PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADA

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP PRODUK PANGAN YANG TIDAK BERSERTIFIKAT HALAL LEGAL PROTECTION TO THE CONSUMER ON NON HALAL- CERTIFICATE PRODUCTS

Asri

Magister Ilmu Hukum Universitas Mataram email : asrisuhardi@gmail.com

Naskah diterima : 07/06/2016; revisi : 28/07/2016; disetujui : 25/08/2016

Abstract

Halal certification aimed to giving legal certainty and legal protection to the consumer, especially moslems consumer. Based on research result, legal protection to the consumer on food products that have no halal certification can be concluded, First halal certification regulated in Law Number 33 Year 2014 on Halal Products Assurance (Jaminan Produk Halal/JPH). Halal certificate is an obligation, so food products that not have halal certificate cant be distributed in Indonesia, either produce in Indonesia or abroad. Second, businessman that achieve halal certification must put halal label on package, in certain area on the product package. Third, the government role in monitoring of non halal-certificate products regulate on JPH Law. On JPH Law, monitoring is conduct by BJPH, ministry and/or related institution.

Keywords : Consumer Protection Law, Muslim, Halal Certificate, Food Products

Abstrak

Sertifikasi halal bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi konsumen, khususnya konsumen muslim. Berdasarkan hasil kajian, perlindungan hukum bagi konsumen terhadap produk pangan yang tidak bersertifikat halal dapat disimpulkan, bahwa Pertama, perlindungan hukum bagi konsumen muslim dari produk pangan yang tidak bersertifikat halal di atur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Sertifikat halal bersifat wajib (mandatory) sehingga produk pangan yang tidak bersertifikat halal dan berlabel halal tidak bisa lagi beredar di Indonesia, baik yang diproduksi di dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri. Kedua, Pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikat halal wajib mencantumkan label halal pada kemasan produk, bagian tertentu dari produk dan/atau tempat tertentu pada produk. Ketiga, Peran pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap beredarnya produk pangan yang tidak bersertifikat halal diatur dalam Undang-Undang Pangan dan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (JPH). Dalam Undang-Undang Pangan pengawasan dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sedangkan dalam Undang-Undang JPH, pengawasan dilakukan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BJPH), kementerian dan/atau lembaga terkait.

Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Konsumen Muslim, Sertifikat Halal, Produk Pangan.

PendAhuluAn

bahaya fisik, kimia ataupun mikrobiologi, tetapi juga ada suatu unsur yang sangat

Kehalalan produk pangan merupakan hakiki, yaitu aman dari bahaya barang yang hal yang penting bagi umat Islam. Bagi diharamkan dan diragukan oleh syari’at konsumen muslim, makanan yang Islam. Dalam Alqur’an di sebutkan : “Hai aman tidak hanya sekedar terbebas dari sekalian manusia makan lah yang halal

J urnal IuS | Vol IV | nomor 2 | Agustus 2016 | hlm, 2~21

lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan efisiensi serta profesionalitas. Oleh dan janganlah kamu mengikuti langkah- karena itu jaminan penyelenggaraan produk langkah setan, karena sesungguhnya setan halal bertujuan memberikan kenyamanan, itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Al- keamanan, keselamatan dan kepastian Baqarah:168)

ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengkonsumsi dan menggunakan

Al-Qur’an menyebutkan bahwa makanan produk, serta meningkatkan nilai tambah

yang dapat dikonsumsi adalah makanan bagi pelaku usaha untuk memproduksi dan

yang halal dan baik, sementara makanan

menjual produk halal. 1

yang haram tidak boleh dikonsumsi oleh kaum muslim. Al-Qur’an juga memberikan

Sertifikat halal menjadi sangat penting rincian tentang hal-hal yang diharamkan :

artinya bagi konsumen muslim karena menyangkut prinsip keagamaan dan hak

“Diharamkan bagimu memakan bangkai, konsumsen. Sementara terdapat fakta darah, daging babi, daging hewan yang bahwa belum semua produk makanan disembelih atas nama selain Allah, yang bersertifikat halal. Dengan demikian, upaya tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang untuk memberikan perlindungan yang ditanduk, yang diterkam binatang buas memadai terhadap kepentingan konsumen kecuali yang sempat kamu menyembel- merupakan suatu hal yang penting dan ihnya dan diharamkan bagimu yang dis- mendesak untuk segera dicari solusinya. embelih untuk berhala.” (Al-Maidah:3).

Permasalahan ini muncul karena konsumen semakin kritis dan membutuhkan

Bahaya atas kategori halal ini berimplikasi kepastian tentang produk pangan yang pada ketenangan jiwa konsumen muslim dikonsumsikannya baik dari sisi legalitas

dan sekali tercemar maka tidak dapat dan kualitas yang baik dan halal. Apalagi dielakkan efek kerugiannya cukup besar dengan terbukanya perdagangan bebas baik financial maupun kepercayaan ASEAN melalui MEA (Masyarakat konsumen terhadap produk tersebut. Kasus Ekonomi Asean), produk-produk olahan lemak babi pada Tahun 1988, kasus produk pangan dari negara lain akan beredar MSG (Monosodium Glutamat) Ajinomoto dengan leluasa di Indonesia. yang mengandung unsur babi Tahun 2000, dan kasus adanya temuan kandungan unsur

Berdasarkan latar belakang, dapat babi dalam bumbu yang dipakai restoran dijabarkan beberapa permasalahan Solaria di Balik papan Plaza, Kalimantan penelitian sebagai berikut : Timur pada Tahun 2015 menjadi suatu

1. Bagaimanakah perlindungan hukum pengalaman buruk yang sulit dilupakan bagi

bagi konsumen muslim terhadap produk konsumen muslim dan menjadi pelajaran pangan yang tidak bersertifikat halal? yang cukup mahal bagi para produsen yang

ingin berbisnis di Indonesia.

2. Bagaimanakah tanggung jawab pelaku usaha dan akibat hukumnya terhadap

Untuk menjamin setiap pemeluk agama produk pangan yang tidak bersertifikat beribadah dan menjalankan agamanya,

halal?

negara berkewajiban memberikan perlindungan dan jaminan tentang kehalalan

3. Bagaimanakah peran pemerintah dalam produk yang dikonsumsi dan digunakan

melakukan pengawasan terhadap masyarakat. Jaminan mengenai produk halal hendaknya dilakukan dengan azas perlindungan, keadilan, kepastian hukum,

1 Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indo-

akuntabilitas dan transparansi, efektifitas nesia Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk

Halal.

