15
3. Penelitian yang dilakukan oleh Saudari Santi Octavia, Mahasiswi Program
Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul Kepastian Hukum Pendaftaran Tanah Dikaitkan dengan Penggunaan Blanko Akta
Pertanahan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, penelitian ini menitikberatkan pembahasannya mengenai Blanko akta pertanahan yang digunakan oleh PPAT
memenuhi syarat otensitas dan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,
13
dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.
14
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu
kasus atau permasalahan problem yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.
15
Kerangka teori yang dijadikan pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum.
Kepastian hukum ini diwujudkan dengan diselenggarakannya suatu sistem pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah dimaksud adalah suatu proses tata usaha dan
tata cara untuk mencapai kepastian hukum yang sah tentang hak atas tanah
16
yang
13
J.J.J. M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203
14
Ibid, hal. 6
15
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80.
16
A. P. Parlindungan, Op. Cit., hal. 115
Universitas Sumatera Utara
16
merupakan kegiatan tata usaha Negara di bidang pertanahan sebagai bagian dari tertib administrasi tata usaha Negara. Pendaftaran tanah untuk saat ini dipusatkan pada
bagian Pendaftaran Tanah bekerjasama dengan Bagian Pengukuran, serta Bagian Pemberian Hak yang dikelola oleh instansi Badan Pertanahan Nasional BPN
17
Pasal 19 ayat 1 UUPA di atas dapat dikategorikan sebagai payung hukum dari kegiatan Pendaftaran Tanah.
18
Dengan kata lain, Pasal 19 UUPA itu merupakan norma hukum yang masih bersifat garis besar, sehingga memerlukan peraturan yang
lebih rendah sebagai aturan yang lebih konkrit dari pada ketentuan yang lebih tinggi yaitu UUPA itu sendiri.
19
Peraturan tersebut antara lain PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Kenyataannya beberapa yang berkaitan dengan Pendaftaran Tanah tersebut yang terhimpun dalam suatu sistem hukum pertanahan banyak terjadi ketumpang
tindihan antara peraturan tersebut satu sama lain baik sinkronisasinya secara vertikal maupun horinzontal sehingga menimbulkan keragu-raguan akan kepastian hukum
tersebut, padahal dalam suatu undang-undang ataupun peraturan, kepastian hukum meliputi dual hal yakni pertama, kepastian perumusan norma dan prinsip hukum yang
tidak bertentangan satu dengan lainnya baik dari pasal-pasal undang-undang itu secara keseluruhan maupun kaitannya dengan pasal-pasal lainnya yang berada di luar
Undang-undang tersebut. Kedua, kepastian dalam melaksanakan norma-norma dan
17
Pasal 14 Perpres RI No. 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional, disebut sebagai Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah.
18
Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2001, hal. 12.
19
Ibid
Universitas Sumatera Utara
17
prinsip hukum undang-undang tersebut. Jika perumusan norma dan prinsip hukum itu sudah memiliki kepastian hukum tetapi hanya berlaku secara yuridis saja dalam arti
hanya demi undang-undang semata-mata, berarti kepastian hukum itu tidak pernah menyentuh kepada masyarakatnya. Dengan perkataan lain, peraturan hukum yang
demikian disebut dengan norma hukum yang mati doodrgel atau hanya sebagai penghias yuridis dalam kehidupan manusia.
20
Menurut Muhammad Yamin “memperbaiki kepastian hukum, memang bukan satu-satunya dan juga tidak bisa berdiri sendiri, namun dengan mengetahui hak dan
kewajiban masing-masing yang diatur dalam hukum sangat dimungkinkan tidak terjadi sengketa”
21
artinya bila kepastian hukum yang dijadikan sasaran, maka hukum formal adalah wujud yang dapat diambil sebagai tolak ukurnya, dengan demikian
perlu mengkaji hukum formal sebagai basis dalam menganalisis suatu kebijakan
yang dapat memberikan suatu kepastian hukum. Pada sistem hukum di Indonesia berlaku sistem yang berlapis-lapis dan
berjenjang-jenjang sekaligus berkelompok-kolompok, norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana
norma yang lebih rendah berlaku, misalnya Keputusan Menteri Agraria bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi yakni Keputusan Presiden bidang
pertanahan yang mengacu kepada norma yang lebih tinggi yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, kemudian norma yang
lebih tinggi berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok- Pokok Agraria, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi yaitu Undang-
Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3, demikian seterusnya sampai pada suatu norma
20
Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan yang Didambakan, Bandung, Alumni, 2006, hal. 118
21
Muhammad Yamin, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Medan, Pustaka Bangsa Press, 2003, hal. 41-42
Universitas Sumatera Utara
18
yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar groundnorm di Indonesia adalah Pancasila.
22
Menurut Boedi Harsono mendefinisikan Pendaftaran Tanah yakni suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh NegaraPemerintah secara terus menerus dan
teratur berupa pengumpulan ketarangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang ada di wilayah-wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan dan
penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum
di bidang
pertanahan, termasuk
penerbitan tanda
buktinya dan
pemeliharaannya.
23
Pendaftaran tanah bukan sekedar administrasi tanah, tetapi pendaftaran adalah memberikan hak atas tanah, artinya dengan terdaftarnya tanah seseorang, jika
sekalipun Negara membutuhkan tanah tersebut untuk kepentingan umum, Negara tidak dapat lagi dengan serta merta mencabut hak atas tanah seseorang.
24
Jadi pendaftaran tanah mempunyai arti yang penting berkenaan dengan hak keperdataan
seseorang, bukan hanya sekedar suatu perbuatan administrasi belaka.
25
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut diatas, dapat diketahui bahwa tujuan pendaftaran tanah adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi pemegang hak
atas tanah melalui penyempurnaan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan tanah serta menghimpun dan menyajikan informasi yang lengkap dengan memperhatikan
kepentingan rakyat, bangsa dan Negara.
22
Lihat Hierarki Norma Hukum dari Hans Kelsen dalam buku Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya, Cet. 11, Kanisius, Yogyakarta, 2003,
hal. 25
23
Boedi Harsono, Hukum Agrari Indonesia Hukum Tanah Nasional, Jilid I Djambatan, Revisi 2003, hal. 72
24
M. Yamin Lubis, Op. Cit., hal. 5
25
Abdurrahman, Op.Cit, hal. 90
Universitas Sumatera Utara
19
2. Konsepsi