Pengaruh Kelekatan, Gaya Pengasuhan, dan Kualitas Lingkungan Pengasuhan terhadap Karakter Anak Di Perdesaan dan Perkotaan

PENGARUH KELEKATAN, GAYA PENGASUHAN, DAN
KUALITAS LINGKUNGAN PENGASUHAN TERHADAP
KARAKTER ANAK PERDESAAN DAN PERKOTAAN

MUSTIKA DEWANGGI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Kelekatan,
Gaya Pengasuhan, dan Kualitas Lingkungan Pengasuhan terhadap Karakter Anak
Di Perdesaan dan Perkotaan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Mustika Dewanggi
NIM I251120061

RINGKASAN
MUSTIKA DEWANGGI. Pengaruh Kelekatan, Gaya Pengasuhan, dan Kualitas
Lingkungan Pengasuhan terhadap Karakter Anak Di Perdesaan dan Perkotaan.
Dibimbing oleh DWI HASTUTI dan TIN HERAWATI.
Karakter merupakan bagian dari perkembangan moral seorang individu.
Individu yang berkarakter adalah individu yang mengetahui tentang kebaikan
(knowing the good), menginginkan dan mencintai kebaikan (loving the good) dan
melakukan kebaikan (acting the good). Terjadi peningkatan tindakan tidak
berkarakter oleh remaja Indonesia diantaranya tindakan kriminalitas,
mengkonsumsi obat-obat terlarang, miras, dan prilaku sex bebas. Tindakan yang
tidak berkarakter pada masa remaja merupakan dampak dari pembentukan
karakter remaja sejak usia prasekolah yang tidak optimal. Pembentukan karakter
yang baik penting dilakukan sejak usia prasekolah, karena akan berdampak jangka
panjang hingga mereka menjadi individu dewasa. Pembentukan karakter sejak
dini dilakukan melalui peran orang tua lewat pengasuhan yang positif.

Pengasuhan yang positif secara biologis (nature) melalui kelekatan antara ibu dan
anak, kemudian proses pengasuhan positif dilihat dari gaya pengasuhan
penerimaan ibu, dan secara lingkungan (nurture) yang baik dapat dilihat melalui
kualitas lingkungan pengasuhan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kelekatan, gaya
pengasuhan, dan kualitas lingkungan pengasuhan terhadap karakter anak
perdesaan dan perkotaan. Penelitian ini merupakan bagian dari Penelitian
Desentralisasi Ungulan Perguruan Tinggi tahun 2013 dengan judul
“Pengembangan Metode Sosialisasi Nilai-Nilai Karakter pada Keluarga Perdesaan
Melalui Penerapan Pengasuhan Positif” oleh tim penelitian yang diketuai oleh
Alfiasari SP, M.Si. Pemilihan tempat dilakukan secara purposive di perdesaan dan
perkotaan wilayah Bogor. Penarikan contoh pada penelitian ini dipilih secara acak
(random sampling) yang melibatkan 100 responden. Pengambilan data dilakukan
melalui tekhnik wawancara dan observasi dengan bantuan kuesioner. Data
dianalisis dengan analisis deskriptif, uji independent t-test, dan uji regresi.
Rata-rata skor kelekatan ibu dengan anak di perdesaan lebih tinggi
dibandingkan dengan di perkotaan. Terdapat perbedaan yang signifikan dari
kelekatan ibu di perdesaan dengan di perkotaan. Rata-rata skor kualitas
lingkungan pengasuhan ibu di perdesaaan lebih tinggi dibandingkan dengan di
perkotaan, sedangkan rata-rata skor gaya pengasuhan di perdesaan lebih rendah

dibandingkan dengan di perkotaan. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan
antara gaya pengasuhan dan kualitas lingkungan pengasuhan di perdesaan dengan
di perkotaan. Rata-rata skor karakter anak di perkotaan lebih tinggi dibandingkan
dengan di perdesaan. Terdapat perbedaan yang signifikan dari karakter anak di
perdesaan dengan di perkotaan. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa
kelekatan ibu dengan anak serta kualitas lingkungan pengasuhan berpengaruh
terhadap karakter anak prasekolah di perdesaan maupun di perkotaan.
Kata kunci : Kelekatan, Gaya Pengasuhan, Pengasuhan penerimaan-penolakan,
Kualitas Lingkungan Pengasuhan, Karakter.

SUMMARY
MUSTIKA DEWANGGI. The Influence of Attachment, Parental Acceptance
Rejection, and Environmental Quality of Parenting on Children Character in Rural
and Urban Area. Supervised by DWI HASTUTI and TIN HERAWATI.
The character is part of an individual's moral development. People who
have a character are an individual who knows about the good (knowing the good),
desire and love goodness (loving the good) and do good things (the good acting).
There are increasing of immoral behavior of adolescents in Indonesia, including
criminal action, taking illegal drugs, alcohol, and free sexual behavior. The
development of good character is essential since preschool age, as it will affect

long-term until they become mature individuals. Early character development
related with the role of parents through positive parenting. Positive parenting can
be known from the attachment between mother and child (biological/nature),
parenting styles from maternal acceptance, and from environmental quality of
parenting (environtment/nurture).
This study aimed to analyze the influence of attachment, parenting styles,
and environmental quality of parenting on children character in rural and urban
areas. This study was part of research in Decentralization UPT 2013 :
"Development Character Values of Socialization Method on Rural Families
Through Application of Positive Parenting" by a research team headed by
Alfiasari, S.P., M.Si. Site selection was purposive in rural and in urban areas in
Bogor. Sample in this study were randomly selected involving 100 respondents.
Data were collected through interviews and observation techniques with the help
of a questionnaire. Data were analyzed with descriptive analysis, independent ttest, and regression test.
The average score of mother attachment with their children in rural areas
was higher than in urban areas. There are significant differences of maternal
attachment in rural areas with urban areas. The average score on the
environmental quality of parenting in rural areas was higher than in urban areas,
while the average score of parenting style in rural areas is lower than in urban
areas. There were no significant differences between parenting styles and the

environmental quality of parenting in rural with urban areas. The average score of
children’s character in urban areas was higher than in the rural areas. There are
significant differences of the character of children in rural with urban areas. The
results of the regression analysis showed that maternal attachment and the
environmental quality of parenting effect on the character of preschool children in
rural and urban areas.
Keywords : Attachment, Parenting Style, Parenting Acceptance-Rejection,
Environmental Quality Care, Character.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGARUH KELEKATAN, GAYA PENGASUHAN, DAN

KUALITAS LINGKUNGAN PENGASUHAN TERHADAP
KARAKTER ANAK PERDESAAN DAN PERKOTAAN

MUSTIKA DEWANGGI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Diah Krisnatuti, M.S.

Judul Tesis
Nama

NIM

: Pengaruh Kelekatan, Gaya Pengasuhan, dan Kualitas Lingkungan
Pengasuhan terhadap Karakter Anak Di Perdesaan dan Perkotaan
: Mustika Dewanggi
: I251120061

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dwi Hastuti, M.Sc
Ketua

Dr. Tin Herawati, SP., MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Keluarga dan

Perkembangan Anak

Dekan Sekolah Pascasarjana
Sekretaris Program Magister

Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc, MSc.

