Prevalensi, Derajat Infeksi, dan Faktor Risiko Infeksi Parasit Darah pada Sapi Potong di Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya

PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO
INFEKSI PARASIT DARAH PADA SAPI POTONG DI
KECAMATAN CIKALONG, TASIKMALAYA

HERY NUR ICHSAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Prevalensi, Derajat
Infeksi, dan Faktor Risiko Infeksi Parasit Darah pada Sapi Potong di Kecamatan
Cikalong, Tasikmalaya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014

Hery Nur Ichsan
NIM B04090061

ABSTRAK
HERY NUR ICHSAN. Prevalensi, Derajat Infeksi, dan Faktor Risiko Infeksi
Parasit Darah pada Sapi Potong di Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya. Dibimbing
oleh UMI CAHYANINGSIH.
Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi tingkat prevalensi, derajat
infeksi, dan faktor risiko infeksi parasit darah pada sapi potong peternakan rakyat
di kecamatan Cikalong, kabupaten Tasikmalaya. Sampel darah diambil dari 114
sapi potong di kecamatan Cikalong, Tasikmalaya dan dibuat preparat ulas darah,
lalu diwarnai dengan pewarnaan Giemsa. Preparat ulas darah diamati dengan
menggunakan mikroskop perbesaran 1000×. Jumlah parasit darah dihitung tiap
500 sel darah merah. Faktor risiko dapat diketahui dari manajemen peternakan
yang diperoleh dari wawancara ke peternak. Hasilnya menunjukkan bahwa tingkat
prevalensi tertinggi adalah Theileria sp. sebesar 60.53% diikuti Babesia sp.
44.74% dan Anaplasma sp. 30.70%. Berdasarkan jenis kelamin, rataan

parasitemia pada sapi jantan lebih tinggi daripada sapi betina. Infeksi Babesia sp.
dan Theileria sp. pada sapi betina berbeda nyata dengan sapi jantan (p0.05). Berdasarkan umur,
rataan parasitemia pada sapi dewasa (>12 bulan) lebih tinggi daripada sapi muda
(0.05), tetapi infeksi Theileria sp. berbeda
nyata (p0.05).
Kata kunci: Faktor risiko, parasit darah, prevalensi, sapi

ABSTRACT
HERY NUR ICHSAN. Prevalence, Intensity of Infection, and Risk Factor of
Blood Parasite Infection on Cattle Small Holder Farmer in Cikalong Subdistrict,
Tasikmalaya. Supervised by UMI CAHYANINGSIH.
This research was aimed to determine the prevalence, intensity of infection,
and risk factors of blood parasite infection in cattle of Cikalong subdistrict,
Tasikmalaya. Blood smears samples collected from 114 cattle in Cikalong
subdistrict and processed using Giemsa staining method. Quantitative evaluation
of parasitemia (percentage of infected RBCs) was assesed by counting of the
number of parasite erythrocytes present per 500 cells at a magnification of
1000×.The potential of risk factor in regard with livestock management were
obtained by interviewing the farmer. The result showed that the highest
prevalence rate of blood parasite was Theileria sp. (60.53%), followed by Babesia

sp. (44.74%) and Anaplasma sp. (30.70%). Based on sex, the mean of blood
parasite in bull was higher than cow. Babesia sp. and Theileria sp. infection in
cow was significantly than bull (p0.05). Based on age, the mean of blood parasite in cattle (>12
month) was higher than calf (0.05), while Theileria sp.
infection was significantly (p0.05).
Keywords: Blood parasite, cattle, prevalence, risk factor

PREVALENSI, DERAJAT INFEKSI, DAN FAKTOR RISIKO
INFEKSI PARASIT DARAH PADA SAPI POTONG DI
KECAMATAN CIKALONG, TASIKMALAYA

HERY NUR ICHSAN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Prevalensi, Derajat Infeksi, dan Faktor Risiko Infeksi Parasit Darah
pada Sapi Potong di Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya
Nama
: Hery Nur Ichsan
NIM
: B04090061

Disetujui oleh

Prof Dr drh Umi Cahyaningsih, MS
Pembimbing

Diketahui oleh

drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet
Wakil Dekan


Tanggal Lulus:

Judul Skripsi: Prevalensi, Derajat Infeksi, dan Faktor Risiko Infeksi Parasit Darah
pada Sapi Potong di Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya
: Hery Nur Ichsan
Nama
: B04090061
NIM

Disetujui oleh

Prof Dr drh U mi Cahyaningsih, MS
Pembimbing

Tanggal Lulus:

t2 8 FEB ?n1(

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul Prevalensi, Derajat Infeksi, dan
Faktor Risiko Infeksi Parasit Darah pada Sapi Potong di Kecamatan Cikalong,
Tasikmalaya dapat diselesaikan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr drh Umi Cahyaningsih, MS
selaku pembimbing skripsi yang telah banyak memberi bimbingan dan saran, serta
drh Ni Wayan Kurniani Karja, MP, Ph.D selaku dosen pembimbing akademik
yang telah membimbing penulis selama menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan
kepada drh Arifin Budiman dan Ibu Nani, beserta staf Laboratorium protozoologi
Fakultas Kedokteran Hewan IPB, serta enumerator, yang telah membantu selama
pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah, Ibu,
Kakak, Adik, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan yang terspesial Jessica R. Wibowo
beserta keluarga, teman-teman satu penelitian Anggi, Ifan, Ardi, Bambang, Irwan,
Sarah, Natasha, dan juga teman-teman geochelone ’46 tercinta khususnya Wulan,
Dana, Suan, Caca, Wahyu serta teman-teman kost rengga.
Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2014

Hery Nur Ichsan

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian


2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Kondisi Umum Kabupaten Tasikmalaya

