Kajian Residu Trenbolon Asetat pada Urin Sapi Siap Potong yang Diimpor dari Australia melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok

KAJIAN RESIDU TRENBOLON ASETAT PADA URIN SAPI
SIAP POTONG YANG DIIMPOR DARI AUSTRALIA
MELALUI PELABUHAN LAUT TANJUNG PRIOK

RIFKY DANIAL

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Residu Trenbolon
Asetat pada Urin Sapi Siap Potong yang Diimpor dari Australia melalui
Pelabuhan Laut Tanjung Priok adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Rifky Danial
NIM B251130114

RINGKASAN
RIFKY DANIAL. Kajian Residu Trenbolon Asetat pada Urin Sapi Siap Potong
yang Diimpor dari Australia melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok. Dibimbing
oleh HADRI LATIF dan AGUSTIN INDRAWATI

Kebijakan pemerintah mengimpor dan menghapus kuota impor daging dan
sapi potong dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan protein hewani secara
nasional yang sangat minim menimbulkan berbagai masalah yang perlu kita
antisipasi bersama. Permasalahan yang muncul antara lain adanya cemaran residu
bahan kimia toksik (mikotoksin, pestisida, obat hewan dan hormon) pada produk
peternakan yang masuk ke Indonesia yang dapat mengganggu dan membahayakan
kesehatan konsumen tersebut. Salah satu residu yang membahayakan manusia
adalah hormon trenbolon asetat (TBA) pada ternak sapi. Penggunaan dan
peredaran hormon tersebut masih dilarang di Indonesia namun hormon ini
digunakan di Australia sebagai hormon pertumbuhan sehingga ada dugaan residu

hormon terdapat pada sapi tersebut. Dampak dari residu TBA pada kesehatan
manusia yaitu mutagenik (terjadi perubahan genetik), teratogenik (terjadi cacat
bawaan), dan karsinogenik (terjadi pertumbuhan sel kanker). Penelitian ini
bertujuan untuk mendeteksi keberadaan residu hormon trenbolon asetat (TBA)
pada urin sapi siap potong yang diimpor dari Australia melalui Pelabuhan Laut
Tanjung Priok. Manfaat penelitian ini adalah tersedianya data yang dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penyempurnaan penyusunan
kebijakan peraturan serta tindakan karantina sapi siap potong impor di tempat
pemasukan yang telah ditetapkan secara resmi oleh pemerintah.
Sampel yang diambil adalah urin sapi siap potong. Jumlah sampel dihitung
menggunakan rumus deteksi penyakit (detect disease) yang ditetapkan yaitu n =
[1- (1-a) 1/D] [N-(D-1)/2] dan didapatkan sampel sebesar 60 sampel. Pengambilan
sampel dilakukan secara purposive hingga jumlah sampel terpenuhi. Pengujian
dilakukan dengan menggunakan metode enzyme-linked immunosorbent assay
(ELISA). Data dari penelitian ini dianalisa secara deskriptif untuk mengetahui
keberadaan residu hormon TBA.
Hasil pengujian ELISA pada penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak
60 dari 60 sampel (100%) urin sapi siap potong dari Australia mengandung residu
TBA dengan konsentrasi yang bervariasi. Konsentrasi residu TBA < 2 part per
billion (ppb) terdeteksi pada 37 sampel (61.67%), Konsentrasi residu TBA 2-4

part per billion (ppb) terdeteksi pada 7 sampel (7%), dan konsentrasi residu TBA
> 4 part per billion (ppb) terdeteksi pada 16 sampel (26.67%). Hasil positif pada
sampel menunjukkan masih tingginya penggunaan TBA sebagai hormon
pertumbuhan di Australia dan terdapat kemungkinan bahwa sapi potong yang
dikirim ke Indonesia tidak memperhatikan withdrawal time yaitu 60-70 hari
setelah implantasi.
Kata kunci: ELISA, urin, sapi siap potong impor, residu, trenbolon asetat

SUMMARY
RIFKY DANIAL. Study of Trenbolone Acetate Residues in Slaughter Cattle
Urine from Australia Imported through Sea Port of Tanjung Priok. Supervised by
HADRI LATIF and AGUSTIN INDRAWATI.
Indonesian government has set a policies of importing meat and beef from
abroad without any given quotas to accomplish the national animal protein
requirements which cannot be fulfilled by domestic produce. Those policies surely
would cause various problems that we need to anticipate together. One such a
problem is the presence of toxic chemical residues contamination (mycotoxin,
pesticides, residues of veterinary drugs and hormones) on livestock produces
imported to Indonesia which can disturb or endanger the health of the consumer.
Trenbolone acetate hormone (TBA) is one of the toxic chemical residue in cattle

that harmful to human. The use and circulation of these hormones in Indonesia
were prohibited, but were still used as a growth hormone for cattle in Australia
which rise the concerns of possibility hormone residues presence in their cattle.
The impact of TBA residues on human health are mutagenic (genetic changes),
teratogenic (birth defects occur), and carcinogenic (cancer cell growth occurs).
This study was aimed to detect the presence of trenbolone acetate (TBA) hormone
residues in urine of slaughter cattle imported from Australia through the Port of
Tanjung Priok. The benefits of this research was to provide data that could be use
as a consideration material in the preparation of regulatory policies as well as the
improvement of quarantine measures for slaughter cattle importation in the entry
point which has been officially designated by the government.
Urine samples were taken from imported slaughter cattle. The number of
samples is calculated using the formula of disease detection with n = [1- (1-a) 1 /
D] [N-(D-1) / 2] and resulted a total of 60 samples required for the study. Samples
collection were performed by purposive sampling until the number of samples
required fulfilled. Tests were performed using enzyme-linked immunosorbent
assay (ELISA). Data from this study were analyzed descriptively to determine the
presence of TBA hormone residues.
The results of ELISA test in this study showed positive results in all of urine
samples (100%) of slaughter cattle imported from Australia with variation in TBA

residues concentrations. The concentration of residual TBA < 2 ppb were detected
in 37 samples (61.67%), the residual concentration of TBA 2-4 ppb were detected
in 7 samples (7%), and the concentration of residual TBA > 4 ppb were detected
in 16 samples (26.67%). Positive results in the samples is indicated the high use of
TBA as growth hormone in Australian cattle and there was possibility that the
withdrawal time of 60-70 days was not considered.
Key words: ELISA, imported slaughter cattle, urine, residue, trenbolone acetate

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KAJIAN RESIDU TRENBOLON ASETAT PADA URIN SAPI
SIAP POTONG YANG DIIMPOR DARI AUSTRALIA

MELALUI PELABUHAN LAUT TANJUNG PRIOK

RIFKY DANIAL

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Etih Sudarnika, MSi

Judul Tesis : Kajian Residu Trenbolon Asetat pada Urin Sapi Siap Potong yang
Diimpor dari Australia melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok
Nama

: Rifky Danial
NIM
: B251130114

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr med vet Drh Hadri Latif, MSi
Ketua

