ANALISIS WACANA STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT ARAB SAUDI DALAM FILM WADJDA

(1)

Analisis Wacana Struktur Sosial Masyarakat Arab Saudi

Dalam Film Wadjda

Discourse Analysis of Social Structure of Saudi Arabia’s

People in The Film of Wadjda

SKRIPSI

Disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata 1

Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh:

MUHAMMAD ALIEF MAULANA

20120530185

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(2)

Analisis Wacana Struktur Sosial Masyarakat Arab Saudi

Dalam Film Wadjda

Discourse Analysis of Social Structure of Saudi Arabia’s

People in The Film of Wadjda

SKRIPSI

Disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata 1

Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh:

MUHAMMAD ALIEF MAULANA

20120530185

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(3)

HALAMAN PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Muhammad Alief Maulana

NIM : 20120530185

Jurusan : Ilmu Komunikasai Konsentrasi : Broadcasting

Universitas : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri dan seluruh

summber yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan benar. Apabila

dikemudian hari karya saya ini terbukti merupakan hasil plagiat/menjiplak karya

orang lain maka saya bersedia dicabut gelar kesarjanaannya.

Penulis


(4)

MOTO

CEPAT BOLEH...


(5)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Bismillahirrahmanirrahim...

Dengan ini saya persembahkan skripsi ini untuk kedua orang tua saya yang

selalu mendoakan dan mendukung setia langkah saya. Terimakasih kepada kedua

orang tua saya yang telah banyak memberikan nasihat serta motivasi terbaik untuk

hidup saya. Trimakasih kepada kedua orang tua saya yang telah meembesarkan

saya dan mendidik saya dengan penuh kasih sayang. Terimakasih untuk semua jasa

kedua orang tua saya, semoga apa yang kalian ajarkan kepada saya bisa menjadi

kunci untuk kesuksesan saya terus kedepannya.

Saya persembahkan pula skripsi ini untuk almamater Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta, Prodi Ilmu Komunikasi, atas pihak-pihak yang telah


(6)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan rizki

serta karunia-Nya. Sholawat dan salam semoga berlimpah kepada junjungan Nabi

besar Muhammad SAW, sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas skripsi dengan

judul, “Analisis Wacana Strukur Sosial Masyarakat Arab Saudi Dalam Film

Wadjda”.

Tulisan ini termasuk tulisan saya yang cukup lama saya tulis, daripada

tulisan-tulisan ngaco atau diary yang biasa dulu saya tulis. Skripsi ini saya tulis

sekitar lima bulan lamanya dengan berbagai hambatan yang saya alami selama

proses penulisan skripsi ini. Tetunya saya menulis skripsi ini dengan

sungguh-sungguh dan penuh pemikiran kritis, karena saya sadar skripsi ini bukan hanya

sekedar isi tulisan tentang patah hati yang menguras hati, tetapi saya harus berpikir

kritis mengenai masalah sosial yang saya lihat dalam objek penelitian saya.

Karena harus bisa memanfaatkan waktu sebaik mungkin diakibatkan

deadline yang menyeramkan, lebih dari ibu-ibu judes yang ada dalam sinetron

‘Tersanjung’, saya banyak memanfaatkan waktu untuk menulis di mana-mana. Saya menulis di kosan, di caffe, di rumah makan, bahkan saya merelakan waktu

malam minggu saya berbulan-bulan untuk menyelesaikan skripsi saya. Walaupun

saya sadar, tidak punya orang spesial ataupun gebetan yang mengajak saya jalan.

Secara garis besar, skripsi ini adalah soal kegelisahaan saya mengenai


(7)

sehingga menimbulkan sterotipe mengenai perempuan yang tertindas, direnggut

hak-haknya, terjadi subordinasi pada prempuan, dan bahkan saya meliat perempuan

sudah tidak sadar dan justru menerima apa yang sudah dikonstruksikan oleh

masyarkat. Akhirnya saya menemukan film Wadjda, yang membahas mengenai

kehidupan sosial masyarakat Arab Saudi yang kental akan patriarki, yang banyak

menyinggung mengenai hak-hak perempuan.

Meski menghadapi beberapa kendala dan hambatan, akhirnya saya dapat

menyelesaikan tulisan dan pemikiran saya dalam bentuk skripsi utuh. Semoga hal

ini dapat memancing saya untuk terus membuat karya-karya berikutnya, baik

berupa buku atau karya lainnya.

Dan untuk mengakhiri pengantar saya ini, saya juga berterima kasih kepada

Orang tua saya, keluarga besar saya, Dosen pembimbing saya Ibu Firly Annisa

yang telah memberikan waktunya untuk membibing dan memberi masukan kepada

saya, teman-teman mentor dan sharing saya Syahidul Mubarok, Aulia Rahman, Tri Pras, Adam Qodar, dan Viddya Dwi sebagai jasa printer,teman-teman yang mempercayai saya, teman Broadcasting, Keluarga Ilmu Komunikasi, Keluarga Ciko, Marvel Studios sebagai mood booster dengan film-filmnya selama saya mengerjakan skripsi (Captain America: Civil War, Doctor Strange), dan Spider-man yang saya idolakan sejak kecil. Terima kasih juga untuk patah hati disela-sela penulisan skripsi ini. Terima kasih untuk semuanya. This thesis is for you.


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN... ii

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI... iii

MOTTO... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN... v

KATA PENGANTAR... vi

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR GAMBAR... xiii

DAFTAR FIGURE... xiv

ABSTRAK... xv

ABSTRACT... xvi

BAB I ... 1

PENDAHULUAN... 1

A.Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah... 11

C.Tujuan Penelitian... 12

D.Manfaat Penelitian... 12

E. Kajian Teori... 12


(9)

2. Analisis Gender dan Ideologi Patriarki... 18

3. Wacana Dalam Film... 24

F. Metode Penelitian... 29

1. Jenis Penelitian... 29

2. Objek Penelitian... 29

3. Teknik Pengumpulan Data... 30

4. Teknik Analisis Data... 30

G.Sistematika Penulisan... 34

BAB II GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN... 36

A.Sekilas Tentang Arab Saudi... 36

1. Sejarah... 36

2. Monarki dan Keluarga Kerajaan... 40

3. Al Ash-Sheikh dan Para Ulama... 41

4. Agama dan Masyarakat... 43

B. Hak-hak Perempuan di Arab Saudi... 44

1. Perempuan dan Sistem Perwalian Laki-laki Arab Saudi... 46

2. Sex Segregation... 47

3. Membatasi Hak Pekerjaan... 49

4. Pembatasan Mobilitas... 51


(10)

6. Pernikahan, Perceraian, dan Hak Asuh... 56

7. Kekerasan Terhadap Perempuan... 58

C.Dibalik Layar Film “Wadjda”... 60

1. Sinopsis... 60

2. Sekilas Tentang Film “Wadjda”... 62

3. Profil Haifaa al-Mansour... 65

D.Penelitian Terdahulu... 66

BAB III PENYAJIAN DATA DAN PEMBAHASAN... 70

A.Catatan Pembuka... 70

B. Analisis dan Sajian Data... 71

1. Hambatan Mobilitas Perempuan Dalam Wilayah Publik... 71

2. Peran Perempuan dan Kuasa Laki-laki... 105

3. Dilema Seksualitas Dalam Tubuh Perempuan... 145

BAB IV PENUTUP... 171

1. Kesimpulan... 171

2. Saran... 172


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Gugus Strukturasi... 15

Tabel 2. Status dan Peran Yang Dianggap Pantas Oleh Masyarakat... 20

Tabel 3. Adegan Wadjda Meminta Sepeda Kepada Orang Tuanya... 73

Tabel 4. Adegan Pelabelan Berbahaya Dalam Berkendara... 79

Tabel 5. Adegan Wadjda Mendapatkan Juara Baca Al-Quan... 84

Tabel 6. Bagaimana Seorang Perempuan Begitu Bergantung Dengan Laki-laki... 89

Tabel 7. Perbedaan Busana Perempuan Dewasa dan Anak-anak... 102

Tabel 8. Perempuan Dalam Ranah Domestik... 109

Tabel 9. Ibu Wadjda Menolak Pencampuran Gender... 115

Tabel 10. Pemisahan Gender Diranah Publik... 120

Tabel 11. Daftar Job Desc Film Wadjda... 129

Tabel 12. Teman Wadjda Menikah Dengan Laki-laki 20 Tahun... 136

Tabel 13. Ayah Wadjda Meninggalkan Istrinya Untuk Poligami... 140

Tabel 14. Ibu Wadjda Depresi dan Harus Menerima Nasibnya... 143

Tabel 15. Tubuh dan Aurat Perempuan... 148

Tabel 16. Larangan Berhias dan Bersentuhan Dengan Sesama Perempuan... 152

Tabel 17. Aturan Pakaian Perempuan... 158


(12)

DAFTAR GMBAR

Gambar 1. Wadjda Tertarik Dengan Sepeda... 5

Gambar 2. Wadjda Diminta Mengantarkan Surat Kepada Laki-laki... 5

Gambar 3. Adegan Praktik Patriarki... 6

Gambar 4. Poster Film Wadjda (1)... 9

Gambar 5. Skema Pola Hubungan Gugus Strukturasi... 15

Gambar 6. 3 Dimensi Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough... 31

Gambar 7. Poster Film Wadjda (2)... 61

Gambar 8. Haifa al-Mansour... 65

Gambar 9. Situs Resmi Fatwa Kerajaan Arab Saudi... 87

Gambar 10. Wadjda Mengalahkan Abdullah... 96

Gambar 11. Wadjda Mendengarkan Musik Metal... 116

Gambar 12. Kepala Sekolah Memperingatkan Muridnya Yang Tertawa... 119

Gambar 13. Christinne dan Abu Sin... 123


(13)

DAFTAR FIGURE


(14)

(15)

ABSTRAK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK JURUSAN ILMUKOMUNIKASI

KONSNTRASI BROADCASTING Muhammad Alief Maulana

Analisis Wacana Struktur Sosial Masyarakat Arab Saudi Dalam Film Wadjda

Tahun Skripsi : 2016 + 171 Halaman

Daftar Pustaka : 37 Buku + 16 Jurnal dan Skripsi + 36 Berita Internet

Film Wadjda adalah film Jerman-Arab yang mengangkat kisah seorang anak permpuan tomboy berusia 12 tahun yang sangat menginginkan sepeda di tengah arus budaya yang melarang setiap perempuan berkendara. Film ini cukup menyinggung pemerintahan Arab Saudi terkait aturan dan penyebaran wacana mengenai mobilitas dan hak-hak perempuan. Penelitian ini melihat bagaimana struktur sosial masyarakat Arab Saudi dalam berinteraksi sosial di tengah wacana-wacana yang membatasi hak-hak perempuan yang diproduksi dan direpoduksi terus menerus. Kerangka teori dalam penelitian ini menggunakan teori strukturasi, analisis gender dan ideologi patriarki, wacana dalam film. Kemudian dalam metodenya peneliti menggunakan analisis wacana kritis Norman Fairclough. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa dalam film ini, perempuan ditampilkan sebagai sosok yang terus ketergantungan dengan laki-laki, perempuan juga sebagai seks kelas dua yang tidak lepas dari wilayah domestik dan masih menjadi objek yang dipilih laki-laki dalam pernikahan. Tubuh perempuan juga tidak lepas dari wacana, begitu tabu dan ambigu untuk diekspresikan, seolah apa yang melekat pada tubuh perempuan dapat merusak moral sosial dan menggugah hasrat seksualitas laki-laki


