Deteksi Residu Tetrasiklin Pada Keju Yang Diimpor Melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
DETEKSI RESIDU TETRASIKLIN PADA KEJU
YANG DIIMPOR MELALUI PELABUHAN
TANJUNG PRIOK, JAKARTA
AI SRIMULYATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Deteksi Residu
Tetrasiklin pada Keju yang Diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Ai Srimulyati
NIM B251130031
RINGKASAN
AI SRIMULYATI. Deteksi Residu Tetrasiklin pada Keju yang Diimpor melalui
Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Dibimbing oleh TRIOSO PURNAWARMAN
dan HADRI LATIF.
Tetrasiklin banyak digunakan di peternakan baik untuk pencegahan dan
pengobatan penyakit maupun sebagai pemacu pertumbuhan. Administrasi yang
tidak benar dapat mengakibatkan residu antibiotik pada susu dan produknya
termasuk keju serta dapat berkontribusi terhadap perkembangan resistensi
mikroba terhadap obat, penyebaran bakteri resisten, serta berdampak serius
terhadap kesehatan konsumen. Penelitian ini bertujuan mendeteksi keberadaan
residu tetrasiklin pada keju yang diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok,
Jakarta selama bulan Januari sampai Maret 2015.
Kajian yang digunakan pada penelitian ini adalah kajian lintas seksional.
Besaran sampel sebanyak 51 dihitung dengan menggunakan formula
n = [1-(1-a)1/D] [N-(D-1)/2] dengan keterangan N = jumlah populasi, n = ukuran
sampel, a = tingkat kepercayaan (95%) dan D = nilai dugaan populasi positif
(13.33%). Deteksi residu tetrasiklin pada keju impor dilaksanakan dengan
menggunakan dua metode uji yakni competitive enzyme-linked immunosorbent
assay (ELISA) dan bioassay. Kedua pengujian tersebut dilakukan secara pararel.
Data dari penelitian ini dianalisa secara deskriptif.
Hasil analisis dengan metode ELISA kompetitif menunjukkan tujuh dari
51 (13.7%) sampel yang diuji mengandung residu tetrasiklin dengan konsentrasi
2.47-11.99 ppb. Hasil analisis dengan metode bioassay menunjukkan 11 dari 51
(21.6%) sampel yang diuji mengandung residu tetrasiklin. Kisaran konsentrasi
yang didapat dari hasil pengujian ELISA menunjukkan bahwa konsentrasi residu
dalam sampel keju impor berada jauh di bawah BMR yang ditetapkan oleh
Standar Nasional Indonesia 01-6366-2000 (50 ppb) dan Codex Alimentarius
Commission (100 ppb). Hasil penelitian menunjukkan bahwa surveilans terhadap
berbagai residu antibiotik pada keju impor perlu dilakukan secara rutin demi
menjamin perlindungan kesehatan konsumen.
Kata kunci: bioassay, ELISA, keju impor, residu antibiotik, tetrasiklin
SUMMARY
AI SRIMULYATI. Tetracycline Residue Detection on Cheese Imported through
Tanjung Priok Seaport, Jakarta. Supervised by TRIOSO PURNAWARMAN and
HADRI LATIF.
Tetracyclines is widely used in animal husbandry for both of prevention
and treatment of diseases and as growth promotion. Improper administration can
result antibiotic residues in milk and dairy products such as cheese and can
contribute to the development of microbial drug resistance and the spread of the
resistant bacteria, including those with serious health consequences in consumer.
The aim of this study is to determine the presence of tetracycline in imported
cheese. A total of 51 imported cheese samples was collected at Tanjung Priok
Seaport, Jakarta from January to March of 2015.
The study used in this research was a cross-sectional study. To determine
the presence of tetracycline residues in the imported cheese, a total of 51 imported
cheese samples were calculated using the formula of n = [1-(1-a)1/D] [N-(D-1)/2]
with a description of N = total population, n = size sample, a = level of confidence
(95%) and D = the estimated value of the positive population (13.33%).
Competitive enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) and bioassay methods
used parallelly for tetracycline determination. Datas regarding the proportion of
antibiotic positive samples were analyzed descriptively.
The result showed that 7 out of 51 (13.7%) samples analyzed by
competitive ELISA contained tetracycline residue. The result also showed
that 11 out of 51 (21.6%) samples analyzed by bioassay contained tetracycline
residue. The concentration of tetracycline residues in samples were found in the
range of 2.47-11.99 ppb. None of the samples analyzed showed the presence of
tetracycline residues above the maximum residue limits (MRLs) established by
National Standardization Agency of Indonesia and Codex Alimentarius
Commission (CAC).
The results demonstrate that the regularly surveillance study of various
antimicrobial residues in cheeses need to be done to ensure safety, quality, and to
protect the health of the Indonesian consumer.
Keywords: antibiotic residue, bioassay, cheese imported, ELISA, tetracyclines
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
DETEKSI RESIDU TETRASIKLIN PADA KEJU
YANG DIIMPOR MELALUI PELABUHAN
TANJUNG PRIOK, JAKARTA
AI SRIMULYATI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr med vet Drh Mirnawati B.
Sudarwanto
Judul Tesis : Deteksi Residu Tetrasiklin pada Keju yang Diimpor melalui
Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta
Nama
: Ai Srimulyati
NIM
: B251130031
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Drh Trioso Purnawarman, MSi
Ketua
Dr med vet Drh Hadri Latif, MSi
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat Veteriner
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2014 ini ialah
residu antibiotik pada keju sebagai produk susu olahan, dengan judul Deteksi
Residu Tetrasiklin pada Keju yang Diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok,
Jakarta.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Drh Trioso Purnawarman,
MSi dan Bapak Dr med vet Drh Hadri Latif, MSi selaku dosen pembimbing serta
Prof Dr Drh Mirnawati B. Sudarwanto sebagai dosen penguji luar komisi. Ucapan
terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada Dr Drh Yusuf
Ridwan, MSi selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet
FKH-IPB dan Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi sebagai Ketua
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH-IPB beserta seluruh staf.
Selanjutnya, penghargaan juga penulis sampaikan kepada Badan
Penyuluhan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (BP2SDM) Kementerian
Pertanian yang telah memberikan beasiswa serta kepada Bapak Drh Sriyanto, MSi
PhD sebagai Kepala Bidang Karantina Hewan beserta seluruh staf Laboratorium
Karantina Hewan Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok yang telah
membantu selama pengumpulan data dan sampel serta pengujian laboratorium.
Ucapan terima kasih juga penulis haturkan untuk rekan-rekan mahasiswa
pascasarjana S2 dan S3 KMV angkatan 2012, 2013 dan 2014 baik program
khusus maupun reguler yang telah bersama-sama dalam menempuh pendidikan di
kampus FKH IPB tercinta.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahanda H. Aminin, SPdI
dan ibunda Hj. Ade Suhaebah, suami terkasih H. Suharyanto, ST, ananda
Muhammad Alvaro Calief, serta kakak-kakak dan adik-adik tersayang atas segala
do’a, kasih sayang dan dorongannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Aamiin.
Bogor, Agustus 2015
Ai Srimulyati
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Keju
Tetrasiklin dan Penggunaannya di Peternakan
Residu Tetrasiklin dan Dampaknya terhadap Kesehatan Masyarakat
Metode Pengujian Residu Tetrasiklin pada Pangan
ELISA
Bioassay
3 METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Alat dan Bahan
ELISA
Bioassay
Rancangan Penelitian
Metode Pengujian ELISA
Metode Pengujian Bioassay
Analisis Data
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
iii
iii
iii
1
1
2
2
2
2
3
4
5
5
5
6
6
6
6
6
6
7
8
11
11
18
18
18
18
23
25
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
Drug withdrawal times untuk tetrasiklin
Jenis dan besaran sampel keju impor yang diambil sebagai obyek
penelitian
Hasil pengujian residu tetrasiklin pada keju impor dengan metode
ELISA kompetitif
Hasil pengujian residu tetrasiklin pada keju impor dengan metode
bioassay
Hasil pengujian residu tetrasiklin pada keju impor dengan metode ELISA
kompetitif dan bioassay
5
11
12
13
14
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
Contoh hasil pengujian residu antibiotik pada sampel keju impor
Kurva standar ELISA untuk residu tetrasiklin
Kurva baku bioassay untuk residu tetrasiklin
10
12
13
DAFTAR LAMPIRAN
1
Hasil pengujian terhadap seluruh sampel keju impor dengan metode
ELISA kompetitif dan bioassay
23
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Susu merupakan pangan asal hewan yang memiliki aktivitas air yang
tinggi sehingga mudah rusak jika tidak diawetkan (Zanella et al. 2010;
MacDonald et al. 2011; Jeppu et al. 2015). Pembuatan keju ditujukan untuk
memperpanjang umur simpan dan melestarikan komponen bergizi susu (Samelis
et al. 2009; MacDonald et al. 2011). Keju mulai dibuat sekitar 80000 tahun yang
lalu. Hingga kini ada lebih dari 1 000 varietas keju di seluruh dunia. Pengolahan
keju melibatkan kombinasi empat bahan utama yakni susu, rennet,
mikroorganisme dan garam (Beresford et al. 2001; Yang 2001; Mari et al. 2014).
Keju diproses melalui beberapa langkah umum seperti pembentukan gel,
pemisahan whey, produksi asam dan penambahan garam, diikuti dengan periode
pematangan. Variasi campuran bahan dan pengolahan menyebabkan evolusi
varietas keju. Variasi parameter pengolahan seperti suhu pemasakan dan teknik
penanganan dadih berperan dalam menentukan karakteristik setiap jenis keju,
sedangkan mikroflora keju berperan penting dalam pengembangan karakteristik
unik masing-masing varietas keju (Beresford et al. 2001; Morandi & Brasca 2012;
Aydemir et al. 2015).
Kapasitas produksi keju dalam negeri yang tidak sebanding dengan
peningkatan kebutuhan konsumsi masyarakat mendorong pemerintah untuk
melakukan kebijakan importasi keju. Indonesia melakukan importasi keju dari
berbagai negara di antaranya Selandia Baru, Australia, Amerika Serikat, Filipina,
Belanda, Perancis, Argentina, Singapura, Denmark, Italia, Belgia, Malaysia, dan
Jerman (BBKPTP 2014).
Besarnya volume dan tingginya frekuensi impor keju memerlukan
pengawasan terhadap keberadaan residu antibiotik sebagai bahan berbahaya bagi
konsumen. Penggunaan antibiotik tanpa memperhatikan waktu henti obat atau
farmakokinetika obat kemungkinan besar akan mengakibatkan hadirnya residu
antibiotik tersebut pada pangan asal hewan dan juga produk olahannya (Latif
2004; Agwuh & MacGowan 2006; Nagel et al. 2009).
Salah satu golongan antibiotik yang sering digunakan pada peternakan
sapi perah adalah tetrasiklin (Adetunji 2011; Abou-Raya et al. 2013, Kellnerová et
al. 2014). Selama pertengahan tahun 1990-an, perkiraan jumlah penggunaan
tetrasiklin pada peternakan di Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Australia
berturut-turut sebesar 2 311, 77 619, dan 3 488 000 kg/tahun (sebagai agen
terapeutik dan subterapeutik), sedangkan di Eropa sebesar 2 294 000 kg/tahun
sebagai agen terapeutik saja (Chopra & Roberts 2001).
Tetrasiklin merupakan golongan antibiotik berspektrum luas. Tetrasiklin
secara luas digunakan di peternakan baik sebagai agen pengobatan penyakit,
pemacu pertumbuhan (growth promotors), maupun sebagai imbuhan pakan (feed
additive) untuk meningkatkan kinerja (O’Keefe et al. 2001; NaVrátiloVá et al.
2009). Tetrasiklin juga sering ditambahkan ke dalam pakan ternak dengan
konsentrasi subterapeutik sebagai agen profilaksis kolektif untuk mencegah
terjadinya penyakit (Nagel et al. 2009; Blasco et al. 2009).
2
Menurut Adetunji (2011), residu tetrasiklin hadir dengan konsentrasi
berbeda pada berbagai tahap pengolahan keju, dan tahap pengolahan keju tidak
sepenuhnya menghilangkan residu tetrasiklin meskipun telah mengalami berbagai
perlakuan. Hadirnya residu tetrasiklin pada pangan asal hewan berbahaya bagi
konsumen karena dapat menimbulkan masalah kesehatan (Kellnerová et al. 2014;
Ahmed et al. 2015).
Belum ada laporan mengenai konsentrasi residu tetrasiklin pada keju
impor di Indonesia sehingga penelitian ini merupakan yang pertama kalinya
dilakukan. Pengujian residu tetrasiklin pada keju impor perlu dilaksanakan dalam
rangka pengawasan keamanan bahan pangan sebagaimana termaktub pada
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, karena berpotensi
menyebabkan gangguan kesehatan bagi konsumen.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mendeteksi keberadaan residu tetrasiklin pada keju
yang diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta serta untuk menyediakan
data dan informasi ilmiah untuk Badan Karantina Pertanian dalam rangka
menetapkan kebijakan pengujian residu tetrasiklin pada keju impor.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dan informasi mengenai
keberadaan residu tetrasiklin pada keju impor sehingga dapat menjadi bahan
pertimbangan dalam perumusan maupun penyempurnaan regulasi yang berkaitan
dengan importasi keju.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Keju
Keju adalah produk olahan susu yang dimatangkan atau tidak
dimatangkan; bertekstur lembut, semi-keras, keras atau ekstra-keras; yang dapat
dilapisi oleh pelapis lilin. Keju dapat diperoleh dengan cara mengentalkan
seluruhnya atau sebagian protein susu, susu skim, sebagian susu skim, krim, whey
krim atau buttermilk atau kombinasi dari bahan ini, melalui aksi rennet atau agen
koagulasi lain yang sesuai dan dengan cara mengeringkan sebagian whey yang
dihasilkan dari koagulasi. Keju juga dapat dihasilkan dengan teknik pengolahan
yang melibatkan koagulasi protein susu dan/atau produk yang dihasilkan dari susu
yang memberikan produk akhir dengan fisik, kimia dan organoleptik yang
diinginkan (Beresford et al. 2001; FAO & WHO 2010).
