mengalami kecacatan pada saat sudah berada di luar kontrol atau di luar kesalahan pelaku usaha yang memproduksi produk tersebut.
66
B. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
1. Hak Pelaku Usaha
Dalam Pasal 6 Undang-undang No.8 Tahun 1999 produsen disebut pelaku usaha yang mempunyai hak sebagai berikut:
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang danatau jasa yang diperdagangkan.
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen
yang beritikad tidak baik. c.
Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang danatau jasa yang diperdagangkan.
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Hak-hak lain produsen juga dapat ditemukan antara lain pada faktor-faktor yang membebaskan produsen dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita
oleh konsumen, meskipun kerusakan timbul akibat cacat pada produk yaitu apabila produk tersebut sebenarnya tidak diedarkan, cacat timbul di kemudian
hari, cacat timbul setelah produk berada di luar kontrol produsen, barang yang diproduksi secara individual tidak untuk keperluan produksi, cacat timbul akibat
ditaatinya ketentuan yang ditetapkan oleh penguasa.
67
66
Ibid, hal 36
67
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op Cit, hal 42-43
Universitas Sumatera Utara
Di Amerika Serikat, faktor-faktor yang membebaskan produsen dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen disebabkan karena
kelalaian si konsumen penderita, penyalahgunaan produk yang tidak terduga pada saat produk dibuat unforseeable misuse, lewatnya jangka waktu penuntutan
daluarsa yaitu 6 tahun setelah pembelian atau 10 tahun sejak barang diproduksi, produk pesanan pemerintah pusat federal, kerugian yang timbul sebagian
akibat kelalaian yang dilakukan oleh produsen lain dalam kerja sama produksi di beberapa negara bagian yang mengakui joint and several liability.
Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai dengan kondisi dan nilai tukar barang danatau jasa yang diperdagangkan, menunjukkan bahwa pelaku
usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang danatau jasa yang diberikan kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang
berlaku pada umumnya atas barang danatau jasa yang sama. Dalam praktik yang biasa terjadi suatu barang danatau jasa yang kualitasnya lebih rendah daripada
barang yang serupa maka para pihak menyepakati harga yang lebih murah. Dengan demikian yang dipentingkan dalam hal ini adalah harga yang wajar.
Menyangkut hak pelaku usaha tersebut pada huruf b, c, dan d sesungguhnya merupakan hak-hak yang lebih banyak yang berhubungan dengan
pihak aparat pemerintah danatau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pengadilan dalam tugasnya melakukan penyelesaian sengketa. Melalui hak-hak
tersebut diharapkan perlindungan konsumen tidak mengabaikan kepentingan pelaku usaha. Kewajiban konsumen dan hak-hak pelaku usaha yang disebutkan
Universitas Sumatera Utara
pada huruf b,c, dan d tersebut adalah kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian sengketa sebagaimana diuraikan sebelumnya.
68
2. Kewajiban Pelaku Usaha
Dalam Pasal 7 Undang-undang No.8 Tahun 1999 diatur kewajiban pelaku usaha sebagai berikut:
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. b.
Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang danatau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif. d.
Menjamin mutu barang danatau jasa yang diproduksi danatau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang danatau
jasa yang berlaku.
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji danatau
mencoba barang danatau jasa tertentu serta memberi jaminan danatau garansi atas barang yang dibuat danatau yang diperdagangkan.
f. Memberi kompensasi, ganti rugi danatau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang danatau jasa yang diperdagangkan.
g. Memberi kompensasi, ganti rugi danatau penggantian apabila barang
danatau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Kewajiban pelaku usaha beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian.
Ketentuan tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata. Bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik sedangkan Arrest H.R
di negara Belanda memberikan peranan tertinggi terhadap itikad baik dalam
68
Abdul halim Berkatulah, Op Cit, hal 37
Universitas Sumatera Utara
tahap pra perjanjian bahkan kesesatan ditempatkan di bawah itikad baik, bukan lagi pada teori kehendak.
