Theileriosis pada Sapi Potong Impor dari Australia melalui Pelabuhan Tanjung Priok

THEILERIOSIS PADA SAPI POTONG IMPOR
DARI AUSTRALIA MELALUI PELABUHAN
TANJUNG PRIOK

RISMA JUNIARTI PAULINA SILITONGA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Theileriosis pada Sapi Potong
Impor dari Australia melalui Pelabuhan Tanjung Priok adalah karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.


Bogor, Januari 2009
Risma Juniarti Paulina Silitonga
NIM B251064064

ABSTRACT
RISMA JUNIARTI PAULINA SILITONGA. Theileriosis in Australian Cattle
Imported through Tanjung Priok Port. Under direction of A. WINNY SANJAYA
and TUTUK ASTYAWATI.
The study was conducted for three months started from August until
October 2008. The purpose of this study were to identify (i) theileriosis case
prevalence on cattle imported from Australia, (ii) the risk factors of theileriosis
incidences like ship transportation and installation sanitary, vectors, management
during quarantine and sex, age, breed as parameter (iii) prevention and control of
theileriosis. Blood samples were collected randomly from 409 cattle, in four
different quarantine installation at Teluk Naga, Legok, Lebak and Cileungsi.
Blood samples were stained with Giemsa and examined under the microscope.
The result showed that theileriosis prevalence was 55,01%. Prevalence from four
different quarantine installation successively were 83,3%, 46,8%, 43% and 46,9%.
Brahman cross cattle had higher prevalence compare to Santa gertrudis
(OR=1,95;SK95%=1,24-3,08). The other factor like sanitary, the presence of

vector, management during quarantine could not used as a parameter in this study
that happened at this research, caused they were in the same condition.
Keywords : prevalence, theileriosis, cattle, quarantine, Australia

RINGKASAN
RISMA JUNIARTI PAULINA SILITONGA. Theileriosis pada Sapi Potong
Impor dari Australia melalui Pelabuhan Tanjung Priok. Dibimbing oleh A.
WINNY SANJAYA, dan TUTUK ASTYAWATI.
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Protozoologi Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Balai Besar Uji
Standar Karantina Pertanian dan di empat lokasi Instalasi Karantina Hewan
Sementara Teluk Naga, Legok, Lebak, dan Cileungsi, yang berlangsung mulai
bulan Agustus sampai Oktober 2008.
Tujuan penelitian ini adalah : (1) Menghitung prevalensi kasus theileriosis
pada sapi potong impor Australia. (2) Mencari faktor-faktor pemicu terjadinya
theileriosis seperti sanitasi kapal dan instalasi, letak kandang/pen di kapal,
manajemen di instalasi karantina dan adanya vektor (caplak) di kapal/instalasi
selama masa karantina. (3) Pencegahan dan pengendalian theileriosis di Indonesia
dihubungkan dengan tindakan karantina di masa yang akan datang.
Pada penelitian ini telah diambil sebanyak 409 sampel darah sapi dari 4

lokasi IKHS milik importir sapi yang berlokasi di Teluk Naga, Legok, Lebak dan
Cileungsi. Penentuan sampel di kandang dilakukan dengan acak random. Sampel
darah dibuat preparat ulas darah, lalu dilakukan pewarnaan dengan larutan
Giemsa, dan diperiksa dengan mikroskop. Hasil pemeriksaan ulas darah untuk
menentukan prevalensi theileriosis. Kemudian dilakukan pemeriksaan darah untuk
mengetahui nilai pack cell volume (PCV) dan butir darah merah (BDM),
penghitungan average daily gain (ADG) serta pengumpulan data kuesioner.
Parameter yang diamati dibuat dalam blanko kuesioner meliputi keterangan
tentang sapi yang diimpor (bangsa, umur, jenis kelamin), keadaan selama
perjalanan dari Australia (kematian, lamanya perjalanan, adanya hewan lain yang
diangkut), kondisi kesehatan hewan (ketersediaan pakan, penyakit), kondisi kapal
dan instalasi (sanitasi, kapasitas, konstruksi), populasi caplak di kapal dan
instalasi, populasi sapi di sekitar instalasi serta perlakuan yang pernah diberikan.
Analisis data menggunakan uji chi-square (x2) dan uji-t (t-test). Data kuesioner
diolah berdasarkan peubah yang dilihat yaitu jenis kelamin, kelompok umur,
bangsa sapi, daerah asal peternakan (farm), serta lokasi instalasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kelamin dan umur sapi semua
sama sehingga tidak dapat dijadikan sebagai peubah. Waktu pengambilan sampel
juga tidak mempengaruhi, 4 lokasi pengambilan sampel juga memiliki kondisi
yang sama sehingga tidak dapat diukur pengaruhnya. Hasil pemeriksaan

mikroskopik preparat ulas darah menunjukkan bahwa di semua lokasi ditemukan
bentuk Theileria sp. di dalam eritrosit. Dari 409 sampel yang diperiksa, 225
sampel dinyatakan positif Theileria sp., sehingga prevalensi keseluruhan adalah
55,01%. Prevalensi di masing-masing lokasi IKHS sebagai berikut Teluk Naga
85/102 (83,3%), Legok 51/109 (46,8%), Lebak 43/100 (43%) dan Cileungsi
46/98 (46,9%). Sapi-sapi yang diamati tidak menunjukkan kelainan klinis seperti
halnya sapi yang terinfeksi theileriosis. Sapi yang diamati seluruhnya berasal dari
peternakan (farm) di Australia bagian utara. Sebelum pengapalan ke negara tujuan
sapi diberi perlakuan yang sama yaitu telah diberikan acaricide, ivermectin atau

