Pruning Akar untuk Meningkatkan Keberhasilan Infeksi Fungi Ektomikoriza pada Bibit Melinjo (Gnetum gnemon) Umur 7 Bulan

PRUNING AKAR UNTUK MENINGKATKAN KEBERHASILAN
INFEKSI FUNGI EKTOMIKORIZA PADA BIBIT
MELINJO (Gnetum gnemon) UMUR 7 BULAN

HANNUM WULAN FEBRIANINGRUM

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pruning Akar untuk
Meningkatkan Keberhasilan Infeksi Fungi Ektomikoriza pada Bibit Melinjo
(Gnetum gnemon) Umur 7 Bulan adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014
Hannum Wulan Febrianingrum
NIM E44090049

ABSTRAK
HANNUM WULAN FEBRIANINGRUM. Pruning Akar untuk Meningkatkan
Keberhasilan Infeksi Fungi Ektomikoriza pada Bibit Melinjo (Gnetum gnemon)
Umur 7 Bulan. Dibimbing oleh ARUM SEKAR WULANDARI.
Keberhasilan infeksi fungi ektomikoriza pada bibit melinjo umur 7 bulan
bisa ditingkatkan melalui metode pruning akar. Pruning akar dapat meningkatkan
pertumbuhan akar lateral baru. Tujuan dari penelitian adalah menerapkan pruning
akar untuk meningkatkan keberhasilan infeksi fungi ektomikoriza dan
pertumbuhan bibit melinjo. Percobaan dilakukan dengan menggunakan rancangan
petak terbagi. Sumber inokulum ektomikoriza sebagai petak utama yang terdiri
atas 3 taraf, yaitu kontrol, bibit berektomikoriza dan inokulum tanah. Tingkat
pruning akar sebagai anak petak yang terdiri atas 3 taraf yaitu 0%, 30% dan 50%.
Pengamatan dilakukan pada bulan ke-5 dan ke-6 setelah perlakuan. Hasil
penelitian ini menunjukan bahwa pruning akar mampu meningkatkan

pertumbuhan bibit melinjo dan meningkatkan kolonisasi fungi ektomikoriza
(Scleroderma spp.) 6 bulan setelah perlakuan. Sumber inokulum belum
memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit melinjo pada 6 bulan
setelah perlakuan, tetapi dapat meningkatkan kolonisasi ektomikoriza.
Kata kunci: ektomikoriza, melinjo, pruning akar, Scleroderma

ABSTRACT
HANNUM WULAN FEBRIANINGRUM. Root Pruning to Enhance
Ectomycorrizha Fungi Infection Success on 7 Months Age of Melinjo (Gnetum
gnemon) Seedling. Supervised by ARUM SEKAR WULANDARI.
The success of ectomycorrizha fungi infection on 7 months age of melinjo
seedling may be improved through root pruning technique. Root pruning may
improve new lateral root’s growth. The purposes of this research are to implement
root pruning to enhance ectomycorrizha fungi infection success and melinjo
seedling’s growth. This research is done by using split plot design. The source of
ectomycorrizha inoculum as main plot consist of 3 types: control, infected
seedling of ectomycorrhiza, and soil inoculum. The root pruning rate as main plot
also consist of 3 types, they are: 0%, 30%, and 50%. Observation is done on
month 5th and month 6th after treatment. The result of this research indicates that
root pruning is able to enhance melinjo seedling’s growth and increase

ectomycorrhiza’s colonization (Scleroderma spp.) after 6 months observation. The
source of inoculum is able to enhance ectomyrorrhiza’s colonization but had not
give significant influence toward melinjo seedling’s growth on month 6th after
treatment.
Keywords: ectomycorrhiza, Gnetum gnemon, root pruning, Scleroderma

PRUNING AKAR UNTUK MENINGKATKAN KEBERHASILAN
INFEKSI FUNGI EKTOMIKORIZA PADA BIBIT
MELINJO (Gnetum gnemon) UMUR 7 BULAN

HANNUM WULAN FEBRIANINGRUM

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Silvikultur

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Pruning Akar untuk Meningkatkan Keberhasilan Infeksi Fungi
Ektomikoriza pada Bibit Melinjo (Gnetum gnemon) Umur 7
Bulan
Nama
: Hannum Wulan Febrianingrum
NIM
: E44090049

Disetujui oleh

Dr Ir Arum Sekar Wulandari, MS
Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS

Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei sampai dengan
Desember 2013 ini ialah ektomikoriza, dengan judul Pruning Akar untuk
Meningkatkan Keberhasilan Infeksi Fungi Ektomikoriza pada Bibit Melinjo
(Gnetum gnemon) Umur 7 Bulan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Arum Sekar Wulandari, MS
yang telah membimbing penulis dalam kegiatan akademik maupun non akademik,
Bapak Ir Siswoyo, MSi selaku dosen penguji dan Bapak Dr Ir Omo Rusdiana,
MSc selaku ketua sidang komprehensif. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada Riri dan Arta teman seperjuangan, saudara Silvikultur 46 dan
keluarga besar Silvikultur yang telah membantu selama pengumpulan data,
menyumbang semangat dan menerima keluh kesah penulis. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, kakak serta seluruh keluarga dan

sahabat, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2014
Hannum Wulan Febrianingrum

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN

vi
vi
1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah


2

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

METODE

3

Waktu dan Tempat Penelitian

3

Bahan dan Alat


3

Prosedur Penelitian

3

Analisis Data

5

Hipotesis

5

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan
SIMPULAN DAN SARAN


6
6
10
12

Simpulan

12

Saran

12

DAFTAR PUSTAKA

13

RIWAYAT HIDUP

15


DAFTAR TABEL
1. Rekapitulasi hasil analisis ragam data pertumbuhan bibit melinjo
dengan perlakuan pruning akar dan sumber inokulum pada bulan ke-5
dan ke-6 pengamatan
6
2. Pertumbuhan bibit melinjo dengan perlakuan pruning akar pada bulan
ke-5 dan ke-6 pengamatan
7
3. Korelasi antara pruning akar dan pertumbuhan bibit melinjo pada bulan
ke-6 pengamatan
8
4. Pertumbuhan bibit melinjo dengan perlakuan sumber inokulum
ektomikoriza pada bulan ke-5 dan ke-6 pengamatan
9
5. Rekapitulasi hasil analisis ragam tingkat kolonisasi ektomikoriza pada
bibit melinjo dengan perlakuan pruning akar dan sumber inokulum
ektomikoriza pada bulan ke-6 pengamatan
10
6. Persentase akar dan bibit melinjo terinfeksi berdasarkan tingkat pruning

akar pada bulan ke-6 pengamatan
10
7. Persentase akar dan bibit melinjo terinfeksi berdasarkan sumber
inokulum pada bulan ke-6 pengamatan
10