Begitu pentingnya itikad baik tersebut sehingga dalam perjanjian antara para pihak, kedua belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan khusus
yang dikuasai oleh itikad baik dan hubungan khusus ini membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak itu harus bertindak dengan mengingat
kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain.
69
Sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang danatau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan oleh
Masing-masing calon pihak dalam perjanjian terdapat suatu kewajiban untuk mengadakan penyelidikan dalam batas-batas yang wajar terhadap pihak
lawan sebelum menandatangani kontrak atau masing-masing pihak harus menaruh perhatian yang cukup dalam menutupi kontrak yang berkaitan dengan itikad baik
tersebut. Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen UUPK, pelaku usaha
diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya sedangkan bagi konsumen diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian
barang danatau jasa. Dalam UUPK, itikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya,
sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang diproduksi sampai pada tahap purna penjualan.
69
Ibid, hal 38
Universitas Sumatera Utara
kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang diproduksi oleh produsen sedangkan bagi konsumen kemungkinan untuk dapat merugikan
produsen mulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen.
70
Penyampaian informasi yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam hal ini pada umumnya bukan hanya menonjolkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh
suatu produk, tetapi perlu diimbangi dengan informasi yang memuat kekurangan- kekurangan yang dimiliki oleh produk yang bersangkutan. Terutama mengenai
hal-hal yang menyangkut keamanan dan keselamatan konsumen, sehingga Mengenai kewajiban kedua pelaku usaha yaitu memberikan informasi
yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang danatau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan disebabkan
karena informasi disamping merupakan hak konsumen juga karena ketiadaan informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat
produk cacat informasi yang akan sangat merugikan konsumen. Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen
mengenai suatu produk agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai suatu produk tertentu khususnya minuman. Penyampaian informasi terhadap
konsumen tersebut dapat berupa representasi, peringatan, maupun berupa instruksi.
70
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op Cit, hal 54-55
Universitas Sumatera Utara
konsumen benar-benar dapat mempergunakan informasi yang diberikan pelaku usaha tersebut dalam menjatuhkan pilihannya terhadap suatu produk yang tepat.
71
Representatif suatu produk terutama produk pangan seperti minuman dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen diatur dalam Bab IV mengenai
perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. Salah satu larangan yang berkaitan dengan representatif tersebut terlihat dalam ketentuan Pasal 8 ayat 1 f Undang-
undang Perlindungan Konsumen. Disamping larangan tersebut masih terdapat juga larangan bagi pelaku usaha dalam menawarkan produknya kepada
konsumen, namun secara garis besar kesemuanya adalah mengenai kualitaskondisi, harga, kegunaan, jaminan atas produk tersebut.
72
Oleh karena itu, dalam menjamin efisiensi penggunaan suatu produk khususnya minuman yang mana dapat mencegah timbulnya kerugian bagi
konsumen maka perlu dicantumkan petunjuk prosedur pemakaian produk tersebut yang merupakan kewajiban bagi produsen agar produknya tidak dianggap cacat.
Sebaliknya, konsumen berkewajiban untuk membaca atau mengikuti petunjuk prosedur pemakaian atau pemanfaatan produk tersebut demi keamanan dan
keselamatan.
73
C. Bentuk-bentuk Pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha berkaitan
dengan peredaran minuman kadaluwarsa
Usaha untuk menghindarkan konsumen dari ekses negatif pemakaian suatu produk tertentu seperti minuman kadaluwarsa maka diperlukan upaya untuk
71
Dedi harianto, Op Cit, hal 5
72
Ibid, hal 57
73
Ibid, hal 60
Universitas Sumatera Utara
melindungi kepentingan konsumen tersebut yang mana dilakukan melalui perangkat hukum yaitu Undang-undang Perlindungan Konsumen sehingga
diharapkan mampu menciptakan norma hukum perlindungan konsumen dan memberikan rasa tanggung jawab kepada dunia usaha terutama pelaku
usahanya.
