Hal ini menunjukkan bahwa keluaran model NWP untuk variabel RH memiliki pola
yang sesuai dengan kondisi seharusnya. Informasi lain yang bisa didapatkan dari
grafik tersebut adalah adanya perbedaan pola kelembaban antar lapisan. Pola diurnal rh0
sama dengan pola RH 500 hPa rh5 yang memiliki nilai minimum saat siang hari. Pola
diurnal rh8 secara umum berkebalikan dengan pola rh0 di mana pola rh8 memiliki nilai
maksimum saat siang hari. Sedangkan, pola diurnal rh7 tidak memiliki pola yang seragam
untuk semua wilayah kajian.
4.3 Reduksi Data Kajian
BMG 2006 dalam Laporan Proyek Pengembangan Meteorologi dan Geofisika,
menjelaskan bahwa salah satu cara untuk meningkatkan kinerja model adalah membagi
data atau mengelompokkan data menjadi beberapa kelompok musim. Kelompok musim
yang digunakan adalah musim hujan MH dan musim kemarau MK.
Selanjutnya, pada penelitian ini musim hujan dan kemarau akan diwakili oleh
masing-masing satu
bulan untuk
mempermudah analisis. Tabel 4 berikut ini menunjukkan bulan yang mewakili MH dan
MK untuk masing-masing wilayah kajian. Tabel 4 Bulan perwakilan MH dan MK untuk
masing-masing wilayah kajian tahun 2008
Kota Bulan yang mewakili
Musim Hujan Musim
Kemarau
Pontianak Oktober
Februari Pekanbaru
November Juli
Semarang Februari
Juli Surabaya
Januari Juli
Palu Agustus
Februari
4.4 Model Output Statistics MOS
Pemanfaatan keluaran
model NWP
dioptimalkan dengan
melakukan post
processing. Beberapa metode yang seringkali digunakan untuk post-processing NWP adalah
model output statistics MOS, perfect prognosis
PP, dan
Kalman filtering.
Penelitian ini menggunakan MOS yang biasa digunakan untuk meramal parameter cuaca
permukaan dari model NWP. Neilley 2004 menjelaskan bahwa MOS mempunyai dua
fungsi utama, yaitu: 1 teknik MOS menghasilkan ramalan cuaca kuantitatif, 2
MOS mereduksi rataan sisaan error dari ramalan
raw model
NWP dengan
memperkecil bias dan pengkoreksian model secara statistik.
4.5 Potensi Pemanfaatan Keluaran Model
NWP di Lima Wilayah Kajian
Hal pertama yang dilakukan dalam upaya pemanfaatan keluaran NWP adalah dengan
analisis korelasi antara CH keluaran model NWP dengan parameter keluaran NWP
lainnya. Penelitian ini memanfaatkan hasil penelitian sebelumnya yang telah melakukan
kajian yang serupa. Penelitian yang digunakan sebagai acuan adalah Cavazos T. 2002,
Sutikno 2008, dan Ristanti D. 2009. Ketiga penelitian tersebut menunjukkan beberapa
variabel
yang berkorelasi
nyata dan
berpengaruh terhadap CH yang ditunjukkan pada Tabel 5, 6, dan 7.
Tabel 5 Kontribusi prediktor terhadap variasi hujan harian menggunakan
model downscaling untuk musim hujan dan kemarau Cavazos 2002.
TropisSubtropis MH
q7 th1
z7 v0
29 19,2
22,3 20,7
MK q7
z7 th1
u8
38,9 33
23,6 3,71
Sumber: Tereza Cavazos 2002 Tabel 6 Peubah penjelas yang berpengaruh
terhadap CH Sutikno 2008
Musim Kemarau
Hujan
Kelembaban spesifik Preicipitable water
Komp. angin zonal Komp. angin zonal
Ketinggian geopot. Kelembaban
spesifik Sumber: Sutikno 2008
Tabel 7 Parameter model NWP yang ber- korelasi besar terhadap Curah
Hujan Ristanti 2009
Kota Bulan
DJF MAM
JJA SON
Ambon Rh0
Vv8 Rh8
Vv7 Vv5
Rh0 T0
Vv8 Vv5
Vv8 Rh7
Vv5 Vv8
Vv7 Vv5
Vv2
Jakarta Rh0
T0 Rh8
Vv8 Vv7
Vv5 Rh0
Vv5 Rh0
DP0 Vv8
Rh8 Vv7
Vv5 Rh0
Rh8 Vv7
Vv5
Kota Bulan
DJF MAM
JJA SON
Padang Rh0
Vv8 Vv7
Vv5 Rh0
Vv8 Rh8
Vv7 Vv5
Rh0 Vv8
Vv7 Vv5
Setelah melakukan pengujian uji korelasi terhadap variabel yang telah dikemukakan di
atas, diketahui bahwa tidak semua variabel yang telah disebutkan tersebut berkorelasi
tinggi 0,5 atau -0,5 dengan CH untuk lima wilayah kajian dalam penelitian ini.
