Pengaruh Kualitas Lingkungan Keluarga Dan Sekolah Terhadap Karakter Remaja Perdesaan
PENGARUH KUALITAS LINGKUNGAN KELUARGA DAN
SEKOLAH TERHADAP KARAKTER REMAJA PERDESAAN
LENI NOVITA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Pengaruh Kualitas
Lingkungan Keluarga dan Sekolah terhadap Karakter Remaja Perdesaan” adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya ini kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016
Leni Novita
NIM I251140116
RINGKASAN
LENI NOVITA. Pengaruh Kualitas Lingkungan Keluarga dan Sekolah terhadap
Karakter Remaja Perdesaan. Dibimbing oleh DWI HASTUTI dan TIN
HERAWATI.
Tingginya angka kriminalitas dan perilaku merusak diri yang diperlihatkan
oleh remaja di Indonesia merupakan permasalahan serius yang harus segera
ditangani. Hasil penelitian terdahulu menemukan bahwa anak di perdesaan
memiliki karakter yang lebih lemah dibanding anak di perkotaan. Data Polres
Kabupaten Bogor tahun 2010-2014 mencatat bahwa setidaknya sekitar 5-7 anak
usia remaja terlibat dalam kasus tindak pencabulan dan perkosaan setiap tahunnya.
Peningkatan kualitas lingkungan keluarga dan sekolah merupakan salah satu cara
yang dapat dilakukan untuk membentuk dan memperkuat karakter anak.
Akan tetapi pada kenyataannya keluarga dan sekolah masih belum mampu
menyediakan lingkungan yang berkualitas untuk pembentukan karakter anak.
Hasil survey tahun 2006 dan 2009 dibeberapa wilayah di Indonesia seperti Aceh,
Jawa, Sulawesi, dan Papua menemukan bahwa anak di perdesaan memiliki
kecenderungan yang lebih tinggi untuk menjadi korban kekerasan yang dilakukan
orang tua dibanding anak di perkotaan. Hasil survey lainnya tahun 2008-2010
dibeberapa wilayah di Indonesia seperti Sumatera, Jawa, dan Sulawesi
menemukan bahwa anak sering mengalami kekerasan yang dilakukan oleh guru
dan teman sebayanya di sekolah. Hal ini memperlihatkan bahwa lingkungan
keluarga dan sekolah, terutama di perdesaan masih jauh dari berkualitas dan
mampu membentuk karakter anak.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kualitas lingkungan
keluarga dan sekolah terhadap karakter remaja perdesaan. Kualitas lingkungan
keluarga disusun oleh lima aspek yaitu keamanan, pengajaran dan pembelajaran,
hubungan interpersonal, struktur lingkungan, dan keteladanan orang tua.
Instrumen kualitas lingkungan keluarga dikembangkan dari The Student
Comprehensive School Climate Inventory (Guo et al. 2011) dan Seven-Item
Attribute Questionnaire, Student Version (Schwartz 2007). Kualitas lingkungan
sekolah disusun oleh lima aspek yaitu keamanan, pengajaran dan pembelajaran,
hubungan interpersonal, struktur lingkungan, dan keteladanan guru. Instrumen
kualitas lingkungan sekolah dikembangkan dari The Student Comprehensive
School Climate Inventory (Guo et al. 2011) dan Seven-Item Attribute
Questionnaire, Student Version (Schwartz 2007).
Karakter dalam penelitian ini disusun oleh tiga aspek yaitu pengetahuan
moral, perasaan moral, dan tindakan moral. Instrumen karakter dikembangkan
dari Values in Action (VIA)-Youth (Peterson dan Seligman 2004). Penelitian
dilakukan di Desa Ciasihan dan Desa Ciasmara, Kecamatan Pamijahan,
Kabupaten Bogor yang dipilh secara purposive. Contoh penelitian adalah anak
SMP kelas VII dan VIII yang memiliki orang tua lengkap. Pemilihan contoh
dilakukan dengan menggunakan metode pengacakan proporsional (proportional
random sampling) dengan jumlah akhir contoh adalah 100 orang. Pengambilan
data dilakukan dengan teknik self-report dengan alat bantu kuesioner. Data yang
telah dikumpulkan dianalisis dengan analisis deskriptif, uji independent t-test, uji
korelasi, dan uji regresi linear berganda.
Karakteristik anak dan keluarga di perdesaan tidak berbeda antara anak
perempuan dan anak laki-laki. Lebih dari separuh anak memiliki orang tua dengan
tingkat pendidikan setara tamatan Sekolah Dasar. Lima puluh persen keluarga
memiliki tingkat pendapatan yang lebih rendah dari garis kemiskinan Kabupaten
Bogor. Kualitas lingkungan keluarga yaitu keamanan, pengajaran dan
pembelajaran, hubungan interpersonal, dan keteladanan orang tua berada pada
kategori menengah-rendah. Anak perempuan berada pada lingkungan keluarga
yang lebih berkualitas dibanding anak laki-laki. Kualitas lingkungan sekolah yaitu
keamanan, pengajaran dan pembelajaran, hubungan interpersonal, dan
keteladanan guru berada pada kategori menengah-rendah. Kualitas lingkungan
sekolah tidak berbeda antara anak perempuan dan anak laki-laki. Pengetahuan
moral anak berada pada kategori tinggi. Akan tetapi, perasaan moral, tindakan
moral, dan karakter anak berada pada kategori menengah-rendah. Anak
perempuan memiliki pengetahuan moral, perasaan moral, tindakan moral, dan
karakter yang lebih baik dibandingkan anak laki-laki.
Karakteristik keluarga yaitu usia ayah dan ibu serta lama pendidikan ayah
dan ibu memiliki hubungan positif dengan kualitas lingkungan keluarga dan
sekolah. Kualitas lingkungan keluarga memiliki hubungan positif dengan kualitas
lingkungan sekolah. Kualitas lingkungan keluarga dan sekolah memiliki
hubungan positif dengan pengetahuan moral, perasaan moral, tindakan moral, dan
karakter anak. Karakter anak tidak dipengaruhi oleh karakteristik anak dan
keluarga serta kualitas lingkungan sekolah, namun dipengaruhi secara positif oleh
kualitas lingkungan keluarga. Pemerintah dan LSM diharapkan dapat menerapkan
berbagai program yang membantu keluarga meningkatkan kemampuannya dalam
membangun lingkungan yang berkualitas untuk anak.
Kata Kunci: karakter anak, keluarga, pengetahuan moral, perasaan moral, sekolah,
tindakan moral
SUMMARY
LENI NOVITA. The Effect of Family and School Environments Quality on
Adolescent Character in Rural Area. Supervised by DWI HASTUTI and TIN
HERAWATI.
The escalation of adolescent’s self-destructive and criminal behavior was
one of the top issues in Indonesia. Previous research found that children in the
rural area had lower character than children in the urban area. The data from
police institution of Bogor district showed that every year since 2010-2014 around
5-7 adolescents were involved in sexual abuse and rape. The escalation of family
and school environments quality was one of the ways to establish and strengthen
characters of children.
However, many families and schools in current days are no longer able to
provide appropriate environment quality to develop characters in children.
Surveys conducted during 2006 and 2009 in some areas in Indonesia such as Aceh,
Jawa, Sulawesi, and Papua were found that children in rural area were more
vulnerable against violence by parents than children in urban area. Other surveys
during 2008-2010 in some areas in Indonesia such as Sumatera, Jawa, dan
Sulawesi were found that children are vulnerable against violence by teachers and
friends in school. It shows that family and school, especially in rural area still far
from qualified and capable for establishing and developing characters in children.
The purpose of this study was to analyze the influence of family and school
environments quality on adolescent characters in rural area. The quality of family
environment consists of five aspects: safety, teaching and learning, interpersonal
relationship, environmental-structural, and parents role model. The quality of
family environment was measured by a developed instrument from The Student
Comprehensive School Climate Inventory (Guo et al. 2011) and Seven-Item
Attribute Questionnaire, Student Version (Schwartz 2007). The quality of school
environment consists of five aspects: safety, teaching and learning, interpersonal
relationship, environmental-structural, and teacher role model. The quality of
school environment was measured by a developed instrument from The Student
Comprehensive School Climate Inventory (Guo et al. 2011) and Seven-Item
Attribute Questionnaire, Student Version (Schwartz 2007).
The character in this study consists of three aspects: moral knowing, moral
feeling, and moral acting. The characters were measured by a developed
instrument from Values in Action (VIA)-Youth (Peterson dan Seligman 2004). The
study was conducted in Desa Ciasihan and Ciasmara, Pamijahan, Bogor and it
was chosen purposively. Respondents were junior high school student in class VII
and VIII with complete parents. Samples selected by using proportional random
sampling method and 100 respondents were used in this study. Data were
collected using self-report with the questionnaire as the tools. The data collected
were analyzed with descriptive analysis, independent t-test, correlation test, and
multiple linear regression.
Child and Family characteristics were not having differences between girls
and boys. More than half of the children were having primary school graduated
parents. Half of the children were live in the family with poverty. The quality of
family environment that measured by safety, teaching and learning, interpersonal
relationship, environmental-structural, and parents role model was in the mid-low
category. Girls were in the family environment more qualified than boys. The
quality of school environment that measured by safety, teaching and learning,
interpersonal relationship, environmental-structural, and teacher role model was
also in the mid-low category. School environments quality in girls were no
different than boys. The child’s moral knowing were in the high category.
However, child’s moral feeling, moral acting, and character were in the mid-low
category. Girls had better moral knowing, moral feeling, moral acting, dan
character than boys.
The age and education of father and mother were positively correlated to
family and school environments quality. Family environment quality were
positively correlated to school environment quality. Family and school
environments quality also had positive correlation with child's moral knowing,
moral feeling, moral acting, and character. The child’s character were not
influenced by child and family characteristics and school environment quality, but
positively influenced by family environment quality. The government and NGO
could help the family to improve their skills through implementation of various
programs for the family.
Keywords: child’s character, family, moral acting, moral feeling, moral knowing,
school
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PENGARUH KUALITAS LINGKUNGAN KELUARGA DAN
SEKOLAH TERHADAP KARAKTER REMAJA PERDESAAN
LENI NOVITA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
Pada
Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Diah Krisnatuti Pranadji, MS
JudulPenelitian
Nama
NIM
: Pengaruh Kualitas Lingkungan Keluarga dan Sekolah
terhadap Karakter Remaja Perdesaan
: Leni Novita
: I251140116
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr Ir Dwi Hastuti, MSc
Ketua
Dr Tin Herawati, SP, MSi
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Herien Puspitawati, MSc, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian: 05 Januari 2016
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Pengaruh
Kualitas Lingkungan Keluarga dan Sekolah terhadap Karakter Remaja Perdesaan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu
penulis selama penulisan karya ilmiah ini, yaitu kepada:
1. Dr Ir Dwi Hastuti, MSc selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr Tin
Herawati, SP, MSi selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah
membimbing, mengarahkan, dan memberikan wawasan pengetahuan yang
sangat bermanfaat dalam penyelesaian tesis ini.
2. Dr Ir Diah Krisnatuti Pranadji, MS selaku dosen penguji luar komisi dan Dr Ir
Herien Puspitawati, MSc, MSc selaku ketua program studi Ilmu Keluarga dan
Perkembangan Anak yang telah mengarahkan dan memberikan masukan
yang sangat bermanfaat dalam penyelesaian tesis ini.
3. Tim Penelitian Hibah Kompetensi tahun 2015 dengan judul “Model
Pendidikan Karakter Anak pada Keluarga Perdesaan Berbasis Family and
School Partnership” yakni Dr Ir Dwi Hastuti, MSc dan Alfiasari, SP, MSi,
yang telah mengikutsertakan penulis dalam penelitian tersebut, sehingga
penulis mampu mengumpulkan data penelitian.
4. Kedua orang tua penulis, Bapak Bujang dan Ibu Gusneli, serta adik penulis
Muhammad Firdaus atas doa, dukungan, cinta dan kasih sayangnya.
5. Pemerintah Desa, Pihak sekolah, serta masyarakat di Desa Ciasihan dan Desa
Ciasmara, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor.
6. Teman-teman satu bimbingan Zervina Rubyn D.S, SSi dan Rety Puspitasari,
SPd, serta teman-teman Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak 2013 atas
dukungan selama proses penyelesaian tesis ini.
7. Tri Susandari, SSi, Yunita Tri Lestari, SSi, dan Zulfitra Utami Putri, SKH,
atas dukungan selama penulis menjadi mahasiswa program pascasarjana
hingga penyelesaian studi.