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.,Agr.

Tanggal Ujian : 22 Juli 2014

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang
berjudul Pengaruh Kelekatan, Gaya Pengasuhan, dan Kualitas Lingkungan
Pengasuhan terhadap Karakter Anak Di Perdesaan dan Perkotaan. Penulis
mengucapkan rasa terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah
membantu penulis sejak menjadi mahasiswa pascasarjana hingga dapat

menyelesaikan studi, yaitu kepada :
1. Dr. Ir. Dwi Hastuti, M.Sc. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Tin
Herawati, S.P., M.Si. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, pengarahan, dan wawasan pengetahuan yang amat
bermanfaat bagi tersusunnya tesis ini.
2. Dr. Ir. Diah Krisnatuti, M.S. selaku Dosen Penguji Luar Komisi Tesis dan Dr.
Ir. Herien Puspitawati, M.Sc., M.Sc. selaku Ketua Program Studi Ilmu
Keluarga dan Perkembangan Anak dalam sidang tesis yang telah memberikan
pengarahan dan masukan yang dapat memperkaya tersusunnya tesis ini agar
dapat lebih baik.
3. Tim Penelitian Desentralisasi Ungulan Perguruan Tinggi tahun 2013 dengan
judul “Pengembangan Metode Sosialisasi Nilai-Nilai Karakter pada Keluarga
Perdesaan Melalui Penerapan Pengasuhan Positif” yakni, kepada Alfiasari SP,
M.Si., Dr. Ir. Dwi Hastuti, M.Sc., dan Ir. M. Djamaludin, M.Sc. yang telah
mengikutsertakan penulis dalam penelitian tersebut, sehingga mampu
mengumpulkan data penelitian tesis.
4. Tak ada kata yang dapat mengambarkan rasa terima kasih pada orang tua
tercinta, Ibunda Dr. Ratna Dewanti dan Ayahanda Sunarto, M.M. atas doa,
dukungan, cinta, dan kasih sayangnya yang tak terhingga. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada kedua adik tersayang Abiyoga Pradata, dan

Yordan Yasin atas semangat dan dukungannya.
5. Suami tersayang Ahmad Annajihi S.E, S.Ds atas doa, cinta, dan dukungannya.
6. Keluarga Bapak Momon, Ibu Euis, kader Posyandu, Pemerintah Desa dan
masyarakat di Desa Urug, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor.
7. Kader Posyandu, Pemerintah Desa serta masyarakat di Kelurahan Situgede,
Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor.
8. Saudari Feni Puspitasari S.Si, Susan S.Si, dan Fadhila Mukhlishoh S.Si
sebagai enumerator dalam penelitian.
9. Elamanora S.Si., Sudi Herlin Rahmawati S.Pd., dan Eka Wulida Latifah S.Si
atas dukunganya selama penyelesaian tesis, serta kepada teman-teman PS IKA
2012, juga kepada sahabat tersayang Iffah Naililmuna dan Nida Sadida atas
dukunganya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Aamiin Ya Allah.

Bogor, September 2014
Mustika Dwanggi

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

xiv
xiv
xiviv

1.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah Penelitian
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
4
4
4

2.

TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Anak, Keluarga, dan Wilayah dalam Penelitian
Karakteristik anak periode usia prasekolah
Karakteristik keluarga
Karakteristik wilayah penelitian
Pengasuhan
Pengasuhan kelekatan (attachment)
Kualitas lingkungan pengasuhan anak
Pengasuhan penerimaan-penolakan
Karakter

5
5
5
5
6
7
8
9
10
11

3.

KERANGKA PEMIKIRAN

15

4.

METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Prosedur Pemilihan Contoh
Desain dan Cara Pengumpulan Data
Kontrol Kualitas Data
Pengolahan dan Analisis Data
Definisi Operasional

17
17
17
18
20
21
22

5. Artikel 1
PENGARUH KELEKATAN, GAYA PENGASUHAN DAN KUALITAS
LINGKUNGAN PENGASUHAN TERHADAP KARAKTER ANAK
PERDESAAN DAN PERKOTAAN

23

Abstrak
Abstract
Latar Belakang
Metode Penelitian
Hasil
Karakteristik Anak dan Keluarga

23
23
24
25
27
27

Pengasuhan
Karakter anak
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Karakter
Pengaruh Kelekatan, Gaya Pengasuhan, dan Kualitas Lingkungan
Pengasuhan terhadap Karakter
Pembahasan
Simpulan
Saran
Daftar Pustaka

27
28
29
29
30
32
33
33

6. Artikel 2
PENGARUH KUALITAS LINGKUNGAN PENGASUHAN DAN
KEIKUTSERTAAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI TERHADAP
KARAKTER ANAK

36

Abstrak
36
Abstract
36
Pendahuluan
37
Metode Penelitian
38
Hasil
39
Karakteristik Contoh dan Keluarga
39
Karakter anak
42
Faktor yang Berhubungan dengan Karakter Anak
43
Pengaruh Kualitas Lingkungan Pengasuhan Dan Keikutsertaan Pendidikan
Anak Usia Dini Terhadap Karakter Anak
44
Pembahasan
45
Saran
47
Daftar Pustaka
47
7. PEMBAHASAN UMUM

48

8. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

51
51
52

DAFTAR PUSTAKA

52
57
57

LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Jenis data, peubah, skala, dan item pertanyaan

Halaman
19

DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran : Analisis Kelekatan, Kualitas
Lingkungan dan Gaya Pengasuhan serta Karakter Pada
Anak Di Perdesaan dan Perkotaan
Gambar 4.1 Kerangka pengambilan contoh dalam penelitian

16
17

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Sebaran contoh berdasarkan jawaban pertanyaan
Lampiran 2 Dokumentasi penelitian
Lampiran 3 Meta analisis jurnal penelitian