Dr Drh Agustin Indrawati, MBiomed
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dekan Sekolah Pascasarjana


Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 13 Februari 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2014 sampai dengan
November 2014 adalah Kajian Residu Trenbolon Asetat pada Urin Sapi Siap
Potong yang Diimpor dari Australia melalui Pelabuhan Laut Tanjung Priok.
Penghargaan dan terima kasih penulis ucapkan kepada Kepala Badan
Karantina Pertanian beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan
penulis untuk menempuh pendidikan S2. Terima kasih penulis ucapkan kepada
Bapak Dr med vet drh Hadri Latif, MSi dan Ibu Dr drh Agustin Indrawati,
MBiomed selaku komisi pembimbing atas segala dukungan, bimbingan dan
arahan terhadap penelitian dan penulisan tesis. Penulis sampaikan terima kasih

kepada Bapak Dr med vet drh Denny Widaya Lukman, MSi selaku Ketua
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner yang telah membantu kelancaran
studi ini. Selain itu, terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak drh Mulyanto,
MM (Sekretaris Badan), Bapak drh Sujarwanto, MM (Kepala Pusat Karantina
Hewan dan Keamanan Hayati Hewani), serta drh. Sriyanto, MSi PhD (Kepala
Bidang Karantina Hewan BBKP Tanjung Priok) yang telah banyak memberikan
fasilitas, kemudahan dan saran.
Akhirnya terima kasih yang dalam kepada bapak, ibu, isteri, dan adik serta
seluruh keluarga atas segala pengertian, kesabaran, doa dan kasih sayangnya.
Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala melimpahkan rahmat dan karunia-Nya
kepada kita semua. Harapan penulis semoga tulisan ini dapat bermanfaat untuk
mendukung kegiatan karantina hewan maupun untuk masyarakat umum di
Indonesia.

Bogor, Februari 2015
Rifky Danial

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


xii

DAFTAR GAMBAR

xii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
2
2
2


2 TINJAUAN PUSTAKA
Hormon
Residu Hormon
Trenbolon Asetat (TBA)
Metode Deteksi Residu Hormon TBA
Bahaya Residu TBA Terhadap Kesehatan Manusia

3
3
4
5
6
9

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan dan Alat
Metode Pengambilan Sampel
Preparasi Sampel
Pengujian Sampel dengan Metode ELISA
Analisis Data

10
10
10
10
11
11
11

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian Residu TBA dengan ELISA
Residu TBA dalam Urin Sapi

12
12
13

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

16
16
16

DAFTAR PUSTAKA

16

RIWAYAT HIDUP

21

DAFTAR TABEL
1 Konsentrasi TBA dalam Urin Sapi yang Diimpor dari Australia

13

DAFTAR GAMBAR
1 Struktur Kimia dari Trenbolon Asetat
2 Struktur Kimia dari α trenbolon dan β trenbolon
3 Kurva Standar ELISA untuk TBA

5
6
12

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kebutuhan nasional daging sapi dan kerbau di Indonesia mengalami
peningkatan pada tahun 2012 sebanyak 484 ribu ton, sedangkan ketersediannya
hanya 399 ribu ton (82.52 %) (Ditjen PKH 2012). Kekurangan stok daging
terhadap tingkat konsumsi daging disebabkan karena tidak berimbangnya
penyediaan dan permintaan daging di Indonesia. Populasi ternak penghasil daging
untuk konsumsi kemungkinan tidak mampu memenuhi kebutuhan daging di
Indonesia. Rendahnya produktifitas dan kesehatan ternak merupakan salah satu
penyebab rendahnya populasi ternak penghasil daging, disamping tingginya
pemotongan ternak produktif dan belum berkembangnya pemanfaatan ternak
penghasil daging lainnya seperti kerbau, kambing, domba, dan lain-lain
(Widiastuti et al. 2007). Kebijakan pemerintah untuk mengimpor dan menghapus
kuota impor daging dan sapi potong dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan
akan protein hewani nasional menimbulkan berbagai masalah yang perlu kita
antisipasi bersama. Permasalahan tersebut diantaranya yaitu tidak adanya jaminan
bahwa produk peternakan yang masuk ke Indonesia berkualitas terbaik.
Produk peternakan yang tidak dijamin bebas dari cemaran residu bahan
kimia toksik (mikotoksin, pestisida, obat hewan dan hormon) dapat mengganggu
dan membahayakan kesehatan konsumen. Salah satu residu yang membahayakan
manusia adalah hormon trenbolon asetat (TBA). TBA adalah hormon penggertak
pertumbuhan (HGP) pada ternak sapi yang berupa steroid sintetis yang bersifat
androgenik. Penggunaannya pada ternak sapi dengan cara mengimplantasi TBA
secara subkutan pada daun telinga ternak. Dampak dari residu TBA pada
kesehatan manusia yaitu mutagenik (terjadi perubahan genetik), teratogenik
(terjadi cacat bawaan), dan karsinogenik (terjadi pertumbuhan sel kanker).
Hormon TBA dapat meningkatkan pertumbuhan bobot badan sebanyak 10%
dan menurunkan konversi kebutuhan pakan dari 11% menjadi 9%. Hasil
penelitian mengenai keberadaan residu TBA di Indonesia pada daging dan hati
sapi impor yang dijual di swalayan dan distributor di DKI Jakarta menunjukkan
bahwa sebagian besar sampel tersebut positif mengandung residu TBA
(Widiastuti et al. 2000). Menurut Widiastuti et al. (2001), penggunaan dan
peredaran hormon tersebut masih dilarang di Indonesia. Hal lain yang mendukung
pelarangan tersebut adalah tidak memadainya tingkat pendidikan dan pengetahuan
serta kesadaran peternak yang menggunakan HGP untuk menaati ketentuan waktu
henti sebelum ternak dipotong (Akoso 2001).
Negara-negara tertentu di Eropa yang tergabung dalam European Economic
Community (EEC) melarang penggunaan anabolik steroid sebagai penggertak
pertumbuhan dan tidak memperbolehkan ada residu hormon pada produk
peternakan. Namun hormon ini digunakan di negara Amerika Serikat, Kanada,
Selandia Baru, Australia, Afrika Selatan, Meksiko, dan Chile sejak tahun 1970
dalam usaha penggemukan sapi. Indonesia mengimpor sapi siap potong impor
dari Australia sehingga ada dugaan hormon tersebut ada pada sapi tersebut. Oleh
karena itu perlu dilakukan pengujian terhadap residu hormon tersebut agar tidak
membahayakan kesehatan masyarakat.

2
Badan Karantina Pertanian memiliki peran penting dalam mengawasi dan
mendeteksi adanya residu TBA pada sapi siap potong impor sehingga perlu
melakukan pemeriksaan residu TBA pada urin sapi demi mencegah masuknya
komoditi hewan yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Hal ini
menunjukkan bahwa produk ternak akan lebih aman dikonsumsi bila hasil
pemeriksaan residu dalam urin sudah tidak terdeteksi. Pengamatan residu pada
urin ini lebih mudah dilaksanakan dan tidak perlu membunuh hewan (Lange et al.
2000).

