Sumber Data Analisa Data

23

2. Sumber Data

Penelitian normatif ini dilakukan dengan batasan studi dokumen atau bahan pustaka saja yaitu berupa data sekunder. Data sekunder yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang digunakan berupa norma dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasikan dan bahan hukum dari zaman penjajahan hingga kini masih berlaku. Sedangkan bahan hukum sekunder yang digunakan berupa buku, makalah, dan hasil penelitian di bidang hukum. 32 Bahan utama dari penelitian ini adalah Data Sekunder yang dilakukan dengan menghimpun bahan-bahan berupa : a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, antara lain berupa : 1. UUD 1945 2. Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku, seperti KUH Perdata. 3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pokok Agraria. 4. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Penjelasannya. 5. Peraturan Menteri AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peraturan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah. 6. Putusan-putusan Mahkamah Agung dan Pengadilan. 32 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet.3. UI Press, Jakarta, 1986, hal. 52 Universitas Sumatera Utara 24 b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer antara lain : Tulisan atau pendapat para pakar hukum terutama di bidang hukum pertanahan. c. Bahan hukum tertier, yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder antara lain : 1. Kamus Besar Bahasa Indonesia 2. Ensiklopedia Indonesia 3. Berbagai majalah hukum yang berkaitan dengan masalah pertanahan 4. Kamus hukum 5. Surat kabar dan internet juga menjadi tambahan bagi penulisan tesis ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan.

3. Analisa Data

Untuk mengelola data yang diperoleh dari studi dan wawancara, maka dalam hasil penelitian ini menggunakan analisis kualitatif, yaitu data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang diperoleh, akan dianalisis secara kualitatif dan kemudian ditarik kesimpulan dengan menggunakan logika hukum dengan cara deduktif. Dari data yang dianalisis tadi diharapkan dapat memperoleh permasalahan yang ditetapkan. Universitas Sumatera Utara 25

BAB II EKSISTENSI PASAL 32 AYAT 2 PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24