8. Teman-teman enumerator penelitian Hibah Kompetensi 2015 atas kerja sama
dan dukungannya selama proses persiapan dan pengambilan data penelitian.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2016
Leni Novita
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xvii
DAFTAR GAMBAR
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
xvii
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
1
1
3
4
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
Teori
Teori Sistem Ekologi Brofenbrenner
Teori Pembelajaran Sosial Albert Bandura
Kualitas Lingkungan Keluarga
Kualitas Lingkungan Sekolah
Karakter
5
5
5
6
7
9
10
3 KERANGKA PEMIKIRAN
11
4 METODE PENELITIAN
Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian
Teknik Penarikan Contoh
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Pengolahan dan Analisis Data
Definisi Operasional
14
14
14
15
15
19
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
Karakteristik Anak dan Keluarga
Kualitas Lingkungan Keluarga
Kualitas Lingkungan Sekolah
Karakter Anak
Hubungan Karakteristik Anak dan Keluarga, Kualitas Lingkungan
Keluarga dan Sekolah, dan Karakter Anak
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Karakter
Tipologi Karakter berdasarkan Kualitas Lingkungan Keluarga dan
Kualitas Lingkungan Sekolah
PEMBAHASAN
20
20
20
21
23
24
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
38
38
39
DAFTAR PUSTAKA
40
LAMPIRAN
45
27
30
30
35
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Variabel penelitian, skala data, dan konsep instrumen
Reliabilitas dan validitas kuesioner
Pengolahan data kualitas lingkungan keluarga, kualitas lingkungan
sekolah, dan karakter
Nilai rata-rata dan standar deviasi usia anak
Nilai rata-rata dan standar deviasi karakteristik keluarga
Nilai rata-rata dan standar deviasi kualitas lingkungan keluarga
Nilai rata-rata dan standar deviasi kualitas lingkungan sekolah
Nilai rata-rata dan standar deviasi pengetahuan moral
Nilai rata-rata dan standar deviasi perasaan moral
Nilai rata-rata dan standar deviasi tindakan moral
Nilai rata-rata dan standar deviasi karakter anak
Nilai koefisien korelasi antar karakteristik anak dan keluarga, kualitas
lingkungan keluarga dan sekolah, dan karakter
Pengaruh karakteristik anak dan keluarga, kualitas lingkungan keluarga,
dan sekolah terhadap karakter anak
15
16
17
20
21
22
24
25
26
27
27
31
30
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
Lingkungan pembelajaran anak dalam pandangan teori sistem
Model sistem ekologi Bronfenbrenner
Model pembelajaran sosial Albert Bandura
Kerangka pemikiran
Teknik penarikan contoh
Tipologi karakter berdasarkan dua level (menengah-rendah dan tinggi)
indikator kualitas lingkungan keluarga dan sekolah
7 Sebaran pengetahuan moral berdasarkan dua level (menengah-rendah
dan tinggi) indikator kualitas lingkungan keluarga dan sekolah
8 Sebaran perasaan moral berdasarkan dua level (menengah-rendah dan
tinggi) indikator kualitas lingkungan keluarga dan sekolah
9 Sebaran tindakan moral berdasarkan dua level (menengah-rendah dan
tinggi) indikator kualitas lingkungan keluarga dan sekolah
10 Sebaran karakter berdasarkan dua level (menengah-rendah dan tinggi)
indikator kualitas lingkungan keluarga dan sekolah
5
6
7
13
14
31
32
33
34
35
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
Minimum, maksimum, dan standar deviasi variabel penelitian
Sebaran pendidikan dan pendapatan keluarga
Sebaran pekerjaan orang tua berdasarkan jenis kelamin anak
Sebaran variabel penelitian berdasarkan kategori menengah-rendah dan
tinggi
46
47
47
48
5
6
7
8
9
Sebaran anak berdasarkan kualitas lingkungan keluarga
Sebaran anak berdasarkan kualitas lingkungan sekolah
Sebaran anak berdasarkan pengetahuan moral
Sebaran anak berdasarkan perasaan moral
Sebaran anak berdasarkan tindakan moral
49
61
72
74
76
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Usia remaja adalah periode puncak dari pencarian identitas diri
individu, dan keberhasilan pada periode ini akan menentukan tingkat
komitmen individu terhadap dirinya (Miller 2011; Santrock 2011). Remaja
dengan identitas diri yang kuat dilaporkan menunjukkan perilaku prososial
yang tinggi dan perilaku asosial yang rendah (Hardy et al. 2010; Hardy dan
Walker 2013). Akan tetapi pada kenyataannya di Indonesia, data BPS
(2010) menunjukkan bahwa 60 persen dari keseluruhan remaja nakal
melakukan tindak pidana pencurian, 9.5 persen mengonsumsi narkoba, 6
persen melakukan perkosaan/pencabulan, dan 4 persen melakukan
penganiayaan dan pengeroyokan. Penelitian yang dilakukan oleh Karina et
al. (2013), Hastuti et al. (2013), dan Dewanggi (2014) menemukan bahwa
anak laki-laki memiliki karakter yang lebih lemah dari anak perempuan.
Penelitian-penelitian terdahulu menemukan bahwa anak laki-laki lebih
rentan untuk memiliki perilaku-perilaku negatif dibanding dengan anak
perempuan. Hal ini memperlihatkan bahwa karakter remaja di Indonesia
masih sangat lemah.
Lemahnya karakter remaja di Indonesia dapat terjadi karena semakin
memudarnya nilai-nilai positif di masyarakat akibat arus globalisasi dan
kemajuan teknologi, sehingga semakin rendah kemungkinan anak untuk
mempelajari nilai-nilai positif dari masyarakat (Britz 2008; Puspitawati
2009; Şahinkayasi dan Kelleci 2013). Penguatan karakter pada remaja
merupakan agenda penting yang harus menjadi fokus perhatian saat ini.
Teori ekologi menyatakan bahwa perkembangan individu tidak dapat
dilepaskan dari konteks lingkungan dimana individu berada karena individu
merupakan bagian dari sebuah sistem yang luas (keluarga, komunitas, dan
masyarakat) (Darling 2007; Glassman dan Hadad 2009). Teori pembelajaran
sosial menyatakan pentingnya peran lingkungan dalam pembentukan
perilaku, dan pentingnya pembelajaran mengenai perilaku dengan
mengamati orang lain di lingkungan (Miller 2011). Lingkungan keluarga
dan sekolah merupakan dua lingkungan paling dekat yang berinteraksi
dengan anak, dan bertanggung jawab terhadap pembentukan karakter anak
(Ryan dan Lickona 1992; Lickona 1992; Narvaez 2008).
Anak mempelajari moral melalui pengamatan dan hubungan langsung
dengan orang dewasa yang ada di sekitarnya (Narvaez 2008; Sanderse 2013).
Perilaku-perilaku baik dipelajari dengan mengamati orang lain di dalam
konteks sosial di kehidupan sehari-hari (Ponzetti 2005). Pengalaman yang
dimiliki individu dalam interaksinya dengan lingkungan seperti keluarga
dan sekolah dapat membantu membentuk identitas moral individu (Lapsley
2008; Narvaez dan Lapsley 2009). Karakter anak dapat terbentuk ketika
orang dewasa yang berada di sekitar anak mampu menciptakan lingkungan
positif (aman secara sosial, emosi dan fisik; penuh kehangatan dalam
interaksi) yang memungkinkan anak untuk membangun karakter (Narvaez
2008; Sojourner 2014). Keluarga dan sekolah merupakan dua lingkungan
2
yang sangat efektif di dalam memengaruhi pembentukan kepribadian
individu (Küçük et al. 2012).
Lingkungan keluarga memegang peranan penting dalam membentuk
dan mengarahkan perkembangan mental dan perilaku individu dengan
memberikan contoh berbagai pola perilaku yang sesuai (Ponzetti 2005;
Küçük et al. 2012). Keluarga menyediakan lingkungan yang penting bagi
individu untuk melatih potensi moral yang dimilikinya, sehingga
pengalaman individu dalam keluarga memiliki peran penting bagi
perkembangan moral individu (Ponzetti 2005). Hubungan positif dalam
keluarga dan tingginya aktivitas orang tua-anak merupakan prediktor bagi
pembentukan karakter remaja, dan faktor protektif bagi remaja terhadap
berbagai pengaruh buruk dari lingkungan di luar keluarga (Ryan dan
Lickona 1992; Walker 1999; Cobb 2001; Brooks 2001). Hasil penelitian
Nakao et al. (2000) pada 150 anak usia rata-rata 13 tahun di Osaka, Jepang
menunjukkan bahwa lingkungan keluarga (status sosial-ekonomi; gaya
pengasuhan dan keterlibatan orang tua dalam pengasuhan) memengaruhi
pembentukan sifat atau kepribadian anak. Orang tua adalah guru pertama
yang berperan sebagai teladan bagi anak dalam berperilaku (Ponzetti 2005).
Hasil penelitian Marjohan (2014) pada 70 siswa kelas V dan VI Sekolah
Dasar di Kabupaten Pati, Jawa Tengah menunjukkan bahwa keteladanan
orang tua memiliki hubungan positif dengan perilaku prososial pada anak.
Selain itu, sekolah dengan lingkungan yang positif (lingkungan yang
penuh dengan kepedulian dan rasa hormat; aman secara sosial, emosi, dan
fisik) memungkinkan anak untuk tidak hanya mempelajari kemampuan
akademik tetapi juga keterampilan sosial, sehingga sekolah dengan
lingkungan yang positif mampu menurunkan risiko munculnya berbagai
perilaku negatif pada anak (Lehr 2005; Wang et al. 2010; Aldridge dan
Ala’l 2013; Sojourner 2014). Lingkungan sekolah yang positif memiliki
pengaruh positif terhadap perkembangan penghargaan diri anak (selfesteem), berhubungan dengan perkembangan konsep diri anak (self-concept),
efektif dalam mencegah terjadinya kekerasan di sekolah, serta mampu untuk
mendorong perkembangan yang sehat pada anak (Cohen et al. 2009). Hasil
penelitian Payne et al. (2003) pada guru dan siswa dari 254 sekolah
menengah di Amerika menunjukkan bahwa komunitas sekolah yang positif
dan kelekatan siswa dengan sekolah mampu meningkatkan keterikatan
siswa terhadap sekolah dan mampu menurunkan tingkat kenakalan pada
siswa. Guru adalah orang dewasa yang setiap hari berhubungan dengan anak
dan juga berperan penting dalam perkembangan karakter anak (Narvaez
2008). Contoh atau teladan yang diberikan guru dapat membantu anak
menginternalisasikan dan mengaplikasikan nilai-nilai moral dalam
kehidupan sehari-hari (Lumpkin 2008). Hasil penelitian Yancey et al.
(2010) pada 4 010 remaja usia 12-17 tahun di California, Amerika
menunjukkan bahwa anak cenderung memiliki perilaku positif ketika
mereka menjadikan guru sebagai teladan dalam berperilaku.
Lingkungan yang positif dimana anak tinggal dan keteladan yang
diterima anak merupakan prediktor yang dapat memengaruhi pembentukan
karakter anak. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
pengaruh kualitas lingkungan keluarga dan sekolah terhadap karakter remaja.
3
Perumusan Masalah
Tingginya angka kriminalitas dan perilaku merusak diri yang
diperlihatkan oleh remaja di Indonesia merupakan permasalahan serius yang
harus segera ditangani (BPS 2010; UNICEF 2014). Penelitian Hastuti et al.
(2012; 2013) menemukan bahwa remaja di Kota dan Kabupaten Bogor
memiliki kemungkinan yang cukup tinggi untuk memiliki perilaku asosial
seperti terlibat pornografi, tawuran, game online, minuman beralkohol,
penggunaan narkoba, merokok, dan bullying. Data Polres Kabupaten Bogor
tahun 2010-2014 mencatat bahwa setidaknya sekitar 5-7 anak usia remaja
terlibat dalam kasus tindak pencabulan dan perkosaan setiap tahunnya.
Penelitian Dewanggi (2014) menemukan bahwa anak di perdesaan memiliki
skor indeks karakter yang lebih rendah dibanding anak di perkotaan. Data
tahun 2003-2013 memperlihatkan bahwa sekitar 50 persen kasus bullying,
34 persen kasus physical fights, dan 40 persen kasus physical attacks terjadi
diantara anak remaja usia 13-15 tahun di Indonesia, dan angka tersebut lebih
tinggi dari Malaysia (21% bullying dan 30% physical fights), Vietnam (26%
bullying dan 22% physical fights), dan Thailand (27% bullying, 34%
physical fights, dan 33% physical attacks) (UNICEF 2014). Peningkatan
kualitas lingkungan keluarga dan kualitas lingkungan sekolah merupakan
salah satu cara yang dapat dilakukan untuk membentuk dan memperkuat
karakter remaja. Akan tetapi pada kenyataannya, keluarga dan sekolah
masih belum mampu menyediakan lingkungan yang berkualitas untuk
pembentukan karakter anak.
Anak yang berasal dari lingkungan keluarga yang tidak berkualitas
(hubungan dalam keluarga tidak baik, tidak memberikan dukungan dan
kurang menghargai anak, serta cenderung melakukan kekerasan) memiliki
kecenderungan yang tinggi untuk memiliki permasalahan perilaku seperti
terlibat perkelahian dan tawuran, penggunaan obat-obatan dan minuman
keras, serta pornografi dan free sex (Puspitawati 2009). Penelitian
Rahmawati (2014) menunjukkan bahwa remaja di Bogor masih sangat
rentan terhadap kekerasan verbal dari kedua orang tua. Survey tahun 2006
dan 2009 dibeberapa wilayah di Indonesia seperti Aceh, Jawa, Sulawesi,
dan Papua menemukan bahwa anak di perdesaan memiliki kecenderungan
yang lebih tinggi untuk menjadi korban kekerasan yang dilakukan orang tua
dibanding anak di perkotaan (UNICEF 2011). Anak yang menjadi korban
kekerasan memiliki kecenderungan yang tinggi untuk memiliki
permasalahan perilaku (Küçük et al. 2012). Di sisi lain, fenomena kedua
orang tua bekerja yang semakin berkembang di Indonesia dapat memiliki
dampak negatif terhadap anak. Anak dari keluarga dengan kedua orang tua
bekerja memiliki kecenderungan yang tinggi untuk tidak mendapatkan
stimulasi emosi yang optimal bagi pembentukan karakter (Narvaez 2008).