2

Parasit Darah

2

METODE

4

Waktu dan Tempat


4

Pengumpulan Data

5

Ukuran Sampel

5

Pembuatan dan Pewarnaan Sampel Ulas Darah

5

Pemeriksaan Sampel Ulas Darah

5

Prosedur Analisis Data


6

HASIL DAN PEMBAHASAN

6

Tingkat Parasitemia berdasarkan Jenis Kelamin

7

Tingkat Parasitemia berdasarkan Umur

7

Faktor Risiko Kejadian Penyakit Parasit Darah

8

SIMPULAN DAN SARAN


11

Simpulan

11

Saran

11

DAFTAR PUSTAKA

22

RIWAYAT HIDUP

14

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

Tingkat prevalensi infeksi parasit darah
Rataan parasitemia berdasarkan jenis kelamin
Rataan parasitemia berdasarkan umur
Hubungan faktor manajemen peternakan sapi dengan kejadian penyakit
parasit darah

6
7
8
10

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebutuhan gizi masyarakat yang bersumber dari protein hewani asal ternak
sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia baik dalam
pembentukan fisik maupun kecerdasan. Kebutuhan ini akan semakin bertambah
seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, kualitas pendidikan dan
kesejahteraan, serta daya beli masyarakat. Salah satu usaha untuk memenuhi
kebutuhan tersebut adalah dengan mengembangkan peternakan sapi potong.
Permasalahan mengenai pemenuhan daging sapi di Indonesia masih belum
teratasi dengan baik. Hal ini disebabkan populasi ternak sapi yang ada belum
dapat memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi di Indonesia. Berdasarkan data
BPS (2009), pada tahun 2007 populasi ternak sapi potong di Indonesia berjumlah
11 514 900 ekor dan meningkat menjadi 11 869 200 ekor pada tahun 2008.
Jumlah ternak yang dipotong meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007,
jumlah ternak yang dipotong sebesar 1 218 560 ekor dan meningkat menjadi 1
295 789 ekor pada tahun 2008. Kondisi ini menunjukkan adanya peningkatan
populasi ternak sapi yang diikuti dengan peningkatan kebutuhan daging sapi.
Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging di Indonesia.
Salah satu wilayah yang memiliki potensi cukup besar dalam pengembangan
peternakan sapi potong adalah Kabupaten Tasikmalaya. Daerah ini merupakan
salah satu kawasan di Provinsi Jawa Barat yang potensial karena ketersediaan
sumber daya dan lingkungan agroklimat yang mendukung upaya pengembangan
peternakan sapi potong, akan tetapi produksi daging sapi dalam negeri belum
mampu memenuhi kebutuhan karena populasi dan tingkat produktivitas ternak
rendah. Rendahnya populasi sapi potong antara lain disebabkan sebagian besar
ternak dipelihara oleh peternak berskala kecil dengan lahan dan modal terbatas.
Selain itu, banyak kendala yang dihadapi para peternak dalam
mengembangkan usaha peternakannya. Umumnya faktor kendala yang dihadapi
adalah masalah pakan, manajemen pemeliharaan, dan masalah penyakit ternak.
Salah satu serangan penyakit yang bisa merugikan peternak yakni penyakit parasit
(Khaidir 1994). Penyakit ini kadang-kadang tidak langsung mematikan, akan
tetapi kerugiannya dipandang dari segi ekonomi sangat besar dan dapat
menimbulkan kerugian berupa penurunan berat badan ternak, penurunan produksi
susu, dan penurunan kualitas daging, serta ancaman zoonosis (Jonnson 2006).
Parasit darah merupakan salah satu penyebab penyakit ternak yang cukup
penting dan bersifat endemik sehingga dapat menimbulkan kerugian ekonomi
cukup besar antara lain berupa penurunan berat badan, penurunan kualitas produk
ternak, dan kematian ternak. Jenis-jenis penyakit parasit darah yang penting di
Indonesia antara lain babesiosis, anaplasmosis, dan theileriosis. Penyebaran
parasit ini tergantung dari populasi caplak di daerah tersebut (Soulsby 1982) dan
dipengaruhi oleh kondisi geografis, iklim, cuaca, sosial budaya, dan sosial
ekonomi di daerah tersebut (Brotowidjoyo 1987).

2
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi jenis endoparasit,
tingkat prevalensi, derajat infeksi, dan faktor risiko infeksi endoparasit pada sapi
potong di peternakan rakyat di Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai endoparasit
terutama parasit darah yang terdapat pada sapi potong di peternakan rakyat di
Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya dan sebagai pertimbangan bagi pemerintah
dan peternak untuk melakukan tindakan pencegahan dan pengendalian penyakit
parasit darah pada sapi.

TINJAUAN PUSTAKA
Kondisi Umum Kabupaten Tasikmalaya
Kabupaten Tasikmalaya secara geografis terletak di sebelah tenggara
Provinsi Jawa Barat yang sebagian besar wilayahnya berada di pantai selatan dan
memiliki batas langsung dengan Samudera Hindia. Secara astronomis terletak
antara 7°02'29" sampai 7°49'08" Lintang Selatan dan antara 107°54'10" sampai
108°26'42" Bujur Timur dengan jarak membentang utara ke selatan sepanjang 75
km dan arah barat ke timur 56.25 km, dan luas wilayahnya 270 881 Ha. Secara
topografi terdiri dari wilayah pesisir, dataran rendah, dan perbukitan. Suhu udara
kabupaten Tasikmalaya pada daerah dataran rendah adalah 34 °C dengan
kelembapan 50%, sedangkan pada daerah dataran tinggi mempunyai temperatur
18 ºC sampai 22 ºC dengan kelembapan berkisar antara 61% sampai 73%.
Curah hujan rata-rata per tahun adalah 2171.95 mm dengan jumlah hari
hujan efektif selama satu tahun sebanyak 84 hari. Curah hujan tertinggi terjadi
pada bulan November, dengan musim hujan terjadi antara bulan Oktober sampai
Mei dan musim kemarau terjadi antara bulan Juni sampai September (BPS
Tasikmalaya 2011).