anthelmintic. Transportasi sapi dari Australia sampai ke Pelabuhan Tanjung Priok
berlangsung selama minimal 5 hari dan paling lama 7 hari bila kondisi cuaca
buruk. Sapi ditempatkan dalam kandang terbuat dari besi, dengan batas antar
kandang berupa tiang besi, lantai tidak beralas, dilengkapi dengan bak pakan dan
air minum. Bahan-bahan konstruksi semua mudah dibersihkan. Tempat pakan
terbuat dari bahan plastik, demikian juga bak air minum terbuat dari plastik
dengan kran otomatis. Selama pengangkutan hewan keempat kapal yang diamti
tidak singgah di pelabuhan lain dan tidak memuat hewan lain, pakan dan air
minum cukup tersedia, ada kematian 1-2 ekor karena diinjak/trauma fisik dan
bukan karena adanya penyakit infeksius, kapasitas kandang/pen < 2-3 m2/ekor.

Sanitasi kapal yaitu pembersihan kandang dilakukan setiap kali setelah di bongkar
atau diturunkan sapi-sapinya, serta kondisi ventilasi baik karena ada exhaust fan
yang terus dinyalakan di deck kapal bagian bawah dan di deck kapal yang tidak
ada jendela. Tidak ditemukan populasi caplak di kapal maupun di instalasi.
Tingkat parasitosis 1% dalam penelitian ini termasuk dalam kategori tingkat lebih
berat namun tidak mengakibatkan hewan terlihat lebih hebat infeksinya karena
kasus 1% hanya terjadi pada 16 ekor sapi dan 209 ekor sapi lainnya memiliki
tingkat parasitemia 0,5%. Pemeriksaan darah memperlihatkan bahwa dari 163
sampel darah yang diperiksa diperoleh bahwa nilai PCV tidak signifikan (P>0,05)
terhadap terpaparnya theileriosis. Nilai BDM juga tidak signifikan (P>0,05)
dengan kejadian infeksi Theileria sp. pada selang kepercayaan 95%. Bangsa/breed
sebagai peubah berkaitan secara signifikan terhadap keterpaparan theileriosis
(OR=1,95;SK95%=1,24-3,08) artinya bahwa infeksi theileriosis ini lebih tinggi
kejadiannya pada Brahman cross dibandingkan Santa gertrudis. Kenaikan berat
badan sapi tidak signifikan atau tidak berbeda nyata terhadap terpaparnya
theileriosis pada selang kepercayaan 95% (P>0,05). Lokasi IKHS yang diamati
semua memiliki kondisi yang hampir sama.
Kata kunci : prevalensi, theileriosis, sapi potong, Australia, karantina

©Hak cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

THEILERIOSIS PADA SAPI POTONG IMPOR DARI
AUSTRALIA MELALUI PELABUHAN
TANJUNG PRIOK

RISMA JUNIARTI PAULINA SILITONGA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. drh. Sri Utami Handajani, M.S.

Judul Tesis
Nama
NIM

: Theileriosis pada Sapi Potong Impor dari Australia melalui
Pelabuhan Tanjung Priok
: Risma Juniarti Paulina Silitonga
: B251064064

Disetujui
Komisi Pembimbing


Dr. drh. A. Winny Sanjaya, M.S.
Ketua

drh. Tutuk Astyawati, M.S.
Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

Tanggal Ujian : 15 Januari 2009

Tanggal Lulus :

Januari 2009


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala
kasih dan berkatNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini
bertemakan parasit darah pada sapi potong yang diimpor dari Australia yang
dilaksanakan sejak bulan Agustus 2008 dengan judul Theileriosis pada Sapi
Potong Impor dari Australia melalui Pelabuhan Tanjung Priok.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Badan Karantina Pertanian khususnya
Bapak Ir. Syukur Iwantoro, M.S. MBA., yang memberikan dukungan moril dan
kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Pascasarjana, Ibu Dr. drh. A. Winny
Sanjaya, M.S. dan Ibu drh. Tutuk Astyawati, M.S. selaku dosen pembimbing yang
telah meluangkan waktu, pikiran, tenaga serta motivasi dalam membimbing dari
saat persiapan penelitian sampai selesainya tesis ini. Demikian juga kepada
pimpinan Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor yang telah membantu
proses pendidikan dan berlangsungnya penelitian.
Ucapan yang sama disampaikan kepada Kepala dan staf di Laboratorium
Protozoologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB),
Kepala dan staf di Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok khususnya
Bapak drh. Hadi Wardoko, MM., drh. Pratiwi, drh. Agus Wasana dan temanteman paramedis yang telah membantu selama pengumpulan dan pengujian
sampel, Kepala dan staf Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB,

Kepala dan staf Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta khususnya Bapak
D. Indra Mulya S.Sos, M.Si., Bapak drh. Dwi Agus Sudaryanto serta Bapak drh.
Basir Nainggolan yang turut serta membantu proses pendidikan, memberikan
motivasi dan memberikan ijin.
Tidak terkecuali, kepada teman-teman seangkatan Kelas Khusus Karantina
Hewan (Rita, Edi, Arif, Duma, Nunung, Muji, Era, Tatit, Yoyok, Iswan, Endah,
Maya, Melani, Arum), teman-teman Pascasarjana lainnya (Sophia, Elfa, Umi,
dkk) dan teman-teman kantor.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami, ananda, ibunda
tercinta serta seluruh keluarga besar Op. Gabriel Nababan dan Op. Gilbert
Silitonga atas segala doa, pengorbanan, semangat dan kasih sayang yang
diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk ilmu pengetahuan khususnya
karantina hewan.