Halaman
58
70
71

1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu bentuk perkembangan anak yakni perkembangan moral
identitas atau karakter. Lickona (1994) menjelaskan bahwa manusia yang
berkarakter adalah individu yang mengetahui tentang kebaikan (knowing the
good), menginginkan dan mencintai kebaikan (loving the good) dan melakukan
kebaikan (acting the good). Karakter mencakup nilai-nilai baik (virtues) yang
mampu mengarahkan seseorang untuk dapat membedakan sesuatu yang baik dan
buruk. Penelitian yang dilakukan oleh Giligan (1982) dan Lickona (1994
menyatakan bahwa pengalaman pada waktu usia prasekolah merupakan masa
yang terbaik untuk membentuk perkembangan karakter anak dan hal tersebut akan
memberikan dampak jangka panjang bagi kehidupan anak.
Salah satu hal yang utama dalam pembentukan karakter anak sejak usia
prasekolah adalah peran orang tua dalam bentuk pengasuhan (Lickona 1998).
Pengasuhan adalah kegiatan yang mencakup peran yang beragam yakni,
perlindungan, mencintai, disiplin, dan mengawasi kesejahteraan anak (Holden
2010; Hastuti 2008). Berdasarkan perkembangan teori dalam pengasuhan yang
dikaitkan dengan perkembangan anak terdapat dua sudut pandang pengasuhan
yakni biologis (nature) dan lingkungan (nurture), serta proses pengasuhan yang
diterapkan. Teori yang berlandaskan dari sudut pandang biologis (Ethological
Theory) diantaranya adalah tori kelekatan yang dikemukakan oleh John Bowlby
(1969) dan Ainsworth (1978). Kelekatan merupakan ikatan emosional antar
individu, khususnya ibu dan anak yang dapat menentukan kualitas hubungan
antara keduanya. Proses dalam melakukan pengasuhan dapat dilihat melalui gaya
pengasuhan penerimaan-penolakan (Parental Acceptance Rejection/PAR) yang
dikemukakan oleh Rohner (1986). Teori PAR merupakan bagian dari teori
pengasuhan berdasarkan hubungan emosi yang berupaya memprediksi
konsekuensi dari perilaku psikologis, lingkungan, dan sistem terkait hubungan
antara pengasuh utama dengan anak. Pengasuhan dari sudut pandang lingkungan
(Ecological Theory) khususnya melihat stimulasi lingkungan yang diberikan oleh
orang tua yang dikembangkan oleh Caldwell dan Bradley (1984). Pengasuhan dari
sudut pandang lingkungan menyatakan bahwa kualitas pengasuhan anak adalah
stimuli yang diberikan orang tua dan keluarga. Kelekatan, gaya pengasuhan, dan
kuaitas lingkungan pengasuhan terkait erat dengan perkembangan moral anak.
Perkembangan moral anak-anak yang baik merupakan aset bagi suatu
bangsa. Saat ini Indonesia mengalami krisis multidimensi yang berakar dari
menurunya kualitas moral bangsa. Hal tersebut salah satunya dibuktikan dari
tingkat korupsi Indonesia yang masih berada di urutan 114 dari 177 negara di
dunia (Transparency International Corruption Perceptions Index 2012).
Perkembangan remaja di Indonesia juga mengarah pada degradasi moral.
Menurut BPS (2010), menyatakan bahwa di seluruh wilayah Indonesia, termasuk
di Jawa Barat memiliki tingkat kriminalitas remaja yang semakin meningkat.
Tindakan tidak bermoral yang dilakukan oleh orang dewasa serta remaja tersebut
tentunya merupakan suatu akumulasi dari pengalaman sepanjang hidup.

2

Wickliffe (2000), mengatakan bahwa menjadi remaja adalah salah satu dari
proses perkembangan kehidupan sejak prasekolah dan dipengaruhi oleh banyak
hal diantaranya keluarga, pertemanan, dan lingkungan. Penelitian diberbagai
negara telah membuktikan bahwa pengasuhan pada anak usia prasekolah
merupakan hal yang penting bagi perkembangan generasi muda yang lebih baik.
Pengasuhan yang positif dapat membentuk generasi muda yang lebih sedikit
terlibat tindakan kejahatan (Brooks 2001; Holden 2010), riwayat pendidikan yang
lebih baik, dan memiliki kecerdasan sosial emosi serta moral karakter yang baik
pula (Hastuti 2006).
Tantangan dalam pengasuhan yang dihadapi keluarga diantaranya adalah
kemiskinan, keterbatasan sumberdaya dan keterbatasan akses kesehatan, sanitasi
yang bersih, dan makan bergizi sebagai kebutuhan dasar manusia. Anak-anak di
Indonesia yang tinggal bersama keluarga di daerah perdesaan memiliki potensi
kemiskinan dan keterbatasan terhadap sumberdaya dan keterbatasan akses
kesehatan, sanitasi yang bersih, serta makan bergizi, juga pendidikan yang layak
dibandingkan daerah perkotaan (UNICEF 2012). Pada umumnya daerah-daerah
perdesaan dan perkotaan dalam kriteria tertentu termasuk ke dalam kriteria desa
miskin dengan pertumbuhan cenderung lebih lambat dibandingkan dengan desadesa di sekitarnya serta memiliki keterbatasan distribusi pelayanan sosial dan
ekonomi. Hasil penelitian Maher et al. (2008), menyatakan bahwa terdapat
kesenjangan dalam pengetahuan tentang perbedaan kualitas pengasuhan anak di
daerah pedesaan dan perkotaan yang menunjukkan bahwa hubungan antara salah
satu indikator kualitas dan status perdesaan bervariasi dengan usia anak dan jenis
pengasuhan.
Keluarga dengan orang tua yang mendapatkan pendidikan dan kesempatan
kerja akan memiliki kesejahteraan yang lebih baik dan tidak miskin, dan hal
tersebut dapat berdampak pada perkembangan anak. Menurut penelitian Carniero
et al. (2007), juga menegaskan bahwa ibu yang berpendidikan dapat mengurangi
masalah perilaku anak, dan lebih cenderung untuk berinvestasi pada anak-anak
mereka melalui buku-buku. Penelitian lain yang dilakukan Cabrera et al. (2007)
menyebutkan pentingnya keikutsertaan ayah dalam pengasuhan anak, akan dapat
memberikan dampak positif bagi perkembangan anak. Berdasarkan penjelasan
sebelumnya, mengindiksikan bahwa keluarga yang tinggal di wilayah perdesaan
dan daerah perkotaan tentunya memiliki ancaman dalam resiko keterbatasan
pendidikan dan pendapatan keluarga yang rendah. Keadaan keluarga yang
mengalami keterbatasan tersebut dapat menghambat perkembangan anak,
termasuk perkembangan moral karakter anak. Berdasarkan hal tersebut penelitian
terkait dengan analisis kelekatan, kualitas lingkungan dan gaya pengasuhan, serta
karakter pada anak di perdesaan dan perkotaan perlu dilakukan.
Masalah Penelitian
Karakter merupakan bagian dari moral identitas. Menurut Carlo dan Hardy
(2011), moral identitas umumnya mengacu pada sejauh mana seseorang dapat
menjadi individu yang bermoral dan hal tersebut penting untuk identitas diri.
Orang yang memiliki moral identitas yang kuat ketika melanggar ketentuan moral
tertentu akan kehilangan harga dirinya, sehingga akan menghilangkan identitas
dirinya. Generasai penerus bangsa di Indonesia berada dalam tahap kehilangan