TAHUN 1997 TERHADAP PEMILIK SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH DI KANTOR PERTANAHAN KOTA MEDAN

A. Eksistensi Pasal 32 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, pada ketentuan menimbang pada poin b dibunyikan bahwa pendaftaran tanah yang penyelenggaranya oleh UUPA Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria ditugaskan kepada Pemerintah, merupakan sarana dalam memberikan jaminan kepastian hukum yang dimaksudkan, pelaksanaan pendaftaran tanah berdasarkan Peraturan Pemerintah, meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan pendaftaran tanah. Meski terdapat beberapa peraturan yang berlaku dengan Hak atas Tanah. Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan Hak atas Tanah : a. UU Nomor 3Prp1960 tentang Penguasaan Benda-benda tetap milik perseorangan Warga Negara Belanda P3MB; b. UU Nomor 51 Tahun 1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya; c. PP Nomor 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB, dan HPL atas tanah; d. PP Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara penetapan ganti rugi oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya; 25 Universitas Sumatera Utara 26 e. Peraturan PMAKaBPN Nomor 1 Tahun 1994 tentang ketentuan pelaksanaan Keppres Nomor 55 Tahun 1993; f. Peraturan PMAKaBPN Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan kewenangan pemberian dan pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah Negara; g. Peraturan PMAKaBPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tatacara pemberian dan pembatalan hak atas tanah Negara dan hak pengelolaan. Di Indonesia baru pertama kali mempunyai suatu lembaga pendaftaran tanah dalam sejarahnya, seiring dengan diberlakukannya PP Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah. Dengan berlakunya peraturan tersebut, telah berlangsung Era Baru dalam pelaksanaan pendaftaran tanah dan kepastian hukum mengenai hak- hak atas tanah di Indonesia, atas hal ini diperkuat dengan diberlakukannya Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1986, dimana didalam Pasal 2 ketentuan tersebut menegaskan bahwa Badan Pertanahan Nasional menyelenggarakan fungsi : 1. merumuskan kebijakan dan perencanaan penguasaan dan penggunaan tanah; 2. merumuskan kebijakan dan perencanaan pengaturan pemilikan tanah dengan prinsip-prinsip dalam UUPA; 3. melaksanakan pengukuran dan pemetaan serta pendaftaran tanah dalam upaya memberikan kepastian hak di bidang pertanahan; 4. melaksanakan pengurusan hak-hak atas tanah dalam rangka memelihara tertib administrasi di bidang pertanahan; Universitas Sumatera Utara 27 5. melaksanakan penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan serta pendidikan dan latihan tenaga-tenaga yang diperlukan di bidang administrasi pertanahan; 6. lain-lainnya yang ditetapkan oleh Presiden. Berdasarkan pada angka 3 tiga tersebut di atas, jelas bahwa Badan Pertanahan juga mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melakukan pendaftaran tanah dalam upaya memberikan kepastian hak di bidang pertanahan. Dengan demikian berlakulah suatu pendaftaran tanah yang uniform untuk seluruh Indonesia, untuk hak-hak atas tanah yang tunduk kepada UUPA ataupun sesuatu yang diatur oleh suatu ketentuan undang-undang yang berada di luar UUPA. Dengan adanya pendaftaran tanah tersebut, bertujuan untuk kepastian hak seseorang, pengelakan suatu sengketa perbatasan karena ada surat ukurnya teliti dan cermat dan juga untuk penetapan suatu perpajakan. Namun dalam konteks yang lebih luas lagi pendaftaran tanah itu selain memberikan informasi mengenai suatu bidang tanah, baik penggunaannya, pemanfaatannya, maupun informasi mengenai untuk apa tanah itu sebaiknya dipergunakan, demikian informasi mengenai bangunannya sendiri, harga bangunan dan tanahnya, dan pajak yang ditetapkan tanahbangunannya. Kalau dilihat dari Pasal 19 UUPA, memberikan arahan tujuan dari Pendaftaran tanah adalah sebagai berikut : Universitas Sumatera Utara 28 1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pedaftaran tanah di seluruh Wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah; 2. Pendaftaran tanah tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi : a pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah; b pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak atas tanah tersebut; c pemberian surat tanda bukti-bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. 3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial-ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya menurut pertimbangan Menteri Agraria; 4. Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran tanah termasuk dalam ayat 1 di atas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembiayaan-pembiayaan tersebut. Dalam PP Nomor 10 Tahun 1961, Pendaftaran Tanah di Indonesia berdasarkan Pasal 19 ayat 2 huruf c tersebut di atas, jelas bahwa surat tanda bukti hak atas tanah adalah sebagai tanda bukti yang kuat. Dengan demikian pendaftaran tanah di Indonesia mempergunakan Sistem Torrens, hanya saja tidak jelas dari negara mana ditiru. Kalau Sistem Torrens Positif yang berlaku di Australia sertipikat itu tidak dapat dibatalkan dan sah keberadaannya dan apa yang tertuang dalam sertipikat itu adalah yang benar serta kalau ada orang yang membuktikan maka dia tidak dapat membatalkan sertipikat itu, namun nantinya akan mendapat ganti Universitas Sumatera Utara 29 kerugian dari Pemerintah bagi pihak yang mengklaim tersebut. Sedangkan Indonesia menganut Sistem Torrens Negatif, sertipikat dianggap sebagai alat bukti yang kuat kecuali seseorang dapat membuktikan kebenarannya maka sertipikat tersebut dapat dibatalkan. Hal seperti ini sering kali terjadi, sengketa tanah diajukan bahkan tidak jarang membatalkan suatu sertipikat yang sudah dikeluarkan oleh Pemerintah dan bahkan juga sering kali merugikan pihak pemilik sertipikat yang dibatalkan tersebut pada hal tidak jarang mereka adalah pemilik yang beritikad baik. Setelah berlakunya PP Nomor 24 Tahun 1997 yang menggantikan PP Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Pada prinsipnya pendaftaran tanah fungsinya sama sebagaimana yang diatur dalam PP Nomor 10 Tahun 1961, namun ada sedikit perbedaan pengaturan yaitu pada ketentuan Pasal 32 ayat 2 PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah pada pokoknya dinyatakan dengan tegas “Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam 5 lima tahun sejak diterbitkan sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut”. 33 Berdasarkan pada ketentuan tersebut, atas gugatan yang diajukan terhadap sertipikat tanah setelah lewat 5 lima tahun apabila diajukan lewat waktudaluwarsa. PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jelas terhadap proses penerbitan suatu sertipikat hak atas tanah pasti diumumkan ke khalayak ramai, dimana salah satu tujuan dari pengumuman tersebut adalah untuk pihak-pihak yang merasa haknya dirugikan untuk mengajukan keberatan, namun terhadap hak-hak 33 Pasal 32 ayat 2 PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Universitas Sumatera Utara 30 tersebut tidak pernah digunakan oleh Penggugat, maka berdasarkan pada Pasal 32 ayat 2 PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, seseorang yang menggugat keabsahan suatu sertipikat hak atas tanah diberikan kesempatan selama 5 lima tahun untuk menegakkan haknya apabila merasa dirugikan untuk keberatan atau membatalkan sertipikat dimaksud. Dengan adanya penegasan dalam pasal 36 tersebut, maka sebenarnya dalam Pendaftaran Tanah kita sertipikat sebagai suatu alat bukti yang kuat dan terhadap sistem yang dianut menjadi 2 dua sistem karena didalam Pasal 32 memberikan pembatasan untuk dapat digugatnya suatu sertipikat yaitu setelah berlakunya sertipikat selama 5 lima tahun maka sertipikat itu tidak dapat digugat. Sistem Tersebut adalah: 34 1. Torrens Negatif Sebelum masa 5 lima tahun, sertipikat itu dapat dibatalkan selama bisa dibuktikan kepemilikan. 2. Torens Positif. Setelah berlaku 5 lima tahun sertipikat tersebut tidak dapat dibatalkan. Dua sistem tersebut yang diamanatkan dalam PP Nomor 24 Tahun 1997, yang tujuannya tidak lain diberikan untuk menyempurnakan PP Nomor 10 Tahun 1961 guna lebih memberi kepastian hukum terhadap pemegang hak atas tanah, namun sampai saat ini keberadaan Pasal 32 PP Nomor 24 Tahun 1997 tidak pernah 34 Ibid Universitas Sumatera Utara 31 dilaksanakan mengingat kondisi pendaftaran tanah dan keadaan di Indonesia, masih menganut seperti yang ada dalam PP Nomor 10 Tahun 1961. Harusnya dengan diberlakukannya PP Nomor 24 Tahun 1997 selama 15 Tahun sudah sepatutnya diberlakukan secara mutlak artinya, sertipikat tanah yang sudah berlaku lebih dari 5 lima tahun tidak dapat dibatalkan. Dengan demikian sudah tidak dapat di ganggu gugat karena telah diberikan waktu yang cukup lama. Dan kalau sudah lebih dari 5 lima tahun sertipikat diterbitkan, sedangkan yang menggugat mempunyai bukti-bukti yang kuat tentang kepemilikinnya. Terhadap gugatan itu tidak membatalkan sertipikat, namun sertipikat itu tetap berlaku dan terhadap yang menggugat diberikan ganti kerugian oleh Pemerintah karena mempunyai alas hak yang kuat karena dapat dibuktikan keabsahan dari penguasaan hak atas tanahnya. 35 Dalam hal ganti rugi tersebut tentunya, sebagai yang melakukan pembayaran ganti rugi adalah Badan Pertanahan Nasional dengan menggunakan sistem penganggaran yang ada di dalam negara, dan didalam pelaksanaaannya tentu perlu dengan pengawasan yang melekat. Dan apabila didalam penerbitan sertipikat sebelumnnya bagi pejabat yang menyalahgunakan kewenangannya atau memanfaatkan keadaan tertentu untuk keuntungan pribadi atau orang lain atau badan usaha lainnya, akan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 35 Ibid Universitas Sumatera Utara 32 Boedi Harsono Pasal 32 ayat 2 PP Nomor 24 Tahun 1997 bertujuan pada satu pihak untuk tetap berpegang pada sistem publikasi negatif tetapi dilain pihak untuk secara seimbang memberi kepastian hukum kepada pihak yang dengan itikad baik menguasai sebidang tanah dan didaftar sebagai pemegang hak dalam buku tanah, dengan sertipikat sebagai alat buktinya yang menurut UUPA berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. 