dominan dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman, karena radiasi surya
merupakan energi penggerak utama. Berdasarkan Tabel 8, dapat diketahui
bahwa nilai radiasi surya rata-rata bulanan paling tinggi terdapat pada wilayah Karawang
dengan nilai sebesar 807,4 MJm
2
dan nilai radiasi terendah adalah 182,1 MJm
2
. Nilai radiasi surya tertinggi yakni sebesar 807,4
MJm
2
terjadi pada wilayah Karawang pada bulan Agustus yang merupakan musim
kemarau, sehingga penutupan awan relatif rendah dan radiasi surya yang mencapai
permukaan tidak terhalang. Data radiasi surya yang terendah yakni 182,1 MJm
2
terjadi di wilayah Baranangsiang pada bulan Februari
yang merupakan musim hujan, sehingga radiasi surya terhalang oleh penutupan awan
hujan dan radiasi surya yang mencapai permukaan rendah. Pengaruh penutupan awan
sangat penting dalam penerimaan radiasi, karena radiasi global yang diterima
permukaan tanah melalui langit berawan lebih kecil dibandingkan radiasi global yang
diterima melalui langit cerah Tjasyono 2004. 4.1.5. Kecepatan Angin
Angin ialah gerak udara yang sejajar dengan permukaan bumi Tjasyono 2004.
Angin merupakan agen yang sangat efektif dalam proses pemindahan energi dan massa
secara konvektif Handoko 1995. Menurut Singh 2004, kecepatan angin mempunyai
pengaruh yang besar dalam masa penyuburan dan polinasi. Untuk unsur iklim kecepatan
angin secara harian, terdapat kesulitan mendapatkan data dari berbagai sumber, oleh
karena itu untuk data yang tidak ada, dilakukan asumsi kecepatan angin sebesar 5
kmjam. Karena data kecepatan angin yang terbatas, menurut Bachelet 1993, data
kecepatan angin dapat diasumsikan konstan pada masa tanam.
Berdasarkan data kecepatan angin bulanan yang disajikan pada Tabel 9,
kecepatan angin memang bervariasi berdasarkan tempat dan waktu. Menurut
Ikhsan dan Hipi 2011 kecepatan angin akan berfluktuasi terhadap waktu dan tempat,
karena perbedaan kontur permukaan suatu tempat.
4.2. Produktivitas Padi Model Simulasi dan BPS
Pada penelitian ini, dilakukan validasi model simulasi pertanian Shierary-rice 3.0.
Validasi ini bertujuan untuk mengetahui akurasi dari output yang dihasilkan oleh
model. Output berupa produktivitas padi tonha yang dihasilkan tersebut selanjutnya
Gambar 3 Produktivitas padi model dan BPS pada 10 wilayah kajian
1. Banda Aceh 1991 Januari – April
14. Jatiroto 1991 Sept-Des 2. Bau – Bau 1991 Januari – April
15. Tabing 1991 Sept-Des 3. Japura 1991 Januari – April
16. Pacet
1990
4. Jatiroto 1991 Januari – April 17.
Pacet 1991
5. Tabing 1991 Januari – April 18.
Pacet1992 6. Banda Aceh 1991 Mei – Agustus
19. Pacet
1993 7. Bau-Bau 1991 Mei – Agustus
20. Pacet
1994 8. Japura 1991 Mei – Agustus
21. Pacet
1995 9. Jatiroto 1991 Mei – Agustus
22. Darmaga 2002-2003 10. Tabing 1991 Mei – Agustus
23. Baranangsiang 2007 11. Banda Aceh 1991 Sept-Des
24. Karawang 1992 12. Bau – Bau 1991 Sept-Des
25. Sukabumi 2004 13. Japura 1991 Sept-Des
dibandingkan dengan data produktivitas padi yang didapat dari BPS Badan Pusat Statistik.
Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah keluaran model mendekati hasil produktivitas
padi aktual. Menurut Kumar et al. 2011, validasi suatu model sangat penting, terlebih
jika model akan digunakan sebagai dasar suatu prediksi.
Dalam Gambar 3, disajikan grafik hasil perbandingan produktivitas padi. Dari gambar
tersebut dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan baik menurut waktu maupun
tempat. Pada produktivitas padi di wilayah Pacet dengan masa kajian selama 6 tahun
yakni pada bar 16, 17, 18, 19, 20 dan 21, terlihat ada perbedaan dengan produktivitas
padi yang dihimpun BPS kota Cianjur. Pada tahun 1991, produktivitas padi 7,6 tonha
sedangkan data produktivitas padi berdasarkan BPS sebesar 5,0 tonha. Hal ini
disebabkan karena data iklim yang digunakan berdasarkan observasi stasiun cuaca Pacet
terdapat pada altitude 1.125 mdpl, sedangkan sentra produktivitas padi Cianjur seperti
Kecamatan Warungkondang memilki ketinggian 700 mdpl Dinas Perhubungan
Komunikasi dan Informatika Kabupaten Cianjur 2009 yang tentunya memiliki
karakteristik lingkungan yang berbeda, sehingga data iklim yang digunakan tidak
dapat menghasilkan simulasi data produktivitas padi Kota Cianjur secara tepat.
Salah satu wilayah yang menunjukan perbandingan produktivitas padi yang baik
adalah wilayah Banda Aceh. Seperti ditampilkan pada Gambar 3, terlihat bahwa
dalam tiga periode tanam yang ditunjukan pada bar 1, bar 6, dan bar 11, terlihat bahwa
model sudah dapat mensimulasi pertumbuhan padi yang ditandai dengan ketinggian bar
pada produktivitas padi BPS dan hasil model yang tidak berbeda signifikan. Seperti pada
periode tanam 1Januari–April, produktivitas padi model sebesar 3,5 tonha dan data
produktivitas padi BPS sebesar 4,2 tonha. Hal ini dikarenakan letak stasiun iklim dan letak
wilayah kajian data BPS, yakni Kota Banda Aceh Terdapat pada ketinggian yang tidak
terlalu berbeda, yakni ±10 mdpl untuk rata- rata wilayah Banda Aceh dan untuk
ketinggian spesifik Stasiun Blang Bentang setinggia 20 mdpl. Pembahasan mengenai
perbedaan ketinggian yang dikaitkan terhadap perbedaan hasil simulasi produktivitas padi
dan data BPS sangat penting karena salah satu faktor pengendali iklim adalah ketinggian
tempat di atas permukaan laut altitude Manan 1992 dan data iklim merupakan input
utama dalam pemodelan simulasi tanaman padi ini.
4.3. Validasi