Produksi Serasah Dan Laju Dekomposisi Enhalus Acoroides Dan Cymodocea Rotundata Di Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu

PRODUKSI SERASAH DAN LAJU DEKOMPOSISI
Enhalus acoroides DAN Cymodocea rotundata DI PERAIRAN
PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU

SITI MUSYAROFAH AWALIAH

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul Produksi Serasah
dan Laju Dekomposisi Enhalus acoroides dan Cymodocea rotundata di perairan
Pulau Pari, Kepulauan Seribu adalah benar merupakan hasil karya sendiri dengan
arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan tercantum dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dan karya tulis ini kepada Institut
Pertanian Bogor
Bogor, Januari 2016
Siti Musyarofah Awaliah
NIM C54110053

ABSTRAK
SITI MUSYAROFAH AWALIAH. Produksi Serasah dan Laju Dekomposisi
Enhalus acoroides dan Cymodocea rotundata di perairan Pulau Pari, Kepulauan
Seribu. Dibimbing oleh DIETRIECH GEOFFREY BENGEN dan ADRIANI
SUNUDDIN.
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur produktivitas dan laju dekomposisi
serasah jenis Enhalus acoroides dan Cymodocea rotundata dengan kerapatan yang
berbeda. Penelitian dilakukan di Pulau Pari, Kepulauan Seribu selama 4 bulan
(April-Juli 2015) di empat stasiun (Stasiun E1, E2, C1, dan C2). Metode
pengukuran produksi serasah dan laju dekomposisi adalah kurungan dan inkubasi
serasah secara in situ. Produksi serasah tertinggi (0.0239 gbk/ind/m2 ) terdapat di
Stasiun E2 dengan kerapatan lamun yang padat (36 ind/m2). Serasah Enhalus
acoroides akan terdekomposisi secara sempurna pada hari ke 106 sedangkan
Cymodocea rotundata selama 116 hari. Analisis Komponen Utama menunjukkan

bahwa produksi serasah tertinggi berada di Stasiun E2 (lamun Enhalus acoroides)
dengan kondisi perairan yang kecepatan arusnya relatif lambat, bahan organik total
pada sedimen yang tinggi dan substrat pasir yang lebih banyak dibandingkan
Stasiun E1.
Kata kunci: Cymodocea rotundata, dekomposisi serasah, Enhalus acoroides,
kerapatan lamun, produksi serasah

ABSTRACT
SITI MUSYAROFAH AWALIAH. Productivity and Decomposition Rate of Leaf
Litter Enhalus acoroides and Cymodocea rotundata in Pari Island, Seribu Islands.
Supervised by DIETRIECH GEOFFREY BENGEN and ADRIANI SUNUDDIN.
The study aimed to analyze productivity and decomposition rate leaf litter of
Enhalus acoroides and Cymodocea rotundata. This study was conducted at Pari
Island, Kepulauan Seribu during 4 months (April-July 2015) at four stations (E1,
E2, C1, and C2). Productivity of leaf litter measured by the mesh while the
decomposition rate was entered leaf litter into waring and incubated at the bottom
of seawaters. The highest leaf litter productivity could be found in E2 with high
seagrass density, its value was 0.0239 gbk/ind/m2. Leaf litter of Enhalus acoroides
was completely decomposed after 106 days, while Cymodocea rotundata after 116
days. Principal component analysis shows that the highest productivity of leaf litter

could be found at E2 which has relatively slow current, higher total organic matter,
and more sand substrate than E1.
Keywords: Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides, leaf litter decomposition,
principal component analysis, productivity of leaf litter.

PRODUKSI SERASAH DAN LAJU DEKOMPOSISI
Enhalus acoroides DAN Cymodocea rotundata DI PERAIRAN
PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU

SITI MUSYAROFAH AWALIAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ilmu Kelautan
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2016

PRAKATA

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan anugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi berjudul “Produksi
Serasah dan Laju Dekomposisi Enhalus acoroides dan Cymodocea rotundata
di Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu”. Penelitian ini merupakan tugas akhir
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Departemen Ilmu
dan Teknologi Kalautan yaitu Sarjana Ilmu Kelautan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak selaku dosen pembimbing
yang telah memberikan arahan dan bimbingan. Terima kasih juga penulis ucapkan
kepada Pak Mumu, Kang Abe, Bang Adit, Rika, Nilam, Reno, Yoga, Ardiyansyah,
Nun, Mush, Bang Rifqie, Ardiyanto, Susan, Nana, Keluarga Asrama Putri Darmaga
dan Keluarga Besar ITK 48 atas dukungannya selama ini. Ungkapan terima kasih
juga disampaikan kepada Abi, Mama, Kakak, dan Adik serta seluruh keluarga atas
do’a dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2016

Siti Musyarofah Awaliah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang


1

Tujuan Penelitian

2

METODE

2

Waktu dan tempat

2

Bahan

2

Alat


3

Pengambilan Sampel dan Pengukuran Parameter Lingkungan

3

Prosedur Analisis Data

5

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Fisika dan kimia Perairan Pulau Pari

7
7

Karakteristik Vegetasi Lamun

10


Produksi Serasah Lamun

12

Dekomposisi Serasah Lamun

14

Hubungan Produksi Serasah dan Laju Dekomposisi dengan Karakteristik Fisika
Kimia Perairan dan Kerapatan lamun
17
SIMPULAN DAN SARAN

19

Simpulan

19


Saran

19

DAFTAR PUSTAKA

19

LAMPIRAN

21

RIWAYAT HIDUP

30

DAFTAR TABEL
1 Parameter fisika-kimia air laut dan sedimen yang diukur
2 Hasil Pengukuran parameter fisika dan kimia air laut dan sedimen
di masing-masing stasiun penelitian

3 Komposisi Sedimen di setiap Stasiun
4 Rasio Berat Kering dan Berat Basah

3
8
10
15

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Lokasi penelitian
2
Metode Line Transect Quadrant
4
Kurungan untuk mengukur produksi serasah lamun
5

Jenis lamun yang ditemukan di Pulau Pari (a) Enhalus acoroides, (b)
Cymodocea rotundata, (c) Thalassia hemprichii, (d) Halophila ovalis
(McKenzie et al. 2003)
10
5 Kerapatan total lamun di setiap stasiun
11
6 Kerapatan jenis lamun di setiap stasiun
11
7 Produksi Serasah Enhalus acoroides di (a) Stasiun E1 dan
(b) Stasiun E2
13
8 Produksi serasah Cymoodocea rotundata di (a) Stasiun C1 dan
(b) Stasiun C2
14
9 Persentase pengurangan berat serasah
15
10 Laju dekomposisi serasah
16
11 Analisis perkiraan habis serasah dengan analisis regresi eksponensial
(a) Enhalus acoroides (b) Cymodocea rotundata
17
12 Hasil Analisis komponen Utama (PCA) antara produksi serasah dan laju
dekomposisi dengan karakteristik fisika-kimia perairan dan kerapatan
lamun
18

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Standar Persen Penutupan Lamun Metode Seagrass Watch
Produksi Serasah di Stasiun Pengamatan
Analisis ANOVA Produksi Serasah Enhalus acoroides
Analisis ANOVA Produksi serasah Cymodocea rotundata
Kepadatan Lamun di Stasiun Pengamatan
Data Dekomposisi E.acoroides dan C.rotundata
Persen Pengurangan Berat Serasah
Laju Dekomposisi Serasah
Hasil Analisis PCA
Dokumentasi Penelitian