36 Menurut Abdul Rahim mengatakan setuju adanya penerapan Pasal 32 ayat 2 PP Nomor 24 Tahun 1997 dan beliau juga berpendapat bahwa hakim tidak menerapkan Pasal 32 ayat 2 PP Nomor 24 Tahun 1997 disebabkan karena : 37 a. Secara materi diatur secara undang-undang pada hal kalau dilihat dalam PP hakim tidak terikat; b. Oleh karena PP hakim tidak tahu tentang masalah itu; c. Karena tidak mau sama sekali menerapkan dengan prinsip bahwa hakim tidak boleh menolak perkara putusan dengan keyakinan hakim. Menurut Maria S. W. Sumardjono, tujuan dari penerapan Pasal 32 ayat 2 PP Nomor 24 Tahun 1997 yang berasal dari Konsep “rechtsverwerking” ini dalam pendaftaran tanah adalah untuk memberikan ketegasan pada 2 pihak, yakni . 38 1 Bagi pemegang sertipikat, jika telah lewat waktu lima tahun tidak ada gugatankeberatan, maka ia terbebas dari gangguan pihak lain yang merasa sebagai pemegang hak atas tanah tersebut; 36 Boedi Harsono, Op.Cit, hal 480 37 Wawancara dengan Bapak Abdul Rahim Lubis, Kepala Seksi Penetapan Hak Atas Tanah Perorangan Pada Kanwil BPN Propinsi Sumatera Utara, Tanggal 23 Maret 2010 38 Maria SW Sumarjono, Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum dalam Pendaftaran Tanah, makalah,Yogyakarta: dalam Seminar Kebijaksanaan Baru Pendaftaran Tanah dan Pajak-Pajak Terkait, 1997 hal.1 Universitas Sumatera Utara 33 2 Pemegang hak atas tanah, ia wajib menguasai secara fisik tanahnya dan melakukan suatu pendaftaran agar terhindar dari kemungkinan tanahnya disertipikatkan atas nama orang lain. Apabila suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikatnya secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasai tanah tersebut, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah tersebut tidak dapat lagi menuntut haknya, apabila dalam jangka waktu 5 tahun sejak diterbitkannya sertipikat tersebut tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan atau tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat. Inilah yang disebut rechtsverwerking. 39 Dengan berbagai alasan, ada saja orang-orang tertentu yang membiarkan tanahnya tidak dikerjakan dan kemudian tanah itu dikerjakan orang lain yang memperolehnya dengan itikad baik, maka hak seseorang tersebut untuk menuntut kembali tanahnya menjadi hilang. 40 Dengan kata lain, orang tersebut telah menelantarkan tanahnya dan pencatatan nama orang lain dalam sertipikat dipandang definitip setelah jangka waktu 5 lima tahun. Herman Soesangobeng berpendapat bahwa rechtsverwerking bukan merupakan suatu lembaga adat sehingga tidak dapat digunakan sebagai upaya mengatasi kelemahan sistem negatif. Rechtsverwerking juga bukan merupakan suatu 39 Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Medan, Mandar Maju, 2010, hal. 147 40 Ibid Universitas Sumatera Utara 34 lembaga hukum untuk memperoleh hak terlebih lagi menyatakan orang kehilangan hak atas tanahnya, guna menuntut kembali haknya atas tanah yang sudah didaftar atas nama orang lain. Penerapan dari konsep rechtsverwerking mengandung resiko bahaya ancaman sengketa tanah karena rasa keadilan masyarakat yang terluka. Ancaman ini memang belum tampak tetapi akan meledak setelah berlangsung beberapa lama dilaksanakannya konsep rechtsverwerking dalam sistem pendaftaran tanah di Indonesia. 41 Hal ini berkaitan jika ditemukan suatu bukti baru novum mengenai data fisik dan data yuridis dalam proses pembuatan sertipikat, yang terkait juga dengan kualitas sumber daya manusia dari aparat terkait. Pasal 32 ayat 2 PP Nomor 24 Tahun 1997 hanya untuk mencegah upaya orang yang hanya sekedar ingin mengganggu ketenangan pemilik tanah terdaftar dalam menguasai tanahnya. Penerapan rechtsverwerking yang merupakan konsep dari Pasal 32 ayat 2 PP Nomor 24 Tahun 1997 adalah tidak tepat dan ada segi-segi negatifnya, yaitu akan banyaknya hak-hak orang yang diambil orang lain tanpa ada kuasa yang punya untuk menuntut kembali haknya itu. 42 Hal ini banyak terjadi di daerah lain. Berkaitan dengan tanah terlantar yaitu tanah yang sudah dikuasai dan dikerjakan kemudian tidak diusahakan lagi untuk jangka waktu tertentu, seperti sawah lima tahun, tanah tegalan untuk tiga tahun dan kemudian tanah itu kembali kepada hak ulayat dan penguasa hak ulayatlah yang memperuntukkan hak itu kembali kepada orang lain, 41 Herman Soesangobeng, Komentar dan Kritik atas Pelaksanaan Lembaga Rechtsverwerking Dalam Sistem Pendaftaran Tanah Menurut PP Nomor 24 Tahun 1997, Makalah, Jakarta, 2002, hal.5. 42 AP. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1999, hal 128 Universitas Sumatera Utara 35 tidak dapat begitu saja seseorang menduduki tanah orang lain, sedangkan pemiliknya terpaksa mengungsi karena suatu sebab. AP. Parlindungan berpendapat bahwa penerapan Pasal 32 ayat 2 dapat merugikan para pemilik tanah yang sebenarnya kerena mereka tidak berhak menuntut kembali haknya. Istilah rechtsverwerking masih belum terdapat persamaan persepsi. 