Jakarta, Januari 2009
Risma Juniarti Paulina Silitonga

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tapanuli Utara pada tanggal 21 Juni 1976 dari

Ayahanda Ir. Jannes Silitonga (Alm) dan Ibunda Ir. Sumarni Nurhaida, BSc.
Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara.
Tamat dari Sekolah Dasar Negeri IX Dili Timor-Timur tahun 1988 dan
Sekolah Menengah Pertama Negeri I Dili Timor-Timur tahun 1991. Pada tahun
1994 penulis lulus dari SMA Negeri 11 Yogyakarta dan tahun yang sama lulus
seleksi masuk Universitas Gadjah Mada melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi
Negeri. Penulis memilih Fakultas Kedokteran Hewan, lulus Sarjana Kedokteran
Hewan tahun 1998 dan lulus Ujian Profesi Dokter Hewan tahun 2000.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mata kuliah
Kesehatan Masyarakat Veteriner pada tahun ajaran 1997/1998.
Tahun 1999 penulis mulai bekerja sebagai Medik Veteriner Pertama di Balai
Karantina Hewan Kelas I Tanjung Priok dan tahun 2007 sampai sekarang sebagai
Medik Veteriner Muda di Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta.

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL………………………………………………………………

iii

DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………...

iv

PENDAHULUAN………………………………………………………............

1

Latar Belakang…………………………………………………………….
Permasalahan………………………………………………………………
Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………………………
Hipotesis Penelitian………………………………………………………..

1
2
2
2

TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………….

3

Ternak Sapi Potong Australia………………………………...……………
Etiologi Theileriosis………………………………………………………..
Siklus Hidup………………………………………………………………..
Gejala Klinis………………………………………………………………..
Epizootiologi……………………………………………………………….
Vektor………………………………………………………………..
Cara Penularan………………………………………………………
Infeksi pada Inang…………………………………………………...
Infeksi pada Caplak………………………………………………….
Kejadian Theileriosis di Indonesia…………………………………..
Kejadian Theileriosis di Australia…………………………………...
Pengenalan Penyakit………………………………………………………..
Berdasarkan Gejala Klinis……………………………………………
Berdasarkan Hematologi……………………………………………..
Pengobatan, Pencegahan dan Pengendalian………………………………...
Persyaratan Karantina………………………………………………………
Dampak Theileriosis terhadap Masyarakat…………………………………

3
3
5
6
7
7
8
8
9
10
11
11
11
12
13
13
14

BAHAN DAN METODE………………………………………………………

16

Bahan………………………………………………………………………..
Tempat dan Waktu Penelitian……………………………………….
Bahan Penelitian……………………………………………………..
Metode………………………………………………………………………
Pengambilan Sampel………………………………………………...
Pemeriksaan Parasit…………………………………………………
Pemeriksaan Darah…………………………………………………..
Penimbangan Berat Badan…………………………………..............
Pengumpulan Data Kuesioner……………………………………….
Pengolahan Data……………………………………………………..

16
16
16
16
16
17
18
18
18
19

HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………………………

20

Pengambilan Sampel………………………………………………………..
Pemeriksaan Parasit………………………………………………………...
Gejala Klinis………………………………………………………………...
Daerah Asal Peternakan…………………………………………………….
Perlakuan di Negara Asal…………………………………………………...
Kondisi Kapal selama Perjalanan dari Negara Asal………………………..
Kondisi Instalasi Karantina Hewan Sementara (IKHS)…………………….
Vektor……………………………………………………………………….
Tingkat Parasitemia…………………………………………………………
Pemeriksaan Darah………………………………………………………….
Bangsa/breed………………………………………………………………..
Kenaikan Berat Badan Perhari/Average Daily Gain (ADG)……………….

20
21
22
22
23
24
25
25
25
26
27
28

SIMPULAN DAN SARAN……………………………………………………

30

Simpulan……………………………………………………………………
Saran………………………………………………………………………...

30
30

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..

31

LAMPIRAN……………………………………………………………………

36

DAFTAR TABEL

Halaman
1

Jumlah sampel yang diambil di IKHS……………………………

20

2

Prevalensi Theileria sp. di IKHS…………………………………

21

3

Hasil pemeriksaan tingkat parasitemia pada preparat ulas darah...

26

4

Hasil pemeriksaan darah dengan metode automatic hematology
analyzer…………………………………………………………………..

27

Prevalensi Theileria sp. berdasarkan bangsa/breed sapi………….

28

5

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1

Skizon di dalam limfosit dan piroplasma di dalam eritrosit……...

5

2

Siklus hidup Theileria sp. …………..……………………………

6

3

Theileria sp. di dalam sel darah merah…………………………...