Langkah utama pada pembuatan keju adalah koagulasi komponen kasein.
Kasein dapat dibekukan dengan menggunakan salah satu/kombinasi dari metode
3
berikut ini: a) proteolisis terbatas menggunakan enzim (rennet); b) pengasaman
dengan menambahkan asam atau kultur starter; dan c) pengasaman
dikombinasikan dengan pemanasan sampai dengan suhu sekitar 90 °C (Fox &
McSweeney 2004; Henning et al. 2006). Mayoritas keju yang diproduksi dengan
koagulasi enzimatik, secara tradisional menggunakan rennet dari perut sapi muda,
anak sapi, domba, dan kerbau (Fox & McSweeney 2004; Marie et al. 2014).
Tetrasiklin dan Penggunaannya di Peternakan
Menurut Blasco et al. (2009), grup tetrasiklin beranggotakan beberapa
antibiotik spektrum luas dengan fitur antimikroba yang sama, tetapi agak berbeda
satu sama lain dalam hal spektrum dan disposisi farmakokinetik. Ada 3 tetrasiklin
alami (oksitetrasiklin, klortetrasiklin dan dimetilklortetrasiklin) dan beberapa
merupakan semisintetis (tetrasiklin, rolitetrasiklin, metasiklin, minosiklin,
doksisiklin, limesiklin) (Agwuh & MacGowan 2006; Bogialli et al. 2007). Waktu
eliminasi menghasilkan klasifikasi sebagai short-acting (tetrasiklin,
oksitetrasiklin, klortetrasiklin), intermediate-acting (dimetilklortetrasiklin dan
metasiklin) dan long-acting (minosiklin dan doksisiklin) (Chopra & Roberts
2001).
Seluruh turunan tetrasiklin berbentuk kristal dan berwarna kekuningan.
Tetrasiklin merupakan zat amfoterik yang dalam larutan air membentuk garam
baik dengan asam maupun basa. Karakteristik tetrasiklin berpendar bila terkena
sinar ultraviolet. Bentuk garam yang paling umum adalah hidroklorida, kecuali
doksisiklin yang tersedia sebagai doksisiklin hiklat. Tetrasiklin stabil sebagai
bubuk kering namun tidak stabil sebagai larutan air, terutama pada rentang pH
yang lebih tinggi (7.0-8.5). Tetrasiklin membentuk ikatan yang larut dengan
kation bivalen dan trivalen terutama kalsium, magnesium, aluminium dan besi.
Doksisiklin dan minosiklin menunjukkan kelarutan terhadap lemak terbesar dan
penetrasi yang lebih baik terhadap bakteri seperti Staphylococcus aureus daripada
kelompok tetrasiklin yang lain (Grenier et al. 2000; Chopra & Roberts 2001;
TMVM 2012).
Tetrasiklin merupakan antibiotik spektrum luas yang efektif melawan
bakteri aerobik, anaerobik, Gram positif, Gram negatif, mikoplasma, riketsia,
klamidia dan bahkan beberapa protozoa (amoeba) (Bogialli et al. 2007;
Mohammed-Ali 2012). Beberapa strain yang resisten terhadap tetrasiklin
diantaranya Pseudomonas aeruginosa, Proteus, Serratia, Klebsiella,
Arcanobacterium spp, dan Escherichia coli patogen (Chopra & Roberts 2001;
Flórez et al. 2008). Pada umumnya terdapat resistensi silang antara anggota
tetrasiklin, namun doksisiklin dan minosiklin biasanya lebih efektif terhadap
stafilokokus (Blasco et al. 2009).
Tetrasiklin sebagian besar diberikan kepada hewan dengan tujuan untuk
mengobati penyakit dan sebagai suplemen makanan. Tetrasiklin juga digunakan
sebagai agen profilaksis untuk mencegah terjadinya infeksi serta sebagai imbuhan
pakan (feed additive) untuk meningkatkan kinerja (O’Keefe et al. 2001; Bogialli
et al. 2007). Tetrasiklin diberikan secara oral sebagai zat aditif pada pakan atau
langsung melalui suntikan (Hoeben et al. 1998, Blasco et al. 2009). Antibiotik
sebagai pemacu pertumbuhan biasanya ditambahkan sebagai imbuhan pakan yang
4
secara umum bermanfaat karena secara tidak langsung berpengaruh terhadap
pertumbuhan mikroorganisme perusak zat-zat gizi dalam pakan dan merangsang
pertumbuhan mikroorganisme pembentuk asam amino (Yuningsih 2005;
Fernandes et al. 2014).
Ada beberapa hal yang menjadi perhatian berkaitan dengan penggunaan
antibiotik pada produksi ternak. Pertama, residu antibiotik pada pangan asal
hewan dapat terjadi pada tingkat yang tidak dapat diterima sehingga menimbulkan
potensi efek toksik bagi individu yang rentan. Kedua, antibiotik yang digunakan
secara luas dalam industri peternakan dapat berkontribusi terhadap
berkembangnya resistensi bakteri terhadap obat (O’Keefe et al. 2001; Fernandes
et al. 2014). Ketiga, hadirnya residu tetrasiklin pada susu sebagai bahan baku
pengolahan keju dapat mengganggu proses fermentasi oleh kultur starter yang
digunakan (Beltran et al. 2014). Dilaporkan bahwa 0.3 mg/ml tetrasiklin telah
terbukti mampu memodifikasi sifat organoleptik keju Edam dan 0.7 mg/ml
tetrasiklin telah terbukti mampu memodifikasi sifat organoleptik keju Emmenthal
(Nagel et al. 2009).
Residu Tetrasiklin dan Dampaknya terhadap Kesehatan Masyarakat
Residu antibiotik didefinisikan sebagai seluruh bahan aktif atau
metabolitnya yang tetap hadir dalam bahan makanan yang bersumber dari hewan
yang telah diberikan produk obat. Peraturan Dewan dan Parlemen Eropa Nomor
470/2009 mendefinisikan residu antibiotik sebagai seluruh zat farmakologi aktif,
baik bahan aktif, bahan pembantu maupun produk turunan dan metabolitnya, yang
tetap hadir dalam makanan asal hewan (EC 1981). Menurut O’Keefe et al. (2001),
ditemukannya residu antibiotik pada pangan asal hewan dengan kadar di atas
batas maksimum residu mengindikasikan diperlukannya praktek yang baik di
dalam penggunaan obat hewan.
Masalah kesehatan masyarakat yang mungkin timbul akibat asupan
tetrasiklin secara terus-menerus termasuk reaksi alergi pada individu sensitif,
toksisitas dan efek karsinogenik. Gagalnya pengobatan akibat resistensi, gangguan
jumlah mikroba saluran pencernaan, superinfeksi oleh patogen tidak rentan seperti
kapang, khamir dan bakteri resisten mungkin terjadi ketika tetrasiklin digunakan.
Hal ini dapat menyebabkan gangguan gastrointestin setelah administrasi baik per
oral atau parenteral atau infeksi persisten ketika tetrasiklin digunakan secara
topikal (Bogialli et al. 2007; Blasco et al. 2009).
Efek patologik yang disebabkan oleh tetrasiklin dalam makanan adalah
transfer resistensi bakteri terhadap suatu antibiotik ke manusia, efek
imunopatologi, autoimun, karsinogenik, mutagenik, hepatotoksik, nefrotoksik,
kerusakan sistem reproduksi, toksisitas tulang belakang, alergi, kontraindikasi
pada individu insufisiensi ginjal dan dermatitis fototoksik (Bogialli et al. 2007;
Darwish et al. 2013; Fernandes et al. 2014). Ikatan tetrasiklin dengan kalsium
menjadikan tetrasiklin masuk ke dalam struktur gigi dan tulang sehingga
menghambat kalsifikasi (misalnya hipoplasia enamel gigi) dan menyebabkan
perubahan warna menjadi kekuningan kemudian kecoklatan. Pada konsentrasi
yang sangat tinggi, proses penyembuhan patah tulang dapat terganggu (Grenier et
al. 2000; Blasco et al. 2009).
5
Codex Alimentarius Comission (CAC 2011) menetapkan batas maksimum
residu untuk tetrasiklin pada susu adalah 100 ppb sedangkan menurut Standar
Nasional Indonesia (SNI) 01-6366-2000 batas maksimum residu untuk tetrasiklin
pada susu adalah 50 ppb (BSN 2000). Regulasi mengenai waktu henti obat (drug
withdrawal times) tetrasiklin untuk pangan asal hewan atau waktu penyingkiran
susu (milk discard times) disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Drug withdrawal times untuk tetrasiklin (TMVM 2012)
Jenis tetrasiklin
Spesies
Withdrawal times (hari)
Oksitetrasiklina
Sapi
15-22
a
Oksitetrasiklin (long-acting)
Sapi
28
Klortetrasiklin
Sapi
10
a
Bukan untuk digunakan pada sapi perah laktasi
Metode Pengujian Residu Tetrasiklin pada Pangan
Metode pengujian residu antibiotik dapat dikelompokkan menjadi empat
kategori utama: pendekatan mikrobiologi berdasarkan hambatan pertumbuhan
bakteri (tube test, single-plate assay dan multi-plate assay); biosensor
(imunosensor berdasarkan penggunaan elemen transduksi yang berbeda termasuk
transduksi elektrokimia, transduksi optik dan transduksi massa); teknik
imunokimia (enzyme-based immunoassay/EIA misalnya enzyme-linked
immunosorbent assay/ELISA, fluorescence-polarization immunoassay/FPIA); dan
kromatografi (kertas, gas, cair, lapis tipis). Metode-metode tersebut memiliki
variasi dalam kehandalan, kecepatan dalam memperoleh hasil dan biaya analisis
(Bogialli et al. 2007; Kantiani et al. 2009; Mohammed-Ali 2012).
ELISA
ELISA adalah uji biokimiawi yang menggunakan antibodi dan perubahan
warna berperantara enzim untuk mendeteksi kehadiran baik antigen (protein,
peptida, hormon) maupun antibodi dalam sampel yang diberikan. ELISA
memungkinkan deteksi antigen atau antibodi dengan konsentrasi yang sangat
rendah. Metode ELISA kompetitif dapat mendeteksi perbedaan komposisi dalam
campuran antigen kompleks dengan sensitivitas tinggi, serta dapat mendeteksi
antibodi tertentu yang hadir dalam jumlah yang relatif kecil. ELISA merupakan
kit yang murah dan ideal digunakan untuk skrining terhadap populasi yang besar
dan dengan sumber daya yang terbatas (Zhang et al. 2007; Kantiani et al. 2009;
Gan & Patel 2013).
Bioassay
Bioassay merupakan suatu pengujian menggunakan mikroorganisme untuk
mendeteksi senyawa antibiotik yang masih aktif (BSN 2008). Bioassay adalah uji
skrining mikrobiologi yang sederhana dan murah serta banyak digunakan di Eropa
untuk mendeteksi residu antibiotik pada pangan asal hewan. Validasi terhadap
teknik bioassay sebagai alat uji skrining residu antibiotik menunjukkan bahwa
teknik ini memungkinkan untuk mendeteksi sejumlah antibiotik pada pangan asal
6
hewan dengan konsentrasi sama atau di bawah batas maksimum residu, meskipun
beberapa antibiotik terdeteksi pada tingkat yang lebih tinggi dari batas maksimum
residu (Gaudin et al. 2010; Myllyniemi 2004).
3 METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Pengambilan sampel dilaksanakan di tempat pemasukan Pelabuhan
Tanjung Priok, Jakarta mulai bulan Januari sampai Maret 2015. Pengujian
dilaksanakan pada bulan April 2015 di laboratorium Karantina Hewan Balai Besar
Karantina Pertanian Tanjung Priok, Jakarta.
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam pengujian ELISA adalah kit ELISA
untuk tetrasiklin (Ridascreen® Tetracyclin Art. No R3505), trichloacetic acid
(TCA) 3%, natrium hidroksida (NaOH), larutan substrat kromagen, microplate
well polystyrene, sentrifus, vortex, pipet pasteur, pipet graduate, mikropipet
20-200 µl dan 200-1000 µl serta ELISA reader (RIDA® SOFT Win Art. No
Z9999).
Bahan yang digunakan dalam pengujian bioassay adalah mikroorganisme
(spora Bacillus cereus ATCC 11778), peptone (Difco 211677), yeast extract
(Difco 212750), bacto agar (Difco 214010), beef extract, Oksitetrasiklin
hidroklorida, KH2PO4 (Kalium dihidrogen fosfat, Merck 1.047831.000), Na2HPO4
(Dinatrium fosfat, Merck 1.065860.500), aquadest, dan kertas cakram steril
(diameter 6 mm). Peralatan yang diperlukan adalah cawan petri, tabung reaksi,
tabung sentrifus, labu ukur, gelas ukur, pipet pasteur, pengocok tabung, magnet
pengaduk, pH meter, mikro pipet, jangka sorong, ose dan pinset.
Rancangan Penelitian
Kajian yang digunakan pada penelitian ini adalah kajian lintas seksional.
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara mengumpulkan sampel keju secara
acak sederhana di tempat pemasukan Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Sampel
yang diambil adalah seluruh jenis keju yang masuk pada saat dilakukan
pengambilan sampel. Volume impor keju dari berbagai negara melalui Pelabuhan
Tanjung Priok pada tahun 2014 sebesar 21 177 494 kg dengan frekuensi
kedatangan 751 kali. Untuk mengetahui keberadaan residu tetrasiklin pada keju
impor,
besaran
sampel
dihitung
dengan
menggunakan
formula
n = [1-(1-a)1/D] [N-(D-1)/2] dengan keterangan N = jumlah populasi, n = ukuran
sampel, a = tingkat kepercayaan (95%) dan D = nilai dugaan populasi positif
(Thrusfield 2005).
