STRATEGI DINAS PERHUBUNGAN KOTA BANDAR LAMPUNG DALAM PEMUNGUTAN RETRIBUSI PARKIR

(1)

ABSTRAK

STRATEGI DINAS PERHUBUNGAN KOTA BANDAR LAMPUNG DALAM PEMUNGUTAN RETRIBUSI PARKIR

Oleh

AHMAD RENDRA JAYA PUTRA

Masalah penelitian ini adalah adanya kesenjangan antara potensi retribusi parkir dengan tidak optimalnya penerimaan daerah atas retribusi parkir. Hal ini berdampak terhadap turunnya Pendapatan Asli Daerah Kota Bandar Lampung yang bersumber dari retribusi daerah. Hal ini diduga masih lemahnya strategi Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung dalam pemungutan retribusi parkir.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Strategi Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung dalam Pemungutan Retribusi Parkir, sedangkan metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif, yaitu prosedur pemecahan masalah yang berkaitan dengan strategi Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung dalam pemungutan retribusi parkir, dengan dukungan data dan fakta yang ada.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa strategi Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung dalam pemungutan retribusi parkir adalah: (1) Penyusunan perencanaan untuk merancang strategi perparkiran yang dapat meningkatkan pendapatan asli daerah, meningkatkan efisiensi administrasi dan meningkatkan kapasitas penerimaan melalui perencanaan yang lebih baik. (2) Menerapkan sarana atau perangkat


(2)

penyelenggaraan parker, membentuk UPTD Perparkiran yang khusus menangani masalah parker. (3) Pengaturan mekanisme pemungutan retribusi parkir secara jelas, yang dilaksanakan dengan Penentuan Target Retribusi Parkir Tempat Khusus Parkir (TKP), Mekanisme Pungutan Tarif Retribusi Parkir TKP dan pengaturan Sumberdaya Manusia pengelola perparkiran, baik yang diselenggarakan oleh Dinas Perhubungan maupun swasta (4) Penerapan sistem evaluasi, yang dilaksanakan dalam berbagai bentuk pertemuan dan atau rapat secara berkala dalam rangka mengontrol atau memastikan bahwa pemungutan retribusi parkir sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan sebelumnya.


(3)

ABSTRACT

STRATEGY OF TRANSPORTATION DEPARTMENT OF BANDAR LAMPUNG IN COLLECTING PARKING RETRIBUTION

By

AHMAD RENDRA JAYA PUTRA

This research problem is the gap between the potential of parking charges is not optimal reception area on parking fees. This has an impact on local revenue decline of Bandar Lampung sourced from levies. This is presumably still weak strategy Bandar Lampung Transportation Agency in collecting parking fees.

The purpose of this research was to determine strategy of Transportation Department of Bandar Lampung in Collecting Parking Retribution, while the research method used is descriptive, that troubleshooting procedures related to strategy of Transportation Department of Bandar Lampung in Collecting Parking Retribution, supported by data and facts.

The results of this study indicate that strategy of Transportation Department of Bandar Lampung in Collecting Parking Retribution are: (1) preparation of plans to design a strategy to increase parking retribution, improve administrative efficiency and capacity increase revenue through better planning. (2) Implement a means or device that facilitates the work of collection of parking charges effectively and efficiently. This is done by completing a computerized means of organizing parker,


(4)

Target Parking Place Special Parking, Mechanism retribution rates Parking Retribution crime scene and setting the parking manager of Human Resources, both organized by the Department of Transportation and private (4) Application evaluation system, which is implemented in various forms and meetings or regular meetings in order to control or ensure that the collection of parking fees in accordance with a predetermined plan.


(5)

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah berimplikasi bahwa pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengalokasikan sumber-sumber pembiayaan pembangunan sesuai dengan prioritas dan preferensi daerah masing-masing. Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal membawa konsekuensi pada perubahan pola pertanggung jawaban daerah atas pengalokasian dana yang telah dimiliki. Penyelenggaraan otonomi daerah diimbangi dengan kebebasan untuk mengalokasikan sumber-sumber pembiayaan pembangunan sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah masing-masing.

Pemerintahan daerah diharapkan dapat melakukan optimalisasi belanja yang dilakukan secara efisien dan efektif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Perangkat pemerintah daerah harus memiliki kemampuan dan pengetahuan yang memadai dalam perencanaan dan perumusan kebijakan strategis daerah, termasuk proses dan pengalokasian anggaran belanja daerah agar pelaksanaan berbagai kegiatan pelayanan oleh pemerintah daerah dapat berjalan secara efisien dan efektif.