(16)

ABSTRACT

UNIVERSITY OF MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA FACULTY OF SOCIAL AND POLITIC SCIENCE DEPARTMENT OF COMMUNICATION SCIENCE CONCENTRATION OF BROADCASTING

Muhammad Alief Maulana

Discourse Analysis of Social Structure of Saudi Arabia’s People in The Film of Wadjda

Year of Thesis : 2016 + 171 Pages

References : 37 Books + 16 Journals and Thesis + 36 Online News

Film of Wadjda is Arabian-German film which emerged the story of a twelve-years-old young tomboy girl who is eager to have a bike amid the culture that forbids every women to ride. This film quite offends Saudi Arabia’s regime related to the

rule and dissemination of discourse about mobility and women’s right. This research perceives how social structure of Saudi Arabia’s people socially interact to the discourses that limit the women’s rights which are continously produced and reproduced. Theoretical frameworks of this research used the theory of structuralism, gender analysis, patriarchal ideology and the discourse in film. For the research method, the researcher used critical discourse analysis of Norman Fairclough. Thee result of this research shows that women in this film, are represented as a figure who continuously relies on men, women are also as a second class of sex that is inseparable from domestic area and is still an object opted by men to be married with. Women’s body can not also be separated from the discourse

that is taboo and ambiguous to be expressed, as though what clings on women’s body that is able to breal social morality and trigger men’s sexual desires.


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Arab Saudi merupakan salah satu Negara Islam yang menganut sistem

monarki atau kerajaan. Sebagaimana Islam yang lahir di tanah Arab. Negara Arab

Saudi menjunjung tinggi nilai-nilai Islam dengan berpedoman pada Qur’an dan Hadist sebagai landasan hukumnya. Alih-alih menjunjung tinggi pedoman agama

Islam, para penguasa justru memanfaatkannya sebagai kontrol kekuasaan,

sehingga kapasitas agama bisa dikatakan dapat menindas dan mencegah

penindasan. Dalam hal ini, kaitannya dengan agama, Halim Barakat menjelaskan

bahwa:

“Sepanjang sejarah Arab, para penguasa menggunakan agama untuk memperlemah pemberontakan dan perselisihan (fitna) dengan mengatasnamakan persatuan umat dan untuk menjaganya dari berbagai ancaman, baik internal maupun eksternal. Pada abad ke-20 agama digunakan untuk merongrong oposisi radikal dan liberal serta untuk membenarkan kebijakan-kebijakan yang represif”. (Barakat, 2012:176) Salah satu isu yang juga terkait tentang pengekangan dan juga

pemberdayaan atas dasar agama adalah mengenai peran perempuan di Arab Saudi.

Adanya isu mengenai peran perempuan di Arab Saudi, yang tidak lepas dari

budaya Patriarki yang sudah tertanam sejak masa Pra-Islam. Ideologi Patriarki

memberikan otoritas dan dominasi kepada laki-laki dalam kehidupan berumah

tangga dan bermasyarakat. Laki-laki pada umumnya mendapatkan kesempatan


(18)

dalam masyarakat. Selain itu, laki-laki tidak hanya mengontrol dalam bidang

sosial ekonomi, seluruh pranata sosial, melainkan juga mengontrol jumlah

populasi penduduk dalam suatu suku. Dalam tradisi masyarakat Arab, pembagian

peran sudah terpola dengan jelas. Laki-laki yang berperan mencari nafkah dan

melindungi keluarga, sementara perempuan berperan dalam urusan reproduksi,

seperti memelihara anak dan menyiapkan makanan untuk seluruh anggota

keluarga. (Umar, 2001: 128-129).

Banyak hal yang disalahgunakan dalam penafsiran tentang teks

keagamaan yang akhirnya membuat bias peran gender yang terjadi dimasyarakat.

Serta faktor budaya patriarki yang terus menerus diproduksi, membuat apa yang

sebenarnya salah menjadi hal yang wajar bagi perempuan dalam menerima peran

mereka di bawah tekanan patriarki. Iskandar Ritonga menyimpulkan bahwa

adanya faktor penyebab terjadinya diskriminasi dan ketidak adilan gender adalah

disebabkan oleh faktor, adanya penafsiran terhadap teks-teks keagamaan (Islam)

yang bias gender dan juga adanya konstruksi sosial (adat dan budaya) yang

menempatkan perempuan pada posisi yang tidak sederajat dengan laki-laki

(Ritonga 2005:13).

Faktor lain munculnya subordinasi terhadap perempuan adalah pandangan

bahwa perempuan adalah mahluk lemah dan irasional. Ketidak berdayaan secara

kultural ini menjelaskan mengapa dalam mitologi khas Arab, perempuan

digambarkan sebagai tipu daya dan kelicikan (Barakat, 2012:135). Pandangan


(19)

penggambaran bahwa tuhan seolah-olah adalah laki-laki, penggambaran ini terjadi

hampir disemua agama (Fakih, 1996:126).

Secara pandangan agama, negara Arab Saudi adalah negara Islam yang

menganut ajaran Wahhabi. Aliran Wahhabi memiliki peraturan yang telah

disahkan oleh para ulamanya, seperti pelarangan praktik keagamaan lain misalnya

cara shalat menggunakan tasbih, peringatan maulid Nabi Muhammad SAW,

khususnya pembacaan syair-syair, hingga pembawaan hadist sebelum khutbah

shalat jum’at (Algar, 2011:43). Selain itu Wahhabi juga menerapkan peraturan

yang membatasi perempuan dari segala bentuk aktifitas baik itu sosial maupun

ekonomi (Algar, 2011:71).

Dalam pembentukan Agama, para Ulama mengontrol sebagian besar,

peradilan dan pendidikan. Dalam hal pendidikan misalnya, seorang perempuan

diawasi langsung oleh kementrian keagamaan dan bukan kementrian pendidikan

seperti laki-laki. The General Presidency For Scholarly Research lembaga resmi

yang dipercayakan dengan mengeluarkan pendapat hukum Islam, juga secara

konsisten memberikan fatwa bahwa kemampuan perempuan terbatas dalam

membuat keputusan independen. Website ini berisi puluhan fatwa tentang wanita

dan juga memperkuat otoritas laki-laki atas perempuan dan membatasi perempuan

dalam bergerak, bekerja, belajar, misalnya dalam websitenya menyatakan bahwa

perempuan tidak bisa melayani di posisi kepemimpinan lebih dari laki-laki.

Dalam budaya Arab Saudi, seorang perempuan diwajibkan mendapatkan

perizinan kepada wali laki-laki sah mereka dalam berbagai hal, terutama dalam


(20)

(Kehormatan). Namus adalah fitur umum dari masyarakat patriakal. Jika seorang

pria kehilangan Namus karena seorang perempuan di keluarganya, ia mungkin

mencoba untuk membersihkan kehormatannya dengan menghukumnya. Dalam

kasus ekstrim, bisa hukuman mati. Pada tahun 2007, seorang wanita muda

dibunuh oleh ayahnya karena mengobrol dengan seorang pria di facebook

(Facebook girl beaten and shot dead by her father for talking online, 31 Maret

2008).

Dari pemaparan di atas, terdapat salah satu film yang mencoba

menggambarkan realitas perempuan Arab Saudi dalam ruanglingkup struktur

sosial yang didominasi dengan budaya Patriarki. Salah satu film yang menarik

adalah “Wadjda” karya Haifaa al-Mansour yang dirilis pada tahun 2013. Film ini menceritakan tentang seorang gadis tomboy berusia 12 tahun bernama Wadjda

yang sangat menginginkan sepeda untuk beradu balap dengan sahabat

laki-lakinya. Namun disisi lain keinginan Wadjda sangat ditentang oleh keluarganya

karena menganggap seorang gadis tidak pantas menaiki sepeda dan dapat merusak

sistem reproduksi mereka.

Arab Saudi merupakan satu-satunya negara di dunia yang melarang

perempuan untuk mengemudi. Pelarangan mengemudi ini diupayakan untuk

perempuan agar tidak sering meninggalkan rumah. Sebagian besar ulama Saudi

dan otoritas keagamaan telah menyatakan bahwa mengemudi adalah suatu yang

diharamkan bagi perempuan. Larangan mengemudi merupakan hal yang cukup


(21)

berkoordinasi dengan transpotasi karyawan perempuan mereka atau menaikan gaji

mereka untuk biaya transportasi.

Permintaan Wadjda kepada orang tuanya yang menginginkan sepeda,

membuat Wadjda berinisiatif melakukan berbagai cara untuk mendapatkan uang.

Diantaranya dengan menjual gelang, kurir surat cinta, dan ikut serta dalam

perlombaan baca Al-Qur’an, yang semuanya membat Wadjda bermasalah. Gambar 1

Wadjda tertarik dengan sepeda

Sumber: Potongan adegan film "Wadjda" menit ke 00:13:00

Gambar 2

Wadjda diminta mengantarkan surat pada laki-laki Sumber: Potongan film Wadjda menit ke 00:17:52


(22)

Tak hanya itu, hal lain tentang kehidupan keluarga Wadjda yang

bergejolak karena sang Ibu tidak bisa memberikan keturunan anak laki-laki dan

harus rela dimadu. Ada pula adegan dimana Wadjda tertarik dengan pohon nasab

(garis keturunan ayah) yang dimana semuanya laki-laki, hal ini membuat Wadjda

berinisiatif menempelkan namanya sendiri, namun hal tersebut diketahui sang

ayah dan dicabut kembali nama Wadjda. Film ini juga menyinggung tentang

sistem sosial serta kehidupan di lingkungan kusus wanita yang digambarkan

begitu ketat dengan aturan yang dianggap syari dan tidak pantas dilakukan oleh

para perempuan.

Kaitannya akan isu poligami, seorang laki-laki diizinkan untuk menikahi

sebanyak empat orang istri. Beberapa kasus juga seorang laki-laki bisa saja

meninggalkan istri mereka tanpa ada proses perceraian dan terkadang hanya

masalah sepele. Dalam kasus perceraian juga sang suami bisa dengan mudah Gambar 3

Adegan Praktik Patriarki


(23)

memproses perceraian tanpa adanya persyaratan khusus seperti halnya

perempuan. Bagi seorang perempuan, sangat sulit dan bahkan tidak mungkin

untuk mengajukan gugatan perceraian kepada suami mereka. (Boxed In: Woman

And Saudi Arabia’s Male Guardianship System, 16 Juli 2016).

Isu lain yang coba diangkat dari film ini adalah, pernikahan diusia muda

dimana teman sekelas Wadjda bernama Salma yang berusia 11 tahun, telah

dinikahkan oleh orangtuanya pada seorang pemuda berusia 20 tahun. Masalah ini

sering menjadi perdebatan karena masing-masing negara memiliki batas usia

dewasa. Acuan Arab Saudi akan batas usia dewasa perempuan adalah pernikahan

Aisyah yang berusia 9-10 tahun. Pada abad ke-6, masyarakat jazirah Arab

menganggap perempuan sudah layak menikah ketika telah mendapatkan haid.