21
22
22
23
24
26
27
27
27
29

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pulau Pari merupakan salah satu pulau terbesar dari kelima pulau yang
berada di Gugusan Pulau Pari Kepulauan Seribu. Pulau Pari dikelilingi oleh
ekosistem terumbu karang, padang lamun dan mangrove. Vegetasi lamun tersebar
di wilayah perairan Gugus Pulau Pari dengan kedalaman kurang dari 2 meter
dengan kondisi arus yang tenang (Kiswara 1992). Lamun (seagrass) adalah
tumbuhan air berbunga (angiospermae) yang mempunyai kemampuan adaptasi
untuk hidup di lingkungan perairan laut (Azkab 2000). Ekosistem lamun
merupakan salah satu ekosistem di laut yang paling produktif dan berperan penting
bagi kehidupan biota laut (Hutomo dan Azkab 1987). Peranan penting dari
ekosistem lamun yaitu sebagai produsen primer, stabilisator dasar perairan, pendaur
zat hara, sumber makanan, serta sebagai tempat asuhan dan tempat tinggal.
Jenis lamun yang ditemukan di Pulau Pari adalah Cymodocea rotundata,
Enhalus acoroides, Halophila ovalis, dan Thalassia hemprichii. Penelitian ini
difokuskan pada spesies Enhalus acoroides dan Cymodocea rotundata . Enhalus
acoroides merupakan spesies yang mewakili lamun berukuran besar sedangkan
Cymodocea rotundata mewakili spesies lamun yang berukuran kecil. Daun Enhalus
acoroides berbentuk seperti sabuk, tepinya rata, dan memiliki panjang daun antara
65-160 cm dan lebar antara 1,2-2 cm sedangkan Cymodocea rotundata memiliki
daun yang lebih kecil dengan panjang antara 7,7-18 cm dan lebar antara 0,3-0.5 cm.
Enhalus acoroides dapat tumbuh sampai kedalaman 4 m pada substrat pasir, pasir
berlumpur atau lumpur sedangkan Cymodocea rotundata mempunyai toleransi
tinggi pada daerah terbuka (tidak terendam air) dan paling banyak ditemukan pada
daerah intertidal dengan terumbu karang yang lebar dengan substrat pasir atau pasir
berlumpur (Tomascik et. al. 1997). Perbedaan morfologi dan habitat diduga dapat
mempengaruhi jumlah produksi dan laju dekomposisi serasah lamun tersebut.
Ekosistem lamun berfungsi sebagai penyedia nutrien untuk biota di
sekitarnya. Kandungan nutrien yang ada di perairan dan sedimen dipengaruhi oleh
jumlah produksi dan hasil dekomposisi serasah. Serasah adalah daun lamun yang
gugur akibat pengaruh fisik atau umur daun yang sudah tua. Serasah yang
mengendap dimanfaatkan oleh fauna bentik dan partikel-partikel serasah
dimanfaatkan oleh organisme penyaring (filter feeder) (Romimohtarto dan Juwana
2007). Serasah akan terdekomposisi dan menghasilkan bahan organik yang terbawa
oleh arus dan dapat memperkaya ke ekosistem sekitarnya (Krisye 2012). Menurut
Keough et. al (1995) in Bengen (2001), lamun dapat memproduksi 65-85% bahan
organik dalam bentuk detritus dan disumbangkan ke perairan sebanyak 10-20%.
Oleh karena itu tingkat produksi dan laju dekomposisi serasah pada lamun sangat
penting untuk diketahui dalam rangka memahami fungsi ekologi ekosistem lamun
yaitu sebagai penyedia nutrien bagi perairan laut.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur jumlah produksi dan laju
dekomposisi serasah jenis Enhalus acoroides dan Cymodocea rotundata.

2

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April 2015 sampai dengan Juli 2015.
Pengambilan sampel dilakukan di Pulau Pari, gugusan Pulau Pari, Kabupaten
administratif Kepulauan Seribu. Sampel serasah diambil di 4 stasiun yang terdiri
atas Stasiun E1, E2, C1 dan C2 (Gambar 1). Stasiun E1 dan E2 untuk Enhalus
acoroides sedangkan untuk Cymodocea rotundata di Stasiun C1 dan C2. Analisis
laboratorium dilakukan di Laboratorium Bioprospeksi, Departemen Ilmu dan
Teknologi Kelautan, Laboratorium Lingkungan, Laboratorium Nutrisi Ikan
Departemen Budidaya Perairan FPIK-IPB.

Gambar 1 Sebaran Stasiun penelitian di Pulau Pari, Kepulauan Seribu
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain serasah lamun jenis
Enhalus acoroides dan Cymodocea rotundata, substrat lamun, kantong sampel
untuk serasah, benang jaring dan tali rafia.

3
Alat
Alat dan teknik pengukuran parameter fisika-kimia air laut dan sedimen
dapat dilihat pada Tabel 1
Tabel 1 Parameter fisika-kimia air laut dan sedimen yang diukur
Alat dan Teknik
Parameter
Unit
Keterangan
Pengukuran
Fisika
Suhu
°C
Termometer Hg
In situ
Kedalaman
meter
Tongkat berskala (cm)
In situ
Kecerahan
meter
Secchi disk
In situ
Tekstur / Fraksi
%
Saringan bertingkat
Laboratorium
Sedimen
Arus
Pengukur arus dengan
m/s
In situ
bola pelampung
Kimia
Salinitas
pH
Redoks potensial
Bahan Organik Total
Biologi
Kerapatan Lamun
Produksi Serasah
Laju dekomposisi


mV
%

Hand Refractometer
pH meter
Eh meter
Titrasi

In situ
In situ
Laboratorium
Laboratorium

ind/m2
gbk/ind/m2

Kuadran 0.5 m x 0.5 m
Kurungan dengan
waring mesh size 3 mm
Waring dengan mesh
size 1 mm

In situ
In situ

%/hari

In situ

Pengambilan Sampel dan Pengukuran Parameter Lingkungan
Pengambilan Parameter Fisika – Kimia Perairan
Parameter fisika lingkungan meliputi pengukuran suhu, arus, kedalaman,
kecerahan dan fraksi sedimen. Parameter kimia lingkungan perairan yang diukur
meliputi salinitas, pH, redoks potensial sedimen dan Total Organic Matter (TOM)
sedimen. Pengukuran suhu, arus, kedalaman, kecerahan, salinitas, dan pH
dilakukan secara in situ. Parameter fisika kimia sedimen yang diukur dan dianalisa
adalah fraksi sedimen, TOM sedimen dan redoks potensial sedimen. Sampel
sedimen diambil dengan menggunakan corer. Pengukuran TOM sedimen,
fraksinasi sedimen, dan redoks potensial dilakukan di Laboratorium Lingkungan
Budidaya Perairan, FPIK IPB.

4
Perhitungan Kerapatan Lamun
Metode yang digunakan untuk menghitung kerapatan lamun adalah metode
line transect quadrant dimana metode ini mengacu pada metode Seagrass watch
(McKenzie et al. 2003) yang umum dipakai dalam pengamatan struktur komunitas
padang lamun. Transek Garis (line transect) dibentang tegak lurus terhadap garis
pantai dimulai dari saat pertama kali ditemukan lamun sampai sepanjang 50 meter
ke arah laut. Pada setiap stasiun diletakkan 3 line transect dengan jarak antar 25
meter dan dengan jarak antar plot 5 meter sepanjang 50 meter sehingga titik
pengamatan dalam satu line transect ada 11 plot transek kuadrat berukuran 0.5 m x
0.5 m dan jumlah plot dalam satu stasiun ada 33 plot (Gambar 2).
Persen penutupan lamun dilihat berdasarkan standar persen penutupan
metode Seagrass watch (McKenzie et.al 2003) (Lampiran 1).

