Keberhasilan Aplikasi Pangkas Akar dan Inokulasi Fungi Ektomikoriza pada Bibit Melinjo (Gnetum gnemon).

KEBERHASILAN APLIKASI PANGKAS AKAR DAN
INOKULASI FUNGI EKTOMIKORIZA PADA BIBIT
MELINJO (Gnetum gnemon)

ASEP KURNIAWAN

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keberhasilan Aplikasi
Pangkas Akar dan Inokulasi Fungi Ektomikoriza pada Bibit Melinjo (Gnetum
gnemon) adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Asep Kurniawan
NIM E44100089

ABSTRAK
ASEP KURNIAWAN. Keberhasilan Aplikasi Pangkas Akar dan Inokulasi Fungi
Ektomikoriza pada Bibit Melinjo (Gnetum gnemon). Dibimbing oleh ARUM
SEKAR WULANDARI.
Aplikasi pangkas akar dan inokulasi fungi ektomikoriza pada bibit melinjo dapat
meningkatkan kolonisasi ektomikoriza tetapi belum dapat meningkatkan pertumbuhan
bibit melinjo selama 6 bulan inokulasi. Tujuan penelitian ini ialah mengetahui pengaruh
penambahan media tanam dan waktu pengamatan terhadap keberhasilan aplikasi pangkas
akar dan inokulasi fungi ektomikoriza pada bibit melinjo. Rancangan percobaan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan petak terbagi, sumber inokulum sebagai
petak utama terdiri atas 3 taraf (kontrol, bibit bermikoriza, inokulum tanah). Tingkat
pangkas akar sebagai anak petak yang terdiri atas 3 taraf (0%, 30%, dan 50%).
Pengamatan dilakukan pada bulan ke-9, 10, 11 setelah bibit diinokulasi. Penambahan
media tanam dan penambahan waktu pengamatan dapat meningkatkan keberhasilan

aplikasi pangkas akar dan inokulasi fungi ektomikoriza terlihat dari pertumbuhan bibit
melinjo. Inokulasi fungi ektomikoriza mulai memberikan pengaruh terhadap
pertumbuhan bibit melinjo pada bulan ke-9 setelah inokulasi. Kombinasi tingkat pangkas
akar 50% dengan inokulasi menggunakan inokulum tanah memberikan interaksi yang
terbaik pada peubah banyaknya cabang akar baru yang terbentuk pada bulan ke-9 setelah
inokulasi. Pada bulan ke 11 setelah inokulasi ditemukan tubuh buah Scleroderma sp. pada
bibit melinjo yang diinokulasi fungi ektomikoriza.
Kata kunci : ektomikoriza, inokulasi, melinjo, pangkas akar, scleroderma

ABSTRACT
ASEP KURNIAWAN. The Success Root Pruning Application and
Ectomycorrizhal Fungi Infection of Melinjo (Gnetum gnemon) Seedling’s.
Supervised by ARUM SEKAR WULANDARI.
The application of root pruning and ectomycorrizhal fungi inoculation can be
increase ectomycorrizha’s colonization but no significan effect to melinjo seedling’s
growth on the 6th month after inoculation. The aim of this research are to knowing the
influence of the additional planting medium and the observation’s duration of root
pruning application and ectomycorrizhal fungi inoculation on melinjo seedling’s. This
research is conducted by split plot design. The ectomycorrizhal fungi inoculation as the
main plot consists 3 types: control, ectomycorrizhae seedling, and soil inoculum. The root

pruning as sub plot also consists 3 types, there are: 0%, 30%, and 50%. Observation is
conducted on the 9th, 10th, 11th month after inoculation. The additional of planting
medium and the additional of observations’s duration can increase success root pruning
application and ectomycorrizhal fungi inoculation of melinjo seedling’s growth.
Ectomycorrizhal fungi inoculation influenced of melinjo seedling’s growth on the 9th
month after inoculation. The combination of root pruning level of 50 % and inoculation
by soil inoculum showed the best interaction of new branches rooted on 9th month after
inoculation. On the 11th month after inoculation the fruiting bodies of scleroderma sp. of
melinjo seedling had found.
Keywords : ectomycorrizhae, Gnetum gnemon, inoculation, root pruning, scleroderma

KEBERHASILAN APLIKASI PANGKAS AKAR DAN
INOKULASI FUNGI EKTOMIKORIZA PADA BIBIT
MELINJO (Gnetum gnemon)

ASEP KURNIAWAN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan

pada
Departemen Silvikultur

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 ini ialah Keberhasilan
Aplikasi Pangkas Akar dan Inokulasi Fungi Ektomikoriza pada Bibit Melinjo
(Gnetum gnemon).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Arum Sekar Wulandari, MS
selaku pembimbing yang telah banyak memberikan saran dalam penyusunan
skripsi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada M. Toha dan Titin
selaku orang tua, serta seluruh keluarga penulis atas segala doa dan kasih
sayangnya. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Wahyu,

Devina, dan Vivi, kepada teman-teman Departemen Silvikultur 47 dan keluarga
besar Silvikultur yang telah membantu penulis selama penelitian dan penyusunan
skripsi.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2014
Asep Kurniawan

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

PENDAHULUAN

1


Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

METODE

2


Waktu dan Tempat Penelitian

2

Bahan dan Alat

2

Prosedur Penelitian

3

Analisis Data

4

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan

SIMPULAN DAN SARAN

5
5
12
14

Simpulan

14

Saran

14

DAFTAR PUSTAKA

14

RIWAYAT HIDUP


18

DAFTAR TABEL
1 Pedoman untuk memberikan interpretasi terhadap koefisien korelasi
2 Rekapitulasi hasil analisis ragam data pertumbuhan bibit melinjo yang
diberi perlakuan pangkas akar dan inokulasi fungi ektomikoriza selama
3 bulan pengamatan
3 Pertumbuhan bibit melinjo yang diberi perlakuan pangkas akar selama
3 bulan pengamatan
4 Korelasi antara pangkas akar dan pertumbuhan bibit melinjo pada bulan
ke-11 setelah inokulasi
5 Pertumbuhan bibit melinjo dengan diberi perlakuan inokulasi fungi
ektomikoriza selama 3 bulan pengamatan
6 Interaksi antara perlakuan pangkas akar dengan inokulasi fungi
ektomikoriza terhadap pertumbuhan bibit melinjo
7 Rekapitulasi hasil analisis ragam tingkat kolonisasi ektimikoriza pada
bibit melinjo dengan perlakuan pangkas akar dengan inokulasi fungi
ektomikoriza
8 Persentase bibit terinfeksi akibat pangkas akar dan inokulasi fungi

ektomikoriza selama 3 bulan pengamatan

4

5
6
7
8
9

9
10

DAFTAR GAMBAR
1 Percabangan akar melinjo setelah diberikan perlakuan pemangkasan
akar
2 Performasi pertumbuhan bibit melinjo dengan perlakuan pangkas akar
terhadap inokulasi fungi ektomikoriza
3 Akar yang terinfeksi fungi ektomikoriza
4 Persentase akar melinjo yang terinfeksi berdasrkan tingkat pangkas akar

pada bulan ke-11 setelah inokulasi
5 Persentase akar melinjo terinfeksi akibat inokulasi fungi ektomikoriza
pada bulan ke-9 setelah inokulasi
6 Tubuh buah pada bibit melinjo yang terbentuk akibat infeksi akar
berektomikoriza