2 IuS Kajian hukum dan Keadilan

A s r i| Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat.......... beredarnya produk pangan yang tidak lintas atau hubungan-hubungan hukum

bersertifikat halal? dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Penegakan hukum merupakan

Adapun teori hukum yang akan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan

digunakan dalam melakukan penelitian ini konsep-konsep hukum yang diharapakan

adalah; rakyat menjadi kenyataan. Penegakan

a. Teori Perlindungan Hukum hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal. 6

Teori perlindungan hukum menurut Menurut Satjipto Rahardjo Salmond adalah hukum bertujuan untuk 7 , penegakan

mengintegrasikan dan mengkoordinasikan hukum pada hakekat nya merupakan berbagai kepentingan dalam masyarakat penegakan ide-ide atau konsep-konsep yang karena dalam suatu lalulintas kepentingan, abstrak, penegakan hukum merupakan perlindungan terhadap kepentingan usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut tertentu dapat dilakukan dengan cara menjadi kenyataan. Penegakan hukum membatasi berbagai kepentingan di lain secara konkrit adalah berlakunya hukum pihak.2 Kepentingan hukum adalah positif dalam praktik sebagaimana mengurusi hak dan kepentingan manusia, seharusnya patut ditaati, oleh karena itu sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi memberikan rasa keadilan dalam suatu untuk menentukan kepentingan manusia perkara berarti memutuskan perkara dengan

yang perlu diatur dan dilindungi. 3 menerapkan hukum dan menemukan hukum inconcreto dalam mempertahankan

Menurut Satjipto Rahardjo, Perlindungan dan menjamin ditaatinya hukum materiil hukum adalah memberikan pengayoman dengan menggunakan cara prosedural yang

terhadap hak asasi manusia (HAM) yang ditetapkan oleh hukum formal, sehingga dirugikan orang lain dan perlindungan itu keberhasilan penegakan hukum akan diberikan kepada masyarakat agar dapat dipengaruhi oleh hal-hal tersebut. menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.4 Selanjutnya Phillipus M.

c. Teori efektivitas hukum Hadjon menjelaskan bahwa perlindungan

Efektifitas Hukum menurut Hans hukum bagi rakyat sebagai tindakan

Kelsen adalah keberlakuan tata hukum pemerintah yang bersifat preventif dan

secara keseluruhan adalah kondisi yang dibutuhkan untuk validitas setiap

respresif. 5

b. Teori Penegakan Hukum norma dalam tata aturan. Keberlakuan tata hukum secara total adalah kondisi,

Penegakan hukum merupakan suatu bukan alasan, bagi validitas norma-norma usaha untuk mewujudkan ide-ide keadilan, yang menyusunnya. Norma-norma ini kepastian hukum dan kemanfaatan sosial valid bukan karena tata hukum secara menjadi kenyataan. Jadi penegakan hukum keseluruhan berlaku, tetapi karena dibuat pada hakikatnya adalah proses perwujudan secara konstitusional. 8 ide-ide. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau Selanjutnya Anthony Allot mengemuka- berfungsinya norma-norma hukum secara kan tentang efektifitas hukum, ia menge- nyata sebagai pedoman pelaku dalam lalu mukakan bahwa:

2 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT.Citra Aditya 6 Shant Dellyana, Konsep Penegakan Hukum, Lib- Bakti, Bandung, 2000, hlm. 53

erty, Yogyakarta, 1988, hlm. 34

3 Ibid. hlm. 69

7 Ibid.

4 Ibid. hlm. 54 8 Jimly Asshiddiqie & M. Ali Safa’at, Teori Hans 5 Phillipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi

Kelsen Tentang Hukum, Konstitusi press (konpress), Ja- Rakyat Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hlm. 2

karta, 2012, hlm. 94

Kajian hukum dan Keadilan IuS 3

J urnal IuS | Vol IV | nomor 2 | Agustus 2016 | hlm, 4~21

“Hukum akan menjadi efektif jika tu- Adapun metode pendekatan yang

juan keberadaan dan penerapannya da- digunakan adalah : Pendekatan perundang- pat mencegah perbuatan-perbuatan yang undangan (Statute Approach),

yaitu tidak diinginkan dapat menghilang- pendekatan menggunakan legislasi kan kekacauan. Hukum yang efektif se- dan regulasi; Pendekatan Konseptual

cara umum dapat membuat apa yang (Conceptual Approach), yaitu dilakukan

manakala peneliti tidak beranjak dari dirancang dapat diwujudkan. Jika suatu

aturan hukum yang ada; dan Pendekatan kegagalan, maka kemungkinan terjadi kasus (Case Approach), yaitu dilakukan

pembetulan secara gampang jika ter- dengan cara menelaah terhadap kasus-kasus

jadi keharusan untuk melaksanakan yang berkaitan dengan isu yang dihadapi atau menerapkan hukum dalam suasana yang telah menjadi putusan pengadilan baru yang berbeda, hukum akan sanggup dan telah mempunyai kekuatan hukum

menyelesaikannya.” 9 tetap. Untuk mengkaji dan menganalisis penelitian tersebut di atas maka penulis

Derajat efektifitas secara umum dalam menggunakan sumber dan jenis data yaitu

pandangan Soerjono Soekanto diukur data kepustakaan (library research) yang

melalui taraf kepatuhan masyarakat terdiri dari bahan hukum primer, sekunder

terhadap hukum, termasuk para penegak

dan tersier.

hukumnya sehingga dikenal suatu asumsi bahwa:

PembAhAsAn

“Taraf kepatuhan hukum yang tinggi merupakan suatu indikator berfungsinya

I. Perlindungan hukum bagi Kon-

sumen Terhadap Produk Pangan Yang Tidak bersertifikat halal

suatu sistem hukum, dan berfungsinya hu-

kum merupakan pertanda bahwa hukum tersebut telah mencapai tujuan hukum,

Jaminan penyelenggaraan produk halal

yaitu berusaha untuk mempertahankan bertujuan untuk memberikan kenyamanan, dan melindungi masyarakat dalam per- keamanan, keselamatan dan kepastian

gaulan hidup”. 10 ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengkonsumsi dan menggunakan

Jenis penelitian ini adalah penelitian produk pangan. Hal ini menjadi penting hukum normatif yang mengkaji dan sebagai bagian dari upaya melindungi menganalisis peraturan perundang- konsumen dari produk-produk pangan undangan, asas-asas hukum dan norma- yang tidak halal. norma hukum yang berkaitan dengan perlindungan hukum bagi konsumen

Kemajuan teknologi pangan pada saat terhadap produk pangan yang tidak ini harus di waspadai, karena banyak

bersertifikat halal. Penelitian secara bahan baku dan bahan tambahan yang normatif dalam penelitian ini dari segi digunakan untuk memproduksi suatu

peraturan perundang-undangan dan norma- makanan olahan. 12 Untuk menjamin agar norma hukum sesuai dengan permasalahan produk pangan (makanan dan minuman) yang ada. 11 aman dari pengaruh teknologi maka harus

