008; Block
2010).
Bawang merah secara tradisional telah diperbanyak secara vegetatif dari
umbinya. Umbi (bulb) bawang merah memiliki morfologi yang mirip dengan umbi
bawang bombay (onion) sehingga keduanya dimasukkan dalam spesies yang sama

5

(Allium cepa L.). Berbeda dengan bawang bombay, umbi bawang merah berukuran
lebih kecil dan membelah secara lateral sehingga jumlah siung yang dihasilkan lebih
banyak hingga mencapai 30 siung dalam satu rumpun. Proses pembentukan umbi
pada bawang merah dipengaruhi oleh lamanya fotoperiode dan suhu, sehingga setiap
varietas memiliki kondisi lingkungan yang berbeda dalam membentuk umbi. Umbi
bawang merah merupakan umbi lapis dengan bentuk dan warna yang bervariasi
(Gambar 1a). Umbi bawang merah mengandung senyawa antosianin (cyanidin dan
peodin) dan flavonoid (quercitin) yang memberikan aroma juga rasa yang unik.
Variasi warna umbi penting dalam menentukan preferensi konsumen dan juga dalam
klasifikasi antar varietas. Pigmen pada umbi bawang merah tidak hanya
mengendalikan warna umbi tetapi juga mempengaruhi daya simpan dan ketahanan
terhadap penyakit. Setiap umbi tunggal berisi titik tumbuh (1-2) dan setiap umbi
dilapisi 1 sampai 3 kulit pelindung. Dormansi umbi bawang merah berlangsung
selama 2.5-5 bulan pada suhu 27-32 ºC (Arifin et al. 1999; Rabinowitch dan Currah
2002; Brewster 2008).

a

b

c

Gambar 1 Morfologi bawang merah (a) umbi; (b) bunga dan (c) daun.
(dokumentasi pribadi)
Bawang merah telah lama dibudidayakan di beberapa daerah di Indonesia
dengan kondisi agroekosistem yang beragam. Berdasarkan data Dirjen Hortikultura
(2015) terdapat 34 sentral produksi bawang merah yang tersebar di beberapa wilayah
Indonesia. Budidaya bawang merah di Indonesia secara umum memerlukan bulan
kering sekitar 4 sampai 5 bulan dengan musim tanam optimal pada akhir musim
hujan (Maret-April) atau akhir musim kemarau (Mei-Juni). Curah hujan untuk
budidaya bawang merah di Indoneisa berkisar 1000 sampai 1500 mm tahun-1. Suhu
lingkungan tanam bawang merah berkisar antara 25-32 ºC dengan pH tanah 5.6-6.5.
Tanah yang digunakan memiliki kesuburan dan drainase yang baik, tekstur tanah
remah, lempung berpasir dan tidak ternaungi (Erythrina 2012).

6

Varietas Bawang Merah di Indonesia
Varietas merupakan subdivisi dari spesies berdasarkan International Code
of Botanical Nomenclature. Varietas unggul dapat berasal dari varietas lokal,
varietas liar, varietas introduksi, galur homozigot juga mutan yang mempunyai
potensi unggul dan sesuai dengan target pemuliaan yang diinginkan. Varietas
unggul adalah varietas yang memiliki karakter unik, seragam dan stabil
(distictness, uniformity dan stability) juga telah lulus uji seleksi dan daya hasil.
Untuk menghasilkan varietas unggul dengan sifat-sifat yang diinginkan harus
melalui prosedur pemuliaan yang sistematik. Koleksi plasma nutfah sangat
berperan dalam program pemuliaan varietas unggul tentunya informasi keragaman
genetik sangat diperlukan (Brown dan Caligari 2008). Bawang merah merupakan
komoditas unggulan utama yang dikembangkan di Indonesia. Saat ini telah
dilepas 24 varietas bawang merah unggul oleh Kementrian Pertanian Republik
Indonesia (Tabel 1) (Dirjen Hortikultura 2012).
Tabel 1 Varietas bawang merah yang telah dilepas Kementan RI
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Varietas
Bima Brebes
Medan
Keling
Bima Maja Cipanas
Super Philip
Bauji
Bangkok
Kramat-1
Karamat-2
Kuning
Tiron
Keta Monca
Batu Ijo
Palasa
Tinombo
Tuk-Tuk
Sembrani
Katumi
Manjung
Biru Lancor
Lembah Palu
Rubaru
Trisula
Pancasona
Mentes