Pernikahan anak juga diyakini sebagai sebab terhambatnya pendidikan

perempuan. Tingkat putus sekolah bagi perempuan meningkat ketika mengalami

pubertas, karena mereka harus berhenti sekolah dan terpaksa untuk menikah.

Kira-kira 25% perempuan muda tidak menghadiri kuliah karena menikah. Pada

tahun 2005-2006, wanita memiliki tingkat putus sekolah sekitar 60%, melek huruf

bagi perempuan sekitar 70% dan laki-laki 85% (Almunajedd, 2009)

Melihat ke belakang mengenai penelitian sebelumnya yang juga

mengangkat isu patriarki adalah “Representasi Citra Budaya Patriarki Pada Film Osama” oleh Oktaria Hermin. Dalam penelitian tersebut, Oktaria mencoba

mengangkat isu bentuk kekerasan dalam budadya patriarki dalam film Osama.

Film Osama merupakan film karya Siddiq Barmak, menceritakan bagaimana


(24)

bekerja dan keluar rumah tanpa seizin laki-laki. Membuat gadis yang diberi nama

Osama harus menyamar menjadi laki-laki demi mencari pekerjaan. Pada masa

pemerintahan Taliban, perempuan diperlakukan semena-mena, hak penduduk

dibatasi, mereka dilarang menonton TV, Film, dan bahkan mendengarkan radio.

Dalam penyamarannya, Osama diperlakukan layaknya seorang laki-laki,

dan mengikuti wajib militer, hingga pada suatu hari penyamaran Osama ketahuan

dan Osama harus menerima hukuman. Osama mendapat pengampunan dan harus

menikahi Ustadznya sendiri yang sudah berusia 70 tahun, dan harus terpisah oleh

ibu dan neneknya. Sosok Osama dalam film tersebut mengambarkan bagaimana

seorang perempuan memiliki keinginan yang sama dengan laki-laki namun harus

kandas dalam sistem patriarki (Hermin, 2002).

Begitulah gambaran singkat mengenai penelitian sebelumnya. Film

Wadjda” jauh lebih halus dalam mengambarkan patriarki dalam masyarakat Arab Saudi. Seolah film ini mengambarkan struktur sosial masyarakat Arab yang sudah

tidak perlu dipertanyakan lagi. “Wadjda” merupakan film dari kerja sama dengan rumah produksi Jerman, yaitu Razor Film. Sementara sang sutradara yaitu Haifaa

al-Mansour merupakan sutradara perempuan berkebangsaan Arab yang sudah

banyak melahirkan karya melalui film-film pendeknya, diantaranya: “Who?”, “The Bitter Journey”, “The Only Way Out”, “Women Whitout Shadow”, dan

“Wadjda” adalah film panjang pertamanya yang pembuatannya sepenuhnya


(25)

Film “Wadjda” pertama kali rilis di negara-negara Eropa, dan banyak menerima tanggapan postif dari para penikmat film. Selain itu berbagai

penghargaan juga diraih film “Wdjda”, diantaranya penghargaan dari Alliance Of Women Film Journalists (AWFJ) sebagai This Year’s Outstanding Achievement

By a Woman In The Film Industry pada tahun 2013. Kemudian Boston Society Of

Film Critics Award sebagai Best Foreign Language Film pada tahun 2013

(Sumber: http://www.imdb.com/title/tt2258858/awards, diakses pada Jumat 20

Mei)

Gambar 4 Poster film Wadjda (1)

Sumber: http://www.imdb.com/title/tt2258858/awards, diakses pada jumat 20 mei 2016


(26)

Kembali ke dalam konteks film “Wadjda”, terlepas dari prestasi yang

sudah diraih. Film “Wadjda” menggambarkan bagaimana sebuah struktur sosial

mempengaruhi berbagai tindakan antar pelaku sosial dan sebaliknya, salah

satunya budaya patriarki yang sangat melekat dalam masyarakat Arab dan

tergambar dalam film ini. Mengacu pada teori Strukturasi yang dicetuskan oleh

Anthony Gidden, yang memusatkan pada praktik sosial yang berulang, yang pada

dasarnya adalah sebuah teori yang menghubungkan antara Agen (Pelaku sosial)

dan Struktur yang keduanya tidak bisa dipisahkan, yang disebut dengan dualitas.

Menurut Giddens, struktur merujuk pada aturan-aturan dan sarana-sarana.

Dualitas antara Struktur dengan agen, menurut gagasan tentang dualitas struktur,

kelengkapan-kelengkapan struktural dari sistem-sistem sosial adalah sarana

sekaligus hasil dari praktik-praktik yang terorganisasi secara rutin (Giddens,

2010:40).

Menurut penjelasan Giddens, bisa dikatakan bahwa patriarki dalam

budaya masyarakat Arab merupakan salah satu hasil dari praktik-praktik sosial

yang diproduksi dan direproduksi secara terus menerus sepanjang ruang dan

waktu, sekaligus menjadi sarana atau medium bagi agen dalam berinteraksi.

Menganalisis strukturasi dari sistem-sistem seperti itu, yang tertanam dalam

aktivitas-aktivitas aktor tertentu yang berpegang pada aturan-aturan dan

sumberdaya-sumberdaya dalam beragam konteks tindakan, diproduksi dan

direproduksi dalam interaksi (Giddens, 2010:40).

Alasan peneliti memilih film “Wadjda” ini karena penggambaran objek dalam film ini adalah hasil dari seorang sutradara perempuan pertama Arab Saudi,


(27)

yaitu Haifa al-Mansour yang juga menjadi film panjang pertama bagi Arab Saudi

diajang Oscar. Film ini mencoba menampilkan praktek patriarki yang menekan

kebebasan perempuan dan berupaya untuk mendorong setiap perempuan Arab

untuk berani memperjuangkan hak-hak mereka. Selain itu kontribusi besar rumah

produksi Jerman Razor Film memberikan pengaruh yang sedikit modern dan

mengacu pada dunia Barat yang dimana sosok Wadjda adalah gadis tomboy yang

suka memakai sepatu convers dan suka lagu-lagu metal.

Melalui film ini juga peneliti melihat, bagaimana perempuan dalam

struktur budaya patriarki memposisikan perempuan pada kelas gender kedua

diamana perempuan dalam film ini digambarkan tidak berdaya dan tidak memiliki

kemandirian, sehingga terus bergantung dengan laki-laki. Sehingga peneliti

merasa film ini menjadi objek penelitian yang pas mengenai struktur sosial

budaya patriarki.

Dari pemaparan saya diatas, film ini menjadi objek yang menarik untuk

diteliti dengan melihat kultur budaya patriarki di Arab Saudi yang

direpresentasikan melalui film “Wadjda”, dilengkapi dengan teori strukturasi yang

dicetuskan Giddens. Penelitian ini akan menggunakan teori wacana kritis untuk

membedah lebih dalam mengenai cara menginterpretasi teks visual dalam tiap

adegan film ini.

B. Rumusan Masalah

Dalam rumusan masalah ini peneliti akan membahas bagaimana struktur sosial masyarakat di Arab Saudi dalam wacana budaya patriarki yang direpresentasikan dalam film “Wadjda”?


(28)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis

bagaimana wacana budaya patriarki mempengaruhi masyarakat Arab Saudi dalam

interaksi sosial yang direpresentasikan dalam film “Wadjda”. Hal ini berkaitan dengan dampak yang ditimbulkan oleh patriarki.

D. Manfaat Penelitian

1. Peneliti berharap dari hasil penelitian ini, dapat menjadi rujukan dalam

penelitan selanjutnya yang menyangkut teori strukturasi maupun

patriaki dalam ranah Ilmu Komuniksi.

2. Peneliti berharap dari hasil penelitian ini, dapat manjadi sebuah

pandangan baru mengenai dasar-dasar pembentukan struktur sosial

masyarakat dari berbagai aspek yang dapat dikaji dengan teori

strukturasi.

E. Kajian Teori

1. Teori Strukturasi

Teori strukturasi merupakan teori yang menepis dualisme

(pertentangan). Giddens tidak puas dengan teori pandangan yang

dikemukakan oleh struktural-fungsional. Menurut Giddens, keduanya

cenderung mengungkapkan sudut pandang naturalistik dan condong

kearah subjektivisme (Giddens, 2010:1). Melalui telaah kritis itu,

setidaknya ada dua tema sentral yang menjadi poros pemikiran Giddens


(29)

serta sentralitas ruang (space) dan waktu (time) (Herry-Priyono, 2016:17).

Pokok pikiran ini yang menjadi poros pemikiran Giddens dan

menamakannya sebagai “Strukturasi”. Sehingga dalam teori strukturasi, agen dan struktur tidak dapat dipisahkan sebagai dualitas karena keduanya

saling berkesinambungan dan mempengaruhi. Dalam tindakan sosial

memerlukan struktur, dan struktur memerlukan tindakan sosial.

Dualitas struktur selalu merupakan landasan utama bagi

keterulangan-keterulangan dalam reproduksi sosial disepanjang ruang dan

waktu. Pembentukan agen-agen dan struktur-struktur bukanlah dua gugus

fenomena tertentu yang saling terpisah, yakni dualisme, melainkan

menggambarkan suatu dualitas, saling terkait. Dalam teorinya, Giddens

membedakan antara struktur dengan sistem. Struktur sebagai perangkat

aturan dan sumber daya yang terorganisasikan secara rutin, berada di luar

ruang dan waktu, tersimpan dalam koordinasi dan instansinya dalam

bentuk jejak-jejak ingatan, dan ditandai dengan ketidak hadiran si subjek.

Sebaliknya, sistem-sistem sosial yang secara rutin melibatkan struktur

terdiri dari aktivitas-aktivitas tertentu para agen manusia, dan direproduksi

disepanjang ruang dan waktu (Giddens, 2010:40).

Struktur dipahami dari dimensi sintagmatik dan paradigmatik.

Sintagmatik adalah penciptaan pola relasi-relasi sosial dalam ruang dan

waktu yang melibatkan reproduksi praktik-praktik tertentu. Sementara

dimensi paradigmatik adalah tatanan yang sesunguhnya yang melibatkan


(30)

(Giddens. 2010:26). Struktur tidak disamakan dengan kekangan

(constraint) namun selalu mengekang (constraining) dan memberdayakan

(enabling).

Menurut teori strukturasi, saat memproduksi tindakan juga berarti

saat mereproduksi dalam konteks menjalani kehidupan sosial sehari-hari.

Itulah mengapa Giddens melihat struktur sebagai sarana (medium dan

resources) (Herry-Priyono, 2016:23). Struktur menjadi medium karena

seseorang tidak dapat bertindak tanpa kemampuan dan pengetahuan yang

sudah terbatinkan. Struktur menjadi hasil karena pola budaya yang luas

direproduksi ketika digunakan. Strukturalisasi menangkap gambaran

tentang hidup sosial sebagai proses timbal balik antara tindakan-tindakan

individual dan kekuatan-kekuatan sosial (Sutrisno, 2005:187).