3

identitas moral, sehingga mampu melakukan tindakan yang tidak bermoral seperti
berbohong, mencuri, melakukan kekerasan, dan lain sebagainya. Gambaran
pelaku kriminalitas tahun 2008 ditandai kekhawatiran dengan meningkatnya
jumlah pelaku tindak kriminalitas yang masih berusia anak-anak dan remaja,
dengan tingkat kriminalitas tertinggi ada di Jawa Barat. Berdasarkan laporan Polri
pada tahun 2008 menyatakan bahwa secara keseluruhan jumlah anak-anak dan
remaja pelaku tindak kriminalitas meningkat sebesar 4,3 persen dibandingkan
tahun 2007 (Kementerian Pemuda dan Olahraga 2009). Persentase wanita belum
kawin umur 15-24 tahun di perkotaan yang merokok (11.3 %), minum minuman
beralkohol (5.2 %), dan menggunakan obat-obatan terlarang (0.3 %), sedangkan
di perdesaan yakni bagi yang merokok (8.8 %), minum minuman beralkohol (3.6
%), dan menggunakan obat-obatan terlarang (0.0 %). Kemudian Persentase pria
yang belum kawin umur 15-24 tahun di perkotaan yang merokok (79.5 %),
minum minuman beralkohol (40.5 %), dan menggunakan obat-obatan terlarang
(5.4 %), sedangkan di perdesaan yakni bagi yang merokok (80.6 %), minum
minuman beralkohol (36.5 %), dan menggunakan obat-obatan terlarang (2.8 %)
(Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012).
Meningkatnya jumlah tindakan tidak berkarakter yang masih berusia muda
merupakan masalah yang sangat memprihatinkan. Masalah yang timbul ketika
seseorang beranjak dewasa merupakan hasil dari perkembangan karakter
seseorang ketika usia dini yang tidak optimal, baik karena pengaruh pengasuhan
keluarga dan lingkungan. Sumber daya manusia yang berkarakter dapat
diwujudkan melalui pengasuhan yang postif, dan hal tersebut penting dilakukan
sejak anak berusia prasekolah secara terus menerus, agar karakter yang positif
tertanam dalam setiap fikiran, perasaan, dan tindakan anak sejak dini (Megawangi
2004). Pengasuhan positif memiliki berbagai tantangan, diantaranya adalah
kemiskinan dan rendahnya pendidikan orang tua yang dapat menimbulkan
ancaman salah asuh pada anak. Hasil penelitian terkait salah asuh pada anak dapat
menyebabkan gangguan perkembangan pada anak dan hal tersebut terkait dengan
wilayah tempat bermukim yang miskin (Holden 2010; Papalia et al. 2008). Anakanak yang tinggal bersama keluarga di daerah perdesaan memiliki potensi
kemiskinan dan keterbatasan pelayanan pendidikan dibandingkan daerah
perkotaan. Profil Anak Indonesia tahun 2012, yang menyatakan bahwa masih
terdapat permasalahan terbatasnya akses pelayanan anak, terutama bagi anak yang
ada di keluarga miskin dan di masyarakat terpencil. Dampaknya dapat terlihat dari
semakin meningkatnya kasus-kasus kekerasan, jumlah anak yang bermasalah
dengan hukum, eksploitasi (termasuk trafficking), dan diskriminasi terhadap anak
(KPPA 2012).
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional
pengembangan daerah perdesaan dan pengurangan ketimpangan antar wilayah
merupakan prioritas dan arah kebijakan pembangunan yang ditujukan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Wilayah perkotaan yang terkategori sub
urban memiliki keterbatasan dalam berbagai aspek, baik secara ekonomi, sosial,
dan pelayanan pembangunan sumberdaya manusia (Budianta 2010). Kemudian
keterbatasan pelayanan distribusi di wilayah perdesaan mencakup pelayanan
ekonomi, sosial, dan pengembangan SDM tentunya terkait erat dengan
kesejahteraan dan tingkat pendidikan orang tua sebagai pengasuh utama anak.

4

Wilayah perdesaan dan perkotaan diasumsikan masih memiliki nilai-nilai
masyarakat yang mungkin berubah karena perubahan teknologi dan arus
informasi yang mudah dikases oleh anak di perkotaan dan perdesaan lewat
beragam media sehingga berkaitan dengan perkembangan karakter anak.
Keterbatasan dan perubahan yang dihadapi keluarga di perdesaan dan perkotaan
tersebut dikhawatirkan dapat menghambat pegasuhan positif bagi perkembangan
karakter anak.
Berdasarkan pemeparan sebelumnya, maka permasalahan yang ingin
dijawab dalam penelitian ini adalah ; (1) apakah terdapat perbedaan antara
kelekatan, gaya pengasuhan, dan kualitas lingkungan pengasuhan, serta karakter
anak usia prasekolah di perdesaan dan perkotaan, (2) apakah terdapat hubungan
antara kelekatan, gaya pengasuhan, dan kualitas lingkungan pengasuhan, serta
karakter anak usia prasekolah dengan karakteristik keluarga di perdesaan dan
perkotaan, (3) serta adakah pengaruh kelekatan, gaya pengasuhan, dan kualitas
lingkungan pengasuhan terhadap karakter anak usia prasekolah di perdesaan dan
perkotaan.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh kelekatan,
gaya dan kualitas lingkungan pengasuhan terhadap karakter anak usia prasekolah
di perdesaan dan perkotaan. Tujuan khusus penelitian ini adalah :
1. Menganalisis perbedaan antara kelekatan, gaya pengasuhan, dan kualitas
lingkungan pengasuhan, serta karakter anak usia prasekolah perdesaan dan
perkotaan.
2. Menganalisis hubungan antara kelekatan, gaya pengasuhan, dan kualitas
lingkungan pengasuhan, serta karakteristik keluarga dengan karakter anak usia
prasekolah di perdesaan dan perkotaan.
3. Menganalisis pengaruh kelekatan, gaya pengasuhan, dan kualitas lingkungan
pengasuhan terhadap karakter anak usia prasekolah.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi dan acuan
kepada pihak akademisi dan praktisi yang bergerak di bidang anak. Selain dapat
memberikan informasi terkait pengaruh pengasuhan terhadap karakter anak usia
prasekolah di dua wilayah yang berbeda, penelitian ini juga diharapkan mampu
memberikan gambaran akan pentingnya memperhatikan perkembangan karakter
anak sejak usia prasekolah khususnya di daerah perdesaan dan perkotaan.
Penelitian ini juga diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran dan
meningkatkan pengetahuan kepada masyarakat dan pemerintah untuk
memperhatikan dan mendukung pengasuhan positif
yang baik bagi
perkembangan karakter anak. Penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya
khasanah penelitian di bidang keluarga dan anak.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah Bagian Ilmu Perkembangan Anak,
khususnya bagian perkembangan karakter anak pada tahapan usia prasekolah.