DAFTAR GAMBAR
1. Sistem percabangan akar pada bibit melinjo: percabangan alami pada
bibit tanpa pruning akar (a), percabangan akar baru akibat pruning akar
bercabang 2 (b), percabangan akar baru akibat pruning akar bercabang
4 (c)
8

2. Performansi pertumbuhan bibit melinjo akibat kegiatan pruning akar,
bibit melinjo pada pengamatan bulan ke-5 (a), bibit melinjo
pengamatan bulan ke-6 (b)
8

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Ektomikoriza merupakan struktur yang terbentuk karena asosiasi fungi
mikoriza dengan akar tumbuhan, sehingga permukaan akar terbentuk selubung
jalinan hifa fungi (Indriyanto 2008). Hasil interaksi simbiosis mutualistik antara
akar tanaman dan fungi ektomikoriza saling memberikan manfaat. Fungi
ektomikoriza mampu (1) meningkatkan serapan hara P (fosfor) dan N (nitrogen)
(Bechem dan Alexander 2012) yang diperlukan oleh tanaman, dapat merubah P
dalam bentuk tidak tersedia yang terikat dengan senyawa komplek Al
(aluminium) maupun Fe (besi) menjadi bentuk tersedia melalui kemampuannya
menghasilkan agen kelat seperti oksalat, unsur P dalam bentuk tidak tersedia juga
dapat dirubah oleh enzim fosfatase yang dihasilkan fungi mikoriza menjadi
bentuk tersedia dengan mendorong laju pelapukan (Smith dan Read 2008); (2)
menghasilkan beberapa zat pengatur tumbuh seperti auksin atau IAA (Indol
Acetic Acid), sitokinin, giberelin, dan vitamin yang bermanfaat untuk inangnya
(Tranvan et al. 2000, Allen et al. 2003); (3) meningkatkan toleransi tanaman
terhadap toksisitas logam berat (Jonnarth et al. 2004); (4) meningkatkan laju
serapan nutrisi dan penyerapan air (Brundrett et al. 1996). Tanaman memberikan
karbohidrat dan relung ekologi khusus yang penting untuk pertumbuhan dan
perkembangan fungi termasuk penyempurnaan siklus seksual yang diperlukan
oleh fungi (Ohta dan Fujiwara 2003). Selain manfaat yang didapat oleh fungi
ektomikoriza dan tanaman inang, manfaat ekologis dari keberadaan simbiosis
tersebut adalah adanya siklus nutrisi dan perbaikan struktur tanah (Brundrett et al.
1996). Fungi ektomikoriza banyak dijumpai di alam berasosiasi dengan berbagai
pohon kehutanan di antaranya meranti, pinus, eukaliptus, merbau, kayu putih,
saninten, akasia dan melinjo (Mansur 2010).
Melinjo (Gnetum gnemon) merupakan salah satu jenis tanaman yang
multiguna. Biji melinjo bisa diolah menjadi bahan makanan, kulit melinjo
memiliki kandungan senyawa antimikroba, zat pewarna alami yang aman
digunakan untuk makanan, dan enzim pensintesis asam urat (Wulandari et al.
2012). Melinjo termasuk famili Gnetaceae yang diketahui membentuk asosiasi
dengan fungi ektomikoriza tetapi kajian tentang hal tersebut masih sedikit
dilakukan (Wulandari 2002, Riniarti 2010). Asosiasi ektomikoriza pada melinjo
dapat terjadi secara alami, tetapi ketersediaan bibit berektomikoriza masih sangat
sedikit sehingga diperlukan penyediaan bibit melalui inokulasi buatan untuk
menghasilkan bibit melinjo bermutu baik, karena penampakan fisik bibit
berektomikoriza umumnya lebih kekar (vigor), tumbuh lebih cepat, dan mudah
beradaptasi dengan kondisi lingkungan penanaman yang baru (Jones et al. 2003).
Keberhasilan aplikasi ektomikoriza pada tanaman kehutanan ditentukan
oleh beberapa faktor, salah satunya adalah aplikasi teknologi inokulasi yang
sesuai (Riniarti 2010). Inokulasi bibit dengan fungi ektomikoriza yang dilakukan
pada bibit muda akan menghasilkan bibit dengan kolonisasi yang tinggi (Krüger
et al. 2004), karena hifa fungi menginfeksi akar lateral yang masih muda pada
zona infeksi mikoriza (Balasubramanian et al. 2002). Inokulasi fungi
ektomikoriza hanya bisa dilakukan pada saat penyapihan (Mansur 2010).

2
Inokulasi yang dilakukan pada bibit berumur 16 bulan menghasilkan jumlah bibit
terinfeksi sebesar 40% (Wulandari 2002). Jaringan akar yang sudah banyak yang
berkayu kemungkinan besar menjadi faktor penyebab kecilnya persentase bibit
melinjo yang terinfeksi oleh ektomikoriza. Oleh karena itu diperlukan akar lateral
muda untuk meningkatkan persentase bibit melinjo yang terinfeksi.
Metode pruning (pemangkasan) akar dapat meningkatkan tumbuhnya akarakar lateral baru (Pourmajidian et al. 2009). Tumbuhnya akar lateral akibat
pruning diharapkan dapat meningkatkan infeksi fungi ektomikoriza, sehingga
pruning akar dapat diterapkan pada bibit tanaman kehutanan yang sudah tua.
Perlakuan pruning akar yang dikombinasikan dengan inokulasi fungi
ektomikoriza pada bibit melinjo umur 7 bulan berpengaruh nyata terhadap
persentase tanaman terinfeksi, persentase kolonisasi akar, jumlah akar yang
bercabang dan banyaknya percabangan akar; tetapi tidak berpengaruh nyata
terhadap pertumbuhan tinggi, dan biomassa bibit melinjo selama 4 bulan
pengamatan (Wulandari et al. 2013). Berdasarkam hasil penelitian tersebut, maka
dilakukan penelitian lanjutan dengan menambah waktu pengamatan menjadi 6
bulan.
Perumusan Masalah
Inokulasi bibit dengan fungi ektomikoriza sebaiknya dilakukan pada saat
bibit masih muda. Hal ini karena jaringan akar pada bibit muda masih belum
berkayu, sehingga memudahkan fungi ektomikoriza melakukan penetrasi ke
dalam jaringan akar. Bibit yang terinfeksi fungi ektomikoriza memiliki keragaan
dan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan bibit yang tidak terinfeksi
fungi ektomikoriza. Oleh karena itu, perlu dicari metode yang dapat
meningkatkan keberhasilan kolonisasi ektomikoriza pada bibit melinjo berumur 7
bulan untuk mendapatkan bibit melinjo yang berkualitas. Pruning (pemangkasan)
akar pada bibit melinjo (selama 4 bulan pengamatan) sudah meningkatkan
keberhasilan kolonisasi ektomikoriza tetapi kolonisasi ektomikoriza yang
terbentuk belum dapat meningkatkan pertumbuhan bibit melinjo (Wulandari et al.
2013). Kolonisasi ektomikoriza yang efektif terhadap pertumbuhan membutuhkan
waktu 10 sampai 12 bulan inokulasi (Santoso et al. 2007) sehingga diperlukan
penelitian lanjutan dengan menambah waktu pengamatan menjadi 6 bulan
(pengamatan difokuskan pada bulan ke-5 dan ke-6).

Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk menerapkan pruning akar untuk meningkatkan
keberhasilan infeksi fungi ektomikoriza dan pertumbuhan bibit melinjo umur 7
bulan setelah 6 bulan pengamatan.

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini yaitu diperolehnya tingkat pruning akar yang
tepat pada bibit melinjo umur 7 bulan yang dapat meningkatkan keberhasilan

3
infeksi fungi ektomikoriza dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan bibit melinjo
pada bulan ke-5 dan ke-6 pengamatan.

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama 7 bulan, dari bulan Mei sampai dengan
Desember 2013. Penelitian dilaksanakan di laboratorium dan rumah kaca
Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB.

Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini ialah bibit melinjo umur 7
bulan, bibit melinjo yang telah terinfeksi ektomikoriza, dan inokulum tanah yang
mengandung miselium fungi ektomikoriza sebagai sumber inokulum. Media
tanam (campuran tanah, pasir, kompos, dan arang sekam), fungisida (bahan aktif
mankozeb 64% dan mefenoksam 4%) dengan konsentrasi 0.05% dan bakterisida
(bahan aktif streptomisin sulfat 20%) dengan konsentrasi 0.01% sebagai bahan
sterilisasi akar. Alat yang digunakan ialah polibag, autoklaf, timbangan ketelitian
0.01 g, gunting, penggaris, kaliper digital ketelitian 0.01 mm, mikroskop dan alat
dokumentasi.
Prosedur Penelitian
Persiapan Bahan
Persiapan Media Tanam. Media tanam yang digunakan ialah campuran
tanah, pasir, kompos, dan arang sekam. Masing-masing bahan untuk campuran
media disterilisasi terlebih dahulu dengan autoklaf dengan suhu 121 0C, tekanan 1
atm selama 1 jam. Tanah, pasir, dan kompos dengan perbandingan 1:1:1 (v/v/v)
dicampur terlebih dahulu. Media yang telah tercampur, kemudian ditambahkan
arang sekam dengan perbandingan media:arang sekam = 9:1 (v/v).
Persiapan Bahan Tanaman. Bibit yang digunakan dalam penelitian ini
ialah bibit melinjo umur 7 bulan yang diperoleh dari penjual bibit di Ciapus,
Bogor. Bibit melinjo yang digunakan diasumsikan memiliki performansi yang
seragam. Perakaran bibit dicuci bersih dengan air mengalir selama 1 jam.
Perakaran bibit diperiksa di bawah mikroskop untuk melihat infeksi fungi
ektomikoriza yang terbawa dari lapangan. Bibit yang sudah terinfeksi fungi
ektomikoriza tidak digunakan. Bibit kemudian direndam dalam larutan fungisida
(bahan aktif: mefenoksan 4% dan mankozeb 64%) dengan konsentrasi 0.05%
selama 15 menit, selanjutnya dengan larutan bakterisida (bahan aktif streptomisin
sulfat 20%) dengan konsentrasi 0.01% selama 15 menit. Perendaman bertujuan
untuk mematikan inokulum yang kemungkinan masih terbawa pada bibit. Bibit
direndam dalam air selama 1 minggu untuk menghilangkan pengaruh fungisida

4
dan bakterisida. Akar bibit dipangkas akarnya dengan intensitas 0%, 30% dan
50% sebagai perlakuan.
Inokulasi Fungi Ektomikoriza. Fungi ektomikoriza yang digunakan ialah
Scleroderma spp. Inokulum yang digunakan berupa bibit melinjo berektomikoriza
dengan persentase kolonisasi sebesar 5075% dan inokulum tanah yang
mengandung miselium ektomikoriza dengan dosis 5 g/bibit. Media tanam
dimasukkan ke dalam polibag dan disiram dengan air sampai jenuh. Bibit melinjo
dipindahkan ke dalam polibag tersebut dan diinokulasi dengan cara meletakkan
inokulum fungi di dekat perakaran bibit melinjo. Sebagai kontrol, bibit tidak
diinokulasi dengan fungi ektomikoriza.
Pengamatan dan Pengambilan Data
Tinggi Bibit (cm). Pengukuran tinggi tanaman dilakukan dengan
menggunakan penggaris. Bibit diukur mulai dari leher akar (batas antara batang
dengan akar di atas permukaan tanah) hingga pucuk. Pengukurannya dilakukan 2
minggu sekali, mulai dari awal penanaman hingga akhir pengamatan, selama 6
bulan pengamatan.
Diameter Batang (mm). Pengukuran diameter batang dilakukan dengan
menggunakan kaliper dengan jarak 1–2 cm di atas leher akar. Pengukuran
dilakukan 6 minggu sekali, selama 6 bulan pengamatan. Bagian batang terukur
ditandai dengan selotip untuk menghindari kesalahan pengukuran.
Biomassa Akar dan Pucuk (g). Perhitungan biomassa dilakukan dengan
mengukur berat basah dan berat kering akar dan pucuk. Pengambilan data ini
dilakukan pada bulan ke-5 dan ke-6 pengamatan. Pengukuran berat basah dan
kering pada akar dan pucuk dilakukan dengan cara memisahkan tanaman dari
media tanam, kemudian akar dicuci dari kotoran yang menempel. Setelah bersih
bagian akar dan pucuk dipisahkan. Pucuk dan akar kemudian ditimbang berat
basahnya menggunakan neraca. Berat basah total diperoleh dengan cara
menjumlahkan berat basah pucuk dan akar. Pucuk dan akar dikeringkan dalam
oven pada suhu 70 0C selama 120 jam, kemudian ditimbang menggunakan neraca
untuk mendapatkan berat keringnya. Berat kering total diperoleh dengan cara
menjumlahkan berat kering pucuk dan akar.
Nisbah Pucuk Akar (NPA). Nisbah pucuk akar ditentukan dengan
membandingkan bobot kering pucuk dengan bobot kering akar pada bibit melinjo
pada bulan ke-5 dan ke-6 pengamatan.
NPA = Berat Kering Pucuk (g)
Berat Kering Akar (g)