7
8
10
10
11
11

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ektomikoriza merupakan bentuk hubungan simbiosis mutualistik antara
fungi pembentuk ektomikoriza dengan akar tanaman tingkat tinggi, tanaman
memperoleh hara nutrisi sedangkan fungi memperoleh senyawa karbon hasil
fotosintesis (Smith dan Read 2008). Beberapa manfaat ektomikoriza bagi
pertumbuhan tanaman antara lain; mikoriza membantu penyerapan unsur hara
(Allen et al. 2003; Dehlin et al. 2004; Lilleskov et al. 2002; Baghel et al. 2009),
meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan (Dell 2002; Dunabeitia et al. 2004),
meningkatkan ketahanan terhadap penyakit (Onguene dan Kuyper 2002; Whipps
2004), dan pada beberapa spesies fungi ektomikoriza menghasilkan tubuh buah
yang dapat dikonsumsi (edible mushroom) (Hall et al. 2003; Wulandari 2002;
Yamada et al. 2007). Fungi ektomikoriza merupakan komponen penting dalam
ekosistem hutan dan umum ditemukan pada hutan-hutan tropis di daerah Asia
(Simard dan Durral 2004; Dell 2002; Brearly et al. 2007; Amaronpitak et al.
2006), berasosiasi dengan tanaman dari famili Dipterocarpaceae (Turjaman et al.
2006), Pinaceae (Chen 2006), dan Gnetaceae (Wulandari 2002).
Melinjo (Gnetum gnemon) memiliki syarat tumbuh yang tidak sulit, dapat
tumbuh di lingkungan yang kurang menguntungkan seperti tanah liat, berpasir
ataupun lempung, dengan kisaran pH yang cukup luas, sedikit asam hingga netral
(4−6). Melinjo memiliki berbagai manfaat seperti biji melinjo bisa diolah menjadi
bahan makanan, kulit melinjo memiliki kandungan senyawa antimikroba, zat
pewarna alami yang aman digunakan untuk makanan, dan enzim pensintesis
asam urat (Wulandari et al. 2012). Tanaman melinjo diketahui dapat membentuk
asosiasi dengan fungi ektomikoriza tetapi kajian tentang hal tersebut masih sedikit
dilakukan (Wulandari 2002, Riniarti 2010). Asosiasi ektomikoriza pada melinjo
dapat terjadi secara alami, tetapi ketersediaan bibit berektomikoriza masih sangat
sedikit, sehingga diperlukan penyediaan bibit melalui inokulasi buatan untuk
menghasilkan bibit melinjo bermutu baik, karena penampakan fisik bibit
berektomikoriza umumnya lebih kekar (vigor), tumbuh lebih cepat, dan mudah
beradaptasi dengan kondisi lingkungan penanaman yang baru (Jones et al. 2003).
Menurut Riniarti (2010), keberhasilan aplikasi ektomikoriza pada tanaman
kehutanan ditentukan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah aplikasi
teknologi inokulasi yang sesuai (Riniarti 2010). Inokulasi bibit melinjo dengan
fungi ektomikoriza sebaiknya dilakukan pada saat bibit masih muda, untuk
mendapatkan bibit yang terkolonisasi dengan baik (Krüger et al. 2004). Inokulasi
yang dilakukan pada bibit berumur 16 bulan menghasilkan jumlah bibit terinfeksi
sebesar 40% (Wulandari 2002). Jaringan akar yang sudah banyak yang berkayu
kemungkinan besar menjadi faktor penyebab kecilnya persentase bibit melinjo
yang terinfeksi oleh ektomikoriza. Metode pangkas akar dapat meningkatkan
tumbuhnya akar-akar lateral baru (Pourmajidian et al. 2009). Tumbuhnya akar
lateral akibat pangkas akar diharapkan dapat meningkatkan infeksi fungi
ektomikoriza.
Inokulasi fungi mikoriza belum memberikan pengaruh nyata terhadap
pertumbuhan bibit melinjo setelah 6 bulan perlakuan, hal tersebut diduga karena

2
keterbatasan nutrisi dalam polibag dan waktu pengamatan yang kurang lama
(Febrianingrum 2014). Pada tahap awal inokulasi umumnya sebagian besar hasil
fotosintesis digunakan untuk mendukung terbentuknya asosiasi ektomikoriza.
Adanya ektomikoriza pada bibit melinjo pada pengamatan bulan ke-6 belum
tentu membantu bibit melinjo dalam meningkatkan pertumbuhan, karena
terbentuknya kolonisasi ektomikoriza yang efektif membutuhkan waktu yang
lama yaitu 10 sampai 12 bulan (Santoso et al .2007). Oleh karena itu diperlukan
penelitian lanjutan dengan penambahan unsur hara dan penambahan waktu
pengamatan lebih dari 6 bulan.
Perumusan masalah
Teknik pangkas akar pada bibit melinjo dapat meningkatkan keberhasilan
kolonisasi ektomikoriza 4 bulan setelah perlakuan, tetapi kolonisasi ektomikoriza
yang terbentuk belum dapat meningkatkan pertumbuhan bibit melinjo (Wulandari
et al. 2013). Kolonisasi ektomikoriza juga belum memberikan pengaruh nyata
terhadap pertumbuhan bibit melinjo setelah 6 bulan perlakuan. Hal tersebut
diduga karena keterbatasan nutrisi dan waktu pengamatan yang kurang lama
(Febrianingrum 2014). Ektomikoriza juga membutuhkan nutrisi untuk mendukung
pertumbuhannya pada tahap awal infeksi (Bertham 2011). Kolonisasi
ektomikoriza berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit setelah 10 sampai 12 bulan
inokulasi (Santoso et al. 2007), sehingga dilakukan penelitian lanjutan dengan
penambahan unsur hara dan penambahan waktu pengamatan.
Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan media
tanam dan waktu pengamatan terhadap keberhasilan infeksi fungi ektomikoriza
dan pertumbuhan bibit melinjo setelah 11 bulan diinokulasi (BSI).
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini yaitu diperolehnya tingkat pangkas akar yang
tepat pada bibit melinjo setelah 11 bulan diinokulasi (BSI) yang dapat
meningkatkan keberhasilan infeksi fungi ektomikoriza dan pengaruhnya terhadap
pertumbuhan bibit melinjo setelah 11 bulan diinokulasi.
METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan, dari bulan Januari 2014 sampai
dengan Juni 2014. Lokasi penelitian di laboratorium dan rumah kaca Departemen
Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini ialah bibit melinjo, polibag,
spidol plastik dan kertas koran. Media tanam (campuran tanah, kompos, cocopeat,
dan arang sekam). Alat yang digunakan ialah desikator, oven, timbangan dengan
ketelitian 0.1 g, gunting, penggaris, kaliper digital ketelitian 0.01 mm, mikroskop,
dan kamera.