Menurut Poole dan McPhee, struktur adalah manifestasi dan juga

hasil dari komunikasi dalam organisasi (Littlejohn, 2008:375). Struktur

organisasi itu sendiri diciptakan ketika individu-individu dalam organisasi

saling berkomunikasi. Meskipun pada dasarnya setiap individu dalam

organisasi dapat selalu ikut serta dalam komunikasi, namun dalam

strukturasi cenderung bersifat khusus (Littlejohn, 2008:375). Oleh karena

itu dalam strukturasi terdapat agen yang memiliki pengaruh yang besar

dalam strukturasi di masyarakat.

Dari berbagai prinsip struktural, Giddens melihat tiga dimensi

besar struktural dalam sistem sosial: Signifikasi, Dominasi, Legitimasi


(31)

berkaitan satu sama lain. Berikut adalah pemaparan dimensi atau gugus

besar struktural dalam sistem sosial:

Struktur Wilayah Teoritis Tata Institusional

Signifikasi Teori Pengodean Tata-tata simbolis/cara-cara

wacana

Dominasi Teori Autorisasi sumber daya

Teori Alokasi Sumber daya

Institusi Politik

Institusi Ekonomi

Legitimasi Teori Regulasi Normatif Institusi Hukum

Tabel 1 Gugus Struktursi

Sumber:Teori Strukturasi (Anthony Giddens, 2010:50)

Untuk melihat keterkaitan tiga gugus tersebut, Herry-Priyono

dalam bukunya menggambarkan pola keterkaitan tiga gugus tersebut.

Gambar 5

Skema pola hubungan gugus strukturasi


(32)

Pertama, struktur penandaan atau signifikasi (signification) yang

menyangkut skemata simbolik, pemaknaan, penyebutan, dan wacana.

Kedua, strukur pembinaan atau legitimasi (legitimation) yang menyangkut

skemata peraturan normatif, yang terungkap dalam tata hukum. Ketiga,

adalah struktur penguasaan atau dominasi (domination) yang menyangkut

skemata penguasaan atas orang (politik) dan barang/hal (ekonomi).

(Herry-Priyono, 2016:24). Struktur dominasi memiliki dua jenis sumber

daya yang berbeda. Anthony Giddens menjelaskan dua sumber daya

tersebut adalah alokatif dan autoritatif. Sumber daya alokatif mengacu

pada kemampuan-kemampuan transformatif yang melahirkan perintah atas

objek-objek, benda-benda atau fenomena material. Sumber daya autoritatif

merujuk pada jenis-jenis kemampuan transformatif yang melahirkan

perintah atas orang-orang atau para aktor (Giddens, 2010:52).

Dalam teori strukturasi, kekuasaan bukanlah gejala yang terkait

dengan struktur ataupun sistem, melaikan kapasitas yang melekat pada

pelaku. Karena itu, kekuasaan selalu menyangkut kapasitas transformatif

(Herri-Priyono, 2016:33). Kekuasaan dalam sistem-sistem sosial yang

memilki kontinuitas disepanjang ruang dan waktu mengendalikan rutinitas

relasi-relasi kemandirian dan ketergantungan diantara para aktor atau

kelompok dalam konteks-konteks interaksi sosial (Giddens, 2010: 25).

Dalam gugus besar struktur yang dikemukaan Giddens, dapat

dijabarkan dalam konteks film “Wadjda”. Gugus struktur signifikasi dapat


(33)

perempuan adalah sosok yang “lemah” dan tersubordinitas, sehingga segala seuatu tindakan apapun yang dilakuan oleh Wadjda dan Ibunya

harus atas izin atau pengawasan laki-laki, dalam konteks ini adalah ayah

sekaligus suami sebagai kepala rumah tangga. Kemudian, dalam gugus

dominasi, seorang laki-laki yang memiliki penandaan bahwa derajatnya

lebih tinggi, sehingga laki-laki memiliki otoritas terhadap perempuan.

Dominasi dan Kekuasan tidak bisa dipikirkan hanya dari asimetri

distribusi, melainkan harus dikenali sebagai tak terpisahkan asosiasi sosial

(Giddens, 2010:50). Penguasaan ayah “laki-laki” memiliki otoritas besar

terhadap Wadjda dan Ibunya “perempuan” dalam bertindak. Dan terakhir, dalam gugus legitimasi, dalam film “Wadjda” lebih jelas terlihat dilingkungan masyrakat dan sekolah khusus wanita, dimana melibatkan

norma atau sanksi-sanksi. Norma-norma dibagun atau direproduksi

melibatkan gugus signifikasi dan dominasi. Dalam lingkungan masyarakat,

Wadjda harus mengikuti aturan untuk tidak berinteraksi dengan laki-laki

ketika mengirim surat cinta karena harus menjaga kehormatannnya

sihingga terhidar dari Mutaween atau polisi keagamaan. Sementara di

sekolah, Wadjda juga harus taat aturan dalam bersikap, seperti tidak

memakai gelang, membawa majalah dan tidak mengeraskan suaranya.

Sementara dalam keluarga, ibu Wadjda harus rela menerima sanksi dalam

hal ini dimadu dan ditinggalkan hanya karena tidak dapat memiliki anak


(34)

Terakhir dalam teori strukturasi ini, penulis akan memaparkan

mengenai ruang dan waktu yang sudah sering disinggung diatas. Giddens

juga melihat sentralitas waktu dan ruang sebagai poros yang

menggerakkan teori strukturasi. Hubungan waktu dan ruang bersifat

kodrati dan menyangkut makna serta hakikat tindakan itu sendiri. Keliru

untuk mengatakan bahwa rutinitas kehidupan sehari-hari adalah ‘fondasi’ bangunan ruang-waktu dari bentuk-bentuk institusional organisasi

kemasyarakatan. Melainkan, masing-masing saling menyusun dari

petindak (the acting self) (Giddens, 2010:57). Singkatnya hubungan antara

waktu-ruang dan tindakan berupa hubungan ontologis. Hubungan

keduanya bersifat kodrati dan menyangkut makna serta hakikat tindakan

itu sendri. Lugasnya, tanpa waktu dan ruang, tidak ada tindakan

(Herry-Priyono, 2016:37).

2. Analisis Gender dan Ideologi Patriarki

Manusia sejak lahir sudah dibuatkan identitas oleh orang tuanya.

Melalui proses belajar, manusia membagi jenis laki-laki dan perempuan

tidak hanya memandang segi biologisnya saja, tetapi dikaitkan dengan

fungsi dasarnya dan kesesuaian pekerjaan. Dari proses belajar ini, muncul

teori gender yang kemudian dijadikan landasan berfikir dan falsafah hidup

sehingga menjadi ideologi (Murniati, 2004:4). Sebagaimana Stoller, Ann

Oakley mengartikan gender sebagai konstruksi yang dibangun oleh


(35)

atas, sudah jelas dikatakan bahwa gender adalah sebuah kontruksi sosial

yang diciptakan oleh manusia, dan tentunya dapat berubah. Namun perlu

diperhatikan, bahwa antara gender dan sex (jenis kelamin) merupakan dua

hal yang berbeda. Sex adalah sebuah kodrat dari tuhan yang tidak bisa

dirubah (laki-laki dan perempuan), namun pada kenyataannya antara

gender dan sex seringkali disamakan. Pada akhirnya menimbulkan

subordinasi pada jenis kelamin tertentu.

Mansour Fakih dalam bukunya menjelaskan bahwa, pandangan

gender ternyata bisa menimbulkan subordinasi terhadap perempuan.

Anggapan bahwa perempuan itu irasional atau emosional sehinga

perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat muculnya sikap yang

menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting (Fakih, 1996:

15). Dikemukakan oleh Bemmelan (dalam Sudarta, 2003:9), beberapa ciri

gender yang dilekatkan oleh masyarakat pada laki-laki dan perempuan

sebagai berikut. Perempuan meiliki ciri-ciri: lemah, halus, atau lembut,

emosional dan lain-lain. Sedangkan pria memiliki ciri-ciri: kuat, keras,

rasional dan lain-lain. Namun dalam kenyataannya ada perempuan yang

kuat, kasar, dan rasional. Sebaliknya adapula laki-laki yang lemah, lembut,

dan emosional. Berikut status peran yang dianggap pantas oleh masyarakat

untuk laki-laki dan perempuan, sebagai berikut.

Laki-Laki Perempuan


(36)

Pewaris Bukan Pewaris

Tenaga kerja publik (Pencari

Nafkah)

Tenaga Kerja Domestik (Urusan

Rumah)

Pilot Pramugari

Mencangkul lahan Memanen Padi

Tabel 2

Status dan Peran Yang Dianggap Pantas Oleh Masyarakat Menurut Bemmelan Sumber: Peran Wanitta Dalam Pembanguna Gender (Wayan Sudarta, 2003:7)

Dalam perihal diatas, salah satu ideologi gender yang kemudian

tertanam sangat kuat dalam ruanglingkup masyarakat adalah ideologi

patriarki. Dimana laki-laki memiliki otoritas tinggi diatas perempuan.

Menurut Kamla Bashin kata patriarki secara harfiah berasal dari kata

bapak atau patriarck “patriarch”. Mulanya patriarki digunakan untuk menyebut keluarga yang dikuasai oleh laki-laki yaitu rumah tangga besar

patriarki yang terdiri dari perempuan, laki-laki muda, anak-anak, budak,

pelayan rumah tangga yang semuanya berada di bawah kekuasaan

laki-laki. Sekarang istilah ini lebih umum digunakan untuk menyebut kekuasan

laki-laki, hubugan kuasa dengan apa laki-laki menguasai perempuan dan

untuk menyebut sistem yang membuat perempuan tetap dikuasai dengan

bermacam-macam cara (Bashin, 1996:1).

Murniati menjelaskan bahwa patriarki sebagai suatu sistem yang

bercirikan laki-laki (ayah). Dalam sistem ini, laki-laki yang berkuasa

menentukan (Murniati, 2004:80). Sedangkan Sylvia Walby dalam bukunya


(37)

struktur dan praktik-praktik sosial dimana kaum laki-laki menindas dan

menguasai perempuan (Sylvia Walby dalam Bashin, 1996:4). Mengutip

penjelasan Maggie Humm, patriarki adalah suatu sistem ototritas laki-laki

yang menindas perempuan melalui institusi sosial, politik, dan ekonomi

(Humm dalam Munti, 2005:43).

Sepertihalnya dalam film “Wadjda” terdapat scene dimana Wadjda melihat pohon nasab (garis keturunan ayah), yang hanya mencantumkan

silsilah keluarganya dari garis ayah. Hal itu membuat Wadjda berinisiatif

menempelkan namanya diam-diam, namun nama Wadjda dirobek ketika

diketahui oleh sang ayah. Hal ini dalam budaya patriarki sangat berpenguh

besar terhadap perempuan salah satunya adalah hak waris atau perwalian

mereka.