Pengamatan Akar. Pengamatan dilakukan dengan memisahkan akar bibit
dengan media tanam, kemudian pengamatan dilakukan dengan bantuan kaca
pembesar dan mikroskop. Pemeriksaan dilakukan pada bulan ke-5 dan ke-6
pengamatan. Pemeriksaan akar dilakukan untuk mengetahui persentase kolonisasi
ektomikoriza, pertumbuhan akar setelah pruning, dan jumlah bibit yang terinfeksi.
Pertumbuhan akar setelah pruning diamati melalui peubah jumlah akar yang
bercabang akibat pruning, banyak cabang baru yang terbentuk, berat basah akar

5
dan berat kering akar. Persentase kolonisasi ektomikoriza dan bibit terinfeksi
dihitung dengan menggunakan rumus:
ersentase olonisasi mi oriza

ersentase bibit terinfe si

umlah a ar lateral terinfe si mi oriza
umlah seluruh a ar lateral
umlah bibit terinfe si
umlah seluruh bibit yang diamati
Analisis Data

Percobaan dilakukan dengan menggunakan rancangan petak terbagi.
Sumber inokulum ektomikoriza sebagai petak utama yang terdiri atas 3 taraf
yaitu: kontrol, bibit berektomikoriza dan inokulum tanah. Tingkat pruning akar
sebagai anak petak yang terdiri atas 3 taraf yaitu: 0%, 30%, dan 50%. Masingmasing perlakuan diulang sebanyak 3 ulangan, 1 ulangan terdiri atas 12 bibit
melinjo. Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis menggunakan
analisis ragam (ANOVA), apabila berpengaruh nyata akan dilanjutkan dengan uji
selang berganda Duncan pada taraf kesalahan 5%. Analisis data dilakukan dengan
menggunakan software SAS versi 9.1.3 portable. Analisis korelasi dilakukan
untuk melihat hubungan antara pruning akar dengan kolonisasi ektomikoriza
maupun pertumbuhan bibit. Model rancangan percobaan yang digunakan ialah:
ij

Yijk
µ
αi
βj
(αβ
δik
ijk

i
j
k

ij

i

i

j

ij

ij

= Nilai pengamatan pada faktor sumber inokulum taraf ke-i, faktor
tingkat pruning akar taraf ke-j, dan ulangan ke-k
= Nilai tengah (rataan) umum
= Pengaruh perlakuan sumber inokulum pada taraf ke-i
= Pengaruh perlakuan taraf pruning akar pada taraf ke-j
= Pengaruh interaksi antara perlakuan sumber inokulum pada taraf
ke-i dan pruning akar pada taraf ke-j
= Galat acak dari perlakuan sumber inokulum pada taraf ke-i dan
ulangan ke-k
= Galat acak percobaan
= Taraf sumber inokulum (kontrol, bibit berektomikoriza,
inokulum tanah)
= Taraf pruning akar (0%, 30%, 50%)
= Ulangan (1, 2, 3)
Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. H0 = Pruning akar tidak dapat meningkatkan kolonisasi fungi ektomikoriza
pada akar bibit melinjo.
H1 = Pruning akar dapat meningkatkan kolonisasi fungi ektomikoriza pada
akar bibit melinjo.

6
2. H0 = Pruning akar tidak dapat meningkatkan pertumbuhan pada bibit melinjo.
H1 = Pruning akar dapat meningkatkan pertumbuhan pada bibit melinjo.
Apabila nilai F hitung > F tabel maka tolak H0, sedangkan jika nilai F
hitung < F tabel maka terima H0.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Analisis Ragam Data Pertumbuhan Bibit Melinjo dengan Perlakuan Pruning
Akar dan Sumber Inokulum Ektomikoriza
Pengamatan pertumbuhan bibit melinjo dilakukan pada bulan ke-5 dan ke-6
setelah perlakuan. Analisis ragam dilakukan pada data pengukuran bulan ke-5 dan
ke-6 pengamatan. Analisis ragam digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya
pengaruh nyata terhadap peubah yang diamati. Pertumbuhan bibit melinjo yang
diamati meliputi perkembangan akar, pertumbuhan tajuk bibit dan nisbah pucuk
akar.
Tabel 1 Rekapitulasi hasil analisis ragam data pertumbuhan bibit melinjo dengan
perlakuan pruning akar dan sumber inokulum pada bulan ke-5 dan ke-6
pengamatan
Pengamatan Pruning Inokulum
KK
Peubah
PxI
(bulan)
akar (P)
(I)
(%)
Perkembangan akar bibit
Jumlah
akar
yang
5
**
tn
tn
14.80
bercabang
6
**
tn
tn
21.86
Banyaknya cabang baru
5
**
tn
tn
30.58
6
**
tn
tn
25.48
5
*
tn
tn
13.46
-1
BB akar (g tanaman )
6
*
tn
tn
22.65
5
*
tn
tn
14.71
BK akar (g tanaman-1)
6
*
tn
tn
16.49
Pertumbuhan tajuk bibit
5
tn
tn
tn
15.70
Tinggi bibit (cm)
6
tn
tn
tn
23.43
5
tn
*
tn
7.51
Diameter batang (mm)
6
*
tn
tn
7.69
5
*
tn
tn
14.32
-1
BB pucuk (g tanaman )
6
*
tn
tn
18.88
5
*
tn
tn
10.90
-1
BK pucuk (g tanaman )
6
*
tn
tn
19.07
5
tn
tn
tn 12.08
Nisbah pucuk akar
6
tn
tn
tn
27.29
tn: tidak berbeda nyata, *: berbeda nyata pada taraf uji 5%, **: berbeda sangat nyata pada taraf uji
1%, BB: berat basah, BK: berat kering, KK: koefisien keragaman.