9 Anthony Allot dalam Salim HS & Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis

yakarta, 2010, hlm. 34

Dan Disertasi, PT. Raja grapindo Persada, Jakarta, 2013, 12 Mashudi, Konstruksi Hukum dan Respons Ma- hlm. 302

syarakat Terhadap Sertifikasi Produk Halal: Studi So- 10 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar,

cio-legal Terhadap Lembaga Pengkajian Pangan, Obat- Rajawali Press, Bandung, 1996, hlm. 20

obatan, dan Kosmetik Majelis Ulama Indonesia, Seri 11 Mukti Fajar & Yulianto Achmad, Dualisme Pene-

Disertasi, Cetakan I, Pustaka Pelajar bekerjasama den- litian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yog-

gan LP2M UIN Walisongo, November 2015, hlm. 93

4 IuS Kajian hukum dan Keadilan

A s r i| Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat..........

memperhatikan prinsip-prinsip sebagai dan obat-obatan. Penggunaan gelatin berikut: 13

dalam industri pangan saat ini cukup luas, mulai dari emulasi, pasta, permen lunak,

a. Prinsip-prinsip produk makanan. minuman, jelly hingga kapsul. 15

1). Makanan Halal Bahan pembuatan makanan dapat

Hasil penelitian penulis bahwa diperoleh dari berbagai sumber, baik mayoritas konsumen tidak selektif

berasal dari hewan maupun tumbuhan dalam memilih makan. Ketidaktahuan

alami. Ini dilakukan untuk meningkatkan atau mengikuti selera adalah faktor

“mutu” makanan tersebut, baik dari segi penyebab yang utama. Perkembangan

rasa, tekstur, maupun warna. Selain bahan teknologi pengolahan pangan tidak selalu

utama, bahan yang sering digunakan menghasilkan makanan yang baik dan

adalah bahan tambahan. Bahan ini berasal sehat. Diduga terdapat produk makanan

dari proses kimiawi bahan alami maupun yang mengandung unsur-unsur haram

proses kimiawi bahan sintetik. Hanya, dalam bahan tambahan yang digunakan.14

sebagian gelatin merupakan produk Oleh karena itu tiga kriteria yakni : halal,

turunan yang berasal dari hewan, termasuk thayyiba dan bergizi seharusnya terpenuhi

babi. Karena selain memiliki kekenyalan dalam memilih makanan.

yang khas, gelatin dari babi juga dianggap lebih murah dibandingkan dengan bahan

Kriteria halal pada makanan yang lainnya. Belakangan ini gelatin dari ditetapkan oleh para ahli Lembaga

siapapun mulai banyak dibuat, namun Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan

meskipun berasal dari sapi, kehalalannya Kosmetika Majelis Ulama Indonesia

masih harus dipantau. 16 (LPPOM MUI) bersifat umum dan

b. Prinsip-Prinsip Produk Minuman pemeriksaan. Memeriksa suatu makanan,

sangat berkaitan dengan persoalan teknis

Kaidah yang berlaku untuk produk senantiasa berdasar pada standar, mulai

minuman pada dasarnya tidaklah bersifat dari bahan baku yang digunakan, bahan

khusus. Sebab, berkat kemajuan teknologi tambahan, bahan penolong, proses

bahan-bahan yang digunakan dalam produksi dan jenis kemasan. Penelurusan

proses makanan juga dapat digunakan bahan-bahan tersebut tidak hanya berasal

dalam produk minuman, seperti perasa dari babi atau bukan, tetapi juga meliputi

(flavour), vitamin dan sebagainya. Oleh cara penyembelihan, cara penyimpanan

karena itu, kaidah hukum yang berlaku dan metode produksi.

untuk produk makanan juga berlaku untuk 2). Makanan Haram 17 minuman.

Pada dasarnya makanan haram Kaidah hukum Islam yang berlaku sebagaimana nash Al-Qur’an dan

untuk produk minuman meliputi 4 Faktor Hadist kadarnya tidak banyak, namun

yaitu memabukkan, membahayakan, karena pengaruh bahan lainnya itulah

najis, dan terkontaminasi dengan bahan menyebabkan kategori keharaman

yang haram atau najis. Tiga faktor yang mengalami pengembangan seperti

15 LP POM MUI, Jurnal Halal Menentramkan Um-

penggunaan gelatin (berasal dari lemak mat, No.72 Juni-Juli 2008, Th. XI. 2008, hlm. 8 Babi). Penggunaan gelatin telah menyisir

16 LP POM MUI, Jurnal Halal Menentramkan Um- mat...... hlm. 10

hampir setiap produk makanan, minuman

17 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia: Studi Atas Fatwa Halal MUI terhadap Produk Makanan, 13 Ibid. Hlm. 94-109

Obat-obatan dan Kosmetika, Naskah disertasi S3 pada 14 LP POM MUI, Jurnal Halal Menentramkan Um-

Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) mat, No.56/X/2005, hlm. 21

Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, Hlm. 81.

Kajian hukum dan Keadilan IuS 5

J urnal IuS | Vol IV | nomor 2 | Agustus 2016 | hlm,

6 IuS Kajian hukum dan Keadilan

terakhir sama kaidahnya dengan produk makanan, sedangkan faktor memabukkan merupakan faktor yang khas pada produk minuman. 18

Beberapa jenis minuman yang memabukkan (alcoholic beverages) secara garis besar dikelompokkan menjadi wine, bir, dan sprite yang terdiri dari liquor dan liqueurs (cordials). Ada beberapa jenis bir yang beredar dipasaran dengan kadar alkohol bervariasi dan dapat mencapai 5,5 % bahkan pada strong beer dapat mencapai 8 %. Ada juga salah satu bir yang disebut lager yaitu bir yang disimpan sekitar 6 bulan sebelum dipasarkan. Yang juga penting diketahui ialah ada produk minuman yang dibuat dari campuran bir (dapat pula bahan dasar bir), perisa (flavourings), air dan bahan lainnya yang ditambah lagi dengan gas karbondioksida yang dipasaran dikenal sebagai minuman

shandy. 19 Pada dasarnya keberadaan jaminan

produk pangan halal berangkat dari informasi yang benar, jelas, dan lengkap baik secara kuantitatif maupun kualitas dari produk pangan yang mereka

konsumsi. 20 Pencantuman label halal sebagai konsekuensi sebuah produk yang bersertifikat halal akan mengembalikan hak-hak konsumen untuk menyeleksi dan mengkonsumsi jenis makanan yang mereka hendak konsumsi. Oleh karena itu pencantuman label harus terbuka dan jelas terlihat, sehingga menunjukkan adanya itikad baik dari pelaku usaha untuk mengembalikan hak-hak konsumen. Karena selain untuk menjamin aspek kesehatan, juga bahkan yang sangat penting adalah sebagai bentuk pemberian