5

2. TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Anak, Keluarga, dan Wilayah dalam Penelitian
Karakteristik anak periode usia prasekolah
Anak prasekolah menurut Papalia, Olds dan Feldman (2009), adalah anak
yang berusia mulai dari 3 sampai 6 tahun. Usia prasekolah adalah masa dimana
anak melalui transisi dari masa baduta (usia dibawah dua tahun) ke masa kanakkanak. Anak prasekolah telah memiliki hubungan yang lebih kompleks serta
bersemangat untuk melakukan eksplorasi. Kecepatan pertumbuhan dan
perkembangan anak pada usia prasekolah lebih lambat dibandingkan dengan usia
bayi, namun semua aspek perkembangan mereka tetap berkembang dengan cepat.
Pada usia ini kemajuan perkembangan empati anak meningkat, dimana anak
menjadi lebih mampu untuk membayangkan apa yang akan dirasakan oleh orang
lain.
Santrock (2009), mengungkapkan bahwa saat usia prasekolah, otak dan
kepala anak tetap berkembang pesat dibandingkan anggota tubuh yang lainya,
walaupun tidak secepat ketika ada di usia bayi. Hurlock (1990), menegaskan
bahwa tugas perkembangan saat masa prasekolah berbeda dengan periode yang
sebelumnya, dimana setiap peningkatan usia anak dihadapkan pada tugas
perkembangan yang lebih khusus dari sebelumnya dan kecepatan atau laju
pencapaian tugas perkembangan tertentu berbeda untuk setiap anak karena setiap
anak merupakan individu yang unik. Papalia, Olds dan Feldman (2009) juga
menyatakan bahwa perkembangan anak tergantung pada kematangan anak,
dimana kematangan tubuh dan otak merupakan prasyarat bagi kesiapan anak
untuk menguasai berbagai kemampuan yang baru. Anak pada masa prasekolah
adalah individu yang egosentrisme, dimana anak berasumsi bahwa orang lain
berfikir, menerima, dan merasa sebagaimana yang mereka rasakan atau lakukan.
Menurut Lickona (1994), anak usia prasekolah berada di tahapan egocentric
reasoning dimana orientasi moralnya adalah untuk mendapatkan imbalan atau
pujian dan menghindari hukuman.
Karakteristik keluarga
Keluarga merupakan lingkungan mikrosistem anak, dimana perkembangan
dan pembentukan anak dalam kehidupan sehari-hari terkait erat dengan interaksi
mereka ketika berada bersama keluarga (Berns 1997). Interaksi anak dengan
system keluarga memberikan dampak pada kelangsungan hidup anak (Santrock
2009). Orang tua sebagai individu yang berperan penting bagi perkembangan
anak, memberi makan, melindungi, dan membimbing kehidupan baru untuk anak.
Tiga faktor utama yang mempengaruhi proses pengasuhan adalah individu dan
karakteristik anak, sumberdaya psikologi, sejarah pribadi orang tua serta konteks
sosial stres dan dukungan keluarga. Kemiskinan keluarga termasuk faktor resiko
yang dapat mempengaruhi rendahnya perkembangan kesehatan, pertumbuhan,
kognitif dan sosial anak (Morris 1969 & Belsky 1984 diacu dalam Brooks 2001).
Di dalam perspektif ekologi telah menguji bahwa lingkungan fisik, sosial dan
emosional, ekonomi, dan lingkungan budaya berpengaruh pada anak (Robertsons

6

1998). Keluarga sebagai lingkungan terdekat dengan anak bertanggungjawab
untuk menyediakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak (Berns 1997).
Keluarga amat berperan terhadap perkembangan anak. Apabila keluarga
mengalami gangguan dan disfungsi tentunya akan berdampak pada anak. Pada
model stress keluarga/Family Stres Model (Conger et al. 2000 diacu dalam
Ahmed 2005) menyatakan bahwa pengalaman kemiskinan merupakan salah satu
faktor yang yang dapat menempatkan hubungan suami-istri yang kurang baik,
membawa perasaan depresi dan meningkatkan ketidakberfungsian keluarga.
Menurut Family Stres Model, keluarga berkontribusi terhadap tekanan emosional
(misalnya depresi) dan disfungsi keluarga. Distress keluarga menyebabkan
masalah dalam hubungan antara orang dewasa yang pada gilirannya,dikaitkan
dengan orang tua yang kurang efektif serta kurangnya kontrol atas perilaku anak,
kurangnya kehangatan dan dukungan, serta inkonsistensi.
Struktur keluarga juga memiliki dampak pada anak. Mayoritas anak-anak
yang berasal dari keluarga utuh, maka anak-anaknya akan memiliki akses yang
mudah untuk berinteraksi dengan orang tuanya serta, meningkatkan keterlibatan
orang tua dalam mengasuh anak dengan lebih baik. Orang tua dalam keluarga
utuh juga cenderung memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih baik jika
dibandingkan dengan orang tua dalam struktur keluarga lainnya (Falci 1997).
Keluarga dengan kedua orang tua baik ibu dan ayah yang mendapatkan
pendidikan dan kesempatan kerja akan memiliki kesejahteraan yang lebih baik
dan tidak miskin, hal tersebut dapat berdampak pada perkembangan anak.
Kemiskinan mempengaruhi perkembangan dan pendidikan anak dimulai pada
awal tahun kehidupan anak (Engle et al. 2008). Menurut penelitian Carniero et al.
(2007), juga menegasakan bahwa ibu yang berpendidikan dapat mengurangi
masalah perilaku anak, dan lebih cenderung untuk berinvestasi pada anak-anak
mereka melalui buku-buku. Penelitian lain juga menyebutkan pentingnya
keikutsertaan ayah dalam pengasuhan anak akan dapat memberikan dampak
positif bagi perkembangan anak (Cabrera et al. 2007).
Karakteristik wilayah penelitian
Menurut peraturan kepala BPS nomor 37 tahun 2010, wilayah Perdesaan
adalah status suatu wilayah administrasi setingkat desa/kelurahan yang belum
memenuhi kriteria klasifikasi wilayah perkotaan. Daerah di perdesaan yang ada
dalam penelitian ini adalah wilayah Desa Urug, tepatnya Masyarakat Kampung
Adat Urug yang termasuk dalam wilayah tradisional yang mempertahankan
budaya Suku Sunda. Masyarakatnya menganggap bahwa mereka berasal dari
keturunan Prabu Siliwangi, raja di kerajaan Pajajaran Jawa Barat. Desa Urug
berada di Kecamatan Sukajaya. Desa Urug pada awalnya merupakan Kampung
Adat Urug yang merupakan sisa peradaban masa silam yang sampai saat ini nilai–
nilai ketradisiannya masih dipertahankan. Tali tradisi budaya lama yang masih
dipegang kokoh oleh masyarakat itu adalah pola pemukiman, kekerabatan, dan
kepemimpinan. Wilayah Kampung Adat Urug ini telah berubah menjadi Desa
Urug pada tahun 2013 karena memiliki jumlah penduduk yang besar. Saat ini
jumlah penduduk di Desa Urug adalah sebanyak 4.649 orang, dengan 1.337
Kepala Keluarga (KK).
Kehidupan sehari-hari masyarakat di Desa Urug bergantung pada sistem
pertanian tradisional. Berdasarkan mata pencaharian sebanyak 464 orang