21

DAFTAR SINGKATAN

HPHK
spp
sp
LAI
kg
ECF
OIE
AS
WOAH
IL-2
µm
IFAT
BPPH
FH
DI
DPIF
WTO
DFID
TD
Tsh
IKHS
BBUS KP
FKH
IPB
BBKP
EDTA
ml
PCV
BDM
ADG
DOF
0
C
m2
SE
OR
SK

=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=

Hama Penyakit Hewan Karantina
sub spesies
spesies
Lembaga Australia Indonesia
kilogram
East Coast Fever
The Office of International des Epizooties
Amerika Serikat
World Organization for Animal Health
Interleukin-2
mikrometer
Indirect Fluorescent Antibody Technique
Balai Penyidikan Penyakit Hewan
Friesian Holstein
Daerah Istimewa
Department of Primary Industries and Fisheries
World Trade Organization
Department for International Development
Tunisia Dollar
Tanzania shilling
Instalasi Karantina Hewan Sementara
Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian
Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
Balai Besar Karantina Pertanian
Ethylene Diamine Tetraacetic Acid
Mililiter
Pack Cell Volume
Butir Darah Merah
Average Daily Gain
Day Of Feed
derajat celcius
meter persegi
Septikemia Epizootica
Odds Ratio
Selang Kepercayaan

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Indonesia dalam memenuhi kebutuhan pangan hewani khususnya daging
sapi, masih harus mengimpor sapi potong dan salah satunya dilakukan dari
Australia. Data Departemen Pertanian tahun 2007 menyatakan hampir setiap
tahun terjadi peningkatan impor sapi potong. Jumlah impor sapi potong dari
Australia tahun 2002 sampai 2005 rata-rata 325.000 – 375.000 ekor sapi, untuk
tahun 2006 dan 2007 meningkat menjadi 496.000 ekor sapi (Boediyana 2008).
Menurut Meat Livestock Australia (2007), jumlah ekspor sapi potong Australia ke
Indonesia tahun 1997 sebesar 424.000 ekor atau sekitar 47% dari total ekspor sapi
Australia. Tahun 1998 terjadi penurunan drastis sekitar 41.000 ekor karena terjadi
devaluasi rupiah dan tahun 2002 terjadi peningkatan drastis menjadi 426.000 ekor.
Kewaspadaan terhadap masuknya berbagai macam penyakit hewan menular
tetap harus ditingkatkan sesuai dengan peningkatan impor sapi karena Australia
merupakan negara dengan status penyakit yang hampir sama dengan Indonesia.
Setiap hewan yang dilalulintaskan harus bebas dari Hama Penyakit Hewan
Karantina (HPHK). Dalam hal ini Karantina Hewan harus mampu mendeteksi
berbagai penyakit yang mungkin saja lolos dari hasil pemeriksaan di negara asal.
Salah satu jenis penyakit yang harus dicegah penyebarannya melalui importasi
sapi potong adalah theileriosis. Theileriosis merupakan salah satu HPHK
Golongan II yaitu jenis penyakit yang sudah diketahui cara penanganannya dan
telah dinyatakan ada di suatu area atau wilayah Negara Republik Indonesia
(Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia No.110/Kpts/TN.530/2/2008).
Penyakit parasit darah yang disebabkan oleh Theileria spp. dan Babesia spp.
lebih dikenal dengan nama piroplasmosis. Penyakit ini sudah lama menyerang
ternak di Indonesia, kejadian penyakit selalu meningkat setiap tahun dan
penyebarannya ke seluruh dunia dilakukan oleh caplak. Protozoa ini mengalami
siklus hidup di dalam tubuh induk semang antara dan induk semang definitif.
Piroplasmosis sangat merugikan peternakan sapi perah dan sapi pedaging karena
menyebabkan demam, anemia akibat kerusakan eritrosit, penurunan produksi susu
dan kematian (Astyawati 1987).

Permasalahan
Kajian tentang theileriosis pada sapi potong asal Australia belum pernah
dilakukan. Dalam sertifikat kesehatan hewan (health certificate) yang diterbitkan
oleh Australia dinyatakan bahwa sapi-sapi yang diekspor ke Indonesia berasal dari
peternakan (farm) yang dalam enam bulan terakhir telah bebas wabah atau tidak
menunjukkan gejala klinis theileriosis. Sehubungan hal tersebut perlu dilakukan
penelitian lebih mendalam terhadap theileriosis karena tanpa disadari dampak
penyakit ini sangat besar terutama secara ekonomi dapat menyebabkan kerugian
akibat penurunan produksi daging dari sapi potong (berat badan turun).

Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menghitung prevalensi kasus theileriosis pada sapi potong impor
Australia.
2. Mencari faktor-faktor pemicu terjadinya theileriosis seperti sanitasi kapal
dan instalasi, letak kandang/pen di kapal, manajemen di instalasi karantina
dan adanya vektor (caplak) di kapal/instalasi selama masa karantina.
3. Pencegahan dan pengendalian theileriosis di Indonesia dihubungkan
dengan tindakan karantina di masa yang akan datang.
Hasil penelitian diharapkan bermanfaat dan memberikan informasi tentang
Theileria sp. pada sapi potong impor serta dapat dijadikan sebagai bahan
rekomendasi pembuat kebijakan dalam menyusun persyaratan kesehatan hewan
(health requirement) untuk importasi hewan khususnya sapi potong asal Australia.

Hipotesis Penelitian
Theileria sp. ditemukan atau terdeteksi pada sapi potong impor Australia
sejak dari pengapalan, kepadatan kandang dan sanitasi kapal mempengaruhi
prevalensi theileriosis.