Menurut Masudi dalam tulisan Faturochman, sejarah masyarakat

patriarki sejak awal membentuk peradapan manusia yang menganggap

bahwa laki-laki lebih kuat (superior) dibanding perempuan, baik dalam

kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun bernegara. Kultur

patriarki ini secara turun temurun membentuk perbedaan perilaku, status,

dan otoritas antara laki-laki dan perempuan dimasyarakat yang kemudian

menjadi hirarki gender (Masudi dalam Faturochman, 2002:16).

Penggambaran serta mitos yang terbentuk akan pandangan

terhadap perempuan, menjadikan ruang gerak perempuan banyak dibatasi

dan lebih diutamakan dalam ranah domestik rumah tangga. Jikalau


(38)

pekerjaan sang perempuan itu sendiri ketika berada di luar dan bekerja

melayani keluarga ketika pulang ke rumah.

Mansour Fakih mengatakan bahwa adanya anggapan bahwa kaum

perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok menjadi

kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah

tangga menjadi tanggug jawab kaum perempuan (Fakih, 1996:21). Hal

tersebut terjadi pada kehidupan ibu Wadjda yang harus bekerja ekstra

ketika bekerja diluar dan sepulang bekerja. Sementara bagi laki-laki hanya

cukup bekerja diluar dan menikmati pelayanan sang istri ketika di rumah.

Ideologi gender hidup karena dukungan oleh sistem kepercayaan

dan pendapat tentang laki-laki dan perempuan, yaitu syarat tentang

kualitas maskulinitas dan feminitas. Istilah dalam gender berkaitan pula

dengan sejumlah karakteristik psikologis dan perilaku kompleks yang

diletakan untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan. Maskulinitas

merujuk pada sifat “kelelakian”, bahwa laki-laki lebih kuat, tegas, rasional, lebih berani, dan perkasa. Sedangkan feminitas merujuk pada stigma yang

memiliki sifat pasif, lemah lembut, gemulai, dan emosional dan keibuan

(Soemandoyo dalam Widyatama, 2006:7).

Ideologi patriarki menganggap bahwa laki-laki sepenuhnya

mempunyai hak dalam mengambil keputusan ketika dalam masalah atau

tindakan yang akan diambil oleh angota keluarganya. Dalam hal ini, posisi

perempuan menjadi kaum yang terus bergantung kepada laki-laki. Yang


(39)

diciptakan untuk melayani dan mematuhi aturan, dan perempuan

menerima kenyataan itu sebagai kodratnya hidup di dunia. Perempuan

selalu menikmati sebagian hak istimewa laki-laki dari kelasnya selama

mereka berada di dalam “perlindungan” seorang laki-laki (Bashin, 1996:21).

Selain menampilkan biasnya posisi antara perempuan dan laki-laki.

Budaya patriarki juga mengkonstruksi citra seksualitas perempuan sebagai

mahluk “penggoda”, dimana setiap elemen yang ada pada tubuh perempuan dapat mengundang hasrat laki-lak. Dalam masyarakat

patriakal, seks merupakan bagian yang dominan dalam hubungan laki-laki

dan perempuan. Hal ini semakin menegaskan bahwa perempuan

merupakan objek yang eksistensinya bergantung pada laki-laki (Bhasin,

1996:30).

Kekuasaan seorang laki-laki memiliki beberapa jenis menurut

Gramsci. Pertama adalah kekuasaan hegemonis dan kekuasaan yang

diperoleh dengan persetujuan dari orang yang dikuasai. Kedua, kekuasaan

yang diperoleh melalui pemakaian fisik. Dalam pengertian Grimsci,

patriarki atau kekuasaan laki-laki atas perempuan merupakan kekuasaan

hegemoni. Karena perempuan sadar atau tidak sadar menerima dan

menyetujui kekuasaan laki-laki sebagai suatu yang wajar. Kaum laki-laki

tidak perlu menggunakan kekuatan fisiknya untuk memaksa perempuan


(40)

Dari pemaparan-pemaparan di atas, posisi laki-laki sangat

diuntungkan dari adalanya patriarki. Dengan adanya siklus sosial patriarki

ini dikalangan masyarakat sangat jelas sekali mempengaruhi dalam

kehidupan sosisal karena dasar kontrol yang kuat yang dimiliki laki-laki.

Hal ini membentuk wacana dalam ideologi patriarki yang menempatkan

laki-laki pada drajat yang lebih tinggi dari perempuan.

3. Wacana Dalam Film

Wacana ialah rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa

komunikasi, biasanya terdiri atas seperangkat kalimat yang mempuyai

hubungan pengertian satu dengan yang lain. Komunikasi itu menggunakan

bahsa lisan, dan dapat pula memakai bahasa tulisan. Secara etimologis,

wacana berasal dari vacana (sanksekerta), serta berarti kata-kata, cara

berkata, ucapan pembicaraan, perintah dan nasihat. Discourse, berasal dari

kata discurrere (latin), berarti gerak maju mundur (dari dan ke), (Nyoman

dalam Sobur 2004:244).

Analisi Wacana merupakan metode yang pas untuk bisa

memahami wacana dengan kritis. Membongkar suatu tuturan atau teks,

serta mengungkap ideologi dibalik Wacana. Dalam pemaknaan Wacana

kita juga tidak lepas dari konsep ideologi karena setiap makna dari analisis


(41)

Mengutip dari Sara Mills (2003: 53-56):

“Yang dimaksud dengan what can be said dapat dimaknai bahwa wacana tak hanya merupakan sebuah rangkaian kata, kalimat atau proposisi di dalam sebuah teks saja, tetapi bisa dalam bentuk apapun yang memiliki arti dan memiliki sesuatu yang ingin disampaikan. Karena Foucault juga pernah berpendapat bahwa wacana itu bisa saja dalam segala bentuk tuturan dan statement

yang dibuat dengan memiliki arti dan effects. Menurutnya, segala sesuatu itu telah dikonstruksi dan dimengerti melalui wacana.

Dalam realitas di setiap negara, hampir semua kedudukan

perempuan berada pada posisi yang lebih rendah atau tersubordinat dalam

berbagai bidang, baik politik, sosial, dan ekonomi. Hal ini dipengaruhi

akan kekuasaan dari Ideologi Patriarki, dimana banyak membentuk

wacana terhadap peran laki-laki dan perempuan dimata publik. Perempuan

dan laki-laki dianggap sebagai mahluk yang saling berlawanan yang

memunculkan sterotipe tersendiri kepada keduanya. Selama ini, laki-laki

dicitrakan sebagai mahluk yang agrasif dan rasional, serta memiliki fisik

yang kuat daripada perempuan yang selalu dicitrakan sebagai mahluk yang

pasif, emosional, dan memiliki fisik yang lemah.

Fairclough dan Wodak berpendapat bahwa praktik wacana

merupakan sebuah praktik sosial. Praktik wacana bisa jadi menampilkan

efek ideologi: ia dapat memproduksi dan mereproduksi hubungan

kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan wanita,

kelompok mayoritas dan minoritas melalui mana perbedaan itu


(42)

Bisa saja kedua kelompok saling bertarung menguatkan ideologi mereka

dengan wacana versi masing-masing kelompok.

Di dalam proses praktik sosial, wacana merujuk pada

element-element semiotika atau simbol-simbol yang mana meliputi bahasa, baik itu

bahasa tertulis maupun lisan. Bisa pula melalui komunikasi nonverbal

yang dapat ditunjukkan melalui eskpresi wajah, pergerakan tubuh, bahasa

tubuh dan sebagainya. Tidak itu saja, element tersebut juga bisa berbentuk

gambaran visual seperti foto dan film (Chouliaraki dan Fairclough, 1999

:38).

Penelitian ini menggunakan film sebagai objek kajiannya, dimana

film merefleksikan konteks sosial dan budaya yang terjadi di masyarakat.

Menurut Metz, film merupakan bentuk bahasa atau dalam pengertiannya

sebagai discourse. Terdapat tiga faktor utama yang mendasari dalam

bahasa film yaitu: gambar/visual yang berfungsi sebagai sarana utama.

Media gambar berfungsi untuk menanamkan informasi karena gambar

menjadi daya tarik tersendiri di luar cerita dan dianggap lebih efisien.

Yang kedua, adalah suara/audio yang berfungsi sebagai sarana penunjang

untuk memperkuat atau mempertegas informasi yang belum mampu

dijelaskan melalui media gambar. Terakhir adalah keterbatasan waktu

yang mengikat dan membatasi kedua sarana bahsa film di atas (Widagdo


(43)

Namun pada pembuatan sebuah film tidak lepas akan adanya

sebuah ideologi dari pembuatnya, itulah mengapa sebuah film juga kental

akan wacana yang ingin dibentuk untuk mempengaruhi sebuah kelompok.

Wacana dalam pendekatan semacam ini dipandang sebagai medium

melalui mana kelompok yang dominan mempersuasi dan

mengkomunikasikan kepada khalayak produksi kekuasan dan dominasi

yang mereka miliki, sehingga tampak absah dan benar (Eriyanto, 2001:8).

Ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan dengan bertujuan

untuk mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Salah satu

strateginya adalah dengan memberikan pandangan kepada khalayak bahwa

dominasi itu bisa diterima secara taken-of-granted. Ideologi membuat

anggota dari suatu kelompok akan bertindak dalam situasi yang sama,

dapat menghubungkan masalah mereka, dan memberikan kontribusi dalam

bentuk solidaritas dan kohesi di dalam kelompok. Dalam perspektif ini,

ideologi mempunyai beberapa implikasi penting.

Oleh karena itu, Haifaa al-Mansour selaku sutradara, mencoba

menerapkan ideologinya akan praktik patriarki yang dinilai salah dan

menekan kebebasan seorang perempuan Arab Saudi dalam melakukan

aktifitas dan menentukan keputusan, sehingga melalui film ini, Haifaa

mencoba mewakili dan mendorong para perempuan Arab Saudi untuk

berani memperjuagkan hak-hak mereka. Sementara dalam realitasnya,

beberapa perempuan Arab Saudi justru menikmati keuntungan dari sistem


(44)

dan wajar bagi seorang perempuan, dimana mereka bisa terjaga dari

berbagai tindakan yang merusak kehormatan seorang perempuan.

Fairclough melihat bahwa wilayah teks merupakan wilayah

analisis fungsi representasional-interpersonal teks dan tatanan wacana.

Fungsi representasional teks menyatakan bahwa teks berkaitan dengan

bagaimana kejadian, situasi, hubungan dan orang yang direpresentasikan

dalam teks. Berarti teks media bukan hanya sebagai cermin realitas tapi

juga membuat versi yang sesuai dengan posisi sosial, kepentingan dan

sasaran yang memproduksi teks. Fungsi interpersonal adalah proses yang

berlangsung secara simultan dalam teks (Fairclough, 1995:48).

Analisis Wacana berpretensi memfokuskan pada pesan latent

(tersembunyi). Maka suatu pesan tidak hanya ditafsirkan sebagai apa yang

tampak nyata dalam teks, namun harus dianalisis dari makna yang

tersembunyi. Unsur terpenting dari analisis wacana adalah penafsiran

(Sobur, 2001:71). Penafsiran dalam hal ini sangat penting karena setiap

teks yang dimunculkan dapat diartikan secara berbeda tergantung konteks

dan latar belakang kelompok yang menerima sebuah teks.