3
Prosedur Penelitian
Persiapan Bahan Tanam
Bibit Melinjo. Bibit melinjo yang digunakan berumur 14 bulan yang telah
diberi perlakuan pangkas akar dan diinokulasi dengan fungi ektomikoriza pada
saat berumur 7 bulan. Perlakuan pangkas akar dilakukan dengan 3 taraf, yaitu 0%
(kontrol), 30%, dan 50%. Inokulasi fungi ektomikoriza dilakukan dengan 3 taraf,
yaitu tanpa inokulasi (kontrol), inokulasi dengan inokulum bibit bermikoriza, dan
inokulasi dengan inokulum tanah.
Persiapan Media Tanam. Media awal yang digunakan pada bibit melinjo
umur 14 bulan adalah campuran tanah, pasir, kompos dan arang sekam. Media
sapih yang digunakan ialah campuran tanah, kompos, cocopeat, dan arang sekam
dengan perbandingan 3:3:3:1 (v/v/v/v). Media yang sudah tercampur dimasukkan
ke dalam polibag yang berukuran lebih besar dari polibag awal. Pemindahan bibit
dilakukan dengan melepas polibag sebelumnya dan menyertakan tanah awal
dengan hati-hati agar tanah tetap utuh dan tidak hancur ketika dipindahkan ke
media baru. Penyiraman dilakukan 3 hari sekali.
Pengamatan dan Pengambilan Data
Tinggi Bibit (cm). Pengukuran tinggi tanaman dilakukan dengan
menggunakan penggaris. Bibit diukur mulai dari leher akar (batas antara batang
dengan akar diatas permukaan tanah) hingga pucuk. Pengukuran dilakukan 2
minggu sekali.
Diameter Batang (mm). Pengukuran diameter batang dilakukan dengan
menggunakan kaliper. Bibit diukur dengan jarak 1−2 cm di atas leher akar yang
sudah diberi tanda dengan spidol permanen. Pengkuran dilakukan 6 minggu sekali.
Biomassa Akar dan Pucuk (g). Perhitungan biomassa dilakukan dengan
mengukur berat basah (BB) dan berat kering (BK) akar dan pucuk. Pengambilan
data dilakukan pada 9, 10, 11, bulan setelah inokulasi (BSI). Pengukuran berat
basah dan berat kering dilakukan dengan memisahkan tanaman dari media tanam,
Akar dicuci dari kotoran dan tanah yang menempel, kemudian bagian akar dan
pucuk dipisahkan. Berat basah ditimbang sebelum akar dan pucuk dikreingkan,
berat kering didapatkan setelah akar dan pucuk dikeringkan dalam oven pada suhu
70 °C selama 120 jam.
Pengamatan Akar. Pengamatan dilakukan dengan cara memisahkan bibit
dari media tanam, kemudian diamati dengan kaca pembesar dan mikroskop.
Pemeriksaan dilakukan pada 9, 10, 11 bulan setelah inokulasi (BSI). Pemeriksaan
akar dilakukan untuk mengetahui persentase kolonisasi ektomikoriza,
pertumbuhan akar setelah dipangkas, dan jumlah bibit yang terinfeksi.
Pertumbuhan akar setelah dipangkas diamati dengan menghitung jumlah akar
yang bercabang akibat pemangkasan akar dan banyaknya cabang yang terbentuk.
Persentase kolonisasi ektomikoriza dan bibit terinfeksi dihitung dengan
menggunakan rumus:
Persentase kolonisasi mikoriza

Persentase bibit terinfeksi

umlah akar lateral terinfeksi mikoriza
100
umlah seluruh akar lateral
umlah bibit terinfeksi
100
umlah seluruh bibit yang diamati

4
Analisis Data
Percobaan dilakukan dengan menggunakan rancangan petak terbagi.
Inokulasi fungi ektomikoriza sebagai petak utama yang terdiri atas 3 taraf yaitu:
tanpa inokulasi (kontrol), inokulasi dengan bibit berektomikoriza dan inokulasi
dengan inokulum tanah. Sebagai anak petak ialah tingkat pangkas akar yang
terdiri atas 3 taraf yaitu: 0%, 30%, dan 50%. Masing-masing perlakuan diulang
sebanyak 3 ulangan, dengan 1 ulangan terdiri atas 7 bibit melinjo. Data yang
diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis menggunakan analisis ragam
(ANOVA), apabila berpengaruh nyata akan dilanjutkan dengan uji selang
berganda Duncan pada taraf kesalahan 5%. Analisis data dilakukan dengan
menggunakan software SAS versi 9.1.3 portable dan SPSS. Analisis korelasi
dilakukan untuk melihat hubungan antara pangkas akar dengan kolonisasi
ektomikoriza maupun pertumbuhan bibit. Pedoman untuk memberikan penafsiran
terhadap koefisien korelasi yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Pedoman untuk memberikan interpretasi terhadap koefisien korelasi*

Interval Koefisien

Interpretasi

0
0.00-0.25
0.25-0.50
0.50-0.75
0.75-0.99
1
*Sumber: Sarwono (2008).

Tidak ada korelasi
Sangat lemah
Lemah
Kuat
Sangat kuat
Korelasi sempurna

Model rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini ialah:

= Nilai pengamatan pada faktor inokulasi fungi ektomikoriza taraf ke-i,
faktor tingkat pemangkasan akar taraf ke-j, dan ulangan ke-k
= Nilai tengah (rataan) umum
= Pengaruh perlakuan inokulasi fungi ektomikoriza pada taraf ke-i
= Pengaruh perlakuan taraf pemangkasan akar pada taraf ke-j
= Pengaruh interaksi antara perlakuan inokulasi fungi ektomikoriza pada
taraf ke-i dan pemangkasan akar pada taraf ke-j
= Galat acak dari perlakuan inokulasi fungi ektomikoriza pada taraf ke-i
dan ulangan ke-k
= Galat acak percobaan
= Taraf inokulasi fungi ektomikoriza (tanpa diinokulasi fungi ektomikoriza,
diinokulasi dengan bibit berektomikoriza, dan diinokulasi dengan
inokulum tanah)
j……./ = Taraf pemangkasan akar (0%, 30%, 50%)
k……. = Ulangan (1, 2, 3)

5

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Analisis Ragam Data Hasil Pengukuran
Tabel 2 Rekapitulasi hasil analisis ragam data pertumbuhan bibit melinjo yang
diberi perlakuan pangkas akar dan inokulasi fungi ektomikoriza selama 3
bulan pengamatan
Peubah

Perkembangan akar bibit
Jumlah akar yang bercabang

Banyaknya cabang baru

BB akar (

)

BK akar (

)

Pertumbuhan tajuk bibit
Tinggi bibit (cm)

Umur
(BSI)

Pangkas
akar (P)

Inokulasi
fungi
ektomikoriza
(I)

PxI

KK
(%)

9
10
11
9
10
11
9
10
11
9
10
11

**
**
**
**
**
**
tn
**
*
tn
*
*

*
*
tn
**
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn

tn
*
tn
*
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn

49.02
22.24
31.86
32.05
25.92
26.59
31.02
18.05
28.10
31.08
22.54
25.43

9
tn
*
tn 19.88
10
**
**
tn 11.69
11
*
*
tn 12.96
Diameter (cm)
9
tn
tn
tn 38.95
10
tn
tn
tn 41.11
11
tn
tn
tn 33.93
9
tn
tn
tn 24.58
BB pucuk (
)
10
*
tn
tn 20.99
11
*
tn
tn 25.26
9
tn
tn
tn 23.94
BK pucuk (
)
10
*
tn
tn 20.65
11
*
tn
tn 20.46
tn: tidak berbeda nyata, *: berbeda nyata pada taraf uji 5%, **: berbeda sangat
nyata pada taraf uji 1%, BB: berat basah, BK: berat kering, KK: koefisien
keragaman.