43 Boedi Harsono mengartikan rechtsverwerking sebagai kehilangan hak. 44 Menurut Kamus Hukum Belanda-Indonesia yang digunakan dalam konteks Bahasa Indonesia saat ini rechtsverwerking adalah pelepasan hak. 45 Rechtsverwerking sebagai lepasnya hak yang sudah dipunyainya. 46 Para hakim dalam putusan mengenai rechtsverwerking seperti telah ditulis pada bab sebelumnya pada umumnya mengartikan sebagai pelepasan hak. Pelepasan hak mengandung makna bahwa subjek pemegang hak sendirilah yang melepaskan haknya karena ia mempunyai suatu hak tetapi ia tidak mempergunakan haknya. Sedangkan kehilangan hak bermakna hak hilang karena pengaruh waktu, pemilik hak tidak melepaskan hak dengan sendirinya ia masih mempermasalahkan haknya. Rechtsverwerking merupakan suatu pelepasan hak, baik pelepasan hak yang sebenarnya maupun pelepasan hak secara “diam-diam” karena pemilik semula meninggalkan dan tidak menguasai tanahnya dalam jangka waktu tertentu atau pemilik tidak mempergunakan hak yang sebenarnya ia miliki. 43 Ibid 44 Boedi Harsono, Op.Cit., hal 67 45 Marjanne Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2002, hal 343 46 AP. Parlindungan, Op.Cit., hal 128 Universitas Sumatera Utara 36 Dengan menelusuri beberapa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Medan tentang kasus yang timbul berkaitan dengan tanah di Indonesia, ternyata sistem pendaftaran tanah di Indonesia mengarah pada pengakuan sistem stelselsistem negatif. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa putusan pengadilan sebagai berikut: 1. Putusan PTUN MEDAN Nomor 64G2011PTUN-MDN Tahun 2011 2. Putusan PTUN MEDAN Nomor 41G2011PTUN-MDN Tahun 2011 3. Putusan PTUN MEDAN Nomor 94G2011PTUN-MDN Tahun 2012 Menurut Penjelasan Pasal 32 ayat 2 PP Nomor 24 Tahun 1997 rechtsverwerking adalah lembaga hukum adat yang digunakan untuk mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah. Sebagai ketentuan yang berasal dari hukum adat, tentunya ketentuan tersebut tidak tertulis, namun ketentuan dimaksud kelihatannya telah diadopsi oleh UUPA Pasal 27, 34, dan 40 dengan menegaskan bahwa hapusnya hak atas tanah dapat terjadi karena diterlantarkan. Ketentuan ini tentunya merupakan penerapan ketentuan hukum yang sudah ada dalam hukum adat bukan menciptakan hukum baru, yang dalam tata hukum sekarang ini merupakan bagian dari Hukum Tanah Nasional Indonesia dan sekaligus memberikan wujud konkrit dalam penerapan ketentuan dalam UUPA terutama mengenai penelantaran tanah. Konsep rechtsverwerking dalam hukum adat bukan merupakan suatu lembaga hukum sebagaimana dalam hukum Belanda BW juga tidak sama dengan konsep verjaring pada hukum Belanda BW. Lembaga hukum pada BW adalah tentang Universitas Sumatera Utara 37 ‘memperoleh hak kepemilikan atas tanah’. 47 Cara ini diatur dalam Pasal 584 BW. Pasal 584 BW merupakan salah satu cara dalam memperoleh hak milik karena daluwarsa verjaring, sehingga cara ini dapat dikategorikan sebagai ‘lembaga hukum’ dan merupakan ‘alasan hukum’ bagi perolehan hak atas tanah. Sedangkan rechtsverwerking hanya merupakan konsep yang dibahas dalam pandangannya dengan verjaring, namun ia bukan merupakan suatu lembaga hukum. Pada negara-negara yang menggunakan sistem publikasi negatif umumnya dikenal lembaga acquisitieve verjaring memperoleh hak milik dengan lampaunya waktu yaitu apabila penerima hak yang beritikad baik bertindak tegas selaku pemilik dan yang bersangkutan menguasai tanah secara nyata dan terbuka selama sekian tahun, tanpa ada pihak lain yang menggugat, maka oleh hukum ia ditetapkan sebagai pemiliknya, yang hak kepemilikannya sudah tidak dapat diganggu gugat lagi, dan juga tidak oleh pihak yang membuktikan sebagai pemilik hak yang sebenarnya. Hal ini didasarkan pada Pasal 1955 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa: “untuk memperoleh hak milik atas sesuatu diperlukan bahwa seseorang menguasai terus-menerus, tak terputus-putus, tak terganggu, di muka umum dan secara tegas sebagai pemilik”. Pasal 1963 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa: “ siapa yang dengan itikad baik, dan berdasarkan suatu alas hak yang sah oleh suatu benda tak bergerak, suatu bunga atau suatu piutang lain yang tidak harus dibayar atas tunjuk, memperoleh hak milik atasnya dengan jalan daluwarsa, dengan suatu penguasaan selama 20 tahun. 47 Ibid Universitas Sumatera Utara 38 Siapa yang dengan itikad baik menguasainya selama 30 tahun, memperoleh hak milik, dengan tidak dapat dipaksa untuk mempertunjukan alas haknya”. Sebelum UUPA berlaku, untuk menentukan kadar kepastian hukum sesuatu hak, digunakan upaya ketentuan mengenai “Kadaluwarsa” sebagai upaya untuk memperoleh hak eigendom atas tanah acquisitieve verjaring, yang terdapat dalam Pasal 1955 dan Pasal 1963 KUH Perdata Buku IV. Kadaluwarsa sebagai upaya memperoleh hak eigendom atas tanah diatur dalam Pasal 610, 1955 dan 1963 KUH Perdata. Dalam Pasal 610 ditetapkan bahwa seorang bezitter dapat memperoleh hak eigendom atas suatu benda karena verjaring. Adapun Pasal 1955 dan Pasal 1963 KUHPerdata memuat syarat-syaratnya, yaitu bahwa penguasaannya harus terus- menerus, tidak terputus, tidak terganggu, dapat diketahui umum, secara tegas bertindak