Parasit Darah
Babesia sp.
Menurut Levine (1970), Babesia memiliki taksonomi sebagai berikut:
Filum
: Apicomplexa
Subkelas
: Piroplasmia
Ordo
: Piroplasmida
Famili
: Babesiidae
Genus
: Babesia
Spesies
: Babesia sp.

3
Babesia adalah parasit darah yang dapat menyebabkan babesiosis. Jenis
Babesia yang menginfeksi sapi adalah Babesia bigemina, Babesia bovis, Babesia
divergens, Babesia argentina, Babesia major. Babesia dapat menyebabkan
penyakit yang serius pada sapi, yaitu penyakit Cattle Tick Fever, Texas Fever,
Red Water Fever, dan piroplasmosis. Babesia yang biasanya menginfeksi sapi
yang ada di Indonesia adalah Babesia bigemina dan Babesia bovis (Levine 1970).
Hewan yang terinfeksi Babesia dengan jumlah besar dan sekaligus dapat
menyebabkan kematian hewan tersebut, sedangkan hewan yang terinfeksi Babesia
dalam jumlah sedikit dan secara bertahap, maka hewan akan memiliki kekebalan
terhadap parasit ini (Levine 1970). Menurut Arunkumar dan Nagarajan (2013),
Babesia ditularkan oleh caplak yaitu, Boophilus sp. dan Rhipicephalus sp., serta
lalat penghisap darah seperti Tabanus sp. dan Stomoxys sp.
Siklus reproduksi Babesia terdiri dari siklus seksual dan aseksual. Siklus
aseksual terjadi di dalam tubuh sapi, tepatnya di dalam eritrosit, sedangkan siklus
seksual terjadi di dalam tubuh caplak. Setelah caplak menghisap darah yang
mengandung eritrosit yang berisi gametosit Babesia dari sapi, maka terjadi
perkembangan di dalam usus caplak betina, kemudian parasit masuk ke dalam
saluran reproduksi caplak dan menginfeksi telur, kemudian telur caplak menetas,
keluar larva yang kemudian berkembang menjadi caplak dewasa. Parasit
berkembang di dalam tubuh caplak dan akhirnya masuk ke dalam sel kelenjar
ludah caplak dalam bentuk sporozoit (Levine 1992). Proses perkembangbiakan ini
memakan waktu 2 sampai 3 hari (Levine 1970). Parasit stadium sporozoit masuk
ke dalam tubuh sapi melaui gigitan caplak, sporozoit berkembang menjadi
tropozoit, tropozoit terjadi pembelahan dan berkembang menjadi merozoit,
kemudian merozoit berubah menjadi gametosit (Levine 1970).
Theileria sp.
Menurut Billiouw (2005), Theileria memiliki taksonomi sebagai berikut:
Filum
: Apicomplexa
Kelas
: Sporozoa
Subkelas
: Piroplasmia
Ordo
: Piroplasmida
Famili
: Theileriidae
Genus
: Theileria
Spesies
: Theileria sp.
Theileria menurut derajat patogenitasnya dibagi atas Theileria yang patogen
dan Theleria yang non patogen. Jenis Theleria yang patogen pada sapi adalah
Theileria annulata, Theileria bovis, Theileria laurenct, dan Theileria parva,
penyebab penyakit East Coast Fever, Mediterran Theileriosis, Corridor Disease
atau Rhodensian Red Water Disease, sedangkan jenis Theileria yang bersifat non
patogen adalah Theileria mutan, Theileria buffeli, Theileria sergenti, dan
Theileria orientalis (Levine 1992).
Siklus hidupnya hampir mirip dengan Babesia yaitu mengalami fase
seksual dan aseksual. Sporozoit ditransmisikan dari kelenjar saliva caplak yang
menggigit sapi. Berbeda dengan sporozoit Babesia yang menyerang sel darah
merah, sporozoit Theileria menyerang limfosit dan berkembang menjadi
makroschizont. Di dalam limfosit, makroschizont mengalami proses pembelahan
menjadi mikromerozoit lalu dilepaskan dari limfosit. Mikromerozoit inilah yang

4
masuk ke dalam eritrosit dan akan berperan dalam perkembangan seksual di tubuh
caplak seperti perkembangan Babesia. Perkembangan seksual terjadi di dalam
usus caplak. Mikromerozoit di dalam usus caplak berdiferensiasi menjadi gamet
jantan dan betina yang berfusi menjadi zigot. Zigot akan masuk ke dalam epitel
usus menjadi kinete. Kinete masuk ke dalam sel kelenjar saliva dan berubah
menjadi sporoblast (Soulsby 1982).
Anaplasma sp.
Menurut Levine (1970), Anaplasma memiliki taksonomi sebagai berikut:
Subkelas
: Riketsiaeia
Ordo
: Riketsiaeida
Famili
: Riketsiae
Genus
: Anaplasma
Spesies
: Anaplasma sp.
Anaplasmosis merupakan penyakit infeksius yang ditularkan pada hewan
ternak yang ditandai dengan anemia. Cara penularannya melalui vektor yaitu
caplak Boophilus microplus. Infeksi Anaplasma biasanya dapat bersamaan dengan
infeksi Babesia. Anaplasma marginale yang dapat menyebabkan penyakitpenyakit High fever, anemia, bilirubinemia, bilirubinuria lebih patogen
dibandingkan dengan Anaplasma centrale. Beberapa hewan yang dapat menjadi
induk semang dari Anaplasma adalah kerbau, antelops, elk, bison, unta, biri-biri,
dan kambing (Astyawati 2005).