7
Tabel 1 memperlihatkan bahwa perlakuan pruning akar pada bibit melinjo
memberikan pengaruh pada peubah yang diamati. Perlakuan sumber inokulum
hanya berpengaruh nyata pada peubah diameter batang pada bibit melinjo bulan
ke-5 pengamatan. Tidak terdapat interaksi antara pruning akar dan sumber
inokulum terhadap perkembangan akar dan pertumbuhan tajuk bibit melinjo pada
bulan ke-5 dan ke-6 pengamatan.
Pertumbuhan Bibit Melinjo dengan Perlakuan Pruning Akar dan Sumber
Inokulum
Pengaruh perlakuan pruning akar terhadap perkembangan akar bibit dan
pertumbuhan tajuk bibit dengan berbagai tingkat pruning akar memperlihatkan
pengaruh nyata pada beberapa peubah yang diamati. Perlakuan pruning akar
memberikan pengaruh sangat nyata pada peubah jumlah akar yang bercabang
akibat kegiatan pruning akar dan banyaknya cabang baru yang terbentuk pada
bibit melinjo pada bulan ke-5 dan ke-6 pengamatan. Perlakuan pruning akar
memberikan pengaruh nyata pada peubah berat basah dan berat kering akar serta
berat basah dan berat kering pucuk pada bibit melinjo, tetapi perlakuan pruning
akar tidak berpengaruh nyata pada peubah tinggi, diameter dan nisbah pucuk akar
pada bibit melinjo. Pengaruh perlakuan pruning akar terhadap pertumbuhan bibit
melinjo pada bulan ke-5 dan ke-6 pengamatan ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Pertumbuhan bibit melinjo dengan perlakuan pruning akar pada bulan ke5 dan ke-6 pengamatan
Peubah

Pengamatan
(bulan)

Tingkat pruning akar (%)#
0
30
50

Perkembangan akar bibit
Jumlah akar yang bercabang
Banyaknya cabang baru
BB akar (g tanaman-1)
BK akar (g tanaman-1)

5
6
5
6
5
6
5
6

0.71b
0.77b
0.71b
0.81b
1.34b
1.57b
0.91b
1.09b

2.19a
1.84a
1.49a
1.97a
1.58ab
2.26a
1.09ab
1.46a

1.97a
1.99a
1.55a
1.71a
1.77a
1.88ab
1.18a
1.26ab

5
6
5
6
5
6
5
6
5
6

2.34a
2.75a
1.03a
1.00b
2.24b
2.33b
1.27b
1.47b
1.40a
3.17a

2.52a
2.91a
1.06a
1.10a
2.56ab
3.58a
1.51a
2.31a
1.41a
3.25a

2.24a
2.76a
1.04a
1.04ab
2.96a
3.04ab
1.60a
1.82ab
1.42a
2.69a

Pertumbuhan tajuk bibit
Tinggi bibit (cm)
Diameter batang (mm)
BB pucuk (g tanaman-1)
BK pucuk (g tanaman-1)
Nisbah pucuk akar

BB: berat basah, BK: berat kering, # angka-angka pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji 5% (uji jarak berganda Duncan).

8
Pruning akar yang dilakukan pada bibit melinjo memberikan hasil berbeda
nyata pada peubah pertumbuhan akar, tetapi belum memberikan hasil berbeda
nyata pada pertumbuhan tinggi dan diameter tajuk. Meskipun nilai pertumbuhan
tinggi dan diameter tidak berbeda nyata, nilai biomassa tajuk bibit melinjo
menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Hal tersebut karena pertumbuhan biit
melinjo akibat kegiatan pruning akar tidak selalu ke arah tinggi dan diameter,
tetapi juga bisa ke pertumbuhan cabang dan daun yang mempengaruhi nilai
biomassa tajuk. Kegiatan pruning akar memberikan perubahan pada bentuk akar
bibit. Terdapat akar yang bercabang setelah dipruning dan memiliki percabangan
baru. Hal tersebut ditunjukkan pada Gambar 1. Performansi bibit melinjo akibat
kegiatan pruning akar ditunjukkan pada Gambar 2.

a

b

c

Gambar 1 Sistem percabangan akar pada bibit melinjo: percabangan alami pada
bibit tanpa pruning akar (a), percabangan akar baru akibat pruning akar
bercabang 2 (b), percabangan akar baru akibat pruning akar bercabang 4
(c)

a

b

Gambar 2 Performansi pertumbuhan bibit melinjo akibat kegiatan pruning akar, bibit
melinjo pada pengamatan bulan ke-5 (a), bibit melinjo pengamatan bulan
ke-6 (b)
Tabel 3 Korelasi antara pruning akar dan pertumbuhan bibit melinjo pada bulan
ke-6 pengamatan
Peubah
Uji F
Koefisien korelasi (r)
Pertumbuhan tinggi bibit (cm)
tn
0.169
Pertumbuhan diameter batang (mm)
tn
0.145
-1
Berat kering akar (g tanaman )
tn
0.596
Berat kering pucuk (g tanaman-1)
tn
0.630
tn: tidak berbeda nyata.

9
Korelasi positif antara tingkat pruning akar dengan pertumbuhan tinggi
bibit ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3 menunjukkan bahwa tingginya tingkat
pruning akar juga diikuti oleh pertumbuhan tinggi bibit melinjo dengan korelasi
sangat rendah, pertumbuhan diameter batang dengan korelasi sangat rendah, berat
kering akar dengan korelasi sedang dan berat kering pucuk dengan korelasi kuat.
Tabel 4 Pertumbuhan bibit melinjo dengan perlakuan sumber inokulum
ektomikoriza pada bulan ke-5 dan ke-6 pengamatan

Peubah
Perkembangan akar bibit
Jumlah akar yang
bercabang
Banyaknya cabang baru
BB akar (g tanaman-1)
BK akar (g tanaman-1)

Sumber inokulum#

Pengamatan
(bulan)

Kontrol

Bibit
berimikoriza

5
6
5
6
5
6
5
6

1.78a
1.57a
1.22a
1.37a
1.68a
2.03a
1.06a
1.39a

1.48a
1.47a
1.29a
1.60a
1.64a
1.79a
1.12a
1.23a

1.61a
1.56a
1.23a
1.51a
1.37a
1.89a
1.01a
1.19a

5
6
5
6
5
6
5
6
5
6

2.24a
2.66a
1.10b
1.09a
2.59a
2.99a
1.55a
1.87a
1.53a
2.32a

2.68a
3.00a
0.99b
1.03a
2.70a
3.15a
1.53a
1.87a
1.39a
3.56a

2.18a
2.75a
1.03ab
1.02a
2.46a
2.80a
1.31a
1.86a
1.31a
3.23a

Inokulum
tanah

Pertumbuhan tajuk bibit
Tinggi bibit (cm)
Diameter batang (mm)
BB pucuk (g tanaman-1)
BK pucuk (g tanaman-1)
Nisbah pucuk akar

BB: berat basah, BK: berat kering, #: angka-angka pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji 5% (uji jarak berganda Duncan).