Hal ini memperlihatkan bahwa keluarga di Indonesia sudah tidak lagi
menjadi tempat yang aman dan mampu membentuk karakter anak.
Anak yang berasal dari lingkungan sekolah yang tidak berkualitas
(fasilitas sekolah kurang memadai, guru kurang membina dan mengawasi
siswa, serta aturan dan norma kurang diterapkan) memiliki kecenderungan
yang tinggi untuk memiliki permasalahan perilaku seperti terlibat
4
perkelahian dan tawuran, penggunaan obat-obatan dan minuman keras, serta
pornografi dan free sex (Puspitawati 2009). Data Komisi Perlindungan Anak
Indonesia tahun 2008 menunjukkan bahwa dari 600 kasus kekerasan yang
terjadi pada anak, 11.5 persennya dilakukan oleh guru (UNICEF 2012).
Hasil penelitian Puspitawati et al. (2013) menemukan bahwa anak di Kota
Bogor masih rentan terhadap kekerasan yang terjadi di sekolah. Survey
tahun 2008-2010 dibeberapa wilayah di Indonesia seperti Sumatera, Jawa,
dan Sulawesi menemukan bahwa anak sering mengalami kekerasan baik
fisik, verbal, psikologis maupun seksual yang dilakukan oleh guru dan
teman sebayanya di sekolah (UNICEF 2011). Hal ini memperlihatkan
bahwa sekolah di Indonesia sudah tidak lagi menjadi tempat yang aman dan
mampu membentuk karakter anak.
Data-data di atas memperlihatkan bahwa lingkungan dimana anak
tinggal dan beraktivitas masih jauh dari berkualitas dan mampu membentuk
karakter anak. Hal ini memperlihatkan betapa pentingnya dilakukan
penelitian untuk melihat pengaruh kualitas lingkungan keluarga dan sekolah
terhadap karakter remaja. Pertanyaan penelitian yang ingin di jawab oleh
penelitian ini adalah apakah lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah
yang berkualitas dapat membangun karakter yang baik pada remaja di
perdesaan?
Tujuan Penelitian
Tujuan umum:
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis pengaruh
kualitas lingkungan keluarga dan sekolah terhadap karakter remaja
perdesaan
Tujuan khusus:
1. Menganalisis perbedaan karakteristik anak dan keluarga, kualitas
lingkungan keluarga dan sekolah, dan karakter anak berdasarkan jenis
kelamin anak
2. Menganalisis hubungan antar karakteristik anak dan keluarga, kualitas
lingkungan keluarga dan sekolah, dan karakter anak
3. Menganalisis pengaruh karakteristik anak dan keluarga, kualitas
lingkungan keluarga dan sekolah terhadap karakter anak
4. Memetakan tipologi karakter berdasarkan kualitas lingkungan keluarga
dan sekolah
Manfaat Penelitian
Penelitian mengenai pengaruh kualitas lingkungan keluarga dan
sekolah terhadap karakter remaja diharapkan dapat menjadi acuan dan
pertimbangan bagi pihak-pihak seperti KPPPA, KPAI, dan Kemendikbud
dalam membuat peraturan dan program yang berkaitan dengan anak,
terutama dalam membangun karakter yang baik pada anak. Penelitian ini
diharapkan mampu memberikan gambaran kepada masyarakat dan
pemerintah, terutama keluarga dan sekolah mengenai pentingnya
membangun lingkungan keluarga dan sekolah yang berkualitas bagi
5
pembentukan karakter anak. Penelitian ini juga diharapkan dapat
berkontribusi bagi pengembangan keilmuan di bidang anak dan keluarga.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Teori
Teori Sistem Ekologi Brofenbrenner
Teori sistem menekankan bahwa lingkungan pembelajaran anak
disusun oleh berbagai subsistem yang saling berhubungan antara satu
dengan yang lain sebagai satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan
(Hirsto 2001). Gambar 1 memperlihatkan lingkungan pembelajaran anak
dalam pandangan teori sistem.
Konteks budaya
Konteks keluarga
Rumah sebagai lingkungan
pembelajaran
Orang tua
Anak
Guru
Kelas sebagai lingkungan
pembelajaran
Konteks sekolah
Gambar 1 Lingkungan pembelajaran anak dalam pandangan teori sistem
(Hirsto 2001)
Pendekatan sistem merupakan inti dari teori Ekologi Bronfenbrenner
(Hirsto 2001). Teori ekologi menyatakan bahwa perkembangan individu
tidak dapat dilepaskan dari konteks lingkungan dimana individu berada
karena individu merupakan bagian dari sebuah sistem yang luas (keluarga,
komunitas, masyarakat, dan lainnya) (Darling 2007; Glassman dan Hadad
2009). Sistem ini terdiri atas lima subsistem yang dapat mendukung dan
mengarahkan perkembangan individu, yaitu mikrosistem, mesosistem,
eksosistem, makrosistem, dan kronosistem (Bronfenbrenner 1994; Hirsto
2001; Santrock 2011). Mikrosistem adalah lingkungan yang paling dekat
yang berinteraksi dan memengaruhi anak secara langsung seperti keluarga,
sekolah, tetangga, kelompok agama, teman, dan sebagainya. Mesosistem
adalah lingkungan yang terdiri atas gabungan dari dua atau lebih
mikrosistem seperti hubungan antara keluarga dan sekolah. Eksosistem
adalah lingkungan yang tidak memberikan pengaruh langsung kepada anak
6
atau tidak ada keterlibatan langsung dari anak seperti hubungan antara
keluarga dan tempat kerja orang tua. Makrosistem adalah lingkungan yang
melibatkan mikrosistem, mesosistem, dan eksosistem dalam sebuah budaya
yang melibatkan sistem kepercayaan, kebiasaan, gaya hidup, dan sebagainya
yang tertanam pada setiap sistem. Kronosistem terdiri atas pola dari
peristiwa dan perubahan di lingkungan, serta keadaan sosial-sejarah di
sepanjang siklus kehidupan (Bronfenbrenner 1994; Hirsto 2001; Cobb 2001;
Santrock 2011). Gambar 2 memperlihatkan model ekologi Bronfenbrenner.
Gambar 2 Model sistem ekologi Bronfenbrenner
Teori Ekologi menyatakan bahwa anak dan konteks lingkungan saling
memengaruhi satu sama lain di dalam interaksinya sebagai sebuah proses
yang mendorong perkembangan anak. Perkembangan yang efektif akan
terjadi ketika individu terlibat di dalam sebuah aktivitas yang rutin dan
dalam periode waktu yang lama, yang melibatkan interaksi timbal balik
antara individu dan konteks lingkungan. Teori ekologi menggambarkan
perkembangan individu ke dalam sebuah model dengan empat elemen yaitu
process-person-context-time model (Bronfenbrenner dan Morris 1998;
Bronfenbrenner 1999; Tudge et al. 2009; Miller 2011).
Teori Pembelajaran Sosial Albert Bandura
Teori pembelajaran sosial menyatakan bahwa anak mempelajari
pengetahuan, perasaan, dan perilaku melalui proses pengamatan terhadap
satu atau lebih model. Pembelajaran terhadap perilaku yang dilakukan
melalui pengamatan merupakan cara yang paling efektif untuk membentuk
perilaku yang lebih kompleks pada anak. Teori pembelajaran sosial
menekankan pada pentingnya pengaruh lingkungan terhadap perilaku, dan
pentingnya pembelajaran mengenai perilaku dengan mengamati orang lain
di dalam lingkungan. Perkembangan individu terjadi dalam suatu sistem
7
budaya yang luas dimana individu berkembang dengan mengamati orang
lain dan terlibat dalam aktivitas bersama dengan mereka. Pembelajaran
terhadap perilaku dapat terjadi ketika anak memiliki perhatian terhadap
model dari perilaku. Perhatian anak terhadap model dari perilaku dapat
terjadi ketika anak diberikan banyak kesempatan untuk melihat perilaku
tersebut. Keterlibatan anak di dalam aktivitas yang memungkinkan mereka
untuk mempraktekkan perilaku yang telah diamati merupakan cara untuk
meningkatkan pengaruh model dari perilaku. Model pembelajaran sosial
melibatkan tiga komponen yang saling memengaruhi satu sama lain, yaitu
individu (person), perilaku (behavior), dan lingkungan (environment)
(Salkind 1985; Miller 2011; Santrock 2011; Sanderse 2013). Gambar 3
memperlihatkan model pembelajaran sosial Albert Bandura.
Perilaku
Individu
Lingkungan
Gambar 3 Model pembelajaran sosial Albert Bandura (Santrock 2011)
Teori pembelajaran sosial memandang bahwa perkembangan moral
individu terjadi ketika individu secara aktif membangun standar perilaku
melalui pengamatan terhadap orang lain (Salkind 1985; Bandura 1991;
Miller 2011). Anak mempelajari moral melalui pengamatan dan hubungan
langsung dengan orang dewasa yang ada di sekitarnya (Narvaez 2008;
Sanderse 2013). Perilaku-perilaku baik dipelajari dengan mengamati orang
lain di dalam konteks sosial di kehidupan sehari-hari (Ponzetti 2005).
Pengamatan yang dilakukan terhadap model berfungsi sebagai: (1) sumber
informasi mengenai konsekuensi dari perilaku yang dapat mengoptimalkan
proses pembelajaran, dan (2) sumber motivasi yang dapat mengarahkan
perilaku melalui pengalaman orang lain terhadap konsekuensi dari suatu
perilaku. Teori pembelajaran sosial menekankan bahwa pembelajaran
terhadap perilaku dapat terjadi tanpa perlu adanya hubungan langsung
dengan model atau tanpa perlu adanya penguatan langsung (vicarious
learning). Hal inilah yang menjelaskan mengapa individu dapat
mengakuisisi beragam perilaku baru tanpa perlu mengalami secara langsung
konsekuensi dari perilaku tersebut (Salkind 1985).
Kualitas Lingkungan Keluarga
Keluarga memegang peranan penting di dalam pembentukan
kepribadian individu, sehingga sistem yang dibangun dalam keluarga akan
menentukan keberfungsian keluarga dalam menjalankan perannya (Küçük et
8
al. 2012). Interaksi orang tua dan anak di dalam keluarga mampu
memfasilitasi perkembangan moral anak (Walker 1999). Perkembangan
moral merupakan sebuah hasil dari pengalaman pembelajaran yang
didapatkan dalam keluarga seperti pengajaran mengenai cara membangun
hubungan dengan orang lain dan cara menghadapi dunia (Ponzetti 2005).
Pengajaran nilai-nilai moral yang dilakukan orang tua memberikan anak
kesempatan untuk menggunakan moral reasoning-nya dalam memilih untuk
melakukan tindakan yang benar dibandingkan tindakan yang salah (Lickona
1994).
Terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan di dalam
membangun lingkungan yang positif bagi perkembangan moral anak, yaitu:
(1) keamanan (physical dan social-emotional), (2) hubungan (respect for
diversity, family community, dan morale and connectedness), (3) pengajaran
dan pembelajaran (quality of instruction dan social, emotional, and ethical
learning), dan (4) lingkungan (environmental-structural) (Cohen et al.
2009; Thapa et al. 2012). Keluarga yang mampu untuk membangun
lingkungan yang positif, seperti memberikan cinta, perhatian dan kasih
sayang, menerapkan peraturan yang jelas di rumah (tidak permisif), dan
demokratis kepada anak (selalu bersedia untuk mendengarkan anak) mampu
meningkatkan penghargaan diri anak (self-esteem) sehingga anak kuat
dalam menghadapi pengaruh negatif dari lingkungan di luar keluarga
(Lickona 1994; Brooks 2001; Bornstein 2002).
Orang tua adalah guru pertama untuk anak yang berperan sebagai
teladan untuk perilaku-perilaku baik (Lickona 1994; Ponzetti 2005; Oladipo
2009). Komitmen yang ditunjukkan orang tua sebagai model dalam
berperilaku memiliki pengaruh yang kuat terhadap perasaan anak pada
orang tua sebagai teladan perilaku (Lickona 2008). Orang tua merupakan
model yang paling nyata dan terus menerus bagi anak dalam berperilaku
yang berhubungan dengan perkembangan karakternya (Oladipo 2009).
Orang tua adalah model yang sangat penting untuk anak karena anak
memiliki pandangan yang tinggi terhadap orang tua dan memiliki keinginan
untuk seperti mereka (Salkind 1985). Keteladanan yang ditunjukkan orang
tua tidak hanya berkaitan dengan bagaimana memperlakukan anak, tetapi
juga bagaimana orang tua memperlakukan orang dewasa lain,
memperlakukan orang lain yang bukan anggota keluarga (contoh teman,
tetangga, bahkan orang asing), serta bagaimana menjalankan hidup (Lickona
1994).
Schwartz (2007) menuliskan bahwa model karakter bagi anak perlu
memiliki beberapa karakteristik, yaitu: 1) memiliki komitmen yang kuat
terhadap prinsip-prinsip moral, 2) bertindak dengan didasarkan pada
prinsip-prinsip moral (konsistensi diantara tindakan dan niat, dan diantara
tujuan awal dan akhir dari tindakan), 3) bersedia untuk mengorbankan
keinginan pribadi untuk kepentingan prinsip-prinsip moral, dan 4) menjadi
inspirasi bagi orang lain untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip
moral.