Perumusan Masalah
Populasi sapi di Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan daging sapi
masyarakat dalam negeri sehingga sebagian dipenuhi dengan importasi terutama
sapi siap potong dari Australia. Negara pengekspor menggunakan hormon
pertumbuhan (TBA) sebagai pemacu pertumbuhan utama pada sapi. Residu TBA
dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada masyarakat sehingga diperlukan
suatu pengujian pada urin sapi sebagai langkah awal pengawasan dalam rangka
menjamin keamanan sapi siap potong impor apabila dikonsumsi.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi residu TBA secara kuantitatif
pada urin sapi siap potong yang diimpor dari Australia.

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah diharapkan dapat digunakan sebagai
informasi/data awal mengenai keberadaan dan kadar residu TBA pada urin sapi
siap potong impor dari Australia sehingga dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam penyusunan kebijakan peraturan serta tindakan karantina sapi
siap potong impor di tempat pemasukan yang telah ditetapkan secara resmi oleh
pemerintah.

Ruang Lingkup Penelitian
Kegiatan penelitian ini dilakukan dari bulan Juli sampai November 2014
dengan lingkup kegiatan yaitu perhitungan besaran sampel, pengambilan sampel
(urin sapi) di Instalasi Karantina Hewan (IKH), dan pengujian sampel.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA

Hormon
Hormon berasal dari bahasa Yunani yang berarti menimbulkan atau
membangkitkan. Hormon adalah suatu zat kimia yang bertugas membawa pesan
(chemical messenger), disekresikan oleh jaringan dalam jumlah yang sangat kecil
dan dibawa oleh darah menuju target jaringan untuk merangsang aktivitas
biokimia atau fisiologis yang khusus (Lehninger 1993). Murray et al. (2003)
membagi hormon berdasarkan komposisi kimia menjadi dua yaitu hormon
glikoprotein dan steroid. Hormon glikoprotein dihasilkan oleh neurohipofisa,
adenohipofisa, kelenjar tiroid, kelenjar paratiroid, dan pulau Langerhans. Hormon
ini tersusun dari asam amino, dan produksinya bergantung pada substrat, suplai
energi serta rangsangan biologis. Hormon glikoprotein merupakan hormon
molekul hidrofilik yang berikatan dengan reseptor pada permukaan sel target.
Berbagai macam hormon glikoprotein yaitu insulin (polipeptida), glukagon
(peptida), growth hormon (peptida), thyroid stimulating hormon (glikoprotein),
follicle stimulating hormon (glikoprotein), dan adenocorticotropic hormon
(peptida).
Hormon steroid terbagi menjadi hormon steroid kelamin (estrogen,
progestin dan androgen) dan steroid adrenal (glukokortikoid, mineralkortikoid,
dan androgen). Hormon steroid dapat menstimulasi laju pertambahan berat badan,
pertumbuhan otot, meningkatkan efisiensi pakan, dan menurunkan perlemakan,
termasuk lemak intramuskular (Murray et al. 2003; Nazli et al. 2005). Terdapat
berbagai jenis hormon steroid yang umumnya digunakan sebagai pemacu
pertumbuhan, yaitu estrogen (estradiol, heksoestrol, dietilstilbestrol, dienoestrol
dan zeranol), gestagen (progesteron, medroksiprogesteron asetat, megoestrol
asetat, melengestrol asetat, altrenogest), dan androgen (testosteron, nortestosteron,
trenbolon, metiltestosteron, klorotestosteron asetat, stanzolol, bodenan) (Soeparno
2005; Murray et al. 2003).
Hormon steroid memiliki struktur kimia yang kompleks, mempunyai
kerangka karbon berupa empat cincin yang disebut staeran, serta memiliki inti
dasar cyclopentana-perhydrophenanthrene yang terdiri dari 3 cincin
phenantherene (A, B, dan C) dengan 6 atom karbon dan cincin D beranggotakan 5
atom karbon. Hormon steroid bersifat hidrofobik atau lipofilik, molekul hormon
berdifusi secara bebas masuk sel target yang mengandung sitoplasmik ataupun
nukleus protein yang bertindak sebagai reseptor hormon (Murray et al. 2003).
Santoso (2001) menggolongkan hormon menjadi 3, yaitu hormon seksual
alami, steroid anabolik sintetik dan anabolik sintetik tanpa struktur steroid.
Hormon seksual alami secara normal ada dalam tubuh, contohnya 17β estradiol
(estrogen), progesteron (progestin) dan testosteron (androgen). Hormon steroid
anabolik sintetik, antara lain trenbolon, metiltestosteron dan etinil estradiol,
sedangkan hormon anabolik sintetik tanpa struktur steroid seperti dietilstilbestrol
(DES), stilbestrol, diebestrol, heksestrol, dan zeranol.

4
Residu Hormon
Residu merupakan akumulasi obat atau bahan kimia dan/atau metabolitnya
yang terdapat pada produk hewan maupun bahan lain. Residu dapat berasal dari
pemakaian atau kontaminasi obat hewan, hormon, pestisida dan cemaran logam
berat pada hewan dan/atau produk hewan baik sebelum proses produksi, dalam
proses produksi maupun setelah proses produksi (BSN 2000). Residu dapat
berupa bahan baku obat atau zat kimia dan hasil metabolit yang tertimbun dan
tersimpan dalam sel, jaringan atau organ hewan. Kandungan zat tersebut tidak
diinginkan dan tertinggal dalam makanan atau lingkungan sekitar.
Batas maksimum residu (MRL) adalah konsentrasi maksimum residu yang
diperbolehkan secara resmi atau diketahui dapat diterima dalam pangan,
komoditas pertanian dan pakan ternak. Konsentrasi residu dinyatakan dalam
mg/kg komoditi atau parts per million (ppm), µg/kg komoditi atau parts per
billion (ppb), dan ng/kg komoditi atau parts per trillion (ppt). Acceptable daily
intake (ADI) adalah sejumlah konsentrasi residu yang dapat dicerna setiap hari
sepanjang hidup manusia (standar usia 60 tahun) tanpa resiko menimbulkan
gangguan kesehatan. Withdrawal time (waktu henti) adalah periode waktu antara
terakhir pemberian obat untuk tujuan pengobatan hewan sampai dengan
konsentrasi dimana residu obat tersebut telah mencapai nilai ambang batas aman
sebagai bahan pangan (Santoso 2001).
Beberapa negara dalam menetapkan ADI dan MRL untuk TBA berbedabeda, hal ini disebabkan penetapkan ADI dan MRL bergantung pada faktor risiko
yang timbul pada setiap warga negara dan berhubungan dengan faktor kebiasaan
mengkonsumsi daging, berat badan, dan umur (Zahid et al. 2000). Indonesia
belum memiliki pedoman mengenai ADI dan MRL untuk menentukan batas
residu.
Penggunaan hormon pertumbuhan pada hewan dibagi dalam dua
kelompok, yaitu zat alami (diekstraksi dari hewan atau diproduksi menggunakan
DNA rekombinan) dan zat yang diproduksi secara sintetis (xenobiotik).
Testosteron, estradiol, progesteron, dan somatotropin merupakan zat yang
termasuk dalam zat alami, sedangkan senyawa xenobiotik adalah TBA, MGA,
zeranol, golongan stilbenes (terutama dietilstilbestron/DES), dan β-agonis (seperti
clenbuterol) (Toews dan McEwen 1994). Xenobiotik yaitu zat-zat yang tidak
didapatkan secara alamiah dalam hewan sasaran (antibiotika dan pestisida)
(Santoso 2001). Secara umum, sampel dari hati, ginjal, lemak dan otot di rumah
potong hewan, serta urin, feses dan bulu (Cacciatore et al. 2009; Duffy et al.
2009; Divari et al. 2010), dan serum (Scalas et al. 2007) pada hewan hidup sering
digunakan untuk menentukan residu zat anabolik.
Residu dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu residu alami, residu yang
tidak terdapat secara alami/ada campur tangan manusia, dan residu sekunder.
Residu alami yaitu residu yang secara alami terdapat dalam lingkungan sekitar
dan pada umumnya terdiri dari residu mineral termasuk logam berat (timah, air
raksa, kadnium). Residu yang tidak terdapat secara alami/ada campur tangan
manusia yaitu residu pada hewan yang diberikan oleh manusia atau
terkontaminasi secara tidak sengaja misalnya senyawa hasil teknologi pertanian
dan industri (dieldrin, dioksin, aldrin, dan DDT), obat-obatan dan perangsang
pertumbuhan (antibiotika, antimikroba, ektoparasit, antelmentika, dan hormon