74
1. Pelaku usaha di dalam menjual produk minuman tersebut menyembunyikan
informasi kadaluwarsa produk tersebut Dalam hal ini pelaku usaha di dalam memproduksi suatu produk seperti
minuman haruslah memperhatikan kualitas produk yang dihasilkannya dan wajib mencantumkan informasi masa kadaluwarsa dalam produknya sebagai bentuk
jaminan kesehatan dan keselamatan bagi konsumen. Apabila ini tidak dilakukan maka hukum akan menindak setiap pelanggaran yang dilakukan produsen tersebut
dengan ancaman hukuman yang cukup berat sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen.
Pelanggaran yang sering dilakukan oleh pelaku usaha tersebut terkait minuman kadaluwarsa yaitu:
Dalam hal ini informasi mengenai kadaluwarsa produk minuman tersebut sangat dibutuhkan oleh konsumen yang mengkonsumsi minuman tersebut
sehingga dapat menghindari dampak negatif dari minuman .kadaluwarsa tersebut. Biasanya produk seperti ini dijual dalam bentuk parsel yang mana
setiap produk, keterangan mengenai kadaluwarsanya disembunyikan oleh produsen atau penjual agar tidak dapat diketahui oleh konsumen.
74
Happy Susanto, Op Cit, hal 44
Universitas Sumatera Utara
2. Pelaku usaha di dalam mengedarkan produknya tersebut menyembunyikan
mengenai layak atau tidaknya produk tersebut dijual Mengenai kelayakan produk tersebut khususnya minuman pada dasarnya
berhubungan erat dengan karakteristik dan sifat dari produk yang diperdagangkan tersebut. Kelayakan produk tersebut merupakan standar
minimum yang harus dipenuhi atau dimiliki oleh suatu produk tertentu sebelum produk tersebut dapat diperdagangkan untuk dikonsumsi oleh
masyarakat luas. Standar minimum tersebut kadang-kadang sudah ada yang menjadi
pengetahuan umum, namun sedikit banyaknya masih memerlukan penjelasan lebih lanjut. Untuk itu informasi tersebut menjadi suatu hal
penting bagi konsumen. Informasi yang demikian tidak hanya datang dari pelaku usaha semata-mata melainkan juga dari berbagai sumber lain yang
dapat dipercaya serta dapat dipertanggungjawabkan sehingga pada akhirnya konsumen tidak dirugikan dengan membeli produk yang
sebenarnya tidak layak untuk diperdagangkan. 3.
Pelaku usaha dalam menjual produknya sering sekali tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa produk tersebut.
Dalam hal ini masa kadaluwarsa suatu produk tersebut harus dicantumkan pada label minuman dimaksudkan agar konsumen mendapat informasi
yang jelas mengenai produk yang dibelinya atau dikonsumsinya Dalam produk tersebut, tanggal yang biasanya tercantum pada label produk
Universitas Sumatera Utara
tersebut tidak hanya masa kadaluwarsanya tetapi tanggal-tanggal lain. Beberapa jenis tanggal pada label adalah :
a. Diproduksi atau dikemas tanggal... manufacturing or packing date
b. Dijual paling lama... sell by date
c. Digunakan paling lama tanggal... use by date
d. Sebaiknya digunakan sebelum tanggal... date of minimum durability
atau best before
Pencantuman tanggal kadaluwarsa pada label produk seperti minuman tersebut sangat bermanfaat bagi konsumen, distributor dan penjual maupun
produsen itu sendiri yaitu : a.
Konsumen dapat memperoleh informasi yang lebih jelas mengenai keamanan produk minuman tersebut.
b. Distributor dan penjual minuman dapat mengatur stok barangnya
stok rotation. c.
Produsen dirangsang untuk lebih menggiatkan pelaksanaan quality control terhadap produknya.