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai Oktober 2012. Pengambilan
sampel dilakukan di beberapa peternakan rakyat di Kecamatan Cikalong,
Tasikmalaya. Identifikasi dilakukan di Laboratorium Protozoologi, Departemen
Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dari peternakan sapi potong rakyat di Kecamatan
Cikalong melalui kuesioner dengan metode wawancara terhadap pemilik atau
pekerja peternakan. Data lainnya diperoleh dari pemeriksaan ulas darah dari sapi
potong peternakan rakyat di Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya. Kuesioner
digunakan untuk mengumpulkan data tambahan berkaitan dengan faktor risiko
berupa umur, jenis kelamin, cara beternak, frekuensi dan tempat penggembalaan
ternak, sumber rumput, serta cara pengendalian lalat dan caplak.

5
Ukuran Sampel
Jumlah sampel ditentukan dengan asumsi dugaan bahwa tingkat kejadian
penyakit parasit sebesar 50% dengan tingkat kepercayaan 90%. Besaran sampel
dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Selvin 2004):

Keterangan:

=



−�

�2

n= Jumlah sampel darah sapi yang diambil.
P= Asumsi dugaan tingkat kejadian penyakit parasit darah.
L= Tingkat kesalahan 10% (0.1).

Berdasarkan rumus diatas, didapatkan jumlah sampel darah yang diambil
minimal 100 sampel. Sampel diambil secara acak dari sapi potong dewasa (>12
bulan), anak (6–12 bulan), dan pedet (0–6 bulan) yang terdapat pada peternakan
terpilih dengan ketentuan maksimum jumlah sampel yang diambil dari satu
peternak adalah 4 ekor, sehingga didapatkan 114 sampel darah.

Pembuatan dan Pewarnaan Sampel Ulas Darah
Sampel darah diambil dari pembuluh darah sapi di sekitar telinga. Bagian
telinga dibersihkan terlebih dahulu dengan kapas bersih, kemudian pembuluh
darah ditusuk dengan menggunakan jarum. Satu tetes darah diletakkan di bagian
tepi gelas objek, kemudian dengan perlahan ujung gelas objek satunya
ditempelkan di atas darah tersebut. Darah akan menyebar di antara sudut gelas
objek 1 dan 2. Gelas objek 2 selanjutnya didorong dengan membentuk sudut 45
derajat untuk membuat ulas darah tipis. Ulas darah yang telah dibuat kemudian
dikeringkan selama 10 menit. Sediaan ulas darah yang telah kering kemudian
difiksasi dengan menggunakan metanol selama 3 sampai 5 menit. Lalu dibiarkan
kering di udara, sediaan ulas darah diwarnai menggunakan larutan Giemsa 10%
dengan cara merendamnya selama 30 menit. Preparat ulas darah yang telah
diwarnai dicuci dengan aquades dan dikeringkan.

Pemeriksaan Sampel Ulas Darah
Pemeriksaan ulas darah dilakukan secara acak pada lima pandang dengan
perbesaran 1000×. Jumlah parasit intraseluler darah dihitung tiap 500 sel darah
merah (Alamzan et al. 2008). Rataan parasitemia dihitung dengan rumus:
�ℎ �� �

�� �ℎ



6
Prosedur Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil wawancara dan hasil pemeriksaan
laboratorium langsung diinput ke dalam database menggunakan Microsoft Excel.
Data dianalisa secara deskriptif untuk membandingkan tingkat parasitemia
terhadap umur menggunakan uji ANOVA dan uji lanjut Duncan dan untuk
membandingkan tingkat parasitemia terhadap jenis kelamin menggunakan uji ttest. Hubungan faktor risiko dan infeksi parasit yang bersumber dari manajemen
peternakan diukur dengan menggunakan uji chi square. Semua data dianalisis
menggunakan SPSS versi 16.0.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Sampel darah sapi yang diperiksa sebanyak 114 sampel, ditemukan 51 sapi
positif terinfeksi Babesia, 69 sapi positif terinfeksi Theileria, dan 35 sapi positif
terinfeksi Anaplasma. Tingkat prevalensi tertinggi disebabkan oleh Theileria sp.
sebesar 60.53%, diikuti dengan Babesia sp. 44.74% dan terendah adalah
Anaplasma sp. 30.70%. Tingkat prevalensi infeksi parasit darah pada sapi potong
di Kecamatan Cikalong disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Tingkat prevalensi infeksi parasit darah
Jenis parasit darah
Jumlah
Jumlah sampel positif
Prevalensi (%)
sampel
Babesia sp.
114
51
44.74
Theileria sp.
114
69
60.53
Anaplasma sp.
114
35
30.70
Tingkat prevalensi parasit darah yang bervariasi di Kecamatan Cikalong,
Tasikmalaya disebabkan oleh kondisi iklim dan letak geografis yang sesuai
dengan perkembangan dan pertumbuhan caplak dan lalat penghisap darah sebagai
vektor pembawa parasit. Himawan (2009) menyatakan keberadaan caplak di suatu
lingkungan dipengaruhi oleh kondisi iklim. Arunkumar dan Nagarajan (2013)
melaporkan bahwa keberadaan lalat penghisap darah (Tabanus spp. dan Stomoxys
spp.) dipengaruhi oleh kondisi iklim tropis yang panas dan lembap. Caplak dapat
tumbuh dan berkembang di wilayah yang memiliki curah hujan minimal 1000
mm/tahun (Zintl et al. 2003). Hal ini sesuai dengan laporan Tasikmalaya dalam
angka (2011) yang menyatakan bahwa Kecamatan Cikalong berada di daerah
dataran rendah dengan suhu rata-rata 34 °C, kelembapan 50%, dan curah hujan
antara 3500 sampai 4000 mm/tahun.
Tingkat prevalensi parasit darah tertinggi yaitu pada kasus theileriosis. Hal
ini diduga karena sebagian besar peternak mengambil rumput dari kebun (Tabel
4). Haemaphysalis sebagai caplak pembawa Theileria banyak ditemukan di kebun
(Rodostits et al. 2007). Urquhart et al. (2003) juga melaporkan bahwa selain
Haemaphysalis, Theileria juga ditularkan oleh Rhipicephalus, Amblyomma, dan
Hyalomma. Babesiosis ditularkan melalui gigitan caplak Boophilus sp. dan lalat