Dalam praktiknya, sebuah wacana tidak hanya digunakan untuk

mengontrol yang digunakan kekuasaan, namun juga bisa mendobrak

sebuah ideologi yang sudah lama dibentuk, dengan ideologi yang baru.

Menurut van Djik (Sobur, 2001:71), sebuah wacana berfungsi sebagai


(45)

atau ancaman (treat). Wacana juga dapat digunakan untuk

mendiskriminaasi atau mempersuasi orang lain untuk melakukan

diskriminasi.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

kualitatif. Bogan dan Taylor mendefinisikan metodelogi kualitatif sebagai

prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata

tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati

(Dalam Moleong, 2002:4). Sedangkan dalam teknis analisisnya, penelitian

ini menggunakan analisis wacana kritis. Dengan analisis wacana kritis

inilah, peneliti akan menganalisis lebih dalam mengenai wacana yang

ingin disampaikna dalam film “Wadjda”.

2. Objek Penelitian

Obyek penelitian dalam penelitian ini adalah film “Wadjda”(2013) yang disutradarai oleh Haifaa Al-Mansour. Film tersebut garapan

sutradara perempuan Arab Saudi yang bekerja sama dengan rumah

produksi Jerman yaitu Razor Film. Film yang mengangkat isu mengenai

perempuan Arab yang terikat akan budaya patriarki dan aturan hukum.


(46)

oleh sutradara perempuan Arab satu-satunya, dan juga film pertama untuk

Arab Saudi.

3. Teknik Pengumpulan Data

a. Dokumentasi

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode

dokumentasi dalam teknik pengumpulan data. Peneliti akan menggunakan

rekaman video dengan mengamati, mendengarkan dan mencatat setiap

data yang didapatkan dari film “Wadjda” dalam memperkaya data. b. Studi Pustaka

Teknik ini merupakan cara pengumpulan data melalui kajian yang

meliputi buku, jurnal, karya-karya penelitian ilmiah, internet, dan sumber

tertulis lainnya untuk memperkuat permasalahan terkait penelitian ini.

4. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik Analisis Wacana Kritis

(Critical Discourse Analysis), dengan menggunakan pendekatan yang

dikemukakan oleh Norman Fairlought. Analisis Fairlough melihat elemen

wacana sebagai model perubahan sosial. Peneliti menggunakan

pendekatan Fairclough untuk menganalisis teks yang ada dalam film

Wadjda”. Dalam hal ini, teks tidak hanya dilihat dari bentuk tertulis,

tetapi juga dilihat dari bentuk visual dan audio-visual dalam setiap scene


(47)

Pendekatan Fairclough intinya menekankan bahwa wacana

merupakan bentuk penting praktik sosial yang memproduksi dan

mengubah pengetahuan, identitas dan hubungan sosial yang mencakup

hubungan kekuasaan dan sekaligus dibentuk oleh struktur dan praktik

sosial yang lain. Menurut Fairclough, wacana memberikan kontribusi

dalam mengkonstruksi identitas sosial baik pemproduksi teks maupun

pengkonsumsi teks, kemudian hubungan sosial atau relasi antara

partisipan-partisipan media yang terlibat, dan sistem pengetahuan serta

makna yang ditampilkan dalam teks tersebut (Jorgensen and Phillips,

2007:123).

Fairclough membagi wacana menjadi tiga dimensi, yaitu: Text,

Discourse Practice, dan Sociocultural Practice yang digambarkan dalam

skema berikut:

Model tiga dimensi Fairclought, merupakan kerangka analisis yang

digunakan untuk penelitian empiris tentang komunikasi dan masyarakat.

Sociocultural

Discourse Practice

Produksi

Gambar 6

3 Dimensi Analisis Wacana Kritis Norman Fairclought Sumber: Eriyanto (2001:288)

Teks

Konsumsi

Teks

Teks


(48)

Ketiga dimensi tersebut hendaknya di cakup dalam analisis wacana khusus

peristiwa komunikatif. Analisis tersebut hendaknya dipusatkan pada (1)

ciri-ciri linguistik teks tersebut (teks), (2) proses yang berhubungan

dengan pemproduksian dan pengkonsumsian teks itu (praktik

kewacanaan), dan (3) praktik sosial yang lebih luas yang mencakup

peristiwa komunikatif (praktik sosial) (Jorgensen and Phillips, 2007:128).

Dari pengertian diatas, menurut Fairclought teks terdiri dari tiga

dimensi pendukung. Yang pertama, teks dilihat secara linguistik. Dalam

penelitian ini maka bisa dianalisis dengan melihat narasi dan dialog yang

terdapat dalam scene film “Wadjda”. Analisis teks menurut Fairclought,

teks dipusatkan pada ciri-ciri linguistik yaitu, kosakata, tata bahasa, serta

kohesi kalimat.

Para ahli interpretasi menerima bahwa teks yang terdiri dari

pencitraan visual tetapi harus mempertimbangkan

karakteristik-karakteristik khusus. Namun dalam analisis wacana kritis (seperti dalam

analisis wacana secara umum) ada kecenderungan menganalisis gambar

seolah-olah merupakan teks linguistik karena dengan bantuan visual juga

dapat menyertai suatu perbincangan dan monolog menentukan arti atau

makna yang terkandung di dalamnya (Jorgensen and Phillips, 2007:116).

Dalam dimensi kedua, yaitu praktik kewacanaan, bagaimana

sebuah teks diproduksi dan dikonsumsi. Proses dari sebuah teks diproduksi


(49)

praktek ini. Dalam hal ini, berkaitan erat dengan bagaimana sebuah praktik

wacana ditampilkan oleh Haifaa al-Mansour. Produksi teks juga

berhubungan langsung dengan konteks sosial yang ada, sehingga

mempengaruhi sebuah teks yang akan diproduksi.

Terakhir dalam dimensi ketiga, yaitu praktik sosial yang

mendasarkan pada pengaruh konteks sosial di luar media terhadap wacana

dalam teks. Dalam analisis ini Fairclough berusaha mencari tahu

bagaimana sebuah wacana memberikan kontribusi terhadap perubahan

sosisal, kemudian ideologi, politik, serta sosial praktik kekuasaan yang

terdapat dalam wacana tersebut dan bagaimana wacana merepresentasikan

hubungan kekuasaan, hubungan sosial, serta realita yang terjadi di

masyarakat.

Adapun proses analisis yang dilakukan Fairclought yaitu teks,

praktik wacana dan praktik sosial, uraiannya sebagai berikut:

a. Teks

Teks di sisni dilihat dengan cara linguistik yang diambil dari

narasi serta dialog dalam scene film “Wadjda”. Dalam analisis

ini, dapat menemukan praktik wacana yang merepresentasikan

budaya patriarki.

b. Praktik Wacana

Dalam praktik wacana disini, akan berpusat pada proses


(50)

belakang Haifaa al-Mansour selaku sutradara dan penulis yang

memiliki kuasa disini. Serta pandangannya terhadap budaya

patriarki sehingga memunculkan sebuah film “Wadjda” yanng

kental akan patriarki.

c. Praktik Sosial Budaya

Analisis Sosial Budaya di sini didasarkan pada asumsi bahwa

konteks sosial yang ada diluar media mempengaruhi wacana

yang muncul dalam teks. Dalam film ini, konteks sosial yang

ada di Arab Saudi adalah sebuah budaya patriarki yang sangat

kuat. Melihat hal itu, Haifaa al-Mansour membentuk sebuah

wacana akan praktik patriarki yang dinilai salah dan

memberatkan posisi perempuan dalam memperjuangkan

hak-hak mereka.

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan laporan tentang penelitian ini yakni terdiri

dari empat bab :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metode

penelitian dan sistematika penulisan.


(51)

Bab ini berisi tentang sejarah singkat dan latar belakang negara

Arab Saudi. Kemudian penulis menjabarkan mengenai hak-hak

perempuan Arab Saudi terkait sistem perwalian laki-laki. Serta

memberikn ulasan mengenai film “Wadjda” seperti sinopsis, proses

pengerjaan film dan profil Sutradara. Ada juga gambaran mengenai

penelitian terdahulu.

BAB III ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bab ketiga ini akan dibahas mengenai proses analisis Wacana

Kritis dari film “Wadjda” dengan menggunakan hasil analisis dan temuan peneliti.

BAB IV PENUTUP

Bab terakhir berisi tentang kesimpulan dari hasil temuan penelitian


(52)

BAB II

GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

A. Sekilas Tentang Arab Saudi 1. Sejarah

Pada masa lalu, daerah Arab Saudi dikenal menjadi dua bagian,

yakni daerah Hijjaz yakni daerah pesisir Barat Semenanjung Arab yang di

dalamnya terdapat kota-kota diantaranya, Mekkah, Madinah, dan Jeddah

serta sampai pesisir Timur Semenanjung Arabia, yang umumnya dihuni

oleh suku-suku lokal Arab Saudi (Baddui), dan kabilah-kabilah Arab

lainnya.

Saudi Arabia bermula sejak abad ke dua belas Hijriyah atau abad ke

delapan belas Masehi. Ketika itu, di jantung Jazirah Arabia, tepatnya di

wilayah Najd yang secara historis sangat terkenal, lahirlah Negara Saudi

yang pertama yang didirikan oleh Imam Muhammad bin Saud di

"Ad-Dir'iyah", terletak di sebelah Barat Laut kota Riyadh pada tahun 1175

H./1744 M., dan meliputi hampir sebagian besar wilayah Jazirah Arabia.

Periode awal Negara Saudi Arabia ini berakhir pada tahun 1233 H./1818 M.

Periode kedua dimulai ketika Imam Faisal bin Turki mendirikan

Negara Saudi kedua pada tahun 1240 H./1824 M. Periode ini berlangsung

hingga tahun 1309 H/1891 M. Pada tahun 1319 H/1902 M, Raja Abdul Aziz

berhasil mengembalikan kejayaan kerajaan para pendahulunya, kembali ke


(53)

dengan nama ini, yang dideklarasikan pada tahun 1351 H/1932 M,

merupakan dimulainya fase baru sejarah Arab modern dan berakhir pada

tahun 1953.

Raja Abdul Aziz Al-Saud pada saat itu menegaskan kembali

komitmen para pendahulunya, raja-raja dinasti Saud, untuk selalu

berpegang teguh pada prinsip-prinsip Syariah Islam. Di atas prinsip inilah,

para putra sesudahnya mengikuti jejak-langkahnya dalam memimpin

Kerajaan Saudi Arabia. Mereka adalah : Raja Saud, putra Raja Abdul Aziz

(1953-1964), Raja Faisal, putra Raja Abdul Aziz (1964-1975), Raja Khalid,

putra Raja Abdul Aziz (1975-1982), Raja Fahd, putra Raja Abdul Aziz

(1982-2005), dan Raja Abdullah, putra Raja Abdul Aziz (2005-2015), Raja

Salman, Putra Raja Abdul Aziz (2015-Sekaranag).