7
Besaran sampel yang didapat dengan menggunakan perangkat Win
Episcope 2.0 adalah sebesar 51 sampel. Nilai dugaan populasi positif didapat dari
hasil penelitian Ady (2012) yang menyebutkan bahwa 13.33% sampel susu bubuk
yang diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok mengandung residu tetrasiklin.
Unit pengambilan sampel dipilih berdasarkan boks kemasan. Setiap sampel
diambil sebanyak 500 g, kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik steril
yang telah diberi label kode sampel, negara asal, jenis keju dan tanggal
pengambilan.
Deteksi residu tetrasiklin pada keju impor dilaksanakan dengan
menggunakan uji tapis (screening test) berupa metode bioassay berdasarkan
Standar Nasional Indonesia (SNI) 7424:2008 yang dimodifikasi dalam hal
persiapan contohnya, dikombinasikan secara paralel dengan metode enzymelinked immunosorbent assay (ELISA) kompetitif merujuk pada metode yang
dipublikasikan oleh Gaurav et al. (2014). ELISA untuk pengujian residu antibiotik
merupakan metode uji tapis kualitatif/kuantitatif yang telah divalidasi dan sesuai
dengan kriteria Keputusan Komisi Eropa Nomor 2002/657/EC (Wang et al.
2009).
Metode Pengujian ELISA
Prinsip dasar uji ini adalah reaksi antigen-antibodi. Sumur microtiter
terlebih dahulu dilapisi dengan tetrasiklin-protein-konjugat (antigen yang telah
dikenal) kemudian ditambahkan standar tetrasiklin atau larutan sampel (antigen
yang tidak dikenal/tetrasiklin bebas) dan antibodi anti-tetrasiklin (antibodi
primer). Tetrasiklin bebas dan tetrasiklin-protein-konjugat bersaing untuk
mengikat antibodi anti-tetrasiklin (kompetitif). Setiap antibodi yang tidak
berikatan kemudian dihilangkan. Selanjutnya, antibodi sekunder berlabel enzim
ditambahkan ke dalam sumur agar berikatan dengan antibodi primer. Setelah
menghilangkan antibodi sekunder yang tidak berikatan, larutan substrat kromagen
ditambahkan ke dalam sumur lalu diinkubasi. Ikatan konjugat enzim akan
mengubah warna kromagen menjadi biru.
Persiapan Sampel
Sebanyak 15 g keju dimasukkan ke dalam 30 ml metanol 10% kemudian
dihomogenkan menggunakan stomacher. Sampel yang telah homogen kemudian
dipindahkan ke dalam vial sentrifus 50 ml dan diinkubasi di dalam waterbath
bersuhu 40 °C selama 10 menit. Selanjutnya sampel disentrifugasi selama
15 menit dengan kecepatan 3 000 rpm. Sebanyak 1 ml sampel dipindahkan ke
dalam vial 1.5 ml kemudian disentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan
2 000 rpm. Bagian supernatan diencerkan 1:10 dalam larutan buffer.
Pengujian Sampel
Standar (50 µl), sampel (50 µl) dan antibodi primer (50 µl) dimasukkan ke
dalam microplate well polystyrene yang telah dilapisi dengan antigen tetrasiklin
dan diinkubasi selama 1 jam pada temperatur ruangan. Selama inkubasi terjadi
reaksi antara tetrasiklin bebas dari standar atau sampel dan tetrasiklin dari dasar
sumur dengan antibodi tetrasiklin yang diserap dalam bentuk padatan. Dilanjutkan
8
pada tahap pencucian yakni ke dalam sumur dimasukkan 250 µl washing buffer
untuk membuang seluruh ikatan molekul padatan yang tidak diperlukan (antibodi
primer yang tidak berikatan). Selanjutnya ke dalam sumur dimasukkan enzyme
conjugate (antibodi sekunder berlabel enzim) sebanyak 100 µl dan diinkubasi
selama 15 menit pada temperatur ruangan agar berikatan dengan antibodi primer.
Dilanjutkan pada tahap pencucian yakni ke dalam sumur dimasukkan 250 µl
washing buffer untuk membuang seluruh antibodi sekunder yang tidak berikatan.
Aktivitas ikatan enzim ditentukan dengan penambahan larutan substrat kromagen
(100 µl) lalu diinkubasi selama 15 menit pada temperatur ruangan dalam kondisi
gelap. Selama inkubasi enzim mengubah larutan kromagen yang tidak berwarna
menjadi berwarna biru, lalu ditambahkan stop reagen (100 µl) untuk
menghentikan reaksi.
Pembacaan Hasil
Kandungan tetrasiklin dalam sampel dibaca dengan ELISA Reader. Data
diperoleh berdasarkan pembacaan absorbansi sampel atau standar pada ELISA
Reader dengan panjang gelombang 450 nm.
Metode Pengujian Bioassay
Prinsip pengujian ini adalah residu antibiotik akan menghambat
pertumbuhan mikroorganisme yang ada pada media agar (BSN 2008).
Penghambatan dapat dilihat dengan terbentuknya daerah hambatan di sekitar
kertas cakram. Pelaksanaan pengujian bioassay terdiri dari beberapa tahap, yaitu:
Pembuatan Larutan Dapar
Sebanyak 6.4 g KH2PO4 dan 18.9 g Na2HPO4 ditimbang dan dilarutkan
dalam akuabides sampai 1 000 ml. pH larutan diatur hingga menjadi 7.0±0.1
kemudian disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121±1 ºC dengan tekanan
15 pressure square inche/psi selama 15 menit.
Pembuatan Media
Media biakan Bacillus cereus dibuat dengan menimbang peptone 6 g, beef
extract 1.5 g, yeast extract 3 g, KH2PO4 1.35 g, bacto agar 15 g dan akuabides
10000 ml. Peptone, beef extract, yeast extract dan KH2PO4 dilarutkan dalam
sebagian akuabides, kemudian ditambahkan bacto agar, selanjutnya ditambahkan
akuabides hingga volume menjadi 1 000 ml. pH larutan disesuaikan pada 5.7±0.1
selanjutnya dididihkan sampai bacto agar terlarut. Semua media biakan
disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121±1 ºC, dengan tekanan 15 psi selama
15 menit.
Media biakan spora dibuat dengan menimbang peptone 10 g, beef extract
5 g, NaCl 2.5 g, bacto agar 20 g dan akuabides 1 000 ml. Peptone, beef extract
dan NaCl dilarutkan dalam sebagian akuabides, kemudian ditambahkan bacto
agar, selanjutnya ditambahkan akuabides hingga volume menjadi 1 000 ml. pH
larutan disesuaikan pada 6.5±0.1 selanjutnya dididihkan sampai bacto agar
terlarut. Semua media biakan disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121±1 ºC,
dengan tekanan 15 psi selama 15 menit.
9
Pembuatan Larutan Stok Baku Pembanding
Sejumlah baku pembanding oksitetrasiklin hidroklorida dilarutkan dalam
akuabides hingga diperoleh konsentrasi 1 000 µg/ml.
Pembuatan Larutan Baku Kerja
Sebanyak 2 ml larutan stok baku pembanding diencerkan dengan larutan
dapar sampai dengan 20 ml untuk memperoleh larutan baku kerja 100 µg/ml.
Selanjutnya dilakukan pengenceran serial hingga diperoleh konsentrasi 1 µg/ml.
Pembuatan Kurva Baku
Sebanyak 1 ml biakan spora dimasukkan ke dalam 100 ml kultur media
yang telah dicairkan dengan penangas air hingga temperaturnya mencapai
55±1 ºC. Media yang telah mengandung spora dituang sebanyak 8 ml ke dalam
cawan petri steril berukuran 100x12 mm yang telah diberi kode kemudian
didiamkan pada suhu kamar hingga membeku. Larutan baku kerja disiapkan
dengan variasi konsentrasi 10 µg/ml, 4 µg/ml, 2 µg/ml, 1 µg/ml, 0.5 µg/ml, dan
0.25 µg/ml. Konsentrasi yang digunakan sebagai larutan kurva baku adalah
konsentrasi 4 µg/ml, 2 µg/ml, 1 µg/ml, 0.5 µg/ml, dan 0.25 µg/ml. Masing-masing
larutan baku kerja diteteskan pada kertas cakram dan dibiarkan hingga menyerap
seluruhnya sebelum diletakkan pada media cawan petri. Diteteskan juga larutan
dapar fosfat masing-masing pelarut dari baku kerja sebagai kontrol negatif.
Selanjutnya cawan petri ditempatkan pada bidang datar pada suhu kamar selama 1
sampai 2 jam sebelum diinkubasi pada suhu 30±1 ºC selama 16-18 jam.
Diameter daerah hambat diukur dengan menggunakan jangka sorong. Dari
luas daerah hambat dibuat kurva yang menyatakan hubungan (linier regresi)
antara konsentrasi antibiotik dengan daerah hambatan. Kurva baku digunakan
sebagai dasar pengujian untuk memperkirakan konsentrasi residu yang terkandung
dalam sampel yang diuji jika terbentuk daerah hambatan.
Persiapan Sampel
Keju sebanyak 10 g dipotong kecil-kecil, kemudian pelarut dapar fosfat
ditambahkan sebanyak 20 ml. Larutan tersebut dihomogenkan menggunakan
homogenizer, kemudian disentrifus 3 000 rpm selama 10 menit. Supernatan
diambil dan siap untuk digunakan sebagai larutan contoh uji.
Pembuatan Spora
Bakteri Bacillus cereus ATCC 11778 ditumbuhkan pada media agar
miring dalam botol media (roux’s bottle) sebanyak 100 ml. Bakteri Bacillus
cereus ATCC 11778 diinokulasikan ke dalam botol-botol tersebut dengan cara
melakukan goresan dengan menggunakan ose, diinkubasi selama satu minggu
pada suhu 30 ºC dan diamati pertumbuhannya setiap hari.
Biakan yang telah membentuk spora dipanen dengan cara mengerok
permukaan media dengan ose steril dan dimasukkan dalam larutan NaCl fisiologis
steril 20 ml sebanyak 4 tabung, kemudian suspensi tersebut dipanaskan dalam
penangas air pada suhu 65 ºC selama 30 menit. Suspensi kemudian disentrifus
dengan kecepatan 3 000 rpm selama 30 menit, lalu supernatannya dibuang dan
ditambahkan larutan NaCl fisiologis steril secukupnya, selanjutnya dihomogenkan
dan dimasukkan dalam refrigerator dengan kisaran suhu 4-8 ºC selama 18-24 jam.
10
Suspensi tersebut kemudian dipanaskan kembali dalam penangas air pada suhu 65
ºC selama 30 menit. Kemudian disentrifus dengan kecepatan 1 000 rpm selama 5
menit dan diambil supernatannya. Hasilnya disimpan sebagai suspensi spora
dalam refrigerator dengan suhu maksimal 10 ºC.
Pelaksanaan Pengujian
Sebanyak 1 ml suspensi spora dimasukkan ke dalam 100 ml kultur media
yang telah dicairkan dengan penangas air hingga temperaturnya mencapai
55±1 ºC. Media yang telah mengandung kuman uji dituang sebanyak 8 ml ke
dalam cawan petri steril berukuran 100x12 mm yang telah diberi kode sampel
kemudian didiamkan pada suhu kamar hingga membeku.
Tiap cawan petri berisi lima kertas cakram, yang terdiri dari tiga kertas
cakram masing-masing ditetesi 75 µl sampel yang akan dianalisa, satu kertas
ditetesi 75 µl larutan baku pembanding (tetrasiklin konsentrasi 1 µg/ml) sebagai
kontrol positif, dan satu kertas ditetesi larutan dapar fosfat sebagai kontrol negatif
(Gambar 1). Kertas cakram dibiarkan menyerap larutan seluruhnya sebelum
diletakkan di atas media dalam cawan petri. Cawan petri ditutup dan diinkubasi
pada suhu 30±1 ºC selama 16-18 jam. Pengujian sampel dilakukan dengan tiga
kali pengulangan untuk mendapatkan data yang akurat sehingga setiap sampel
menggunakan tiga cawan petri.
B
A
C
K-
K+
20 mm
Gambar 1 Contoh hasil pengujian residu antibiotik pada sampel keju impor. A:
sampel no 28, B: sampel no 29, C: sampel no 30, K-: kontrol negatif,
K+: kontrol positif.
Hasil uji ditentukan dengan mengamati dan mengukur diameter zona
hambatan yang terbentuk di sekeliling kertas cakram menggunakan jangka
sorong. Untuk memperkirakan konsentrasi residu, luas daerah hambat dimasukkan
dalam kurva standar yang dibuat. Konsentrasi antibiotik dalam sampel dapat
11
ditentukan secara semi kuantitatif. Semakin luas zona hambatan di sekitar kertas
cakram maka semakin tinggi konsentrasi residu antibiotik dalam sampel.
Analisis Data
Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis deskriptif
dengan menyajikan data dalam bentuk tabel dan gambar untuk menggambarkan
residu tetrasiklin. Analisis deskriptif adalah bidang statistik yang membicarakan
cara atau metode pengumpulan, penyederhanaan dan penyajian data sehingga
dapat memberikan informasi (Mattjik & Sumertajaya 2006).
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebanyak 51 sampel keju telah dikoleksi dari lima negara yang melakukan
eksportasi keju ke Indonesia melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta selama
bulan Januari sampai Maret 2015 (Tabel 2). Lima negara eksportir tersebut yakni
Selandia Baru, Amerika Serikat, Australia, Filipina, dan Belanda.
Tabel 2
No
1.
2.
3.
Jenis dan besaran sampel keju impor yang diambil sebagai obyek
penelitian
Jenis keju
Besaran sampel (n)
Cheddar
26
Mozzarella
24
Edam
1
Jumlah sampel
51
Hasil pengujian ELISA kompetitif pada residu tetrasiklin dilakukan
dengan mengkalkulasikan hasil uji sampel dengan kurva standar ELISA
kompetitif (Gambar 2). Kurva standar memiliki peranan penting sebagai acuan
dalam akurasi penetapan besarnya residu tetrasiklin secara kuantitatif.