18 Ibid. Hlm. 82 19 Jurnal LP POM MUI, Jurnal Halal Menentram-

kan Ummat, No.62/X/2006, Hlm. 8-9. 20 KN Sopyan Hasan, Sertifikasi Halal dalam Hu- kum Positif: Regulasi dan Implementasi di Indonesia, ASWAJA Presindo, Cetakan I, Agustus 2014, hlm. 239

jaminan perlindungan dan kepuasan batiniah masyarakat. 21

Untuk itu konsumen dihimbau untuk meneliti dan menilai produk yang akan dikonsumsi nya secara detail dan seksama. Sebagai konsumen khususnya konsumen muslim, kesalahan atau kekeliruan dalam memilih suatu produk yang dikonsumsi nya dapat berujung pada kerugian lahir dan batin. Secara lahir produk yang mengandung bahan berbahaya akan berdampak bagi kesehatan. Sedangkan secara batin, mengkonsumsi produk yang tidak halal akan berdosa. Oleh karena itu konsumen sangat perlu memahami informasi tentang produk yang akan dikonsumsi nya. Sehingga keputusan untuk mengkonsumsi produk tertentu tidak semata-mata karena tergiur dengan kemasan yang menarik, iklan yang bombastis atau harga yang murah. Secara psikologis, setiap orang akan memilih segala sesuatu yang bersifat praktis, ekonomis dan hasil yang maksimal. Sikap tersebut tidak boleh dibiarkan tanpa adanya suatu upaya yang seharusnya dilakukan dan dipikirkan akibat yang akan timbul.

Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) pada pasal 2 termuat asas dari perlindungan konsumen yang ber- bunyi “Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keaman- an dan keselamatan konsumen serta kepas- tian hukum”. Disini terlihat konsumen mendapatkan perlindungan hukum. Di Pas- al 4 mengatur hak-hak konsumen dan pasal

5 mengatur khusus tentang kewajiban kon- sumen.

Berdasarkan dua pasal di atas (pasal 4 dan Pasal 5), sudah jelas bahwa konsumen berhak mendapatkan yang benar, jelas, jujur dan mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa dan berkewajiban membaca dan mengikuti petunjuk informasi dan

21 Ibid. Hlm. 240

A s r i| Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat..........

prosedur pemakaian atau pemanfaatan

c. Berat bersih dan isi bersih; barang dan/atau jasa, demi keamanan dan

d. Nama dan alamat pihak yang keselamatan. Jadi kewajiban pengusaha

memproduksi atau mengimpor; yang membuat produk harus memberikan

informasi yang benar, jelas dan jujur

e. Halal bagi yang dipersyaratkan; mengenai kondisi dan jaminan barang

f. Tanggal dan kode produksi; atau jasa serta memberikan penjelasan

22 pengguna, perbaikan dan pemeliharaan. g. Tanggal,bulan dan tahun kadalu-

arsa;

h. Nomor izin edar bagi Pangan Ola- mengenai informasi halal suatu produk

Bagi konsumen muslim ketentuan

han dan

pangan merupakan hal penting, karena menyangkut pelaksanaan syariat, juga

II. Asal usul bahan tertentu. menjadi hak konsumen muslim. Jadi,

Dengan pasal 97 tersebut menjadi pemberian sertifikasi halal bertujuan jelas kewajiban produsen/pelaku usaha untuk memberikan kepastian hukum dan untuk mencantumkan label halal yang perlindungan hukum bagi konsumen. dipersyaratkan dalam rangka melindungi

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 keberadaan konsumen muslim. Namun tentang Pangan terdapat beberapa pasal label halal yang berasal dari sertifikasi yang terkait dengan kehalalan produk halal belum di wajibkan (mandatory) pangan yaitu pasal 97 ayat (1), (2) dan (3). tetapi dipersyaratkan. Pelaku usaha Adapun bunyi pasal tersebut adalah sebagai bertanggungjawab terhadap pencantuman berikut :

label halal tersebut yang merupakan satu kesatuan dengan kemasan nya.

Pasal 97 Pengaturan tentang kehalalan produk

(1)Setiap orang yang memproduksi juga diatur di dalam PP Nomor 69 Tahun

Pangan di dalam negeri untuk 1999 tentang Label dan Iklan Pangan yaitu diperdagangkan wajib mencantumkan di pasal 10 dan pasal 11. Dalam penjelasan label di dalam dan/atau pada Kemasan pasal 10, bahwa pencantuman keterangan Pangan

halal atau “tulisan” pada label pangan

(2)Setiap orang yang mengimpor merupakan kewajiban apabila pihak yang

pangan untuk diperdagangkan wajib memproduksi dan atau memasukkan pangan mencantumkan label di dalam dan/ ke dalam wilayah Indonesia dan huruf atau pada kemasan pangan pada saat Latin, harus digunakan bersamaan dengan memasuki wilayah Negara Kesatuan padanan nya dalam bahasa Indonesia dan Republik Indonesia.

huruf latin. Keterangan tentang kehalalan pangan tersebut mempunyai arti yang

(3)Pencantuman label di dalam dan/atau sangat penting dan dimaksudkan untuk

pada kemasan Pangan sebagaimana melindungi masyarakat yang beragama

dimaksud pada ayat (1) dan ayat Islam dari mengkonsumsi pangan yang

(2) ditulis atau dicetak dengan tidak halal (haram). Kebenaran suatu

menggunakan bahasa Indonesia serta pernyataan pada label pangan tidak hanya

memuat paling sedikit keterangan dibuktikan dari segi bahan baku, bahan

mengenai : tambahan pangan, atau bahan bantu yang

a. Nama produk; digunakan, tetapi harus pula dibuktikan dalam proses produksinya.

b. Daftar bahan yang digunakan;

22 KN. Sopyan Hasan, Op.Cit. Hlm. 261

Kajian hukum dan Keadilan IuS 7

J urnal IuS | Vol IV | nomor 2 | Agustus 2016 | hlm, 8~21

Selanjutnya penjelasan pasal 11 ayat (1) Untuk menjamin ketersediaan produk menyatakan bahwa pencantuman tulisan halal, ditetapkan bahan baku produk yang halal pada dasarnya bersifat sukarela. dinyatakan halal, baik bahan yang berasal Namun setiap orang yang memproduksi dari bahan baku hewan, tumbuhan, mikro- dan atau masukkan pangan ke dalam

ba, maupun bahan yang dihasilkan melalui wilayah Indonesia untuk diperdagangkan proses kimiawi, biologi, atau proses rekaya- menyatakan nya sebagai produk yang halal, sa genetik. Disamping itu ditentukan PPH sesuai ketentuan ia wajib mencantumkan yang merupakan rangkaian kegiatan untuk tulisan halal pada label produknya. Untuk menjamin kehalalan produk yang men- menghindarkan timbulnya keraguan cakup: penyediaan bahan, pengolahan, pe- dikalangan umat Islam terhadap kebenaran nyimpanan, pengemasan, pendistribusian,

pernyataan halal tadi, dan dengan demikian penjualan, dan penyajian produk. 23 untuk kepentingan kelangsungan atau

Dalam Penjelasan Pasal 2 Undang- kemajuan usahanya, sudah pada tempatnya

Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang bila pangan yang dinyatakan sebagai halal

Jaminan Produk Halal juga diatur tentang tersebut diperiksakan terlebih dahulu pada

asas-asas penyelenggaraan jaminan produk lembaga yang telah diakreditasi oleh Komite

halal (JPH), yaitu;

Akreditasi Nasional (KAN). Pemeriksaan tersebut dimaksudkan untuk memberikan

1. Asas perlindungan adalah bahwa dalam ketentraman dan keyakinan umat Islam

menyelenggarakan JPH bertujuan bahwa pangan yang akan dikonsumsi

melindungi masyarakat muslim memang aman dari segi agama.