sebagai eigenaar dan harus dengan itikad baik. Jika berdasarkan suatu alas hak title yang sah harus berlangsung 20 tahun perlu menunjukkan alas hak. Dengan demikian, pada hakikatnya Pasal 1955 dan 1963 merupakan pelaksanaan dari Pasal 610 KUH Perdata, yang terletak dalam Buku II. Sebagaima diketahui pasal-pasal agraria di dalam Buku II telah dicabut oleh UUPA. Pada saat itu, Pasal 610 tidak khusus mengatur soal agrarian. Oleh karena itu, pasal tersebut masih tetap berlaku, tetapi tidak penuh, dalam arti bahwa ketentuan- ketentuannya tidak berlaku lagi sepanjang mengenai agrarian tanah dan lain- lainnya, tetapi mash berlaku sepanjang mengenai benda-benda lainnya bukan agrarian. Oleh karena itu, Pasal 1955 dan Pasal 1963 merupakan pelaksanaan dari Pasal 610, maka sungguh pun letaknya tidak di dalam Buku II KUH Perdata, tetapi di Universitas Sumatera Utara 39 dalam Buku IV, harus dianggap pula sebagai tidak berlaku lagi mengenai tanah dan lain-lain objek agrarian, bagi penguasaan tanah baru dan penguasaan tanah yang mulai berlakunya UUPA belum berlangsung 20 atau 30 tahun. Bagi penguasaan yang mulai berlakunya UUPA sudah memenuhi persyaratan acquisitieve verjaring, Pasal- pasal tersebut dengan sendirinya tetap berlaku, meskipun penegasannya baru dimintakan kemudian. Berarti bahwa pada tanggal 24 September 1960 ia sudah memperoleh hak yang bersangkutan karena verjaring. Menurut Ter Haar, konsep rechtsverwerking digunakan oleh hakim pada masa Kolonial Belanda dalam menerapkan Hukum Belanda BW pada situasi Bumi Putera dengan hukum adatnya. Sehingga dalam penerapan konsep rechtsverwerking para hakim harus dipertimbangkan dengan cermat dan hati-hati. Penggunaan konsep rechtsverwerking, menurut Ter Haar hendaknya digunakan oleh hakim gubernemen dalam tiga kemungkinan pertimbangan atas kenyataan hukum, yaitu 48 : 1. Bilamana menurut hukum adat, hak-hak materiil atas tanah secara nyata memang diakui bisa lenyap dan bisa pula lahir karena dikuasai secara nyata dalam jangka waktu yang lama, sehingga rechtsverwerking bisa diterapkan karena lamanya waktu. 2. Bilamana ada bukti penyangkalan atas dugaananggapan terjadi atau lenyapnya suatu peristiwa hukum atau suatu hak, maka hakim dapat mempertimbangkan 48 Ter Haar diterjemahkan oleh K.Ng. Soebekti Poesponoto, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta: PT.Pradnya Paramita, 1994, hal 237-238 Universitas Sumatera Utara 40 bahwa karena lamanya waktu telah melahirkan rechtsverwerking sehingga dapat memutus lenyapnya suatu peristiwa hukum atau hak. Beberapa pendapat menganggap Pasal 32 ayat 2 PP Nomor 24 Tahun 1997 merupakan pasal yang diterapkan untuk mengatasi kelemahan dari sistem publikasi negatif yang dianut oleh UUPA. Menurut Rotua Sihotang penerapan Pasal 32 ayat 2 ini tidak diterapkan oleh Hakim sebab akan merugikan pemegang sertipikat hak atas tanah tersebut. 49 Menurut Boedi Harsono penerapan pasal ini yang merupakan penerapan dari lembaga rechtsverwerking untuk mengatasi sistem publikasi negatif yang digunakan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah menurut UUPA. 50 Sri Puspita Dewi mengatakan Pasal 32 ayat 2 PP Nomor 24 tahun 1997 ini mengandung dua sisi sekaligus, yaitu tidak terlepas dari sisi positif dan sisi negatif. 51 Sisi positif Pasal 32 ayat 2 PP Nomor 24 Tahun 1997, antara lain : 52 1 Pasal 32 ayat 2 PP Nomor 24 Tahun 1997 dapat dikatakan melaksanakan pasal yang ada dalam UUPA, yaitu pada Pasal 27, 34, dan 40 UUPA. Acuan yang dipakai berdasarkan pasal ini adalah bahwa hak atas tanah dapat menjadi hapus karena diterlantarkan oleh pemiliknya. Dengan diterapkannya Pasal 32 ayat 2 PP Nomor 24 Tahun 1997 maka bagi pemegang hak atas tanah wajib 49 Wawancara dengan Rotua Novi Yanti, Kepala Sub Seksi Perkara Pertanahan di Kantor Pertanahan Medan, Tanggal 03 April 2012 50 Boedi Harsono, Op.Cit., hal 502 51 Wawancara dengan Sri Puspita Dewi, Kepala Seksi Sengketa Konflik dan Perkara di Kantor Pertanahan Medan, tanggal 1 Mei 2012 52 Ibid Universitas Sumatera Utara 41 menguasai secara fisik tanahnya dan melakukan suatu pendaftaran agar terhindar dari kemungkinan tanahnya disertipikatkan atas nama orang lain. 2 Pasal 32 ayat 2 PP Nomor 24 Tahun 1997 dianggap dapat menutupi kekurangan dari sistem pendaftaran negatif yang dipakai oleh Indonesia. Sehingga jika perbedaan sistem terletak pada kekuatan antara sertipikat sebagai alat bukti yang kuat dan mutlak maka pasal ini dapat dipakai bahwa sertipikat yang pada awalnya merupakan alat bukti yang kuat dapat menjadi alat bukti yang mutlak, ketika sudah dimiliki selama lima tahun, diperoleh dengan itikad baik dan dikuasai secara nyata dan terbuka. 