Berdasarkan penelitian
yang telah
dilakukan oleh Cavazos T dan Bruce Hewitson 2002, variabel yang terbukti
berkorelasi tinggi adalah untuk variabel ketinggian geopotensial level 700 hPa z7
untuk Pekanbaru Musim Hujan dan Semarang Musim Kemarau. Sedangkan, berdasarkan
penelitian Sutikno 2008 dan Ristanti 2009 dapat dilihat pada Tabel 8 dan 9.
Tabel 8 Variabel model NWP yang terbukti berkorelasi
besar dengan
CH berdasarkan
penelitian Sutikno
2008
Wilayah Kajian
Musim Kemarau
MK Hujan
MH
Pontianak u7, z2
- Pekanbaru
u7, u5 -
Semarang z7
- Surabaya
- -
Palu -
- Tabel 9 Parameter
model NWP
yang terbukti berkorelasi besar dengan
CH berdasarkan penelitian Ristanti 2009
Wilayah Kajian
Musim Kemarau
Musim Hujan
Pontianak RH0, vv8,
vv7, vv5
RH0, vv8,
vv7, vv5 Pekanbaru
RH0, vv8, RH8, vv7,
vv5
RH0, vv8,
vv7, vv5 Semarang
RH0, DP0,
vv8 , RH8,
vv7 , vv5
RH0, T0, RH8
, vv8,
vv7, vv5 Surabaya
RH0, DP0,
vv8 , RH8,
vv7 , vv5
RH0, T0, RH8, vv8,
vv7, vv5 Palu
RH0, vv8, RH8, vv7,
vv5
vv8 , RH7,
vv5 Proses pengujian yang dilakukan sebagai
pelengkap meliputi uji variabel silang cross variable testing dan uji variabel yang
terlewatkan missing
variable testing
sehingga mampu menunjukkan beberapa variabel yang berkorelasi besar dengan curah
hujan untuk lima wilayah kajian dalam penelitian ini Tabel 10.
Tabel 10 Parameter
Model NWP
yang berkorelasi besar dengan CH Model
Kota Musim
Kota Musim
MK MH
MK MH
Pontianak
u7 z2
Rh0 vv8
vv7 vv5
Rh8 Rh0
vv7 vv5
Semarang
z7 Rh0
Dp0 Rh8
Rh7 Rh0
vv7 vv5
Rh7
Surabaya
Rh0 Dp0
Rh8 Rh7
Rh0 Rh8
vv7 vv5
Dp0
Pekanbaru
u7 u5
Rh0 vv8
Rh8 vv7
vv5 Dp0
Rh7 z7
Rh0 vv7
vv5
Palu
Rh0 Rh8
vv7 vv5
Rh7 Rh7
vv5 Rh0
Rh8 vv7
Dp0
Variabel yang selalu menjadi prediktor untuk kelima wilayah kajian adalah Rh0.
Varaiabel lain yang sering muncul sebagai prediktor CH model adalah vv7, vv5, dan
Rh8. Hal ini menunjukkan bahwa dalam proses
pendugaan CH
model mempertimbangkan nilai kelembaban relatif
pada lapisan 1000 dan 850 hPa serta kecepatan angin vertikal pada lapisan 700 dan
500 hPa. Kondisi seperti ini dimungkinkan karena lapisan 700 hingga 500 hPa adalah
lapisan terbentuknya awan. Jika masih ada kecepatan vertikal pada lapisan tersebut, maka
masih ada massa udara yang mengembang dan
bergerak naik
ke atas
sehingga menghasilkan awan-awan yang berkembang
vertikal yaitu awan yang dihasilkan oleh kantung udara hangat dan lembab yang masih
mampu naik sampai ketinggian yang cukup tinggi awan berpotensi hujan setelah
melewati aras kondensasi pada umumnya ± 850 hPa yang ditunjukkan oleh variabel Rh8
yang sering muncul sebagai prediktor di lima wilayah kajian. Secara umum, prediktor yang
memiliki korelasi tinggi dengan CH adalah Rh0, Dp0, vv8, Rh8, vv7, Rh7, u7, z7, vv5,
u5, dan z2.