Gambar 2 Metode Line Transect Quadrant

Perlakuan untuk Produksi Serasah
Metode yang digunakan untuk mengetahui produksi serasah adalah metode
kurungan (Nojima dan Mukai 1996 in Krisye 2012). Kurungan dibuat dari paralon
dan bambu dengan ukuran 0,5 m x 0,5 m x 1 m untuk spesies Enhalus acoroides
dan 0,5 m x 0,5 m x 0,5 m untuk spesies Cymodocea rotundata. Bambu atau paralon
yang sudah dibentuk seperti rangka kubus ditutup dengan kain waring dengan
ukuran mesh size 3 mm (Gambar 3). Dasar perairan dibersihkan terlebih dahulu dari
serasah dan organisme bentos sebelum lamun dikurung. Setelah dibersihkan,
dihitung kerapatan lamun yang akan dikurung. Setiap stasiun akan dibuat 3
kurungan dengan kerapatan yang berbeda sehingga masing-masing spesies
memiliki 6 kurungan. Lamun jenis Enhalus acoroides dibuat kurungan dengan 3
macam kerapatan, yaitu kerapatan yang padat 36 ind/m2, kerapatan yang sedang 20
ind/ m2 dan kerapatan yang jarang 12 ind/m2. Lamun jenis Cymodocea rotundata

5
juga dibuat kurungan dengan 3 macam kerapatan yaitu kerapatan yang padat 260
ind/m2, kerapatan yang sedang 160 ind/ m2, kerapatan yang jarang 40 ind/m2.
Kurungan lamun didiamkan selama 2 bulan. Serasah yang terapung dan
tenggelam dikumpulkan selama 10 hari kemudian dimasukkan ke kantong sampel
untuk dibawa ke laboratorium. Selanjutnya dilakukan pengeringan dengan oven
pada suhu 60-100 °C kemudian ditimbang dengan timbangan digital.

Gambar 3 Kurungan untuk menghitung produksi serasah
Perlakuan untuk Laju Dekomposisi
Serasah lamun dikumpulkan dan dimasukkan kedalam kantong sampel.
Sebelum dilakukan inkubasi di lapangan, serasah lamun dikeringkan dengan jumlah
3 sampel tiap jenis lamun. Sampel dikeringkan menggunakan oven dengan suhu
60-100 °C sampai didapatkan berat konstan. Berat kering awal diukur untuk
mengetahui rasio berat kering dan berat basah.
Serasah Enhalus acoroides diambil sebanyak 10 gram (berat basah)
sedangkan Cymodocea rotundata diambil sebanyak 5 gram (berat basah). Serasah
dimasukkan ke dalam kantong yang terbuat dari waring dengan mesh size 1 mm
berukuran 15 cm x 10 cm. Kantong serasah yang diinkubasikan berjumlah 14
kantong per spesies. Sebanyak 2 kantong dari masing-masing jenis lamun di ambil
setiap 2 hari sampai hari ke 14. Sampel dibawa ke laboratorium kemudian dicuci
dengan air tawar dan dikeringkan dalam oven dengan suhu 60-100 °C sampai
didapatkan berat konstan. Sampel kemudian ditimbang untuk mengetahui berat
yang tersisa.

Prosedur Analisis Data
Kerapatan jenis lamun
Kerapatan jenis lamun adalah jumlah total individu suatu jenis lamun dalam
unit area yang diukur. Kerapatan jenis lamun ditentukan berdasarkan rumus
English et al. (1997) in Sakaruddin (2011)

6
�� =

��

Keterangan :
Di = Kerapatan jenis ke-i (ind/ m2)
Ni = Jumlah total individu jenis ke-i (ind)
A = Luas area total pengambilan sampel (m2)
Produksi Serasah

Produksi serasah dihitung berdasarkan berat serasah yang terapung dan
tenggelam yang berada di dalam kurungan dengan kerapatan yang berbeda pada
setiap 10 hari masa inkubasi.
� =

��

Keterangan :
P = Produksi serasah (gram berat kering (gbk/ind/m2)
w = Berat Serasah (gbk)
Di = Kerapatan Lamun jenis ke-i (ind/m2)
Laju Dekomposisi
Sampel serasah yang akan didekomposisi terlebih dahulu dibuat sampel
standar untuk mengetahui rasio antara berat kering, berat basah, dan kandungan air .
�=



Keterangan :
r = rasio berat kering dan berat basah
BK = Berat kering (gbk)
BB = Berat Basah (gbb)
�=

Keterangan :
k = Kandungan air (%)
r = rasio berat kering dan berat basah

− �

%

Laju dekomposisi dapat dihitung berdasarkan persen pengurangan berat pada
setiap lamanya inkubasi (Juman 2005)
�=

�� − ��


7
Keterangan :
R = Laju dekomposisi (%);
IW = Berat awal serasah (%);
FW = Berat akhir serasah (%); dan
D = Lama inkubasi (10 hari).

Uji Perbedaan Produksi Serasah Enhalus acoroides dan Cymodocea rotundata
Untuk melihat perbedaan produksi serasah lamun E .acoroides dan
Cymodocea rotundata dilakukan analisis ragam (ANOVA), dilanjutkan dengan uji
Duncan’s dengan menggunakan program SPSS 16.0 dan Microsoft Excel.
Kerapatan lamun, produksi serasah, persentase pengurangan berat serasah, laju
dekomposisi serasah disajikan dalam grafik garis dan diagram pie dan dilakukan
analisis nilai antar stasiun. Perkiraan waktu habisnya serasah yang terdekomposisi
dianalisis dengan menggunakan analisis regresi eksponensial.
Hubungan Produksi Serasah dengan Karakteristik Fisika Kimia Perairan dan
Vegetasi Lamun
Lamun merupakan tumbuhan yang menempati suatu area laut dangkal yang
dari satu jenis lamun atau lebih dengan kerapatan yang padat ataupun jarang.
Lamun yang sudah tua akan menjadi serasah yang terdekomposisi. Keberadaan
ekosistem lamun di pengaruhi oleh karakteristik fisika kimia perairan. Oleh karena
itu untuk mengetahui hubungan antara serasah yang dihasilkan dengan karakteristik
fisika kimia perairan dan kerapatan lamun digunakan suatu pendekatan analisis
stastistik multivariabel yang didasarkan kepada Analisis Komponen Utama.
Analisis komponen utama (PCA) merupakan suatu teknik untuk
membentuk variabel baru yang merupakan kombinasi linear dari variabel asal.
Analisis komponen utama terkonsentrasi pada penjelasan struktur varian dan
kovarian melalui suatu kombinasi linear variabel-variabel asal dengan tujuan utama
melakukan reduksi data dan membuat interpretasi. Analisis komponen utama
hubungan antara Produksi Serasah dengan Karakteristik Fisika Kimia Perairan dan
Vegetasi Lamun dianalisis dengan meggunakan software XLstat.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Fisika dan Kimia Perairan di Pulau Pari
Hasil pengukuran parameter fisika-kimia perairan dilakukan di empat stasiun.
Parameter fisika kimia perairan dan substrat pada stasiun penelitian meliputi suhu,
salinitas, pH, kecerahan, kedalaman, kecepatan arus, TOM sedimen, fraksi sedimen,
dan redoks potensial sedimen yang dapat dilihat pada Tabel 2.