3 Pasal 32 ayat 2 PP Nomor 24 Tahun 1997 merupakan langkah hukum yang maju dalam aspek pemberian kepastian hukum bagi masyarakat, dalam hal ini terhadap hak yang dimilikinya. Sehingga dengan adanya pasal ini masyarakat yang memiliki sertipikat hak atas tanahnya merasa aman dan tidak perlu was- was bila terjadi permasalahan terhadap kepemilikan tanahnya di kemudian hari. 4 Diterapkannya Pasal 32 ayat 2 PP Nomor 24 Tahun 1997 sekaligus menjadi motivasi pemegang hak atas tanah untuk mendaftarkan tanahnya ke Kantor Pertanahan. Kesadaran masyarakat dalam hal ini akan lebih meningkat karena mereka dapat merasakan manfaat praktisnya bahwa hak mereka terhadap tanahnya tidak akan dapat dipermasalahkan oleh pihak lain yang merasa memiliki tanah yang sama dengan adanya sertipikat yang mereka peroleh Universitas Sumatera Utara 42 dengan itikad baik, dimiliki selama lebih dari lima tahun dan tanahnya dikusai secara nyata dan terbuka. 5 Pasal 32 ayat 2 PP Nomor 24 Tahun 1997 merupakan penerapan dari yurisprudensi berdasarkan konsep rechtsverwerking yang sudah dipakai berkali-kali oleh para hakim dalam menyelesaikan permasalahan sengketa tanah-tanah adat di Indonesia. Sehingga Pasal 32 ayat 2 PP Nomor 24 Tahun 1997 hendaknya juga dapat diterapkan oleh para hakim dalam menyelesaikan permasalahan sengketa pendaftaran tanah di Indonesia pada masa sekarang. Sedangkan sisi negatif dari penerapan Pasal 32 ayat 2 PP Nomor 24 Tahun 1997 ini, antara lain : 53 1 Bertentangan dengan Pasal 19 UUPA bahwa sertipikat merupakan alat bukti yang kuat bukan mutlak sehingga terhadapnya masih dimungkinkan adanya gugatan selama masih bisa dibuktikan oleh pihak Penggugat. Dalam Pasal 32 ayat 2 PP Nomor 24 Tahun 1997 sertipikat akan menjadi alat bukti yang mutlak. Sehingga dalam hal ini terjadi pertentangan antara Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang mana kedudukan Undang-Undang lebih tinggi dari Peraturan Pemerintah, sehingga ada anggapan bahwa Pasal 32 ayat 2 PP Nomor 24 Tahun 1997 tidak dapat diterapkan dalam menyelesaikan permasalahan sengketa tanah 53 Ibid Universitas Sumatera Utara 43 2 Selain bertentangan dengan sistem pendaftaran yang mempermasalahkan kekuatan pembuktian sertipikat. Pasal 32 ayat 2 PP Nomor 24 Tahun 1997 juga bertentangan dengan asas yang dipakai dalam sistem negatif, yaitu asas nemo plus yuris, padahal Pasal 32 ayat 2 PP Nomor 24 Tahun 1997 mengacu kepada asas itikad baik, dimana asas itikad baik ini dipakai dalam sistem pendaftaran positif. Sehingga dikuatirkan akan terjadi tumpang tindih hukum. 3 Pasal 32 ayat 2 PP Nomor 24 Tahun 1997 akan membatasi hak seseorang menuntut pelaksanaan haknya. Hal ini jelas merugikan pemilik tanah yang sebenarnya karena mereka tidak punya hak lagi untuk menuntut tanahnya, misalnya jika dipunyai bukti baru yang dapat diajukan dalam gugatannya pada hal jangka waktu lima tahun sudah terlewati. 4 Dikwatirkan akan membawa ketidakadilan. Diterapkannya Pasal 32 ayat 2 PP Nomor 24 Tahun 1997 akan merugikan pemilik tanah apabila perolehan atas tanah tersebut tidak sah atau tidak dengan itikad baik, apabila dalam pengadilan tidak dapat dibuktikan bahwa perolehan tanah tersebut tidak dengan itikad baik meskipun sebenarnya perolehan atas tanah tersebut tidak sah, karena pembuktian itikad baik merupakan hal yang sulit. Sehingga jelas akan merugikan pemilik hak yang sebenarnya, karena tidak ada ganti rugi bagi pihak yang dirugikan. Pasal 32 ayat 2 PP Nomor 24 Tahun 1997 ini ada baiknya diterapkan dengan catatan dalam penerbitan sertipikat hak atas tanah, pihak-pihak yang terkait Universitas Sumatera Utara 44 dengan penerbitan baik dalam pemberian petunjuk-petunjuk sebagai syarat diterbitkannya sertipikat maupun dalam proses penerbitannya tersebut benar-benar berlandaskan kejujuran dan ketelitian sehingga dalam penerbitan sertipikat, mereka yang benar-benar mempunyai alas hak yang sahlah yang dapat mempunyai sertipikat haknya bukan mereka yang menguasai tanah orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya, karena pemiliknya pergi selama bertahun-tahun. Pada dasarnya setuju dengan pasal ini karena dikembalikan lagi kepada tujuan pendaftaran tanah pada UUPA dan kebutuhan masyarakat Indonesia, yaitu untuk memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan. Sesuai pula dengan keinginan masyarakat yang melakukan pendaftaran tanah karena umumnya masyarakat yang mendaftarkan tanahnya berharap dengan dilakukannya pendaftaran maka kepemilikan mereka terhadap suatu bidang tanah tidak dapat diganggu lagi oleh pihak lain yang merasa mempunyai tanah yang sama dengan yang dikuasainya. Jika pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia berjalan dengan baik. Dalam arti masyarakat sadar betul bahwa tanah yang mereka miliki harus didaftarkan sehingga akan diperoleh sertipikat hak atas tanah. Pihak-pihak yang berkaitan dengan pelaksanaan pendaftaran tanah, baik pihak Kelurahan dalam hal penerbitan surat-suratdokumen-dokumen sebagai syarat pendaftaran tanah maupun Kantor Pertanahan dalam hal menerbitkan sertipikat melalui proses yang semestinya dan dengan sebaik-baiknya sehingga tanah-tanah di Indonesia memang terdaftar atas nama orang yang benar-benar berhak maka dengan ditingkatkannya Pasal 32 ayat 2 PP Nomor 24 tahun 1997 menjadi suatu pasal dalam undang-undang. Karena pada Universitas Sumatera Utara 45 dasarnya sesuai dengan tujuan dari dilaksanakannya pendaftaran tanah yaitu untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