12
120
Absorbansi (%)
100
80
60
40
20
0
0.00
0.05
0.15
0.30
0.60
1.80
Konsentrasi (ppb)
Gambar 2 Kurva standar ELISA kompetitif untuk residu tetrasiklin.
Hasil pengujian residu tetrasiklin pada keju impor dengan menggunakan
metode ELISA kompetitif disajikan pada Tabel 3. Terdapat tujuh dari 51 (13.7%)
sampel keju impor yang diperiksa mengandung residu tetrasiklin dengan
konsentrasi antara 2.47 ppb sampai 11.99 ppb. Nilai tersebut tidak melebihi batas
maksimum residu yang ditetapkan oleh SNI 01-6366-2000 yakni 50 ppb dan
Codex Alimentarius Commission yakni 100 ppb.
Tabel 3 Hasil pengujian residu tetrasiklin pada keju impor dengan metode
ELISA kompetitif
No
Jenis keju
Besaran sampel (n)
n positif
Konsentrasi (ppb)
1.
Cheddar
26
3
2.47-2.71
2.
Mozzarella
24
4
8.06-11.99
3.
Edam
1
0
Jumlah sampel
51
7 (13.7%)
Limit deteksi ELISA kompetitif yang digunakan untuk mendeteksi residu
tetrasiklin pada keju dalam penelitian ini adalah 2 ppb, dengan 50% inhibisi
sebesar 0.156. Limit deteksi merupakan konsentrasi paling rendah yang dapat
terdeteksi dari suatu substansi.
Hasil pengujian bioassay pada sampel keju impor dilakukan dengan
mengkalkulasikan hasil uji sampel dengan kurva baku bioassay (Gambar 3).
Kurva baku memiliki peranan penting sebagai acuan dalam akurasi penetapan
besarnya residu tetrasiklin secara semikuantitatif.
13
Gambar 3 Kurva baku bioassay untuk residu tetrasiklin.
Hasil pengujian dengan metode bioassay menunjukkan bahwa 11 dari 51
(21.6%) sampel keju impor yang diperiksa mengandung residu tetrasiklin. Hasil
pengujian bioassay selengkapnya ditampilkan pada Tabel 4.
Tabel 4 Hasil pengujian residu tetrasiklin pada keju impor dengan metode
bioassay
No
Jenis keju
Besaran sampel (n)
n positif
1.
Cheddar
26
5
2.
Mozzarella
24
6
3.
Edam
1
0
Jumlah sampel
51
11 (21.6%)
Pengujian residu tetrasiklin pada keju dengan menggunakan ELISA
kompetitif dan bioassay menunjukkan hasil yang berbeda. Hasil positif lebih
banyak diperoleh dengan menggunakan metode bioassay dibandingkan dengan
metode ELISA kompetitif. Hal tersebut mungkin terjadi karena ELISA kompetitif
merupakan alat uji yang memiliki spesifisitas 100% terhadap jenis tetrasiklin saja
sedangkan sensitivitas ELISA kompetitif terhadap anggota grup tetrasiklin lainnya
bervariasi kurang dari 70% (klortetrasiklin ±70%, rolitetrasiklin ±34%,
demeklosiklin ±26%, oksitetrasiklin ±13%, minosiklin ±3%, dan doksisiklin
±2%). Akibatnya, jika di dalam sampel terdapat kandungan antibiotik selain jenis
tetrasiklin, khususnya dengan konsentrasi yang cukup rendah, ELISA kompetitif
membacanya sebagai hasil negatif.
Perbandingan hasil uji deteksi residu tetrasiklin pada keju impor dengan
menggunakan metode ELISA kompetitif dan bioassay dapat dilihat pada Tabel 5.
Hasil pengujian oleh kedua metode menunjukkan bahwa 8 dari 26 sampel keju
cheddar impor dan 8 dari 24 sampel keju mozzarella impor yang diperiksa
14
mengandung residu tetrasiklin. Terdapat dua sampel yang terbaca mengandung
residu tetrasiklin oleh kedua metode uji dan terdapat 35 sampel yang terbaca tidak
mengandung residu tetrasiklin oleh kedua metode uji. Terdapat lima sampel yang
menunjukkan hasil positif dengan metode ELISA kompetitif namun menunjukkan
hasil negatif dengan metode bioassay. Terdapat sembilan sampel yang
menunjukkan hasil negatif dengan metode ELISA kompetitif namun positif
dengan metode bioassay.
Tabel 5 Hasil pengujian residu tetrasiklin pada keju impor dengan metode
ELISA kompetitif dan bioassay
Jenis uji
No
Jenis keju
ELISA kompetitif
Bioassay
1.
Cheddar
+
2.
Mozzarella
+
3.
Mozzarella
+
+
4.
Mozzarella
+
5.
Mozzarella
+
+
6.
Mozzarella
+
7.
Mozzarella
+
8.
Mozzarella
+
9.
Mozzarella
+
10.
Cheddar
+
11.
Cheddar
+
12.
Cheddar
+
13.
Cheddar
+
14.
Cheddar
+
15.
Cheddar
+
16.
Cheddar
+
-
Sampel yang terbaca mengandung residu tetrasiklin dengan kedua metode
uji membuktikan bahwa di dalam sampel terdapat gabungan residu anggota grup
tetrasiklin yang cukup untuk terdeteksi oleh ELISA kompetitif dan terdapat
kandungan residu oksitetrasiklin hidroklorida yang sama dengan atau lebih besar
dari limit deteksi bioassay. Sebaliknya, sampel yang terbaca tidak mengandung
residu tetrasiklin dengan kedua metode uji dapat diartikan sebagai sampel yang
tidak mengandung residu tetrasiklin sama sekali atau konsentrasi residu tetrasiklin
di dalam sampel lebih rendah dibandingkan dengan limit deteksi kedua uji.
Terdapat lima sampel yang menunjukkan hasil positif dengan metode
ELISA kompetitif namun menunjukkan hasil negatif dengan metode bioassay.
Hal ini diduga karena pertama, antibiotik yang terkandung dalam lima sampel
tersebut merupakan akumulasi dari beberapa anggota grup tetrasiklin termasuk
oksitetrasiklin hidroklorida. Akumulasi grup tetrasiklin tersebut memiliki
konsentrasi yang cukup untuk terdeteksi oleh ELISA kompetitif namun secara
individu konsentrasi oksitetrasiklin hiroklorida di dalamnya berada di bawah limit
deteksi bioassay sehingga memunculkan hasil negatif oleh bioassay. Kedua,
antibiotik yang terkandung dalam lima sampel tersebut merupakan akumulasi dari
15
beberapa anggota grup tetrasiklin selain oksitetrasiklin hidroklorida dengan
konsentrasi yang cukup untuk terdeteksi oleh ELISA kompetitif, namun karena
ketiadaan oksitetrasiklin hidroklorida di dalam sampel tersebut, bioassay
menunjukkan hasil negatif.
Terdapat sembilan sampel yang menunjukkan hasil negatif dengan metode
ELISA kompetitif namun positif dengan metode bioassay. Hal ini diduga karena
sembilan sampel tersebut mengandung akumulasi dari beberapa anggota grup
tetrasiklin dengan konsentrasi yang lebih kecil dari limit deteksi ELISA
kompetitif namun mengandung oksitetrasiklin hidroklorida yang sama dengan
atau lebih besar dibandingkan dengan limit deteksi bioassay. Faktor inilah yang
kemungkinan dapat menyebabkan uji menunjukkan hasil negatif oleh ELISA
kompetitif namun terbaca positif oleh bioassay.
Adanya sampel keju yang mengandung residu tetrasiklin dengan
konsentrasi sangat rendah pada penelitian ini menunjukkan digunakannya
tetrasiklin sebagai agen terapeutik/subterapeutik pada sapi perah di negara asal
tetapi penggunaannya masih memperhatikan waktu henti obat (withdrawal time).
Menurut Loksuwan (2002) dan Kellnerová et al. (2014), saat ini tetrasiklin banyak
digunakan dalam produksi ternak, khususnya pada pemeliharaan hewan intensif
seperti peternakan sapi, babi, domba, dan unggas. Tetrasiklin digunakan secara
luas untuk mengobati dan mencegah penyakit hewan, meningkatkan efisiensi
pakan dan memacu pertumbuhan ternak (Fernandes et al. 2014; Hopkins &
Blaney 2014). Menurut Chopra & Roberts (2001) dan TMVM (2012), tetrasiklin
secara luas diterapkan pada bidang kedokteran hewan untuk pengobatan infeksi
lokal dan sistemik; infeksi berbagai organ seperti bronkopnemonia, enteritis
akibat bakteri, infeksi saluran urin, metritis, mastitis, prostatitis, dan
pyodermatitis; serta kondisi khusus seperti keratokonjungtivitis, klamidiosis,
anaplasmosis, aktinomikosis, dan sebagainya.
Berbagai literatur menunjukkan bahwa tetrasiklin menduduki peringkat
kedua dalam produksi dan penggunaan antibiotik di seluruh dunia (Berendsen et
al. 2011). Setiap tahun, produksi tetrasiklin di seluruh dunia diperkirakan
mencapai ribuan ton dan volume penggunaan tetrasiklin tahunan secara global
diperkirakan antara 100 000 sampai 200 000 ton (Loksuwan 2002). Amerika
Serikat merupakan konsumen tetrasiklin tahunan terbesar dunia (3 200 ton/tahun)
diikuti oleh Uni Eropa (2 575 ton/tahun) dan Korea (723 ton/tahun). Tetrasiklin di
bidang kedokteran hewan secara signifikan lebih tinggi penggunaannya di negara
Amerika Serikat dan Korea dibandingkan beberapa negara Eropa seperti Swedia,
Denmark, dan Perancis, antara lain karena tingginya jumlah ternak di Amerika
Serikat dan Korea serta di kedua negara tersebut tetrasiklin masih umum
digunakan sebagai suplemen dalam pakan untuk mempromosikan pertumbuhan
hewan (Chopra & Roberts 2001).
Penggunaan tetrasiklin telah menjadi bagian integral pada industri ternak
sebagai promotor pertumbuhan dan pada sektor pertanian sebagai zat aditif pada
pakan di Amerika Utara sejak tahun 1950 (Chopra & Roberts 2001). Diperkirakan
selama periode 2000-2001 penggunaan tetrasiklin di Amerika Serikat mengalami
peningkatan dari 3 000 ton menjadi 3 200 ton. Pada tahun 2003, sekitar 9 200 ton
antibiotik diproduksi untuk pertanian di Amerika Serikat. Selanjutnya pada tahun
2007 dan 2009, tetrasiklin juga merupakan grup antibiotik untuk hewan penghasil
16
pangan dengan angka penjualan tertinggi di Amerika Serikat (Daghrir & Drogui
2013).
Eropa merupakan pengguna tetrasiklin tahunan terbesar kedua di dunia
setelah Amerika Serikat (2 575 ton/tahun). Penggunaan tetrasiklin pada pakan
sebagai pemacu pertumbuhan dilarang di Uni Eropa namun menurut Abou-Raya
et al. (2013), dari sekian banyak antibiotik, tetrasiklin merupakan antibiotik yang
paling sering digunakan pada bidang kedokteran hewan. Hal senada juga
disebutkan oleh Myllyniemi (2004) yang menyebutkan bahwa 65% antibiotik
yang digunakan sebagai agen terapeutik pada hewan penghasil pangan di Uni
Eropa adalah tetrasiklin.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa tetrasiklin menduduki peringkat
pertama dalam hal produksi dan penggunaan antibiotik di Cina. Tetrasiklin
dianggap sebagai kelas antibiotik termurah yang tersedia saat ini sehingga
menarik untuk digunakan di negara-negara berkembang yang memiliki anggaran
kesehatan terbatas (Chopra & Roberts 2001).
Dugaan lain yang dapat menyebabkan hadirnya residu tetrasiklin dengan
konsentrasi sangat rendah pada sampel adalah adanya residu tetrasiklin pada susu
sebagai bahan mentah tetapi seiring berbagai tahap di dalam proses pengolahan
keju konsentrasinya menurun. Javadi et al. (2009), Kellnerová et al. (2014) dan
Heshmati (2015) menyebutkan bahwa residu tetrasiklin pada pangan asal hewan
dapat menurun karena pemasakan dan pemanasan. Hal tersebut senada dengan
laporan Loksuwan (2002) yang menyebutkan bahwa prosedur pasteurisasi normal
(63 °C selama 30 menit) menyebabkan penurunan residu tetrasiklin,
klortetrasiklin dan oksitetrasiklin pada susu tetapi tidak dapat menghilangkan
residu seluruhnya. Disebutkan oleh Loksuwan, stabilitas obat terhadap panas
bergantung pada jenisnya. Oksitetrasiklin paling mudah mengalami penurunan
akibat pemanasan. Residu oksitetrasiklin secara signifikan (p0.05) dan residu
oksitetrasiklin menurun signifikan 15.3% (p≤0.01) dengan perlakuan pasteurisasi
suhu tinggi (85 °C selama 3 detik). Ringkasnya menurut Kellnerová, perlakuan
panas dapat mengurangi konsentrasi residu tetrasiklin dalam makanan sehingga
efek toksik tetrasiklin juga dapat diturunkan.