6
Tabel 3 Pertumbuhan bibit melinjo yang diberi perlakuan pangkas akar selama 3
bulan pengamatan
Umur
(BSI)

Peubah
Perkembangan akar bibit
Jumlah akar yang bercabang

Banyaknya cabang baru

BB akar (

)

BK akar (

)

9
10
11
9
10
11
9
10
11
9
10
11

Uji F

**
**
**
**
**
**
tn
**
*
tn
*
*

Tingkat pangkas akar (%)
0

30

50

0.55b
0.00b
0.00b
1.16b
0.00b
0.00b
6.67a
3.48b
3.47b
2.60a
1.48b
1.56b

5.12a
2.00a
3.11a
6.55a
5.62a
9.88a
7.06a
7.02a
7.72a
3.38a
3.21a
2.78ab

1.44b
2.00a
3.00a
5.74a
6.83a
7.44a
6.01a
6.54a
7.25a
2.24a
3.23a
3.16a

Pertumbuhan tajuk bibit
Tinggi bibit (cm)

9
tn
3.69a
5.07a
5.37a
10
**
4.80b
6.72a
7.27a
11
*
5.58b
8.31a
5.58a
9
tn
10.94a 13.75a
15.21a
BB pucuk (
)
10
*
8.54b 16.55a
15.05a
11
*
10.08b 18.04a
18.35a
9
tn
4.31a
5.60a
6.13a
BK pucuk (
)
10
*
4.14b
6.54ab
8.27a
11
*
4.75b
6.81ab
7.93a
BB: berat basah, BK: berat kering, tn: tidak berbeda nyata, *: berbeda nyata pada
taraf 5%, **: berbeda nyata pada taraf 1 % (uji jarak berganda Duncan)
Pengamatan bibit melinjo dilakukan pada bulan ke-9, 10, 11 setelah bibit
diinokulasi (BSI). Pertumbuhan bibit melinjo yang diamati meliputi
perkembangan akar bibit dan pertumbuhan tajuk bibit. Data yang diperoleh
dianalisis menggunakan analisis ragam untuk mengetahui ada atau tidaknya
pengaruh nyata terhadap peubah yang diamati. Hasil analisis ragam dapat dilihat
pada Tabel 2.
Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa perlakuan pangkas akar memberikan
pengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit melinjo, sedangkan perlakuan
inokulasi fungi ektomikoriza berpengaruh terhadap peubah jumlah akar yang
bercabang, banyaknya cabang akar baru yang terbentuk, dan tinggi bibit. Interaksi
pangkas akar dan inokulasi fungi ektomikoriza terhadap pertumbuhan bibit hanya
terjadi pada komponen perkembangan akar bibit melalui peubah jumlah akar yang
bercabang dan banyaknya cabang baru yang terbentuk. Gambar 1 menunjukkan
perlakuan pangkas akar dapat mengakibatkan terbentuknya cabang-cabang baru
pada perakaran bibit melinjo.

7

a

b

c

Gambar 1 Percabangan akar melinjo setelah diberikan perlakuan pemangkasan
akar: (a) akar lateral normal, (b) akar lateral bercabang 2, (c) akar
lateral bercabang 3.
Pertumbuhan Bibit Melinjo
Perlakuan pangkas akar berpengaruh nyata terhadap komponen
pertumbuhan bibit melinjo yang diamati. Pangkas akar 30% memberikan
pengaruh sangat nyata terhadap peubah jumlah akar yang bercabang dan
banyaknya cabang baru yang terbentuk dibandingkan dengan perlakuan pangkas
akar yang lainnya. Perlakuan pangkas akar juga memberikan pengaruh nyata
terhadap berat basah dan berat kering akar, selain itu perlakuan pangkas akar
memberikan pengaruh nyata terhadap komponen pertumbuhan tajuk bibit.
Pengaruh perlakuan pangkas akar disajikan pada Tabel 3. Korelasi antara
perlakuan pangkas akar dengan peubah pertumbuhan tinggi dan berat kering akar
menunjukkan korelasi yang lemah dan positif. Artinya semakin tinggi tingkat
pangkas akar maka akan diikuti peningkatan nilai peubah tersebut dan hubungan
keduanya signifikan. Korelasi pangkas akar dengan peubah pertumbuhan diameter
batang positif, korelasinya sangat lemah, dan hubungan keduanya tidak signifikan.
Korelasi kuat dan positif terlihat pada perlakuan pangkas akar dengan peubah
berat kering pucuk, hubungan keduanya signifikan. Nilai korelasi yang tidak
signifikan menunjukkan bahwa peningkatan pangkas akar tidak memberikan
peningkatan pertumbuhan yang signifikan terhadap bibit melinjo tersebut, begitu
juga sebaliknya. Nilai korelasi antara pangkas akar dengan peubah pertumbuhan
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Korelasi antara pangkas akar dan pertumbuhan bibit melinjo pada bulan
ke-11 setelah inokulasi
Peubah

Uji F

Koefisien korelasi (r)

Pertumbuhan tinggi bibit (cm)

*

0.436

Pertumbuhan diameter batang (mm)

tn

0.090

Berat kering akar (

*

0.481

**

0.533

Berat kering pucuk (

)
)

tn: tidak berbeda nyata, *: berbeda nyata pada taraf 5%, **: berbeda nyata pada
taraf 1%

8
Tabel 5 Pertumbuhan bibit melinjo dengan diberi perlakuan inokulasi fungi
ektomikoriza selama 3 bulan pengamatan

Peubah
Perkembangan akar bibit
Jumlah akar yang bercabang

Banyaknya cabang baru

Pertumbuhan tajuk bibit
Tinggi bibit (cm)

Inokuasi fungi ektomikoriza

Umur
(BSI)