2. Asas keadilan, bahwa dalam Pengaturan tentang sertifikasi halal

penyelenggaraan JPH harus dalam memberikan perlindungan

mencerminkan keadilan secara konsumen muslim terdapat pada Undang-

proporsional bagi setiap warga negara Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang

Jaminan Produk Halal (JPH). Undang-

3. Asas kepastian hukum, adalah bahwa undang ini mengatur hak dan kewajiban

penyelenggaraan JPH bertujuan pelaku usaha yang tertuang dalam pasal 23

memberikan kepastian hukum sampai dengan pasal 27. Dalam pasal 26

mengenai kehalalan suatu produk yang pelaku usaha yang memproduksi produk

dibuktikan dengan sertifikasi halal. dari bahan yang berasal dari bahan yang

4. Asas akuntabilitas dan transparansi diharamkan sebagaimana dimaksud dalam

adalah bahwa kegiatan pasal 18 dan pasal 20 dikecualikan dari

penyelenggaraan JPH harus dapat mengajukan permohonan sertifikat halal.

dipertanggungjawabkan kepada Perlindungan hukum terhadap konsumen

masyarakat sebagai pemegang tidak hanya menyangkut kehalalan

kedaulatan tertinggi negara sesuai produk. Dalam Undang-Undang ini juga

dengan ketentuan peraturan memberikan pengecualian terhadap pelaku

perundang-undangan.

usaha yang memproduksi produk dari

5. Asas efektivitas dan efisiensi adalah bahan berasal dari bahan yang diharamkan

bahwa penyelenggaraan JPH dilakukan dengan kewajiban mencantumkan secara

dengan berorientasi pada tujuan yang tegas keterangan tidak halal pada kemasan

produk atau pada bagian tertentu dari produk yang mudah dilihat, dibaca, tidak 23 Lihat Penjelasan Undang-Undang Nomor 33 Ta-

hun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, (Lembaran

mudah terhapus, dan merupakan bagian Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 295), yang tidak terpisahkan dari produk. (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No-

mor 5604)

8 IuS Kajian hukum dan Keadilan

A s r i| Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat.......... tepat guna dan berdaya guna serta hukum yang menyelenggarakan kegiatan

meminimalisasi penggunaan sumber usaha di wilayah Indonesia. daya yang dilakukan dengan cara

Produsen dalam Undang-Undang No. 8 cepat, sederhana, dan biaya ringan atau

Tahun 1999 disebut pelaku usaha. Pengusaha terjangkau.

dalam arti luas mencakup produsen dan

6. Asas profesionalitas adalah bahwa pedagang perantara. Pengertian pengusaha penyelenggaraan JPH dilakukan dalam arti luas adalah setiap orang atau dengan mengutamakan keahlian yang badan usaha yang menghasilkan barang- berdasarkan kompetensi dan kode etik. barang untuk diperdagangkan.24 Pelaku

usaha adalah pihak yang mengetahui input, Regulasi tentang sertifikasi halal yang

proses, dan output suatu produk dan produk terdapat dalam UU No. 33 Tahun 2014

itu sampai di tangan konsumen. Produsen tentang JPH, telah memberikan kejelasan

bertanggung jawab terhadap produk yang perlindungan bagi konsumen khususnya

dipasarkan. 25

konsumen muslim. Peredaran produk- produk pangan yang tidak bersertifikat

Seperti halnya konsumen, pelaku usaha halal dan tidak berlabel halal tidak lagi bisa juga memiliki hak dan kewajiban. Hak beredar di Indonesia baik yang di produksi pelaku usaha sebagaimana diatur dalam di dalam negeri maupun yang berasal dari Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun luar negeri. Komitmen negara sangat jelas 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dalam melakukan perlindungan konsumen adalah: muslim dari produk yang tidak halal dan

1) Hak untuk menerima pembayaran yang tidak bersertifikat halal.

sesuai dengan kesepakatan mengenai

III. Tanggung Jawab Pelaku usaha dan

kondisi dan nilai tukar barang dan/atau

Akibat hukumnya Terhadap Produk

jasa yang diperdagangkan;

Pangan Yang Tidak bersertifikat ha-

2) Hak untuk mendapat perlindungan

lal

hukum dari tindakan konsumen yang

beritikad tidak baik;

a.

Tanggung Jawab Pelaku usaha terha- dap produk Pangan Tak bersertifikat

3) Hak untuk melakukan pembelaan

halal

diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dalam Pasal 1 angka 3 menyebutkan pelaku

4) Hak untuk rehabilitasi nama baik usaha adalah setiap orang perorangan atau

apabila terbukti secara hukum bahwa badan usaha, baik yang berbentuk badan

kerugian konsumen tidak diakibatkan hukum yang didirikan dan berkedudukan

oleh barang dan/atau jasa yang atau melakukan kegiatan dalam wilayah

diperdagangkan;

hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui

5) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perjanjian menyelenggarakan kegiatan

peraturan perUndang-Undangan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

lainnya.

Sedangkan, Pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 12 Undang-Undang No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal adalah

24 M. Ali Mansyur, Penegakan Hukum Tentang

orang perseorangan atau badan usaha Tanggung Gugat Produsen Dalam Perwujudan Perlind- berbentuk badan hukum atau bukan badan ungan Konsumen, Cetakan Pertama, Genta Press, Yogya- karta, 2007, hlm. 15.

25 Ibid. Hlm. 17.

Kajian hukum dan Keadilan IuS 9

J urnal IuS | Vol IV | nomor 2 | Agustus 2016 | hlm, 10~21

Sedangkan kewajiban pelaku usaha yang akan diterima pelaku usaha. Jika menurut ketentuan Pasal 7 Undang-

dibandingkan dengan ketentuan umum Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Perlindungan Konsumen adalah:

tampak bahwa pengaturan Undang- Undang perlindungan konsumen lebih

1) Beritikad baik dalam melakukan spesifik. Karena dalam Undang-Undang

kegiatan usahanya; perlindungan konsumen, pelaku usaha

2) Memberikan informasi yang benar, selain harus melakukan kegiatan usaha jelas dan jujur mengenai kondisi dan

dengan itikad baik, ia juga harus mampu jaminan barang dan/atau jasa serta

menciptakan iklim usaha yang kondusif, memberi penjelasan penggunaan,

tanpa persaingan yang curang antar pelaku perbaikan dan pemeliharaan;

usaha.