Berkaitan dengan pencantuman tanggal kadaluwarsa pada label suatu produk seperti minuman, perlu mendapat perhatian agar tidak terjadi salah
pengertian karena tanggal kadaluwarsa tersebut bukan merupakan batas mutlak suatu produk dapat digunakan atau dikonsumsi karena tanggal
kadaluwarsa tersebut hanya merupakan perkiraan produsen berdasarkan hasil studi atau pengamatannya.
Produk yang sudah melewati masa kadaluwarsa pun masih dapat dikonsumsi sepanjang dalam kenyataannya produk tersebut masih aman
untuk dikonsumsi. Sebaliknya, suatu produk seperti minuman dapat
Universitas Sumatera Utara
menjadi rusak atau berbahaya untuk dikonsumsi sebelum tanggal kadaluwarsa yang tercantum pada label produk tersebut.
75
4. Mencantumkan tanggal kadaluwarsa dengan mempergunakan stiker
sehingga dapat diganti-ganti. Dalam hal ini pencantuman tanggal kadaluwarsa terutama terhadap produk
minuman harus tercetak pada kemasan sehingga tidak mudah luntur atau dihapus, tidak diijinkan sama sekali apabila pencantumannya
menggunakan stiker ditempel. Apabila pencantuman masa kadaluwarsa ini dilakukan dengan menggunakan stiker dengan cara menempel maka
sewaktu-waktu dapat diganti secara bebas oleh pelaku usaha. Apabila hal ini dilakukan maka konsumen tidak akan mengetahui masa
kadaluwarsa yang sebenarnya. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan gejala keracunan atau jika bakteri berkembang dalam produk tersebut akan
menyebabkan kematian. Oleh karena itu pencantuman masa kadaluwarsa pada suatu produk tersebut harus didasarkan pada aspek keamanan serta
kelayakan konsumsi.
76
5. Menghasilkan makanan dengan mempergunakan bahan baku dari makanan
yang sudah kadaluwarsa. Dalam hal ini bahan baku yang dipakai oleh pelaku usaha berasal dari
bahan-bahan yang sudah kadaluwarsa yang mana bahan-bahan tersebut sudah bercampur dengan jamur dan bakteri yang dapat membahayakan
kesehatan konsumen. Jamur akan tumbuh pada makanan yang basah atau lembab sehingga untuk menyamarkan makanan kadaluwarsa para pelaku
75
Ahmadi Miru, Op Cit, hal 77-78
76
“ Cermat Memperhatikan Label Pangan”, http:salimahdki.blogspot.com...cermat- memperhatikan-label-pangan...
Universitas Sumatera Utara
usaha biasanya melakukan reformulasi makanan sehingga seperti makanan baru.
Makanan yang direformulasikan tersebut umumnya terbuat dari bahan yang relatif tidak tahan lama. Makanan kadaluwarsa yang diolah kembali
dipastikan mengandung bahan kimia yang berbahaya yang sangat berbahaya bagi kesehatan konsumen. Bahkan apabila dikonsumsi secara
berkepanjangan maka akan menyebabkan kematian.
77
6. Menghapus, mengaburkan tanggal kadaluwarsa produk
Dalam hal ini pelaku usaha yang menghapus atau mengaburkan tanggal kadaluwarsa suatu produk dilakukan supaya konsumen tidak mengetahui
dengan pasti informasi mengenai masa kadaluwarsa tersebut sehingga produk yang dijual oleh produsen tersebut dapat habis terjual. Hal ini
dilakukan oleh pelaku usaha agar konsumen tidak mengetahui bahwa produk yang dijual oleh pelaku usaha tersebut merupakan produk yang
kadaluwarsa.