No. Kepmentan
594/Kpts/TP.240/8/1984
595/Kpts/TP.240/8/1984
596/Kpts/TP.240/8/1984
597/Kpts/TP.240/8/1984
65/Kpts/TP.240/2/2000
66/Kpts/TP.240/2/2000
68/Kpts/TP.240/2/2000
225/Kpts/TP.240/4/2001
226/Kpts/TP.240/4/2001
227/Kpts/TP.240/4/2002
498/Kpts/TP.240/8/2003
529/Kpts/PD.210/10/2004
368/Kpts/LB.240/6/2004
480/Kpts/LB.240/6/2004
481/Kpts/LB.240/6/2004
361/Kpts/SR.120/5/2006
304/Kpts/SR.120/5/2007
305/Kpts/SR.120/5/2007
703/Kpts/SR.120/5/2007
2830/Kpts/SR.120/7/2009
11843/Kpts/SR.120/4/2011
2525/Kpts/SR.120/5/2011
4580/Kpts/SR.120/11/2011
4581/Kpts/SR.120/11/2011
4582/Kpts/SR.120/11/2011

Asal
Lokal Brebes
Lokal Samosir
Lokal Maja
Lokal Cipanas
Lokal Nganjuk
Introduksi dari Philipina
Introduksi dari Thailand
Maja Cipanas x Bawang Bombay
Maja Cipanas x Bawang Bombay
Lokal Brebes
Bantul, DIY
Bima, NTB
Batu Malang, Jatim
Parigi Moutg, Sulteng
Parigi Moutg, Sulteng
PT.East West Seed Philipina
Balitsa Lembang
Balitsa Lembang
Pamekasan, Jatim
Probolinggo, Jatim
Lembah Palu, Sul
Sumenep, Jatim
Balitsa Lembang
Balitsa Lembang
Balitsa Lembang

Varietas-varietas tersebut merupakan varietas yang berasal dari berbagai
daerah di Indonesia (varietas lokal), introduksi dari luar dan dari hasil pemuliaan
yang memiliki karakter-karakter fenotipe beragam. Varietas-varietas tersebut
dibedakan berdasarkan karakter morfologi, karakter agronomi dan sifat ketahanan
terhadap kondisi iklim juga penyakit. Varietas Bima brebes, Medan, Keling dan
Kuning cocok ditanam di daerah dataran rendah. Varietas yang memiliki aroma
sangat tajam diantaranya varietas Bima brebes, Sumenep dan Manjung. Varietas
dengan warna umbi yang bervariasi contohnya varietas Sumenep dan Kuning