8
Tabel 2 Hasil Pengukuran parameter fisika dan kimia air laut dan sedimen di
masing-masing stasiun penelitian
Lokasi
Parameter Fisika
NO
Kimia
Stasiun E1
Stasiun E2 Stasiun C1 Stasiun C2
30
32
30
32
1 Suhu (°C )
33
32
31.5
33
2 Salinitas (‰)
40 - 60
40 - 60
20-40
20-40
3 Kedalaman (cm)
90
100
100
100
4 Kecerahan (%)
8.4 - 8.5
8.7
8.8
8.7
5 pH
Kecepatan arus
6
0.0588
0.0625
0.079
0.083
(m/s)
17.63
16.12
15.64
11.19
7 TOM sedimen (%)
Redoks potensial
8
-44
-55
-41
-44
(mV)
Suhu perairan Pulau Pari pada keempat stasiun berkisar antara 30-32 °C.
Suhu di keempat stasiun memiliki nilai yang relatif lebih tinggi karena diukur pada
waktu siang hari, namun suhu tersebut masih dalam kisaran toleransi hidup lamun
di daerah tropis. Suhu yang optimal bagi lamun untuk berfotosintesis berkisar 2530 °C (Marsh et al. 1986) sedangkan suhu diatas 40 °C lamun akan stres dan mati
diatas suhu 45 °C (McKenzie 2008). Perbedaan suhu yang tinggi akan
menyebabkan stress dan gugurnya daun lamun. Banyaknya daun lamun yang
berguguran akan meningkatkan produksi serasah lamun. Suhu berperan dalam
proses dekomposisi serasah karena pengaruhnya terhadap aktivitas
mikroorganisme pengurai seperti meiofauna.
Hasil pengukuran salinitas pada keempat stasiun berkisar antara 31-33 ‰.
Lamun bersifat euryhalin sehingga dapat tumbuh pada kisaran salinitas 10-35 ‰ .
Jika berada pada kondisi hiposalin (45 ‰) lamun akan
mengalami stress dan mati (Hemminga dan Duarte 2000). Menurut Atlas in Yahya
(2005) pada salinitas 20-40 ‰ mikroorganisme dapat tumbuh dan membantu proses
dekomposisi.
Kedalaman perairan di stasiun pengamatan kurang dari 1 meter. Stasiun E1
dan Stasiun E2 memiliki kedalaman dengan kisaran 40-60 cm sedangkan Stasiun
C1 dan C2 memiliki kedalaman sekitar 20-40 cm. Lamun di Stasiun C1 dan C2
adalah jenis Cymodocea rotundata yang panjang daunnya maksimum adalah 15 cm
sehingga pada saat surut lamun tidak terpapar udara (Waycott et al. 2004)
Nilai kecerahan di Stasiun E1 lebih rendah dibanding stasiun lainnya yaitu
90 %. Hal ini dikarenakan komposisi substrat lumpur di Stasiun E1 lebih banyak
dibanding staisun lainnya. Menurut Dahuri (2003) perairan dengan substrat lumpur
akan memiliki tingkat kecerahan rendah dan tingkat kekeruhan yang tinggi.
Derajat keasaman atau pH pada stasiun penelitian berkisar antara 8.4-8.9.
Nilai pH optimum untuk pertumbuhan lamun berkisar antara 7.3-9 (Phillips dan
Menez in Zulkifli 2000). pH perairan sangat dipengaruhi oleh dekomposisi tanah
dan dasar perairan serta lingkungan sekitarnya. Derajat keasaman juga
mempengaruhi kehidupan mikroorganisme yang membantu dekomposisi serasah
lamun seperti meiofauna karena berperan dalam pengaturan respirasi dan sistem

9
enzim. Biota air termasuk mikroorganisme mampu hidup di kisaran pH 4-9 (Odum
1997).
Arus dapat membantu mendistribusikan serasah lamun ke sistem sekitarnya
seperti ekosistem terumbu karang. Serasah yang diproduksi lamun membantu
meningkatkan kelimpahan fito dan zooplankton di perairan terumbu karang
(Hutomo dan Azkab 1987). Kecepatan arus di 4 stasiun berturut turut adalah 0.0588
m/s, 0.079 m/s, 0.083 m/s, 0.0625 m/s. Arus di Stasiun E1 dan E2 lebih lambat
dibandingkan Stasiun C1 dan C2 karena letaknya yang terhalang oleh pulau serta
ekosistem mangrove.
Hasil pengukuran TOM (Bahan Organik Total) berkisar antara 11-18%.
Nilai TOM yang bervariasi berkaitan dengan tipe sedimen, kondisi lingkungan serta
sumber bahan organik tersebut. Stasiun E1 dan Stasiun E2 memiliki nilai TOM
yang lebih besar dibandingkan 2 stasiun lainnya. Nilai TOM yang tinggi disebabkan
adanya faktor yang berperan sebagai pensuplai bahan organik. Sumber utama bahan
organik sedimen di ekosistem padang lamun adalah jaringan tumbuhan lamun baik
berupa serasah maupun sisa sisa tumbuhan lamun serta adanya suplai bahan organik
dari darat dan ekosistem mangrove di sekitarnya. Stasiun E1 dan Stasiun E2
memiliki komposisi lumpur lebih banyak dibanding Stasiun C1 dan C2 karena
sedimen berpasir umumnya mempunyai kandungan bahan organik lebih sedikit
dibandingkan dengan sedimen berlumpur (Nybakken dan Bertness 2005).
Redoks potensial adalah suatu ukuran yang dipergunakan untuk mengukur
adanya perpindahan elektron (e-). Redoks potensial merupakan sifat elektrokimia
yang dapat dipakai sebagai indikasi dalam mengukur derajat anaerobiosis tanah dan
tingkat transformasi biogeokimia yang terjadi (Ponnamperuna 1972 in Cyio 2008)
Nilai redoks potensial sedimen di stasiun penelitian berkisar antara (-44)-(-55) mV.
Nilai redoks potensial yang bernilai negatif menunjukkan terjadinya proses reduksi
atau penurunan jumlah elektron yang disebabkan oleh bertambahnya bahan organik
pada sedimen.
Komposisi jenis substrat yang berbeda dapat menyebabkan perbedaan
komposisi jenis lamun dan mempengaruhi perbedaan kesuburan dan pertumbuhan
lamun. Menurut Kiswara (1992) perbedaan komposisi ukuran butiran pasir akan
menyebabkan perbedaan nutrisi bagi pertumbuhan lamun, proses dekomposisi dan
mineralisasi yang terjadi di dalam substrat. Karakteristik sedimen secara umum
terdiri dari kerikil. pasir. dan lumpur. Nilai persentase lumpur pada Stasiun E1, E2,
C1, dan C2 berturut-turut adalah 12.58%, 3.83%, 3.60%, dan 4.37%. Nilai
persentase pasir pada Stasiun E1, E2, C1, C2 berturut-turut adalah 87.42%, 95.63%,
96.17%, 96.40%. Nilai persentase kerikil bernilai nol untuk semua stasiun. Hal ini
menunjukkan bahwa tipe substrat dasar perairan didominasi oleh pasir (Tabel 3).
Stasiun E1 dan E2 memiliki nilai persentase lumpur yang lebih tinggi dibandingkan
Stasiun C1 dan C2. Hal ini dapat dipengaruhi oleh kedalaman dan kecepatan arus.
Menurut Hutabarat dan Evans (1985) butiran sedimen halus banyak ditemui di
perairan dalam atau perairan tenang. Stasiun E1 dan Stasiun E2 memiliki nilai
kedalaman yang lebih besar dan kecepatan arus yang lebih lambat dibandingkan
staisun C1 dan C2.

10
Tabel 3 Komposisi sedimen di setiap stasiun (%)
Fraksi
Stasiun
Kerikil (%)
Pasir (%)
Lumpur (%)
0
87.42
12.58
E1
0
95.63
4.37
E2
0
96.17
3.83
C1
0
96.40
3.60
C2

Karakteristik Vegetasi Lamun
Berdasarkan hasil pengamatan di stasiun penelitian ditemukan 4 jenis lamun
yang tersebar di Pulau Pari. Menurut Kiswara (1992) jenis lamun di Pulau Pari yang
ditemukan diantaranya Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, Thalassia
hemprichii, dan Halophila ovalis (Gambar 4). Jumlah jenis lamun di Pulau Pari
hanyalah 33.33% dari seluruh jenis lamun di Perairan Indonesia.