Langkah selanjutnya adalah mendeteksi adanya multikolinearitas. Multikolinearitas
Tabel 11 Persamaan regresi linear berganda dan nilai R
2
model CH CH
Kota Musim
Persamaan Regresi R
2
Pontianak MK
CH = - 0,052 + 0,701 vv8 + 0,090 rh8 – 3,701
vv5 – 0,880 u7
82 MH
CH = - 52,2 + 0,665 rh0 - 1,31 vv7 - 1,80 vv5 83
Pekanbaru MK
CH = - 31,812 + 0,411 rh0 – 0,612 vv8 – 0,296
u7 – 0,208 u5 – 0,943 vv5 + 0,018 rh7
78 MH
CH = - 44 + 0,07 z7 + 0,318 rh0 - 0,364 vv7 - 1,74 vv5
80 Semarang
MK CH = - 238,648 + 0,711 z7 + 0,078 rh0 + 0,111
rh8 + 0,045 rh7 65
MH CH = - 182 + 0,956 rh0 - 2,42 vv7 - 1,04 vv5 +
1,16 rh7 87
Surabaya MK
CH = - 13,674 + 0,161 rh0 + 0,022 rh8 + 0,015 rh7
58 MH
CH = - 48,3 + 0,762 rh0 - 0,171 rh8 + 0,286 vv7 - 2,66 vv5 + 0,06 DP0
88 Palu
MK CH = - 33,104 + 0,442 rh0 + 0,038 rh8
– 0,625 vv7
– 1,445 vv5 – 0,012 rh7 89
MH CH = - 108,898 + 0,024 rh7
– 1,060 vv5 + 0,913 rh0
– 0,987 vv7 + 1,779 DP0 88
yang tinggi diantara peubah-peubah bebas, mengakibatkan pendugaan dengan metode
kuadrat terkecil tidak dapat diandalkan. Pendeteksian
multikolinearitas dapat
dilakukan dengan cara formal yaitu dengan meninjau nilai dari Variance Inflation Factor
VIF. Penelitian ini menggunakan metode formal VIF dengan tujuan meminimalisir
adanya multikolinearitas sehingga persamaan regresi yang dibangun bisa diandalkan.
Langkah selanjutnya adalah mem-bangun regresi linear berganda. Metode Factor
Analysis digunakan untuk menghilangkan masalah multikolinearitas. Nilai score rotated
factor loading z yang dipilih kemudian diregresikan
sehingga mendapatkan
persamaan regresi serta nilai koefisien determinasi R
2
yang ditunjukkan oleh Tabel 11.
Model regresi yang paling baik adalah model regresi untuk kota Palu Tabel 10. Hal
ini ditunjukkan oleh koefisien determinasi R
2
yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan nilai R
2
untuk wilayah kajian lain. Musim kemarau untuk wilayah kajian Palu
Palu-MK memiliki koefisisen determiniasi 89 sedangkan musim hujan Palu-MH
memiliki nilai R
2
sebesar 88. Kota Palu memiliki nilai R
2
yang sama baiknya untuk kedua musim.
Potensi pemanfaatan keluaran model NWP diketahui
dengan melihat
plot grafik
perbandingan antara keluaran model NWP CH Model dengan data di lapangan CH
Observasi. Jika di suatu wilayah kajian memiliki pola yang hampir sama antara CH
model dengan CH observasi, maka potensi pemanfaatan keluaran model dapat dikatakan
tinggi di wilayah tersebut Gambar 8. Walaupun data CH bersifat diskret, agar
mempermudah analisis, grafik CH dibuat dengan tipe grafik garis. Karena, yang ingin
dianalisis adalah kesesuaian pola antara keluaran NWP dengan data observasi. Plot
grafik dalam bentuk histogram telah terbukti mempersulit analisis.
Gambar 8 Plot Nilai CH Model dan CH observasi untuk masing-masing wilayah kajian Tahun 2008
Prediksi NWP untuk CH harian diakui masih kurang baik untuk diterapkan di lima
wilayah kajian. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan pola grafik CH model dengan CH
observasi Gambar 8. Pada beberapa lokasi, plot grafik menunjukan pola yang hampir
serupa, sedangkan untuk beberapa lokasi lain menunjukkan pola yang berbeda. Hal ini
disebabkan karena terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap curah hujan yang
tidak tergambarkan dengan baik oleh model NWP.