B. Sertipikat Hak-Hak Atas Tanah 1.

Pengertian Sertipikat Hak Atas Tanah Sertipikat memiliki banyak fungsi bagi pemiliknya. Dari sekian fungsi yang ada, dapat dikatakan bahwa fungsi utama dan terutama dari sertipikat adalah sebagai alat bukti yang kuat, demikian dinyatakan dalam Pasal 19 ayat 2 huruf c UUPA, karena itu, siapapun dapat dengan mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas tanah bila telah jelas namanya tercantum dalam sertipikat itu. Selanjutnya dapat membuktikan mengenai keadaan-keadaan dari tanahnya itu misalnya luasnya, batas-batasnya, ataupun segala sesuatu yang berhubungan dengan bidang tanah dimaksud. Apabila dikemudian hari terjadi tuntutan hukum di pengadilan tentang hak kepemilikan penguasaan atas tanah, maka semua keterangan yang dimuat dalam sertipikat hak atas tanah itu mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat dan karenanya hakim harus menerima sebagai keterangan-keterangan yang benar, sepanjang tidak ada bukti lain yang mengingkarinya atau membuktikan sebaliknya. 54 Tetapi jika ternyata ada kesalahan didalamnya, maka diadakanlah perubahan pembetulan seperlunya. 54 Ibid Universitas Sumatera Utara 46 Selanjutnya Pasal 32 ayat 1 PP Nomor 24 Tahun 1997, sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.

2. Prosedur Penerbitan Sertipikat Tanah

Dokumen yang terkait

Kendala Pelaksanaan Pendaftaran Hak Atas Tanah Pertama Kali (Studi Kasus Di Kantor Pertanahan Kota Medan)

6 92 132

Perlindungan Hukum Yang Diberikan Oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Kepada Pemegang Sertifikat Hak Atas Tanah (Studi Kasus Di Kantor Pertanahan Kota Medan)

0 42 159

KAJIAN KEKUATAN PEMBUKTIAN SERTIPIKAT TANAH BERDASARKAN PASAL 32 AYAT (2) PERATURAN KAJIAN KEKUATAN PEMBUKTIAN SERTIPIKAT TANAH BERDASARKAN PASAL 32 AYAT (2) PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH DALAM MEWUJUDKAN KEPASTIAN HU

0 5 15

PENDAHULUAN KAJIAN KEKUATAN PEMBUKTIAN SERTIPIKAT TANAH BERDASARKAN PASAL 32 AYAT (2) PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH DALAM MEWUJUDKAN KEPASTIAN HUKUM DAN KEADILAN.

0 8 20

TINJAUAN PUSTAKA KAJIAN KEKUATAN PEMBUKTIAN SERTIPIKAT TANAH BERDASARKAN PASAL 32 AYAT (2) PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH DALAM MEWUJUDKAN KEPASTIAN HUKUM DAN KEADILAN.

1 5 42

PENUTUP KAJIAN KEKUATAN PEMBUKTIAN SERTIPIKAT TANAH BERDASARKAN PASAL 32 AYAT (2) PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH DALAM MEWUJUDKAN KEPASTIAN HUKUM DAN KEADILAN.

0 6 25

Pendaftaran Hak-hak Atas Tanah Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

0 0 15

peraturan pemerintah nomor 24 tahun 1997 ttg pendaftaran tanah

0 0 41

SERTIFIKAT SEBAGAI ALAT BUKTI SEMPURNA KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH DITINJAU DARI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH

0 1 12

ANALISIS HUKUM TERHADAP SURAT KETERANGAN HAK ATAS TANAH YANG DIKELUARKAN KECAMATAN BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH

0 2 14