Mengenai stabilitas tetrasiklin terhadap perlakuan panas, hal senada juga
dilaporkan oleh Abou-Raya et al. (2013). Dalam laporannya, Abou-Raya
menyatakan bahwa residu tetrasiklin bersifat tidak stabil dan terbukti mengalami
penurunan setelah proses pemasakan (perebusan, pemanggangan dan pemanasan
dengan microwave). Penurunan residu tetrasiklin juga bergantung pada proses
17
pemasakan, lama pemasakan dan tipe antibiotik. Pemanasan dengan microwave
lebih efektif menurunkan residu tetrasiklin daripada pe
YANG DIIMPOR MELALUI PELABUHAN
TANJUNG PRIOK, JAKARTA
AI SRIMULYATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Deteksi Residu
Tetrasiklin pada Keju yang Diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Ai Srimulyati
NIM B251130031
RINGKASAN
AI SRIMULYATI. Deteksi Residu Tetrasiklin pada Keju yang Diimpor melalui
Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Dibimbing oleh TRIOSO PURNAWARMAN
dan HADRI LATIF.
Tetrasiklin banyak digunakan di peternakan baik untuk pencegahan dan
pengobatan penyakit maupun sebagai pemacu pertumbuhan. Administrasi yang
tidak benar dapat mengakibatkan residu antibiotik pada susu dan produknya
termasuk keju serta dapat berkontribusi terhadap perkembangan resistensi
mikroba terhadap obat, penyebaran bakteri resisten, serta berdampak serius
terhadap kesehatan konsumen. Penelitian ini bertujuan mendeteksi keberadaan
residu tetrasiklin pada keju yang diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok,
Jakarta selama bulan Januari sampai Maret 2015.
Kajian yang digunakan pada penelitian ini adalah kajian lintas seksional.
Besaran sampel sebanyak 51 dihitung dengan menggunakan formula
n = [1-(1-a)1/D] [N-(D-1)/2] dengan keterangan N = jumlah populasi, n = ukuran
sampel, a = tingkat kepercayaan (95%) dan D = nilai dugaan populasi positif
(13.33%). Deteksi residu tetrasiklin pada keju impor dilaksanakan dengan
menggunakan dua metode uji yakni competitive enzyme-linked immunosorbent
assay (ELISA) dan bioassay. Kedua pengujian tersebut dilakukan secara pararel.
Data dari penelitian ini dianalisa secara deskriptif.
Hasil analisis dengan metode ELISA kompetitif menunjukkan tujuh dari
51 (13.7%) sampel yang diuji mengandung residu tetrasiklin dengan konsentrasi
2.47-11.99 ppb. Hasil analisis dengan metode bioassay menunjukkan 11 dari 51
(21.6%) sampel yang diuji mengandung residu tetrasiklin. Kisaran konsentrasi
yang didapat dari hasil pengujian ELISA menunjukkan bahwa konsentrasi residu
dalam sampel keju impor berada jauh di bawah BMR yang ditetapkan oleh
Standar Nasional Indonesia 01-6366-2000 (50 ppb) dan Codex Alimentarius
Commission (100 ppb). Hasil penelitian menunjukkan bahwa surveilans terhadap
berbagai residu antibiotik pada keju impor perlu dilakukan secara rutin demi
menjamin perlindungan kesehatan konsumen.
Kata kunci: bioassay, ELISA, keju impor, residu antibiotik, tetrasiklin
SUMMARY
AI SRIMULYATI. Tetracycline Residue Detection on Cheese Imported through
Tanjung Priok Seaport, Jakarta. Supervised by TRIOSO PURNAWARMAN and
HADRI LATIF.
Tetracyclines is widely used in animal husbandry for both of prevention
and treatment of diseases and as growth promotion. Improper administration can
result antibiotic residues in milk and dairy products such as cheese and can
contribute to the development of microbial drug resistance and the spread of the
resistant bacteria, including those with serious health consequences in consumer.
The aim of this study is to determine the presence of tetracycline in imported
cheese. A total of 51 imported cheese samples was collected at Tanjung Priok
Seaport, Jakarta from January to March of 2015.
The study used in this research was a cross-sectional study. To determine
the presence of tetracycline residues in the imported cheese, a total of 51 imported
cheese samples were calculated using the formula of n = [1-(1-a)1/D] [N-(D-1)/2]
with a description of N = total population, n = size sample, a = level of confidence
(95%) and D = the estimated value of the positive population (13.33%).
Competitive enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) and bioassay methods
used parallelly for tetracycline determination. Datas regarding the proportion of
antibiotic positive samples were analyzed descriptively.
The result showed that 7 out of 51 (13.7%) samples analyzed by
competitive ELISA contained tetracycline residue. The result also showed
that 11 out of 51 (21.6%) samples analyzed by bioassay contained tetracycline
residue. The concentration of tetracycline residues in samples were found in the
range of 2.47-11.99 ppb. None of the samples analyzed showed the presence of
tetracycline residues above the maximum residue limits (MRLs) established by
National Standardization Agency of Indonesia and Codex Alimentarius
Commission (CAC).
The results demonstrate that the regularly surveillance study of various
antimicrobial residues in cheeses need to be done to ensure safety, quality, and to
protect the health of the Indonesian consumer.
Keywords: antibiotic residue, bioassay, cheese imported, ELISA, tetracyclines
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
DETEKSI RESIDU TETRASIKLIN PADA KEJU
YANG DIIMPOR MELALUI PELABUHAN
TANJUNG PRIOK, JAKARTA
AI SRIMULYATI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr med vet Drh Mirnawati B.
Sudarwanto
Judul Tesis : Deteksi Residu Tetrasiklin pada Keju yang Diimpor melalui
Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta
Nama
: Ai Srimulyati
NIM
: B251130031
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Drh Trioso Purnawarman, MSi
Ketua
Dr med vet Drh Hadri Latif, MSi
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat Veteriner
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2014 ini ialah
residu antibiotik pada keju sebagai produk susu olahan, dengan judul Deteksi
Residu Tetrasiklin pada Keju yang Diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok,
Jakarta.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Drh Trioso Purnawarman,
MSi dan Bapak Dr med vet Drh Hadri Latif, MSi selaku dosen pembimbing serta
Prof Dr Drh Mirnawati B. Sudarwanto sebagai dosen penguji luar komisi. Ucapan
terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada Dr Drh Yusuf
Ridwan, MSi selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet
FKH-IPB dan Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi sebagai Ketua
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH-IPB beserta seluruh staf.
Selanjutnya, penghargaan juga penulis sampaikan kepada Badan
Penyuluhan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (BP2SDM) Kementerian
Pertanian yang telah memberikan beasiswa serta kepada Bapak Drh Sriyanto, MSi
PhD sebagai Kepala Bidang Karantina Hewan beserta seluruh staf Laboratorium
Karantina Hewan Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok yang telah
membantu selama pengumpulan data dan sampel serta pengujian laboratorium.
Ucapan terima kasih juga penulis haturkan untuk rekan-rekan mahasiswa
pascasarjana S2 dan S3 KMV angkatan 2012, 2013 dan 2014 baik program
khusus maupun reguler yang telah bersama-sama dalam menempuh pendidikan di
kampus FKH IPB tercinta.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahanda H. Aminin, SPdI
dan ibunda Hj. Ade Suhaebah, suami terkasih H. Suharyanto, ST, ananda
Muhammad Alvaro Calief, serta kakak-kakak dan adik-adik tersayang atas segala
do’a, kasih sayang dan dorongannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Aamiin.
Bogor, Agustus 2015
Ai Srimulyati
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Keju
Tetrasiklin dan Penggunaannya di Peternakan
Residu Tetrasiklin dan Dampaknya terhadap Kesehatan Masyarakat
Metode Pengujian Residu Tetrasiklin pada Pangan
ELISA
Bioassay
3 METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Alat dan Bahan
ELISA
Bioassay
Rancangan Penelitian
Metode Pengujian ELISA
Metode Pengujian Bioassay
Analisis Data
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
iii
iii
iii
1
1
2
2
2
2
3
4
5
5
5
6
6
6
6
6
6
7
8
11
11
18
18
18
18
23
25
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
Drug withdrawal times untuk tetrasiklin
Jenis dan besaran sampel keju impor yang diambil sebagai obyek
penelitian
Hasil pengujian residu tetrasiklin pada keju impor dengan metode
ELISA kompetitif
Hasil pengujian residu tetrasiklin pada keju impor dengan metode
bioassay
Hasil pengujian residu tetrasiklin pada keju impor dengan metode ELISA
kompetitif dan bioassay
5
11
12
13
14
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
Contoh hasil pengujian residu antibiotik pada sampel keju impor
Kurva standar ELISA untuk residu tetrasiklin
Kurva baku bioassay untuk residu tetrasiklin
10
12
13
DAFTAR LAMPIRAN
1
Hasil pengujian terhadap seluruh sampel keju impor dengan metode
ELISA kompetitif dan bioassay
23
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Susu merupakan pangan asal hewan yang memiliki aktivitas air yang
tinggi sehingga mudah rusak jika tidak diawetkan (Zanella et al. 2010;
MacDonald et al. 2011; Jeppu et al. 2015). Pembuatan keju ditujukan untuk
memperpanjang umur simpan dan melestarikan komponen bergizi susu (Samelis
et al. 2009; MacDonald et al. 2011). Keju mulai dibuat sekitar 80000 tahun yang
lalu. Hingga kini ada lebih dari 1 000 varietas keju di seluruh dunia. Pengolahan
keju melibatkan kombinasi empat bahan utama yakni susu, rennet,
mikroorganisme dan garam (Beresford et al. 2001; Yang 2001; Mari et al. 2014).
Keju diproses melalui beberapa langkah umum seperti pembentukan gel,
pemisahan whey, produksi asam dan penambahan garam, diikuti dengan periode
pematangan. Variasi campuran bahan dan pengolahan menyebabkan evolusi
varietas keju. Variasi parameter pengolahan seperti suhu pemasakan dan teknik
penanganan dadih berperan dalam menentukan karakteristik setiap jenis keju,
sedangkan mikroflora keju berperan penting dalam pengembangan karakteristik
unik masing-masing varietas keju (Beresford et al. 2001; Morandi & Brasca 2012;
Aydemir et al. 2015).
Kapasitas produksi keju dalam negeri yang tidak sebanding dengan
peningkatan kebutuhan konsumsi masyarakat mendorong pemerintah untuk
melakukan kebijakan importasi keju. Indonesia melakukan importasi keju dari
berbagai negara di antaranya Selandia Baru, Australia, Amerika Serikat, Filipina,
Belanda, Perancis, Argentina, Singapura, Denmark, Italia, Belgia, Malaysia, dan
Jerman (BBKPTP 2014).
Besarnya volume dan tingginya frekuensi impor keju memerlukan
pengawasan terhadap keberadaan residu antibiotik sebagai bahan berbahaya bagi
konsumen. Penggunaan antibiotik tanpa memperhatikan waktu henti obat atau
farmakokinetika obat kemungkinan besar akan mengakibatkan hadirnya residu
antibiotik tersebut pada pangan asal hewan dan juga produk olahannya (Latif
2004; Agwuh & MacGowan 2006; Nagel et al. 2009).
Salah satu golongan antibiotik yang sering digunakan pada peternakan
sapi perah adalah tetrasiklin (Adetunji 2011; Abou-Raya et al. 2013, Kellnerová et
al. 2014). Selama pertengahan tahun 1990-an, perkiraan jumlah penggunaan
tetrasiklin pada peternakan di Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Australia
berturut-turut sebesar 2 311, 77 619, dan 3 488 000 kg/tahun (sebagai agen
terapeutik dan subterapeutik), sedangkan di Eropa sebesar 2 294 000 kg/tahun
sebagai agen terapeutik saja (Chopra & Roberts 2001).
Tetrasiklin merupakan golongan antibiotik berspektrum luas. Tetrasiklin
secara luas digunakan di peternakan baik sebagai agen pengobatan penyakit,
pemacu pertumbuhan (growth promotors), maupun sebagai imbuhan pakan (feed
additive) untuk meningkatkan kinerja (O’Keefe et al. 2001; NaVrátiloVá et al.
2009). Tetrasiklin juga sering ditambahkan ke dalam pakan ternak dengan
konsentrasi subterapeutik sebagai agen profilaksis kolektif untuk mencegah
terjadinya penyakit (Nagel et al. 2009; Blasco et al. 2009).
2
Menurut Adetunji (2011), residu tetrasiklin hadir dengan konsentrasi
berbeda pada berbagai tahap pengolahan keju, dan tahap pengolahan keju tidak
sepenuhnya menghilangkan residu tetrasiklin meskipun telah mengalami berbagai
perlakuan. Hadirnya residu tetrasiklin pada pangan asal hewan berbahaya bagi
konsumen karena dapat menimbulkan masalah kesehatan (Kellnerová et al. 2014;
Ahmed et al. 2015).
Belum ada laporan mengenai konsentrasi residu tetrasiklin pada keju
impor di Indonesia sehingga penelitian ini merupakan yang pertama kalinya
dilakukan. Pengujian residu tetrasiklin pada keju impor perlu dilaksanakan dalam
rangka pengawasan keamanan bahan pangan sebagaimana termaktub pada
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, karena berpotensi
menyebabkan gangguan kesehatan bagi konsumen.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mendeteksi keberadaan residu tetrasiklin pada keju
yang diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta serta untuk menyediakan
data dan informasi ilmiah untuk Badan Karantina Pertanian dalam rangka
menetapkan kebijakan pengujian residu tetrasiklin pada keju impor.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dan informasi mengenai
keberadaan residu tetrasiklin pada keju impor sehingga dapat menjadi bahan
pertimbangan dalam perumusan maupun penyempurnaan regulasi yang berkaitan
dengan importasi keju.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Keju
Keju adalah produk olahan susu yang dimatangkan atau tidak
dimatangkan; bertekstur lembut, semi-keras, keras atau ekstra-keras; yang dapat
dilapisi oleh pelapis lilin. Keju dapat diperoleh dengan cara mengentalkan
seluruhnya atau sebagian protein susu, susu skim, sebagian susu skim, krim, whey
krim atau buttermilk atau kombinasi dari bahan ini, melalui aksi rennet atau agen
koagulasi lain yang sesuai dan dengan cara mengeringkan sebagian whey yang
dihasilkan dari koagulasi. Keju juga dapat dihasilkan dengan teknik pengolahan
yang melibatkan koagulasi protein susu dan/atau produk yang dihasilkan dari susu
yang memberikan produk akhir dengan fisik, kimia dan organoleptik yang
diinginkan (Beresford et al. 2001; FAO & WHO 2010).