Ditinjau dari segi daerah tempat tinggal, bangsa Arab itu dapat

dibedakan menjadi penduduk pedalaman dan penduduk perkotaan.

Penduduk pedalaman tidak mempunyai tempat tinggal permanen atau

perkampungan tetap. Mereka adalah kaum nomad yang hidup

berpindah-pindah dengan membawa binatang ternak untuk mencari sumber mata air

dan padang rumput. Adapun penduduk perkotaan yang sudah mempunyai

tempat kediaman permanen di kota-kota. Mata pencaharian mereka adalah

berdagang dan bertani. Bangsa Arab terbagi kedalam dua kelompok yaitu

Arab al-Baidat dan Arab al-Baqiyat. Kelompok al-Baidat adalah


(54)

kelompok al-Baqiyat adalah orang bangsa arab yang masih ada sampai

sekarang.

Kerajaan Saudi terdiri dari sejumlah provinsi yang dipimpin oleh

seorang Gubernur. Setiap Gubernur dibantu oleh Dewan Daerah yang

anggotanya antara lain kepala suku. Disamping sebagai Dewan Daerah

kepala suku juga merangkap sebagai Wali Kota. Untuk menjalankan

kekuasaan kehakiman, diangkatlah seorang Qadhi mengepalai badan

pengadilan yang kekuasaannya hanya terbatas tentang persoalan hukum dan

peraturan yang dikeluarkan oleh Syari'ah. Penduduk Saudi Arabia adalah

mayoritas berasal dari kalangan bangsa Arab sekalipun juga terdapat

keturunan dari bangsa-bangsa lain serta mayoritas beragama Islam.

Hukum yang berlaku di Saudi Arabia adalah hukum yang

berdasarkan Syariat Islam dalam segala sendi kehidupan. Madhab resmi

Saudi Arabia adalah Madhab Hambali atau dikenal dengan paham Wahhabi

dan sebagian kecil ada kelompok Syiah yang mengikuti madhab Ja'fari.

Di Saudi Arabia, terdapat sebuah badan yang berwenang membuat

segala peraturan demi ketertiban masyarakat. Beberapa peraturan tertentu

dibuat dengan Dekrit Raja yang bertindak tidak saja sebagai pelaksana

Eksekutif tetapi sekaligus juga pembuat Undang-undang. Karena itu, selain

berkedudukan sebagai Kepala Negara dan Pemerintah, Raja juga berperan

sebagai Imam atau Pemimpin Agama.

Sistem pemerintahan di Saudi Arabia adalah Kerajaan (Monarki).


(55)

Negara. Perdana Menteri adalah Khadim al-Haramain asy-Syarifain

(Pelayan Dua Kota Suci) Raja Abdullah bin Abdul Aziz Al-Saud, dan Putra

Mahkota adalah Pangeran Sultan bin Abdul Aziz Al-Saud, Wakil Perdana

Menteri dan Menteri Pertahanan, Penerbangan dan Inspektur Jenderal.

Sistem Judikatif bersumber dari Al-Qur`an dan Sunnah.

Sejarah panjang kerajaan Saudi sebenarnya tidak dapat dilepaskan

dari peran seseorang bernama Muhammad bin Abdul Wahhab yang

bermazhab Hambali dan berusaha keras memurnikan ajaran ketauhidan. Ia

berasal dari dari keluarga klan Tamim yang menganut mazhab Hambali. Ia

lahir di desa Huraimilah, Najd, yang kini bagian dari Saudi Arabia, tahun

1111 H (1700 M) masehi, dan meninggal di Dar’iyyah pada tahun 1206 H

(1792 M). Pada sekitar tahun 1744 Ia dihidupi, diayomi dan dilindungi

langsung oleh sang Amir Dar’iyah, Muhammad bin Saud. Akhirnya Amir

Muhammad bin Saud dan Muhammad bin Abdul Wahhab saling membaiat

dan saling memberi dukungan untuk mendirikan negara teokratik dan

mazhab Muhammad bin Abdul Wahhab pun dinyatakan sebagai mazhab

resmi wilayah kekuasaan Ibnu Saud. Muhammad bin Abdul Wahhab

akhirnya diangkat menjadi qadhi (hakim agama) wilayah kekuasaan Ibnu

Saud. Hubungan keduanya semakin dekat setelah Ibnu Saud berhasil

mengawini salah seorang putri Muhammad bin Abdul Wahhab. Paham

Wahhabi yang muncul pada abad ke-18 ini, kadang-kadang digambarkan


(56)

Paham Wahabi menjujung tinggi “Amal ma’ruf nahi mungkar (menjalankan yang baik dan melarang yang salah)”.

2. Monarki dan Keluarga Kerajaan

Raja menggabungkan sistem legislatif, eksekutif, dan fungsi

peradilan. Serta keputusan kerajaan membentuk dasar dari undang-undang

negara. Raja juga perdana mentri, dan memimpin dengan dewan mentri

yang terdiri dari wakil pertama dan kedua perdana mentri serta

mentri-mentri lainnya.

Keluarga kerajaan mendominasi sistem politik. Sejumlah besar

keluarga kerajaan memungkinkan untuk mengontrol sebagian besar hal

penting di kerajaan, dan memiliki keterlibatan disetiap tingkat

pemerintahan. Jumlah seluruh keluarga kerajaan diperkirakan sekitar 7.000,

namun yang memegang kekuasaan dan pengaruh besar sekitar 200 atau

lebih keturunan laki-laki dari Raja (The House Of Saud: Rulers Of Modern

Saudi Arabia”, 10 Oktober 2010).

Telah ada tekanan untuk mereformasi dan memodernisasi aturan

keluarga kerajaan, agenda yang diperjuangkan oleh Raja Abdullah sebelum

dan sesudah aksesi pada tahun 2005. Penciptaan dewan konsultatif di awal

1990-an tidak memenuhi tuntutan partisipasi politik, dan di tahun 2003 pada

acara tahunan National Dialogue Forum diumumkan akan ada

kemungkinan orang-orang profesional dan intelektual yang dipilih untuk


(57)

tahun 2005, pemilu kota pertama diadakan. Pada tahun 2009 raja membuat

perubahan personel yang signifikan kepada pemerintah dengan menunjuk

reformis sebagai posisi kunci dan perempuan pertama dalam posisi mentri.

Namun perubahan ini telah dikritik karena terlalu lambat.

3. Al Ash-Sheikh dan Peran Ulama

Arab Saudi memiliki cara tersendiri dalam memberikan Ulama

posisi di pemerintahan. Selain itu, mereka juga memiliki peran utama dalam

sistem pendidikan dan peradilan, dan monopoli kekuasaan dibidang moral

keagamaan dan sosial. Pada tahun 1970, sebagai hasil dari kekayaan minyak

dan modernisasi negara diprakarsai oleh Raja Faisal, menjadi perubahan

penting bagi masyarakat Arab dimana kekuatan para Ulama menurun.

Namun hal ini berubah mengikuti perebutan Masjidil Haram di Mekkah

pada tahun 1979 oleh Islam radikal. Tanggapan pemerintah terhadap krisis

tersebut termasuk dengan memperkuat kekuasaan para Ulama dan

meningkatkan dukungan keuangan mereka, khususnya memberi kontrol

lebih besar atas sistem pendidikan dan diizinkan untuk menegakkan

ketaatan ketat terhadap aturan Wahhabi dalam perilaku moral dan sosial.

Setelah aksesi pada tahun 2005, Raja Abdullah mengambil langkah-langkah

untuk mengurangi kekuasaan Ulama, misalnya mentransfer kontrol atas

pendidikan anak perempuan untuk Departemen Pendidikan.

Ulama secara historis telah dipimpin oleh Al Ash-Sheikh keluarga


(58)

Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri dari paham Wahhabi yang sekarang

menjadi dominan di Arab Saudi. Kedua keluaraga Al Saud (Kerajaan) dan

Al Wahhab (Agama) keduanya saling mendukung satu sama lain dalam

pembagian kekuasaan sejak 300 tahun yang lalu hingga saat ini. Al Saud

mempertahankan Al Ash-Sheikh sebuah otoritas dalam keagamaan dan

menegakkan serta menyebarkan ajaran Wahhabi. Sebagai imbalannya, Al

Ash-Sheikh mendukung otoritas politik Al Saud. Dengan demikian

menggunakan agama menjadi otoritas moral untuk melegitimasi kekuasaan

keluarga kerajaan. Meskipun dominasi Al Ash-Sheikh Ulama telah

berkurang dalam beberapa dekade terakhir. Mereka masih memegang

jabatan keagamaan yang paling penting dan terkait erat dengan Al Saud.

Sumber utama hukum Arab Saudi adalah Islam Syariah yang

berdasar dari ajaran Al-Quran dan Hadist. Arab Saudi mempunyai cara yang

berbeda dari negara Islam lainnya, dimana hakim diberikan kekuasan untuk

menggunakan penalaran hukum independen untuk membuat keputusan.

Hakim di Arab Saudi cenderung mengikuti prinsip-prinsip Wahhabi dalam

ilmu Fiqih. Setiap keputusan hakim bisa berbeda dalam kasus yang sama,

membuat predikbilitas penafsiran hukum yang sulit. Sistem pengadilan

Syariah merupakan peradilan dasar Arab Saudi dan para hakim dan

pengacara merupakan bagian dari para Ulama.

Dekrit kerajaan adalah sumber utama hukum lainnya, namun lebih

tepat disebut peraturan daripada hukum, karena mereka bawahan Syariah.


(59)

komersial, dan hukum perusahaan. Selain itu hukum adat tradisional tetap

signifikan. Seringkali hukuman di Arab Saudi berupa fisik seperti amputasi,

rajam, atau pemenggalan.

Sistem keadilan di Arab Saudi telah dikritik karena terlalu keras

dalam hukuman mereka, namun juga kadang-kadang terlalu menyepelekan

seperti, kasus pemerkosaan atau kekerasan rumah tangga, serta

memperlambat seperti meninggalkan ribuan perempun yang mengajukan

proses perceraiaan. Sistem ini dikritik karena kurang adanya perlindungan

keadilan, dan dunia modern. Pada tahun 2007 Raja Abudllah mengeluarkan

dekrit kerajaan reformasi peradilan dan menciptakan pengadilan baru.

Kemudian pada tahun 2009, Raja membuat sejumlah perubahan yang

signifikan untuk personil peradilan ditinggakat paling senior.

4. Agama Dalam Masyarakat

Islam adalah agama dominan di Arab Saudi, dengan Al-Quran dan

Hadist sebagai sumber hukumnya. Arab Saudi adalah salah satu negara

Islam yang memiliki polisi Agama yang disebut Mutaween, yang berpatroli

di jalan-jalan. Tugas para Mutaween adalah menjalankan Syariat Islam,

mengingatkan dalam beribadah, dan hal-hal lain yang sesuai dengan Syariat

Islam. Namun dalam penegakannya, keluarga kerajaan justru jauh dari

penegakan syariah Islam, seperti terlibat dalam pesta, narkoba, dan seks


(60)

Arab Saudi menggunakan sistem kalender Islam. Kehidupan

sehari-hari seperti dalam berdagang, toko ditutup pada jam-jam Sholat. Akhir

pekan para penduduk merupakan hari Jumat dan Sabtu, bukan Sabtu dan

Minggu, dikarenakan hari Jumat merupakan hari yang mulia bagi umat

Islam. Selama bertahun-tahun hanya ada dua hari libur yang diakui, yaitu

saat Idul Fitri dan Idul Adha.