7

berwarna kuning pucat dan varietas medan berwarna merah tua (Erythrina 2012).
Selain varietas yang telah dilepas oleh Kementan RI, masih banyak genotipe
bawang merah lokal yang belum dikarakterisasi dan diidentifikasi keragaman
genetiknya sebagai potensi sumber daya genetik bawang merah Indonesia.
Marka Morfologi
Keragaman genetik tanaman dapat dianalisis menggunakan marka
morfologi dan molekuler. Marka morfologi didasarkan pada karakter fenotipe
yang bisa langsung diamati, baik pada organ vegetatif maupun organ generatif
(Sulassih 2011). Karakter morfologi merupakan hasil interaksi antara gen dan
lingkungan, sehingga memiliki kelemahan yaitu bersifat tidak konsisten.
Perbedaan lingkungan adaptasi atau kondisi egroekosistem yang beragam akan
mempengaruhi keragaman karakter morfologi suatu tanaman. Karakter morfologi
terbagi menjadi dua jenis yaitu karakter yang bersifat kuantitatif dan karakter yang
bersifat kualitatif (Syahruddin 2012).
Karakter kuantitatif merupakan karakter yang tidak dapat dibedakan secara
sederhana namun harus diukur dengan alat ukur tertentu yang hasilnya bersifat
kuantitatif karena karakter kuantitatif dikendalikan oleh banyak gen. Karakter
kuantitatif yang digunakan untuk menganalisis keragaman genetik bawang merah
diantaranya tinggi tanaman, panjang daun, lebar daun, bobot basah umbi, diameter
umbi dan tinggi umbi. Sedangkan karakter kualitatif merupakan karakter yang
dapat dibedakan secara tegas dan sederhana tanpa ada proses pengukuran karena
karakter kualitatif dikendalikan oleh gen yang sederhana (umumnya satu gen).
Karakter kualitatif yang digunakan untuk menganalisis keragaman genetik
bawang merah diantaranya tingkat kepatahan daun, warna daun, bentuk umbi,
bentuk leher dan batang umbi, warna kulit dan warna daging umbi. Karakter
warna dan bentuk dikendalikan oleh gen sederhana yang dapat dipengaruhi oleh
lingkungan sehingga bersifat tidak konsisten dan menghasilkan informasi yang
sedikit bias (Syahruddin 2012).
Analisis keragaman menggunakan marka morfologi tidak mudah untuk
tanaman yang berada pada takson di bawah spesies (varietas). Hasil analisis
morfologi yang didasarkan dari kemiripan karakter diharapkan dapat
menggambarkan hubungan kekerabatan diantara takson atau individu suatu
tanaman (Rustiami et al. 2011). Analisis keragaman genetik bawang merah lokal
Indonesia masih terbatas. Namun, analisis keragaman genetik bawang merah pada
10 genotipe Allium cepa L. di India menggunakan marka morfologi telah
dilakukan oleh Akter et al. (2015). Sepuluh genotipe bawang merah asal India
tersebut dilaporkan memiliki variasi pada karakter umbi dan daunnya.
Inter Simple Sequences Repeat (ISSR)
Marka molekuler telah banyak digunakan untuk mengungkap keragaman
genetik suatu tanaman dengan menggunakan DNA. Penggunaan marka molekuler
dapat mendukung atau menutupi kelemahan dari marka morfologi, khususnya
pada tingkat takson rendah (spesies dan varietas). Kelemahan dari marka
morfologi yaitu bersifat tidak konsisten, polimorfisme yang dihasilkan cukup
rendah dan dipengaruhi oleh peristiwa epistasis atau pleiotropi (Weising et al.
2005). Marka dengan menggunakan DNA dapat berbasis PCR (Polimerase Chain