78
Bahkan untuk produk-produk barang danatau jasa yang secara tegas sudah diatur kelayakan penggunaan, pemakaian, maupun pemanfaatannya pun
konsumen sering tidak memiliki banyak pilihan selain yang disediakan oleh Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa konsumen memang berada pada
posisi yang kurang menguntungkan dibanding dengan posisi dari pelaku usaha sebab keterlibatan konsumen dalam memanfaatkan suatu produk seperti minuman
yang tersedia sangat bergantung sepenuhnya pada informasi yang diberikan oleh pelaku usaha.
77
“ Makanan Daur Ulang dapat menyebabkan kematian”, http:healthindonesia.wordpress.com...makanan-daur-ulang-bisa-menyebabkan-kematian
78
“ Bingkisan Parcel”, http:www.kiwod.comtagbingkisan-parcel
Universitas Sumatera Utara
pelaku usaha. Untuk keperluan itulah, undang-undang memberikan aturan yang tegas mengenai hal-hal atau pelanggaran-pelanggaran yang tidak boleh dilakukan
oleh pelaku usaha dalam menawarkan barang danatau jasanya kepada konsumen.
79
D. Pengertian sanksi dan jenis sanksi yang dapat dikenakan terhadap pelaku usaha yang melakukan pelanggaran
1. Pengertian Sanksi
Sanksi merupakan “akibat dari sesuatu perbuatan atau suatu reaksi dari pihak lain manusia atau organisasi sosial atas suatu perbuatan”
80
. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonsia, sanksi adalah “berupa pembebanan atau
penderitaan yang ditentukan dalam hukum atau untuk memaksa orang menepati perjanjian atau menaati ketentuan”.
81
Menurut Djojodigoeno, sanksi dapat bersifat negatif bagi mereka yang berbuat menyimpang dari norma akan tetapi dapat juga bersifat positif bagi
mereka yang menaatinya. Sanksi yang negatif misalnya pidana sedangkan sanksi yang positif misalnya hadiah.
82
Sedangkan menurut W.L.G Lemaire, sanksi berupa hukuman yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus.
83
2. Jenis sanksi yang dapat dikenakan terhadap pelaku usaha yang melakukan
pelanggaran Pelaku usaha yang melanggar hak-hak konsumen dikenakan sanksi.
Pada dasarnya, hubungan antara konsumen dan pelaku usaha adalah hubungan
79
Happy Susanto, Op Cit, hal 42-43
80
Chainur Ar Rasjid, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hal 23
81
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007, hal 997
82
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung : PT Alumni, 2007, hal 21
83
Mohammad Eka Putra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Medan: USU Press, 2010, hal 1
Universitas Sumatera Utara
hukum keperdataan tetapi Undang-undang Perlindungan Konsumen juga mengenakan sanksi pidana bagi pelanggar hak-hak konsumen. Sebagaimana disebutkan dalam
Undang-undang Perlindungan Konsumen Pasal 45 ayat 3, “penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagiamana dimaksud pada ayat 2 tidak menghilangkan
tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang”. Sanksi-sanksi yang dapat dikenakan yaitu :
a. Sanksi Administratif
Pasal 16 UUPK : 1
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19
ayat 2 dan ayat 3.
2 Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak
Rp 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah. 3
Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
Sanksi administratif dijatuhkan terhadap para pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadapdalam rangka :
84
84
Abdul Halim Berkatulah, Op Cit, hal 101
1. Tidak dilaksanakannya pemberian ganti rugi oleh pelaku usaha kepada konsumen, dalam bentuk pengembalian uang atau penggantian barang
danatau jasa yang sejenis maupun perawatan kesehatan atau pemberian santunan atas kerugian yang di derita oleh konsumen.