7

merupakan petani. Masyarakat umumnya memanfaatkan hutan dan lahan dalam
berbagai cara, yaitu seperti ladang, sawah, kebun, kebun talun dan talun. Adapun
hasil utama pertanian masyarakat adalah padi lokal dan biasanya sebagai rasa
syukur setiap selesai panen dilakukan pesta panen Seren Taun, walaupun wilayah
Urug telah berubah menjadi sebuah desa, namun masyaraktnya masih
mempertahankan berbagai tradisi budaya sunda seperti upacara Seren Taun,
Salametan Ngabuli (upacara tutup taun), upacara Ruwah, Salametan Maulud,
upacara Sedekah Bumi, upacara Salametan Puasa dan Lebaran, dan pemilihan
Kikolot atau pemimpin desa. Terdapat berbagai pantangan atau biasa disebut
pamali yang berkaitan dengan proses bertani dan perumahan.
Wilayah perkotaan menurut peraturan kepala BPS nomor 37 tahun 2010,
adalah status suatu wilayah administrasi setingkat desa/kelurahan yang memenuhi
kriteria klasifikasi wilayah perkotaan. Sedangkan daerah sub urban merupakan
wilayah pertemuan antara dua wilayah administrasi, namun sumberdaya alam
(natural resources) dan masyarakatnya bisa menjadi bagian komplementer pada
satu satuan sistem fungsional bagi pengembangan wilayah yang didukung oleh
sistem prasarana wilayah bersama (Budianta 2010). Daerah perkotaan yang
termasuk wilayah sub urban di dalam penelitian ini adalah wilayah Kelurahan
Situgede. Luas wilayah Kelurahan Situgede adalah 232,47 Ha dengan Jumlah
Rukun Tetangga 34 RT dan jumlah Rukun Warga 10 RW.
Kelurahan Situgede memiliki luas pemukiman 68 Ha, luas perkantoran 50
Ha, dan luas sarana umum lainnya 13,47. Jumlah Penduduk Kelurahan Situ Gede
adalah 8081 jiwa dengan Jumlah Keluarga (KK) sebanyak 2228 KK yang mata
pencaharian penduduknya adalah buruh. Jumlah RT di Kelurahan Situ Gede
adalah 34 RT dan Jumlah RW di Kelurahan Situ Gede adalah 10 RW. Penduduk
Kelurahan Situgede yang beragama Islam sebanyak 7.930 orang. Penduduk
Kelurahan Situgede yang beragama Kristen Khatolik sebanyak 11 orang.
Kelurahan ini memilki fasilitas masjid 10 buah, mushola 8 buah, dan Pondok
Pesantren 2 buah.
Pengasuhan
Pengasuhan berasal dari bahasa latin ‘parere’ yang berarti untuk
memberikan hasil yang dilakukan terus menrus. Pengasuan adalah kegiatan yang
mencakup peran yang beragam yakni, perlindungan, mencintai, disiplin, dan
mengawasi kesejahteraan anak (Holden 2010). Pengasuhan memiliki fungsi agar
anak mampu berkembang kemampuan sosialnya (Hoghughi & Long 2004).
Mengasuh anak meliputi berbagai peran termasuk melindungi, mencintai,
mendisiplinkan serta menitoring prilaku dan kesejahteraan anak (Holden 2010).
Pengasuhan juga merupakan pengetahuan, pengalaman, keahlian dalam
melakukan pemeliharaan, perlindungan, pemberian kasih sayang dan pengarahan
kepada anak. Pengasuhan adalah saat dimana orang tua memberikan sumberdaya
paling dasar kepada anak, pemenuhan kebutuhan anak, kasih sayang, memberikan
perhatian dan mengajarkan nilai-nilai kebaikan kepada anak. Pengasuhan juga
merupakan proses yang menunjukkan interaksi personal antara anak, orang tua
dan masyarakat dimana mereka tinggal (Hastuti 2008).

8

Etika pengasuhan adalah tanggungjawab dalam memberikan penjagaan,
yang terdiri atas investasi dan komitmen orang tua pada anaknya selama masa
ketergantungan anak (Bronstein 2002). Pengasuhan juga merupakan proses yang
merujuk pada serangkaian aksi dan interaksi yang dilakukan orang tua untuk
mendukung perkembangan anak (Brooks 2001). Pada perkembangan teori
pengasuhan dilihat dari beragam sudut pandang, diantaranya melalui psikologi
evolusioner, teori kelekatan (Attachment), teori pembelajaran sosial dan kognitif
sosial, teori system biologikal (Bronfenbrenner), teori kontrol, teory Vygotsky,
serta teori system keluarga. Kemudian dalam pengasuhan pun, orang tua memiliki
gaya pengasuhan yang berbeda. Gaya pengasuhan adalah serangkaian perilaku
orang tua terhadap anaknya yang dikomunikasikan untuk menciptakan iklim
emosi yang diekspresikan lewat perilaku (Leung et al. 2004). Gaya pengasuhan
terdiri dari gaya pengasuhan disiplin, pelatih emosi, serta gaya pengasuhan
penerimaan dan penolakan yang merupakan bagian dari teori pengasuhan
berdasarkan emosi.
Pengasuhan kelekatan (attachment)
Ainsworth mengatakan bahwa kelekatan adalah ikatan emosional yang
dibentuk seorang individu dengan orang lain yang bersifat spesifik, mengikat
mereka dalan suatu kedekatan yang bersifat kekal sepanjang waktu (Hetherington
& Parke 2001). Kelekatan merupakan suatu hubungan yang didukung oleh
tingkah laku lekat (attachment behavior) yang dirancang untuk memelihara
hubungan tersebut (Durkin, 1995). Kelekatan dimulai pada masa fase awal di
tahun pertama kehidupan. Menurut Ainsworth hubungan kelekatan berkembang
melalui pengalaman bayi dengan pengasuh ditahun-tahun awal kehidupannya.
Hubungan kelekatan yang baik dapat juga terbentuk sejak inisiasi dini pemberian
ASI serta proses menyusui yang dapat meningkatkan kelekatan serta
menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan anak yang lebih baik (Ervika
2005; Herawati 2003).
Kelekatan adalah suatu hubungan emosional atau hubungan yang bersifat
afektif antara satu individu dengan individu lainnya yang mempunyai arti khusus.
Hubungan yang dibina akan bertahan cukup lama dan memberikan rasa aman
walaupun figur lekat tidak tampak dalam pandangan anak. Anak yang percaya
kebutuhannya akan terpenuhi akan mengembangkan rasa percaya. Berdasarkan
kualitas hubungan anak dengan pengasuh, maka anak akan mengembangkan
konstruksi mental atau internal working model mengenai diri dan orang lain yang
akan akan menjadi mekanisme penilaian terhadap penerimaan lingkungan. Anak
yang merasa yakin terhadap penerimaan lingkungan akan mengembangkan
kelekatan yang aman dengan figur lekatnya (secure attachment) dan
mengembangkan rasa percaya tidak saja pada ibu juga pada lingkungan. Hal ini
akan membawa pengaruh positif dalam proses perkembangannya (Holden 2010).
Oleh karena itu kelekatan ibu tidak hanya menularkan kehangat secara fisik,
namun, juga kognisi dan afeksi yang dirasakan bersama. Seorang ibu dalam
pengasuhannya mengenalkan konsep moral dengan bahasa yang mudah difahami
anak, menerapkan perilaku yang mencerminkan sikap menjunjung tinggi moral
dalam kesederhanaannya sehingga mudah dijadikan internal working model bagi
karakter anak. Apabila terjadi sesuatu, seperti terdapat kesalahan dari orang tua
dalam mengasuh dan mendidik anaknya, perlu diperhatikan lebih seksama lagi