Uji
F

Kontrol

Bibit
bermikoriza

Inokulum
tanah

9
10
11
9
10
11

tn
*
tn
**
tn
tn

1.55a
1.00b
2.89a
1.57b
3.50a
4.67a

3.75a
1.11ab
1.33a
5.14ab
4.81a
6.66a

1.66a
1.89a
1.89a
6.58a
4.47a
6.00a

9
10
11

*
**
*

3.87b
5.01b
6.31b

4.76ab
5.92ab
6.67ab

5.50a
7.86a
8.71a

BB: berat basah, BK: berat kering, angka-angka pada baris yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji jarak berganda Duncan).
Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa pertumbuhan bibit melinjo yang
diberi perlakuan inokulasi ektomikoriza mulai memberikan pengaruh pada peubah
jumlah akar yang bercabang, banyaknya cabang baru, dan tinggi pada bulan ke-9
setelah inokulasi (BSI). Inokulasi fungi ektomikoriza dengan inokulum tanah
memberikan hasil yang baik pada peubah tinggi. Gambar 2 menunjukkan
performansi pertumbuhan bibit melinjo akibat perlakuan pangkas akar.

a

b

c

Gambar 2 Performansi pertumbuhan bibit melinjo dengan perlakuan pangkas
akar 0%, 30%, dan 50% terhadap inokulasi fungi ektomikoriza: (a)
kontrol, (b) bibit bermikoriza, dan (c) inokulum tanah
Pengaruh Interkasi Tingkat Pangkas Akar dan
Ektomikoriza terhadap Pertumbuhan Bibit Melinjo

Inokulasi

Fungi

Interaksi antara tingkat pangkas akar dan inokulasi fungi ektomikoriza
terhadap pertumbuhan bibit melinjo terlihat pada komponen perkembangan akar
bibit yaitu pada jumlah akar yang bercabang 10 BSI dan banyaknya cabang baru

9
yang terbentuk 9 BSI. Pada Tabel 5 dapat terlihat bahwa jumlah akar yang
bercabang tertinggi 10 BSI dihasilkan oleh interaksi antara tingkat pangkas akar
30% dan inokulasi fungi ektomikoriza dengan inokulum tanah, dan untuk
banyaknya cabang baru yang terbentuk tertinggi 9 BSI dihasilkan oleh kombinasi
antara tingkat pangkas akar 50% dan inokulasi fungi ektomikoriza dengan
inokulum tanah.
Tabel 6 Interaksi antara perlakuan pangkas akar dan inokulasi fungi ektomikoriza
terhadap pertumbuhan bibit melinjo
Inokulasi fungi ektomikoriza
Tingkat pangkas
akar (%)
Kontrol
Bibit bermikoriza Inokulum tanah
Jumlah akar yang bercabang 10 BSIª
0
0.00c
0.00c
0.00c
30
2.00ab
1.00bc
3.00a
50
1.00bc
2.33a
2.66a
Banyaknya cabang baru yang terbentuk 9 BSIª
0
0.00c
2.50bc
1.00bc
30
4.72bc
5.00bc
6.08b
50
5.44b
4.55bc
12.66a
ªAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan); BSI: bulan setelah
inokulasi.
Tingkat Kolonisasi Ektomikoriza
Peubah yang diamati pada kolonisasi ektomikoriza ialah persentase akar
terinfeksi dan persentase bibit terinfeksi. Pengamatan tingkat kolonisasi
ektomikoriza bertujuan untuk mengetahui keberhasilan infeksi fungi ektomikoriza
akibat diberikan perlakuan pangkas akar dan inokulasi fungi ektomikoriza. Hasil
analisis ragam tingkat kolonisasi fungi ektomikoriza dapat dilihat pada Tabel 7.
Berdasarkan hasil yang diperoleh diketahui bahwa persentase akar
terinfeksi berpengaruh nyata terhadap perlakuan pangkas akar dan sumber
inokulum pada pengamatan bulan ke-9, 10, 11 setelah inokulasi (BSI), namun
tidak adanya interaksi antara kedua peubah tersebut. Peubah persentase infeksi
bibit dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 7 Rekapitulasi hasil analisis ragam tingkat kolonisasi ektomikoriza
pada bibit melinjo dengan perlakuan tingkat pangkas akar dan
inokulasi fungi ektomikoriza selama 3 bulan pengamatan

9

tn

Inokulasi
fungi
ektomikoriza
(I)
*

10

tn

tn

tn

32.79

11
*
tn
tn: tidak berbeda nyata, *: berbeda nyata pada taraf uji 5%

tn

40.58

Peubah
Persentase akar terinfeksi (%)

Umur
(BSI)

Pangkas
akar (P)

PxI

KK
(%)

tn

46.12

10
Tabel 8 Persentase bibit terinfeksi akibat diberikan pangkas akar dan inokulasi
fungi ektomikoriza selama 3 bulan pengamatan
Peubah

9
93

Umur (BSI)
10
96

11
100

Persentase bibit terinfeksi (%)
BSI: bulan setelah inokulasi
Berdasarkan Tabel 8 dapat diketahui bahwa bibit-bibit yang terinfeksi
fungi ektomikoriza akibat pangkas akar dan inokulasi fungi ektomikoriza
mengalami peningkatan persentase infeksi bibit setiap bulannya. Pada pengamatan
bulan terakhir menunjukkan bahwa semua bibit yang diamati terinfeksi fungi
ektomikoriza akibat perlakuan pangkas akar dan inokulasi fungi ektomikoriza.
Gambar 3 menunjukkan bahwa perlakuan pangkas akar dan inokulasi fungi
ektomikoriza dapat menyebabkan akar melinjo terinfeksi fungi ektomikoriza.
1 cm

a

b

c

Akar terinfeksi (%)

Gambar 3 Infeksi fungi ektomikoriza: (a) akar yang tidak terinfeksi, (b) akar yang
teriinfeksi, (c) ektomikoriza
Perlakuan pangkas akar memberikan pengaruh yang nyata terhadap akar
yang terinfeksi fungi ektomikoriza. Berdasarkan Gambar 4 dapat diketahui bahwa
pada bulan ke-11 setelah inokulasi tingkat pangkas akar 50% memberikan hasil
infeksi akar yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pangkas akar lainnya.
80
70
60
50
40
30
20
10
0

a
ab
b

0

30

50

Tingkat pangkas akar (%)

Gambar 4 Persentase akar melinjo yang terinfeksi berdasarkan tingkat pangkas
akar pada bulan ke-11 setelah inokulasi. Garis vertical di atas tiap
balok data menunjukkan galat baku dan huruf-huruf di atas balok data
menunjukkan perbandingan nilai tengah berdasarkan uji selang
berganda Duncan pada taraf uji 5%.