7
penghisap darah seperti Tabanus sp. dan Stomoxys sp. (Arunkumar dan Nagarajan
2013). Rymaszewska dan Grenda (2008) melaporkan bahwa anaplasmosis
ditularkan oleh caplak (Boophilus sp., Dermacentor sp., dan Amblyomma sp.).
Adanya persamaan vektor antara babesiosis dan anaplasmosis menyebabkan
tingkat prevalensi keduanya tidak berbeda jauh. Hal ini didukung oleh Jonsson et
al. (2008) yang menyatakan bahwa Babesia bovis, Babesia bigemina, dan
Anaplasma marginale ditularkan oleh Boophilus microplus. Selain itu, menurut
Kocan et al. (2010) anaplasmosis banyak dialami pada hewan yang terinfeksi
babesiosis. Bilgic et al. (2013) menyatakan infeksi parasit darah yang disebabkan
oleh tick-borne disesase sering ditemukan bersamaan pada satu individu hewan.

Tingkat Parasitemia berdasarkan Jenis Kelamin
Rataan parasitemia pada sapi jantan lebih tinggi daripada sapi betina. Sapi
jantan yang terinfeksi Babesia sp. dan Theileria sp. menunjukkan rataan
parasitemia yang berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan betina (p0.05) (Tabel 2).

Jenis kelamin
Betina
Jantan
Rata-rata

Tabel 2 Rataan parasitemia berdasarkan jenis kelamin
Jumlah
Rataan parasitemia (%)
sampel
Babesia sp.
Theileria sp.
Anaplasma sp.
a
a
90
0.037±0.050
0.074±0.072
0.022±0.035a
24
0.080±0.067b
0.134±0.103b
0.023±0.034a
0.059±0.059
0.104±0.088
0.023±0.035

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji 5% (uji t-test).

Rataan parasitemia babesiosis dan theileriosis antara sapi jantan dan betina
yang menunjukkan berbeda nyata mengindikasikan bahwa jenis kelamin sapi
dapat mempengaruhi tingkat parasitemia. Hasil ini sesuai dengan penelitian dari
Sajid et al. (2009) yang melaporkan bahwa tingkat parasitemia pada sapi jantan
lebih tinggi daripada sapi betina. Tingkat parasitemia yang rendah pada hewan
betina diduga karena hormon estrogen pada ternak betina dapat memicu
terbentuknya antibodi terhadap parasit. Hal ini menyebabkan ternak betina lebih
resisten terhadap parasit daripada ternak jantan. Hambal et al. (2013) menyatakan
bahwa hormon estrogen pada ternak betina memiliki sifat pemacu sel-sel reticulo
endothelial system (RES) dalam membentuk antibodi terhadap parasit.

Tingkat Parasitemia berdasarkan Umur
Rataan parasitemia pada sapi dewasa lebih tinggi daripada sapi anakan dan
pedet. Secara statistik, parasitemia Babesia dan Theileria pada sapi dewasa
berbeda nyata lebih tinggi (p0.05). Rataan parasitemia Babesia pada sapi
dewasa berbeda nyata lebih tinggi (p0.05) (Tabel 3).

8

Klasifikasi
umur
Dewasa
Anak
Pedet
Rata-rata

Tabel 3 Rataan parasitemia berdasarkan umur
Jumlah
Rataan parasitemia (%)
sampel
Babesia sp.
Theileria sp.
Anaplasma sp.
a
a
83
0.051±0.059
0.101±0.084
0.028±0.037a
11
0.036±0.054b
0.042±0.060b
0.006±0.021a
20
0.031±0.046b
0.051±0.068ab
0.011±0.026a
0.039±0.053
0.065±0.071
0.015±0.028

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji 5% (uji lanjut Duncan).

Berdasarkan uji ANOVA dan uji lanjut Duncan, rataan parasitemia tertinggi
adalah pada sapi dewasa, diikuti sapi anakan dan pedet. Hal ini sesuai dengan
Nasution (2007) yang menyatakan bahwa hewan yang terinfeksi parasit darah
banyak ditemukan pada ternak yang berumur 1 sampai 2 tahun. Goff et al. (2001)
melaporkan bahwa sapi berumur kurang dari 9 bulan lebih jarang ditemukan kasus
infeksi parasit darah daripada sapi dewasa. Tingginya tingkat parasitemia pada
sapi dewasa diduga karena makin menurunnya antibodi maternal dan sapi akan
memperoleh kekebalan secara alami jika terinfeksi parasit darah. Sapi dewasa
yang terinfeksi Babesia sp. akan tetap terinfeksi seumur hidup, sedangkan yang
terinfeksi Theileria sp. akan memiliki kekebalan yang tinggi tetapi umumnya
tidak bersifat premunisi (Nasution 2007). Tingkat parasitemia Theileria sp. pada
sapi anakan dan pedet cenderung lebih tinggi daripada Babesia sp dan Anaplasma
sp. Sapi anakan dan pedet yang memperoleh kolostrum induk yang terinfeksi
Babesia akan lebih resisten terhadap babesiosis karena di dalam kolostrum induk
sudah terbentuk antibodi (CFED 2008), sedangkan induk yang terinfeksi
Theileria, di dalam kolostrum induk tidak terbentuk antibodi terhadap theileriosis,
sehingga anak sapi tidak resisten terhadap theileriosis (Nasution 2007).
Tingkat parasitemia merupakan indikator untuk mengukur tingkat infeksi
parasit dalam darah. Menurut Ndungu et al. (2005), tingkat parasitemia dibagi
menjadi tingkat berat (very severe reaction) dengan nilai parasitemia lebih dari
5%, tingkat sedang (severe reaction) dengan nilai parasitemia antara 1% sampai
5%, dan tingkat ringan (mild reaction) dengan nilai parasitemia kurang dari 1%.
Rataan parasitemia pada sampel berdasarkan jenis kelamin dan umur mempunyai
nilai parasitemia yang sama yaitu kurang dari 1% yang tergolong tingkat ringan
(mild reaction).