8

Reaction) atau non PCR. Marka yang berbasis non PCR yaitu RFLP (Restriction
Fragment Length Polymorphism) sedangkan marka yang berbasis PCR
diantaranya RAPD (Random Amplified Polymorphism DNA), AFLP (Amplified
Fragment Length Polymorphism), SSR (Simple Sequence Repeat) dan ISSR (Inter
Simpel Sequences Repeat). Marka molekuler yang digunakan diharapkan
menghasilkan polimorfisme yang tinggi, terdapat diseluruh genom, biaya yang
dibutuhkan sedikit, analisis data cepat juga mudah dan bersifat reproducible
(Kumar 2009).
Marka molekuler yang digunakan pada penelitian ini adalah Marka Inter
Simpel Sequences Repeat (ISSR). Marka ISSR merupakan marka yang
dikembangkan dari daerah wilayah mikrosatelit atau Simple Sequences Repeat
(SSR). SSR merupakan daerah sekuen nukleotida berulang atau STR (Short
Tandem Repeat) yang tersebar diseluruh genom sedangkan ISSR merupakan
daerah inter-SSR. ISSR merupakan daerah bukan gen yang tidak mengkode
protein (non coding region) dan berada diantara dua lokus mikrosatelit. Marka
ISSR menggunakan primer tunggal yang pada bagian ujung 3’ dan 5’ terdapat
penambahan sekuen nukleotida. Wilayah amplifikasi ISSR yaitu daerah interSSR. Produk amplifikasi akan berupa pola pita ganda dan polimorfik yang dapat
digunakan untuk studi variasi genetik pada organisme, analisis hubungan
kekerabatan, identifikasi genetik tetua, pembentukan klon atau galur dan studi
hubungan asal tanaman dengan pusat penyebarannya (Ng dan Tan 2015).
Setiap marka molekuler tentunya memiliki kekurangan dan kelebihan.
Marka ISSR memiliki banyak kelebihan yaitu lebih murah, mudah dan cepat
digunakan dibandingkan RFLP dan AFLP, sekuennya tersebar diseluruh genom
sehingga menghasilkan polimorfisme lebih tinggi dibandingkan RAPD, tidak
memerlukan informasi sekuen terlebih dahulu, DNA yang digunakan lebih sedikit
(5-50 ng per reaksi), bersifat lebih reproducible dibandingkan marka RAPD dan
dapat mengungkap keragaman genetik pada tingkat takson rendah (spesies dan
varietas) (Son et al. 2012; Syahruddin 2012; Sulassih et al. 2013). Marka ISSR
telah banyak digunakan dalam analisis keragaman genetik tanaman. Marka ISSR
telah digunakan untuk mengungkap hubungan kekerabatan pada 13 aksesi marga
Allium dari Korea (Son et al. 2012) dan pada 20 aksesi manggis (Garcinia
mangostana L.) di Indonesia (Sulassih et al. 2013), mengungkap keragaman
genetik pada durian tengkurak (Durio tanjungpurensis Navia) dari Kalimantan
Barat (Riupassa et al. 2015) dan mengungkap keragaman genetik dan hubungan
interspesifik dari 32 aksesi pada marga Allium di Iran (Samiei et al. 2015).

9

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2014 sampai dengan
September 2015. Penanaman bawang merah di Kebun Percobaan Institut
pertanian Bogor (IPB) Pasir Sarongge, untuk analisis data morfologi dan
molekuler (ISSR) dilakukan di Laboratorium Molekuler Pusat Kajian Hortikultura
Tropika (PKHT) IPB Baranangsiang.
Bahan Tanaman
Bawang merah yang digunakan berupa umbi sebanyak 34 genotipe.
Genotipe tersebut merupakan koleksi PKHT dari hasil eksplorasi beberapa daerah
di Indonesia. Sampel terdiri dari 20 genotipe merupakan koleksi PKHT, 5
genotipe impor Vietnam dengan berbeda generasi tanam (generasi 0, 1 dan 2) dan
9 genotipe merupakan varietas yang telah dilepas oleh Kementrian Pertanian
Republik Indonesia (Tabel 1).
Tabel 2 Genotipe bawang merah yang dikoleksi oleh PKHT
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17

Genotipe
BM ACH
BM BTE
V BtIj
BM CRI
V Breb
BM BLT
BM BKT
V Kun
V Ilo
BM KDR
V Man
BM NJK
BM PKU
V Sem
BM SL1
BM SL2
BM SL3

Asal Koleksi
Aceh
Bantaeng, Sulsel
Var. Batu Ijo, BPTP Malang
Cirebon, Jabar
Var. Bima, Brebes, Jateng
Blitar, Jatim
Bukittinggi, Sumbar
Var. Kuning, Bantul, DIY
Var. Ilokos, Cirebon, Jabar
Kediri, Jatim
Var. Manjung, Jatim
Nganjuk, Jatim
Pekanbaru, Riau
Varietas Sembrani, Balitsa
Solo, Jateng
Solo, Jateng
Solo, Jateng

No.
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34

Genotipe
BM SL4
BM SL6
BM SL7
BM SL8
BM SL9
BM SLK
BM SUM
BM TDY
V BGK
V TRS
V TUK
BM TNG
BM VT1
BM VT2
BM VT3
BM VT4
BM VT5