Tabel 4 memperlihatkan pengaruh perlakuan sumber inokulum
ektomikoriza terhadap pertumbuhan bibit melinjo secara umum tidak memberikan
pengaruh nyata, tetapi pada peubah diameter bibit melinjo pengamatan bulan ke-5
memberikan pengaruh nyata. Bibit melinjo kontrol (tanpa inokulasi fungi
etomikoriza) memiliki nilai diameter yang lebih baik daripada bibit melinjo yang
diinokulasi fungi ektomikoriza.
Tingkat Kolonisasi Ektomikoriza berdasarkan Tingkat Pruning Akar dan
Sumber Inokulum
Tingkat kolonisasi ektomikoriza terdiri atas peubah persentase akar bibit melinjo
terinfeksi dan persentase bibit melinjo terinfeksi. Tabel 5 memperlihatkan bahwa
perlakuan pruning akar dan sumber inokulum berpengaruh nyata terhadap

10
persentase akar melinjo terinfeksi pada bulan ke-6 pengamatan tetapi tidak ada
interaksi antara perlakuan pruning akar dan sumber inokulum terhadap tingkat
kolonisasi ektomikoriza.
Tabel 5 Rekapitulasi hasil analisis ragam tingkat kolonisasi ektomikoriza pada
bibit melinjo dengan perlakuan pruning akar dan sumber inokulum
ektomikoriza pada bulan ke-6 pengamatan
Pruning
Inokulum
PxI
KK
Peubah
akar (P)
(I)
(%)
Persentase akar terinfeksi (%)
*
*
tn
31.87
Persentase bibit terinfeksi (%)
*
*
tn
28.07
tn: tidak berbeda nyata, *: berbeda nyata pada taraf uji 5%.

Tabel 6 memperlihatkan bahwa perlakuan tingkat pruning akar memberikan
pengaruh nyata pada persentase akar bibit melinjo terinfeksi. Pruning akar pada
tingkat pruning akar 30% dan 50% memberikan pengaruh yang sama terhadap
persentase akar melinjo terinfeksi dan persentase bibit melinjo terinfeksi.
Tabel 6 Persentase akar dan bibit melinjo terinfeksi berdasarkan tingkat pruning
akar pada bulan ke-6 pengamatan
Tingkat pruning akar (%)
Peubah
Uji F
0
30
50
Persentase akar terinfeksi (%)
*
16.08b
27.66a
31.84a
Persentase bibit terinfeksi (%)
*
50.00b
69.44a
69.44a
*: berbeda nyata pada taraf uji 5%, #: angka-angka pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji 5% (uji jarak berganda Duncan).

Tabel 7 memperlihatkan bahwa perlakuan sumber inokulum memberikan
pengaruh sangat terhadap persentase akar bibit melinjo. Pemberian sumber
inokulum bibit berektomikoriza dan sumber inokulum tanah memberikan
pengaruh yang sama terhadap persentase akar melinjo terinfeksi dan persentase
bibit melinjo terinfeksi.
Tabel 7

Persentase akar dan bibit melinjo terinfeksi berdasarkan sumber
inokulum pada bulan ke-6 pengamatan
Sumber inokulum
Uji
Peubah
Bibit
Inokulum
F
Kontrol
berektomikoriza
tanah
Persentase akar terinfeksi (%)
*
10.66b
30.14a
34.79a
Persentase bibit terinfeksi (%)
*
27.78b
80.56a
80.56a

*: berbeda nyata pada taraf uji 5%, #: angka-angka pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji 5% (uji jarak berganda Duncan).

Pembahasan
Pruning akar dapat merangsang pertumbuhan akar lateral pada bibit melinjo
umur 7 bulan (Wulandari et al. 2013) dan 2 bulan (Pamujianto 2014). Akar

11
lateral membentuk percabangan akar baru karena akumulasi hormon auksin
(Tranvan et al. 2000). Pada akar yang dipruning, konsentrasi hormon sitokinin
menurun menyebabkan transportasi hormon auksin dari meristem apikal menuju
akar berjalan lancar dan merangsang pertumbuhan akar lateral (Campbell et al.
2003; Allen et al. 2003). Akar lateral baru yang terbentuk membantu bibit melinjo
dalam penyerapan nutrisi yang digunakan untuk pertumbuhan bibit melinjo dan
perkembangan akar. Adanya penambahan jumlah akar yang bercabang dan
banyaknya cabang baru yang terbentuk akibat pruning akar berpengaruh pada
biomassa akarnya.
Pruning akar pada bibit melinjo umur 7 bulan tidak memberikan pengaruh
nyata terhadap pertumbuhan tinggi dan biomassa tanaman selama 4 bulan
pengamatan (Wulandari et al. 2013). Hal ini karena pruning akar dapat
menimbulkan kondisi stres air pada tanaman (Setiadi 2009) sehingga nutrisi yang
diserap tanaman hanya digunakan untuk pemulihan tanaman dari kondisi stres air
agar dapat bermetabolisme secara normal. Penambahan waktu pengamatan selama
2 bulan menunjukkan bahwa secara umum perlakuan pruning akar memberikan
pengaruh nyata pada perkembangan akar dan biomassa bibit melinjo. Nutrisi
yang diserap oleh akar bibit melinjo sudah digunakan untuk pertumbuhan akar
dan biomassa akar. Penyerapan nutrisi juga dibantu dengan adanya penambahan
cabang akar baru.
Tingkat pruning akar 30% dan tingkat pruning akar 50% pada akar bibit
melinjo menghasilkan pengaruh yang sama terhadap jumlah akar yang bercabang
dan banyaknya cabang baru yang terbentuk karena pengaruh hormon. Banyaknya
cabang baru yang terbentuk akibat pruning akar mempengaruhi nilai biomassa
akar. Tingkat pruning akar 30 % dan 50% memiliki nilai berat basah yang lebih
tinggi daripada nilai berat basah akar pada bibit melinjo kontrol (tanpa pruning)
karena terdapat percabangan akar baru yang lebih banyak dan karakteristik cabang
akar baru yang lebih banyak menyimpan air. Bibit melinjo kontrol (tanpa pruning)
memiliki nilai biomassa yang lebih kecil karena jumlah akarnya lebih sedikit
dibandingkan dengan jumlah akar bibit yang dipruning.
Nisbah pucuk akar digunakan untuk mengetahui kualitas bibit (Darwo dan
Sugiarti 2008). Nisbah pucuk akar bibit melinjo yang diberi perlakuan pruning
akar tidak berbeda nyata dengan bibit kontrol dengan kisaran nilai 1.40 sampai
3.25. Hal ini berarti kegiatan pruning akar tidak memberikan pengaruh nyata
terhadap pertumbuhan. Menurut Barnett (1984), pertumbuhan dan kemampuan
hidup semai yang baik memiliki nilai nisbah pucuk akar 1 sampai 3. Pada bibit
melinjo yang akarnya dipruning, pertumbuhan akar baru diikuti dengan
pertumbuhan tajuk, hal ini dapat dilihat dari nilai biomassa pucuk bibit melinjo
dengan perlakuan pruning akar lebih baik daripada nilai biomassa pucuk bibit
melinjo kontrol (tanpa pruning).
Teknik inokulasi fungi ektomikoriza yang digunakan adalah inokulasi
dengan bibit melinjo yang bermikoriza dan inokulasi dengan menggunakan
inokulum tanah. Jenis ektomikoriza yang digunakan adalah Scleroderma spp.
Secara umum perlakuan sumber inokulum tidak berpengaruh nyata terhadap
perkembangan akar bibit dan pertumbuhan tajuk bibit. Pengaruh nyata
ditunjukkan pada peubah diameter bibit pada pengamatan bulan ke-5, bibit
kontrol memiliki diameter yang lebih tinggi dari pada bibit melinjo yang diberi
perlakuan inokulasi fungi ektomikoriza. Nilai diameter yang paling rendah

