Reduksi Data Kajian Model Output Statistics MOS Potensi Pemanfaatan Keluaran Model

Hal ini menunjukkan bahwa keluaran model NWP untuk variabel RH memiliki pola yang sesuai dengan kondisi seharusnya. Informasi lain yang bisa didapatkan dari grafik tersebut adalah adanya perbedaan pola kelembaban antar lapisan. Pola diurnal rh0 sama dengan pola RH 500 hPa rh5 yang memiliki nilai minimum saat siang hari. Pola diurnal rh8 secara umum berkebalikan dengan pola rh0 di mana pola rh8 memiliki nilai maksimum saat siang hari. Sedangkan, pola diurnal rh7 tidak memiliki pola yang seragam untuk semua wilayah kajian.

4.3 Reduksi Data Kajian

BMG 2006 dalam Laporan Proyek Pengembangan Meteorologi dan Geofisika, menjelaskan bahwa salah satu cara untuk meningkatkan kinerja model adalah membagi data atau mengelompokkan data menjadi beberapa kelompok musim. Kelompok musim yang digunakan adalah musim hujan MH dan musim kemarau MK. Selanjutnya, pada penelitian ini musim hujan dan kemarau akan diwakili oleh masing-masing satu bulan untuk mempermudah analisis. Tabel 4 berikut ini menunjukkan bulan yang mewakili MH dan MK untuk masing-masing wilayah kajian. Tabel 4 Bulan perwakilan MH dan MK untuk masing-masing wilayah kajian tahun 2008 Kota Bulan yang mewakili Musim Hujan Musim Kemarau Pontianak Oktober Februari Pekanbaru November Juli Semarang Februari Juli Surabaya Januari Juli Palu Agustus Februari

4.4 Model Output Statistics MOS

Pemanfaatan keluaran model NWP dioptimalkan dengan melakukan post processing. Beberapa metode yang seringkali digunakan untuk post-processing NWP adalah model output statistics MOS, perfect prognosis PP, dan Kalman filtering. Penelitian ini menggunakan MOS yang biasa digunakan untuk meramal parameter cuaca permukaan dari model NWP. Neilley 2004 menjelaskan bahwa MOS mempunyai dua fungsi utama, yaitu: 1 teknik MOS menghasilkan ramalan cuaca kuantitatif, 2 MOS mereduksi rataan sisaan error dari ramalan raw model NWP dengan memperkecil bias dan pengkoreksian model secara statistik.

4.5 Potensi Pemanfaatan Keluaran Model

NWP di Lima Wilayah Kajian Hal pertama yang dilakukan dalam upaya pemanfaatan keluaran NWP adalah dengan analisis korelasi antara CH keluaran model NWP dengan parameter keluaran NWP lainnya. Penelitian ini memanfaatkan hasil penelitian sebelumnya yang telah melakukan kajian yang serupa. Penelitian yang digunakan sebagai acuan adalah Cavazos T. 2002, Sutikno 2008, dan Ristanti D. 2009. Ketiga penelitian tersebut menunjukkan beberapa variabel yang berkorelasi nyata dan berpengaruh terhadap CH yang ditunjukkan pada Tabel 5, 6, dan 7. Tabel 5 Kontribusi prediktor terhadap variasi hujan harian menggunakan model downscaling untuk musim hujan dan kemarau Cavazos 2002. TropisSubtropis MH q7 th1 z7 v0 29 19,2 22,3 20,7 MK q7 z7 th1 u8 38,9 33 23,6 3,71 Sumber: Tereza Cavazos 2002 Tabel 6 Peubah penjelas yang berpengaruh terhadap CH Sutikno 2008 Musim Kemarau Hujan Kelembaban spesifik Preicipitable water Komp. angin zonal Komp. angin zonal Ketinggian geopot. Kelembaban spesifik Sumber: Sutikno 2008 Tabel 7 Parameter model NWP yang ber- korelasi besar terhadap Curah Hujan Ristanti 2009 Kota Bulan DJF MAM JJA SON Ambon Rh0 Vv8 Rh8 Vv7 Vv5 Rh0 T0 Vv8 Vv5 Vv8 Rh7 Vv5 Vv8 Vv7 Vv5 Vv2 Jakarta Rh0 T0 Rh8 Vv8 Vv7 Vv5 Rh0 Vv5 Rh0 DP0 Vv8 Rh8 Vv7 Vv5 Rh0 Rh8 Vv7 Vv5 Kota Bulan DJF MAM JJA SON Padang Rh0 Vv8 Vv7 Vv5 Rh0 Vv8 Rh8 Vv7 Vv5 Rh0 Vv8 Vv7 Vv5 Setelah melakukan pengujian uji korelasi terhadap variabel yang telah dikemukakan di atas, diketahui bahwa tidak semua variabel yang telah disebutkan tersebut berkorelasi tinggi 0,5 atau -0,5 dengan CH untuk lima wilayah kajian dalam penelitian ini. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Cavazos T dan Bruce Hewitson 2002, variabel yang terbukti berkorelasi tinggi adalah untuk variabel ketinggian geopotensial level 700 hPa z7 untuk Pekanbaru Musim Hujan dan Semarang Musim Kemarau. Sedangkan, berdasarkan penelitian Sutikno 2008 dan Ristanti 2009 dapat dilihat pada Tabel 8 dan 9. Tabel 8 Variabel model NWP yang terbukti berkorelasi besar dengan CH berdasarkan penelitian Sutikno 2008 Wilayah Kajian Musim Kemarau MK Hujan MH Pontianak u7, z2 - Pekanbaru u7, u5 - Semarang z7 - Surabaya - - Palu - - Tabel 9 Parameter model NWP yang terbukti berkorelasi besar dengan CH berdasarkan penelitian Ristanti 2009 Wilayah Kajian Musim Kemarau Musim Hujan Pontianak RH0, vv8, vv7, vv5 RH0, vv8, vv7, vv5 Pekanbaru RH0, vv8, RH8, vv7, vv5 RH0, vv8, vv7, vv5 Semarang RH0, DP0, vv8 , RH8, vv7 , vv5 RH0, T0, RH8 , vv8, vv7, vv5 Surabaya RH0, DP0, vv8 , RH8, vv7 , vv5 RH0, T0, RH8, vv8, vv7, vv5 Palu RH0, vv8, RH8, vv7, vv5 vv8 , RH7, vv5 Proses pengujian yang dilakukan sebagai pelengkap meliputi uji variabel silang cross variable testing dan uji variabel yang terlewatkan missing variable testing sehingga mampu menunjukkan beberapa variabel yang berkorelasi besar dengan curah hujan untuk lima wilayah kajian dalam penelitian ini Tabel 10. Tabel 10 Parameter Model NWP yang berkorelasi besar dengan CH Model Kota Musim Kota Musim MK MH MK MH Pontianak u7 z2 Rh0 vv8 vv7 vv5 Rh8 Rh0 vv7 vv5 Semarang z7 Rh0 Dp0 Rh8 Rh7 Rh0 vv7 vv5 Rh7 Surabaya Rh0 Dp0 Rh8 Rh7 Rh0 Rh8 vv7 vv5 Dp0 Pekanbaru u7 u5 Rh0 vv8 Rh8 vv7 vv5 Dp0 Rh7 z7 Rh0 vv7 vv5 Palu Rh0 Rh8 vv7 vv5 Rh7 Rh7 vv5 Rh0 Rh8 vv7 Dp0 Variabel yang selalu menjadi prediktor untuk kelima wilayah kajian adalah Rh0. Varaiabel lain yang sering muncul sebagai prediktor CH model adalah vv7, vv5, dan Rh8. Hal ini menunjukkan bahwa dalam proses pendugaan CH model mempertimbangkan nilai kelembaban relatif pada lapisan 1000 dan 850 hPa serta kecepatan angin vertikal pada lapisan 700 dan 500 hPa. Kondisi seperti ini dimungkinkan karena lapisan 700 hingga 500 hPa adalah lapisan terbentuknya awan. Jika masih ada kecepatan vertikal pada lapisan tersebut, maka masih ada massa udara yang mengembang dan bergerak naik ke atas sehingga menghasilkan awan-awan yang berkembang vertikal yaitu awan yang dihasilkan oleh kantung udara hangat dan lembab yang masih mampu naik sampai ketinggian yang cukup tinggi awan berpotensi hujan setelah melewati aras kondensasi pada umumnya ± 850 hPa yang ditunjukkan oleh variabel Rh8 yang sering muncul sebagai prediktor di lima wilayah kajian. Secara umum, prediktor yang memiliki korelasi tinggi dengan CH adalah Rh0, Dp0, vv8, Rh8, vv7, Rh7, u7, z7, vv5, u5, dan z2. Langkah selanjutnya adalah mendeteksi adanya multikolinearitas. Multikolinearitas Tabel 11 Persamaan regresi linear berganda dan nilai R 2 model CH CH Kota Musim Persamaan Regresi R 2 Pontianak MK CH = - 