5
steroid anabolik), dan radioisotop sintetik. Pada umumnya, zat-zat digunakan
untuk tujuan terapeutik, profilaktik, atau perangsang pertumbuhan. Residu
sekunder termasuk semua zat yang tidak diinginkan maupun diinginkan yang
dihasilkan dalam jumlah berlebihan selama masa perlakuan dan pemrosesan lebih
lanjut terhadap makanan atau selama masa pengawetan makanan (Santoso 2001).

Trenbolon Asetat (TBA)
Hormon sebagai pemacu pertumbuhan banyak digunakan di negara
Amerika, Kanada, Selandia Baru, Australia, Afrika Selatan, Meksiko, dan Chile.
Penggunaan hormon tersebut diatur dan terdaftar oleh Food and Drug
Administration (FDA) dalam bentuk karet silatik/pellet yang diimplantasikan
secara subkutan pada sepertiga bagian atas telinga ternak (FDA 2009). Hormon
yang umum digunakan sebagai pemacu pertumbuhan adalah zeranol,
progesterone, estradiol benzoate, estradiol, testosteron propionate, dan trenbolone
asetat. Trenbolon asetat (TBA) merupakan hormon anabolik steroid sintetik yang
bersifat androgenik. TBA diimplantasikan pada telinga ternak sebelum ternak
dipotong (Widiastuti et al. 2001). Struktur kimia dari hormon TBA dapat dilihat
pada Gambar 1.

Gambar 1 Struktur kimia dari trenbolon asetat (Horie 2000).
Hormon ini memiliki cara kerja yang sama dengan hormon testosteron. TBA
meningkatkan retensi penggunaan nitrogen sebagai protein tubuh dan
meningkatkan massa otot secara hipertrofi dan hiperplasia. Peningkatan protein
tubuh disebabkan sintesis protein otot bertambah dan atau degradasi protein
berkurang sebagai bentuk aktivitas reseptor androgen. Trenbolon asetat bekerja
secara langsung melalui reseptor androgen, atau tidak langsung dengan
memodulasi produksi hormon lain, seperti hormon pertumbuhan, tiroid dan
insulin. Hormon trenbolon ini akan bekerja pada otot melalui reseptor
glukokortikoid untuk mengurangi efek katabolik glukokortikoid (Jannat 2007,
Squires 2003). Hal tersebut mengakibatkan pengikatan reseptor testosteron dan
estrogen, peningkatan metabolisme protein, dan pengakumulasian massa otot
rangka.
Metabolit TBA berupa 17α-trenbolon dan 17β-trenbolon terbentuk melalui
proses hidrolisis TBA menjadi 17β-trenbolon disebabkan adanya asam lemak
rantai panjang serta kolesterol pembawanya dan hanya terdapat di jaringan otot.

6
Dua puluh jam setelah aplikasi, 17β-trenbolon dan produk oksidasinya akan
diubah menjadi 17α-trenbolon melalui metabolisme empedu, kemudian
dikonjugasikan dalam bentuk glukoronida dan sulfat yang diekskresikan melalui
urin dan feses (Widiastuti et al. 2007). Residu 17α-trenbolon umumnya ditemukan
pada hati, sedangkan 17β-trenbolon umumnya ditemukan pada otot hewan ternak.
Residu hormon tersebut dapat juga ditemukan pada ginjal dan lemak, namun
konsentrasi tertinggi ditemukan pada otot (DCPCHP 1999). Maximum residue
limits (MRL) menurut Codex Alimentarius Commission, yaitu TBA pada otot
adalah 2 μg/kg dan pada hati adalah 10 μg/kg (Horie 2000). Struktur kimia dari
metabolit TBA dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Struktur kimia dari α-trenbolon dan β-trenbolon (Horie 2000).
Hormon berperan penting bagi proses fisiologis tubuh, tetapi intake yang
berlebihan dapat menimbulkan efek samping. Efek samping akibat residu hormon
bagi kesehatan dilaporkan oleh lembaga International Agency for Research on
Cancer (IARC) yaitu terjadi peningkatan aktifitas berbagai jenis sel kanker. Efek
samping residu hormon anabolik pada manusia dapat berupa reaksi alergik seperti
urtikaria atau hipersensitivitas pada kulit, efek teratogenik, dan karsinogenik.
Residu yang terdapat di dalam produk hewan dapat mengakibatkan reaksi
keracunan (Santoso 2001). Trenbolon asetat dapat mempengaruhi organ
reproduksi mamalia berbagai spesies. Pemberian TBA secara injeksi atau
implantasi pada jantan dewasa dapat menyebabkan peningkatan jumlah sel pada
testis, yaitu sel seminal vesikel, pembesaran prostat, dan perubahan proses
spermatogenesis. Pemberian hormon pada betina dewasa dapat menyebabkan
maskulinisasi dan perubahan atau penurunan siklus ovulasi. Pada penelitian yang
melibatkan sukarelawan wanita, pemberian 10 mg trenbolon asetat setiap hari
selama 2 minggu menyebabkan gangguan pada siklus menstruasi (DCPCHP
1999).