Berdasarkan analisis grafik pada Gambar 8, potensi pemanfaatan model NWP di
beberapa wilayah kajian tergantung pada musim. Pola model NWP yang lebih
mendekati observasi secara umum terjadi pada musim kemarau untuk seluruh wilayah kajian.
Sedangkan, untuk Kota Palu, baik MK mapun MH memiliki pola yang hampir serupa antara
keluaran NWP dengan observai.
Hal selanjutnya yang dilakukan untuk melihat potensi pemanfaatan keluaran model
NWP adalah melakukan plot antara CH Obs dengan CH hasil persamaan regresi CH.
Nilai prediksi CH tidak persis sama dengan nilai CH observasi Gambar 9.
Gambar 9 Plot Nilai CH dan CH observasi untuk masing-masing wilayah kajian Tahun 2008
Perlu dicari
suatu upaya
untuk meminimalkan nilai error antara CH dengan
CH observasi. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan mencari faktor koreksi. Faktor koreksi
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu nilai yang digunakan untuk mengkoreksi
CH, agar nilai CH lebih mendekati nilai CH observasi.
Sebelum menentukan
faktor koreksi, nilai CH disesuaikan sedemikian
rupa sehingga nilai CH yang bernilai kurang dari 0 negatif diasumsikan memiliki nilai
CH yang 0. Sebagai acuan dalam pencarian
faktor koreksi digunakan nilai Root Mean Square Error RMSE dan Mean Absolute
Error MAE. Berikut ini merupakan grafik yang menunjukkan bahwa CH yang sudah
diberi faktor koreksi sehingga menjadi CH Gambar 10.
Gambar 10 Plot Nilai CH dan CH observasi untuk masing-masing wilayah kajian Tahun 2008
Sebelum diberikan faktor koreksi, nilai error RMSE dan MAE antara model dengan
observasi, secara umum lebih besar pada musim hujan MH untuk semua wilayah
kajian. Hal ini mengindikasikan bahwa proses sub-grid cell untuk menduga presipitasi
seperti proses konveksi tidak digambarkan dengan baik oleh model. Nilai error yang
cukup besar mungkin juga berhubungan dengan ketersediaan data observasi yang
digunakan untuk analisis.
Secara konseptual, pengguanaan faktor koreksi seharusnya akan mengurangi nilai
error. Konsep tersebut dibuktikan pada Tabel 12. Pengurangan nilai RMSE dan MAE
terbesar terjadi pada wilayah kajian Surabaya musim kemarau Surabaya-MK. Hal ini
terjadi karena nilai CH observasi harian untuk bulan Juli 2008 di Surabaya bernilai nol,
sehingga nilai faktor koreksi yang diberikan sekecil-kecilnya
mendekati nol
menghasilkan pola yang sangat dekat antara model dan observasi. Secara umum, dapat
dikatakan bahwa penggunaan faktor koreksi sangat berpengaruh besar efektif diterapkan
untuk musim kemarau di seluruh wilayah kajian seperti yang ditunjukkan pada Tabel
12.
Parameter cuaca yang biasa diprediksi secara harian selain curah hujan CH adalah
suhu maksimum Tmax, suhu minimum Tmin, kelembaban relatif rata-rata RH.
Selanjutnya akan dicari faktor koreksi dalam upaya prediksi paramater Tmax, Tmin, dan
RH. Langkah pencarian faktor koreksi untuk suhu dan kelembaban sama dengan langkah
yang digunakan untuk curah hujan.
Kajian lebih difokuskan pada wilayah kajian Palu dikarenakan wilayah Palu dapat
dikatakan berpotensi lebih tinggi dalam memanfaatkan keluaran NWP dibandingkan
dengan wilayah kajian lain. Hal ini dapat dilihat
dari koefisien
determinasi dari
persamaan regresi CH untuk Kota Palu lebih besar dibandingakan dengan wilayah kajian
lain. Di samping itu, pengurangan nilai error Kota Palu pun bisa dikatakan lebih baik
dibandingakan dengan wilayah kajian lain Tabel 12.