TINJAUAN PUSTAKA

Ternak Sapi Potong Australia
Menurut LAI (1999), ternak sapi banyak dipelihara di daerah tropis di
Australia sebelah utara dan di daerah beriklim sedang di bagian selatan. Sebagian
besar dipelihara di Australia sebelah utara, di sepanjang pantai maupun di daerah
pedalaman. Cara pemeliharaannya dengan menempatkan sapi di kawasan
berpagar dan diberi makan. Tujuannya adalah untuk menggemukkan sapi tersebut
dalam jangka waktu yang pendek sehingga berat badannya dapat bertambah 1
kilogram beratnya setiap hari. Sekitar 26 juta ekor sapi yang dipelihara terdiri dari
berbagai macam keturunan diantaranya sapi campuran khusus yang sangat
berhasil diternakkan di daerah tropis. Sapi campuran ini adalah kombinasi antara
sapi jenis Eropa Bos taurus dengan sapi jenis Asia berleher bonggol Bos indicus.
Beberapa jenis ternak sapi yang dipelihara di Australia adalah Brahman-Bos
indicus, Hereford-Bos taurus, Belman Red-Africander/Hereford/Shorthorn (Bos
indicus/Bos taurus), Braford-Brahman, Droughtmaster (Bos indicus/Bos taurus),
Santa Gertrudis-Shorthorn/Brahman (Bos indicus/Bos taurus).
Australia mengekspor ternak hidup ke Indonesia terutama jenis sapi Bos
indicus seperti sapi jenis Brahman atau jenis campuran silang seperti sapi jenis
Braford dan Droughtmaster. Sapi-sapi jenis ini sangat berhasil diternakkan di
daerah tropis. Sapi ini mempunyai ciri yang dimiliki sapi jenis Bos indicus seperti
tahan panas, tahan terhadap kekeringan dan serangan kutu. Sapi tersebut juga
mempunyai ciri sapi jenis Bos taurus misalnya laju pertumbuhannya tinggi,
produksi susunya banyak dan tingkat kesuburannya tinggi. Tahun 1995 Indonesia
mulai menjadi tujuan ekspor ternak paling penting bagi Australia dan Indonesia
mengimpor lebih dari 220.000 ekor sapi pertahun (LAI 1999).

Etiologi Theileriosis
Theileria spp. tergolong protozoa dalam Phylum Apicomplexa, Class
Sporozoa, Subclass Piroplasma, Ordo Piroplasmida, Famili Theileriidae.
Apicomplexa merupakan parasit pada hewan dan spesies lainnya yang dapat
menyebabkan penyakit malaria, coccidiosis, babesiosis dan theileriosis. Spesies

Theileria yang

menginfeksi sapi yaitu T. parva, T. annulata,

T. mutans,

T. sergenti, T. taurotragi dan T. velifera (Uilenberg 1981 ; Billiouw 2005).
Theileriae adalah obligat parasit protozoa intraselular yang menginfeksi sapi
domestik maupun liar di seluruh bagian dunia, beberapa spesies juga menginfeksi
ruminansia kecil. Parasit ini ditularkan oleh caplak ixodidae dan memiliki siklus
hidup yang komplek di dalam inang vertebrata dan invertebrata. Ada enam spesies
Theileria spp. yang menginfeksi sapi, dua spesies yang bersifat patogen dan dapat
menyebabkan kerugian secara ekonomi adalah T. parva dan T. annulata (Siegel
et al. 2006). Theileria parva menginfeksi sapi di 13 negara di Sub-Saharan Afrika
mengakibatkan East Coast Fever (ECF), Corridor Disease dan January disease.
Theileria annulata menyebabkan Tropical Theileriosis terjadi di Pesisir
Mediterania bagian utara Afrika, sampai ke Sudan bagian utara dan Eropa Selatan,
Eropa Selatan bagian timur, Timur Tengah, India, China dan Asia Tengah.
Theileria taurotragi dan T. mutans umumnya tidak menyebabkan sakit atau
penyakit yang ditimbulkannya ringan dan T. velifera bersifat non patogenik.
Theileria taurotragi, T. mutans dan T. velifera ditemukan terutama di Afrika,
secara epidemiologi hal ini menimbulkan hambatan di dalam mengetahui
penyebaran theileriosis pada sapi. Kelompok parasit ini berhubungan dengan
T. sergenti/T. buffeli/T. orientalis dan terdistribusi di seluruh dunia (OIE 2008).
East Coast Fever ditularkan oleh African brown ear tick “Rhipicephalus
appendiculatus” dengan karakterisasi proliferasi limfoblast oleh skizon Theileria
yang masuk ke tubuh inang khususnya pada bagian nodul limpatikus, limpa,
ginjal, hati dan paru-paru. Lebih dari 20 juta ekor sapi tertular dan mengalami
kerugian sebesar 100 juta dollar AS pertahun. ECF merupakan tick borne disease
yang sangat penting di Afrika bagian timur dan tengah (Billiouw 2005).
Theileria sp. menginfeksi sapi, kambing dan domba. Parasit ini terdistribusi
di seluruh dunia, umumnya mengancam produksi peternakan. Spesies paling
penting dan dikenal yaitu T. annulata dan T. parva bersifat lymphoproliferative
dengan mortalitas serta morbiditas yang tinggi. Disamping spesies Theileria yang
memiliki sifat patogen (ganas), ada pula jenis yang tidak ganas (benign)
ditemukan menyebar luas pada sapi-sapi di daerah subtropis dan daerah dingin.
Taxonomi

dan

nomenklatur

kelompok

parasit

ini

memang

masih

membingungkan. Karakteristik parasit ini kadang sama tetapi sering diberi nama
berbeda tergantung pada geografisnya. Pada umumnya, benign Theileria yang
dikenal adalah T. sergenti, T. buffeli dan T. orientalis tersebar di Jepang, Australia
dan Eropa (Kerdmanee et al. 2001).