9
Kualitas Lingkungan Sekolah
Lingkungan sekolah adalah karakter dan kualitas kehidupan sekolah
yang didasarkan pada norma dan nilai-nilai, hubungan interpersonal, praktek
belajar-mengajar, dan strukur lingkungan di sekolah (Cohen et al. 2009).
Faktor-faktor yang membangun dan membentuk karakter dan kualitas
kehidupan sekolah: (1) keamanan (physical dan social-emotional), (2)
hubungan (respect for diversity, school community, dan morale and
connectedness), (3) pengajaran dan pembelajaran (quality of instruction dan
social, emotional, and ethical learning), dan (4) lingkungan (environmentalstructural) (Cohen et al. 2009; Thapa et al. 2012). Sekolah dengan
lingkungan yang positif tidak hanya memungkinkan siswa untuk
mempelajari kemampuan akademik, tetapi juga keterampilan sosial (empati
dan kontrol diri) yang diperlukan untuk sukses di dalam kehidupan
(Sojourner 2014). Lingkungan sekolah yang terdiri atas seperangkat kondisi
seperti lingkungan dan tempat baru, pengalaman baru dengan teman dan
guru, dan lainnya dapat memengaruhi perkembangan dan kepribadian siswa
(Brand 2009; Küçük et al. 2012). Lingkungan sekolah yang positif terbukti
dapat menurunkan risiko terjadinya kekerasan di sekolah (Sojourner 2014),
menurunkan permasalahan perilaku (Wang et al. 2010), dan meningkatkan
tingkat kehadiran siswa di sekolah (Lehr 2005).
Keteladanan guru adalah bagaimana sifat-sifat baik yang ditampilkan
oleh guru dalam bentuk perilaku dapat memengaruhi perkembangan
karakter anak (Schwartz 2007). Anak mempelajari moral karakter melalui
pengamatan dan hubungan langsung dengan orang dewasa yang ada
disekitarnya, dan pendidik merupakan salah satu orang dewasa yang setiap
hari melakukan interaksi dengan anak (Narvaez 2008). Karakteristik dari
guru yang dapat dilihat sebagai teladan bagi moral karakter, yaitu: 1)
memiliki komitmen yang kuat terhadap prinsip-prinsip moral, 2) bertindak
dengan didasarkan pada prinsip-prinsip moral (konsistensi diantara tindakan
dan niat, dan diantara tujuan awal dan akhir dari tindakan), 3) bersedia
untuk mengorbankan keinginan pribadi untuk kepentingan prinsip-prinsip
moral, dan 4) menjadi inspirasi bagi orang lain untuk bertindak sesuai
dengan prinsip-prinsip moral (Schwartz 2007).
Guru adalah teladan utama dan pertama bagi anak di sekolah, dan
berperan penting di dalam menanamkan karakter pada anak sampai anak
mampu untuk melakukan pengaturan diri secara mandiri (self-regulation)
(Narvaez 2008). Guru membantu anak untuk menginternalisasikan nilainilai moral (kejujuran, kepercayaan, keadilan, rasa hormat, dan tanggung
jawab) dengan cara memberikan contoh dan secara terus menerus
memperkuat apa yang dianggap benar dan salah kepada anak (Lumpkin
2008). Anak yang menjadikan guru sebagai teladan lebih cenderung
memperlihatkan perilaku positif dan menghindari perilaku-perilaku yang
merusak (merokok, minum-minuman keras, dan penggunaan obat terlarang)
(Yancey et al. 2010). Hasil penelitian Küçük et al. (2012) menemukan
bahwa siswa akan menjadikan guru sebagai teladan ketika guru
menunjukkan perhatian dan persahabatan dengan siswa.
10
Karakter
Karakter adalah pola perilaku yang konsisten yang berorientasi pada
pengembangan diri dan pengaturan emosi sebagai sebuah bentuk tanggung
jawab kepada diri sendiri dan orang lain (Holmgren 2004; Schwartz 2007).
Karakter juga dapat didefinisikan sebagai sifat-sifat positif yang
menggambarkan pengetahuan, perasaan, dan perilaku individu (Park et al.
2004). Karakter merupakan hasil dari penilaian individu yang
menggambarkan keadaan lingkungannya seperti etika, aturan, dan nilai
sosial (Küçük et al. 2012). Seseorang dikatakan memiliki karakter yang baik
apabila tindakan yang dilakukannya sesuai dengan nilai-nilai yang dipegang
oleh masyarakat, serta dapat memberikan mafaat tidak hanya bagi diri
sendiri tetapi juga bagi orang lain dan masyarakat (Ji et al. 2013). Karakter
akan terbentuk ketika individu memiliki identitas moral. Identitas moral
adalah seperangkat konsep diri yang berhubungan dengan prinsip-prinsip
moral. Individu dengan identitas moral yang kuat akan mampu menjaga
konsistensi antara prinsip moral dan perilakunya. Identitas moral merupakan
komponen penting yang mendasari perilaku individu (Aquino dan Reed
2002). Hasil penelitian Aquino et al. (2011) menyatakan bahwa individu
dengan identitas moral yang kuat dilaporkan memiliki peningkatan moral
yang berhubungan dengan kecenderung untuk melakukan perilaku prososial.
Perkembangan moral anak berlangsung melalui sebuah proses yang
dimulai sejak lahir dan terus berlangsung hingga dewasa. Teori
perkembangan moral Lickona menyatakan bahwa moralitas individu
berkembang secara perlahan dan melalui beberapa tahapan moral reasoning.
Moral reasoning adalah kemampuan untuk memahami alasan mengapa
sesuatu dianggap benar dan salah. Setiap tahapan moral reasoning yang
dilalui anak akan membawanya lebih dekat menuju seorang individu dengan
kapasitas moral yang utuh. Tahapan moral reasoning, yang disebut juga
perkembangan moral vertikal, terdiri atas (Lickona 1994):
1. Tahap 0 : egocentric reasoning (kisaran usia 4 tahun). Pada tahap ini,
anak hanya berfokus pada satu pandangan saja yaitu pandangan dirinya
sendiri dan kurang menyadari cara pandang orang lain. Alasan anak
untuk melakukan apa yang benar didasarkan pada keinginan untuk
mendapatkan apa yang diinginkannya (mendapatkan hadiah dan
menghindari hukuman).
2. Tahap 1 : unquetioning obedience (kisaran usia taman kanak-kanak).
Pada tahap ini, anak mulai memiliki kemampuan untuk memahami cara
pandang orang lain. Alasan anak untuk melakukan apa yang dianggap
benar adalah untuk menghindari masalah.
3. Tahap 2 : what’s in it for me fairness (usia sekolah dasar). Pada tahap ini,
anak memahami bahwa setiap orang memiliki cara pandangnya sendirisendiri. Apa yang dianggap benar adalah untuk mengikuti cara pandang
sendiri, memperhatikan diri sendiri, dan berbuat adil kepada orang yang
adil kepada dirinya. Alasan anak melakukan apa yang dianggap benar
berhubungan dengan kepentingan dirinya (self-interest).
4. Tahap 3 : interpersonal conformity (usia remaja awal). Pada tahap ini,
anak berusaha untuk menyenangkan orang lain dengan menjadi pribadi
11
yang baik dan berusaha memenuhi harapan mereka (anak sangat
memperhatikan apa yang dipikirkan oleh orang lain). Hubungan personal
sangat penting pada tahapan ini. Alasan anak untuk melakukan apa yang
dinggap benar adalah untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain
sehingga anak memiliki kepercayaan diri (self-esteem).
5. Tahap 4 : responsibility to the system (usia remaja akhir). Pada tahapan
ini, anak memiliki kemampuan untuk memahami peran dan tanggung
jawabnya sebagai bagian dari sistem sosial yang lebih besar (contoh:
keluarga besar, sekolah, dan negara). Alasan anak untuk melakukan apa
yang dianggap benar adalah untuk menjaga sistem sosial tidak rusak.
6. Tahap 5 : principled conscience (usia dewasa muda): Pada tahap ini,
anak memiliki kemampuan untuk memahami pentingnya menghargai hak
orang lain dan medukung sistem yang melindungi hak-hak manusia.
Alasan anak untuk melakukan hal yang dianggap benar karena kesadaran
untuk bertindak sesuai dengan prinsip menghargai dan menghormati
seluruh manusia.
Tahapan perkembangan moral tidak hanya bersifat vertikal, tetapi juga
bersifat horizontal. Perkembangan horizontal dari moral berfokus pada
bagaimana mengaplikasikan cara berpikir di setiap tahapan moral reasoning
dalam menghadapi beragam situasi di kehidupan sehari-hari. Perkembangan
horizontal dari moral inilah yang menjadikan moral reasoning anak sebagai
bagian dari perilaku moral di kehidupan sahari-hari. Semakin sering anak
menggunakan kemampuan berpikirnya dalam menghadapi permasalahan di
dalam kesehariannya, maka semakin anak menguasai tahapan
perkembangan tersebut. Hal tersebut akan memudahkan anak untuk naik ke
tahapan perkembangan moral selanjutnya (Lickona 1994).
Karakter disusun oleh tiga komponen yang saling berhubungan antara
satu dengan yang lain yaitu pengetahuan moral, perasaan moral, dan
tindakan moral. Ketiga komponen ini dibutuhkan untuk membentuk
karakter yang baik pada anak. Karakter yang baik terbentuk ketika individu
mampu menilai apa yang benar, memberikan perhatian secara mendalam
mengenai apa yang benar, dan melakukan apa yang dipercayai sebagai
kebenaran (Ryan dan Lickona 1992; Lickona 1992). Penelitian-penelitian
terdahulu menemukan bahwa pembentukan karakter pada anak dipengaruhi
oleh banyak hal seperti status sosial-ekonomi keluarga (Nakao et al. 2000;
Karina et al. 2013), usia orangtua (Karina et al. 2013; Dewanggi 2014), usia
dan jenis kelamin anak (Hastuti et al. 2011,2013; Karina et al. 2013; Ji et al.
2013; Dewanggi 2014), keteladanan orang tua (Yancey et al. 2010;
Marjohan 2014), pengasuhan orang tua (Nakao et al. 2000), iklim sekolah
(Payne et al. 2003; Pintado 2006; Cohen et al. 2009; Wang et al. 2010;
Jankens 2011; Aldridge dan Ala’l 2013), dan keteladanan guru (Yancey et
al. 2010; Küçük et al. 2012).
3 KERANGKA PEMIKIRAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan teori sistem ekologi dan teori
pembelajaran sosial yang memandang bahwa pembentukan perilaku
12
(karakter) dapat terjadi melalui interaksi timbal balik antara individu dan
lingkungan. Aplikasi teori ini ada pada keluarga dan sekolah sebagai dua
lingkungan paling dekat yang berinteraksi secara langsung dengan anak.
Lingkungan keluarga dan sekolah memegang peranan penting dalam
membentuk karakter anak. Karakter penting diteliti pada anak usia remaja
karena periode ini merupakan periode puncak pembentukan identitas diri.
Identitas diri berperan penting dalam memotivasi dan mengarahkan perilaku
moral individu (identitas diri adalah dasar bagi perilaku moral).
Teori perkembangan moral Lickona menyatakan bahwa anak pada
periode usia remaja berada pada tahapan ke tiga dalam perkembangan moral,
yaitu tahapan interpersonal conformity. Anak sangat memperhatikan apa
yang dipikirkan oleh orang lain (hubungan personal sangat penting bagi
anak). Alasan anak untuk melakukan apa yang dinggap benar adalah untuk
mendapatkan pengakuan dari orang lain sehingga anak memiliki
kepercayaan diri (self-esteem). Anak membutuhkan orang dewasa sebagai
panutan, dan mereka perlu memiliki kepercayaan bahwa orang dewasa
adalah orang-orang yang baik, melindungi dan membantu, serta dapat
memberikan kontrol kepada mereka.
Teori sistem ekologi Bronfenbrenner menyatakan bahwa
perkembangan individu yang optimal berlangsung di dalam sebuah aktivitas
rutin dan dalam periode waktu yang lama di kehidupan sehari-hari.
Pengalaman yang didapatkan anak melalui interaksi dengan anggota
keluarga mampu memfasilitasi perkembangan moral anak. Lingkungan
keluarga yang positif (memberikan cinta, perhatian dan kasih sayang,
menerapkan peraturan yang jelas di rumah (tidak permisif), dan demokratis
kepada anak) merupakan prediktor bagi pembentukan identitas moral, sifat,
dan kepribadian anak. Di dalam keluarga, orang tua adalah guru pertama
bagi anak yang dapat berperan sebagai model bagi berbagai perilaku positif.
Teori pembelajaran sosial menyatakan bahwa anak mempelajari moral
melalui pengamatan terhadap orang dewasa yang ada di sekitarnya.
Keteladanan orang tua memiliki hubungan positif dengan perilaku sosial
anak dan berperan penting dalam perkembangan karakter anak.
Selain di keluarga, sebagian besar aktivitas anak berlangsung di
sekolah. Sekolah dengan lingkungan yang positif (tidak ada kekerasan,
fasilitas sekolah memadai, serta memiliki aturan dan norma) mampu
menurunkan risiko munculnya perilaku negatif pada anak, dan mampu
mendorong perkembangan yang sehat pada anak. Faktor-faktor yang
membangun kualitas kehidupan sekolah yaitu keamanan, hubungan
interpersonal, pengajaran dan pembelajaran, serta struktur lingkungan di
sekolah. Keteladanan yang ditunjukkan guru di sekolah mampu membantu
anak di dalam menginternalisasikan dan mengaplikasikan prinsip-prinsip
moral. Karakteristik dari guru yang dapat menjadi
SEKOLAH TERHADAP KARAKTER REMAJA PERDESAAN
LENI NOVITA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Pengaruh Kualitas
Lingkungan Keluarga dan Sekolah terhadap Karakter Remaja Perdesaan” adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya ini kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016
Leni Novita
NIM I251140116
RINGKASAN
LENI NOVITA. Pengaruh Kualitas Lingkungan Keluarga dan Sekolah terhadap
Karakter Remaja Perdesaan. Dibimbing oleh DWI HASTUTI dan TIN
HERAWATI.