(6)

Menurut Baswir (2002: 12), otonomi daerah membawa implikasi bahwa penyelenggaraan tugas daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), di sisi lain pembiayaan pembangunan secara bertahap akan menjadi beban pemerintah daerah. Sementara itu bantuan pusat dalam pembiayaan pembangunan hanya akan diberikan untuk menunjang pengeluaran pemerintah, khususnya untuk belanja pegawai dan program-program pembangunan yang hendak dicapai.

Seiring dengan otonomi daerah perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah sebagai upaya pemberdayaan pemerintah daerah di antaranya adalah harus bertumpu pada kepentingan publik (public oriented), kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumnya, anggaran daerah pada khususnya, desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran para partisipan yang terkait dalam pengelolaan anggaran seperti DPRD, Kepala Daerah, Sekretaris Daerah dan perangkat daerah lain serta masyarakat.

Daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangannya sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Ketergantungan daerah kepada pusat tidak lagi dapat diandalkan, sehingga Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan negara.


(7)

Kewenangan untuk mendayagunakan sumber keuangan sendiri dilakukan dalam wadah PAD yang bersumber dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Perusahaan Daerah dan lain-lain pendapatan yang sah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Kemampuan pemerintah daerah dalam memaksimalkan PAD ini merupakan salah satu indikator atau kriteria untuk mengukur kemampuan keuangan suatu daerah. Semakin besar kontribusi PAD terhadap APBD akan menunjukkan semakin besar kemampuan daerah dalam mengelola pembangunan di daerah sendiri dan semakin kecil ketergantungan daerah pada pemerintah pusat. PAD merupakan sumber penerimaan yang murni dari daerah, yang merupakan modal utama bagi daerah sebagai biaya penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Meskipun PAD tidak seluruhnya dapat membiayai total pengeluaran daerah, namun proporsi PAD terhadap total penerimaan daerah tetap merupakan indikasi derajat kemandirian keuangan suatu pemerintah daerah.

Menurut Pasal 157 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, sumber PAD terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Dalam kaitannya dengan pemberian otonomi kepada daerah dalam merencanakan, menggali, mengelola dan menggunakan keuangan daerah sesuai dengan kondisi daerah, PAD dapat dipandang sebagai salah satu indikator atau kriteria untuk mengurangi ketergantungan suatu daerah kepada pusat. Pada prinsipnya semakin


(8)

besar PAD kepada APBD akan menunjukkan semakin kecil ketergantungan daerah kepada pusat.

Uraian di atas menunjukkan bahwa PAD merupakan masalah yang patut dicermati dalam kesiapan daerah menghadapi otonomi yang dilihat dari segi finansial, karena proporsi PAD relatif kecil apabila dibandingkan dengan proporsi bantuan pemerintah pusat, sehingga perlu adanya upaya-upaya peningkatan PAD yang agar nantinya daerah akan mandiri dan mampu melepaskan diri dari ketergantungan bantuan dari subsidi pemerintah pusat.

Upaya untuk menggali sumber-sumber PAD oleh Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan mengoptimalisasikan perangkat Daerah. Menurut Pertimbangan Huruf (a) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah, dinyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah, kepala daerah perlu dibantu oleh perangkat daerah yang dapat menyelenggarakan seluruh urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah. Perangkat daerah kabupaten/kota adalah unsur pembantu kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdiri dari Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan, dan Kelurahan.

Dalam Pasal 1 Ayat (2) UU 32/2004 disebutkan bahwa Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia


(9)

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Selanjutnya menurut Pasal 1 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah, Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah dengan berpedoman pada PP 41/ 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah. Peraturan Daerah mengatur mengenai susunan, kedudukan, tugas pokok organisasi perangkat daerah. Rincian tugas, fungsi, dan tata kerja diatur lebih lanjut dengan peraturan gubernur/bupati/walikota.

Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kota Bandar Lampung, Pasal 12 menyatakan bahwa tugas Pokok Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung mempunyai adalah melaksanakan urusan Pemerintahan Daerah di bidang


(10)

Perhubungan Darat dan Perhubungan Laut berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

Menurut Pasal 13, dalam melaksanakan tugas pokok Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung mempunyai fungsi sebagai berikut:

1. Perumusan Kebijakan teknis di bidang Perhubungan Darat, Perhubungan Laut

2. Penyelenggaraan urusan pemerintah dan layanan umum sesuai dengan lingkup tugasnya

3. Pembinaan dan pelaksanaan tugas sesuai dengan lingkup tugasnya dan 4. Pelaksanaan tugas lain yang diperintahkan oleh Walikota sesuai dengan

tugas dan fungsinya.