Gambar 1 Skizon di dalam limfosit dan piroplasma di dalam eritrosit.
(Sumber : Anonim 2007)
Siklus Hidup
Sporozoit protozoa diproduksi oleh kelenjar ludah nimfa atau caplak dewasa
kemudian diinokulasi masuk ke tubuh hewan yang peka pada waktu pemberian
pakan. Sporozoit merupakan bentuk infektif masuk ke dalam tubuh sapi melalui
gigitan caplak. Sporozoit masuk ke inang melalui sistem limfe menuju ke jaringan
limfoid terutama limfonodus dan limpa yang dalam beberapa hari berkembang
membentuk badan berinti banyak yang disebut Skizon (Koch’s body) berada
dalam sitoplasma limfosit, membentuk merozoit. Merozoit bergerak masuk ke
dalam eritrosit, terjadi binary fission di dalam eritrosit. Beberapa merozoit
memasuki eritrosit lain, membentuk fase spherical atau ovoid (gamon). Melalui
isapan darah gamon masuk ke intestinal nimfa caplak membentuk mikrogamon.
Mikrogamon 4 inti membelah menjadi mikrogamet 1 inti kemudian bergabung
dengan makrogamet membentuk zigot. Setelah terlihat zigot maka terbentuk kinet
motil dari ovoid immobile zigot dan masuk ke dalam sel intestinal caplak. Kinet
menjadi menonjol membentuk vakuola. Setelah caplak mengalami rontok (moult)
dan menempel ke inang baru, kinet masuk ke dalam sitoplasma sel kelenjar ludah.
Selanjutnya kinet membentuk sporon muda yang tumbuh dan mengalami
pembelahan inti berulang. Parasit menuju ke dalam sel inang dan dalam sel inang
giant, sporon membentuk ribuan sporozoit. Kemudian disebarkan melalui isapan
darah (Siegel et al. 2006).

Gambar 2 Siklus hidup Theileria sp.
Keterangan :
1. Sporozoit 3. Merozoit 6. Gamon. 8.1-8.4 Mikrogamon dengan 4 inti 8.2 mikrogamet 1 inti. 9.
Makrogamet. 10. Zigot. 11-13. Kinete motil 14. sporon muda (Sumber : Mehlhorn, Schein
1984)

Gejala Klinis
Masa inkubasi infeksi T. mutans melalui gigitan caplak ialah 10 – 25 hari.
Biasanya tidak terlihat gejala-gejala klinik yang jelas, hanya terlihat demam
ringan, kebengkakkan kelenjar-kelenjar limfe, ikterus, tremor, menurunnya berat
badan, kelemahan dan sedikit anemia. Infeksi T. mutans yang akut pernah
dilaporkan dari Afrika Selatan (Tzaneen disease), Jepang, Korea, India dan
Australia. Bentuk-bentuk cerebral theileriosis pada sapi yang di Afrika dikenal
turning sickness yang disebabkan oleh skizon-skizon T. mutans (WOAH 2005).
Patogenesis T. mutans seluruhnya terkait dengan adanya proliferasi
intraeritrosit piroplasmosis. Penyakit ini bersifat ringan kadang-kadang terlihat
gejala anemia, ikterus dan hemoglobinuria. T. lestoquardi (T. hirci) sangat
patogen pada domba dan kambing menunjukkan gejala klinis yang sama dengan

ECF pada sapi yaitu tingkat morbiditas 100% dan mortalitas 46 – 100% (Brown
2007).
Menurut Morzaria (1990) patogenesitas Theileria untuk setiap spesies
berbeda-beda tergantung kepada strain parasit, tingkat kepekaan inang dan jumlah
parasit. Theileria mutans adalah salah satu jenis yang dikenal benign, meskipun
strain yang patogen ditemukan di Afrika Selatan. Theileria mutans mengalami
limfositik merogoni, pembelahan terjadi di eritrosit dan menyebabkan piroplasma
parasitemia dan hemolitik anemia pada inang. Theileria parva membelah di dalam
limfosit dan secara patologi dihubungkan dengan kerusakan limfosit. Eritrositik
merogoni terbatas dan hemolitik anemia tidak terjadi. Theileria annulata
membelah di dalam limfosit dan eritrosit, menyebabkan limfositopenia berat,
anemia dan kadang-kadang jaundice. Theileria taurotragi mengalami limfositik
dan eritrositik merogoni, dapat menjadi patogen pada rusa tetapi tidak patogen
pada sapi.

Epizootiologi
Vektor
Jenis caplak yang berperan sebagai vektor T. orientalis, T. sergenti dan
T. buffeli adalah Haemaphysalis sp. (Fujisaki et al. 1994). Galur caplak disetiap
lokasi dapat berbeda kemampuannya dalam menularkan Theileria sp. misalnya
H. longcornis di Australia hanya dapat menularkan T. sergenti tetapi tidak
menularkan T. buffeli, sebaliknya H. longcornis di Jepang dapat menularkan
kedua spesies tersebut (Fujisaki et al. 1993).
Pada tahun 1974, Australia mengalami kerugian akibat caplak pada sapi
diperkirakan sekitar 62 juta dollar AS (Springell 1983). Brazil mengalami
kerugian sekitar 2 juta dollar AS pertahun (Grisi et al. 2002). Caplak
mengakibatkan kerugian ekonomi secara langsung menghisap darah dan secara
tidak langsung sebagai vektor patogen dan beracun (Rajput et al. 2006).
Caplak berpengaruh terhadap menurunnya produksi peternakan melalui
perannya sebagai vektor, sebagai contoh kerugian langsung adalah turunnya berat
badan, kulit rusak, serta penurunan produksi susu. Kehilangan berat badan pada
sapi karena Rhipicephallus appendiculatus betina sekitar 4,4 gram dan Amblyoma

haebraeum betina sekitar 10 gram. Caplak dapat mempengaruhi 800 juta ekor sapi
dan sama dengan jumlah domba di dunia. Kerugian secara moneter akibat caplak
pada industri peternakan sapi diperkirakan sekitar 7 juta dollar AS pertahun
(Imamura et al. 2007).