0,052 + 0,701 vv8 + 0,090 rh8 – 3,701 vv5 – 0,880 u7 82 MH CH = - 52,2 + 0,665 rh0 - 1,31 vv7 - 1,80 vv5 83 Pekanbaru MK CH = - 31,812 + 0,411 rh0 – 0,612 vv8 – 0,296 u7 – 0,208 u5 – 0,943 vv5 + 0,018 rh7 78 MH CH = - 44 + 0,07 z7 + 0,318 rh0 - 0,364 vv7 - 1,74 vv5 80 Semarang MK CH = - 238,648 + 0,711 z7 + 0,078 rh0 + 0,111 rh8 + 0,045 rh7 65 MH CH = - 182 + 0,956 rh0 - 2,42 vv7 - 1,04 vv5 + 1,16 rh7 87 Surabaya MK CH = - 13,674 + 0,161 rh0 + 0,022 rh8 + 0,015 rh7 58 MH CH = - 48,3 + 0,762 rh0 - 0,171 rh8 + 0,286 vv7 - 2,66 vv5 + 0,06 DP0 88 Palu MK CH = - 33,104 + 0,442 rh0 + 0,038 rh8 – 0,625 vv7 – 1,445 vv5 – 0,012 rh7 89 MH CH = - 108,898 + 0,024 rh7 – 1,060 vv5 + 0,913 rh0 – 0,987 vv7 + 1,779 DP0 88 yang tinggi diantara peubah-peubah bebas, mengakibatkan pendugaan dengan metode kuadrat terkecil tidak dapat diandalkan. Pendeteksian multikolinearitas dapat dilakukan dengan cara formal yaitu dengan meninjau nilai dari Variance Inflation Factor VIF. Penelitian ini menggunakan metode formal VIF dengan tujuan meminimalisir adanya multikolinearitas sehingga persamaan regresi yang dibangun bisa diandalkan. Langkah selanjutnya adalah mem-bangun regresi linear berganda. Metode Factor Analysis digunakan untuk menghilangkan masalah multikolinearitas. Nilai score rotated factor loading z yang dipilih kemudian diregresikan sehingga mendapatkan persamaan regresi serta nilai koefisien determinasi R 2 yang ditunjukkan oleh Tabel 11. Model regresi yang paling baik adalah model regresi untuk kota Palu Tabel 10. Hal ini ditunjukkan oleh koefisien determinasi R 2 yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan nilai R 2 untuk wilayah kajian lain. Musim kemarau untuk wilayah kajian Palu Palu-MK memiliki koefisisen determiniasi 89 sedangkan musim hujan Palu-MH memiliki nilai R 2 sebesar 88. Kota Palu memiliki nilai R 2 yang sama baiknya untuk kedua musim. Potensi pemanfaatan keluaran model NWP diketahui dengan melihat plot grafik perbandingan antara keluaran model NWP CH Model dengan data di lapangan CH Observasi. Jika di suatu wilayah kajian memiliki pola yang hampir sama antara CH model dengan CH observasi, maka potensi pemanfaatan keluaran model dapat dikatakan tinggi di wilayah tersebut Gambar 8. Walaupun data CH bersifat diskret, agar mempermudah analisis, grafik CH dibuat dengan tipe grafik garis. Karena, yang ingin dianalisis adalah kesesuaian pola antara keluaran NWP dengan data observasi. Plot grafik dalam bentuk histogram telah terbukti mempersulit analisis. Gambar 8 Plot Nilai CH Model dan CH observasi untuk masing-masing wilayah kajian Tahun 2008 Prediksi NWP untuk CH harian diakui masih kurang baik untuk diterapkan di lima wilayah kajian. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan pola grafik CH model dengan CH observasi Gambar 8. Pada beberapa lokasi, plot grafik menunjukan pola yang hampir serupa, sedangkan untuk beberapa lokasi lain menunjukkan pola yang berbeda. Hal ini disebabkan karena terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap curah hujan yang tidak tergambarkan dengan baik oleh model NWP. Berdasarkan analisis grafik pada Gambar 8, potensi pemanfaatan model NWP di beberapa wilayah kajian tergantung pada musim. Pola model NWP yang lebih mendekati observasi secara umum terjadi pada musim kemarau