Tingginya angka kriminalitas dan perilaku merusak diri yang diperlihatkan
oleh remaja di Indonesia merupakan permasalahan serius yang harus segera
ditangani. Hasil penelitian terdahulu menemukan bahwa anak di perdesaan
memiliki karakter yang lebih lemah dibanding anak di perkotaan. Data Polres
Kabupaten Bogor tahun 2010-2014 mencatat bahwa setidaknya sekitar 5-7 anak
usia remaja terlibat dalam kasus tindak pencabulan dan perkosaan setiap tahunnya.
Peningkatan kualitas lingkungan keluarga dan sekolah merupakan salah satu cara
yang dapat dilakukan untuk membentuk dan memperkuat karakter anak.
Akan tetapi pada kenyataannya keluarga dan sekolah masih belum mampu
menyediakan lingkungan yang berkualitas untuk pembentukan karakter anak.
Hasil survey tahun 2006 dan 2009 dibeberapa wilayah di Indonesia seperti Aceh,
Jawa, Sulawesi, dan Papua menemukan bahwa anak di perdesaan memiliki
kecenderungan yang lebih tinggi untuk menjadi korban kekerasan yang dilakukan
orang tua dibanding anak di perkotaan. Hasil survey lainnya tahun 2008-2010
dibeberapa wilayah di Indonesia seperti Sumatera, Jawa, dan Sulawesi
menemukan bahwa anak sering mengalami kekerasan yang dilakukan oleh guru
dan teman sebayanya di sekolah. Hal ini memperlihatkan bahwa lingkungan
keluarga dan sekolah, terutama di perdesaan masih jauh dari berkualitas dan
mampu membentuk karakter anak.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kualitas lingkungan
keluarga dan sekolah terhadap karakter remaja perdesaan. Kualitas lingkungan
keluarga disusun oleh lima aspek yaitu keamanan, pengajaran dan pembelajaran,
hubungan interpersonal, struktur lingkungan, dan keteladanan orang tua.
Instrumen kualitas lingkungan keluarga dikembangkan dari The Student
Comprehensive School Climate Inventory (Guo et al. 2011) dan Seven-Item
Attribute Questionnaire, Student Version (Schwartz 2007). Kualitas lingkungan
sekolah disusun oleh lima aspek yaitu keamanan, pengajaran dan pembelajaran,
hubungan interpersonal, struktur lingkungan, dan keteladanan guru. Instrumen
kualitas lingkungan sekolah dikembangkan dari The Student Comprehensive
School Climate Inventory (Guo et al. 2011) dan Seven-Item Attribute
Questionnaire, Student Version (Schwartz 2007).
Karakter dalam penelitian ini disusun oleh tiga aspek yaitu pengetahuan
moral, perasaan moral, dan tindakan moral. Instrumen karakter dikembangkan
dari Values in Action (VIA)-Youth (Peterson dan Seligman 2004). Penelitian
dilakukan di Desa Ciasihan dan Desa Ciasmara, Kecamatan Pamijahan,
Kabupaten Bogor yang dipilh secara purposive. Contoh penelitian adalah anak
SMP kelas VII dan VIII yang memiliki orang tua lengkap. Pemilihan contoh
dilakukan dengan menggunakan metode pengacakan proporsional (proportional
random sampling) dengan jumlah akhir contoh adalah 100 orang. Pengambilan
data dilakukan dengan teknik self-report dengan alat bantu kuesioner. Data yang
telah dikumpulkan dianalisis dengan analisis deskriptif, uji independent t-test, uji
korelasi, dan uji regresi linear berganda.
Karakteristik anak dan keluarga di perdesaan tidak berbeda antara anak
perempuan dan anak laki-laki. Lebih dari separuh anak memiliki orang tua dengan
tingkat pendidikan setara tamatan Sekolah Dasar. Lima puluh persen keluarga
memiliki tingkat pendapatan yang lebih rendah dari garis kemiskinan Kabupaten
Bogor. Kualitas lingkungan keluarga yaitu keamanan, pengajaran dan
pembelajaran, hubungan interpersonal, dan keteladanan orang tua berada pada
kategori menengah-rendah. Anak perempuan berada pada lingkungan keluarga
yang lebih berkualitas dibanding anak laki-laki. Kualitas lingkungan sekolah yaitu
keamanan, pengajaran dan pembelajaran, hubungan interpersonal, dan
keteladanan guru berada pada kategori menengah-rendah. Kualitas lingkungan
sekolah tidak berbeda antara anak perempuan dan anak laki-laki. Pengetahuan
moral anak berada pada kategori tinggi. Akan tetapi, perasaan moral, tindakan
moral, dan karakter anak berada pada kategori menengah-rendah. Anak
perempuan memiliki pengetahuan moral, perasaan moral, tindakan moral, dan
karakter yang lebih baik dibandingkan anak laki-laki.
Karakteristik keluarga yaitu usia ayah dan ibu serta lama pendidikan ayah
dan ibu memiliki hubungan positif dengan kualitas lingkungan keluarga dan
sekolah. Kualitas lingkungan keluarga memiliki hubungan positif dengan kualitas
lingkungan sekolah. Kualitas lingkungan keluarga dan sekolah memiliki
hubungan positif dengan pengetahuan moral, perasaan moral, tindakan moral, dan
karakter anak. Karakter anak tidak dipengaruhi oleh karakteristik anak dan
keluarga serta kualitas lingkungan sekolah, namun dipengaruhi secara positif oleh
kualitas lingkungan keluarga. Pemerintah dan LSM diharapkan dapat menerapkan
berbagai program yang membantu keluarga meningkatkan kemampuannya dalam
membangun lingkungan yang berkualitas untuk anak.
Kata Kunci: karakter anak, keluarga, pengetahuan moral, perasaan moral, sekolah,
tindakan moral
SUMMARY
LENI NOVITA. The Effect of Family and School Environments Quality on
Adolescent Character in Rural Area. Supervised by DWI HASTUTI and TIN
HERAWATI.
The escalation of adolescent’s self-destructive and criminal behavior was
one of the top issues in Indonesia. Previous research found that children in the
rural area had lower character than children in the urban area. The data from
police institution of Bogor district showed that every year since 2010-2014 around
5-7 adolescents were involved in sexual abuse and rape. The escalation of family
and school environments quality was one of the ways to establish and strengthen
characters of children.
However, many families and schools in current days are no longer able to
provide appropriate environment quality to develop characters in children.
Surveys conducted during 2006 and 2009 in some areas in Indonesia such as Aceh,
Jawa, Sulawesi, and Papua were found that children in rural area were more
vulnerable against violence by parents than children in urban area. Other surveys
during 2008-2010 in some areas in Indonesia such as Sumatera, Jawa, dan
Sulawesi were found that children are vulnerable against violence by teachers and
friends in school. It shows that family and school, especially in rural area still far
from qualified and capable for establishing and developing characters in children.
The purpose of this study was to analyze the influence of family and school
environments quality on adolescent characters in rural area. The quality of family
environment consists of five aspects: safety, teaching and learning, interpersonal
relationship, environmental-structural, and parents role model. The quality of
family environment was measured by a developed instrument from The Student
Comprehensive School Climate Inventory (Guo et al. 2011) and Seven-Item
Attribute Questionnaire, Student Version (Schwartz 2007). The quality of school
environment consists of five aspects: safety, teaching and learning, interpersonal
relationship, environmental-structural, and teacher role model. The quality of
school environment was measured by a developed instrument from The Student
Comprehensive School Climate Inventory (Guo et al. 2011) and Seven-Item
Attribute Questionnaire, Student Version (Schwartz 2007).
The character in this study consists of three aspects: moral knowing, moral
feeling, and moral acting. The characters were measured by a developed
instrument from Values in Action (VIA)-Youth (Peterson dan Seligman 2004). The
study was conducted in Desa Ciasihan and Ciasmara, Pamijahan, Bogor and it
was chosen purposively. Respondents were junior high school student in class VII
and VIII with complete parents. Samples selected by using proportional random
sampling method and 100 respondents were used in this study. Data were
collected using self-report with the questionnaire as the tools. The data collected
were analyzed with descriptive analysis, independent t-test, correlation test, and
multiple linear regression.
Child and Family characteristics were not having differences between girls
and boys. More than half of the children were having primary school graduated
parents. Half of the children were live in the family with poverty. The quality of
family environment that measured by safety, teaching and learning, interpersonal
relationship, environmental-structural, and parents role model was in the mid-low
category. Girls were in the family environment more qualified than boys. The
quality of school environment that measured by safety, teaching and learning,
interpersonal relationship, environmental-structural, and teacher role model was
also in the mid-low category. School environments quality in girls were no
different than boys. The child’s moral knowing were in the high category.
However, child’s moral feeling, moral acting, and character were in the mid-low
category. Girls had better moral knowing, moral feeling, moral acting, dan
character than boys.
The age and education of father and mother were positively correlated to
family and school environments quality. Family environment quality were
positively correlated to school environment quality. Family and school
environments quality also had positive correlation with child's moral knowing,
moral feeling, moral acting, and character. The child’s character were not
influenced by child and family characteristics and school environment quality, but
positively influenced by family environment quality. The government and NGO
could help the family to improve their skills through implementation of various
programs for the family.
Keywords: child’s character, family, moral acting, moral feeling, moral knowing,
school
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PENGARUH KUALITAS LINGKUNGAN KELUARGA DAN
SEKOLAH TERHADAP KARAKTER REMAJA PERDESAAN
LENI NOVITA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
Pada
Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Diah Krisnatuti Pranadji, MS
JudulPenelitian
Nama
NIM
: Pengaruh Kualitas Lingkungan Keluarga dan Sekolah
terhadap Karakter Remaja Perdesaan
: Leni Novita
: I251140116
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr Ir Dwi Hastuti, MSc
Ketua
Dr Tin Herawati, SP, MSi
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Herien Puspitawati, MSc, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian: 05 Januari 2016
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Pengaruh
Kualitas Lingkungan Keluarga dan Sekolah terhadap Karakter Remaja Perdesaan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu
penulis selama penulisan karya ilmiah ini, yaitu kepada:
1. Dr Ir Dwi Hastuti, MSc selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr Tin
Herawati, SP, MSi selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah
membimbing, mengarahkan, dan memberikan wawasan pengetahuan yang
sangat bermanfaat dalam penyelesaian tesis ini.
2. Dr Ir Diah Krisnatuti Pranadji, MS selaku dosen penguji luar komisi dan Dr Ir
Herien Puspitawati, MSc, MSc selaku ketua program studi Ilmu Keluarga dan
Perkembangan Anak yang telah mengarahkan dan memberikan masukan
yang sangat bermanfaat dalam penyelesaian tesis ini.
3. Tim Penelitian Hibah Kompetensi tahun 2015 dengan judul “Model
Pendidikan Karakter Anak pada Keluarga Perdesaan Berbasis Family and
School Partnership” yakni Dr Ir Dwi Hastuti, MSc dan Alfiasari, SP, MSi,
yang telah mengikutsertakan penulis dalam penelitian tersebut, sehingga
penulis mampu mengumpulkan data penelitian.
4. Kedua orang tua penulis, Bapak Bujang dan Ibu Gusneli, serta adik penulis
Muhammad Firdaus atas doa, dukungan, cinta dan kasih sayangnya.
5. Pemerintah Desa, Pihak sekolah, serta masyarakat di Desa Ciasihan dan Desa
Ciasmara, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor.
6. Teman-teman satu bimbingan Zervina Rubyn D.S, SSi dan Rety Puspitasari,
SPd, serta teman-teman Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak 2013 atas
dukungan selama proses penyelesaian tesis ini.
7. Tri Susandari, SSi, Yunita Tri Lestari, SSi, dan Zulfitra Utami Putri, SKH,
atas dukungan selama penulis menjadi mahasiswa program pascasarjana
hingga penyelesaian studi.