Faktor Risiko Kejadian Penyakit Parasit Darah
Tingkat prevalensi theileriosis dan anaplasmosis pada sapi yang dilepas
siang hari dan dikandang pada malam hari cenderung lebih tinggi dibandingkan
dengan sapi yang dikandangkan terus-menerus atau digembalakan terus-menerus,
sedangkan pada kasus babesiosis tertinggi pada sapi yang digembalakan terusmenerus. Sapi yang digembalakan beberapa kali dalam seminggu memiliki
prevalensi theileriosis dan anaplasmosis lebih tinggi daripada digembalakan setiap
hari atau beberapa kali dalam sebulan, sedangkan pada kasus bebesiosis tertinggi
pada sapi yang digembalakan setiap hari. Sapi yang digembalakan di kebun

9
memiliki prevalensi parasit darah cenderung lebih tinggi daripada digembalakan
di sawah. Pengendalian lalat menggunakan insektisida memiliki prevalensi
theileriosis dan anaplasmosis lebih tinggi daripada diusir secara mekanis, tetapi
pada kasus babesiosis lebih tinggi dengan cara diusir secara mekanis daripada
menggunakan insektisida. Pengendalian caplak dengan mengambilnya secara
manual lebih tinggi prevalensi theileriosis dan anaplasmosis dibandingkan
menggunakan insektisida. Tingkat prevalensi parasit darah lebih tinggi pada sapi
yang makan rumput yang berasal dari kebun daripada rumput yang berasal dari
sawah. Hubungan faktor manajemen peternakan dengan tingkat kejadian infeksi
parasit darah dapat dilihat pada Tabel 4. Secara umum, tidak terdapat perbedaan
yang nyata (p>0.05) antara prevalensi parasit darah dengan sistem pemeliharaan
ternak (cara beternak, frekuensi penggembalaan, tempat penggembalaan,
pengendalian caplak dan lalat, dan sumber rumput).
Sistem pemeliharaan ternak diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu intensif
(dikandangkan terus-menerus), ekstensif (digembalakan terus-menerus), dan semi
intensif (kombinasi keduanya). Tingginya tingkat prevalensi parasit darah pada
ternak yang digembalakan pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari
diduga karena caplak pada rumput akan menempel pada tubuh sapi yang
digembalakan. Sapi yang terinfeksi akan menularkan ke sapi yang lain melalui
gigitan caplak. Paddock dan Childs (2003) menyatakan bahwa caplak yang
menghisap darah hewan terinfeksi dapat menularkan agen penyakit ke hewan
yang tak terinfeksi penyakit. Caplak akan menularkan parasit darah dari sapi
terinfeksi ke sapi lainnya pada saat sapi dikandangkan, yaitu pada pagi hari
sebelum digembalakan dan malam hari setelah digembalakan. Caplak paling aktif
di pagi hari (pukul 08.00) dan sore sampai malam hari (pukul 15.00 sampai 24.00),
tetapi dapat hidup sepanjang hari dengan baik (Buczek and Magdon 1999). Sapi
yang digembalakan beberapa kali dalam seminggu memiliki prevalensi yang lebih
tinggi daripada sapi yang digembalakan setiap hari atau beberapa kali dalam
sebulan. Hal ini diduga karena pada saat digembalakan, caplak menempel pada
tubuh sapi. Beberapa hari kemudian parasit darah akan menuju ke fase infektif
yang dapat menginfeksi sapi melalui gigitan caplak. Sporozoit infektif dari parasit
darah (Babesia, Theileria, dan Anaplasma) akan timbul dalam darah inang 3
sampai 5 hari setelah inang digigit caplak (Bishop et al. 2004).
Sapi yang digembalakan di kebun lebih banyak terinfeksi daripada di sawah.
Kondisi di kebun yang cukup teduh dan banyak dedaunan merupakan kondisi
yang cocok untuk caplak tumbuh dan berkembang biak. Hal ini didukung oleh
Rodostits et al. (2007) yang menyatakan bahwa Theileria ditularkan oleh caplak
Haemaphysalis yang sering ditemukan di kebun.

Faktor

Tabel 4 Hubungan faktor manajemen peternakan sapi dengan kejadian penyakit parasit darah
N
Babesia sp.
Theileria sp.
n
%
P
OR
n
%
P
OR

Cara beternak
Dikandangkan terus-menerus
Siang dilepas, malam dikandang
Digembalakan terus-menerus
Frekuensi penggembalaan
Setiap hari
Beberapa kali dalam seminggu
Beberapa kali dalam sebulan
Tempat penggembalaan
Kebun
Sawah
Cara pengendalian lalat
Insektisida
Diusir secara mekanis
Cara pengendalian caplak
Insektisida
Diambil secara manual
Sumber rumput untuk ternak
Galengan sawah
Kebun