Asal Koleksi
Solo, Jateng
Solo, Jateng
Solo, Jateng
Solo, Jateng
Solo, Jateng
Solok, Sumbar
Sumbawa, NTB
Koleksi PKHT
Var. Bangkok, Thailand

Var. Trisula, Balitsa
Var. Tuk-tuk, PT.EWS
Rote, Ndao, NTT
Vietnam, G0
Vietnam, G0
Vietnam, G1
Vietnam, G2
Vietnam, G2

Keterangan: Var. = Varietas dan G = Generasi

Penanaman bawang merah menggunakan Rancangan Acak Kelompok
Lengkap (RAKL) dengan 10 ulangan sampel. Pemanenan dilakukan setelah
tanaman berumur 60-90 hari. Penanaman dilakukan dalam bedengan dengan
ukuran 120 cm x 200 cm, dimana satu umbi ditanam dalam setiap lubang tanam
dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm. Sebelum penanaman, dilakukan persiapan
lahan yaitu penggemburan tanah menggunakan cangkul dan pemberian kapur
dolomit (100 g m-1). Umbi bawang merah yang sudah siap tanam dipotong
sepertiga bagian dan diberi arang sekam yang berfungsi sebagai antisipasi
penularan penyakit. Pemupukan dilakukan sebanyak dua kali, pemupukan
pertama dilakukan pada minggu pertaman setelah tanam menggunakan pupuk
kandang sapi (10 gr setiap lubang tanam), kemudian pemupukan kedua dilakukan

10

pada minggu ketiga setelah tanam menggunakan pupuk urea dan KCl (1:1)
dengan dosis 10 gr per individu tanaman. Penyiraman dilakukan satu kali setiap
dua hari, fumigasi dengan Previcur (1-2 cc per Liter) dua kali selama proses
penanaman dan penyiangan rumput atau gulma dilakukan satu kali seminggu.
Pemanenan dilakukan pada 60-90 hari tanam, dengan ciri-ciri tanaman cukup tua
dimana 60-90% batang lemas atau rebah, daun menguning dan umbi tersembul
kepermukaan tanah.
Pengamatan Morfologi
Pengamatan karakter morfologi dan agronomi menggunakan panduan
deskriptor Allium spp. (IPGRI 2001) dan deskriptor varietas Allium (UPOV 2008)
dengan beberapa modifikasi karakter sehingga didapatkan 24 karakter morfologi
yang diamati (Tabel 3 dan penjelasan pada Lampiran 1).
Tabel 3 Karakter pengamatan morfologi pada bawang merah
No.
1
2
3

Karakter
Umur panen

4
5
6
7
8
9

Kemampuan berbunga
Jumlah bunga dalam
karangan
Warna mahkota bunga
Warna anther bunga
Tinggi tanaman
Warna daun
Kerapatan daun
Panjang daun

10

Jumlah daun

11
12
13

Tingkat kepatahan daun
Diameter daun
Bentuk umbi

14

Jumlah siung umbi

15

Warna kulit umbi

16
17
18
19

Ketebalan kulit umbi
Diameter umbi
Posisi diameter maksimum
umbi
Bentuk leher umbi