Metode Deteksi Residu Hormon TBA
Residu hormon TBA dapat dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif dengan
metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) (Crowther 1996). ELISA
adalah pengujian wet-lab yang menggunakan antibodi dan perubahan warna untuk

7
mengidentifikasi suatu substansi. ELISA digunakan untuk analisis assay biokimia
yang menggunakan immunoassay enzim dan fase solid untuk mendeteksi
keberadaan suatu substansi dalam sebuah sampel cairan. Substansi yang biasanya
dideteksi adalah antigen, namun dapat juga digunakan untuk mendeteksi antibodi.
Antigen dari suatu sampel terikat pada permukaan, kemudian antibodi spesifik
dimasukkan ke dalam permukaan sehingga dapat berikatan dengan antigen.
Antibodi tersebut terikat dengan sebuah enzim dan pada langkah akhir,
substansi yang mengandung substrat enzim tersebut akan ditambahkan. Enzim
yang paling banyak digunakan adalah Horseradish peroxidase dan Alkaline
phosphatase. Enzim ini dapat dilabel baik pada antibodi maupun antigen yang
akan membentuk warna dengan penambahan suatu substrat. Pengujian secara
kuantitatif dapat dilakukan dengan mengamati intensitas warna yang terbentuk
(Burgess 1995).
Pengujian dengan ELISA membutuhkan minimal satu antibodi dengan
spesifitas terhadap antigen tertentu. Sampel dengan sejumlah antigen dimobilisasi,
kemudian ditambahkan deteksi antibodi sehingga membentuk kompleks dengan
antigen. Dalam setiap langkah pengerjaan, plate dicuci dengan solusi deterjen
ringan untuk membilas protein atau antibodi yang tidak terikat secara spesifik.
Setelah pencucian terakhir, ditambahkan substrat enzim ke dalam plate untuk
menghasilkan sebuah sinyal yang tampak jelas dan mengindikasikan kuantitas
antigen dalam sampel.
ELISA sebagai sebuah assay heterogen berfungsi memisahkan berbagai
komponen pada campuran reaksi analitik dengan menyerap komponen tertentu ke
dalam fase solid di mana komponen tersebut diimmobilisasi secara fisik. Di dalam
ELISA, sebuah sampel cairan ditambahkan pada stationary solid phase dengan
ikatan khusus dan diikuti dengan penambahan berbagai cairan reagent secara
bertahap, inkubasi dan pencucian yang diikuti dengan perubahan warna dalam
cairan akhir. Pembacaan kualitatif umumnya didasarkan atas deteksi intensitas
cahaya yang ditransmisikan oleh spektrofotometri yang juga melibatkan kuantitasi
transmisi gelombang cahaya spesifik melalui cairan. Sensitivitas deteksi
bergantung pada amplifikasi sinyal selama reaksi analitik. Sinyal dihasilkan oleh
enzim yang terikat oleh reagent deteksi pada proporsi yang telah ditentukan untuk
menghasilkan kuantifikasi yang akurat. Spesifisitas dan sensitivitas dari uji ini
dapat ditingkatkan sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi antigen atau
antibodi yang lebih spesifik (Selleck 2007). ELISA dapat digunakan sebagai alat
screening test residu hormon karena memiliki sensitivitas, spesifisitas dan presisi
yang tinggi (Oveisi et al. 2007). ELISA merupakan pengujian imunoserologis
berdasarkan ikatan antibodi dan antigen. Prinsipnya adalah mendeteksi adanya
antibodi atau antigen dalam sampel. Adanya ikatan antara antigen dan antibodi
yang berpasangan ditandai dengan menggunakan enzim spesifik dan dideteksi
melalui penambahan substrat yang dapat dilihat secara visual melalui perubahan
warna atau dengan bantuan alat yang dikenal dengan ELISA reader dengan
panjang gelombang tertentu (Peng et al. 2008).
Metode ELISA terdiri dari beberapa konfigurasi antara lain: ELISA
langsung, ELISA tidak langsung, ELISA penangkap antigen atau ELISA
sandwich, ELISA penangkap antibodi, dan competitive ELISA atau ELISA
pemblok (Crowther 1996). ELISA adalah metode cepat dan praktis untuk
mendeteksi residu dalam produk makanan dan direkomendasikan oleh Uni Eropa

8
(Nazli et al. 2005). Hasil ELISA dapat dibaca dalam beberapa jam, cukup
spesifik, dan sensitif (Reig dan Toldra 2007). Teknik pengujian dengan metode
ELISA dapat dilakukan dalam beberapa format tergantung dari besar molekul
yang akan dideteksi serta tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang dikehendaki.
ELISA langsung merupakan konfigurasi yang paling sederhana. Antigen
secara langsung diadsorbsikan ke substrat padat. Permukaan substrat dicuci dan
antibodi yang ditempeli enzim digunakan untuk menunjukkan adanya antigen.
Hasilnya akan terlihat bila ditambah substrat. Konfigurasi ini memerlukan
antiserum yang spesifik untuk antigen tertentu. Antiserum spesifik harus
dikonjugasikan pada enzim. Keterbatasan konfigurasi ini berkaitan dengan sifat
pengikatan substrat padat dan kualitas antibodi indikator. Konfigurasi ini biasanya
digunakan dalam pengujian untuk mendeteksi suatu antigen. Adanya kontaminasi
antigen dapat ditunjukkan dengan adanya warna pada supernatan. Warna yang
ditunjukkan tergantung dari substrat yang digunakan (Burgess 1995).
Konfigurasi ELISA tidak langsung merupakan konfigurasi yang dapat
digunakan untuk mengukur titer antibodi. Antigen teradsorbsi pada substrat padat.
Antibodi primer tidak berlabel dan dapat diperoleh dari serum atau cairan tubuh
lainnya. Antibodi sekunder terikat pada enzim yang sesuai. Antibodi sekunder ini
biasanya disebut sebagai konjugat. Hasil akan tampak bila ditambahkan substrat.
Antigen dan antibodi sekunder biasanya dibuat konstan dan yang berubah adalah
antibodi primer. Kerapatan densitas (optical density) berhubungan dengan
konsentrasi antibodi primer. Variasi sensitivitas dan spesifisitas dapat diperoleh
dengan menentukan antigen dan konjugat indikator. Kelemahan utama konfigurasi
ini terletak pada tidak adanya spesifisitas akibat bereaksi dengan antigen yang
tidak murni (Crowther 1996).
Metode ELISA penangkap antigen atau ELISA sandwich merupakan
konfigurasi yang menggunakan antibodi yang terikat pada fase padat (well) untuk
menangkap antigen secara spesifik. Tingkat antibodi yang terdapat dalam tubuh
harus di ukur. Konfigurasi sisanya serupa dengan ELISA tidak langsung. Antibodi
penangkap, antigen dan sistem indikator dibuat konstan dan yang berubah adalah
titer antibodi primer untuk antigen spesifik. Jika antigen yang diukur, dapat
digunakan konfigurasi serupa atau sistem indikatornya menggunakan antibodi
terkonjugasi spesifik untuk antigennya. Antibodi monoklonal makin banyak
dipakai untuk antibodi penangkap dan dalam sistem indikator. Penggunaan
antibodi monoklonal yang digabung dengan antigen murni atau antigen yang
sudah diubah dapat memperbaiki spesifisitas. Prinsip kerja ELISA penangkap
antibodi adalah menggunakan antiglobulin yang terikat pada substrat padat.
Antibodi sampel yang diuji ditangkap dan sistem indikator menempel pada
antigen berlabel (Burgess 1995).
Teknik ELISA kompetitif adalah adanya kompetisi antara antigen dan
antibodi. Pengujian kompetisi antibodi membutuhkan antigen untuk menangkap
antibodi secara langsung maupun antibodi spesifik ke substrat padat. Antibodi
yang telah dilabel bersaing dengan antibodi bebas atau antibodi yang tidak dilabel
untuk mendapatkan tempat penempelan pada antigen. Semakin banyak antigen
dalam sampel, semakin sedikit antibodi yang dapat terikat pada antigen yang
menempel pada permukaan well. Antibodi yang telah dilabel dapat dideteksi
menggunakan antibodi spesifik (Burgess 1995). Keseimbangan uji dibentuk antara
jumlah hormon yang tidak dilabel dan yang berlabel dengan ikatan protein yang