3) Memperlakukan atau melayani Secara umum dalam Pasal 7 Undang- konsumen secara benar dan jujur serta

Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang tidak diskriminatif;

Perlindungan Konsumen mewajibkan Pelaku usaha untuk memberikan

4) Menjamin mutu barang dan/ informasi yang benar dan jujur atas atau jasa yang diproduksi dan/

setiap produk yang dihasilkannya. atau diperdagangkan berdasarkan

Pada prinsipnya Undang-Undang ketentuan standar mutu barang dan/

Perlindungan Konsumen lahir dalam atau jasa yang berlaku;

rangka memberikan jaminan kepastian

5) Memberi kesempatan kepada hukum bagi konsumen terhadap segala

konsumen untuk menguji, dan/atau bentuk pelanggaran dari produsen atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu

pelaku usaha yang menimbulkan kerugian serta memberi jaminan dan/atau

bagi konsumen termasuk bahaya atau garansi atas barang yang dibuat dan/

kerugian yang mungkin timbul akibat

atau yang diperdagangkan; 26 belum memberikan informasi yang tepat .

6) Memberi kompensasi, ganti rugi Dengan adanya ketentuan atas Pasal 8 dan/atau penggantian atas kerugian

ayat (1) huruf h, maka setiap pelaku usaha akibat penggunaan, pemakaian dan

yang memproduksi barang dan/atau jasa mempunyai kewajiban untuk : pemanfaatan barang dan/atau jasa yang 27

diperdagangkan;

a. Mentaati dan memenuhi persyaratan

7) Memberi kompensasi, ganti rugi peraturan yang telah ditetapkan dan/atau penggantian apabila barang

pemerintah, dan

dan/atau jasa yang diterima atau

b. Menjamin produk makanannya dimanfaatkan tidak sesuai dengan

tersebut aman atau tidak berbahaya perjanjian.

jika dikonsumsi dan dicantumkan label Bila diperhatikan dengan seksama,

halal.

tampak bahwa hak dan kewajiban Undang-Undang Jaminan Produk pelaku usaha bertimbal balik dengan

Halal secara yuridis mengatur hak hak dan kewajiban konsumen. Ini

berarti hak bagi konsumen adalah

26 Kurniawan Budi sutrisno Et All, “Tanggungjaw-

kewajiban yang harus dipenuhi oleh

ab Pelaku Usaha Terhadap Pemberian Label Halal pada

pelaku usaha. Demikian pula dengan Produk Makanan dan Minuman Perspektif Hukum per-

lindungan Konsumen”, Jurnal Penelitian Universitas

kewajiban konsumen merupakan hak Mataram, Vol. 18, No. 1, (Februari 2014): hlm. 90

27 Ibid, hlm. 91

10 IuS Kajian hukum dan Keadilan

A s r i| Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat.......... dan kewajiban pelaku usaha dalam

Perangkat hukum yang melindungi menyelenggarakan Jaminan Produk Halal

konsumen tidak dimaksudkan untuk yang pelaksanaannya dilakukan oleh

mematikan usaha pelaku usaha, Badan Penyelenggara Jaminan Produk

tetapi justru sebaliknya perlindungan Halal (BPJPH). Jaminan mengenai produk

konsumen dapat mendorong iklim halal dilakukan sesuai asas perlindungan,

berusaha yang sehat yang mendorong keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas

lahirnya perusahaan yang tangguh dan transparansi, efektivitas dan efisiensi,

dalam menghadapi persaingan melalui serta profesionalitas.

penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas. Oleh karena itu dalam

Dalam UU Nomor 33 Tahun 2014 Bab ketentuan Bab IV UUPK Pasal 8 sampai

IV, terdapat 4 (empat) Pasal yang mengatur dengan 17 menyebutkan perbuatan yang

tentang pelaku usaha yaitu Pasal 23 tentang dilarang bagi pelaku usaha.

hak pelaku usaha, Pasal 24 tentang pelaku usaha yang mengajukan sertifikat halal,

Sertifikasi merupakan suatu Pasal 25 yang mengatur pelaku usaha

kegiatan pengujian secara sistematik yang telah memperoleh sertifikat halal

untuk mengetahui apakah suatu barang dan pelaku usaha yang yang menggunakan

yang diproduksi suatu perusahaan telah bahan yang diharamkan dikecualikan dari

memenuhi ketentuan halal atau belum. pengajuan sertifikat halal.

Hasil dari kegiatan sertifikasi halal adalah terbitnya sertifikat halal yang

Hak dan kewajiban pelaku usaha baik menandakan bahwa produk tersebut

yang belum mengurus sertifikasi halal telah memenuhi kaidah kehalalan. Output

maupun yang sudah mengurus sertifikasi dari terbitnya sertifikat halal adalah

halal bersesuaian dengan pengaturan yang dicantumkan nya label halal di produk

ada di Undang-Undang perlindungan yang di produksi dalam bentuk kemasan.

konsumen. UU JPH sebagai lex spesialis dalam sertifikasi halal produk mengatur

Terkait dengan kehalalan suatu lebih spesifik tentang proses sertifikasi

produk, Undang-Undang No. 8 Tahun halal.

1999 Tentang Perlindungan Konsumen telah memberikan perlindungan bagi

a. Akibat Hukum Bagi Pelaku Usaha umat Muslim. Dalam Pasal 8 ayat (1)

Atas Produk Pangan Yang Tidak huruf h UUPK diatur bahwa “pelaku

Bersertifikat Halal usaha dilarang memproduksi dan/atau

1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 memperdagangkan barang dan/atau Tentang Perlindungan Konsumen

jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana

Berdasarkan Pasal 4 Undang- pernyataan “halal” yang dicantumkan Undang Perlindungan Konsumen, salah

dalam label”.

satu hak konsumen adalah berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan

Setiap pelaku usaha yang tidak dalam mengkonsumsi barang dan/atau

mengikuti ketentuan-ketentuan dalam jasa. Terjadinya perbuatan-perbuatan

Pasal 8 ayat (1) pada Undang-Undang yang berakibat merugikan konsumen

No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan akibat penggunaan barang dan/atau

Konsumen diancam dengan penuntutan jasa harus dihindari. Seperti perbuatan

pidana yang terdapat dalam Pasal 62 ayat mencantumkan label halal pada produk

(1) yaitu Pelaku Usaha yang melanggar pangan yang tidak sah.