untuk seluruh wilayah kajian. Sedangkan, untuk Kota Palu, baik MK mapun MH memiliki pola yang hampir serupa antara keluaran NWP dengan observai. Hal selanjutnya yang dilakukan untuk melihat potensi pemanfaatan keluaran model NWP adalah melakukan plot antara CH Obs dengan CH hasil persamaan regresi CH. Nilai prediksi CH tidak persis sama dengan nilai CH observasi Gambar 9. Gambar 9 Plot Nilai CH dan CH observasi untuk masing-masing wilayah kajian Tahun 2008 Perlu dicari suatu upaya untuk meminimalkan nilai error antara CH dengan CH observasi. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan mencari faktor koreksi. Faktor koreksi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu nilai yang digunakan untuk mengkoreksi CH, agar nilai CH lebih mendekati nilai CH observasi. Sebelum menentukan faktor koreksi, nilai CH disesuaikan sedemikian rupa sehingga nilai CH yang bernilai kurang dari 0 negatif diasumsikan memiliki nilai CH yang 0. Sebagai acuan dalam pencarian faktor koreksi digunakan nilai Root Mean Square Error RMSE dan Mean Absolute Error MAE. Berikut ini merupakan grafik yang menunjukkan bahwa CH yang sudah diberi faktor koreksi sehingga menjadi CH Gambar 10. Gambar 10 Plot Nilai CH dan CH observasi untuk masing-masing wilayah kajian Tahun 2008 Sebelum diberikan faktor koreksi, nilai error RMSE dan MAE antara model dengan observasi, secara umum lebih besar pada musim hujan MH untuk semua wilayah kajian. Hal ini mengindikasikan bahwa proses sub-grid cell untuk menduga presipitasi seperti proses konveksi tidak digambarkan dengan baik oleh model. Nilai error yang cukup besar mungkin juga berhubungan dengan ketersediaan data observasi yang digunakan untuk analisis. Secara konseptual, pengguanaan faktor koreksi seharusnya akan mengurangi nilai error. Konsep tersebut dibuktikan pada Tabel 12. Pengurangan nilai RMSE dan MAE terbesar terjadi pada wilayah kajian Surabaya musim kemarau Surabaya-MK. Hal ini terjadi karena nilai CH observasi harian untuk bulan Juli 2008 di Surabaya bernilai nol, sehingga nilai faktor koreksi yang diberikan sekecil-kecilnya mendekati nol menghasilkan pola yang sangat dekat antara model dan observasi. Secara umum, dapat dikatakan bahwa penggunaan faktor koreksi sangat berpengaruh besar efektif diterapkan untuk musim kemarau di seluruh wilayah kajian seperti yang ditunjukkan pada Tabel 12. Parameter cuaca yang biasa diprediksi secara harian selain curah hujan CH adalah suhu maksimum Tmax, suhu minimum Tmin, kelembaban relatif rata-rata RH. Selanjutnya akan dicari faktor koreksi dalam upaya prediksi paramater Tmax, Tmin, dan RH. Langkah pencarian faktor koreksi untuk suhu dan kelembaban sama dengan langkah yang digunakan untuk curah hujan. Kajian lebih difokuskan pada wilayah kajian Palu dikarenakan wilayah Palu dapat dikatakan berpotensi lebih tinggi dalam memanfaatkan keluaran NWP dibandingkan dengan wilayah kajian lain. Hal ini dapat dilihat dari koefisien determinasi dari persamaan regresi CH untuk Kota Palu lebih besar dibandingakan dengan wilayah kajian lain. Di samping itu, pengurangan nilai error Kota Palu pun bisa dikatakan lebih baik dibandingakan dengan wilayah kajian lain Tabel 12. Penentuan persamaan regresi model suhu dan kelembaban diwali dengan proses pengujian korelasi antara suhu dan