9
komplek. Proporsi hormon yang dilabel dengan yang tidak dilabel dalam
mengikat antibodi, bergantung pada jumlah hormon yang tidak dilabel yang ada
dalam pengujian tersebut. Jumlah dari ikatan tersebut menurun seiring dengan
meningkatnya jumlah hormon yang tidak dilabel (Squires 2003). ELISA
kompetitif merupakan format yang banyak dipakai untuk pengujian antigen,
toksin serta senyawa dengan molekul kecil (Burgess 1995).
Pengujian hormon juga dapat dilakukan dengan menggunakan high
performance liquid chromatography (HPLC), selain menggunakan ELISA
(Yesalis dan Bahrke 2005). Pengujian ini dapat dijadikan konfirmasi setelah
ELISA (Ding et al. 2009). Metode HPLC merupakan salah satu metode
kromatografi yang dapat didefinisikan sebagai teknik pemisahan yang melibatkan
transfer massa antara fase stasioner dan bergerak (mobile) (Reig dan Toldra 2007).
Teknik HPLC sangat berguna untuk memisahkan beberapa senyawa sekaligus
karena setiap senyawa mempunyai afinitas selektif antara fase diam tertentu dan
fase gerak tertentu. Kekurangan metode ini adalah membutuhkan waktu yang
lama, mahal, dan membutuhkan personil yang terlatih (Zahid et al. 2000; Evans
2004).

Bahaya Residu TBA terhadap Kesehatan Manusia
Hormon TBA sebagai hormon steroid sintetik digunakan untuk
meningkatkan berat badan ternak memiliki cara kerja dan reseptor yang sama
dengan hormon androgenik yang terdapat dalam tubuh hewan secara alami yaitu
testosteron. Hormon ini dapat mempengaruhi organ reproduksi mamalia berbagai
spesies. Metabolit testosteron maupun TBA dapat ditemukan dalam otot, ginjal,
hati, dan urin (Avery dan Avery 2007). Hormon TBA dengan konsentrasi tinggi
berpotensi genotoksik. Secara in vitro, TBA menyebabkan kerusakan pada sel
limfosit dan merubah struktur kromosom manusia (Beg et al. 2007). TBA
merupakan hormon steroid yang dibentuk dari kolesterol dengan low density
lipoprotein (LDL) sebagai media transportasi dalam plasma. Peningkatan TBA
dalam plasma turut mempengaruhi peningkatan LDL. Peningkatan LDL dapat
meningkatkan risiko aterosklerosis (Murray et al. 2003).
Residu hormon anabolik dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada
manusia antara lain reaksi alergik yang dapat terjadi setelah individu memperoleh
residu yang berada dalam bahan makanan. Bentuk reaksi alergi dapat berupa
urtikaria atau hipersensitifitas pada kulit. Efek teratogenik yang dapat terjadi jika
embrio pada awal masa kebuntingan terpapar residu. Efek karsinogenik yang
merupakan kekhawatiran utama konsumen dan efek mutagenik yang dapat terjadi
akibat adanya kerusakan unsur genetik seluler individu (Santoso 2001).
Testosteron dan turunan sintetiknya bertanggung jawab terhadap
perkembangan dan pematangan karakteristik kelamin jantan sekunder misalnya
peningkatan rambut pada bagian tubuh, suara kelaki-lakian, berkembangnya pola
kebotakan, libido, produksi sperma, dan keagresifan. Pada umumnya, berbagai
efek negatif steroid androgenik anabolik (AAS) berhubungan dengan penggunaan
AAS dalam waktu lama dan diatas dosis pengobatan serta akan mengakibatkan
penurunan fertilitas dan ginekomastia pada pria dan maskulinasi pada wanita dan
anak-anak. Efek negatif AAS lainnya adalah gangguan kardiovaskuler, disfungsi

10
hati, tumor hati, edema, tendonitis, dan gangguan jiwa (Bahrke dan Yesalis 2004;
Maravelias et al. 2005).

3 METODE

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli - November 2014. Pengambilan
sampel dilakukan di Instalasi Karantina Hewan (IKH) Tanjung Priok. Pengujian
sampel dilakukan di Laboratorium Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok
(BBKP Tanjung Priok).

Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah urin sapi siap potong
impor, sampel disimpan dalam keadaan beku sebelum dilakukan pengujian dan
untuk pengujian digunakan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) Kit (Art.
No.: R2601, Ridascreen®, R-Biopharm AG, Darmstadt, Germany). Bahan kimia
yang digunakan adalah glukoronidase/arylsulfatase dari Helix pomatia (Merck Art.
No. 4114), Natrium hidroksida, metanol p.a, metanol 40%, metanol 80%, Naasetat buffer.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah multichannel/single pippet,
kolom Rida C18, ELISA reader (Thermo Scientific) dengan Skenit software 2.5.1.

Metode Pengambilan Sampel
Besaran sampel diambil untuk mendeteksi penyakit sehingga digunakan
rumus detect disease sebagai berikut: n = [1-(1-a)1/D] [N-{(D-1)/2}], keterangan:
n: besaran sampel; N: populasi; a: tingkat kepercayaan; D: tingkat kejadian
penyakit dalam populasi (Martin et al. 1987). Populasi sapi dihitung berdasarkan
jumlah sapi siap potong impor dari Australia pada tahun 2013 mencapai 77 941
ekor (BBKP Tanjung Priok 2013). Prevalensi keberadaan hormon pada sapi
sebesar 5% maka dengan tingkat kepercayaan keberadaan hormon sebesar 95%,
berdasarkan rumus detect disease diatas diperoleh besaran sampel sebanyak 60
sampel. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive, hal ini karena tidak
dimungkinkan pengambilan sampel secara by judgement seperti yang biasa
dilakukan untuk deteksi penyakit. Pemilihan cara pengambilan sampel secara
purposive terkait tidak spesifiknya tanda klinis pada sapi sehingga tidak dapat
dibedakan antara sapi yang menggunakan hormon maupun sapi yang tidak
menggunakan hormon. Oleh karena itu, sampel yang dipilih berdasarkan
kedatangan kapal dan tempat pengeluaran sapi siap potong dari beberapa wilayah
di Australia yang diharapkan dapat mewakili.