Gambar 4 Jenis lamun yang ditemukan di Pulau Pari (a) Enhalus acoroides, (b)
Cymodocea rotundata, (c) Thalassia hemprichii, (d) Halophila ovalis
(McKenzie et al. 2003)
Morfologi lamun yang ditemukan di pulau Pari berbeda-beda. Enhalus
acoroides memiliki ukuran yang paling besar, panjang helaian daunnya dapat
mencapai 1 meter dan memiliki akar yang tertutup serabut hitam yang rapat yang
berasall dari hasil pembusukan daun tuanya (Den hartog 1970 in Patiri 2013).
Morfologi Cymodocea rotundata ramping dan kecil, memiliki bentuk daun yang
lurus dengan ujung daun membulat dan setiap tunas terdapat 2-5 helai daun.
Thalassia hemprichii memiliki bentuk daun yang melengkung seperti sabit
sehingga sering disebut “sickle seagrass”, ujungnya membundar dan daunnya
tumbuh dari stem vertikal (Waycott et al. 2004). Halophila ovalis mempunyai
bentuk daun yang bulat memanjang atau bulat telur, cenderung bercabang dua
dengan tangkai daun yang pendek (Den Hartog 1970 in Hendra 2011)
Jenis lamun yang diamati yaitu Enhalus acoroides dan Cymodocea
rotundata . Enhalus acoroides diamati di 2 stasiun yaitu barat daya pulau Pari dan
di utara pulau Pari sedangkan Cymodoocea rotundata diamati di 2 stasiun yang
berbeda yaitu di selatan Pulau Pari. Enhalus acoroides dan Cymodocea rotundata
di stasiun pengamatan berasosiasi dengan spesies lamun yang berbeda seperti
Thalassia hemprichii yang terlihat pada beberapa transek pengamatan

11
Kerapatan Jenis Lamun
Kerapatan jenis lamun dipengaruhi oleh jenis lamun. Lamun jenis
Cymodocea rotundata lebih rapat jika dibandingkan dengan Enhalus acoroides
karena ukuran daun dan letak pertumbuhannya. Hasil kerapatan total lamun total
lamun di Pulau Pari disajikan pada Gambar 4.

Kerapatan Lamun (ind/m2 )

180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
E1

E2

C1

C2

Stasiun

Gambar 5 Kerapatan total lamun di setiap stasiun
Kerapatan lamun tertinggi ditemukan pada Stasiun C1 yaitu sebesar 154.73
ind/m2 sedangkan terendah ditemukan di stasiun E2 yaitu sebesar 20.61 ind/m2.
Stasiun C1 memiliki nilai kerapatan tertinggi karena jenis Cymodocea rotundata
yang lebih banyak dibandingkan Enhalus acoroides. Nilai kerapatan lamun
dipengaruhi oleh morfologi lamun. Cymodocea rotundata berukuran lebih kecil
dibandingkan Enhalus acoroides sehingga jumlah tegakan lebih banyak dalam 1
transek.
Kerapatan Lamun (ind/m2 )

120
100
80
60
40
20
0
E1
Enhalus acoroides

E2

Stasiun

Cymodocea rotundata

C1

C2
Thalassia hemprichii

Gambar 6 Kerapatan jenis lamun di setiap stasiun
Jenis Cymodocea rotundata di Stasiun C2 jumlahnya lebih sedikit yaitu
sebesar 82.90 ind/m2 dibandingkan C1 karena Cymodocea terbakar dan baru
mengalami pertumbuhan kembali. Enhalus acoroides di stasiun E1 lebih banyak

12
yaitu sebesar 19.69 ind/m2 karena membentuk padang lamun dan tidak berasosiasi
dengan jenis lain sedangkan di Stasiun E2 jenis Enhalus acoroides berasosiasi
dengan Thalassia hemprichii. Enhalus acoroides tumbuh membentuk kelompok
murni atau bersama sama dengan Thalassia hemprichii dan Halophila ovalis
(Kiswara 1992). Cymodocea rotundata di kedua stasiun tidak tumbuh membentuk
rumpun murni. Sebaran Cymodocea di rataan terumbu Pulau Pari mempunyai
distribusi yang lebih sempit, terdapat di dasar berpasir dan di dasar berlumpur tidak
dijumpai. Stasiun C1 dan C2 memiliki komposisi sedimen lumpur lebih sedikit
dibanding Stasiun E1 dan E2 sehingga dapat dijumpai Cymodocea dalam jumlah
yang lebih banyak.
Produksi Serasah Lamun
Produksi Serasah Enhalus acoroides
Produksi Serasah lamun Enhalus acoroides dihitung di dua stasiun yaitu
Stasiun E1 yang terletak di barat daya dan Stasiun E2 di utara Pulau Pari. Serasah
dikumpulkan selama 10 hari dan dihitung berat keringnya. Pengambilan serasah di
Stasiun E1 dilakukan sebanyak 5 kali. Rata-rata produksi serasah di Stasiun E1
dengan kerapatan 12 ind/m2 (jarang) adalah 0.01 gbk/ind/m2, serasah lamun di
kerapatan 20 ind/m2 (sedang) adalah 0.0135 gbk/ind/m2 dan serasah lamun di
kerapatan 36 ind/m2 (padat) adalah 0.015 gbk/ind/m2 (Gambar 4). Produksi serasah
terbanyak di Stasiun E1 terdapat di kurungan lamun dengan kerapatan 36 ind/ m2
(padat) pada periode ke-5 sebesar 0,0254 gbk/tegakan/m2.
Pengambilan serasah di Stasiun E2 dilakukan sebanyak 4 kali karena pada
pengambilan selanjutnya kurungan rusak dan hilang. Rata-rata produksi serasah di
Stasiun E2 yang terbanyak terdapat di kurungan lamun dengan kerapatan 36 ind/m2
sebesar 0.0239 gbk/ind/m2 sedangkan di kurungan lamun dengan kerapatan 20
ind/m2 (jarang) sebesar 0.018 gbk/ind/m2 dan serasah di kurungan lamun dengan
kerapatan 12 ind/m2 (sedang) sebesar 0.018 gbk/ind/m2. Produksi serasah yang
terbanyak di Stasiun E2 terdapat pada kurungan lamun dengan kerapatan 36 in/m2
(padat) pada periode ke-4 sebesar 0.0272 gbk/tegakan/m2.
Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa kerapatan lamun di
stasiun E1 tidak berpengaruh terhadap produksi serasah (P > 0.05) sedangkan di
Stasiun E2 berpengaruh terhadap produksi serasah. Kerapatan lamun jarang pada
stasiun E2 berbeda nyata dengan kerapatan lamun yang sedang dan padat. Menurut
Kuriandewa (1997) yang mempengaruhi jumlah serasah lamun diantaranya faktor
kedalaman, luas areal lamun, persentase tutupan lamun dan jenis yang dominan di
padang lamun.

13
0,05
Jumlah produksi
(gbk/tegakan/m2)

0,04
0,03
0,02
0,01
0,00
1

2

3

4

5

Periode Pengamatan (10 hari)
Jarang

Sedang

Padat

(a)
0,05

Jumlah produksi
(gbk/tegakan/m2)

0,04
0,03
0,02
0,01
0,00

1

2

3

Periode Pengamatan (10 hari)
Jarang
Sedang

4
Padat

(b)
Gambar 7 Produksi serasah lamun Enhalus acoroides yang berbeda kerapatan
(jarang, sedang, padat) di (a) Stasiun E1 dan (b) Stasiun E2
Produksi Serasah Cymodocea rotundata
Pengambilan serasah lamun Cymodocea rotundata di Stasiun C1 hanya
dilakukan sebanyak 3 kali sedangkan di Stasiun C2 dilakukan sebanyak 4 kali.
Perbedaan jumlah pengambilan serasah disebabkan kurungan yang sudah tidak
ditemukan lagi di lokasi penelitian karena terbawa arus yang sangat kencang. Ratarata produksi serasah di Stasiun C1 dengan kerapatan 40 ind/m2 (jarang) sebesar 7
x − gbk/ind/m2, serasah lamun di kerapatan 160 ind/m2 (sedang) sebesar 2.8 x

gbk/ind/m2 dan serasah lamun di kerapatan 260 ind/m2 (padat) sebesar 2.8 x

gbk/ind/m2 (Gambar 7a).
Produksi serasah di stasiun C2 lebih sedikit dibandingkan stasiun C1. Ratarata produksi serasah pada kurungan lamun dengan kerapatan 40 ind/m2 (jarang)
sebesar 1.4 x − gbk/ind/m2, serasah lamun pada kurungan dengan kerapatan 160
ind/m2 (sedang) sebesar 1.6 x − gbk/ind/m2 dan serasah lamun di kerapatan
260 ind/m2 (padat) sebesar 2 x − gbk/ind/m2 (Gambar 7b).
Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukkan pada Stasiun C1 dan C2
menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh (P > 0.05) antara kerapatan lamun yang