12
ditunjukkan oleh bibit melinjo yang diinokulasi dengan bibit berektomikoriza.
Penanaman dua bibit melinjo umur 7 bulan dalam satu polibag kemungkinan
mengakibatkan adanya persaingan nutrisi, sehingga pertumbuhan salah satu bibit
melinjo menjadi tertekan.
Pruning akar dan sumber inokulum ektomikoriza memberikan pengaruh
nyata pada tingkat kolonisasi ektomikoriza. Pruning akar merangsang
pertumbuhan akar lateral baru. Akar lateral baru akan mengundang aktivitas
mikroba (Gardner et al. 1991); meningkatkan luas permukaan akar yang kontak
langsung dengan fungi ektomikoriza dan memudahkan fungi ektomikoriza untuk
menginfeksi (Balasubramanian et al. 2002), karena ektomikoriza hanya dapat
menginfeksi jaringan akar yang masih muda (Tranvan et al. 2000). Pruning akar
30% dan 50% mampu meningkatkan tingkat kolonisasi ektomikoriza pada bibit
melinjo. Inokulasi fungi ektomikoriza dengan inokulasi fungi ektomikoriza juga
berpengaruh nyata pada tingkat kolonisasi ektomikoriza. Penggunaan inokulum
tanah yang mengandung miselium fungi ektomikoriza lebih efektif dalam
meningkatkan tingkat kolonisasi ektomikoriza pada bibit melinjo. Hal ini
disebabkan miselium yang terkandung dalam tanah bisa melakukan kontak
langsung dengan akar bibit melinjo. Tingkat kolonisasi ektomikoriza dengan
inokulasi bibit berektomikoriza lebih kecil karena kemungkinan adanya nutrisi
yang kurang memenuhi dalam polibag yang berukuran kecil. Bibit melinjo dengan
sumber inokulum bibit berektomikoriza kemungkinan saling memanfaatkan
nutrisi yang tersedia dalam polibag tersebut. Ektomikoriza juga membutuhkan
nutrisi untuk mendukung pertumbuhannya pada tahap awal infeksi (Bertham
2011). Adanya ektomikoriza pada bibit melinjo pada pengamatan bulan ke-6
belum tentu membantu bibit melinjo dalam meningkatkan pertumbuhan, karena
terbentuknya kolonisasi ektomikoriza yang efektif membutuhkan waktu yang
lama yaitu 10 sampai 12 bulan (Santoso et al. 2007). Pada tahap awal inokulasi
umumnya sebagian besar hasil fotosintesis digunakan untuk mendukung
terbentuknya asosiasi ektomikoriza.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Tingkat pruning akar 30% dan 50% mampu meningkatkan kolonisasi fungi
ektomikoriza dan pertumbuhan bibit melinjo setelah 6 bulan perlakuan. Sumber
inokulum belum memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit melinjo
setelah 6 bulan perlakuan, tetapi dapat meningkatkan kolonisasi ektomikoriza.

Saran
Inokulasi fungi ektomikoriza tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit
melinjo. Hal ini diduga karena keterbatasan nutrisi. Untuk itu perlu dilakukan
penelitian lanjutan dengan memperhatikan faktor unsur hara yang tersedia dalam
polibag atau memindahkan bibit melinjo ke lapangan karena sudah siap tanam.