Pada tahun 2004, sekitar setegah siaran televisi Arab Saudi

dikususkan untuk masalah Agama. Dalam sistem pendidikan, sekitar

setangah materi yang diajarkan adalah mengenai keagamaan. Dukungan

publik untuk politik tradisional atau struktur keagamaan kerajaan begitu

kuat. Salah satu penelitian menemukan hampir tidak ada dukungan untuk

reformasi dalam mensekulerkan Agama.

Karena pembatasan Agama, budaya Arab tidak memiliki

keragaman, seperti bangunan, festival tahunan, atau acara-acara publik bagi

agama lain. Meskipun ada beberapa umat Kristen dan Hindu diantara

pekerja asing, di Arab Saudi tidak terdapat kuil atau gereja yang diizinkan

berdiri di Arab. Orang Ateis secara hukum dicap sebagai teroris. Sementara

orang Arab ataupun orang asing yang mempertanyakan dasar-dasar agama

Islam di Arab Saudi akan dikenakan hukuman 20 tahun penjara.

B. Hak-hak Perempuan di Arab Saudi

Arab Saudi menerapkan Interpretasi Syariah sebagai hukum negara,

mengangkat Al-Quran dan Hadist sebagai konstitusi, dan telah melambangkan


(61)

pemerintahan. Pembentukan Agama sebagian besar mengontrol pendidikan,

peradilan, kepolisian mengenai moralitas publik melalui polisi agama.

Dewan Senior Ulama, merupakan badan keagamaan tertinggi yang

bertindak sebagai forum untuk konsultasi rutin dengan raja. The Generali

Presidency For Scholarly Research and Ifta (www.alifta.com), Merupakan

lembaga resmi yang dipercayakan dengan mengeluarkan pendapat hukum Islam,

juga secara konsisten memberikan fatwa bahwa kemampuan perempuan terbatas

dalam membuat keputusan independent (Boxed In: Woman And Saudi Arabia’s

Male Guardianship System, 16 Juli 2016). Website ini berisi puluhan fatwa tentang

wanita dan juga memperkuat otoritas laki-laki atas perempuan dan membatasi

perempuan dalam bergerak, bekerja, belajar. Misalnya dalam websitenya

menyatakan bahwa perempuan tidak bisa melayani di posisi kepemimpinan lebih

dari laki-laki. Dalam putusan fatwa tersebut, perempuan tidak diharuskan keluar

rumah kecuali dengan seizin dari wali laki-laki mereka.

Ulama Islam mendukung pengenaan perwalian laki-laki berdasarkan pada

ayat Al-Quran: “Laki-laki adalah pelindung dan pengelola perempuan, karena Allah telah memberikan satu lagi (kekuatan) dari yang lain, dan karena mereka

menafkahkan sebagian dari harta mereka” (Quran 04:34). Seorang peneliti feminis mengatakan bahwa cara dimana Arab Saudi memberlakukan sistem perwalian atas

perempauan tidak diwajibkan oleh hukum Islam, menurutnya, agama yang ada

hanya ditafsirkan dalam perspektif laki-laki dan hanya untuk laki-laki. Berikut ini


(1)

Internet

Wadjda, Award. http://www.imdb.com/title/tt2258858/awards, (Diakses pada Jumat 20 Mei 2016).

Zoepf, Katherine. 2010. Talk Of Woman’s Right Divides Saudi Arabia.

http://www.nytimes.com/2010/06/01/world/middleeast/01iht-saudi.html?pagewanted=all&_r=0. (Diakses pada 8 September 2016).

Labor Force Participation Rate, Femal.

http://data.worldbank.org/indicator/SL.TLF.CACT.FE.ZS. (Diakses 9 September 2016).

Saudi Arabia: Labor Participation Rate.

http://www.indexmundi.com/facts/saudi-arabia/labor-force-participation-rate. (Diakses pada 9 Septmber 2016)

Facebook girl beaten and shot dead by her father for talking online.

http://www.dailymail.co.uk/news/article-1003847/Facebook-girl-beaten-shot-dead-father-talking-online.html. (Diakses pada 12 september 2016)

Zoepf, Katherine. 2013.Shopinggirl “The Art Of Selling Lingerie,

www.newyoker.com/magazine/2013/12/23/shopgirls. (Diakses pada 12 September 2016).

New Victory for Saudi woman: First Female Lawyer Registered.


(2)

Cop a load of this! Firs Female Saudi Police Officer.

www.albawaba.com/editorchoice/saudi-woman-cop-533562?quicktabs_accordions=2. (Diakses pada 12 September 2016). Boxed In: Women And Saudi Arabia’s Male Guardianship System.

https://www.hrw.org/news/2016/07/16/saudi-arabia-male-guardianship-boxes-women. (Diakses pada 12 September 2016).

Jabeena. 2012. Saudi Woman Sparks ‘right to drive’ Movement.

http://www.jpost.com/Middle-East/Saudi-woman-sparks-right-to-drive-movement. (Diakses pada 12 September 2016).

World Report 2012: Saudi Arabia.

https://www.hrw.org/world-report/2012/country-chapters/saudi-arabia. (Diakses pada 12 September 2016).

Transport Issue Mian Reason For Absence by Saudi Female Nurse.

http://saudigazette.com.sa/saudi-arabia/transport-issues-main-reason-for-absence-by-saudi-female-nurses/. (Diakses pada 13 September 2016).

Saudi Woman to be lashed for defying driving ban.

http://www.bbc.com/news/world-middle-east-15079620. (Diakses pada 13 September 2016).


(3)

Najah, Al-Osaimi. 2005. Haifaa Film Creates a Stir.

http://www.arabnews.com/node/265684. (Diakses Pada 29 September 2016)

Saudi Arabia Gives Women Aright To A Copy Of Their Marriage Contract https://www.theguardian.com/world/2/arabia-gives-women-aright-to-a-copy-of-their-marriage-contract. (Diakses pada 14 September 2016).

The House of Saud: Rulers of Modern Saudi Arabia.

http://www.peakoil.com/publicpolicy/the-house-of-saud-rulers-of-modern-saudi-arabia. (Diakses Pada 24 September 2016).

Brooke, Heather. 2010. WikiLeaks Cables: Saudi Princes Throw Parties Boasting Drink, Drugs, and Sex.

https://www.theguardian.com/world/2010/dec/07/wikileaks-cables-saudi-princes-parties. (Diakses pada 26 September 2016).

Wadjda. www.sonyclassics.com/wadjda/#/synopsis. (diakes pada 28 September

2016).

Bloom, Julie. 2013. Where a bicycle is sweetly subversive.

http://www.nytimes.com/2013/09/15/movies/wadjda-by-haifaa-al-mansour-made-in-saudi-arabia.html. (Diakses pada 28 September 2016). Loewentheil, Hannah. 2013.Wadjda”Movie Review: A Message Of Hope For

Saudi Arabian Women.

https://mic.com/articles/63595/wadjda-movie-review-a-message-of-hope-for-saudi-arabian-women#.kvX2GbCkw. (Diakses pada 28 September 2016).


(4)

Khazan,Olga. 2013. Negative Physiological Impacts’? Why Saudi Women Aren’t

Allowed to Drive.

http://www.theatlantic.com/international/archive/2013/10/-negative-physiological-impacts-why-saudi-women-arent-allowed-to-drive/280343/. (Diakses pada 20 Oktober 2016).

Saudi Arabia Women Drive Cars In Protest At Ban.

http://www.bbc.com/news/world-middle-east-13809684. (Diakses pada 20 Oktber 2016).

Deil, Siska Amelie F. 2014. Susah Transportasi, Banyak Wanita di Arab Jadi

Pengangguran.

http://bisnis.liputan6.com/read/2048329/susah-transportasi-banyak-wanita-di-arab-jadi-pengangguran. (Diakses pada 23 Oktober 2016).

Kepergok Mengemudi, Perempuan Dicambuk.

http://internasional.kompas.com/read/2011/09/29/03045281/kepergok.men gemudi.perempuan.dicambuk. (Diakses 24 Oktober 2016).

Wilcke, Christoph. 2012. Workplace Battle Continues for Saudi Women.

https://www.hrw.org/news/2012/08/22/workplace-battle-continues-saudi-women. (Diakses pada 8 November 2016).

Sobolla, Bernd. 2013. Saudi Arabia’s Firs Feature Film “Wadjda”: It’s Not

About Suppresion.

https://en.qantara.de/content/saudi-arabias-first-feature-film-wadjda-its-not-just-about-suppression. (Diakses pada 10 November 2013).


(5)

McDowall, Angus and Summer Said. 2011. Cleric Fight Saudi Bid to Ban Child

Marriages. The Wall Street Journal.

http://www.wsj.com/articles/SB1000142405311190363560457647201190 7391364. (Diakses pada 11 November 2016).

More Than 5.000 Child Brides in Saudi Arbia”. 2012.

http://gulfnews.com/news/gulf/saudi-arabia/more-than-5-000-child-brides-in-saudi-arabia-1.1101605. (Diakses 11 November 2012).

Jamjoom, Mohammed. 2009. “Top Saudi Eleric: OK For Young Girls To Wed”. http://edition.cnn.com/2009/WORLD/meast/01/17/saudi.child.marriage/. (Diakses pada 11 November 2016).

Sundari, Akhiriyati. 2016. Rezim Seksualitas dan Agama: Sketsa Politik Tubuh

Perempuan Dalam Islam.

http://www.jurnalperempuan.org/blog2/rezim-seksualitas-dan-agama-sketsa-politik-tubuh-perempuan-dalam-islam. (Diakses 14 November 2016).

Russell, Helen. 2013. Removal of Ban on WOMEN Cycling in Saudi Arabia is

Just Gesture Politics.

http://metro.co.uk/2013/04/06/removal-ban-women-cycling-saudi-arabia-just-gesture-politics-3812800/. (Diakses 19 Desember 2016).

Nashrullah, Nasih. 2013. Kenapa Muslimah Arab Saudi Dilarang Meyetir?. http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/13/11/23/mwplcw-kenapa-muslimah-arab-saudi-dilarang-menyetir. (Diakses 19 Deember 2016).


(6)

Muhaimin. 2013. Ulasan Larangan Wanita Saudi Nyetir, Psikolog ini dihujat. http://international.sindonews.com/read/788413/40/ulas-alasan-larangan-wanita-saudi-nyetir-psikolog-ini-dihujat-1380342487. (Diakses 20 Desember 2016)

Acquroff, Nick. 2014. Wadjda: A Landmark Film.

https://www.broadsheet.com.au/melbourne/art-and-design/article/wadjda-landmark-film. (Diakses 20 Desember).

Li, Hao. 2012. Business in Saudi Arabia:Culture Differences to Watch For. http://www.ibtimes.com/business-saudi-arabia-culture-differences-watch-406450. (Diakses 20 Desember 2016)