20

Warna daging umbi

21
22
23

Bobot umbi basah/rumpun
Tinggi umbi
Bentuk ujung akar umbi

24

Bentuk ujung batang umbi

Sifat Karakter
1=genjah (91 hari)
1=berbunga; 2=tidak berbunga
1=banyak (>31); 2=sedikit (46 cm)
1=hijau muda; 2=hijau kekuningan; 3=hijau tua
1=tinggi; 2=sedang; 3=rendah
1=pendek ( 31 cm)
1=sedikit (7 helai)
1=lemah; 2=sedang;3= kuat
1=kecil (0,9 cm)
1=flat; 2=flat-globe; 3=rhomboid; 4=broad-oval; 5=globe;
6=broad-elliptic; 7=ovate-elongated oval; 8=spindle;
9= high top; 10=lainnya
1=sedikit (1-3 siung); 2=sedang (4-9 siung);
3=banyak (>10 siung)
1=merah; 2=merah muda; 3=merah keunguan; 4=merah tua;
5=merah kecoklatan; 6=coklat muda; 7=coklat kekuningan
1=tipis; 2=sedang ; 3=tebal
1=kecil (4 cm)
1=mendekati ujung batang; 2=ditengah umbi;
3=mendekati ujung akar
1=very narrow; 2=narrow; 3=medium; 4=broad;
5=very broad
1=ungu keputihan; 2=ungu muda; 3=ungu tua; 4=merah
muda; 5=merah kecoklatan; 6=merah keunguan; 7=merah tua
1=ringan (21 gr)
1=pendek (4 cm)
1=depressed; 2=flat; 3=round; 4=weakly-tapered;
5=strongly-tapered
1=depressed;
2=flat;
3=slightly-raised;
4=rounded;
5=slightly-sloping; 6=strongly-sloping

11

Isolasi DNA Total
Isolasi DNA total 34 genotipe bawang merah menggunakan metode Cetyl
Trimethyl Ammonium Bromide (CTAB) oleh Doyle dan Doyle (1987) dengan
sedikit modifikasi (Son et al. 2012). Sampel daun muda dipotong sebanyak 0.2 g,
kemudian digerus menggunakan mortar dengan menambahkan sedikit PVP
(polyvinyl-pyrrolidone) dan pasir kuarsa sampai menjadi bubuk. Setelah halus
ditambahkan buffer lysis secukupnya (CTAB 10%, EDTA (Ethylene Diamine
Tetra-acetic Acid) 0.5 M pH 8.0, Tris-HCl 1 M pH 8.0, NaCl 5 M dan aquadest
steril) dan dipindahkan ke dalam tabung eppendorf kemudian diinkubasi dalam
water bath (65 °C) selama 60 menit, dimana setiap 15 menit dibolak-balik.
Setalah diinkubasi, ditambahkan larutan CIAA (Chloroform Iso-amyl Alkohol
24:1) sebanyak satu kali volume larutan sampel, kemudian larutan dihomogenisasi
menggunakan vortex selama satu menit. Untuk memisahkan DNA dengan
komponen sel lainnya sampel disentrifuse (11.000 rpm) selama 10 menit.
Hasil sentrifuse yang berupa supernatan dipindahkan ke tabung eppendorf
baru secara perlahan kemudian ditambahkan isopropanol dingin sebanyak satu
kali volume supernatan yang didapatkan, sambil dibolak-balik tiga kali dan
diinkubasi dalam freezer selama satu malam agar proses presipitasi DNA
sempurna. Setelah diinkubasi semalaman, larutan DNA disentrifuse (11.000 rpm)
selama 15 menit dan supernatan dibuang untuk menghasilkan endapan DNA
(pellet DNA) di ujung tabung. Pellet DNA dicuci dengan menggunakan 200 µl
ethanol 70% dingin kemudian disentrifuse kembali (11.000 rpm) selama 10 menit.
Larutan alkohol dibuang dan endapan DNA dikeringkan menggunakan desikator.
Endapan DNA yang telah kering kemudian ditambahkan 100 µl TE-buffer (TrisEDTA pH 8.0) sambil disentil-sentil dan disimpan dalam freezer (-20 °C) sebagai
stok DNA. DNA total yang didapatkan diuji kualitasnya terlebih dahulu. Uji
kualitas DNA total secara kualitatif dan kuantitatif menggunakan DNA lamda
dengan cara dielektroforesis dalam gel agarosa yang akan dijelaskan pada tahap
elektroforesis.
Elektroforesis
Eletroforesis untuk uji kualitas dan kuantitas DNA total menggunakan
0.8% gel agarosa (0.32 g agarosa TopVisioTM Fermentan dalam 40 ml buffer TAE
1x). Gel agarosa dicetak terlebih dahulu sehingga memiliki sumur gel kemudian
direndam dalam electrophoresis chamber (Bio-Rad Laboratories, Hercules) yang
berisi larutan buffer TAE 1x (100 ml TAE 10x dilarutkan dalam 900 ml aquades
steril). DNA total sebanyak 5 µl yang ditambahkan 2 µl larutan loading dye
dimasukkan ke dalam sumur gel menggunakan pipet mikro bersama 2 µl λ
(lamda) DNA (promega) pada sumur yang lain, kemudian running selama 15
menit dengan tegangan 50 volt. Setelah dielektroforesis selama 15 menit, gel
agarosa direndam dalam larutan etidium bromida (EtBr) (10%) selama 5 menit
kemudian divisualisasikan dengan sinar UV (Ultraviolet transiluminator) dan
didokumentasikan menggunakan kamera digital merek Sony Optical Steady-Shot
DSC-W730, 16.1 mega pixels 8x optical zoom.
Lamda DNA digunakan sebagai pembanding dalam menentukan
konsentrasi DNA total yang didapatkan. Konsentrasi 1 µl lamda DNA adalah 457
ng µl-1 sedangkan volume DNA total yang dibandingkan dengan 1 µl lamda DNA