8. Teman-teman enumerator penelitian Hibah Kompetensi 2015 atas kerja sama
dan dukungannya selama proses persiapan dan pengambilan data penelitian.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2016
Leni Novita
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xvii
DAFTAR GAMBAR
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
xvii
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
1
1
3
4
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
Teori
Teori Sistem Ekologi Brofenbrenner
Teori Pembelajaran Sosial Albert Bandura
Kualitas Lingkungan Keluarga
Kualitas Lingkungan Sekolah
Karakter
5
5
5
6
7
9
10
3 KERANGKA PEMIKIRAN
11
4 METODE PENELITIAN
Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian
Teknik Penarikan Contoh
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Pengolahan dan Analisis Data
Definisi Operasional
14
14
14
15
15
19
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
Karakteristik Anak dan Keluarga
Kualitas Lingkungan Keluarga
Kualitas Lingkungan Sekolah
Karakter Anak
Hubungan Karakteristik Anak dan Keluarga, Kualitas Lingkungan
Keluarga dan Sekolah, dan Karakter Anak
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Karakter
Tipologi Karakter berdasarkan Kualitas Lingkungan Keluarga dan
Kualitas Lingkungan Sekolah
PEMBAHASAN
20
20
20
21
23
24
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
38
38
39
DAFTAR PUSTAKA
40
LAMPIRAN
45
27
30
30
35
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Variabel penelitian, skala data, dan konsep instrumen
Reliabilitas dan validitas kuesioner
Pengolahan data kualitas lingkungan keluarga, kualitas lingkungan
sekolah, dan karakter
Nilai rata-rata dan standar deviasi usia anak
Nilai rata-rata dan standar deviasi karakteristik keluarga
Nilai rata-rata dan standar deviasi kualitas lingkungan keluarga
Nilai rata-rata dan standar deviasi kualitas lingkungan sekolah
Nilai rata-rata dan standar deviasi pengetahuan moral
Nilai rata-rata dan standar deviasi perasaan moral
Nilai rata-rata dan standar deviasi tindakan moral
Nilai rata-rata dan standar deviasi karakter anak
Nilai koefisien korelasi antar karakteristik anak dan keluarga, kualitas
lingkungan keluarga dan sekolah, dan karakter
Pengaruh karakteristik anak dan keluarga, kualitas lingkungan keluarga,
dan sekolah terhadap karakter anak
15
16
17
20
21
22
24
25
26
27
27
31
30
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
Lingkungan pembelajaran anak dalam pandangan teori sistem
Model sistem ekologi Bronfenbrenner
Model pembelajaran sosial Albert Bandura
Kerangka pemikiran
Teknik penarikan contoh
Tipologi karakter berdasarkan dua level (menengah-rendah dan tinggi)
indikator kualitas lingkungan keluarga dan sekolah
7 Sebaran pengetahuan moral berdasarkan dua level (menengah-rendah
dan tinggi) indikator kualitas lingkungan keluarga dan sekolah
8 Sebaran perasaan moral berdasarkan dua level (menengah-rendah dan
tinggi) indikator kualitas lingkungan keluarga dan sekolah
9 Sebaran tindakan moral berdasarkan dua level (menengah-rendah dan
tinggi) indikator kualitas lingkungan keluarga dan sekolah
10 Sebaran karakter berdasarkan dua level (menengah-rendah dan tinggi)
indikator kualitas lingkungan keluarga dan sekolah
5
6
7
13
14
31
32
33
34
35
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
Minimum, maksimum, dan standar deviasi variabel penelitian
Sebaran pendidikan dan pendapatan keluarga
Sebaran pekerjaan orang tua berdasarkan jenis kelamin anak
Sebaran variabel penelitian berdasarkan kategori menengah-rendah dan
tinggi
46
47
47
48
5
6
7
8
9
Sebaran anak berdasarkan kualitas lingkungan keluarga
Sebaran anak berdasarkan kualitas lingkungan sekolah
Sebaran anak berdasarkan pengetahuan moral
Sebaran anak berdasarkan perasaan moral
Sebaran anak berdasarkan tindakan moral
49
61
72
74
76
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Usia remaja adalah periode puncak dari pencarian identitas diri
individu, dan keberhasilan pada periode ini akan menentukan tingkat
komitmen individu terhadap dirinya (Miller 2011; Santrock 2011). Remaja
dengan identitas diri yang kuat dilaporkan menunjukkan perilaku prososial
yang tinggi dan perilaku asosial yang rendah (Hardy et al. 2010; Hardy dan
Walker 2013). Akan tetapi pada kenyataannya di Indonesia, data BPS
(2010) menunjukkan bahwa 60 persen dari keseluruhan remaja nakal
melakukan tindak pidana pencurian, 9.5 persen mengonsumsi narkoba, 6
persen melakukan perkosaan/pencabulan, dan 4 persen melakukan
penganiayaan dan pengeroyokan. Penelitian yang dilakukan oleh Karina et
al. (2013), Hastuti et al. (2013), dan Dewanggi (2014) menemukan bahwa
anak laki-laki memiliki karakter yang lebih lemah dari anak perempuan.
Penelitian-penelitian terdahulu menemukan bahwa anak laki-laki lebih
rentan untuk memiliki perilaku-perilaku negatif dibanding dengan anak
perempuan. Hal ini memperlihatkan bahwa karakter remaja di Indonesia
masih sangat lemah.
Lemahnya karakter remaja di Indonesia dapat terjadi karena semakin
memudarnya nilai-nilai positif di masyarakat akibat arus globalisasi dan
kemajuan teknologi, sehingga semakin rendah kemungkinan anak untuk
mempelajari nilai-nilai positif dari masyarakat (Britz 2008; Puspitawati
2009; Şahinkayasi dan Kelleci 2013). Penguatan karakter pada remaja
merupakan agenda penting yang harus menjadi fokus perhatian saat ini.
Teori ekologi menyatakan bahwa perkembangan individu tidak dapat
dilepaskan dari konteks lingkungan dimana individu berada karena individu
merupakan bagian dari sebuah sistem yang luas (keluarga, komunitas, dan
masyarakat) (Darling 2007; Glassman dan Hadad 2009). Teori pembelajaran
sosial menyatakan pentingnya peran lingkungan dalam pembentukan
perilaku, dan pentingnya pembelajaran mengenai perilaku dengan
mengamati orang lain di lingkungan (Miller 2011). Lingkungan keluarga
dan sekolah merupakan dua lingkungan paling dekat yang berinteraksi
dengan anak, dan bertanggung jawab terhadap pembentukan karakter anak
(Ryan dan Lickona 1992; Lickona 1992; Narvaez 2008).
Anak mempelajari moral melalui pengamatan dan hubungan langsung
dengan orang dewasa yang ada di sekitarnya (Narvaez 2008; Sanderse 2013).
Perilaku-perilaku baik dipelajari dengan mengamati orang lain di dalam
konteks sosial di kehidupan sehari-hari (Ponzetti 2005). Pengalaman yang
dimiliki individu dalam interaksinya dengan lingkungan seperti keluarga
dan sekolah dapat membantu membentuk identitas moral individu (Lapsley
2008; Narvaez dan Lapsley 2009). Karakter anak dapat terbentuk ketika
orang dewasa yang berada di sekitar anak mampu menciptakan lingkungan
positif (aman secara sosial, emosi dan fisik; penuh kehangatan dalam
interaksi) yang memungkinkan anak untuk membangun karakter (Narvaez
2008; Sojourner 2014). Keluarga dan sekolah merupakan dua lingkungan
2
yang sangat efektif di dalam memengaruhi pembentukan kepribadian
individu (Küçük et al. 2012).
Lingkungan keluarga memegang peranan penting dalam membentuk
dan mengarahkan perkembangan mental dan perilaku individu dengan
memberikan contoh berbagai pola perilaku yang sesuai (Ponzetti 2005;
Küçük et al. 2012). Keluarga menyediakan lingkungan yang penting bagi
individu untuk melatih potensi moral yang dimilikinya, sehingga
pengalaman individu dalam keluarga memiliki peran penting bagi
perkembangan moral individu (Ponzetti 2005). Hubungan positif dalam
keluarga dan tingginya aktivitas orang tua-anak merupakan prediktor bagi
pembentukan karakter remaja, dan faktor protektif bagi remaja terhadap
berbagai pengaruh buruk dari lingkungan di luar keluarga (Ryan dan
Lickona 1992; Walker 1999; Cobb 2001; Brooks 2001). Hasil penelitian
Nakao et al. (2000) pada 150 anak usia rata-rata 13 tahun di Osaka, Jepang
menunjukkan bahwa lingkungan keluarga (status sosial-ekonomi; gaya
pengasuhan dan keterlibatan orang tua dalam pengasuhan) memengaruhi
pembentukan sifat atau kepribadian anak. Orang tua adalah guru pertama
yang berperan sebagai teladan bagi anak dalam berperilaku (Ponzetti 2005).
Hasil penelitian Marjohan (2014) pada 70 siswa kelas V dan VI Sekolah
Dasar di Kabupaten Pati, Jawa Tengah menunjukkan bahwa keteladanan
orang tua memiliki hubungan positif dengan perilaku prososial pada anak.
Selain itu, sekolah dengan lingkungan yang positif (lingkungan yang
penuh dengan kepedulian dan rasa hormat; aman secara sosial, emosi, dan
fisik) memungkinkan anak untuk tidak hanya mempelajari kemampuan
akademik tetapi juga keterampilan sosial, sehingga sekolah dengan
lingkungan yang positif mampu menurunkan risiko munculnya berbagai
perilaku negatif pada anak (Lehr 2005; Wang et al. 2010; Aldridge dan
Ala’l 2013; Sojourner 2014). Lingkungan sekolah yang positif memiliki
pengaruh positif terhadap perkembangan penghargaan diri anak (selfesteem), berhubungan dengan perkembangan konsep diri anak (self-concept),
efektif dalam mencegah terjadinya kekerasan di sekolah, serta mampu untuk
mendorong perkembangan yang sehat pada anak (Cohen et al. 2009). Hasil
penelitian Payne et al. (2003) pada guru dan siswa dari 254 sekolah
menengah di Amerika menunjukkan bahwa komunitas sekolah yang positif
dan kelekatan siswa dengan sekolah mampu meningkatkan keterikatan
siswa terhadap sekolah dan mampu menurunkan tingkat kenakalan pada
siswa. Guru adalah orang dewasa yang setiap hari berhubungan dengan anak
dan juga berperan penting dalam perkembangan karakter anak (Narvaez
2008). Contoh atau teladan yang diberikan guru dapat membantu anak
menginternalisasikan dan mengaplikasikan nilai-nilai moral dalam
kehidupan sehari-hari (Lumpkin 2008). Hasil penelitian Yancey et al.
(2010) pada 4 010 remaja usia 12-17 tahun di California, Amerika
menunjukkan bahwa anak cenderung memiliki perilaku positif ketika
mereka menjadikan guru sebagai teladan dalam berperilaku.
Lingkungan yang positif dimana anak tinggal dan keteladan yang
diterima anak merupakan prediktor yang dapat memengaruhi pembentukan
karakter anak. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
pengaruh kualitas lingkungan keluarga dan sekolah terhadap karakter remaja.
3
Perumusan Masalah
Tingginya angka kriminalitas dan perilaku merusak diri yang
diperlihatkan oleh remaja di Indonesia merupakan permasalahan serius yang
harus segera ditangani (BPS 2010; UNICEF 2014). Penelitian Hastuti et al.
(2012; 2013) menemukan bahwa remaja di Kota dan Kabupaten Bogor
memiliki kemungkinan yang cukup tinggi untuk memiliki perilaku asosial
seperti terlibat pornografi, tawuran, game online, minuman beralkohol,
penggunaan narkoba, merokok, dan bullying. Data Polres Kabupaten Bogor
tahun 2010-2014 mencatat bahwa setidaknya sekitar 5-7 anak usia remaja
terlibat dalam kasus tindak pencabulan dan perkosaan setiap tahunnya.
Penelitian Dewanggi (2014) menemukan bahwa anak di perdesaan memiliki
skor indeks karakter yang lebih rendah dibanding anak di perkotaan. Data
tahun 2003-2013 memperlihatkan bahwa sekitar 50 persen kasus bullying,
34 persen kasus physical fights, dan 40 persen kasus physical attacks terjadi
diantara anak remaja usia 13-15 tahun di Indonesia, dan angka tersebut lebih
tinggi dari Malaysia (21% bullying dan 30% physical fights), Vietnam (26%
bullying dan 22% physical fights), dan Thailand (27% bullying, 34%
physical fights, dan 33% physical attacks) (UNICEF 2014). Peningkatan
kualitas lingkungan keluarga dan kualitas lingkungan sekolah merupakan
salah satu cara yang dapat dilakukan untuk membentuk dan memperkuat
karakter remaja. Akan tetapi pada kenyataannya, keluarga dan sekolah
masih belum mampu menyediakan lingkungan yang berkualitas untuk
pembentukan karakter anak.
Anak yang berasal dari lingkungan keluarga yang tidak berkualitas
(hubungan dalam keluarga tidak baik, tidak memberikan dukungan dan
kurang menghargai anak, serta cenderung melakukan kekerasan) memiliki
kecenderungan yang tinggi untuk memiliki permasalahan perilaku seperti
terlibat perkelahian dan tawuran, penggunaan obat-obatan dan minuman
keras, serta pornografi dan free sex (Puspitawati 2009). Penelitian
Rahmawati (2014) menunjukkan bahwa remaja di Bogor masih sangat
rentan terhadap kekerasan verbal dari kedua orang tua. Survey tahun 2006
dan 2009 dibeberapa wilayah di Indonesia seperti Aceh, Jawa, Sulawesi,
dan Papua menemukan bahwa anak di perdesaan memiliki kecenderungan
yang lebih tinggi untuk menjadi korban kekerasan yang dilakukan orang tua
dibanding anak di perkotaan (UNICEF 2011). Anak yang menjadi korban
kekerasan memiliki kecenderungan yang tinggi untuk memiliki
permasalahan perilaku (Küçük et al. 2012). Di sisi lain, fenomena kedua
orang tua bekerja yang semakin berkembang di Indonesia dapat memiliki
dampak negatif terhadap anak. Anak dari keluarga dengan kedua orang tua
bekerja memiliki kecenderungan yang tinggi untuk tidak mendapatkan
stimulasi emosi yang optimal bagi pembentukan karakter (Narvaez 2008).