Penentuan persamaan regresi model suhu dan kelembaban diwali dengan proses
pengujian korelasi
antara suhu
dan kelembaban dengan variabel hasil model
NWP lain yang diasumsikan berpengaruh. Penelitian ini memanfaatkan hasil penelitian
yang telah dilakukan oleh Ristanti D. 2009. Berdasarkan penelitiannya, Ristanti 2009
menjelaskan
bahwa model
kelembaban dipengaruhi oleh suhu permukaan T0 dan
suhu titik embun permukaan DP0. Setelah dilakukan
uji korelasi,
ternyata kedua
parameter tersebut memiliki korelasi yang besar 0,5 atau -0,5 dengan kelembaban.
Tabel 12 Faktor koreksi model CH untuk masing-masing wilayah kajian
No Wilayah
kajian Faktor
koreksi CH
RMSE dan MAE Pengurangan error
Sebelum sesudah
RMSE MAE
1 Pontianak-MK
35 RMSE
10,9 5,8
46,5 50,1
MAE 7,2
3,6 Pontianak-MH
125 RMSE
23,7 23,1
2,5 -5,4
MAE 15,2
15,9 2
Pekanbaru-MK 25
RMSE 6,8
3,9 43,2
60,8 MAE
5,6 2,2
Pekanbaru-MH 75
RMSE 20,6
20,5 0,6
10,1 MAE
12,5 11,3
3 Semarang-MK
30 RMSE
2,0 0,7
64,7 65,4
MAE 1,4
0,5 Semarang-MH
38 RMSE
29,2 24,9
14,4 20,5
MAE 23,6
18,8 4
Surabaya-MK 1
RMSE 0,7
0,007 99,0
99,0 MAE
0,5 0,005
Surabaya-MH 50
RMSE 11,9
9,5 20,4
24,8 MAE
7,9 5,9
5 Palu-MK
5 RMSE
12,3 1,7
86,5 89,8
MAE 8,3
0,8 Palu-MH
40 RMSE
12,2 8,9
27,4 42,1
MAE 9,9
5,7
Tabel 13 Regresi model RH dan Suhu Kota Palu
Model Musim
Prediktan Konstanta
Regresi Prediktor
Koefisien Regresi Prediktor
R
2
RH MK
RH 102
T0 -4,92
99,8 Dp0
4,74 MH
RH 99,6
T0 -4,89
99,8 Dp0
4,84 Tmax
MK Tmax
37,5 Rh0
-0,143 85,0
MH Tmax
37,2 Rh0
-0,142 73,8
Tmin MH
Tmin 7,95
Dp0 0,698
80,1 Model suhu dipengaruhi oleh kelembaban
relatif pada level permukaan rh0 dan suhu titik embun permukaan DP0. Berdasarkan
uji korelasi, yang memiliki korelasi besar dengan
suhu maksimum
adalah rh0,
sedangkan untuk suhu minimum adalah DP0. Model suhu minimum hanya dilakukan untuk
musim hujan Palu-MH. Hal ini disebabkan karena tidak terdapatnya variabel yang
berkorelasi besar dengan suhu minimum untuk Palu-MK. Sehingga persamaan regresi
linear
berganda hanya
untuk model
kelembaban saja. Model suhu kini menjadi persamaan regresi linear sederhana dengan
satu peubah
prediktor. Nilai koefisien
determinasi R
2
dari persamaan regresi linear berganda untuk model RH dan suhu dapat
dilihat pada Tabel 13. Pengaruh prediktor masing-masing model
dapat dilihat dari model regresi seperti tertera pada Tabel 13. Berdasarkan model regresi
pada Tabel 13, variabel yang berkorelasi dengan RH adalah suhu permukaan T0 dan
suhu titik embun permukaan DP0. Pada model RH ini, T0 memiliki hubungan
negatif. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan
nilai T0
akan menyebabkan
penurunan kelembaban. Sedangakan, DP0 memiliki
hubungan positif
dengan kelembaban yang menunjukkan bahwa setiap
kenaikan nilai DP0 menyebabkan kenaikan nilai kelembaban pula. Hubungan fungsional
seperti ini sesuai dengan konsep dan fakta Gambar 6 dan Gambar 7 yang menyatakan
bahwa suhu dan kelembaban memiliki hubungan yang terbalik korelasi negatif.
Sedangkan, pada model suhu maksimum Tmax,
prediktor yang
menyusun persamaan tersebut hanyalah rh0 serta
memiliki hubungan negatif. Pada model suhu minimum, DP0 memiliki hubungan postif. Hal
ini menunjukkan bahwa kenaikan nilai DP0 keluaran model menyebabkan nilai suhu
minimum observasi meningkat.