12

adalah 5 µl. Sehingga ketika pita DNA yang dihasilkan antara DNA total dengan
lamda DNA sama dapat disetarakan bahwa konsentrasi 1 µl DNA adalah 91.4 ng
µl-1 (didapatkan dari 457 ng µl-1/ 5 µl). Sementara konsentrasi DNA total yang
dibutuhkan untuk tahapan PCR yaitu 20 ng, maka stok DNA total harus
diencerkan sebanyak 5x (didapatkan dari 91.4 ng/ 20 ng). Pengenceran 5x (1:5)
yaitu 1 µl stok DNA ditambahkan 5 µl air bebas ion. Elektroforesis untuk hasil
PCR menggunakan 1.2% gel agarosa (0.48 gr dilarutkan dalam 40 ml buffer TAE
1x) selama 48 menit dengan tegangan 50 volt dan menggunakan DNA ladder 1 kb
(promega) sebagai pembanding
Amplifikasi DNA
Amplifikasi DNA dengan 13 primer ISSR (Tabel 4) menggunakan mesin
PCR-GeneAmp merek Applied Biosystems 2720. Volume total mix PCR yang
akan diamplifikasi yaitu sebesar 15.5 µl yang terdiri dari 6 µl master mix Go
Taq® Green, 1 µl primer ISSR, 2.5 µl sampel DNA total, dan 6 µl air bebas ion
(ddH2O). Proses PCR dibagi dalam beberapa tahap (Tabel 5) yaitu denaturasi
awal, denaturasi, penempelan primer (annealing), pemanjangan primer yang
komplemen dengan DNA bawang merah (elongation), final extention dan
penurunan suhu. Hasil amplifikasi dielektroforesis dalam gel agarosa,
divisualisasikan dengan sinar UV dan didokumentasikan menggunakan kamera
digital seperti yang telah dijelaskan pada prosedur elektroforesis.
Tabel 4 Primer ISSR yang digunakan dalam penelitian
No.

Kode Primer

Sekuen Primer (5'-3')

Suhu Annealing (°C)

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

PKBT 2
PKBT 4
PKBT 6
PKBT 7
PKBT 9
PKBT 11
ISSRred 4
ISSRred 7
ISSRred 9
ISSRred 10
ISSRred 17
ISSRred 20
ISSRred 25

(AC)8TT
(AG)8AA
(AG)8TT
(GA)9A
(GA)9T
(GT)9C
(CAG)6G
(GTC)6
(CTC)5GC
(CAA)5
(GAC)5
(TCC)5A
(CCA)6

53
53
53
53
54
54
52
49
51
48
48
44
53

Tabel 5 Tahapan PCR menggunakan primer ISSR
Tahapan
I (1 siklus)
II (35 siklus)

III (1 siklus)
IV

Proses
Pre denaturasi
Denaturasi
Annealing
Elongation
Final extention
Penurunan suhu

Suhu (°C)
95
93
48-54
72
72
20

Waktu
3 menit
30 detik
45 detik
45 detik
10 menit
20 menit

13

Analisis Data
Data ha