9
41
10

4
17
5

44.4
41.5
50.0

Ref
0.89
1.25

2
23
2

22.2
56.1
20.0

28
14
5

14
5
2

50.0
35.7
40.0

0.680
0.865

1.50
0.83
Ref

11
8
2

39.3
57.1
40.0

16
35

9
13

56.3
37.1

0.201

2.18
Ref

8
17

50.0
48.6

50
10

21
5

42.0
50.0

0.641

Ref
1.38

25
2

50.0
20.0

10
8

5
3

50.0
37.5

0.596

Ref
0.60

5
5

9
51

3
23

33.3
45.1

0.511

Ref
1.64

3
24

0.870
0.809

n

Anaplasma sp.
%
P
OR

Ref
4.47
0.88

3
18
2

33.3
43.0
20.0

0.976
0.510

0.97
2.00
Ref

6
9
1

21.4
64.3
20.0

0.943
0.089

1.09
7.20
Ref

0.925

1.06
Ref

8
12

50.0
34.3

0.286

1.92
Ref

0.082

Ref
0.25

20
3

40.0
30.0

0.553

Ref
0.64

50.0
62.5

0.596

Ref
1.67

3
5

30.0
62.5

0.168

Ref
3.89

33.3
47.1

0.445

Ref
1.78

2
21

22.2
41.2

0.281

Ref
2.45

0.066
0.906

0.561
0.510

N: jumlah peternak; n: jumlah positif terinfeksi; %: persentase prevalensi parasit; P: nilai Pearson chi square; OR: odds ratio; Ref: referensi (pembanding)=1.00.

Ref
1.57
0.50

11

Prevalensi parasit darah pada ternak yang menggunakan insektisida untuk
pengendalian lalat cenderung lebih tinggi daripada diusir secara mekanis. Hal ini
diduga karena lalat sudah resisten terhadap insektisida. Lalat menjadi resisten
karena kurangnya pengetahuan peternak tradisional mengenai cara menggunakan
insektisida yang tepat. Penggunaan insektisida yang tidak sesuai dengan petunjuk
pemakaian akan menyebabkan serangga resisten terhadap insektisida (Cheesman
2000). Pengendalian caplak dengan cara diambil secara manual cenderung kurang
efektif daripada menggunakan insektisida. Hal ini tidak sesuai dengan Manurung
(2002) yang melaporkan bahwa mengatasi caplak dengan diambil secara manual
lebih baik daripada menggunakan insektisida karena caplak yang ditangkap
langsung dibunuh oleh peternak dengan cara dibakar atau dipencet. Pengendalian
caplak dengan cara diambil secara manual kurang efektif karena dibutuhkan
ketelitian dari peternak dan dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengambil
caplak pada tubuh sapi. Rumput yang berasal dari kebun lebih berisiko terinfeksi
parasit darah daripada rumput yang ada di sawah. Caplak akan tumbuh dan
berkembang biak dengan baik pada kondisi yang teduh seperti di kebun dan hutan.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Tingkat prevalensi infeksi parasit darah di peternakan sapi potong di
Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya dari yang tertinggi adalah theileriosis, diikuti
babesiosis, dan terendah adalah anaplasmosis. Faktor umur dan jenis kelamin
berpengaruh terhadap prevalensi babesiosis dan theileriosis, tetapi tidak
berpengaruh terhadap anaplasmosis. Parasitemia tertinggi pada sapi berdasarkan
umur terdapat pada kelompok sapi dewasa dan berdasarkan jenis kelamin terdapat
pada kelompok sapi jantan. Faktor manajemen peternakan, pakan, dan
pengendalian vektor tidak berpengaruh signifikan terhadap prevalensi babesiosis,
theileriosis, dan anaplasmosis. Rata-rata parasitemia pada berbagai kelompok
umur dan jenis kelamin tergolong parasitemia ringan.

Saran
Penanganan kasus infeksi parasit darah di Kecamatan Cikalong Kabupaten
Tasikmalaya dapat dilanjutkan dengan mengadakan surveillance di kawasan ini
dan sekitarnya untuk mengetahui kondisi infeksi penyakit parasit darah di lapang.
Hal tersebut digunakan untuk menentukan cara pencegahan dan pengendalian
penyakit parasit darah di wilayah tersebut.

12

DAFTAR PUSTAKA
Alamzan C, Medrano C, Ortiz M, Fuente JDL. 2008. Genetic diversity of
Anaplasma marginale strains from outbreak of bovine anaplasmosis in an
endemic area. Vet Parasitol. 158: 103-109.
Arunkumar S and Nagarajan K. 2013. A study on prevalence status of Anaplasma
marginale infection among cattle population of Kancheepuram and in and
around Chennai district of Tamil Nadu. J Int of Food, Agricult, and Vet Sci.
3(1): 155-157.
Astyawati T. 2005. Bahan Kuliah Protozoologi. Bogor (ID): IPB Pr.
Bilgic HB, Karagene T, Simuunza M, Shiels B, Tait A, Eren H, and Weir W. 2013.
Development of a multiplex PCR assay for stimultaneous detection of
Theileria annulata, Babesia bovis, and Anaplasma marginale in cattle. Exp
Parasitol. 133(2): 222-229.
Billiouw M. 2005. The epidemiology of bovine theileriosis in the Eastern
Province of Zambia. Laboratorium voor Parasitologie, Faculteit
Diergeneeskunde, Universiteit Gent.
Bishop R, Musoke A, Morzaria S, Gardner M, Nene V. 2004. Theileria:
intracellular protozoan parasites of wild and domestic ruminants transmitted by
ixodid ticks. Parasitol. 129: 271-283.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Statistical Pocket Book of Indonesia. Jakarta
(ID): Badan Pusat Statistik.
[BPS] Badan Pusat Statistik Tasikmalaya. 2011. Tasikmalaya dalam angka 2011.
Tasikmalaya (ID): Badan Pusat Statistik.
Brotowidjoyo MD. 1987. Parasit dan Parasitisme. Ed ke-1. Jakarta (ID): Media
Sarana Pr.
Buczek A, Magdon T. 1999. Host location by ticks (Acari: Ixodida). Wiadomosci
Parazytologiczne. 45: 3-12.
[CFED] Committee on Foreign and Emerging Diseases of the United States
Animal Health Association. 2008. Foreign Animal Diseases. Ed ke-7. Canada:
Boca Publication Group, Inc.
Cheesman SJ. 2000. The Topoisomerases of protozoan parasites. Parasitol Today.
16(7): 277.
Goff WL, Johnson WC, Parish SM, Barrington GM, Tuo W, Valdez RA. 2001.
The age-related immunity in cattle to Babesia bovis infection involved the
rapid induction of interleukin-12, interferon-g, and inducible nitric oxide
synthase mRNA expression in the spleen. Parasit Immunol. 23: 463-471.
Hambal M, Sayuti A, Dermawan A. 2013. Tingkat kerentanan Fasciola gigantica
pada sapi dan kerbau di Kecamatan Lhoong Kabupaten Aceh Besar. J Med Vet.
7(1): 49-53.
Himawan W. 2009. Identifikasi parasit darah pada kerbau belang (Tedong bonga)
dan kerbau rawa di Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan. [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Jonsson NN. 2006. The productivity effects of cattle tick (Boophilus microplus)
infestation on cattle, with particular reference to Bos indicus cattle and their
crosses. Vet Parasitol. 137: 1–10.