2. Terjadinya kerugian sebagai akibat dari kegiatan produksi iklan yang dilakukan oleh pelaku usaha periklanan.
Universitas Sumatera Utara
3. Pelaku usaha yang tidak dapat menyediakan fasilitas jaminan purna jual baik dalam bentuk suku cadang maupun pemeliharaannya serta
pemberian jaminan atau garansi yang telah ditetapkan sebelumnya baik yang berlaku terhadap pelaku usaha yang memperdagangkan
barang atau jasa. Pengaturan kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK
untuk menjatuhkan sanksi administratif sesungguhnya bermasalah. Selama ini pemahaman terhadap sanksi administratif tertuju pada sanksi yang berupa
pencabutan izin usaha atau sejenisnya. Melalui pemahaman seperti ini, praktik di lingkungan peradilan umum dalam hal menemukan adanya pelanggaran yang
memerlukan dijatuhkannya sanksi administratif kepada si pelaku maka dalam putusannya memerintahkan instansi penerbit izin usaha untuk melakukan
pencabutan izin usaha pihak pelaku yang bersangkutan.
85
85
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op Cit, hal 273
Dalam ketentuan Pasal 60 Undang-undang Perlindungan Konsumen dinyatakan bahwa di satu sisi BPSK berwenang menjatuhkan sanksi administratif
sementara di sisi lain yang dimaksudkan adalah sanksi perdata. Dari sisi penggunaan istilah sanksi administratif, BPSK tidak memiliki kewenangan untuk
itu oleh karena ia bukan merupakan instansi penerbit izin regulatory agency, sehingga hak atau kewenangan menjatuhkan sanksi administratif oleh BPSK
secara hukum tidak berdasar. Dari sisi substansi pada dasarnya adalah sanksi perdata sehingga mengenai hal ini dapat dipastikan bahwa tidak ada pihak lain
yang menyangsikan kewenangan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Adanya bukti bahwa sanksi yang dimaksud bukan sanksi administratif tetapi sanksi perdata bukan saja ditunjukkan oleh angka Rp 200.000.000
dua ratus juta rupiah yang ditentukan di dalam pasal tersebut, melainkan juga oleh adanya penunjukan Pasal 19 ayat 2 dan 3. Pasal tersebut adalah pasal yang
menuntut tanggung jawab pembayaran ganti kerugian dari pelaku usaha kepada konsumen yang dirugikan akibat mengkonsumsi barang danatau jasa yang
dihasilkan atau diperdagangkan Pasal 19 ayat 1,2 dan 3.
86
Pembatasan ganti kerugian atau yang disebut ganti kerugian subjektif terbatas itu, untuk kondisi Indonesia sebagai negara yang industrinya masih dalam
perkembangan dinilai tepat. Oleh karena itu, disamping memberikan perlindungan kepada konsumen juga pelaku usaha masih terlindungi atau dapat terhindar dari
kerugian yang menngakibatkan kebangkrutan akibat pembayaran ganti kerugian yang tanpa batas.
Berdasarkan Pasal 60 ayat 2 tersebut, jika produsen lalai untuk memenuhi tanggung jawabnya, maka pelaku usaha tersebut dapat dijatuhi
sanksi yang jumlahnya maksimum Rp 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah. Ganti kerugian tersebut merupakan bentuk pertanggungjawaban terbatas,
sehingga secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa ganti kerugian yang terdapat dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen UUPK menganut prinsip ganti
kerugian subjektif terbatas.
87
b. Sanksi Pidana Pokok
Sanksi pidana pokok adalah “sanksi yang dapat dikenakan dan dijatuhkan oleh pengadilan atas tuntutan jaksa penuntut umum terhadap pelanggaran yang
86
Ibid, hal 274
87
Ibid, hal 275
Universitas Sumatera Utara
dilakukan oleh pelaku usaha. Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen memungkinkan dilakukannya penuntutan pidana terhadap pelaku usaha danatau
pengurusnya”.
88
Dalam Pasal 61 Undang-undang Perlindungan Konsumen dinyatakan bahwa “penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha danatau
pengurusnya”. Ketentuan ini jelas memperlihatkan suatu bentuk pertanggungjawaban pidana yang tidak saja dapat dikenakan kepada pengurus
tetapi juga kepada perusahaan. Hal ini menurut Nurmadjito merupakan upaya yang bertujuan untuk menciptakan sistem bagi perlindungan konsumen. Melalui
ketentuan pasal ini perusahaan dinyatakan sebagai subjek hukum pidana.