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2),

Kajian hukum dan Keadilan IuS 11

J urnal IuS | Vol IV | nomor 2 | Agustus 2016 | hlm, 12~21

Pasal 15, Pasal 1 ayat (1) huruf a, huruf dalam mengkonsumsi produk pangan

b, huruf c, huruf c, ayat (2), dan Pasal 18 berupa makanan dan minuman. dipidana dengan pidana penjara paling

1. UU Nomor 18 Tahun 2012 Tentang lama 5 (lima) Tahun atau pidana denda

Pangan

paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Terhadap pelanggaran yang

Keterangan halal untuk suatu produk mengakibatkan luka berat, sakit berat,

pangan sangat penting bagi masyarakat cacat tetap atau kematian diberlakukan

Indonesia yang mayoritas memeluk agama ketentuan pidana yang berlaku. 28 Islam, pemerintah mengatur mengenai

Terhadap sanksi pidana sebagaimana label produk halal melalui Undang- dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan

Undang No. 18 Tahun 2012 Tentang hukuman tambahan, berupa: 29 Pangan. Pasal 97 ayat (1) menjelaskan

bahwa setiap orang yang memproduksi

a. Perampasan barang tertentu; pangan di dalam negeri untuk

b. Pengumuman keputusan hakim; diperdagangkan wajib mencantumkan label di dalam dan/atau pada Kemasan

c. Pembayaran ganti rugi; Pangan, selanjutnya di ayat ayat (2)

d. Perintah penghentian kegiatan tertentu disebutkan setiap orang yang mengimpor yang menyebabkan timbulnya kerugian

pangan untuk diperdagangkan wajib konsumen;

mencantumkan label di dalam dan/ atau pada Kemasan Pangan pada saat

e. Kewajiban penarikan barang dari memasuki wilayah Negara Kesatuan peredaran; atau

Republik Indonesia. Pada ayat (3) diatur

f. Pencabutan izin usaha. tentang pencantuman label di dalam dan/ atau pada Kemasan Pangan sebagaimana

Hukum perlindungan konsumen dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditulis dalam implementasi harus memiliki

atau dicetak jangan menggunakan bahasa kekuatan mengikat bagi produsen dalam

Indonesia serta memuat paling sedikit memproduksi barang dan/jasa dan

keterangan mengenai: nama produk, memberikan kepastian bagi konsumen

daftar bahan yang digunakan, berat bersih bahwa produk pangan yang beredar

atau isi bersih, nama dan alamat pihak telah memenuhi kualitas yang baik dan

yang memproduksi atau mengimpor, halal. Undang-Undang harus berlaku

halal bagi yang dipersyaratkan, tanggal efektif dalam masyarakat, tetapi karena

dan kode produksi, tanggal, bulan, dan pengaturan sertifikasi halal dan label

tahun kadaluwarsa, nomor izin edar bagi halal yang bersifat sukarela (voluntary),

pangan olahan dan asal usul bahan pangan artinya Undang-Undang perlindungan

tertentu.

Konsumen tersebut belum memberikan jaminan utuh bagi konsumen muslim Keterangan tentang kehalalan pangan tersebut tersebut dimaksudkan untuk melindungi masyarakat khususnya yang beragama Islam agar terhindar dari

28 Lihat Pasal 62 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, (Lem-

mengonsumsi pangan yang tidak halal

baran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor

(haram). Kebenaran suatu pernyataan

42), (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821).

halal pada label pangan tidak hanya

29 Lihat Pasal 63, Undang-Undang No. 8 Tahun

dibuktikan dari segi bahan baku, bahan

1999 Tentang Perlindungan Konsumen, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42),

tambahan pangan, atau bahan bantu yang

(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No-

digunakan dalam memproduksi pangan,

mor 3821).

12 IuS Kajian hukum dan Keadilan

A s r i| Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat..........

tetapi harus pula dapat dibuktikan dalam “produk hewan yang diproduksi di dan/ proses produksinya.

atau dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk

Ketentuan pidana dalam UU diedarkan wajib disertai : a. Sertifikat

pangan terkait label diatur dalam Pasal veteriner, dan b. Sertifikat halal bagi

143 dan Pasal 144. Pasal 143 mengatur produk yang dipersyaratkan.” Pengaturan

bahwa “setiap orang yang dengan tersebut sejalan dengan pengaturan

sengaja menghapus, mencabut, menutup, sertifikasi halal dalam Undang-Undang mengganti label, melabel kembali dan/atau Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan menukar tanggal, dan Tahun kadaluarsa yang menyatakan Sertifikasi Halal bersifat pangan yang diedarkan sebagaimana wajib apabila dipersyaratkan (mandatory dimaksud dalam Pasal 99 dipidana

if required).

dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) Tahun atau denda paling banyak

Hal yang lebih tegas tentang sertifikasi Rp. 4.000.000.000,00 (Empat Milyar

halal diatur dalam UU Nomor 33 Tahun Rupiah)”.

2014 tentang JPH Pasal 4 menyatakan secara jelas bahwa “Produk yang masuk,

Selanjutnya pada Pasal 144 mengatur beredar dan diperdagangkan di wilayah

bahwa “Setiap orang dengan sengaja Indonesia wajib bersertifikat Halal”. “

memberikan keterangan atau persyaratan Kewajiban bersertifikat halal bagi produk

yang tidak benar atau menyesatkan pada yang beredar dan diperdagangkan di

label sebagaimana dimaksud dalam Pasal wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud

100 ayat (2) di Pidana dengan pidana di atas mulai berlaku 5 (lima) Tahun

penjara paling lama 3 (tiga) Tahun atau terhitung sejak Undang-Undang ini

denda paling banyak Rp. 6.000.000.000,00

diundangkan”. 30

(Enam Milyar Rupiah)”. Produk yang masuk, beredar dan

Segala ketentuan peraturan diperdagangkan di wilayah Indonesia

perundang-undangan yang bertujuan wajib bersertifikat halal artinya bahwa

melindungi konsumen yang telah ada pada sertifikat halal bersifat wajib (mandatory)

saat Undang-Undang ini diundangkan, bagi importir maupun pelaku usaha yang

dinyatakan tetap berlaku sepanjang ada di dalam negeri. Jadi hanya 2 (dua)

tidak diatur secara khusus dan/atau tidak jenis produk yang beredar di Indonesia

bertentangan dengan ketentuan dalam nantinya, yakni produk Halal dan

Undang-Undang ini. Produk Non Halal. Pelaku usaha yang

2. Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 memproduksi produk dari bahan yang Tentang Jaminan Produk Halal (JPH)

berasal dari bahan yang diharamkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18