11
80

a
ab

Akar terinfeksi (%)

70
60

a

50
40
30
20
10
0
Kontrol

Bibit
Inokulum
bermikoriza tanah

Inokulasi fungi ektomikoriza

Gambar 5 Persentase akar melinjo terinfeksi akibat inokulasi fungi ektomikoriza
pada bulan ke-9 setelah inokulasi. Garis vertical di atas tiap balok data
menunjukkan galat baku dan huruf-huruf di atas balok data
menunjukkan perbandingan nilai tengah berdasarkan uji selang
berganda Duncan pada taraf uji 5%.
Gambar 5 menunjukkan persentase akar melinjo yang terinfeksi fungi
ektomikoriza akibat perlakuan inokulasi fungi ektomikoriza pada bulan ke-9
setelah inokulasi. Berdasarkan hasil dapat dilihat bahwa bibit melinjo yang
diinokulasi menggunakan inokulum tanah memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan dengan sumber inokulum lainnya.
1 cm

a

1 cm

b

Gambar 6 Tubuh buah pada bibit melinjo yang terbentuk akibat infeksi akar
bermikoriza: (a) muncul di permukaan, (b) di samping
Perlakuan pangkas akar dan inokulasi fungi ektomikoriza mengakibatkan
terjadinya kolonisasi ektomikoriza pada akar melinjo. Pada tahap yang lebih lanjut
infeksi akar ini akan mengakibatkan terbentuknya tubuh buah dari fungi
ektomikoriza seperti pada Gambar 6. Tubuh buah tersebut ditemukan pada bibit
melinjo bermikoriza yang sebelumnya diberi perlakuan pangkas akar 30%. Pada
penelitian ini ditemukan 3 bibit yang muncul tubuh buahnya.

12
Pembahasan
Teknik pangkas akar pada bibit melinjo dapat meningkatkan keberhasilan
kolonisasi ektomikoriza 4 bulan setelah perlakuan, tetapi kolonisasi ektomikoriza
yang terbentuk belum dapat meningkatkan pertumbuhan bibit melinjo (Wulandari
et al. 2013). Inokulasi fungi ektomikoriza belum memberikan pengaruh nyata
terhadap pertumbuhan bibit melinjo setelah 6 bulan perlakuan, hal tersebut
diduga karena keterbatasan nutrisi dalam polibag dan waktu pengamatan yang
kurang lama (Febrianingrum 2014). Berdasarkan penelitian ini dapat diketahui
bahwa penambahan media tanam pada bibit meinjo dapat membantu proses
pertumbuhan bibit melinjo 11 bulan setelah diinokulasi. Unsur hara yang
terkandung dalam media tanam digunakan sebagai bahan baku nutrisi untuk
pertumbuhan bibit melinjo. Fungi ektomikoriza juga membutuhkan nutrisi untuk
mendukung petumbuhannya (Bertham 2011). Inokulasi fungi ektomikoriza
berpengaruh nyata terhadap komponen pertumbuhan bibit melinjo yaitu pada
peubah tinggi bibit setelah 11 bulan inokulasi. Pembentukan struktur mikoriza
terjadi setelah 3 bulan diinokulasi, sedangkan peningkatan pertumbuhannya baru
dapat dilihat setelah enam bulan. Data yang didapat menunjukkan bahwa
perlakuan inokulasi fungi ektomikoriza memberikan hasil pertumbuhan tanaman
yang lebih baik jika dibandingkan dengan tanpa inokulasi, hal tersebut disebabkan
inokulasi fungi ektomikoriza setelah 6 bulan perlakuan telah melewati tahap
perkembangan struktur vegetatif dengan jalan pemberian unsur P yang lebih
banyak sehingga mendorong pertumbuhan tanaman.
Adanya fungi ektomikoriza pada akar tanaman dapat meningkatkan
penyerapan unsur hara P. Peningkatan kandungan P dalam jaringan tanaman
dapat mempercepat pembelahan sel terutama pada perkembangan jaringan
meristem tanaman sehingga berakibat lebih lanjut terhadap pertumbuhan tinggi
dan diameter. Bibit yang diinokulasi dengan inokulum tanah pada bulan ke-11
setelah inokulasi menunjukkan pertumbuhan yang tertinggi, lebih baik 57.9%
dibandingkan dengan kontrol. Berdasarkan penelitian Riniarti (2010) inokulasi
fungi ektomikoriza memberikan pertambahan tinggi bibit melinjo yang terus
meningkat setiap bulannya. Inokulasi menggunakan inokulum tanah lebih efektif
dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman. Hal ini disebabkan oleh fragmenfragmen miselium dari inokulum tanah lebih mudah menyebar di sela-sela akar
lateral dibandingkan dengan miselium dari bibit bermikoriza, sehingga
memudahkan fungi kontak dengan akar untuk menginfeksi, yang pada akhirnya
dapat meningkatkan penyerapan unsur P dari dalam tanah untuk proses
pertumbuhan bibit. Miselium dari akar yang terinfeksi fungi ektomikoriza
merupakan organ penting yang berperan dalam penyerapan unsur hara pada
tanaman inang (Nara 2006).
Pangkas akar merupakan praktik mengurangi bagian sistem akar. Metode
pemangkasan akar dapat meningkatkan tumbuhnya akar-akar lateral baru
(Pourmajidian et al. 2009). Pangkas akar berperan dalam meningkatkan
percabangan akar melalui peningkatan jumlah akar lateral baru dan dapat
menurukan konsentrasi hormon sitokinin. Pada akar yang dipangkas, konsentrasi
hormon sitokinin menurun menyebabkan transportasi hormon auksin dari
meristem apikal menuju akar berjalan lancar dan merangsang pertumbuhan akar
lateral (Campbell et al. 2003; Allen et al. 2003). Berdasarkan penelitian ini,