89
Adapun bentuk-bentuk sanksi pidana dapat dibedakan sebagai berikut:
90
1. Sanksi Kurungan
Apabila melanggar Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 15 dan Pasal 17 ayat 1 huruf a,b,c dan e akan dipidana penjara selama 5 tahun atau denda
Rp 2.000.000.000 dua miliar rupiah. Apabila melanggar Pasal 11, Pasal 17 ayat 1 huruf d dan f akan dipidana penjara selama 2 tahun atau denda Rp 500.000.000
lima ratus juta rupiah. 2.
Sanksi pidana lain di luar ketentuan Undang-undang Perlindungan Konsumen jika konsumen mengalami kematian, cacat berat, sakit berat, atau luka berat
Pasal 62 ayat 3.
88
Abdul Halim Berkatulah, Op cit, hal 103
89
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op Cit, hal 276
90
Happy Susanto, Op Cit, hal 42
Universitas Sumatera Utara
Apabila sanksi pidana berupa denda yang dijatuhkan atas perbuatan pidana yang dilakukan pelaku usaha berbadan hukum hanya dipandang sebagai “ongkos”
sebagaimana halnya ongkos yang harus dikeluarkan dalam rangka operasional produksi suatu perusahaan. Demikian hal ini lebih jelasnya dikemukakan oleh
Susanto bahwa melihat praktek penegakan hukum terhadap pelanggaran- pelanggaran yang dilakukan korporasi, sepertinya bagi korporasi pelanggaran
hukum hanya dipandang sekadar ongkos yaitu biaya atau pengurangan dari keuntungan melalui denda yang dikalkulasikan dan diperhitungkan sebelumnya
dengan cara yang sama seperti halnya dengan setiap ongkos yang harus dikeluarkan untuk menghasilkan dan memasarkan produk dari korporasi yang
bersangkutan. Sanksi pidana denda yang dipandang sekedar ongkos operasional produksi
atau pemasaran akan mengakibatkan perusahaan sebagai subjek hukum pidana tidak menjadi jera atau sanksi pidana denda yang dimaksud tidak mengubah
perilaku perusahaan yang dimaksud. Akibatnya perbuatan pidana dapat selalu berulang. Jika hal ini terjadi berarti sanksi pidana denda saja masih belum cukup
apalagi sanksi denda yang diputuskan kecil jumlahnya sehingga harus ada pertimbangan terhadap kemungkinan memberikan sanksi tambahan sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 63 UUPK.
91
91
Abdul Halim Berkatulah, Op Cit, hal 105
Universitas Sumatera Utara
c. Sanksi Pidana Tambahan
Menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen Pasal 63, dimungkinkan diberikannya sanksi pidana tambahan di luar sanksi pidana pokok
yang dijatuhkan berdasarkan Pasal 62. Sanksi-sanksi tersebut berupa : 1.
Perampasan barang tertentu 2.
Pengumuman keputusan hakim 3.
Pembayaran ganti rugi 4.
Pencabutan izin usaha 5.
Dilarang memperdagangkan barangjasa 6.
Wajib menarik barangjasa dari peredaran Salah satu jenis hukuman tambahan dalam Pasal 63 ini adalah pembayaran
ganti rugi. Pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksudkan dalam pasal ini adalah kurang tetap karena ganti kerugian merupakan kajian dari hukum perdata
dan bukan hukum pidana. Sedangkan sanksi pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang bukan merupakan ganti kerugian melainkan denda. Demikian pula
dengan hukuman tambahan yang berupa pencabutan izin usaha yang hal ini merupakan sanksi administratif.
92
92
Ibid, hal 106
Universitas Sumatera Utara
BAB IV UPAYA HUKUM YANG DILAKUKAN KONSUMEN YANG