14
berbeda dengan produksi serasah yang dihasilkan. Hasil analisis menunjukkan
bahwa faktor yang mempengaruhi produksi serasah lamun adalah persentase
tutupan lamun.
8,0E-04

Jumlah produksi
gbk/tegakan/m2)

6,0E-04
4,0E-04
2,0E-04
0,0E+00

1

2
3
Periode Pengamatan (10 hari)
Jarang
Sedang
Padat

(a)

Jumlah produksi
(gbk/tegakan/m2)

8,0E-04

6,0E-04

4,0E-04

2,0E-04

0,0E+00
1

2

3

Periode Pengamatan (10 hari)
Jarang

Sedang

4

Padat

(b)
Gambar 8 Produksi serasah lamun Cymodocea rotundata yang berbeda kerapatan
(jarang, sedang, padat) di (a) Stasiun C1 dan (b) Stasiun C2

Dekomposisi Serasah Lamun
Rasio Berat Kering dan Berat basah
Nilai rasio antara berat kering dan berat basah menunjukkan bahwa lamun
memiliki kandungan air yang berbeda-beda. Rasio berat kering untuk Cymodocea
rotundata sebesar 0.4 gbk sedangkan Enhalus acoroides memiliki nilai yang lebih
tinggi yaitu 1,6 %. Kandungan air terbesar adalah spesies Enhalus acoroides yaitu
84 % (Tabel 4). Berdasarkan penelitian Rumiantin (2011) hasil pengukuran kadar
air menunjukkan bahwa lamun Enhalus acoroides mengandung kadar air yang
cukup tinggi yaitu sebesar 84,38%. Kandungan air yang tinggi mengakibatkan
mudahnya bakteri, dan kapang untuk berkembang biak sehingga akan terjadi
perubahan materi dan mempercepat pembusukan sehingga lamun Enhalus

15
acoroides mudah sekali mengalami kerusakan (highly perishable) apabila tidak
ditangani secara benar.
Tabel 4 Rasio Berat Kering dan Berat Basah
Jenis
Cymodocea rotundata
Enhalus acoroides

Berat
Basah
(gbb)
2
10

Berat Kering (gbk)

Rasio
BK/BB

0.4
1.6

0.2
0.16

%
Kandungan
Air
80
84

Laju Dekomposisi

Persen pengurangan berat (%)

Serasah Enhalus acoroides mengalami pengurangan berat yang lebih besar
yaitu 15.63% dibandingkan Cymodocea rotundata 8.75% pada hari kedua
pengamatan (Gambar 8). Hari ke 10 sampai hari ke 14 spesies E. acoroides
mengalami pengurangan berat yang tidak signifikan dan lebih kecil jika
dibandingkan C. rotundata. Serasah Enhalus acoroides kehilangan berat mencapai
lebih dari 50% dalam waktu 14 hari dan lebih cepat kehilangan berat dibandingkan
Cymodocea rotundata. Hal ini sejalan dengan penelitian Supriadi dan Arifin (2005)
di perairan Pulau Barrang Lompo menunjukkan bahwa Enhalus acoroides
mengalami pengurangan berat lebih banyak dibandingkan Thalassia hemprichii
dalam waktu 8 minggu. Serasah Enhalus acoroides mengalami pengurangan berat
sebesar 92.11-97.78% sedangkan Thalassia hemprichii sebesar 85.32-85.53%.
100
80
60
40
20
0

2

4
6
8
10
12
Periode pengamatan
Enhalus acoroides
Cymodocea rotundata

14

Gambar 9 Persentase Pengurangan Berat Serasah
Laju dekomposisi serasah Enhalus acoroides dan Cymodocea rotundata
disajikan pada Gambar 9. Laju dekomposisi tertinggi Enhalus acoroides dan
Cymodocea rotundata terjadi pada hari yang sama yaitu hari ke 2. Laju dekomposisi
Enhalus acoroides tertinggi yaitu 7.81%/hari sedangkan Cymodocea rotundata
sebesar 4.38%/hari. Hal ini diduga pada hari kedua telah dimulainya proses
kolonisasi dari bakteri. Memasuki hari ke 4, laju dekomposisi Enhalus acoroides
dan Cymodocea rotundata menunujukkan adanya penurunan dan berfluktuasi. Hal
ini diduga karena adanya penurunan aktivitas dari bakteri yang terlibat proses
dekomposisi. Laju dekomposisi Enhalus acoroides dari hari ke-2 sampai hari ke-6
lebih cepat dibanding Cymodocea rotundata. Enhalus acoroides memiliki daun
yang lebih lebar sehingga bakteri yang melakukan dekomposisi lebih banyak.

16
Menurut Onate pocalioga (1992) in Supriadi dan Arifin (2005), semakin besar luas
permukaan daun mengakibatkan bertambahnya laju dekomposisi. Memasuki hari
berikutnya laju dekomposisi E .acoroides mengalami penurunan dan diduga hal ini
disebabkan oleh semakin kecilnya jumlah material serasah yang dikonsumsi
mikroba. Cymodocea rotundata mengalami laju dekomposisi yang lebih lambat
dibandingkan E.acoroides dan mengalami penurunan di hari ke-4. Hal ini diduga
luas permukaan daun yang lebih kecil, karakteristik fisik serta komposisi kimia
daun Cymodocea rotundata.

Laju dekomposisi (%/hari)

10
8
6
4
2
0
0

2

4
6
8
10
12
Periode Pengamatan
E. acoroides
C.rotundata

14

Gambar 10 Grafik laju dekomposisi serasah E.acoroides dan C.rotundata
Hasil penelitian Krisye (2012) di Perairan Pulau Barrang Lompo
menunjukkan laju dekomposisi tertinggi spesies Cymodocea rotundata terjadi pada
hari ke 10 sebesar 4.7 %/hari. Laju dekomposisi Cymodocea rotundata lebih lambat
dibandingkan di perairan Pulau Pari. Hal ini diduga kondisi perairan yang lebih
hangat di perairan Pulau Pari dibanding Pulau Barrang Lompo sehingga
memungkinkan perkembangan dan aktivitas bakteri pendegradasi relatif lebih baik.
Menurut Yulipriyanto (2009) faktor yang mempengaruhi laju dekomposisi
adalah komposisi kimia dan ukuran partikel serasah. Komposisi kimia tersebut
meliputi kandungan senyawa dalam serasah seperti karbon (C), Nitrogen (N),
Fosfor (P) polifenol, lignin dan selulosa yang mempengaruhi kualitas serasah.
Serasah yang memiliki kandungan lignin dan selulosa yang tinggi memiliki laju
dekomposisi yang lebih lama. Karakteristik fisik daun juga mempengaruhi laju
dekomposisi. Daun yang kaku dan licin permukaannya akan lebih mudah
meloloskan air sehingga laju dekomposisi lebih lambat. Kandungan air yang lebih
banyak akan mempercepat proses dekomposisi. C.rotundata memiliki karakter
daun yang lebih kaku dan permukaannya licin dibandingkan E.acoroides sehingga
kandungan air Cymodocea rotundata lebih sedikit dibandingkan Enhalus acoroides
yaitu sebesar 80%. Jumlah hari perkiraan habisnya serasah dapat diketahui dengan
menggunakan regresi eksponensial (Gambar 10). Serasah Cymodocea rotundata
akan terdekomposisi secara sempurna pada saat memasuki hari ke 116 sedangkan
E.acoroides selama 106 hari. Cymodocea rotundata memiliki waktu yang lebih
lama agar dapat terdekomposisi secara sempurna.