Hal ini memperlihatkan bahwa keluarga di Indonesia sudah tidak lagi
menjadi tempat yang aman dan mampu membentuk karakter anak.
Anak yang berasal dari lingkungan sekolah yang tidak berkualitas
(fasilitas sekolah kurang memadai, guru kurang membina dan mengawasi
siswa, serta aturan dan norma kurang diterapkan) memiliki kecenderungan
yang tinggi untuk memiliki permasalahan perilaku seperti terlibat
4
perkelahian dan tawuran, penggunaan obat-obatan dan minuman keras, serta
pornografi dan free sex (Puspitawati 2009). Data Komisi Perlindungan Anak
Indonesia tahun 2008 menunjukkan bahwa dari 600 kasus kekerasan yang
terjadi pada anak, 11.5 persennya dilakukan oleh guru (UNICEF 2012).
Hasil penelitian Puspitawati et al. (2013) menemukan bahwa anak di Kota
Bogor masih rentan terhadap kekerasan yang terjadi di sekolah. Survey
tahun 2008-2010 dibeberapa wilayah di Indonesia seperti Sumatera, Jawa,
dan Sulawesi menemukan bahwa anak sering mengalami kekerasan baik
fisik, verbal, psikologis maupun seksual yang dilakukan oleh guru dan
teman sebayanya di sekolah (UNICEF 2011). Hal ini memperlihatkan
bahwa sekolah di Indonesia sudah tidak lagi menjadi tempat yang aman dan
mampu membentuk karakter anak.
Data-data di atas memperlihatkan bahwa lingkungan dimana anak
tinggal dan beraktivitas masih jauh dari berkualitas dan mampu membentuk
karakter anak. Hal ini memperlihatkan betapa pentingnya dilakukan
penelitian untuk melihat pengaruh kualitas lingkungan keluarga dan sekolah
terhadap karakter remaja. Pertanyaan penelitian yang ingin di jawab oleh
penelitian ini adalah apakah lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah
yang berkualitas dapat membangun karakter yang baik pada remaja di
perdesaan?
Tujuan Penelitian
Tujuan umum:
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis pengaruh
kualitas lingkungan keluarga dan sekolah terhadap karakter remaja
perdesaan
Tujuan khusus:
1. Menganalisis perbedaan karakteristik anak dan keluarga, kualitas
lingkungan keluarga dan sekolah, dan karakter anak berdasarkan jenis
kelamin anak
2. Menganalisis hubungan antar karakteristik anak dan keluarga, kualitas
lingkungan keluarga dan sekolah, dan karakter anak
3. Menganalisis pengaruh karakteristik anak dan keluarga, kualitas
lingkungan keluarga dan sekolah terhadap karakter anak
4. Memetakan tipologi karakter berdasarkan kualitas lingkungan keluarga
dan sekolah
Manfaat Penelitian
Penelitian mengenai pengaruh kualitas lingkungan keluarga dan
sekolah terhadap karakter remaja diharapkan dapat menjadi acuan dan
pertimbangan bagi pihak-pihak seperti KPPPA, KPAI, dan Kemendikbud
dalam membuat peraturan dan program yang berkaitan dengan anak,
terutama dalam membangun karakter yang baik pada anak. Penelitian ini
diharapkan mampu memberikan gambaran kepada masyarakat dan
pemerintah, terutama keluarga dan sekolah mengenai pentingnya
membangun lingkungan keluarga dan sekolah yang berkualitas bagi
5
pembentukan karakter anak. Penelitian ini juga diharapkan dapat
berkontribusi bagi pengembangan keilmuan di bidang anak dan keluarga.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Teori
Teori Sistem Ekologi Brofenbrenner
Teori sistem menekankan bahwa lingkungan pembelajaran anak
disusun oleh berbagai subsistem yang saling berhubungan antara satu
dengan yang lain sebagai satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan
(Hirsto 2001). Gambar 1 memperlihatkan lingkungan pembelajaran anak
dalam pandangan teori sistem.
Konteks budaya
Konteks keluarga
Rumah sebagai lingkungan
pembelajaran
Orang tua
Anak
Guru
Kelas sebagai lingkungan
pembelajaran
Konteks sekolah
Gambar 1 Lingkungan pembelajaran anak dalam pandangan teori sistem
(Hirsto 2001)
Pendekatan sistem merupakan inti dari teori Ekologi Bronfenbrenner
(Hirsto 2001). Teori ekologi menyatakan bahwa perkembangan individu
tidak dapat dilepaskan dari konteks lingkungan dimana individu berada
karena individu merupakan bagian dari sebuah sistem yang luas (keluarga,
komunitas, masyarakat, dan lainnya) (Darling 2007; Glassman dan Hadad
2009). Sistem ini terdiri atas lima subsistem yang dapat mendukung dan
mengarahkan perkembangan individu, yaitu mikrosistem, mesosistem,
eksosistem, makrosistem, dan kronosistem (Bronfenbrenner 1994; Hirsto
2001; Santrock 2011). Mikrosistem adalah lingkungan yang paling dekat
yang berinteraksi dan memengaruhi anak secara langsung seperti keluarga,
sekolah, tetangga, kelompok agama, teman, dan sebagainya. Mesosistem
adalah lingkungan yang terdiri atas gabungan dari dua atau lebih
mikrosistem seperti hubungan antara keluarga dan sekolah. Eksosistem
adalah lingkungan yang tidak memberikan pengaruh langsung kepada anak
6
atau tidak ada keterlibatan langsung dari anak seperti hubungan antara
keluarga dan tempat kerja orang tua. Makrosistem adalah lingkungan yang
melibatkan mikrosistem, mesosistem, dan eksosistem dalam sebuah budaya
yang melibatkan sistem kepercayaan, kebiasaan, gaya hidup, dan sebagainya
yang tertanam pada setiap sistem. Kronosistem terdiri atas pola dari
peristiwa dan perubahan di lingkungan, serta keadaan sosial-sejarah di
sepanjang siklus kehidupan (Bronfenbrenner 1994; Hirsto 2001; Cobb 2001;
Santrock 2011). Gambar 2 memperlihatkan model ekologi Bronfenbrenner.
Gambar 2 Model sistem ekologi Bronfenbrenner
Teori Ekologi menyatakan bahwa anak dan konteks lingkungan saling
memengaruhi satu sama lain di dalam interaksinya sebagai sebuah proses
yang mendorong perkembangan anak. Perkembangan yang efektif akan
terjadi ketika individu terlibat di dalam sebuah aktivitas yang rutin dan
dalam periode waktu yang lama, yang melibatkan interaksi timbal balik
antara individu dan konteks lingkungan. Teori ekologi menggambarkan
perkembangan individu ke dalam sebuah model dengan empat elemen yaitu
process-person-context-time model (Bronfenbrenner dan Morris 1998;
Bronfenbrenner 1999; Tudge et al. 2009; Miller 2011).
Teori Pembelajaran Sosial Albert Bandura
Teori pembelajaran sosial menyatakan bahwa anak mempelajari
pengetahuan, perasaan, dan perilaku melalui proses pengamatan terhadap
satu atau lebih model. Pembelajaran terhadap perilaku yang dilakukan
melalui pengamatan merupakan cara yang paling efektif untuk membentuk
perilaku yang lebih kompleks pada anak. Teori pembelajaran sosial
menekankan pada pentingnya pengaruh lingkungan terhadap perilaku, dan
pentingnya pembelajaran mengenai perilaku dengan mengamati orang lain
di dalam lingkungan. Perkembangan individu terjadi dalam suatu sistem
7
budaya yang luas dimana individu berkembang dengan mengamati orang
lain dan terlibat dalam aktivitas bersama dengan mereka. Pembelajaran
terhadap perilaku dapat terjadi ketika anak memiliki perhatian terhadap
model dari perilaku. Perhatian anak terhadap model dari perilaku dapat
terjadi ketika anak diberikan banyak kesempatan untuk melihat perilaku
tersebut. Keterlibatan anak di dalam aktivitas yang memungkinkan mereka
untuk mempraktekkan perilaku yang telah diamati merupakan cara untuk
meningkatkan pengaruh model dari perilaku. Model pembelajaran sosial
melibatkan tiga komponen yang saling memengaruhi satu sama lain, yaitu
individu (person), perilaku (behavior), dan lingkungan (environment)
(Salkind 1985; Miller 2011; Santrock 2011; Sanderse 2013). Gambar 3
memperlihatkan model pembelajaran sosial Albert Bandura.
Perilaku
Individu
Lingkungan
Gambar 3 Model pembelajaran sosial Albert Bandura (Santrock 2011)
Teori pembelajaran sosial memandang bahwa perkembangan moral
individu terjadi ketika individu secara aktif membangun standar perilaku
melalui pengamatan terhadap orang lain (Salkind 1985; Bandura 1991;
Miller 2011). Anak mempelajari moral melalui pengamatan dan hubungan
langsung dengan orang dewasa yang ada di sekitarnya (Narvaez 2008;
Sanderse 2013). Perilaku-perilaku baik dipelajari dengan mengamati orang
lain di dalam konteks sosial di kehidupan sehari-hari (Ponzetti 2005).
Pengamatan yang dilakukan terhadap model berfungsi sebagai: (1) sumber
informasi mengenai konsekuensi dari perilaku yang dapat mengoptimalkan
proses pembelajaran, dan (2) sumber motivasi yang dapat mengarahkan
perilaku melalui pengalaman orang lain terhadap konsekuensi dari suatu
perilaku. Teori pembelajaran sosial menekankan bahwa pembelajaran
terhadap perilaku dapat terjadi tanpa perlu adanya hubungan langsung
dengan model atau tanpa perlu adanya penguatan langsung (vicarious
learning). Hal inilah yang menjelaskan mengapa individu dapat
mengakuisisi beragam perilaku baru tanpa perlu mengalami secara langsung
konsekuensi dari perilaku tersebut (Salkind 1985).
Kualitas Lingkungan Keluarga
Keluarga memegang peranan penting di dalam pembentukan
kepribadian individu, sehingga sistem yang dibangun dalam keluarga akan
menentukan keberfungsian keluarga dalam menjalankan perannya (Küçük et
8
al. 2012). Interaksi orang tua dan anak di dalam keluarga mampu
memfasilitasi perkembangan moral anak (Walker 1999). Perkembangan
moral merupakan sebuah hasil dari pengalaman pembelajaran yang
didapatkan dalam keluarga seperti pengajaran mengenai cara membangun
hubungan dengan orang lain dan cara menghadapi dunia (Ponzetti 2005).
Pengajaran nilai-nilai moral yang dilakukan orang tua memberikan anak
kesempatan untuk menggunakan moral reasoning-nya dalam memilih untuk
melakukan tindakan yang benar dibandingkan tindakan yang salah (Lickona
1994).
Terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan di dalam
membangun lingkungan yang positif bagi perkembangan moral anak, yaitu:
(1) keamanan (physical dan social-emotional), (2) hubungan (respect for
diversity, family community, dan morale and connectedness), (3) pengajaran
dan pembelajaran (quality of instruction dan social, emotional, and ethical
learning), dan (4) lingkungan (environmental-structural) (Cohen et al.
2009; Thapa et al. 2012). Keluarga yang mampu untuk membangun
lingkungan yang positif, seperti memberikan cinta, perhatian dan kasih
sayang, menerapkan peraturan yang jelas di rumah (tidak permisif), dan
demokratis kepada anak (selalu bersedia untuk mendengarkan anak) mampu
meningkatkan penghargaan diri anak (self-esteem) sehingga anak kuat
dalam menghadapi pengaruh negatif dari lingkungan di luar keluarga
(Lickona 1994; Brooks 2001; Bornstein 2002).
Orang tua adalah guru pertama untuk anak yang berperan sebagai
teladan untuk perilaku-perilaku baik (Lickona 1994; Ponzetti 2005; Oladipo
2009). Komitmen yang ditunjukkan orang tua sebagai model dalam
berperilaku memiliki pengaruh yang kuat terhadap perasaan anak pada
orang tua sebagai teladan perilaku (Lickona 2008). Orang tua merupakan
model yang paling nyata dan terus menerus bagi anak dalam berperilaku
yang berhubungan dengan perkembangan karakternya (Oladipo 2009).
Orang tua adalah model yang sangat penting untuk anak karena anak
memiliki pandangan yang tinggi terhadap orang tua dan memiliki keinginan
untuk seperti mereka (Salkind 1985). Keteladanan yang ditunjukkan orang
tua tidak hanya berkaitan dengan bagaimana memperlakukan anak, tetapi
juga bagaimana orang tua memperlakukan orang dewasa lain,
memperlakukan orang lain yang bukan anggota keluarga (contoh teman,
tetangga, bahkan orang asing), serta bagaimana menjalankan hidup (Lickona
1994).
Schwartz (2007) menuliskan bahwa model karakter bagi anak perlu
memiliki beberapa karakteristik, yaitu: 1) memiliki komitmen yang kuat
terhadap prinsip-prinsip moral, 2) bertindak dengan didasarkan pada
prinsip-prinsip moral (konsistensi diantara tindakan dan niat, dan diantara
tujuan awal dan akhir dari tindakan), 3) bersedia untuk mengorbankan
keinginan pribadi untuk kepentingan prinsip-prinsip moral, dan 4) menjadi
inspirasi bagi orang lain untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip
moral.
9
Kualitas Lingkungan Sekolah
Lingkungan sekolah adalah karakter dan kualitas kehidupan sekolah
yang didasarkan pada norma dan nilai-nilai, hubungan interpersonal, praktek
belajar-mengajar, dan strukur lingkungan di sekolah (Cohen et al. 2009).