13
pangkas akar memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap jumlah akar yang
bercabang dan banyaknya cabang baru yang terbentuk. Pangkas akar dapat
merangsang pertumbuhan akar lateral pada bibit melinjo umur 7 bulan (Wulandari
et al. 2013) dan 2 bulan (Pamujianto 2014). Penambahan jumlah akar dan
banyaknya cabang baru yang terbentuk akibat pangkas akar berpengaruh terhadap
biomassa akarnya.
Tingkat pangkas akar 30% dan 50% memberikan hasil yang lebih baik
terhadap pertumbuhan tinggi bibit melinjo dan biomassa bibit melinjo
dibandingkan bibit melinjo yang tidak diberikan perlakuan pangkas akar. Pangkas
akar pada bibit melinjo memberikan pengaruh nyata terhadap biomassa akar
tanaman bulan ke-10 dan ke-11 setelah inokulasi. Hal tersebut terjadi karena
nutrisi yang diserap oleh akar tanaman sudah digunakan untuk pertumbuhan akar
sehingga mengkakibatkan biomassa akar tanaman tersebut bertambah.
Pertumbuhan akar yang baik ditandai oleh tingginya nilai biomassa akar yang
menunjukkan volume akar. Volume akar yang besar mengakibatkan serapan air
dan unsur hara yang baik. Dengan semakin banyaknya jumlah akar dan cabang
baru yang terbentuk akibat pangkas akar, maka semakin besar pula luas bidang
penyerapan air dan mineral oleh tanaman (Campbell et al. 2003).
Perlakuan pangkas akar dan inokulasi fungi ektomikoriza memberikan
pengaruh yang nyata terhadap tingkat kolonisasi fungi ektomikoriza. Pada bulan
ke-11 setelah inokulasi pangkas akar 30% dan 50% meningkatkan kolonisasi
ektomikoriza pada akar bibit melinjo dibandingkan dengan kontrol. Hal tersebut
sesuai dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya yang menyatakan bahwa
tingkat pangkas akar 30% dan 50% mampu meningkatkan tingkat kolonisasi
ektomikoriza pada bibit melinjo umur 6 bulan setelah inokulasi (Febrianingrum
2014). Inokulasi fungi ektomikoriza juga memberikan pengaruh nyata pada bulan
ke-9 setelah inokulasi.
Kolonisasi mikoriza pada akar bervariasi dari sangat tinggi (100%) sampai
sangat rendah (0%) bergantung kepada jenis pohon dan spesies fungi mikorizanya
(Santosa 2007). Inokulasi fungi ektomikoriza menggunakan bibit yang
bermikoriza menunjukkan hasil yang lebih rendah daripada inokulasi
menggunakan inokulum tanah. Hal ini terjadi karena adanya kompetisi antara
bibit melinjo perlakuan dengan bibit melinjo sebagai sumber inokulum dalam
alokasi nutrisi dan air dalam polibag yang sama. Ektomikoriza juga membutuhkan
nutrisi untuk mendukung pertumbuhannya pada awal infeksi (Bertham 2011).
Kompetisi didefinisikan sebagai pengaruh negatif suatu spesies terhadap spesies
lainnya yang berhubungan dengan alokasi sumberdaya, atau pembatasan akses
sumberdaya yang ada (Keddy 2007). Hasil penelitian Kennedy et al. (2009)
menunjukkan bahwa waktu pembentukkan kolonisasi merupakan salah satu faktor
yang menyebabkan kompetisi antar fungi ektomikoriza.
Perlakuan pangkas akar dan inokulasi fungi ektomikoriza mengakibatkan
terjadinya kolonisasi ektomikoriza pada akar melinjo. Pada tahap yang lebih lanjut
infeksi akar ini mengakibatkan terbentuknya tubuh buah dari fungi ektomikoriza.
Dalam penelitian ini ditemukan tubuh buah fungi ektomikoriza pada tiga bibit
melinjo yang bermikoriza, salah satunya ditemukan pada bibit bermikoriza
dengan tingkat pangkas akar 30%. Ciri-ciri tubuh buah yang terdapat pada bibit
melinjo yang ditemukan berwarna putih hingga kuning kecoklatan, berbentuk
bulat, dan terbentuk pada permukaan media tanam. Fungi ektomikoriza yang

14
digunakan dalam penelitian ini ialah Scleroderma sp., termasuk dalam divisi
Basidiomycota. Beberapa fungi ektomikoriza menghasilkan tubuh buah yang
dapat dimakan/dikonsumsi oleh manusia. Salah satu fungi ektomikoriza yang
tubuh buahnya dapat dikonsumsi ialah Scleroderma sinnamariense. Tubuh buah
yang masih muda (warna glebanya masih putih dapat dikonsumsi sebagai bahan
sayuran (Wulandari 2002).

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Penambahan media tanam dan penambahan waktu pengamatan dapat
meningkatkan keberhasilan aplikasi pangkas akar dan inokulasi fungi
ektomikoriza pada bibit melinjo setelah 11 bulan perlakuan. Kolonisasi
ektomikoriza memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit melinjo
pada pengamatan bulan ke-10 dan ke-11 setelah inokulasi. Tingkat pangkas akar
50% dan inokulasi fungi ektomikoriza dengan inokulum tanah memberikan
kolonisasi terbaik pada bibit melinjo setealah 11 bulan dinokulasi.

Saran
Perlakuan pangkas akar 50% dan inokulasi fungi ektomikoriza dengan
menggunakan inokulum tanah dapat memberikan hasil yang baik terhadap
pertumbuhan akar dan tajuk bibit melinjo, oleh karena itu perlu penerapan
perlakuan tersebut terhadap tanaman kehutanan lainnya untuk mengetahui
pengaruhnya.

DAFTAR PUSTAKA
Allen MF, Hipps LE, Wooldridge GL. 1998. Wind dispersal and subsequent
establishment of VA mycorrhizal fungi across a successional arid landscape.
Landscape Ecology 2(3):165-171.
Allen MF, Swenson W, Querejeta JJ, Warburton LME, Treseder KK. 2003.
Ecology of mycorrhizae: A conceptual framework for complex interactions
among plants and fungi. Annu Rev Phytopathol 41:271–303.
Baghel RK, Sharma R, Pandey AK. 2009. Activity of acid phosphatase in the
ectomycorrhizal fungus Cantharellus tropicalis under controlled conditions.
J Trop For Sci 21(3):218–222.
Bertham RYH. 2011. Inokulasi ganda fungi mikoriza arbuskula dan
rhizobium lokal meningkatkan pertumbuhan dan hasil tiga varietas

15
kedelai di ultisol, Bengkulu, Indonesia. Di dalam: Budi SW, Turjaman
M, Mardatin NF, Nusantara AD, Trisilawati O, Sitepu IR, Wulandari
AS, Riniarti M, Setyaningsih L, editor. Percepatan Sosialisasi
Teknologi Mikoriza untuk Mendukung Revitalisasi Pertanian, Perkebunan,
dan Kehutanan. Prosiding Seminar Nasional Mikoriza II; 2007 Jul 1721; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Seameo Biotrop. hlm 11-19.
Brearly FQ, Scholes JD, Press CM, Palfner G. 2007. How does light and
phosphorus fertilization affect the growth and ectomycorrhizal community
of two contrasting dipterocarp spesies. Plant Ecol 192:237–249.
Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 2003. Biologi. Manalu W,
penerjemah. Jakarta (ID): Erlangga. Terjemahan dari: Biology.
Chen Y. 2006. Optimizing Scleroderma spore inoculum for eucalyptus nursery in
South China [disertasi]. Perth: Division of Biology and Engineering,
Murdoch University.
Chen YL, Kang LH, Malajczuk N, Dell B. 2006. Selecting ectomycorrhizal fungi
for inoculating plantationsin south China: effect of Scleroderma on
colonization and growth of exotic Eucalyptus globulus, E. urophylla, Pinus
elliottii, and P. radiata. Mycorrhiza 16:251–259.
Dehlin H, Nilson MC, Wardle DA, Shevtsova. 2004. Effect of shading and humus
fertility on growth, competition and ectomycorrhizal colonization of boreal
forest tree seedling. Can J For Res 34:2573–2586.
Dell B. 2002. Role of mycorrhiza fungi in ecosystems. CMU J 1:47–55.
Duñabeitia MK, Hormilla S, Garcia-Plazaola JI, Txarterina K, Arteche U, Becerril
JM. 2004. Differential responses of three fungal species to environmental
factors and their role inthe mycorrhization of Pinus radiata D. Don.
Mycorrhiza 14:11–18.
Febrianingrum HW 2014. Pruning akar untuk meningkatkan keberhasilan
infeksi fungi ektomikoriza pada bibit melinjo (Gnetum gnemon) umur 7
bulan [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Hall IA, Yun W, Amicucci A. 2003. Cultivation of edible ectomycorrhizal
mushrooms. Trends in Biotechnol 21:433–438.
Jones MD, Durall DM, Cairney WG. 2003. Ectomycorrhizal fungal communities
at forest edges. New Phytol. 157:399-422.
Keddy PA. 2007. Plant and Vegetation. New york (US): Cambridge University
Press.
Kennedy PG, Peay KG, Bruns TD. 2009. Root tip competition ectomycorrhizal
fungi: Are priority effects a rule or an exception? Ecology 90:2098–2107.
Krüger A, Berghöfer TP, Frettinger P, Herrmann S, Buscot F, Oelmüller R. 2004.
Identification of premycorrhiza-related plant genes in the association
between Quercus robur and Piloderma croceum. New Phytol. 163:149-157.
doi:10.1111/j.1469-8137.2004.01091.x.
Lilleskov EA, Fahey TJ, Horton TR, Lovett GM. 2002. Belowground
ectomycorrhizal fungal community change over a nitrogen deposition
gradient in Alaska. Ecology 83:104–115.
Nara K. 2006. Ectomycorrhizal network and seedling establishment during early
primary succession. New Phytol 169:169–178.