Berat kering serasah (gbk)

17
2
1,5

y = 1,4646e-0,05x
R² = 0,9293

1
0,5
0
0

2

4

6
8
Hari pengamatan

10

12

14

(a)
Berat kering serasah (gbk)

1
0,8
y = 0,4027e-0,043x
R² = 0,9966

0,6
0,4
0,2
0
0

2

4

6

8

10

12

14

Hari pengamatan

(b)
Gambar 11 Analisis regresi eksponensial perkiraan habis serasah (a) Enhalus
acoroides dan (b) Cymodocea rotundata

Hubungan Produksi Serasah dan Laju Dekomposisi dengan Karakteristik
Fisika-Kimia Perairan dan Kerapatan Lamun
Hubungan antara
produksi serasah dan laju dekomposisi dengan
karakteristik fisika kimia perairan dan vegetasi lamun menggunakan Analisis
Komponen Utama (Principal Component Analysis) yang dapat dilihat pada Gambar
12. Parameter yang digunakan dalam analisis PCA adalah produksi serasah,
kecepatan arus, pasir, lumpur, redoks potensial, dan TOM sedimen. Hasil analisis
digunakan untuk mengeksplorasi hubungan antara produksi serasah dengan
kerapatan lamun dan karakteristik fisika-kimia di stasiun penelitian di perairan
Pulau Pari (Lampiran 9).

18
3

Laju…

2

E1.1 Lumpur
E1.2
E1.3

F2 (31.12 %)

1

C2.2
C2.3
C2.1 Kecepatan
arus
C1.3
C1.2 C1.1

0

-1

TOM

-2

Produksi
Serasah

-3
-4

-3

-2

Eh

Pasir

E2.1
E2.2
E2.3
-1

0
1
F1 (55.71 %)

2

3

4

Gambar 12 Hasil Analisis Komponen Utama (PCA) antara Produksi serasah dengan
Karakteristik Fisika-kimia Perairan dan Kerapatan Lamun
Parameter yang memiliki korelasi positif dengan produksi serasah adalah
bahan organik total (TOM), sedangkan yang memiliki korelasi negatif adalah
kecepatan arus dan redoks potensial sedimen. Tingginya bahan organik total pada
sedimen diduga berasal dari produksi serasah yang tinggi. Laju dekomposisi
serasah lebih cepat pada kondisi sedimen yang memiliki nilai Eh yang tinggi. Nilai
Eh yang tinggi menunjukkan bahwa terjadi proses oksidasi sehingga kandungan
oksigen lebih banyak. Dekomposer membutuhkan oksigen yang cukup sehingga
laju dekomposisi bahan organik akan lebih cepat (Naibaho 2015)
Produksi serasah yang tinggi berada di Stasiun E2 dengan kerapatan lamun
padat yaitu 36 ind/m2 yang memiliki kandungan pasir lebih banyak dibandingkan
Stasiun E1. Produksi serasah yang paling rendah berada pada Stasiun C1 dan C2
dengan kerapatan jarang, sedang, dan rapat yang dicirikan oleh nilai redoks
potensial sedimen yang tinggi, kecepatan arus yang tinggi dan kandungan substrat
pasir yang lebih banyak dibandingkan lumpur. Kecepatan arus mempengaruhi
kandungan bahan organik total pada sedimen. Sedimen pada perairan yang arusnya
kuat akan memiliki nilai kandungan bahan organik total yang rendah karena
terbawa arus dan hanya sedikit yang mengendap di sedimen. Bahan organik yang
semakin meningkat akan menurunkan nilai Eh. Laju dekomposisi lebih cepat di
stasiun E1 dibandingkan stasiun C1 yang ditandai dengan kandungan lumpur yang
banyak dan bahan organik total yang tinggi.

19

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa produksi serasah
Enhalus acoroides lebih banyak dibandingkan serasah C.rotundata. Produksi
serasah E.acoroides terbanyak yaitu di Stasiun E2 dengan kerapatan 36 ind/m2
sebesar 0.0239 gbk/ind/m2. Laju dekomposisi Enhalus acoroides lebih cepat
dibandingkan C.rotundata dengan laju tertinggi kedua spesies terjadi pada hari
kedua. Rata-rata laju dekomposisi E. acoroides adalah 3.62% sedangkan
C.rotundata adalah 3.3%/hari.
Saran
Perlu dilakukan pengukuran laju pertumbuhan untuk mengetahui umur hidup
lamun dan penelitian dengan jenis lamun yang berbeda di lokasi yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA
Azkab MH. 2000. Produktivitas di Lamun. J Oseana. 1 (25):1-11.
Bengen DG. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut.
PKSPL IPB. Bogor
Cyio MB. 2008. Efektivitas Bahan Organik dan Tinggi Genangan terhadap
Perubahan Eh, pH, dan Status Fe, P, Al Terlarut pada Tanah Ultisol. J
Agroland. 15(4):257-263
Dahuri R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut Aset Pembangunan Berkelautan
Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Hemminga MA, CM Duarte. 2000. Seagrass Ecology. Cambridge University
Press. Cambridge.
Hendra. 2011. Pertumbuhan dan Produksi Biomassa Daun Lamun Halophila
ovalis, Syringodium isoetifolium dan Halodule uninervis pada Ekosistem
Padang Lamun di Perairan Pulau Barrang Lompo [Skripsi]. Makassar (ID):
Universitas Hasanudin.
Hutabarat S, Evans. 2006. Pengantar Oseanografi. Universitas Indonesia. Jakarta.
Hutomo M, Azkab. MH. 1987. Peranan Lamun Di Lingkungan Laut Dangkal J
Oseana. Balitbang Biologi Laut. Pustlibang Biologi Laut-LIPI. 12(1): 13 –
23.
Juman RA. 2005. Biomass. Litterfall and Decomposition Rates for the Fringed
Rhizophora mangle Forest Lining the Bon Accord Lagoon. Tobago. Rev.
Biol. Trop. J. Trop. Biol. IS53 (1): 207-217
Kuriandewa TE. 1992. Produksi Serasah Daun Lamun pada Padang Lamun
Vegetasi Tunggal dan campuran di Wilayah Perairan Teluk Kotania.
Prosiding II Seminar nasional Biologi XV
Kiswara W. 1992. Vegetasi Lamun (Seagrass) di Rataan Terumbu Pulau Pari,
Pulau Pulau seribu, Jakarta. J Oseanologi di Indonesia 25:31-49

