4. Jatiroto 1991 Januari – April 17.
Pacet 1991
5. Tabing 1991 Januari – April 18.
Pacet1992 6. Banda Aceh 1991 Mei – Agustus
19. Pacet
1993 7. Bau-Bau 1991 Mei – Agustus
20. Pacet
1994 8. Japura 1991 Mei – Agustus
21. Pacet
1995 9. Jatiroto 1991 Mei – Agustus
22. Darmaga 2002-2003 10. Tabing 1991 Mei – Agustus
23. Baranangsiang 2007 11. Banda Aceh 1991 Sept-Des
24. Karawang 1992 12. Bau – Bau 1991 Sept-Des
25. Sukabumi 2004 13. Japura 1991 Sept-Des
dibandingkan dengan data produktivitas padi yang didapat dari BPS Badan Pusat Statistik.
Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah keluaran model mendekati hasil produktivitas
padi aktual. Menurut Kumar et al. 2011, validasi suatu model sangat penting, terlebih
jika model akan digunakan sebagai dasar suatu prediksi.
Dalam Gambar 3, disajikan grafik hasil perbandingan produktivitas padi. Dari gambar
tersebut dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan baik menurut waktu maupun
tempat. Pada produktivitas padi di wilayah Pacet dengan masa kajian selama 6 tahun
yakni pada bar 16, 17, 18, 19, 20 dan 21, terlihat ada perbedaan dengan produktivitas
padi yang dihimpun BPS kota Cianjur. Pada tahun 1991, produktivitas padi 7,6 tonha
sedangkan data produktivitas padi berdasarkan BPS sebesar 5,0 tonha. Hal ini
disebabkan karena data iklim yang digunakan berdasarkan observasi stasiun cuaca Pacet
terdapat pada altitude 1.125 mdpl, sedangkan sentra produktivitas padi Cianjur seperti
Kecamatan Warungkondang memilki ketinggian 700 mdpl Dinas Perhubungan
Komunikasi dan Informatika Kabupaten Cianjur 2009 yang tentunya memiliki
karakteristik lingkungan yang berbeda, sehingga data iklim yang digunakan tidak
dapat menghasilkan simulasi data produktivitas padi Kota Cianjur secara tepat.
Salah satu wilayah yang menunjukan perbandingan produktivitas padi yang baik
adalah wilayah Banda Aceh. Seperti ditampilkan pada Gambar 3, terlihat bahwa
dalam tiga periode tanam yang ditunjukan pada bar 1, bar 6, dan bar 11, terlihat bahwa
model sudah dapat mensimulasi pertumbuhan padi yang ditandai dengan ketinggian bar
pada produktivitas padi BPS dan hasil model yang tidak berbeda signifikan. Seperti pada
periode tanam 1Januari–April, produktivitas padi model sebesar 3,5 tonha dan data
produktivitas padi BPS sebesar 4,2 tonha. Hal ini dikarenakan letak stasiun iklim dan letak
wilayah kajian data BPS, yakni Kota Banda Aceh Terdapat pada ketinggian yang tidak
terlalu berbeda, yakni ±10 mdpl untuk rata- rata wilayah Banda Aceh dan untuk
ketinggian spesifik Stasiun Blang Bentang setinggia 20 mdpl. Pembahasan mengenai
perbedaan ketinggian yang dikaitkan terhadap perbedaan hasil simulasi produktivitas padi
dan data BPS sangat penting karena salah satu faktor pengendali iklim adalah ketinggian
tempat di atas permukaan laut altitude Manan 1992 dan data iklim merupakan input
utama dalam pemodelan simulasi tanaman padi ini.