Langkah utama pada pembuatan keju adalah koagulasi komponen kasein.
Kasein dapat dibekukan dengan menggunakan salah satu/kombinasi dari metode
3
berikut ini: a) proteolisis terbatas menggunakan enzim (rennet); b) pengasaman
dengan menambahkan asam atau kultur starter; dan c) pengasaman
dikombinasikan dengan pemanasan sampai dengan suhu sekitar 90 °C (Fox &
McSweeney 2004; Henning et al. 2006). Mayoritas keju yang diproduksi dengan
koagulasi enzimatik, secara tradisional menggunakan rennet dari perut sapi muda,
anak sapi, domba, dan kerbau (Fox & McSweeney 2004; Marie et al. 2014).
Tetrasiklin dan Penggunaannya di Peternakan
Menurut Blasco et al. (2009), grup tetrasiklin beranggotakan beberapa
antibiotik spektrum luas dengan fitur antimikroba yang sama, tetapi agak berbeda
satu sama lain dalam hal spektrum dan disposisi farmakokinetik. Ada 3 tetrasiklin
alami (oksitetrasiklin, klortetrasiklin dan dimetilklortetrasiklin) dan beberapa
merupakan semisintetis (tetrasiklin, rolitetrasiklin, metasiklin, minosiklin,
doksisiklin, limesiklin) (Agwuh & MacGowan 2006; Bogialli et al. 2007). Waktu
eliminasi menghasilkan klasifikasi sebagai short-acting (tetrasiklin,
oksitetrasiklin, klortetrasiklin), intermediate-acting (dimetilklortetrasiklin dan
metasiklin) dan long-acting (minosiklin dan doksisiklin) (Chopra & Roberts
2001).
Seluruh turunan tetrasiklin berbentuk kristal dan berwarna kekuningan.
Tetrasiklin merupakan zat amfoterik yang dalam larutan air membentuk garam
baik dengan asam maupun basa. Karakteristik tetrasiklin berpendar bila terkena
sinar ultraviolet. Bentuk garam yang paling umum adalah hidroklorida, kecuali
doksisiklin yang tersedia sebagai doksisiklin hiklat. Tetrasiklin stabil sebagai
bubuk kering namun tidak stabil sebagai larutan air, terutama pada rentang pH
yang lebih tinggi (7.0-8.5). Tetrasiklin membentuk ikatan yang larut dengan
kation bivalen dan trivalen terutama kalsium, magnesium, aluminium dan besi.
Doksisiklin dan minosiklin menunjukkan kelarutan terhadap lemak terbesar dan
penetrasi yang lebih baik terhadap bakteri seperti Staphylococcus aureus daripada
kelompok tetrasiklin yang lain (Grenier et al. 2000; Chopra & Roberts 2001;
TMVM 2012).
Tetrasiklin merupakan antibiotik spektrum luas yang efektif melawan
bakteri aerobik, anaerobik, Gram positif, Gram negatif, mikoplasma, riketsia,
klamidia dan bahkan beberapa protozoa (amoeba) (Bogialli et al. 2007;
Mohammed-Ali 2012). Beberapa strain yang resisten terhadap tetrasiklin
diantaranya Pseudomonas aeruginosa, Proteus, Serratia, Klebsiella,
Arcanobacterium spp, dan Escherichia coli patogen (Chopra & Roberts 2001;
Flórez et al. 2008). Pada umumnya terdapat resistensi silang antara anggota
tetrasiklin, namun doksisiklin dan minosiklin biasanya lebih efektif terhadap
stafilokokus (Blasco et al. 2009).
Tetrasiklin sebagian besar diberikan kepada hewan dengan tujuan untuk
mengobati penyakit dan sebagai suplemen makanan. Tetrasiklin juga digunakan
sebagai agen profilaksis untuk mencegah terjadinya infeksi serta sebagai imbuhan
pakan (feed additive) untuk meningkatkan kinerja (O’Keefe et al. 2001; Bogialli
et al. 2007). Tetrasiklin diberikan secara oral sebagai zat aditif pada pakan atau
langsung melalui suntikan (Hoeben et al. 1998, Blasco et al. 2009). Antibiotik
sebagai pemacu pertumbuhan biasanya ditambahkan sebagai imbuhan pakan yang
4
secara umum bermanfaat karena secara tidak langsung berpengaruh terhadap
pertumbuhan mikroorganisme perusak zat-zat gizi dalam pakan dan merangsang
pertumbuhan mikroorganisme pembentuk asam amino (Yuningsih 2005;
Fernandes et al. 2014).
Ada beberapa hal yang menjadi perhatian berkaitan dengan penggunaan
antibiotik pada produksi ternak. Pertama, residu antibiotik pada pangan asal
hewan dapat terjadi pada tingkat yang tidak dapat diterima sehingga menimbulkan
potensi efek toksik bagi individu yang rentan. Kedua, antibiotik yang digunakan
secara luas dalam industri peternakan dapat berkontribusi terhadap
berkembangnya resistensi bakteri terhadap obat (O’Keefe et al. 2001; Fernandes
et al. 2014). Ketiga, hadirnya residu tetrasiklin pada susu sebagai bahan baku
pengolahan keju dapat mengganggu proses fermentasi oleh kultur starter yang
digunakan (Beltran et al. 2014). Dilaporkan bahwa 0.3 mg/ml tetrasiklin telah
terbukti mampu memodifikasi sifat organoleptik keju Edam dan 0.7 mg/ml
tetrasiklin telah terbukti mampu memodifikasi sifat organoleptik keju Emmenthal
(Nagel et al. 2009).
Residu Tetrasiklin dan Dampaknya terhadap Kesehatan Masyarakat
Residu antibiotik didefinisikan sebagai seluruh bahan aktif atau
metabolitnya yang tetap hadir dalam bahan makanan yang bersumber dari hewan
yang telah diberikan produk obat. Peraturan Dewan dan Parlemen Eropa Nomor
470/2009 mendefinisikan residu antibiotik sebagai seluruh zat farmakologi aktif,
baik bahan aktif, bahan pembantu maupun produk turunan dan metabolitnya, yang
tetap hadir dalam makanan asal hewan (EC 1981). Menurut O’Keefe et al. (2001),
ditemukannya residu antibiotik pada pangan asal hewan dengan kadar di atas
batas maksimum residu mengindikasikan diperlukannya praktek yang baik di
dalam penggunaan obat hewan.
Masalah kesehatan masyarakat yang mungkin timbul akibat asupan
tetrasiklin secara terus-menerus termasuk reaksi alergi pada individu sensitif,
toksisitas dan efek karsinogenik. Gagalnya pengobatan akibat resistensi, gangguan
jumlah mikroba saluran pencernaan, superinfeksi oleh patogen tidak rentan seperti
kapang, khamir dan bakteri resisten mungkin terjadi ketika tetrasiklin digunakan.
Hal ini dapat menyebabkan gangguan gastrointestin setelah administrasi baik per
oral atau parenteral atau infeksi persisten ketika tetrasiklin digunakan secara
topikal (Bogialli et al. 2007; Blasco et al. 2009).
Efek patologik yang disebabkan oleh tetrasiklin dalam makanan adalah
transfer resistensi bakteri terhadap suatu antibiotik ke manusia, efek
imunopatologi, autoimun, karsinogenik, mutagenik, hepatotoksik, nefrotoksik,
kerusakan sistem reproduksi, toksisitas tulang belakang, alergi, kontraindikasi
pada individu insufisiensi ginjal dan dermatitis fototoksik (Bogialli et al. 2007;
Darwish et al. 2013; Fernandes et al. 2014). Ikatan tetrasiklin dengan kalsium
menjadikan tetrasiklin masuk ke dalam struktur gigi dan tulang sehingga
menghambat kalsifikasi (misalnya hipoplasia enamel gigi) dan menyebabkan
perubahan warna menjadi kekuningan kemudian kecoklatan. Pada konsentrasi
yang sangat tinggi, proses penyembuhan patah tulang dapat terganggu (Grenier et
al. 2000; Blasco et al. 2009).
5
Codex Alimentarius Comission (CAC 2011) menetapkan batas maksimum
residu untuk tetrasiklin pada susu adalah 100 ppb sedangkan menurut Standar
Nasional Indonesia (SNI) 01-6366-2000 batas maksimum residu untuk tetrasiklin
pada susu adalah 50 ppb (BSN 2000). Regulasi mengenai waktu henti obat (drug
withdrawal times) tetrasiklin untuk pangan asal hewan atau waktu penyingkiran
susu (milk discard times) disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Drug withdrawal times untuk tetrasiklin (TMVM 2012)
Jenis tetrasiklin
Spesies
Withdrawal times (hari)
Oksitetrasiklina
Sapi
15-22
a
Oksitetrasiklin (long-acting)
Sapi
28
Klortetrasiklin
Sapi
10
a
Bukan untuk digunakan pada sapi perah laktasi
Metode Pengujian Residu Tetrasiklin pada Pangan
Metode pengujian residu antibiotik dapat dikelompokkan menjadi empat
kategori utama: pendekatan mikrobiologi berdasarkan hambatan pertumbuhan
bakteri (tube test, single-plate assay dan multi-plate assay); biosensor
(imunosensor berdasarkan penggunaan elemen transduksi yang berbeda termasuk
transduksi elektrokimia, transduksi optik dan transduksi massa); teknik
imunokimia (enzyme-based immunoassay/EIA misalnya enzyme-linked
immunosorbent assay/ELISA, fluorescence-polarization immunoassay/FPIA); dan
kromatografi (kertas, gas, cair, lapis tipis). Metode-metode tersebut memiliki
variasi dalam kehandalan, kecepatan dalam memperoleh hasil dan biaya analisis
(Bogialli et al. 2007; Kantiani et al. 2009; Mohammed-Ali 2012).
ELISA
ELISA adalah uji biokimiawi yang menggunakan antibodi dan perubahan
warna berperantara enzim untuk mendeteksi kehadiran baik antigen (protein,
peptida, hormon) maupun antibodi dalam sampel yang diberikan. ELISA
memungkinkan deteksi antigen atau antibodi dengan konsentrasi yang sangat
rendah. Metode ELISA kompetitif dapat mendeteksi perbedaan komposisi dalam
campuran antigen kompleks dengan sensitivitas tinggi, serta dapat mendeteksi
antibodi tertentu yang hadir dalam jumlah yang relatif kecil. ELISA merupakan
kit yang murah dan ideal digunakan untuk skrining terhadap populasi yang besar
dan dengan sumber daya yang terbatas (Zhang et al. 2007; Kantiani et al. 2009;
Gan & Patel 2013).
Bioassay
Bioassay merupakan suatu pengujian menggunakan mikroorganisme untuk
mendeteksi senyawa antibiotik yang masih aktif (BSN 2008). Bioassay adalah uji
skrining mikrobiologi yang sederhana dan murah serta banyak digunakan di Eropa
untuk mendeteksi residu antibiotik pada pangan asal hewan. Validasi terhadap
teknik bioassay sebagai alat uji skrining residu antibiotik menunjukkan bahwa
teknik ini memungkinkan untuk mendeteksi sejumlah antibiotik pada pangan asal
6
hewan dengan konsentrasi sama atau di bawah batas maksimum residu, meskipun
beberapa antibiotik terdeteksi pada tingkat yang lebih tinggi dari batas maksimum
residu (Gaudin et al. 2010; Myllyniemi 2004).
3 METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Pengambilan sampel dilaksanakan di tempat pemasukan Pelabuhan
Tanjung Priok, Jakarta mulai bulan Januari sampai Maret 2015. Pengujian
dilaksanakan pada bulan April 2015 di laboratorium Karantina Hewan Balai Besar
Karantina Pertanian Tanjung Priok, Jakarta.
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam pengujian ELISA adalah kit ELISA
untuk tetrasiklin (Ridascreen® Tetracyclin Art. No R3505), trichloacetic acid
(TCA) 3%, natrium hidroksida (NaOH), larutan substrat kromagen, microplate
well polystyrene, sentrifus, vortex, pipet pasteur, pipet graduate, mikropipet
20-200 µl dan 200-1000 µl serta ELISA reader (RIDA® SOFT Win Art. No
Z9999).
Bahan yang digunakan dalam pengujian bioassay adalah mikroorganisme
(spora Bacillus cereus ATCC 11778), peptone (Difco 211677), yeast extract
(Difco 212750), bacto agar (Difco 214010), beef extract, Oksitetrasiklin
hidroklorida, KH2PO4 (Kalium dihidrogen fosfat, Merck 1.047831.000), Na2HPO4
(Dinatrium fosfat, Merck 1.065860.500), aquadest, dan kertas cakram steril
(diameter 6 mm). Peralatan yang diperlukan adalah cawan petri, tabung reaksi,
tabung sentrifus, labu ukur, gelas ukur, pipet pasteur, pengocok tabung, magnet
pengaduk, pH meter, mikro pipet, jangka sorong, ose dan pinset.
Rancangan Penelitian
Kajian yang digunakan pada penelitian ini adalah kajian lintas seksional.
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara mengumpulkan sampel keju secara
acak sederhana di tempat pemasukan Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Sampel
yang diambil adalah seluruh jenis keju yang masuk pada saat dilakukan
pengambilan sampel. Volume impor keju dari berbagai negara melalui Pelabuhan
Tanjung Priok pada tahun 2014 sebesar 21 177 494 kg dengan frekuensi
kedatangan 751 kali. Untuk mengetahui keberadaan residu tetrasiklin pada keju
impor,
besaran
sampel
dihitung
dengan
menggunakan
formula
n = [1-(1-a)1/D] [N-(D-1)/2] dengan keterangan N = jumlah populasi, n = ukuran
sampel, a = tingkat kepercayaan (95%) dan D = nilai dugaan populasi positif
(Thrusfield 2005).