Cara Penularan
Theileriosis secara alami hanya dapat ditularkan oleh caplak secara stage to
stage, tanpa ada penularan transovarial karena parasit ini tidak dapat hidup dalam
caplak lebih lama dari satu kali ekdisis

(penyilihan).

Theileria parva dan

T. annulata disebarkan oleh caplak. Vektor penting untuk T. parva adalah
R. appendiculatus. R. zembeziensis di Afrika Selatan dan R. duttoni di Angola
juga dapat menyebarkan ECF, sedangkan T. annulata ditularkan melalui caplak
genus Hyalomma (Siegel et al. 2006).

Infeksi pada Inang
Mekanisme infeksi T. orientalis dalam tubuh inang dimulai dengan tahap
skizogoni yang berlangsung di limfosit dan berakhir dengan bentuk piroplasma
yang menginfeksi eritrosit. Mula-mula sporozoit yang dilepaskan oleh caplak dari
kelenjar ludah segera menginfeksi leukosit (Morrisson, Taracha, Keever 1995).
Sel leukosit yang diinfeksi oleh Theileria sp. pada umumnya adalah limfosit
sel-T kecuali T. parva menginfeksi sel-T dan sel-B (Baldwin et al. 1988) dan
T. annulata menginfeksi monosit dan sel-B (Spooner et al. 1989). Bentuk
sporozoit T. orientalis menginfeksi monosit yaitu setelah kontak dengan monosit
sporozoit segera menembus ke dalam monosit secara progresif dan mengikatkan
ligand di permukaannya ke reseptor di permukaan monosit. Sporozoit kemudian
segera melisiskan membran sel inang yang mengelilinginya, sehingga sporozoit
terhindar dari pengaruh lisosomal dan kerusakan serta bebas berkembang di dalam
sitoplasma. Di dalam limfosit sporozoit membesar dan intinya membelah
berulang-ulang sehingga terbentuk skizon banyak inti yang disebut makroskizon
agamon atau Koch’s blue bodies. Makroskizon melekat pada mikrotubuli sel
limfosit dan ikut terbelah menjadi dua selama proses mitosis, sehingga
makroskizon akan ditemukan lagi pada kedua sel anak (Eichhorn, Dobbelaere

1994). Selama terinfeksi oleh makroskizon, monosit terangsang secara aktif untuk
mengekskresikan bahan autokrin yang berfungsi menggertak interleukin-2 (IL-2),
sehingga selama terinfeksi

monosit

mengalami

perubahan

bentuk

dan

berproliferasi dengan hebat (Eichhorn, Dobbelaere 1994 ; Morrisson et al. 1995).
Selama memperbanyak diri, makroskizon juga melepaskan makromerozoit untuk
menyerang

monosit

baru,

kemudian

makromerozoit

berubah

menjadi

makroskizon baru, selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh. Setelah 2 minggu, di
dalam eritrosit ditemukan makroskizon yang akan menghasilkan mikromerozoit,
kemudian mikromerozoit menginfeksi eritrosit dan di dalam eritrosit akan berubah
menjadi bentuk piroplasma yang selanjutnya akan menulari caplak lain (Preston
1992).

Infeksi pada Caplak
Mekanisme infeksi Theileria sp. pada larva caplak dimulai dari terjadinya
perubahan bentuk piroplasma menjadi mikrogamon, mikrogamet, makrogamet,
zigot dan kinet di dalam usus, sampai ditemukannya sporozoit dalam kelenjar
ludah caplak.
Terjadinya infeksi piroplasma pada caplak dimulai sejak larva caplak
menghisap darah inang terinfeksi, dan setelah kenyang larva akan jatuh ke tanah.
Menurut Higuchi (1987) setelah larva jatuh ke tanah, 10 jam kemudian di dalam
isi ususnya ditemukan merozoit, baik di dalam maupun di luar eritrosit terinfeksi.
Dalam waktu 24 jam sebagian besar eritrosit hancur, dan di dalam usus nimfa
ditemukan merozoit dalam berbagai bentuk, yakni bentuk bundar seperti koma
dan bentuk kumparan dengan ukuran antara 1 sampai 2,5 µm. Sekitar 24 sampai
48 jam kemudian, merozoit mengalami perubahan bentuk menjadi seperti cincin
yang berukuran 1-2 µm, dengan sitoplasma bersifat basofilik. Dalam waktu 48-72
jam bentuk cincin berubah menjadi makrogamet, yaitu berbentuk bundar dan
lonjong berukuran 3-4 µm dengan inti bersifat eosinofilik dan sitoplasmanya
basofilik. Makrogamet juga mengalami perubahan bentuk menjadi mikrogamet
yaitu seperti kumparan yang berukuran panjang 5 µm. Setelah 3 sampai 5 hari
sejak terinfeksi, di dalam usus nimfa akan ditemukan zigot yang berbentuk bundar
dan lonjong, dengan ukuran 4-5 µm dan sitoplasmanya berwarna biru terang. Pada

hari ke-6 post infeksi, jumlah zigot dalam usus terlihat mulai berkurang dan pada
hari ke-8 semua zigot lenyap dari usus. Pada hari ke-9 di dalam epitel usus nimfa
ditemukan protozoa berbentuk bundar berukuran 4-5 µm dan sitoplasmanya
berwarna biru gelap. Selanjutnya pada hari ke-13, protozoa bundar membentuk
kelompok seperti koloni bakteri pada sitoplasma epitel usus. Kinet terbentuk
segera terlihatnya bentuk zigot (Warnecke et al. 1980) dan pada hari ke-50
sporozoit ditemukan pada kelenjar ludah nimfa (Fujisaki, Kamio 1988 diacu
dalam Siswansyah 1996).