11
Preparasi Sampel
Sebanyak 0.5 mL urin sapi dicampur dengan 3 mL sodium asetat 50 mM
dan 8 µL glukoronidase. Larutan tersebut diinkubasi pada suhu kamar selama
3 jam untuk proses hidrolisa. Larutan hidrolisa tersebut dipurifikasi dengan kolom
Rida C18 lalu dibilas dengan 3 mL metanol 100 mL dan 2 mL PBS 20 mM.
Seluruh sampel sebanyak 3 mL dilewatkan ke dalam kolom. Kolom dibilas
kembali dengan 2 mL metanol 40%. Semua cairan yang berada di dalam kolom
dikeluarkan dengan menggunakan tekanan syringe atau dengan melewatkan gas
N2. Larutan dieluasikan perlahan dengan 1 mL metanol 80% dengan laju alir
15 tetes/menit. Larutan eluat ditampung dalam vial baru dan diencerkan
menggunakan akuades dengan perbandingan 1:2. Sebanyak 20 μL hasil
pengenceran tersebut digunakan untuk pengujian dengan metode ELISA.

Pengujian Sampel dengan Metode ELISA
Setelah semua reagen disiapkan, tiap larutan standar dan sampel dipipet
masing-masing sebanyak 20 μL ke dalam tiap well. Larutan standar dimasukkan
dalam dua well untuk tiap konsentrasi yang berbeda. Enzim konjugat kemudian
ditambahkan sebanyak 50 μL ke tiap well, selanjutnya ditambahkan 50 μL antitrenbolon antibodi ke tiap well. Plate lalu digoyang agar homogen. Plate
diinkubasikan selama 2 jam pada suhu ruang (20-25 ºC). Setelah itu, cairan
didalam well dibuang dan dicuci dengan 250 μL akuades. Cairan di dalam well
dibuang dan plate diketukkan ke tisu agar semua cairan dapat terbuang secara
sempurna. Tahap pencucian dengan washing buffer dilakukan dengan hati-hati
agar well tidak terlalu kering. Tahap pencucian ini dilakukan sebanyak 3 kali.
Substrat 50 μL dan chromogen 50 μL ditambahkan ke tiap well, plate
digoyangkan agar homogen. Plate kemudian diinkubasi selama 30 menit pada
suhu kamar (20-25 ºC) di tempat gelap. Stop solution ditambahkan sebanyak
100 μL ke tiap well, plate digoyangkan kembali agar homogen. Penambahan stop
solution dilakukan dengan hati-hati, karena reagent mengandung asam sulfat.
Pembacaan nilai absorbansi atau optical density (OD) dilakukan maksimal
30 menit setelah penambahan stop solution dengan menggunakan ELISA reader
Thermoscientific skanit software 2.5.1 pada panjang gelombang 450 nm, dan hasil
konsentrasi TBA dinyatakan dalam part per trillion (ppt), kemudian respon dari
hasil ELISA reader dibaca dengan menggunakan software Rida®Soft Win (Art.No.
Z9999).

Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan
keberadaan residu TBA pada urin sapi siap potong yang diimpor dari Australia.
Hasil uji disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.

12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian Residu TBA dengan ELISA
Sampel urin sapi siap potong impor dalam penelitian ini diuji dengan
menggunakan metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Keberadaan
residu TBA pada urin sapi menyebabkan sapi yang akan dipotong tidak aman
dikonsumsi. Metode pengujian residu TBA menggunakan ELISA merupakan
metode uji residu hormon yang sensitif, akurat, relatif murah, dan mudah
pengerjaannya untuk pengujian rutin (Indriani et al. 2002; Mahgoub et al. 2006).
Metode pengujian ini merupakan pengujian awal (screening) untuk mengetahui
kandungan residu TBA pada sapi siap potong impor. ELISA yang digunakan
adalah ELISA kompetitif, dimana pengujian berdasarkan pada pengikatan spesifik
hormon dengan protein (antibodi spesifik) (Squires 2003).
Hasil pengujian ELISA pada residu TBA dilakukan dengan
mengkalkulasikan hasil uji sampel dengan kurva standar uji ELISA. Kurva
standar memiliki peranan penting sebagai acuan dalam akurasi penetapan
konsentrasi residu TBA. Limit deteksi ELISA yang digunakan untuk mendeteksi
residu TBA adalah 400 part per trillion (ppt), dengan 50% inhibition
concentration sebesar 82 ppt. Limit deteksi merupakan tingkat konsentrasi
terendah yang dapat dideteksi dari suatu substansi. Kurva standar TBA disajikan
pada Gambar 1.

A
b
s
o
r
b
a
n
s
i
%

Konsentrasi (ppt)
Gambar 3 Kurva standar ELISA untuk TBA.

13

Residu TBA dalam Urin Sapi
Pemenuhan kebutuhan pangan asal hewan berupa daging sapi sampai saat
ini masih bergantung pada importasi sapi dari Australia. Penggunaan TBA di
Australia dianggap legal sehingga dikhawatirkan terdapat residu TBA pada sapi
siap potong yang dikirim ke Indonesia dan berdampak negatif terhadap kesehatan
konsumen. Hasil pengujian kandungan residu TBA pada urin sapi siap potong
yang diimpor dari Australia menggunakan ELISA menunjukkan bahwa semua
sampel urin mengandung residu TBA dan terdapat 16 sampel yang mengandung
residu TBA dengan konsentrasi > 4 ppb. Konsentrasi TBA pada seluruh sampel
secara lengkap disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Konsentrasi TBA dalam urin sapi yang diimpor dari Australia.
Residu
hormon