7
Besaran sampel yang didapat dengan menggunakan perangkat Win
Episcope 2.0 adalah sebesar 51 sampel. Nilai dugaan populasi positif didapat dari
hasil penelitian Ady (2012) yang menyebutkan bahwa 13.33% sampel susu bubuk
yang diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok mengandung residu tetrasiklin.
Unit pengambilan sampel dipilih berdasarkan boks kemasan. Setiap sampel
diambil sebanyak 500 g, kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik steril
yang telah diberi label kode sampel, negara asal, jenis keju dan tanggal
pengambilan.
Deteksi residu tetrasiklin pada keju impor dilaksanakan dengan
menggunakan uji tapis (screening test) berupa metode bioassay berdasarkan
Standar Nasional Indonesia (SNI) 7424:2008 yang dimodifikasi dalam hal
persiapan contohnya, dikombinasikan secara paralel dengan metode enzymelinked immunosorbent assay (ELISA) kompetitif merujuk pada metode yang
dipublikasikan oleh Gaurav et al. (2014). ELISA untuk pengujian residu antibiotik
merupakan metode uji tapis kualitatif/kuantitatif yang telah divalidasi dan sesuai
dengan kriteria Keputusan Komisi Eropa Nomor 2002/657/EC (Wang et al.
2009).
Metode Pengujian ELISA
Prinsip dasar uji ini adalah reaksi antigen-antibodi. Sumur microtiter
terlebih dahulu dilapisi dengan tetrasiklin-protein-konjugat (antigen yang telah
dikenal) kemudian ditambahkan standar tetrasiklin atau larutan sampel (antigen
yang tidak dikenal/tetrasiklin bebas) dan antibodi anti-tetrasiklin (antibodi
primer). Tetrasiklin bebas dan tetrasiklin-protein-konjugat bersaing untuk
mengikat antibodi anti-tetrasiklin (kompetitif). Setiap antibodi yang tidak
berikatan kemudian dihilangkan. Selanjutnya, antibodi sekunder berlabel enzim
ditambahkan ke dalam sumur agar berikatan dengan antibodi primer. Setelah
menghilangkan antibodi sekunder yang tidak berikatan, larutan substrat kromagen
ditambahkan ke dalam sumur lalu diinkubasi. Ikatan konjugat enzim akan
mengubah warna kromagen menjadi biru.
Persiapan Sampel
Sebanyak 15 g keju dimasukkan ke dalam 30 ml metanol 10% kemudian
dihomogenkan menggunakan stomacher. Sampel yang telah homogen kemudian
dipindahkan ke dalam vial sentrifus 50 ml dan diinkubasi di dalam waterbath
bersuhu 40 °C selama 10 menit. Selanjutnya sampel disentrifugasi selama
15 menit dengan kecepatan 3 000 rpm. Sebanyak 1 ml sampel dipindahkan ke
dalam vial 1.5 ml kemudian disentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan
2 000 rpm. Bagian supernatan diencerkan 1:10 dalam larutan buffer.
Pengujian Sampel
Standar (50 µl), sampel (50 µl) dan antibodi primer (50 µl) dimasukkan ke
dalam microplate well polystyrene yang telah dilapisi dengan antigen tetrasiklin
dan diinkubasi selama 1 jam pada temperatur ruangan. Selama inkubasi terjadi
reaksi antara tetrasiklin bebas dari standar atau sampel dan tetrasiklin dari dasar
sumur dengan antibodi tetrasiklin yang diserap dalam bentuk padatan. Dilanjutkan
8
pada tahap pencucian yakni ke dalam sumur dimasukkan 250 µl washing buffer
untuk membuang seluruh ikatan molekul padatan yang tidak diperlukan (antibodi
primer yang tidak berikatan). Selanjutnya ke dalam sumur dimasukkan enzyme
conjugate (antibodi sekunder berlabel enzim) sebanyak 100 µl dan diinkubasi
selama 15 menit pada temperatur ruangan agar berikatan dengan antibodi primer.
Dilanjutkan pada tahap pencucian yakni ke dalam sumur dimasukkan 250 µl
washing buffer untuk membuang seluruh antibodi sekunder yang tidak berikatan.
Aktivitas ikatan enzim ditentukan dengan penambahan larutan substrat kromagen
(100 µl) lalu diinkubasi selama 15 menit pada temperatur ruangan dalam kondisi
gelap. Selama inkubasi enzim mengubah larutan kromagen yang tidak berwarna
menjadi berwarna biru, lalu ditambahkan stop reagen (100 µl) untuk
menghentikan reaksi.
Pembacaan Hasil
Kandungan tetrasiklin dalam sampel dibaca dengan ELISA Reader. Data
diperoleh berdasarkan pembacaan absorbansi sampel atau standar pada ELISA
Reader dengan panjang gelombang 450 nm.
Metode Pengujian Bioassay
Prinsip pengujian ini adalah residu antibiotik akan menghambat
pertumbuhan mikroorganisme yang ada pada media agar (BSN 2008).
Penghambatan dapat dilihat dengan terbentuknya daerah hambatan di sekitar
kertas cakram. Pelaksanaan pengujian bioassay terdiri dari beberapa tahap, yaitu:
Pembuatan Larutan Dapar
Sebanyak 6.4 g KH2PO4 dan 18.9 g Na2HPO4 ditimbang dan dilarutkan
dalam akuabides sampai 1 000 ml. pH larutan diatur hingga menjadi 7.0±0.1
kemudian disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121±1 ºC dengan tekanan
15 pressure square inche/psi selama 15 menit.
Pembuatan Media
Media biakan Bacillus cereus dibuat dengan menimbang peptone 6 g, beef
extract 1.5 g, yeast extract 3 g, KH2PO4 1.35 g, bacto agar 15 g dan akuabides
10000 ml. Peptone, beef extract, yeast extract dan KH2PO4 dilarutkan dalam
sebagian akuabides, kemudian ditambahkan bacto agar, selanjutnya ditambahkan
akuabides hingga volume menjadi 1 000 ml. pH larutan disesuaikan pada 5.7±0.1
selanjutnya dididihkan sampai bacto agar terlarut. Semua media biakan
disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121±1 ºC, dengan tekanan 15 psi selama
15 menit.
Media biakan spora dibuat dengan menimbang peptone 10 g, beef extract
5 g, NaCl 2.5 g, bacto agar 20 g dan akuabides 1 000 ml. Peptone, beef extract
dan NaCl dilarutkan dalam sebagian akuabides, kemudian ditambahkan bacto
agar, selanjutnya ditambahkan akuabides hingga volume menjadi 1 000 ml. pH
larutan disesuaikan pada 6.5±0.1 selanjutnya dididihkan sampai bacto agar
terlarut. Semua media biakan disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121±1 ºC,
dengan tekanan 15 psi selama 15 menit.
9
Pembuatan Larutan Stok Baku Pembanding
Sejumlah baku pembanding oksitetrasiklin hidroklorida dilarutkan dalam
akuabides hingga diperoleh konsentrasi 1 000 µg/ml.
Pembuatan Larutan Baku Kerja
Sebanyak 2 ml larutan stok baku pembanding diencerkan dengan larutan
dapar sampai dengan 20 ml untuk memperoleh larutan baku kerja 100 µg/ml.
Selanjutnya dilakukan pengenceran serial hingga diperoleh konsentrasi 1 µg/ml.
Pembuatan Kurva Baku
Sebanyak 1 ml biakan spora dimasukkan ke dalam 100 ml kultur media
yang telah dicairkan dengan penangas air hingga temperaturnya mencapai
55±1 ºC. Media yang telah mengandung spora dituang sebanyak 8 ml ke dalam
cawan petri steril berukuran 100x12 mm yang telah diberi kode kemudian
didiamkan pada suhu kamar hingga membeku. Larutan baku kerja disiapkan
dengan variasi konsentrasi 10 µg/ml, 4 µg/ml, 2 µg/ml, 1 µg/ml, 0.5 µg/ml, dan
0.25 µg/ml. Konsentrasi yang digunakan sebagai larutan kurva baku adalah
konsentrasi 4 µg/ml, 2 µg/ml, 1 µg/ml, 0.5 µg/ml, dan 0.25 µg/ml. Masing-masing
larutan baku kerja diteteskan pada kertas cakram dan dibiarkan hingga menyerap
seluruhnya sebelum diletakkan pada media cawan petri. Diteteskan juga larutan
dapar fosfat masing-masing pelarut dari baku kerja sebagai kontrol negatif.
Selanjutnya cawan petri ditempatkan pada bidang datar pada suhu kamar selama 1
sampai 2 jam sebelum diinkubasi pada suhu 30±1 ºC selama 16-18 jam.
Diameter daerah hambat diukur dengan menggunakan jangka sorong. Dari
luas daerah hambat dibuat kurva yang menyatakan hubungan (linier regresi)
antara konsentrasi antibiotik dengan daerah hambatan. Kurva baku digunakan
sebagai dasar pengujian untuk memperkirakan konsentrasi residu yang terkandung
dalam sampel yang diuji jika terbentuk daerah hambatan.
Persiapan Sampel
Keju sebanyak 10 g dipotong kecil-kecil, kemudian pelarut dapar fosfat
ditambahkan sebanyak 20 ml. Larutan tersebut dihomogenkan menggunakan
homogenizer, kemudian disentrifus 3 000 rpm selama 10 menit. Supernatan
diambil dan siap untuk digunakan sebagai larutan contoh uji.
Pembuatan Spora
Bakteri Bacillus cereus ATCC 11778 ditumbuhkan pada media agar
miring dalam botol media (roux’s bottle) sebanyak 100 ml. Bakteri Bacillus
cereus ATCC 11778 diinokulasikan ke dalam botol-botol tersebut dengan cara
melakukan goresan dengan menggunakan ose, diinkubasi selama satu minggu
pada suhu 30 ºC dan diamati pertumbuhannya setiap hari.
Biakan yang telah membentuk spora dipanen dengan cara mengerok
permukaan media dengan ose steril dan dimasukkan dalam larutan NaCl fisiologis
steril 20 ml sebanyak 4 tabung, kemudian suspensi tersebut dipanaskan dalam
penangas air pada suhu 65 ºC selama 30 menit. Suspensi kemudian disentrifus
dengan kecepatan 3 000 rpm selama 30 menit, lalu supernatannya dibuang dan
ditambahkan larutan NaCl fisiologis steril secukupnya, selanjutnya dihomogenkan
dan dimasukkan dalam refrigerator dengan kisaran suhu 4-8 ºC selama 18-24 jam.
10
Suspensi tersebut kemudian dipanaskan kembali dalam penangas air pada suhu 65
ºC selama 30 menit. Kemudian disentrifus dengan kecepatan 1 000 rpm selama 5
menit dan diambil supernatannya. Hasilnya disimpan sebagai suspensi spora
dalam refrigerator dengan suhu maksimal 10 ºC.
Pelaksanaan Pengujian
Sebanyak 1 ml suspensi spora dimasukkan ke dalam 100 ml kultur media
yang telah dicairkan dengan penangas air hingga temperaturnya mencapai
55±1 ºC. Media yang telah mengandung kuman uji dituang sebanyak 8 ml ke
dalam cawan petri steril berukuran 100x12 mm yang telah diberi kode sampel
kemudian didiamkan pada suhu kamar hingga membeku.
Tiap cawan petri berisi lima kertas cakram, yang terdiri dari tiga kertas
cakram masing-masing ditetesi 75 µl sampel yang akan dianalisa, satu kertas
ditetesi 75 µl larutan baku pembanding (tetrasiklin konsentrasi 1 µg/ml) sebagai
kontrol positif, dan satu kertas ditetesi larutan dapar fosfat sebagai kontrol negatif
(Gambar 1). Kertas cakram dibiarkan menyerap larutan seluruhnya sebelum
diletakkan di atas media dalam cawan petri. Cawan petri ditutup dan diinkubasi
pada suhu 30±1 ºC selama 16-18 jam. Pengujian sampel dilakukan dengan tiga
kali pengulangan untuk mendapatkan data yang akurat sehingga setiap sampel
menggunakan tiga cawan petri.
B
A
C
K-
K+
20 mm
Gambar 1 Contoh hasil pengujian residu antibiotik pada sampel keju impor. A:
sampel no 28, B: sampel no 29, C: sampel no 30, K-: kontrol negatif,
K+: kontrol positif.
Hasil uji ditentukan dengan mengamati dan mengukur diameter zona
hambatan yang terbentuk di sekeliling kertas cakram menggunakan jangka
sorong. Untuk memperkirakan konsentrasi residu, luas daerah hambat dimasukkan
dalam kurva standar yang dibuat. Konsentrasi antibiotik dalam sampel dapat
11
ditentukan secara semi kuantitatif. Semakin luas zona hambatan di sekitar kertas
cakram maka semakin tinggi konsentrasi residu antibiotik dalam sampel.
Analisis Data
Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis deskriptif
dengan menyajikan data dalam bentuk tabel dan gambar untuk menggambarkan
residu tetrasiklin. Analisis deskriptif adalah bidang statistik yang membicarakan
cara atau metode pengumpulan, penyederhanaan dan penyajian data sehingga
dapat memberikan informasi (Mattjik & Sumertajaya 2006).
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebanyak 51 sampel keju telah dikoleksi dari lima negara yang melakukan
eksportasi keju ke Indonesia melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta selama
bulan Januari sampai Maret 2015 (Tabel 2). Lima negara eksportir tersebut yakni
Selandia Baru, Amerika Serikat, Australia, Filipina, dan Belanda.
Tabel 2
No
1.
2.
3.
Jenis dan besaran sampel keju impor yang diambil sebagai obyek
penelitian
Jenis keju
Besaran sampel (n)
Cheddar
26
Mozzarella
24
Edam
1
Jumlah sampel
51
Hasil pengujian ELISA kompetitif pada residu tetrasiklin dilakukan
dengan mengkalkulasikan hasil uji sampel dengan kurva standar ELISA
kompetitif (Gambar 2). Kurva standar memiliki peranan penting sebagai acuan
dalam akurasi penetapan besarnya residu tetrasiklin secara kuantitatif.