9

bagaimana dampaknya bagi anak. Pendapat ini merujuk pada uraian Megawangi
(2009) yang menjelaskan bahwa ada beberapa kesalahan orang tua dalam
mendidik anak yang dapat mempengaruhi perkembangan kecerdasan emosi anak
sehingga berakibat pada pembentukan karakternya, yaitu :
1. Kurang menunjukkan ekspresi kasih sayang baik secara verbal maupun fisik.
2. Kurang meluangkan waktu yang cukup untuk anaknya.
3. Bersikap kasar secara verbal, misainya menyindir, mengecilkan anak, dan
berkata-kata kasar.
4. Bersikap kasar secara fisik, misalnya memukul, mencubit, dan memberikan
hukuman badan lainnya.
5. Terlalu memaksa anak untuk menguasai kemampuan kognitif secara dini.
6. Tidak menanamkan "good character' kepada anak.
Kualitas lingkungan pengasuhan anak
Salah satu pengukuran praktek pengasuhan yang sering digunakan sebagai
indikator kualitas pengasuhan adalah lingkungan pengasuhan anak. Lingkungan
pengasuhan anak ini biasanya diukur dengan menggunakan HOME Inventory
(Home Observation and Measurement of Environment Inventory). Caldwell &
Bradley (1984) mengembangkan instrument HOME untuk menilai tingkat
dukungan emosional dan rangsangan kognitif yang anak dapatkan melalui
lingkungan rumah melalui kegiatan yang direncanakan dalam lingkungan
keluarga (Herring 2011). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa lingkungan
pengasuhan, yang diukur dengan menggunakan instrumen HOME Inventory,
berpengaruh dalam membangun karakter anak (Hastuti et al. 2007, Hastuti dan
Alfiasari 2008). Stimulasi psikososial merupakan bagian dari cara pengasuhan
terhadap anak yang menentukan kualitas anak.
Stimulasi psikososial yang dikembangkan oleh Caldwell dan Bradley
(1983) bertujuan untuk mengukur secara naturalistic kualitas dan kuantitas
rangsangan dan dukungan yang tersedia untuk anak di lingkungan rumahnya
(Harring 2011). HOME yang dikembangkan oelh Caldwell dan Bradley (1984)
dibedakan dalam usia 0-3 tahun, 3-6 tahun, dan lebih dari 6 tahun. EC-HOME
(Early Child HOME) digunakan pada keluarga yang memiliki anak usia 305
tahun. Versi EC-HOME berisi 55 item pertanyaan yang mengukur delapan sub
skala, dimana setiap item dijumlahkan untuk memperoleh skor sub skala.
Setengah darai data yang ada dapat dikumpulkan melalui observasi dan sisanya
memerlukan wawancara tambahan. Delapan sub skala tersebut terdiri atas
(Harring 2011) :
1. Materi pembelajaran (11 item pertanyaan)
2. Stimulasi bahasa (7 item pertanyaan)
3. Lingkungan fisik (7 item pertanyaan)
4. Responsivitas (7 item pertanyaan)
5. Stimulasi akademik (5 item pertanyaan)
6. Medeling (5 item pertanyaan)
7. Ragam (9 item pertanyaan)
8. Penerimaan (4 item pertanyaan)

10

Pengasuhan penerimaan-penolakan
Rohner sejak tahun 1986 mengemukakan gaya pengasuhan dengan
melihat dimensi kehangatan (warmth dimension) yang mencerminkan apakah
orang tua menerima atau menolak keberadaan anak. Adapun teori gaya
pengasuhan yang dikemukakan oleh Rohner adalah Parental AcceptanceRejection (PAR). Gaya pengasuhan parental acceptance menggambarkan
kehangatan, penerimaan, dan kasih sayang orang tua kepada anaknya, yang
diekspresikan baik secara fisik maupun verbal. Bentuk penerimaan yang
ditunjukkan orang tua secara fisik adalah memeluk, mencium, tersenyum,
memperdulikan, dan mendukung anak. Kemudian bentuk verbal dari orang tua
yang menerima anak adalah memberikan penghargaan, mengatakan hal yang
menyenangkan bagi anak, menyanyikan lagu ataupun membacakan cerita yang
disukai oleh anaknya. Berbeda halnya dengan parental acceptance, gaya
pengasuhan parental rejection tidak memberikan kehangatan, penerimaan, dan
kasih sayang dari orang tua kepada anak. Rohner mengemukakan tiga bentuk
parental rejection, yaitu 1) hostility and aggression, 2) indifference and neglect,
3) undifferentiated rejection (Rohner et al. 2007).
Rohner memperkenalkan teori pengasuhan penerimaan-penolakan (PAR),
dimana menurut Rohner, kehangatan orang tua termasuk dimensi penerimaan
yang berdiri di satu kutub skala dan penolakan (tidak adanya penerimaan dan
kehangatan) jatuh pada kutub yang lain. Rohner telah mendefinisikan penerimaan
dan penolakan dalam hal persepsi anak tentang perilaku orang tua. Teori PAR
mendalilkan bahwa manusia di mana-mana memiliki fundamental, filogenetis
diperoleh perlunya respon positif (yaitu persetujuan cinta, kehangatan dan kasih
sayang) dari orang-orang yang paling penting bagi mereka yakni dari orang tua
dan tokoh lainnya yang dekat dengan mereka. Hal ini perlu untuk respon positif
dasar bagi perkembangan normal dan penarikan kasih sayang cukup dengan
sendirinya untuk menghasilkan konsekuensi bagi perilaku emosional, kepribadian
dan fungsi perilaku. Menurut teori ini, apakah orang tua menerima atau menolak
anak, secara signifikan mempengaruhi pembentukan kepribadian anak dan
perkembangan mereka. Pengasuhan teori penerimaan-penolakan adalah teori
sosialisasi yang mencoba untuk menjelaskan dan memprediksi konsekuensi utama
dari penolakan untuk perilaku, kognitif, dan perkembangan emosional anak dan
untuk fungsi kepribadian dewasa di mana-mana.
Teori PAR mengatakan bahwa anak-anak yang dicintai (diterima) oleh
keluarga lebih mungkin memiliki self-esteem, empati dan kecerdasan emosi yang
lebih baik dibandingkan dengan anak yang tidak diterima oleh keluarganya (Riaz
et al. 2012). Penerimaan adalah sikap terhadap anak-anak yang dapat
dimanifestasikan dengan cara yang berbeda tergantung pada kepribadian orang
tua. Penerimaan orang tua melihat anak-anak memiliki banyak kualitas positif dan
mereka menikmati kebersamaan dengan anak-anak mereka. Orang tua yang
menerima didefinisikan sebagai mereka yang menunjukkan cinta atau kasih
sayang terhadap anak-anak secara fisik dan lisan. Semua adalah bentuk perilaku
yang secara bersama-sama dan individual cenderung mendorong anak untuk
merasa dicintai atau diterima (Demetriou & Christodoulides 2006).
Menurut Rohner penolakan diwujudkan di seluruh dunia dalam dua cara
utama, yaitu dalam bentuk permusuhan orang tua dan agresi dalam bentuk
ketidakpedulian orang tua dan pengabaian di sisi lain. Permusuhan termasuk