Kejadian Theileriosis di Indonesia
Prevalensi Theileria sp. pada sapi di Indonesia masih belum banyak
diketahui. Theileriosis pada sapi di Indonesia pertama kali ditemukan di Pulau
Jawa pada tahun 1912 dan agen penyebabnya mula-mula diduga T. mutans.
Namun berdasarkan identifikasi morfologi piroplasma dan uji serologi Indirect
Fluorescent Antibody Technique (IFAT), agen penyebab theileriosis pada sapi di
Indonesia ditetapkan T. orientalis (Astyawati 1987). Menurut Siswansyah (1990)
theileriosis pada ternak sapi dan kerbau di Indonesia umumnya disebabkan oleh
T. orientalis (sin. T. mutans). Gejala yang ditimbulkan biasanya tidak jelas dan
dikenal pula dengan nama “benign bovine theileriosis”. Prevalensi T. orientalis
pada sapi dilaporkan sebesar 30,8% (178/578) dengan tingkat parasitemia ≤ 1%
pada 6 kabupaten di Kalimantan Selatan. Menurut Marquerita et al. (1997)
berdasarkan pemeriksaan spesimen yang masuk ke Balai Penyidikan Penyakit
Hewan (BPPH) Wilayah I Medan Sumatera Utara pada 10 kabupaten tahun 1995
maka prevalensi atau kejadian theileriosis sebesar 1,3% (4/307) lebih rendah
dibandingkan prevalensi Daerah Istimewa Aceh (DI. Aceh) yaitu sebesar 4,3%
(10/231). Pada tahun 1996 kejadian theileriosis di Sumatera Utara meningkat
menjadi sebesar 3,8% (7/185) sedangkan di Propinsi DI.Aceh menurun menjadi
sebesar 0,4% (1/251). Prevalensi rata-rata T. orientalis pada sapi perah Friesian
Holstein (FH) laktasi di Kabupaten Bogor dan Cianjur adalah (77/247) 31,2%
(Siswansyah 1996).

Kejadian Theileriosis di Australia
Distribusi dan prevalensi T. buffeli pada sapi di Queensland, Australia
berturut-turut adalah 75% dan 41 %. Hasil tersebut diperoleh dengan pemeriksaan
8854 serum darah diambil dari 357 peternakan menggunakan metode IFAT dan
347 serum darah perifer diambil dari 147 peternakan dengan identifikasi
piroplasma. Berdasarkan penelitian tersebut disimpulkan bahwa kejadian
theileriosis tertinggi di bagian utara dan barat Australia (Stewart et al. 2008).
Caplak pada sapi pertama kali ditemukan di Benua Australia bagian utara
sebelum abad-19, kemudian menyebar dari Darwin sampai hampir seluruh bagian
utara Australia. Distribusi caplak paling utama disebabkan oleh faktor iklim yaitu
dibutuhkan kondisi dengan kelembaban tinggi serta berkembang baik pada suhu
15-200C untuk bertelur dan menetas. Kondisi tersebut ditemukan hanya di bagian
utara dan pantai utara timur Australia (Anonim 2005).
Di Queensland bagian selatan, jumlah caplak menurun diantara pertengahan
bulan April sampai bulan Juni. Caplak betina menurun jumlahnya pada awal
musim gugur dan dapat memproduksi larva dan bertahan sampai musim dingin,
akhirnya menghasilkan jumlah caplak yang sangat banyak pada musim semi. Jika
tidak dapat dikendalikan maka caplak berkembang biak lebih banyak pada awal
musim gugur dan musim semi. Di bagian utara, caplak meletakkan telur yang
produktif di mana saja. Di Queensland bagian tengah, jumlah caplak menurun
selama musim dingin ketika di bagian utara Queensland berlangsung musim hujan
yang menghambat produksi caplak (DPIF 2007).
Di Australia, beberapa caplak keras (ixodid ticks) merupakan vektor
penyebab parasit darah pada sapi yaitu T. buffeli. Caplak sapi, Boophilus
microplus dianggap merupakan vektor penting. Sekarang ini paling tidak 2 spesies
Haemaphysalis yaitu H. longicornis dan H. bancrofti yang dipercaya merupakan
vektor paling utama untuk T. buffeli di Australia (Stewart et al. 1987).

Pengenalan Penyakit
Berdasarkan Gejala Klinis
Gejala klinis yang biasa tampak pada sapi yang terinfeksi adalah kelemahan,
berat badan turun, anoreksia, suhu tubuh tinggi, petekia pada mukosa konjunctiva,

pembengkakkan nodus limfatikus, anemia dan batuk. Infeksi pada stadium lanjut
menyebabkan hewan tidak bisa berdiri, suhu tubuh dibawah normal (T