Faktor-faktor yang membangun dan membentuk karakter dan kualitas
kehidupan sekolah: (1) keamanan (physical dan social-emotional), (2)
hubungan (respect for diversity, school community, dan morale and
connectedness), (3) pengajaran dan pembelajaran (quality of instruction dan
social, emotional, and ethical learning), dan (4) lingkungan (environmentalstructural) (Cohen et al. 2009; Thapa et al. 2012). Sekolah dengan
lingkungan yang positif tidak hanya memungkinkan siswa untuk
mempelajari kemampuan akademik, tetapi juga keterampilan sosial (empati
dan kontrol diri) yang diperlukan untuk sukses di dalam kehidupan
(Sojourner 2014). Lingkungan sekolah yang terdiri atas seperangkat kondisi
seperti lingkungan dan tempat baru, pengalaman baru dengan teman dan
guru, dan lainnya dapat memengaruhi perkembangan dan kepribadian siswa
(Brand 2009; Küçük et al. 2012). Lingkungan sekolah yang positif terbukti
dapat menurunkan risiko terjadinya kekerasan di sekolah (Sojourner 2014),
menurunkan permasalahan perilaku (Wang et al. 2010), dan meningkatkan
tingkat kehadiran siswa di sekolah (Lehr 2005).
Keteladanan guru adalah bagaimana sifat-sifat baik yang ditampilkan
oleh guru dalam bentuk perilaku dapat memengaruhi perkembangan
karakter anak (Schwartz 2007). Anak mempelajari moral karakter melalui
pengamatan dan hubungan langsung dengan orang dewasa yang ada
disekitarnya, dan pendidik merupakan salah satu orang dewasa yang setiap
hari melakukan interaksi dengan anak (Narvaez 2008). Karakteristik dari
guru yang dapat dilihat sebagai teladan bagi moral karakter, yaitu: 1)
memiliki komitmen yang kuat terhadap prinsip-prinsip moral, 2) bertindak
dengan didasarkan pada prinsip-prinsip moral (konsistensi diantara tindakan
dan niat, dan diantara tujuan awal dan akhir dari tindakan), 3) bersedia
untuk mengorbankan keinginan pribadi untuk kepentingan prinsip-prinsip
moral, dan 4) menjadi inspirasi bagi orang lain untuk bertindak sesuai
dengan prinsip-prinsip moral (Schwartz 2007).
Guru adalah teladan utama dan pertama bagi anak di sekolah, dan
berperan penting di dalam menanamkan karakter pada anak sampai anak
mampu untuk melakukan pengaturan diri secara mandiri (self-regulation)
(Narvaez 2008). Guru membantu anak untuk menginternalisasikan nilainilai moral (kejujuran, kepercayaan, keadilan, rasa hormat, dan tanggung
jawab) dengan cara memberikan contoh dan secara terus menerus
memperkuat apa yang dianggap benar dan salah kepada anak (Lumpkin
2008). Anak yang menjadikan guru sebagai teladan lebih cenderung
memperlihatkan perilaku positif dan menghindari perilaku-perilaku yang
merusak (merokok, minum-minuman keras, dan penggunaan obat terlarang)
(Yancey et al. 2010). Hasil penelitian Küçük et al. (2012) menemukan
bahwa siswa akan menjadikan guru sebagai teladan ketika guru
menunjukkan perhatian dan persahabatan dengan siswa.
10
Karakter
Karakter adalah pola perilaku yang konsisten yang berorientasi pada
pengembangan diri dan pengaturan emosi sebagai sebuah bentuk tanggung
jawab kepada diri sendiri dan orang lain (Holmgren 2004; Schwartz 2007).
Karakter juga dapat didefinisikan sebagai sifat-sifat positif yang
menggambarkan pengetahuan, perasaan, dan perilaku individu (Park et al.
2004). Karakter merupakan hasil dari penilaian individu yang
menggambarkan keadaan lingkungannya seperti etika, aturan, dan nilai
sosial (Küçük et al. 2012). Seseorang dikatakan memiliki karakter yang baik
apabila tindakan yang dilakukannya sesuai dengan nilai-nilai yang dipegang
oleh masyarakat, serta dapat memberikan mafaat tidak hanya bagi diri
sendiri tetapi juga bagi orang lain dan masyarakat (Ji et al. 2013). Karakter
akan terbentuk ketika individu memiliki identitas moral. Identitas moral
adalah seperangkat konsep diri yang berhubungan dengan prinsip-prinsip
moral. Individu dengan identitas moral yang kuat akan mampu menjaga
konsistensi antara prinsip moral dan perilakunya. Identitas moral merupakan
komponen penting yang mendasari perilaku individu (Aquino dan Reed
2002). Hasil penelitian Aquino et al. (2011) menyatakan bahwa individu
dengan identitas moral yang kuat dilaporkan memiliki peningkatan moral
yang berhubungan dengan kecenderung untuk melakukan perilaku prososial.
Perkembangan moral anak berlangsung melalui sebuah proses yang
dimulai sejak lahir dan terus berlangsung hingga dewasa. Teori
perkembangan moral Lickona menyatakan bahwa moralitas individu
berkembang secara perlahan dan melalui beberapa tahapan moral reasoning.
Moral reasoning adalah kemampuan untuk memahami alasan mengapa
sesuatu dianggap benar dan salah. Setiap tahapan moral reasoning yang
dilalui anak akan membawanya lebih dekat menuju seorang individu dengan
kapasitas moral yang utuh. Tahapan moral reasoning, yang disebut juga
perkembangan moral vertikal, terdiri atas (Lickona 1994):
1. Tahap 0 : egocentric reasoning (kisaran usia 4 tahun). Pada tahap ini,
anak hanya berfokus pada satu pandangan saja yaitu pandangan dirinya
sendiri dan kurang menyadari cara pandang orang lain. Alasan anak
untuk melakukan apa yang benar didasarkan pada keinginan untuk
mendapatkan apa yang diinginkannya (mendapatkan hadiah dan
menghindari hukuman).
2. Tahap 1 : unquetioning obedience (kisaran usia taman kanak-kanak).
Pada tahap ini, anak mulai memiliki kemampuan untuk memahami cara
pandang orang lain. Alasan anak untuk melakukan apa yang dianggap
benar adalah untuk menghindari masalah.
3. Tahap 2 : what’s in it for me fairness (usia sekolah dasar). Pada tahap ini,
anak memahami bahwa setiap orang memiliki cara pandangnya sendirisendiri. Apa yang dianggap benar adalah untuk mengikuti cara pandang
sendiri, memperhatikan diri sendiri, dan berbuat adil kepada orang yang
adil kepada dirinya. Alasan anak melakukan apa yang dianggap benar
berhubungan dengan kepentingan dirinya (self-interest).
4. Tahap 3 : interpersonal conformity (usia remaja awal). Pada tahap ini,
anak berusaha untuk menyenangkan orang lain dengan menjadi pribadi
11
yang baik dan berusaha memenuhi harapan mereka (anak sangat
memperhatikan apa yang dipikirkan oleh orang lain). Hubungan personal
sangat penting pada tahapan ini. Alasan anak untuk melakukan apa yang
dinggap benar adalah untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain
sehingga anak memiliki kepercayaan diri (self-esteem).
5. Tahap 4 : responsibility to the system (usia remaja akhir). Pada tahapan
ini, anak memiliki kemampuan untuk memahami peran dan tanggung
jawabnya sebagai bagian dari sistem sosial yang lebih besar (contoh:
keluarga besar, sekolah, dan negara). Alasan anak untuk melakukan apa
yang dianggap benar adalah untuk menjaga sistem sosial tidak rusak.
6. Tahap 5 : principled conscience (usia dewasa muda): Pada tahap ini,
anak memiliki kemampuan untuk memahami pentingnya menghargai hak
orang lain dan medukung sistem yang melindungi hak-hak manusia.
Alasan anak untuk melakukan hal yang dianggap benar karena kesadaran
untuk bertindak sesuai dengan prinsip menghargai dan menghormati
seluruh manusia.
Tahapan perkembangan moral tidak hanya bersifat vertikal, tetapi juga
bersifat horizontal. Perkembangan horizontal dari moral berfokus pada
bagaimana mengaplikasikan cara berpikir di setiap tahapan moral reasoning
dalam menghadapi beragam situasi di kehidupan sehari-hari. Perkembangan
horizontal dari moral inilah yang menjadikan moral reasoning anak sebagai
bagian dari perilaku moral di kehidupan sahari-hari. Semakin sering anak
menggunakan kemampuan berpikirnya dalam menghadapi permasalahan di
dalam kesehariannya, maka semakin anak menguasai tahapan
perkembangan tersebut. Hal tersebut akan memudahkan anak untuk naik ke
tahapan perkembangan moral selanjutnya (Lickona 1994).
Karakter disusun oleh tiga komponen yang saling berhubungan antara
satu dengan yang lain yaitu pengetahuan moral, perasaan moral, dan
tindakan moral. Ketiga komponen ini dibutuhkan untuk membentuk
karakter yang baik pada anak. Karakter yang baik terbentuk ketika individu
mampu menilai apa yang benar, memberikan perhatian secara mendalam
mengenai apa yang benar, dan melakukan apa yang dipercayai sebagai
kebenaran (Ryan dan Lickona 1992; Lickona 1992). Penelitian-penelitian
terdahulu menemukan bahwa pembentukan karakter pada anak dipengaruhi
oleh banyak hal seperti status sosial-ekonomi keluarga (Nakao et al. 2000;
Karina et al. 2013), usia orangtua (Karina et al. 2013; Dewanggi 2014), usia
dan jenis kelamin anak (Hastuti et al. 2011,2013; Karina et al. 2013; Ji et al.
2013; Dewanggi 2014), keteladanan orang tua (Yancey et al. 2010;
Marjohan 2014), pengasuhan orang tua (Nakao et al. 2000), iklim sekolah
(Payne et al. 2003; Pintado 2006; Cohen et al. 2009; Wang et al. 2010;
Jankens 2011; Aldridge dan Ala’l 2013), dan keteladanan guru (Yancey et
al. 2010; Küçük et al. 2012).
3 KERANGKA PEMIKIRAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan teori sistem ekologi dan teori
pembelajaran sosial yang memandang bahwa pembentukan perilaku
12
(karakter) dapat terjadi melalui interaksi timbal balik antara individu dan
lingkungan. Aplikasi teori ini ada pada keluarga dan sekolah sebagai dua
lingkungan paling dekat yang berinteraksi secara langsung dengan anak.
Lingkungan keluarga dan sekolah memegang peranan penting dalam
membentuk karakter anak. Karakter penting diteliti pada anak usia remaja
karena periode ini merupakan periode puncak pembentukan identitas diri.
Identitas diri berperan penting dalam memotivasi dan mengarahkan perilaku
moral individu (identitas diri adalah dasar bagi perilaku moral).
Teori perkembangan moral Lickona menyatakan bahwa anak pada
periode usia remaja berada pada tahapan ke tiga dalam perkembangan moral,
yaitu tahapan interpersonal conformity. Anak sangat memperhatikan apa
yang dipikirkan oleh orang lain (hubungan personal sangat penting bagi
anak). Alasan anak untuk melakukan apa yang dinggap benar adalah untuk
mendapatkan pengakuan dari orang lain sehingga anak memiliki
kepercayaan diri (self-esteem). Anak membutuhkan orang dewasa sebagai
panutan, dan mereka perlu memiliki kepercayaan bahwa orang dewasa
adalah orang-orang yang baik, melindungi dan membantu, serta dapat
memberikan kontrol kepada mereka.
Teori sistem ekologi Bronfenbrenner menyatakan bahwa
perkembangan individu yang optimal berlangsung di dalam sebuah aktivitas
rutin dan dalam periode waktu yang lama di kehidupan sehari-hari.
Pengalaman yang didapatkan anak melalui interaksi dengan anggota
keluarga mampu memfasilitasi perkembangan moral anak. Lingkungan
keluarga yang positif (memberikan cinta, perhatian dan kasih sayang,
menerapkan peraturan yang jelas di rumah (tidak permisif), dan demokratis
kepada anak) merupakan prediktor bagi pembentukan identitas moral, sifat,
dan kepribadian anak. Di dalam keluarga, orang tua adalah guru pertama
bagi anak yang dapat berperan sebagai model bagi berbagai perilaku positif.
Teori pembelajaran sosial menyatakan bahwa anak mempelajari moral
melalui pengamatan terhadap orang dewasa yang ada di sekitarnya.
Keteladanan orang tua memiliki hubungan positif dengan perilaku sosial
anak dan berperan penting dalam perkembangan karakter anak.
Selain di keluarga, sebagian besar aktivitas anak berlangsung di
sekolah. Sekolah dengan lingkungan yang positif (tidak ada kekerasan,
fasilitas sekolah memadai, serta memiliki aturan dan norma) mampu
menurunkan risiko munculnya perilaku negatif pada anak, dan mampu
mendorong perkembangan yang sehat pada anak. Faktor-faktor yang
membangun kualitas kehidupan sekolah yaitu keamanan, hubungan
interpersonal, pengajaran dan pembelajaran, serta struktur lingkungan di
sekolah. Keteladanan yang ditunjukkan guru di sekolah mampu membantu
anak di dalam menginternalisasikan dan mengaplikasikan prinsip-prinsip
moral. Karakteristik dari guru yang dapat menjadi