20
Krisye. 2012. Analisis Produksi Serasah dan Laju Dekomposisi Berbagai Jenis
Lamun Di Perairan Pulau Barrang Lompo [Skripsi]. Makassar (ID):
Universitas Hasanudin.
Marsh JA, Dennison WC, Alberte RC. 1986. Effects of Temperature on
Photosynthesis and Respiration in Eelgrass (Zostera marina L.) J.l Exp Mar
Biol Ecol. 101: 257-267.
McKenzie LJ. 2008. Seagrass Watch. Proceedings of a workshop for mapping and
monitoring seagrass habitats in north east arnhem land northern territory
McKenzie LJ, Campbell SJ, Roder CA. 2001. Seagrass-Watch: Manual for
Mapping & Monitoring Seagrass Resources by Community (citizen)
volunteers. (QFS. NFC. Cairns) 100pp
Naibaho RF. 2015. Laju Dekomposisi Serasah Daun Avicennia marina dan
Kontribusinya terhadap Nutrisi di Perairan Serambi Deli Kecamatan Pantai
Labu [Skripsi]. Medan (ID); Universitas Sumatera Utara.
Nybakken JW, Bertness MD. 2005. Marine Biology: An Ecological Approach. 3rd
edition. New York (NY): Pearson Benjamin Cummings.
Odum EP. 1997. Fundamental of Ecology, 3rd Edition. Saunders College
Publishing : Philadelphia. 474p
Patiri J. 2013. Sintasan dan pertumbuhan Semaian Lamun Enhalus acoroides di
Perairan Pulau Barrang Lompo [Skripsi]. Makassar (ID): Universitas
Hasanudin.
Romimohtarto K, Juwanan S. 2007. Biologi Laut. Djambatan. Jakarta.
Rumiantin RO. 2011. Kandungan Fenol, Komponen Fitokimia, dan Aktivitas
Antioksidan Lamun Enhalus acoroides [Skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor
Sakaruddin MI. 2011. Komposisi Jenis, Kerapatan, Peren Penutupan dan Luas
Penutupan Lamun di Perairan Pulau Panjang tahun 1990 – 2010 [Skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Supriadi, Arifin. 2005. Dekomposisi Serasah Daun Lamun Enhalus Acoroides dan
Thalassia Hemprichii di Pulau Barranglompo, Makassar. Torani 15(1) 5964.
Tomascik, T., A.J. Mah, A. Nontji, dan M. K. Moosa. 1997. The Ecology of the
Indonesian Seas Part Two. Periplus Edition. Singapore. Periplus Edition.
Singapore
Yahya, Yessy. 2005. Kelimpahan Bakteri Pendegradasi Serasah Lamun Enhalus
acoroides Pada Ekosistem Terumbu Karang dan Padang Lamun di Pulau
Barrang Lompo Makassar. Jurusan Ilmu Kelautan FIKP-Unhas. Makassar.
Yulipriyanto. 2009. Laju Dekomposisi Pengomposan Sampah Daun dalam Sistem
Tertutup. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan
Penerapan MIPA Fakultas MIPA Universitas Negeri Yogyakarta
Waycott, M., K. McMahon, J. Mellors, A. Calladine dan D. Kleine. 2004. A
Guide to Tropical Seagrasses of the Indo-West Pasific. In Tropical
Seagrass Identification. www.seagrasswatch.org/id_seagrass.html [20
Agustus 2015]
Zulkifli. 2000. Sebaran Spasial Komunitas Perifiton dan Asosiasinya Dengan
Lamun di Perairan Teluk Pandan Lampung Selatan. [Tesis] Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor

21
LAMPIRAN
Lampiran 1 Standar Persen Penutupan Lamun Metode Seagrass Watch

22

Kurungan

Stasiun

Lampiran 2 Produksi Serasah di Stasiun Pengamatan

Kepadatan
(ind/m2)

1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3

E1

E2

C1

C2

Hari ke
10
0,0072
0,0133
0,0120
0,0039
0,0200
0,0180
0,0000
0,0000
0,0000
0,0001
0,0001
0,0002

12
20
36
12
20
36
40
160
260
60
180
280

20
0,0078
0,0080
0,0083
0,0100
0,0240
0,0250
0,0001
0,0004
0,0005
0,0003
0,0003
0,0003

30
40
50
0,0050
0,0100
0,0200
0,0105
0,0150
0,0205
0,0130
0,0160
0,0254
0,0120
0,0108 0,0135
0,0145 0,0253
0,0272 0,0001 0,0004 0,0004 0,0000
0,0001 0,0002
0,0000 0,0000
0,0003 -

Lampiran 3 Analisis ANOVA Produksi Serasah Enhalus acoroides
Stasiun E1
ANOVA
Produksi
Jumlah
kuadrat
Antar kelompok
Dalam kelompok
Total

Derajat
bebas

,000
,000
,000

Kuadrat
tengah

2
12
14

,000
,000

Produksi
Subset for
alpha = 0.05
Kerapatan
Duncana

N

1

1,00

5

,0100

2,00

5

,0135

3,00

5

,0149

Nilai P

,219

F hitung
,976

Nilai P
,405

23
Stasiun E2
ANOVA
Produksi
Jumlah
kuadrats
Antar kelompok
Dalam kelompok
Total

Derajat
bebas

,000
,000
,001

Kuadrat
tengah

2
9
11

F hitung

,000
,000

12,280

Nilai P
,003

Produksi
Subset for alpha = 0.05
Kerapatan
Duncan

a

N

1

2

1,00

4

,0092

2,00

4

,0180

3,00

4

,0239

Nilai P

1,000

,081

Lampiran 4 Analisis ANOVA Produksi Serasah Cymodocea rotundata
Stasiun C1
ANOVA
Produksi
Jumlah
kuadrats
Antar kelompok
Dalam kelompok
Total

Derajat
bebas

,000
,000
,000

Kuadrat
tengah

2
9
11

,000
,000

Produksi
Subset for
alpha = 0.05
Kerapatan
Duncan

a

N

1

1,00

4

,0001

2,00

4

,0002

3,00

4

,0002

Nilai P

,463

F hitung
,333

Nilai P
,725

24
Stasiun C2
ANOVA
Produksi
Jumlah
kuadrats
Antar kelompok
Dalam kelompok
Total

Derajat
bebas

,000
,000
,000

Kuadrat
tengah
2
6
8

F hitung

,000
,000

1,581

Nilai P
,281

Produksi
Subset for alpha =
0.05
Kerapatan
Duncan

a

N

1

1,00

3

,0001

2,00

3

,0003

3,00

3

,0003

Nilai P

,187

Lampiran 5 Kerapatan Lamun di Stasiun Pengamatan
Stasiun E1
No

Transek

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50

Line 1
Tutupan( Tegaka
%)
n (EA)
50
7
50
8
60
9
85
13
85
13
40
5
75
12
75
12
95
15
50
7
70
10

Line 2
Tutupan
Tegaka
(%)
n (EA)
75
12
70
11
60
9
60
9
60
9
60
9
90
14
70
10
50
8
50
7
45
6

Line 3
Tutupan
Tegaka
(%)
n (EA)
50
7
95
15
75
12
45
5
60
9
70
10
70
10
70
11
50
8
60
9
90
14

25
Stasiun E2
Line 1
Line 2
Line 3
Tutupan (%) EA Tutupan (%) EA Tutupan (%) EA Tutupan (%) TH
60
9
0
0
50
8
0
0
60
9
0
0
70
10
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
60
9
0
0
0
0
0
0
60
10
0
0
65
9
0
0
0
0
60
9
0
0
80
20
80
14
20
4
60
9
0
0
85
15
70
10
50
7
0
0
85
15
10
3
0
0
0
0

Kuadrat
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Stasiun C1

Ku
adr
at

Line 1
Tutu
pan
(%)

C
R

Tutu
pan
(%)

0

0

0

10

5

0

0

40

10

0

0

40

15

0

0

0

20

35

25

40

30

40

35

35

40

80

45

30

50

60

5
4
7
5
5
6
2
0
6
5
2
0
4
0

Line
2
Tutu
pan
(%)

Line 3
C
R

Tutu
pan
(%)

T
H

Tutu
pan
(%)

C
R

Tutu
pan
(%)

T
H

Tutu
pan
(%)

E
A

0

0

3

1
0

0

0

2

7

15

3

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

2

7

0

0

0

0

0

0

0

0

0

5

1
3

10

0

0

0

0

0

0

0

0

3

8

10

0

0

0

0

0

0

10

0

0

0

0

0

0

25

0

0

0

0

0

0

50

0

0

0

0

0

0

60

0

0

0

0

0

0

0

0

30

0

0

0

0

0

0

0

0

30

0

0

0

0

T
H
1
5
6
0
5
8

2
0
4
0
6
5
7
0

25
10
45
30

3
0
2
4
6
0
4
5
4
7
4
8

10
30
35
40
40
35

2
3
2
5
2
5
4
0
5
0
6
0
5
5
4
5

26
Stasiun C2
Kuadrat

Line 1

Line 2

Line 3

Tutupan(%)

CR

Tutupan(%)

CR

Tutupan(%)

TH

Tutupan(%)

CR

0

40

45

60

64

0

0

0

0

5

55

60

45

50

0

0

0

0

10

0

0

20

34

0

0

0

0

15

0

0

35

45

0

0

0

0

20

0

0

20

30

15

20

30

50

25

0

0

30

42

40

60

10

20

30

45

48

25

30

0

0

10

20

35

0

0

1