4.3. Validasi
Proses validasi sangat penting dilakukan, karena dapat diketahui seberapa baik suatu
model simulasi, sehingga dapat ditentukan apakah model tersebut sudah dapat
diaplikasikan. Validasi pada penelitian ini dilakukan dengan cara mengetahui keeratan
output model yang berupa produktivitas padi dengan data BPS sebagai acuan yang
diasumsikan benar. Grafik scatter plot digunakan untuk mengetahui keeratan
tersebut. Seperti yang telah dijelaskan mengenai tujuan validasi, dari Gambar 4 yang
menunjukan grafik scatter plot, terdapat dua variabel yakni data BPS dan produktivitas
padi model yang berasal dari 10 wilayah kajian. Setelah dilakukan proses tersebut,
didapatkan nilai R
2
yang menjelaskan keterkaitan dua data produktivitas padi
tersebut. Nilai R
2
yang dihasilkan sebesar 0,395. Seperti diketahui, nilai R
2
secara sederhana bertujuan untuk mengukur
kemampuan model dalam menerangkan hubungan variasi variabel bebas dengan
variabel tidak bebas. Nilai R
2
= 0,395 dapat diintepretasikan bahwa model dapat
mensimulasikan variasi pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi sebesar 39,5
tetapi belum dapat mensimulasi seluruh proses pertumbuhan dan perkembangan dari
tanaman. Keterbatasan tersebut dapat disebabkan oleh banyak hal, salah satu yang
mendasar adalah bahwa proses yang terjadi, khusunya pada tanaman sangat kompleks dan
Gambar 4 Hubungan produktivitas padi antara model dan BPS tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh model
dengan asumsi data BPS adalah benar. Selain itu data iklim dan BPS yang tidak terdapat
pada suatu area atau titik yang sama juga sangat berpengaruh terhadap hasil model,
karena data BPS yang digunakan sebagai pembanding merupakan data rata-rata pada
suatu kota, sedangkan data iklim berbeda- beda pada satu kota. Sebagai contoh
perbedaan data yang ditunjukan oleh Stasiun iklim Darmaga dan Baranangsiang, kedua
wilayah ini terdapat pada kota yang sama, namun memiliki nilai yang berbeda pada
setiap unsur, sehingga dapat diketahui bahwa menggunakan data pembanding yang spesifik
sangat penting.
Menurut Singh 2004 salah satu cara untuk mencapai tingkat akurasi yang baik
adalah dengan menggunakan data cuaca dan data historis yang cukup pada suatu lokasi
yang spesifik.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Dalam penelitian ini model simulasi pertanian tanaman padi didasarkan pada
model simulasi tanaman padi Shierary – Rice yang dikembangkan oleh Handoko tahun
1994. Output model yang selanjutnya
dianalisis dan dibandingkan adalah nilai
produktivitas padi. Data output produktivitas padi dari model selanjutnya dibandingkan
dengan data produktivitas padi yang bersumber dari BPS Badan Pusat Statisitk.
Penelitian ini mengkaji sepuluh wilayah sebagai objek. Wilayah-wilayah tersebut
adalah Pacet Cianjur, Jawa Barat, Baranangsiang Bogor, Jawa Barat, Darmaga
Bogor, Jawa Barat, Karawang Jawa Barat, Aceh DI Aceh, Bau-Bau Sulawesi
Tenggara, Japura Riau, Jatiroto Jawa Timur, Tabing Sumatera Barat. Nilai output
pada setiap tempat berbeda. Selain berbeda terhadap tempat, hasil perbandingan juga
berbeda menurut waktu. Setelah dibandingkan, data BPS dengan data output
model tidak selalu memiliki korelasi yang tinggi. Salah satu faktor yang menyebabkan
korelasi yang rendah tersebut adalah penggunaan data iklim dan BPS yang tidak
spesifik pada regional tertentu, sehingga hasil simulasi kurang tepat. Proses validasi antara
hasil model dan BPS yang dilakukan menghasilkan nilai R
2
=0,395. Angka ini menunjukan bahwa model telah dapat
mensimulasi 39,5 proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi.
5.2.
Saran
Model yang digunakan yakni Shierary- rice 3.0 merupakan model yang sudah berhasil
mensimulasi 39,5 proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi, tetapi masih ada
kekurangan yakni tingkat akurasi produktivitas padi antara model dan BPS
masih rendah. Data iklim yang terbatas dan juga sulit didapat merupakan faktor pembatas
pada proses validasi ini yang harus diperbaiki. Hal yang sangat mendasar dan penting dalam
penelitian ini adalah data iklim yang merupakan input utama, sehingga pada