13
Jonsson NN, Bock RE, Jorgensen WK. 2008. Productivity and health effects of
anaplasmosis and babesiosis on Bos indicus cattle and their crosses and the
effect of differing intensity of tick control in Australia. Vet Parasitol. 3(22):1-9.
Khaidir. 1994. Penyakit parasit ayam buras. Poult Indones. 172:11.
Kocan KM, Fuente JDL, Guglielmone AA, Mele’ndez RD. 2003. Antigens and
alternatives for control of Anaplasma marginale infection in cattle. J Clin
Microbiol. Rev. 16: 698-712.
Kocan KM, Fuente JDL, Blouin EF, Coetzee JF, and Swing SA. 2010. Review–
The natural history of Anaplasma marginale. Vet Parasitol. 167: 95-107.
Levine ND. 1970. Protozoan Parasites of Domestic Animal and of Man.
Minneapolis (US): Burgess Publ co.
Levine ND. 1992. Protozoologi Veteriner. Ashadi G, penerjemah. Yogyakarta
(ID): UGM Pr. Terjemahan dari: Veterinary Protozoology.
Manurung J. 2002. Studi prevalensi infeksi caplak pada sapi di Kecamatan
Ciracap dan Surade Kabupaten Sukabumi Jawa Barat dan cara-cara peternak
menanggulanginya. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Nasution AYA. 2007. Parasit Darah pada Ternak Sapi dan Kambing di Lima
Kecamatan, Kota Jambi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Ndungu SG, Brown CGD, Dolan TT. 2005. In vivo comparison of suspectibility
between Bos indicus and Bos taurus cattle type to Theileria parva infection.
Onderstepoort J Vet Res. 72(1): 13-22.
Paddock CD, Childs JE. 2003. Ehrlichia chaffeensis: a prototypical emerging
pathogen. Clin Microbiol Rev. 16: 37-64.
Rodostits OM, Gay CC, Hinchcliff KW, Constable PD. 2007. Veterinary
Medicine: A textbook of the diseases of cattle, horses, sheep, pigs, and goats.
10 th Ed. USA (US): Saunders.
Rymaszewska A and Grenda S. 2008. Bacteria of the genus Anaplasma–
characteristics of Anaplasma and their vectors: a review. Med Vet. 53(11): 573584.
Sajid MS, Iqbal Z, Khan MN, Muhammad G, and Khan MK. 2009. Prevalence
and associated risk factors for bovine tick infestation in two district of lower
Punjab, Pakistan. J Pre Vet Med. 92: 386-391.
Selvin S. 2004. Statistica Analysis of Epidemiology Data. London (GB): Oxford
University Pr.
Soulby EJL. 1982. Helmints, Arthropods, and Protozoa of Domesticated Animals.
7th Ed. London (GB): Bailiere Tindal.
Tasikmalaya dalam angka. 2011. Kabupaten Tasikmalaya dalam Angka.
Tasikmalaya (ID): Badan Pusat Statistik.
Urquhart GM, Armour J, Duncan JL, Dunn AM, Jennings FW. 2003. Vet
Parasitol. Ed ke-2. Scotland (GB): Blackwell Pub.
Zintl A, Mulcahy G, Skerrett HE, Taylor SM, and Gray JS. 2003. Babesia
divegens, a bovine blood parasite of veterinary and zoonotic importance. Clin
Microbiol Rev. 16(4): 622-636.

14

RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Hery Nur Ichsan. Penulis lahir di Brebes pada
tanggal 5 Juni 1990 dari pasangan Bapak Maryoto dan Ibu Watijah. Penulis
merupakan anak kedua dari empat bersaudara.
Jenjang pendidikan formal yang telah ditempuh oleh penulis, antara lain:
alumni TK an-nida Manggarai, Jakarta Selatan pada tahun 1996, alumni SD
Negeri 1 Kalijurang, Brebes pada tahun 2002, alumni SMP Negeri 02 Tonjong,
Brebes pada tahun 2005, dan alumni SMA Bustanul ‘Ulum NU Bumiayu, Brebes
pada tahun 2009.
Pada tahun 2009, penulis melanjutkan jenjang pendidikan dan diterima di
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI). Selama perkuliahan penulis aktif
dalam kegiatan organisasi intrakampus, yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Kedokteran Hewan IPB (BEM FKH IPB) periode 2011/2012, Ikatan
Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia cabang IPB (IMAKAHI IPB) periode
2010/2011, dan Himpunan Minat Profesi Satwa Liar IPB periode 2010/2012.
Selain itu, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Patologi
Sistemik 1 dan Pengelolaan Kesehatan Hewan dan Lingkungan pada semester
ganjil tahun ajaran 2012/2013.