12
120
Absorbansi (%)
100
80
60
40
20
0
0.00
0.05
0.15
0.30
0.60
1.80
Konsentrasi (ppb)
Gambar 2 Kurva standar ELISA kompetitif untuk residu tetrasiklin.
Hasil pengujian residu tetrasiklin pada keju impor dengan menggunakan
metode ELISA kompetitif disajikan pada Tabel 3. Terdapat tujuh dari 51 (13.7%)
sampel keju impor yang diperiksa mengandung residu tetrasiklin dengan
konsentrasi antara 2.47 ppb sampai 11.99 ppb. Nilai tersebut tidak melebihi batas
maksimum residu yang ditetapkan oleh SNI 01-6366-2000 yakni 50 ppb dan
Codex Alimentarius Commission yakni 100 ppb.
Tabel 3 Hasil pengujian residu tetrasiklin pada keju impor dengan metode
ELISA kompetitif
No
Jenis keju
Besaran sampel (n)
n positif
Konsentrasi (ppb)
1.
Cheddar
26
3
2.47-2.71
2.
Mozzarella
24
4
8.06-11.99
3.
Edam
1
0
Jumlah sampel
51
7 (13.7%)
Limit deteksi ELISA kompetitif yang digunakan untuk mendeteksi residu
tetrasiklin pada keju dalam penelitian ini adalah 2 ppb, dengan 50% inhibisi
sebesar 0.156. Limit deteksi merupakan konsentrasi paling rendah yang dapat
terdeteksi dari suatu substansi.
Hasil pengujian bioassay pada sampel keju impor dilakukan dengan
mengkalkulasikan hasil uji sampel dengan kurva baku bioassay (Gambar 3).
Kurva baku memiliki peranan penting sebagai acuan dalam akurasi penetapan
besarnya residu tetrasiklin secara semikuantitatif.
13
Gambar 3 Kurva baku bioassay untuk residu tetrasiklin.
Hasil pengujian dengan metode bioassay menunjukkan bahwa 11 dari 51
(21.6%) sampel keju impor yang diperiksa mengandung residu tetrasiklin. Hasil
pengujian bioassay selengkapnya ditampilkan pada Tabel 4.
Tabel 4 Hasil pengujian residu tetrasiklin pada keju impor dengan metode
bioassay
No
Jenis keju
Besaran sampel (n)
n positif
1.
Cheddar
26
5
2.
Mozzarella
24
6
3.
Edam
1
0
Jumlah sampel
51
11 (21.6%)
Pengujian residu tetrasiklin pada keju dengan menggunakan ELISA
kompetitif dan bioassay menunjukkan hasil yang berbeda. Hasil positif lebih
banyak diperoleh dengan menggunakan metode bioassay dibandingkan dengan
metode ELISA kompetitif. Hal tersebut mungkin terjadi karena ELISA kompetitif
merupakan alat uji yang memiliki spesifisitas 100% terhadap jenis tetrasiklin saja
sedangkan sensitivitas ELISA kompetitif terhadap anggota grup tetrasiklin lainnya
bervariasi kurang dari 70% (klortetrasiklin ±70%, rolitetrasiklin ±34%,
demeklosiklin ±26%, oksitetrasiklin ±13%, minosiklin ±3%, dan doksisiklin
±2%). Akibatnya, jika di dalam sampel terdapat kandungan antibiotik selain jenis
tetrasiklin, khususnya dengan konsentrasi yang cukup rendah, ELISA kompetitif
membacanya sebagai hasil negatif.
Perbandingan hasil uji deteksi residu tetrasiklin pada keju impor dengan
menggunakan metode ELISA kompetitif dan bioassay dapat dilihat pada Tabel 5.
Hasil pengujian oleh kedua metode menunjukkan bahwa 8 dari 26 sampel keju
cheddar impor dan 8 dari 24 sampel keju mozzarella impor yang diperiksa
14
mengandung residu tetrasiklin. Terdapat dua sampel yang terbaca mengandung
residu tetrasiklin oleh kedua metode uji dan terdapat 35 sampel yang terbaca tidak
mengandung residu tetrasiklin oleh kedua metode uji. Terdapat lima sampel yang
menunjukkan hasil positif dengan metode ELISA kompetitif namun menunjukkan
hasil negatif dengan metode bioassay. Terdapat sembilan sampel yang
menunjukkan hasil negatif dengan metode ELISA kompetitif namun positif
dengan metode bioassay.
Tabel 5 Hasil pengujian residu tetrasiklin pada keju impor dengan metode
ELISA kompetitif dan bioassay
Jenis uji
No
Jenis keju
ELISA kompetitif
Bioassay
1.
Cheddar
+
2.
Mozzarella
+
3.
Mozzarella
+
+
4.
Mozzarella
+
5.
Mozzarella
+
+
6.
Mozzarella
+
7.
Mozzarella
+
8.
Mozzarella
+
9.
Mozzarella
+
10.
Cheddar
+
11.
Cheddar
+
12.
Cheddar
+
13.
Cheddar
+
14.
Cheddar
+
15.
Cheddar
+
16.
Cheddar
+
-
Sampel yang terbaca mengandung residu tetrasiklin dengan kedua metode
uji membuktikan bahwa di dalam sampel terdapat gabungan residu anggota grup
tetrasiklin yang cukup untuk terdeteksi oleh ELISA kompetitif dan terdapat
kandungan residu oksitetrasiklin hidroklorida yang sama dengan atau lebih besar
dari limit deteksi bioassay. Sebaliknya, sampel yang terbaca tidak mengandung
residu tetrasiklin dengan kedua metode uji dapat diartikan sebagai sampel yang
tidak mengandung residu tetrasiklin sama sekali atau konsentrasi residu tetrasiklin
di dalam sampel lebih rendah dibandingkan dengan limit deteksi kedua uji.
Terdapat lima sampel yang menunjukkan hasil positif dengan metode
ELISA kompetitif namun menunjukkan hasil negatif dengan metode bioassay.
Hal ini diduga karena pertama, antibiotik yang terkandung dalam lima sampel
tersebut merupakan akumulasi dari beberapa anggota grup tetrasiklin termasuk
oksitetrasiklin hidroklorida. Akumulasi grup tetrasiklin tersebut memiliki
konsentrasi yang cukup untuk terdeteksi oleh ELISA kompetitif namun secara
individu konsentrasi oksitetrasiklin hiroklorida di dalamnya berada di bawah limit
deteksi bioassay sehingga memunculkan hasil negatif oleh bioassay. Kedua,
antibiotik yang terkandung dalam lima sampel tersebut merupakan akumulasi dari
15
beberapa anggota grup tetrasiklin selain oksitetrasiklin hidroklorida dengan
konsentrasi yang cukup untuk terdeteksi oleh ELISA kompetitif, namun karena
ketiadaan oksitetrasiklin hidroklorida di dalam sampel tersebut, bioassay
menunjukkan hasil negatif.
Terdapat sembilan sampel yang menunjukkan hasil negatif dengan metode
ELISA kompetitif namun positif dengan metode bioassay. Hal ini diduga karena
sembilan sampel tersebut mengandung akumulasi dari beberapa anggota grup
tetrasiklin dengan konsentrasi yang lebih kecil dari limit deteksi ELISA
kompetitif namun mengandung oksitetrasiklin hidroklorida yang sama dengan
atau lebih besar dibandingkan dengan limit deteksi bioassay. Faktor inilah yang
kemungkinan dapat menyebabkan uji menunjukkan hasil negatif oleh ELISA
kompetitif namun terbaca positif oleh bioassay.
Adanya sampel keju yang mengandung residu tetrasiklin dengan
konsentrasi sangat rendah pada penelitian ini menunjukkan digunakannya
tetrasiklin sebagai agen terapeutik/subterapeutik pada sapi perah di negara asal
tetapi penggunaannya masih memperhatikan waktu henti obat (withdrawal time).
Menurut Loksuwan (2002) dan Kellnerová et al. (2014), saat ini tetrasiklin banyak
digunakan dalam produksi ternak, khususnya pada pemeliharaan hewan intensif
seperti peternakan sapi, babi, domba, dan unggas. Tetrasiklin digunakan secara
luas untuk mengobati dan mencegah penyakit hewan, meningkatkan efisiensi
pakan dan memacu pertumbuhan ternak (Fernandes et al. 2014; Hopkins &
Blaney 2014). Menurut Chopra & Roberts (2001) dan TMVM (2012), tetrasiklin
secara luas diterapkan pada bidang kedokteran hewan untuk pengobatan infeksi
lokal dan sistemik; infeksi berbagai organ seperti bronkopnemonia, enteritis
akibat bakteri, infeksi saluran urin, metritis, mastitis, prostatitis, dan
pyodermatitis; serta kondisi khusus seperti keratokonjungtivitis, klamidiosis,
anaplasmosis, aktinomikosis, dan sebagainya.
Berbagai literatur menunjukkan bahwa tetrasiklin menduduki peringkat
kedua dalam produksi dan penggunaan antibiotik di seluruh dunia (Berendsen et
al. 2011). Setiap tahun, produksi tetrasiklin di seluruh dunia diperkirakan
mencapai ribuan ton dan volume penggunaan tetrasiklin tahunan secara global
diperkirakan antara 100 000 sampai 200 000 ton (Loksuwan 2002). Amerika
Serikat merupakan konsumen tetrasiklin tahunan terbesar dunia (3 200 ton/tahun)
diikuti oleh Uni Eropa (2 575 ton/tahun) dan Korea (723 ton/tahun). Tetrasiklin di
bidang kedokteran hewan secara signifikan lebih tinggi penggunaannya di negara
Amerika Serikat dan Korea dibandingkan beberapa negara Eropa seperti Swedia,
Denmark, dan Perancis, antara lain karena tingginya jumlah ternak di Amerika
Serikat dan Korea serta di kedua negara tersebut tetrasiklin masih umum
digunakan sebagai suplemen dalam pakan untuk mempromosikan pertumbuhan
hewan (Chopra & Roberts 2001).
Penggunaan tetrasiklin telah menjadi bagian integral pada industri ternak
sebagai promotor pertumbuhan dan pada sektor pertanian sebagai zat aditif pada
pakan di Amerika Utara sejak tahun 1950 (Chopra & Roberts 2001). Diperkirakan
selama periode 2000-2001 penggunaan tetrasiklin di Amerika Serikat mengalami
peningkatan dari 3 000 ton menjadi 3 200 ton. Pada tahun 2003, sekitar 9 200 ton
antibiotik diproduksi untuk pertanian di Amerika Serikat. Selanjutnya pada tahun
2007 dan 2009, tetrasiklin juga merupakan grup antibiotik untuk hewan penghasil
16
pangan dengan angka penjualan tertinggi di Amerika Serikat (Daghrir & Drogui
2013).
Eropa merupakan pengguna tetrasiklin tahunan terbesar kedua di dunia
setelah Amerika Serikat (2 575 ton/tahun). Penggunaan tetrasiklin pada pakan
sebagai pemacu pertumbuhan dilarang di Uni Eropa namun menurut Abou-Raya
et al. (2013), dari sekian banyak antibiotik, tetrasiklin merupakan antibiotik yang
paling sering digunakan pada bidang kedokteran hewan. Hal senada juga
disebutkan oleh Myllyniemi (2004) yang menyebutkan bahwa 65% antibiotik
yang digunakan sebagai agen terapeutik pada hewan penghasil pangan di Uni
Eropa adalah tetrasiklin.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa tetrasiklin menduduki peringkat
pertama dalam hal produksi dan penggunaan antibiotik di Cina. Tetrasiklin
dianggap sebagai kelas antibiotik termurah yang tersedia saat ini sehingga
menarik untuk digunakan di negara-negara berkembang yang memiliki anggaran
kesehatan terbatas (Chopra & Roberts 2001).
Dugaan lain yang dapat menyebabkan hadirnya residu tetrasiklin dengan
konsentrasi sangat rendah pada sampel adalah adanya residu tetrasiklin pada susu
sebagai bahan mentah tetapi seiring berbagai tahap di dalam proses pengolahan
keju konsentrasinya menurun. Javadi et al. (2009), Kellnerová et al. (2014) dan
Heshmati (2015) menyebutkan bahwa residu tetrasiklin pada pangan asal hewan
dapat menurun karena pemasakan dan pemanasan. Hal tersebut senada dengan
laporan Loksuwan (2002) yang menyebutkan bahwa prosedur pasteurisasi normal
(63 °C selama 30 menit) menyebabkan penurunan residu tetrasiklin,
klortetrasiklin dan oksitetrasiklin pada susu tetapi tidak dapat menghilangkan
residu seluruhnya. Disebutkan oleh Loksuwan, stabilitas obat terhadap panas
bergantung pada jenisnya. Oksitetrasiklin paling mudah mengalami penurunan
akibat pemanasan. Residu oksitetrasiklin secara signifikan (p0.05) dan residu
oksitetrasiklin menurun signifikan 15.3% (p≤0.01) dengan perlakuan pasteurisasi
suhu tinggi (85 °C selama 3 detik). Ringkasnya menurut Kellnerová, perlakuan
panas dapat mengurangi konsentrasi residu tetrasiklin dalam makanan sehingga
efek toksik tetrasiklin juga dapat diturunkan.
Mengenai stabilitas tetrasiklin terhadap perlakuan panas, hal senada juga
dilaporkan oleh Abou-Raya et al. (2013). Dalam laporannya, Abou-Raya
menyatakan bahwa residu tetrasiklin bersifat tidak stabil dan terbukti mengalami
penurunan setelah proses pemasakan (perebusan, pemanggangan dan pemanasan
dengan microwave). Penurunan residu tetrasiklin juga bergantung pada proses
17
pemasakan, lama pemasakan dan tipe antibiotik. Pemanasan dengan microwave
lebih efektif menurunkan residu tetrasiklin daripada pe