Peraturan perundang-undangan dan Pasal 20 dikecualikan dari mengajukan terkait produk halal yang ada sebelumnya

permohonan sertifikat halal.31 Pelaku belum satu pendapat mengenai sifat

usaha sebagaimana dimaksud pada ayat Sertifikasi Halal. Pengaturannya (1) wajib mencantumkan keterangan

bertentangan satu sama lain, misalnya pengaturan dalam Undang-Undang

30 Lihat Pasal 67, Undang-Undang Nomor 33 Tahun

Perlindungan Konsumen mengatur 2014 Tentang Jaminan Produk Halal, (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 295), (Tamba-

bahwa Sertifikasi Halal bersifat kebolehan

han Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5604)

(voluntary), Undang-Undang tentang

31 Lihat Pasal 26 ayat (1), Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal, (Lem-

Peternakan dan Kesehatan Hewan tahun baran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2014 Pasal 58 ayat 4 menyatakan bahwa 295), (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5604)

Kajian hukum dan Keadilan IuS 13

J urnal IuS | Vol IV | nomor 2 | Agustus 2016 | hlm,

14 IuS Kajian hukum dan Keadilan

tidak halal pada produk.32 Yang dimaksud dengan “keterangan tidak halal” adalah pernyataan tidak halal yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari produk. Keterangan dapat berupa gambar, tanda, dan/atau tulisan. 33

Prioritas wajib sertifikat halal adalah untuk makanan, kemudian baru obat dan kosmetika. Pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikat halal wajib : Pertama, Mencantumkan label halal terhadap produk yang telah mendapat sertifikat halal; Kedua, menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal, Ketiga, memisahkan lokasi, tempat dan penyembelihan, alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan dan penyajian antara produk halal dan tidak halal; keempat, memperbaharui sertifikat halal jika masa berlaku sertifikat halal berakhir dan Kelima, melaporkan perubahan komposisi bahan kepada BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal)34.

Pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikat Halal wajib mencantumkan Label Halal pada kemasan produk, bagian tertentu dari produk dan/atau tempat tertentu pada produk35. Produk yang tidak bersertifikat halal tidak boleh beredar kecuali pelaku usaha yang memproduksi bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan dikecualikan dari pengajuan sertifikat.

32 Lihat Pasal 26 ayat (2), Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal, (Lem- baran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 295), (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5604)

33 Lihat Pasal 26 ayat (2), Penjelasan atas Undang- Undang Republik Indonesia No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal, (Lembaran Negara Republik In- donesia Tahun 2014 Nomor 295), (Tambahan Lemba- ran Negara Republik Indonesia Nomor 5604)

34 Lihat Pasal 25, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 295), (Tamba- han Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5604)

35 Lihat Pasal 38, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 295), (Tamba- han Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5604)

Sertifikasi halal bersifat wajib, maka produk pangan yang beredar terdiri dari dua kategori: pertama, pelaku usaha yang mengurus sertifikasi halal melalui pengajuan permohonan untuk melakukan pengurusan sertifikat halal dan yang memperbaharui sertifikasi halal jika masa berlakunya berakhir. Maka berhak menggunakan label halal dan harus dicantumkan dalam kemasan produk. Kedua, Pelaku usaha yang tidak melakukan pengajuan permohonan sertifikasi halal terhadap produknya, maka produk yang dihasilkannya tidak bersertifikat halal dan tidak boleh mencantumkan label halal dalam kemasan produknya. Jika ada pencantuman label halal maka label yang digunakan adalah tidak sah.

Terhadap pelaku usaha yang tidak melakukan kewajiban bagi pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikat halal sebagaimana yang tercantum pada Pasal 25 UU JPH maka dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis, denda administratif atau pencabutan sertifikat halal. Dan juga bagi pelaku usaha yang tidak melakukan kewajiban dalam memproduksi produk dari bahan yang berasal dari barang yang dieramkan sesuai Pasal 26 dikenakan sanksi administratif berupa teguran lisan, teguran tertulis atau denda administratif.

Selain ketentuan berupa denda yang bersifat administratif di UU JPH ini juga mengatur ketentuan pidana bagi pelaku usaha yang tercantum dalam Pasal 56 yaitu “ Pelaku usaha yang tidak menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) Tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua Milyar rupiah)”.

Untuk menjamin kerahasiaan formula yang diajukan oleh pelaku usaha yang melakukan mengajukan

A s r i| Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat.......... sertifikasi halal di atur dalam Pasal 43 UU yang berlaku serta memenuhi prinsip-

JPH, “ Setiap orang yang terlibat dalam prinsip daya guna (efisiensi) dan hasil guna penyelenggaraan proses JPH wajib menjaga

(efektifitas).37 Sedangkan menurut Victor

kerahasiaan formula yang tercantum M Situmorang dan Jusuf Juhir dalam Jum dalam informasi yang diserahkan oleh Anggriani dilihat dari segi sasaran yang pelaku usaha”. Apabila melanggar maka hendak dicapai, “Pengawasan adalah setiap pelaku dipidana penjara paling lama 2 (dua)

usaha dan tindakan dalam rangka untuk

Tahun atau pidana denda paling banyak mengetahui sejauh mana pelaksanaan tugas Rp. 2.000.000.000 (dua Milyar rupiah). 36 yang dilaksanakan. 38

Untuk menjaga kehalalan produk dan Untuk menjelaskan tentang peran

menjamin konsumen muslim dan warga pemerintah dalam melakukan pengawasan negara Indonesia untuk mengkonsumsi produk pangan yang tidak bersertifikat produk pangan yang baik dan halal maka halal, maka digunakan beberapa undang- penegakan hukum akan menimbulkan undang yang mengatur peran pemerintah efek jera bagi pelaku usaha. Secara tegas dalam melakukan pengawasan terhadap Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 produk pangan yang tidak bersertifikat Tentang Jaminan Produk Halal terhadap halal: pelanggarannya, maka ditetapkan dua

a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 sanksi yaitu sanksi administratif dan

Tentang Perlindungan Konsumen sanksi pidana.

Undang - Undang Perlindungan

III. Peran Pemerintah dalam

Konsumen Pasal 29 ayat (1) menyatakan

melakukan Pengawasan Terhadap

bahwa “Pemerintah bertanggung

beredarnya Produk Pangan Yang

jawab atas pembinaan penyelenggaraan

Tidak bersertifikat halal

perlindungan konsumen yang menjamin Pengawasan adalah segala usaha atau

diperolehnya hak konsumen dan pelaku kegiatan untuk mengetahui dan menilai

usaha serta dilaksanakannya kewajiban kenyataan yang sebenarnya mengenai

konsumen dan pelaku usaha”. pelaksanaan tugas atau kegiatan, apakah

Perlindungan konsumen adalah sesuai yang semestinya atau tidak.

segala upaya yang menjamin adanya Sujamto ingin mengembalikan pengertian

kepastian hukum untuk memberikan pengawasan ini kepada kata dasarnya