kelembaban dengan variabel hasil model NWP lain yang diasumsikan berpengaruh. Penelitian ini memanfaatkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Ristanti D. 2009. Berdasarkan penelitiannya, Ristanti 2009 menjelaskan bahwa model kelembaban dipengaruhi oleh suhu permukaan T0 dan suhu titik embun permukaan DP0. Setelah dilakukan uji korelasi, ternyata kedua parameter tersebut memiliki korelasi yang besar 0,5 atau -0,5 dengan kelembaban. Tabel 12 Faktor koreksi model CH untuk masing-masing wilayah kajian No Wilayah kajian Faktor koreksi CH RMSE dan MAE Pengurangan error Sebelum sesudah RMSE MAE 1 Pontianak-MK 35 RMSE 10,9 5,8 46,5 50,1 MAE 7,2 3,6 Pontianak-MH 125 RMSE 23,7 23,1 2,5 -5,4 MAE 15,2 15,9 2 Pekanbaru-MK 25 RMSE 6,8 3,9 43,2 60,8 MAE 5,6 2,2 Pekanbaru-MH 75 RMSE 20,6 20,5 0,6 10,1 MAE 12,5 11,3 3 Semarang-MK 30 RMSE 2,0 0,7 64,7 65,4 MAE 1,4 0,5 Semarang-MH 38 RMSE 29,2 24,9 14,4 20,5 MAE 23,6 18,8 4 Surabaya-MK 1 RMSE 0,7 0,007 99,0 99,0 MAE 0,5 0,005 Surabaya-MH 50 RMSE 11,9 9,5 20,4 24,8 MAE 7,9 5,9 5 Palu-MK 5 RMSE 12,3 1,7 86,5 89,8 MAE 8,3 0,8 Palu-MH 40 RMSE 12,2 8,9 27,4 42,1 MAE 9,9 5,7 Tabel 13 Regresi model RH dan Suhu Kota Palu Model Musim Prediktan Konstanta Regresi Prediktor Koefisien Regresi Prediktor R 2 RH MK RH 102 T0 -4,92 99,8 Dp0 4,74 MH RH 99,6 T0 -4,89 99,8 Dp0 4,84 Tmax MK Tmax 37,5 Rh0 -0,143 85,0 MH Tmax 37,2 Rh0 -0,142 73,8 Tmin MH Tmin 7,95 Dp0 0,698 80,1 Model suhu dipengaruhi oleh kelembaban relatif pada level permukaan rh0 dan suhu titik embun permukaan DP0. Berdasarkan uji korelasi, yang memiliki korelasi besar dengan suhu maksimum adalah rh0, sedangkan untuk suhu minimum adalah DP0. Model suhu minimum hanya dilakukan untuk musim hujan Palu-MH. Hal ini disebabkan karena tidak terdapatnya variabel yang berkorelasi besar dengan suhu minimum untuk Palu-MK. Sehingga persamaan regresi linear berganda hanya untuk model kelembaban saja. Model suhu kini menjadi persamaan regresi linear sederhana dengan satu peubah prediktor. Nilai koefisien determinasi R 2 dari persamaan regresi linear berganda untuk model RH dan suhu dapat dilihat pada Tabel 13. Pengaruh prediktor masing-masing model dapat dilihat dari model regresi seperti tertera pada Tabel 13. Berdasarkan model regresi pada Tabel 13, variabel yang berkorelasi dengan RH adalah suhu permukaan T0 dan suhu titik embun permukaan DP0. Pada model RH ini, T0 memiliki hubungan negatif. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan nilai T0 akan menyebabkan penurunan kelembaban. Sedangakan, DP0 memiliki hubungan positif dengan kelembaban yang menunjukkan bahwa setiap kenaikan nilai DP0 menyebabkan kenaikan nilai kelembaban pula. Hubungan fungsional seperti ini sesuai dengan konsep dan fakta Gambar 6 dan Gambar 7 yang menyatakan bahwa suhu dan kelembaban memiliki hubungan yang terbalik korelasi negatif. Sedangkan, pada model suhu maksimum Tmax, prediktor yang menyusun persamaan tersebut hanyalah rh0 serta memiliki hubungan negatif. Pada model suhu minimum, DP0 memiliki hubungan postif. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan nilai DP0 keluaran model menyebabkan nilai suhu minimum observasi meningkat. Kemudian dilakukan plot antara nilai observasi RH Obs, Tmax Obs, dan Tmin Obs dengan nilai model RH, Tmax, dan Tmin untuk melihat hubungan diantara keduanya Gambar 11. Berdasarkan grafik pada gambar tersebut, pola grafik antara model dan observasi paling dekat terjadi pada saat musim hujan untuk semua model. Hal ini menunjukkan bahwa potensi pemanfaatan model NWP untuk kelembaban, suhu maksimum, dan suhu minimum lebih baik untuk musim hujan di Kota Palu tahun 2008. Pemodelan NWP untuk RH paling baik untuk musim hujan dikarenakan nilai koefisien determinasi persamaan regresi model RH sangat tinggi mencapai 99,8 untuk musim hujan dan musim kemarau di Kota Palu tahun 2008. Gambar 11 Plot Nilai model dan observasi untuk RH, Tmax, dan Tmin kiri serta perbandingannya dengan hasil koreksi kanan di Kota Palu Tahun 2008 Walaupun hasil model RH, Tmax, dan Tmin sudah dapat dikatakan baik, namun nilai faktor koreksi tetap perlu dicari untuk meminimalisir error dan meningkatkan akurasi prediksi model. Pola model yang sangat menyerupai observasi terjadi pada model RH musim hujan Gambar 11 . Analisis potensi pemanfaatan model NWP tidak cukup hanya berdasarkan analisis pola grafik. Perlu disertai adanya analisis terhadap nilai error RMSE dan MAE. Nilai RMSE dan MAE akan memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai sejauh mana model mampu menduga nilai observasi serta mampu menjadi acuan dalam pemberian faktor koreksi. Persentase pengurangan nilai RMSE dan MAE didasarkan pada selisih nilai error sebelum dan sesudah pemberian faktor koreksi. Pemberian faktor koreksi sangat efektif untuk model suhu maksimum Tmax baik musim kemarau maupun musim hujan di Kota Palu tahun 2008 dengan pengurangan nilai RMSE dan MAE mencapai rata-rata 60. Dibandingkan dengan prediksi curah hujan, prediksi suhu dan kelembaban dapat dikatakan lebih mudah sederhana karena prediktor yang mempengaruhi suhu dan kelembaban jauh lebih sedikit dibandingkan dengan prediktor yang mempengaruhi curah hujan yang lebih kompleks. Tabel 14 Faktor koreksi model RH dan suhu kota Palu No Model Faktor Koreksi RMSE MAE pengurangan error sebelum sesudah RMSE MAE 1 RH-MK 88 RMSE 12,337 6,539 47,0 53,0 MAE 10,858 5,108 2 RH-MH 95 RMSE 5,594 3,632 35,1 35,7 MAE 4,561 2,934 3 Tmax-MK 133 RMSE 7,039 2,865 59,3 68,3 MAE 6,766 2,147 4 Tmax-MH 114,7 RMSE 5,385 2,091 61,2 65,2 MAE 5,154 1,795 5 Tmin-MH 98,8 RMSE 0,585 0,506 13,5 20,0 MAE 0,449 0,359 Nilai faktor koreksi model RH, Tmax dan Tmin masing-masing musim disajikan dalam Tabel 14. Secara umum, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor koreksi lebih terlihat pengaruhnya terhadap model suhu maksimum musim hujan dan musim kemarau serta model CH musim kemarau dibandingkan dengan model lainnya. Hal ini dapat terlihat dari penurunan nilai RMSE dan MAE yang jauh lebih besar dibandingkan dengan model lainnya. Namun, penilaian potensi pemanfatan model tidak hanya dilihat dari efektifitas faktor koreksi, melainkan juga dilihat dari koefisien determinasi, nilai RMSE dan MAE sebelum faktor koreksi dan pola grafik yang terbentuk. Model NWP tidak memasukkan faktor lokal dalam perhitungannya sehingga hasil prediksinya biasanya kurang tepat dari keadaan sebenarnya di lapangan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa faktor koreksi tersebut merupakan pengganti dari faktor- faktor lokal yang tidak dimasukkan dalam model NWP.

V. SIMPULAN DAN SARAN