13

DAFTAR PUSTAKA
Allen MF, Swenson W, Querejeta JI, Egerton-Warburton LM, Treseder KK.
2003. Ecology of mycorrhizae: a conceptual framework for complex
interactions among plants and fungi. Annu Rev Phytopathol. 41:271-303.
doi:10.1146/annurev.phyto.41.052002.095518.
Balasubramanian S, Kim SJ, Podila GK. 2002. Differential expression of a malate
synthase gene during the preinfection stage of symbiosis in the
ectomychorrhizal fungus Laccaria bicolor. New Phytol. 154:517-527.
Barnett JP. 1984. Relating seedling physiology to survival and growth in
container-grown
Southern Pines. Di dalam: Duryea ML, Brown GN,
editor. Seedling Physiology and Reforestation Success. Forestry Sciences
Series 14. Proceedings of the Physiology Working Group Technical
Session, Society of American Foresters National Convention; 1983 Oct 1620; Portland, Oregon, USA. New York: Springer-Verlag. hlm 157-176.
Bechem EET, Alexander IJ. 2012. Phosphorus nutrition of ectomychorrhizal
Gnetum africanum plantlets from Cameroon. Plant Soil. 353:379-393. doi:
10.1007/s11104-011-1038-x.
Bertham RYH. 2011. Inokulasi ganda fungi mikoriza arbuskula dan rhizobium
lokal meningkatkan pertumbuhan dan hasil tiga varietas kedelai di ultisol,
Bengkulu, Indonesia. Di dalam: Budi SW, Turjaman M, Mardatin NF,
Nusantara AD, Trisilawati O, Sitepu IR, Wulandari AS, Riniarti M,
Setyaningsih L, editor. Percepatan Sosialisasi Teknologi Mikoriza untuk
Mendukung Revitalisasi Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan. Prosiding
Seminar Nasional Mikoriza II; 2007 Jul 17-21; Bogor, Indonesia. Bogor
(ID): Seameo Biotrop. hlm 11-44.
Brundrett M, Bougher N, Dell B, Grove T, Malajczuk N. 1996. Working with
mycorrhiza in forestry and agriculture. ACIAR Monograph 32. Canberra:
Australian Centre for International Agriculture Research.
Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 2003. Biologi. Manalu W, penerjemah.
Jakarta (ID): Erlangga. Terjemahan dari: Biology.
Darwo, Sugiarti. 2008. Pengaruh dosis serbuk spora cendawan Scleroderma
citrinum Persoon dn komposisi media terhadap pertumbuhan semai tusam di
persemaian. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam (5):461-472.
Gardner F, Pearce RB, Mitchell R. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Herawati
S, penerjemah; Subiyanto, editor. Jakarta (ID): Penerbit UI Press.
Terjemahan dari: Physiology of Crop Plants.
Indriyanto. 2008. Pengantar Budi Daya Hutan. Jakarta (ID): Bumi Aksara.
Jones MD, Durall DM, Cairney WG. 2003. Ectomycorrhizal fungal communities
at forest edges. New Phytol. 157:399-422.
Jonnarth UA, Roitto M, Markkola AM, Ranta H, Neuvonen S. 2004. Effects of
nickel and copper on growth and mycorrhiza of Scots pine seedlings
inoculated with Gremmeniella abietina. For Path. 34:337-348.
Krüger A, Berghöfer TP, Frettinger P, Herrmann S, Buscot F, Oelmüller R. 2004.
Identification of premycorrhiza-related plant genes in the association
between Quercus robur and Piloderma croceum. New Phytol. 163:149-157.
doi:10.1111/j.1469-8137.2004.01091.x.

14
Mansur I. 2010. Teknik Silvikultur Reklamasi Lahan Bekas Tambang. Bogor (ID):
Seameo Biotrop.
Ohta A, Fujiwara N. 2003. Fruit-body production of an ectomycorrhizal fungus in
genus
Boletus
in
pure
culture.
Mycoscience
44:295-300.
doi:10.1007/s10267-003-0120-5.
Pamujianto R. 2014. Pruning akar untuk meningkatkan kolonisasi ektomikoriza
pada bibit melinjo (Gnetum gnemon) umur 2 bulan [skripsi]. Bogor (ID):
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Pourmajidian MR, Ammi S, Taban M, Spahbodi K, Parsakhoo A. 2009. Effect of
the extent of root pruning on growth, biomass, and nutrient content of oak
(Quercus castaneifolia C.A.Mey,) seedlings. JABS 3(1):87-91.
Riniarti M. 2010. Dinamika kolonisasi 3 fungi ektomikoriza Scleroderma spp. dan
hubungannya dengan pertumbuhan tanaman inang [disertasi]. Bogor (ID):
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Santoso E, Turjaman M, Irianto RSB. 2007. Aplikasi mikoriza untuk
meningkatkan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan terdegradasi. Di dalam:
Siran AS, Bismark M, Samsoedin I, Suhaendi H, Pratiwi, Haryono,
Mardiah, editor. Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Alam. Prosiding
Ekspose Hasil-Hasil Penelitian; 2006 Sep 20; Padang, Indonesia. Bogor
(ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. hlm:71-80.
Setiadi Y. 2009. Reclamation and Forest Land Rehabilitation after Mining and
Oil Gas Operation. Bogor (ID): Green Earth Trainer.
Smith SE, Read DJ. 2008. Mychorrhizal Symbiosis. London (GB): Academic Pr.
Tranvan H, Habricot Y, Jeannette E, Gay G, Sotta B. 2000. Dynamic of symbiotic
establishment between an IAA-overproducing mutant of the
ectomychorrhizal fungus Hebeloma cylindrosporum and Pinus pinaster.
Tree Physiology 20:123-129.
Wulandari AS. 2002. Beberapa gatra biologi ektomikoriza Scleroderma pada
melinjo [disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Wulandari S, Subandi, Muntolib. 2012. Inhibisi xantin oksidase oleh ekstra etanol
kulit melinjo relatif terhadap allopurinol. Jurnal online Universutas Negeri
Malang [Internet].[diunduh 2013 Nov 15]. Tersedia pada: http://jurnalonline.um.ac.id/data/artikel/artikel5ECD9DCBF08E100E0ACA3C5AF4C0
7164.pdf.
Wulandari AS, Supriyanto, Febrianingrum HW. 2013. Pruning akar: teknik untuk
meningkatkan kolonisasi ektomikoriza pada akar melinjo. [editor tidak
diketahui]. Mikoriza untuk Membangun Kemandirian Pertanian dan
Pelestariam Lingkungan Hidup. Prosiding Seminar Nasional Mikoriza III;
2013 Nov 25-26; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Seameo Biotrop. hlm: 2122.

15

RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Hannum Wulan Febrianingrum dilahirkan di
Kediri pada 7 Februari 1991. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara
yang dibesarkan dengan kasih sayang oleh ibu bernama Anny Sumarno dan ayah
yang bernama Sumarno. Sebelum melanjutkan ke jenjang S1 di Institut Pertanian
Bogor dengan jalur USMI, penulis menempuh pendidikan di SMA Negeri 2 Pare.
Penulis aktif dalam kegiatan seni dan kegiatan lingkungan baik di
lingkungan kampus maupun di luar lingkungan kampus. Selama menjadi
mahasiswa, penulis aktif dalam divisi tari Gentra Kaheman, Bendahara Umum
TGC (Tree Grower Community), anggota Human Research and Development
TGC dan beberapa kepanitiaan kegiatan di dalam kampus maupun di luar
kampus. Penulis pernah melaksanakan kegiatan Praktik Pengenalan Ekosistem
Hutan di Cikeong-Tangkuban Perahu, kegiatan Praktik Pengelolaan Hutan di
Hutan Pendidikan Gunung Walat serta kegiatan Praktik Kerja Profesi sebagai staff
Enginer Environment Divisi Social Health and Environment di PT Arutmin
Indonesia Tambang Asam-Asam, Kalimantan Selatan. Dalam kegiatan akademik,
penulis juga aktif sebagai koordinator praktikum dan asisten praktikum mata
kuliah Silvika, Ekologi Hutan dan Silvikultur.