16
Onguene NA, Kuyper TW. 2002. Importance of ectomycorrhiza network for
seedling survival and ectomycorrhiza formation in rain forests of South
Cameroon. Mycorrhiza 12:13–17.
Pamujianto R. 2014. Pruning akar untuk meningkatkan kolonisasi
ektomikoriza pada bibit melinjo (Gnetum gnemon) umur 2 bulan
[skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Pourmajidian MR, Ammi S, Taban M, Spahbodi K, Parsakhoo A. 2009. Effect of
the extent of root pruning on growth, biomass, and nutrient content of oak
(Quercus castaneifolia C.A.Mey,) seedlings. JABS 3(1):87-91.
Riniarti M. 2010. Dinamika kolonisasi 3 fungi ektomikoriza Scleroderma spp. dan
hubungannya dengan pertumbuhan tanaman inang [disertasi]. Bogor
(ID): Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Santosa PB et al. 2011.Kolonisasi mikoriza pada jenis-jenis tanaman hutan rawa
gambut. Di dalam: Budi SW, Turjaman M, Mardatin NF, Nusantara
AD, Trisilawati O, Sitepu IR, Wulandari AS, Riniarti M, Setyaningsih
L, editor. Percepatan Sosialisasi Teknologi Mikoriza untuk Mendukung
Revitalisasi Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan. Prosiding Seminar
Nasional Mikoriza II; 2007 Jul 17-21; Bogor, Indonesia. Bogor (ID):
Seameo Biotrop. hlm 290-294.
Santoso E, Turjaman M, Irianto RSB. 2007. Aplikasi mikoriza untuk
meningkatkan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan terdegradasi. Di dalam:
Siran AS, Bismark M, Samsoedin I, Suhaendi H, Pratiwi, Haryono,
Mardiah, editor. Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Alam.
Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian; 2006 Sep 20; Padang,
Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
hlm:71-80.
Sarwono. 2008. Prosedur-prosedur popular statistik untuk mempermudah riset
skripsi. Korelasi. [Internet]. [diunduh 2014 agu]. Tersedia pada;
http//www.jonathansarwono.infokorelasi/korelasi.htm.
Simard SW, Durral DM. 2004. Mycorrhizal networks: a review of their extent,
function, and importance. Can J Bot 82:1140–1165.
Smith SE, Read DJ. 2008. Mycorrhizal Symbiosis. Third Edition. London:
Academic Press.
Turjaman M, Tamai Y, Segah H, Limin SH, Osaki M, Tawaraya K. 2006.
Increase in early growthand nutrient uptake of Shorea seminis seedlings
inoculated with two ectomycorrhizal fungi. J of Trop For Sci 18:243–249.
Watling R, Lee SS, Turnbull E. 2002. The Occurrence and Distribution of
Putative Ectomycorrhizal Basidiomycetes in a Regenerating South East
Asian Rain Forest. Di Dalam: Watling R, Frankland JC, Ainsworth AM,
Isaac S, Robinson CH, editor. Tropical Mycology Volume 1, Macromycetes.
New York: CABI Publishing. Hlm 116—203.
Whipps JM. 2004. Prospects and limitations for mycorrhizas in biocontrol of root
pathogens. Can J Bot 82:1198–1227.
Wulandari AS. 2002. Beberapa gatra biologi ektomikoriza Scleroderma pada
melinjo [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Wulandari S, Subandi, Muntolib. 2012. Inhibisi xantin oksidase oleh ekstra etanol
kulit melinjo relatif terhadap allopurinol. Jurnal online Universutas Negeri
Malang [Internet]. [diunduh 2013 Nov 15]. Tersedia pada:

17
http://jurnalonline.um.ac.id/data/artikel/artikel5ECD9DCBF08E100E0AC
A3C5AF4C0 7164.pdf.
Wulandari AS, Supriyanto, Febrianingrum HW. 2013. Pruning akar: teknik
untuk meningkatkan kolonisasi ektomikoriza pada akar melinjo. [editor
tidak diketahui]. Mikoriza untuk Membangun Kemandirian Pertanian
dan Pelestariam Lingkungan Hidup. Prosiding Seminar Nasional Mikoriza
III; 2013 Nov 25-26; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Seameo Biotrop. hlm:
21-22.
Yamada A, Kobayashi H, Ogura T, Fukada M. 2007. Sustainable fruit body
formation of edible mycorrhizal Tricholoma spesies for 3 years in open pot
culture with pine seedling hosts. Mycoscience 48:104–108.
Yamada A, Ogura T, Ohmasa M. 2001. Cultivation of mushrooms of
ectomycorrhizal fungi associated with Pinus densyfloraby in vitro
mycorrhizal synthesis. Mycorrhiza 11:67–81.

18
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 10 Juni 1992 dari ayah M. Toha
dan ibu Titin. Penulis adalah putra ke-5 dari 6 bersaudara. Tahun 2010 penulis
lulus dari SMA Bina Bangsa Sejahtera Bogor dan pada tahun yang sama penulis
lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Ujian Talenta
Mandiri (UTM) IPB dan diterima di Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di keanggotaan TGC (Tree
Grower Community) dan beberapa kepanitian di dalam kampus maupun di luar
kampus. Penulis pernah melaksanakan kegiatan Praktik Pengenalan Ekosistem
Hutan (PPEH) di Sancang Timur-Papandayan, kegiatan Praktik Pengelolaan
Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat serta kegiatan Praktik Kerja
Profesi (PKP) di Divisi Rehabilitation and Reclamation di PT Jorong Barutama
Greston, Kalimantan Selatan.
Guna memperoleh sarjana kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi
dengan judul ―Keberhasilan Aplikasi Pangkas Akar dan Inokulasi Fungi
Ektomikoriza pada Bibit Melinjo (Gnetum gnemon)‖ di bawah bimbingan Dr Ir
Arum Sekar Wulandari, MS.