N

TBA

60

Interval
n positif
Persentase
konsentrasi
(%)
(ppb)
4
16
26.67

Konsentrasi (ppb)
Min
Max Rataan+SD
0.04
2.66
4.13

1.58
3.76
14.07

0.39+0.06
3.03+0.61
6.80+0.84

Urin sapi siap potong yang diimpor dari Australia mengandung trenbolon
dengan konsentrasi residu TBA yang bervariasi. Hasil positif pada pengujian ini
menunjukkan masih tingginya penggunaan TBA sebagai hormon pertumbuhan di
Australia. Negara pengekspor sapi potong, seperti: Australia, Kanada, USA, dan
New Zealand serta lebih dari 30 negara menyetujui penggunaan 6 jenis hormon,
yaitu: 3 jenis hormon steroid yang berasal dari alam (17β-estradiol, progesteron,
dan testosteron) dan 3 jenis hormon sintetik atau hormon buatan, yaitu: trenbolon
asetat (sintetik androgen/testosteron), melengestrol asetat (sintetik progesteron),
dan zeranol (sintetik estrogen) sebagai pemacu pertumbuhan pada sapi potong.
Hormon pemacu pertumbuhan tersebut digunakan untuk meningkatkan
pertumbuhan, mengefisiensi konversi pakan dan memperbaiki karkas dan secara
khusus diberikan melalui implantasi di bawah kulit telinga. Beberapa macam
produk implant yang berisi TBA yang sering digunakan di Australia antara lain
Finaplix-S yang berisi 140 mg TBA untuk sapi jantan muda, Finaplix-H yang
berisi 200 mg TBA untuk sapi betina muda, Revalor yang berisi TBA dengan
estradiol, dan Forplix yang berisi TBA dengan zeranol (Fritsche et al. 2000;
Schiffer et al. 2001).
Penggemukan sapi potong di Australia, pada umumnya, melakukan
implantasi hormon pemacu pertumbuhan sekitar 90%. Implantasi yang tepat
menghasilkan 5-15% kenaikan percepatan pertumbuhan, memperbaiki konversi
pakan, pembentukan otot, dan mengurangi lemak. Daging dan produk daging dari
sapi potong berperan sangat penting dalam pemenuhan nutrisi manusia
terutamanya protein hewani yang seharusnya aman dan tidak mengandung
berbagai zat yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Hormon anabolik digunakan
untuk berbagai macam tujuan dalam peternakan, namun setelah pemotongan
hewan ternaknya, ada kecenderungan meninggalkan residu dalam tubuhnya dan

14
dapat menimbulkan masalah kesehatan bagi konsumen. Menurut Serratosa et al.
(2006) batasan toleransi maksimum TBA pada urin diasumsikan sebesar 4 ppb
atau 2 kali lebih besar dari otot yang sebesar 2 ppb. Hasil yang diperoleh dari
penelitian ini menunjukkan kemungkinan penggunaan TBA tidak memperhatikan
withdrawal time yaitu 60-70 hari setelah implantasi karena sebanyak 16 sampel
urin (26.7%) memiliki konsentrasi TBA diatas 4 ppb yang sangat berbahaya bagi
kesehatan manusia apabila sapi tersebut langsung dipotong dan dikonsumsi.
Menurut Widiastuti et al. (2000) daging sapi impor yang beredar di DKI Jakarta
mengandung residu hormon 17β-trenbolon memiliki konsentrasi antara 0.2516.122 ppb.
Standar Codex untuk residu obat hewan atau hormon pada umumnya
mengacu pada persyaratan acceptable daily intake (ADI) dan atau maximum
residue limit (MRL). Standar Codex menetapkan bahwa ADI trenbolon asetat
adalah 0-0.02 µg/kg berat badan dan MRL trenbolon pada daging sapi dan hati
sapi masing-masing 2 µg/kg (2 ppb) dan 10 µg/kg (10 ppb) (CAC 2012). Batas
maksimum residu TBA pada daging, hati maupun pada urin di Indonesia sampai
saat ini belum ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia.
Menurut Widiastuti et al. (2007), residu yang terdeteksi di urin sapi
percobaan yang diteliti pasca implantasi dengan TBA menunjukkan bahwa
konsentrasi tertinggi ditemukan pada hari ke-3, kemudian mulai menurun pada
hari ke-7 dan pada hari ke-21 sudah tidak terdeteksi. Sementara itu, metabolitnya
dalam bentuk residu 17β-trenbolon tidak terdeteksi mulai hari pertama hingga
berakhirnya perlakuan. Pada hari ke-21 pasca implantasi tidak ada residu yang
terdeteksi. Ada kemungkinan bahwa metabolit yang terbentuk adalah dalam
bentuk lain (17α-trenbolon) sebagaimana yang diamati Bousier dan Delpont
(1986) dimana tingkat residu 17α-trenbolon tertinggi di urin dicapai pada
2 minggu pertama setelah implantasi dan kemudian menurun secara non linier
sampai 50 hari jika diamati dengan HPTLC. Residu sudah tidak terdeteksi pada
saat waktu tenggangnya telah terlampaui yaitu sekitar 63 hari bila diaplikasikan
pada sapi (Longhi et al. 1994).
Pola keberadaan residu TBA di urin sapi tersebut berbeda dengan urin pada
domba Garut yang menunjukkan bahwa kedua jenis residu (TBA maupun 17βtrenbolon) masih terdeteksi hingga minggu ke-4 (Widiastuti et al. 2001).
Keberadaan residu trenbolon dalam urin lebih lama bila dibandingkan dalam
organ maupun daging (Widiastuti et al. 2001). Residu TBA dan metabolitnya
bersifat stabil. Penyimpanan TBA dalam jangka waktu lama (25 minggu) tidak
mengubah konsentrasi residu TBA secara signifikan (Mac Neill et al. 2003).
Mekanisme kerja TBA hingga saat ini belum diketahui sepenuhnya, namun
metabolisme dan ekskresi hormon sintetik (TBA) lebih lambat bila dibandingkan
dengan hormon alam testosteron (Saicic dan Spiric 1997). Hormon sintetik dan
hormon alam, serta metabolitnya dieksresikan terutama dalam kotoran ternak baik
tinja maupun urin (Kolok dan Sellin 2008). Kotoran sapi potong bersifat
androgenik yang sangat kuat (Durhan et al. 2006). Hormon sintetik dieksresikan
dalam kotoran ternak dan dapat digunakan sebagai pupuk atau disimpan di dalam
kolam-kolam penyimpanan dan selanjutnya dialirkan ke permukaan air (Soto et al.
2004; Khan et al. 2008). Menurut Lange et al. (2002), 63% sapi potong (62 juta
ekor) yang diimplantasi dengan 20 mg estrogen dan 200 mg androgen/progesteron
dan jika 8% penggunaan hormon diperoleh di lingkungan, maka jumlahnya 100

15
kg estrogen dan 1000 kg androgen/progesteron diperoleh di lingkungan melalui
pembuangan kotoran sapi. Tempat-tempat peternakan diperkirakan sebagai
sumber utama hormon steroid yang ditemukan dalam air tanah (Peterson et al.
2000) dan bagian permukaan air (Kolodziej et al. 2004).
Hidrolisa TBA terjadi secara cepat menjadi bentuk bebasnya (17βtrenbolon) saat terjadi implantasi kemudian 80% dari metabolit tersebut akan
dimetabolisme menjadi 17α-trenbolon melalui proses epimerisasi pada hati dan
selanjutnya dieksresikan dalam bentuk konjugat glukoronid atau konjugat sulfat
melalui urin (ginjal) dan feses (Mader 2006; Steimer 2008). Menurut Spanger dan
Metlzer (1991), 26 jam pasca implantasi 0.04 mg TBA/kg bobot hidup, 54 persen
residu yang terdeteksi dalam bentuk 17α-trenbolon, 17β-trenbolon dan triendion.
Metabolit TBA, termasuk 17α-trenbolon, 17β-trenbolon menunjukkan aktivi