Kemudian dilakukan plot antara nilai observasi RH Obs, Tmax Obs, dan Tmin
Obs dengan nilai model RH, Tmax, dan Tmin untuk melihat hubungan diantara
keduanya Gambar 11. Berdasarkan grafik pada gambar tersebut, pola grafik antara
model dan observasi paling dekat terjadi pada saat musim hujan untuk semua model. Hal ini
menunjukkan bahwa potensi pemanfaatan model
NWP untuk
kelembaban, suhu
maksimum, dan suhu minimum lebih baik untuk musim hujan di Kota Palu tahun 2008.
Pemodelan NWP untuk RH paling baik untuk musim hujan dikarenakan nilai koefisien
determinasi persamaan regresi model RH sangat tinggi mencapai 99,8 untuk musim
hujan dan musim kemarau di Kota Palu tahun 2008.
Gambar 11 Plot Nilai model dan observasi untuk RH, Tmax, dan Tmin kiri serta perbandingannya dengan hasil koreksi kanan di Kota Palu Tahun 2008
Walaupun hasil model RH, Tmax, dan Tmin sudah dapat dikatakan baik, namun nilai
faktor koreksi tetap perlu dicari untuk meminimalisir
error dan
meningkatkan akurasi prediksi model. Pola model yang
sangat menyerupai observasi terjadi pada model RH musim hujan Gambar 11 .
Analisis potensi pemanfaatan model NWP tidak cukup hanya berdasarkan analisis pola
grafik. Perlu disertai adanya analisis terhadap nilai error RMSE dan MAE. Nilai RMSE
dan MAE akan memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai sejauh mana model
mampu menduga nilai observasi serta mampu menjadi acuan dalam pemberian faktor
koreksi. Persentase pengurangan nilai RMSE dan MAE didasarkan pada selisih nilai error
sebelum dan sesudah pemberian faktor koreksi. Pemberian faktor koreksi sangat
efektif untuk model suhu maksimum Tmax baik musim kemarau maupun musim hujan di
Kota Palu tahun 2008 dengan pengurangan nilai RMSE dan MAE mencapai rata-rata
60.
Dibandingkan dengan prediksi curah hujan, prediksi suhu dan kelembaban dapat
dikatakan lebih mudah sederhana karena prediktor yang mempengaruhi suhu dan
kelembaban jauh lebih sedikit dibandingkan dengan prediktor yang mempengaruhi curah
hujan yang lebih kompleks.
Tabel 14 Faktor koreksi model RH dan suhu kota Palu
No Model
Faktor Koreksi RMSE MAE
pengurangan error sebelum
sesudah RMSE
MAE
1 RH-MK
88 RMSE
12,337 6,539
47,0 53,0
MAE 10,858
5,108 2
RH-MH 95
RMSE 5,594
3,632 35,1
35,7 MAE
4,561 2,934
3 Tmax-MK
133 RMSE
7,039 2,865
59,3 68,3
MAE 6,766
2,147 4
Tmax-MH 114,7
RMSE 5,385
2,091 61,2
65,2 MAE
5,154 1,795
5 Tmin-MH
98,8 RMSE
0,585 0,506
13,5 20,0
MAE 0,449
0,359 Nilai faktor koreksi model RH, Tmax dan
Tmin masing-masing musim disajikan dalam Tabel 14. Secara umum, hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa faktor koreksi lebih terlihat pengaruhnya terhadap model suhu
maksimum
musim hujan
dan musim
kemarau serta model CH musim kemarau dibandingkan dengan model lainnya. Hal ini
dapat terlihat dari penurunan nilai RMSE dan MAE yang jauh lebih besar dibandingkan
dengan model lainnya. Namun, penilaian potensi pemanfatan model tidak hanya dilihat
dari efektifitas faktor koreksi, melainkan juga dilihat dari koefisien determinasi, nilai RMSE
dan MAE sebelum faktor koreksi dan pola grafik yang terbentuk.
Model NWP tidak memasukkan faktor lokal dalam perhitungannya sehingga hasil
prediksinya biasanya kurang tepat dari keadaan sebenarnya di lapangan. Oleh karena
itu, dapat dikatakan bahwa faktor koreksi tersebut merupakan pengganti dari faktor-
faktor lokal yang tidak dimasukkan dalam model NWP.
V. SIMPULAN DAN SARAN