11

perasaan marah, dendam dan permusuhan terhadap anak, sedangkan
ketidakpedulian mengacu pada kurangnya perhatian atau minat pada anak. Orang
tua bermusuhan mungkin agresif, baik secara fisik maupun verbal, dan orang tua
acuh tak acuh yang mungkin secara fisik atau psikologis jauh dari anak-anak
mereka atau tidak dapat diakses oleh anak (mengabaikan tawaran anak-anak
mereka untuk diperhatikan, meminta bantuan dan kenyamanan) dan menjadi tidak
responsif terhadap kebutuhan anak-anak. Penolakan dinyatakan sebagai
permusuhan atau agresi dan pengabaian dinyatakan sebagai ketidakpedulian dan
penelantaran atau bahkan ketiadaan (Demetriou & Christodoulides 2006).
Karakter
Karakter merupakan bagian dari moral identitas yang menurut Carlo dan
Hardy (2011), moral identitas umumnya mengacu pada sejauh mana seseorang
dapat menjadi orang yang bermoral dan hal tersebut merupakan hal penting untuk
identitas seorang individu. Ketika seseorang yang memiliki moral identitas yang
kuat melanggar ketentuan moral tertentu, maka ia akan kehilangan harga diri,
serta menentang kepercayaan yang dipegang teguh olehnya, dimana hal tersebut
menghilangkan identitas dirinya. Menurut Moller (2009), definisi moral terkait
erat dengan aturan. Moral didefinisikan melalui aturan yang tercantum dalam
kode praktek, sebagai suatu sistem prinsip dan aturan yang diikuti oleh individu,
kelompok dan populasi serta merujuk pada apa yang diperbolehkan atau tidak
diperbolehkan terkait kewajiban yang dibagi menjadi benar dan salah. Moral juga
terkait aturan untuk bagaimana hidup dengan kewajiban. Etika adalah ajaran
tentang apa yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. Anak-anak belajar untuk
memperlakukan orang lain dengan lebih baik karena termotivasi oleh aturan dan
pembatasan, dimana individu harus belajar bagaimana mengikuti suatu aturan.
Sebelum pendekatan teori domain sosial, penelitian tentang perkembangan
moral (dalam psikologi perkembangan) tergantung terutama pada perspektif teori
global yang menggunakan tahapan. Dua teori utama yang harus diketahui adalah
teori tahapan perkembangan Piaget dan enam tahap teori Kohlberg. Menurut teori
Piaget, perkembangan moral anak-anak dipelihara melalui mengambil bagian
dalam pemecahan masalah, serta membuat keputusan dan mengambil bagian
dalam menentukan aturan berdasarkan kewajaran. Piaget percaya bahwa
perkembangan moral anak-anak berasal dari interaksi sosial. Piaget berpendapat
bahwa proses moral anak diperoleh melalui penemuan saat mengambil bagian
dalam pemecahan suatu masalah. Teori Lawrence Kohlberg didasarkan pada
karya Piaget pada perkembangan kognitif, serta pada perubahan kualitatif
bagaimana anak melakukan penalaran dan membutuhkan bimbingan.
Moral manusia menurut Lawrence Kohlberg tersusun dalam tiga tingkat
yaitu pre-conventional, conventional, dan post-conventional (Moller, 2009 ;
Santrock 2009 ; Papalia et al., 2008). Tahap pre-conventional terdiri atas dua level
yaitu heteronomous dan individualism/instrumental. Pada level heteronomous
anak cenderung egosentris dengan anggapan bahwa perasaannya dapat dimengerti
oleh orang lain sehingga moral diarahkan oleh kekuatan dan otoritas orang
tertentu. Pada level individualism/instrumental, anak mulai memahami bahwa
orang lain mempunyai kebutuhan dan pandangan yang berbeda namun moral
masih diartikan sebagai mencari sesuatu untuk dirinya sendiri dan keinginan

12

untuk mendapatkan reward. Tahap konventional terdiri atas level interpersonal
conformity, yaitu moral baik tercapai jika ia disukai orang lain, serta law and
order, yaitu moral baik adalah ketika hal tersebut sah atau legal sesuai hukum
yang berlaku. Tahap post conventional terdiri dari level social contract dan
universal ethical principles. Pada level social contract moral ditentukan oleh hakhak asasi manusia sedangkan pada level universal ethic principles, diasumsikan
adanya prinsip universal dari moral dan nurani sebagai pedoman kebajikan.
Menurut Lickona (1994), perkembangan moral melalui 5 tahapan dari
tahap 0 sampai tahap 5. Tahap 0 adalah egocentric reasoning (usia pra sekolah
sampai 4 tahun) dimana orientasi moral adalah untuk mendapatkan
imbalan/pujian dan menghindari hukuman. Tahap 1 adalah unquestioning
obedience atau fase otoritas tak berpihak dimana orientasi moral adalah
melakukan apa yang diperintahkan agar terhindar dari kesalahan atau masalah.
Tahap 2 adalah fase balas-membalas (usia sekolah dasar) yaitu fase dimana
orientasi moral adalah bersikap baik kepada orang lain yang juga baik kepada diri
sendiri, untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat tertentu. Tahap 3 adalah
interpersonal conformity (usia sekolah dasar – remaja awal) dimana orientasi
moral adalah mementingkan diri sendiri namun juga bersikap adil terhadap orang
yang juga adil kepada saya, dan juga bersikap baik agar diterima oleh orang lain
(social approval) dan merasa diri baik (self-esteem). Tahap 4 adalah tahap
responsibility to the system (usia sekolah menengah atas/remaja akhir). Dalam
fase menjaga kelompok ini, orientasi moral adalah perasaan yang harus memenuhi
kewajiban dan tanggung jawab sosial karena sadar bahwa dirinya merupakan
bagian dari sistem tersebut dan untuk mempertahankan self-respect. Tahap 5
adalah principled conscience (usia dewasa awal) atau fase universalitas (moralitas
tak berpihak). Orientasi moral pada fase ini adalah kesadaran untuk menunjukkan
tanggung jawab yang besar dan kewibawaan kepada semua orang dan mendukung
sistem yang menghormati hak asasi manusia. Kewajiban nurani adalah untuk
bertindak sesuai prinsip menghormati kepada seluruh makhluk hidup. Menurut
Lickona (1994), menjelaskan bahwa manusia yang berkarakter adalah individu
yang mengetahui tentang kebaikan (knowing the good), men