Masalah yang melatarbelakangi penelitian ini adalah adanya kesenjangan antara besarnya potensi retribusi parkir di Kota Bandar Lampung dengan tidak optimalnya penerimaan daerah atas retribusi parkir tersebut. Berdasarkan data pada Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung, pada tahun 2011 retribusi parkir hanya mencapai 63,75% dari 100% yang ditargetkan. Artinya dari target retribusi parkir sebesar Rp.800 juta, hanya terealisasi sebesar Rp 510.000.000. Padahal menurut perkiraaan dari 83 titik parkir potensial yang dikelola Dinas Perhubungan, seharusnya penerimaan mampu melampaui target yang ditetapkan tersebut (Sumber: Prariset pada UPTD Parkir Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung, Rabu 14 Maret 2011).

Pemungutan retribusi parkir oleh Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung memiliki dasar hukum yaitu Perda Kota Bandar Lampung Nomor 06 Tahun 2008 Tentang Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum dan Nomor 07 Tahun 2008 Tentang Retribusi Tempat Khusus Parkir.


(11)

Berdasarkan masalah di atas maka diperlukan strategi pemungutan retribusi parkir secara optimal oleh Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung dalam rangka meningkatan penerimaan perolehan retribusi parkir.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimanakah Strategi Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung dalam Pemungutan Retribusi Parkir?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Strategi Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung dalam Pemungutan Retribusi Parkir.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran ilmiah dalam khazanah bidang Ilmu Pemerintahan, khususnya yang berkaitan dengan Strategi Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung dalam Pemungutan Retribusi Parkir.

2. Secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan bagi Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung dalam menempuh berbagai upaya dalam Pemungutan Retribusi Parkir.


(12)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Strategi

1. Pengertian Strategi

Menurut Hasibuan (2000: 124):

Strategi adalah cara untuk membantu organisasi mengatasi lingkungan yang selalu berubah dan membantu organisasi untuk memecahkan masalah terpenting yang dihadapi. Dengan strategi, organisasi dapat membangun kekuatan dan mengambil keuntungan dari peluang, sembari mengatasi dan meminimalkan kelemahan dan ancaman dari luar.

Menurut Siswanto (2002: 14), strategi adalah upaya yang didisiplinkan untuk membuat keputusan dan tindakan penting yang membentuk dan memandu bagaimana menjadi organisasi, apa yang dikerjakan organisasi dan mengapa organisasi mengerjakan hal seperti itu.

Menurut J. Winardi (2003:112):

Strategi sebagai sebuah rencana atau semacam arah rangkaian tindakan tententu di dalam suatu organisasi merupakan pedoman atau kelompok pedoman untuk menghadapi situasi tertentu. Sebagai sebuah rencana, strategi memiliki dua karakteristik esensial, yaitu disusun sebelum rangkaian tindakan tertentu dilaksanakan dan dikembangkan secara sadar dengan tujuan tertentu. Seringkali strategi dinyatakan secara eksplisit, dalam dokumen-dokumen yang dikenal sebagai rencana-rencana, tetapi ada kalanya strategi tidak dinyatakan secara formal, meski hal itu jelas tercantum dalam benak orang-orang yang berkepentingan. Definisi ini menitikberatkan strategi sebagai sebuah rencana, metode, atau suatu seri manuver atau strategisme yang dilaksanakan untuk mencapai hasil atau tujuan yang telah direncanakan sebelumnya.


(13)

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan strategi dalam penelitian ini adalah sebuah rencana atau arah tindakan tertentu yang digunakan suatu organisasi sebagai pedoman dalam melaksanakan aktivitas atau kinerja. Strategi dalam hal ini dapat dinyatakan secara eksplisit berupa dokumen dan dilaksanakan secara sadar oleh pimpinan organisasi untuk tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

2. Dimensi-Dimensi Strategi

Menurut J. Winardi (2003: 113-114), berbagai dimensi yang terdapat dalam strategi pada suatu organisasi adalah sebagai berikut:

a. Tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran yang paling penting dan yang perlu dicapai. Tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran menyatkan apa saja yang yang perlu dicapai, kapan hasil-hasil harus dilaksanakan. Dari sasaran-sasaran nilai, menyatakan ke arah mana organisasi tersebut menuju, melalui berbagai macam sasaran keorganisasian yang bersifat menyeluruh, yang menetapkan sifat organisasi, dan menetapkan target bagi setiap kesatuan keorganisasiannya.

b. Kebijakan-kebijakan yang paling penting dan mengarahkan atau membatasi kegiatan-kegiatan. Kebijakan-kebijakan (policies) merupakan peratutan-peraturan atau prosedur-prosedur yang menggariskan batas-batas di dalam mana kegiatan akan dilaksanakan. Peraturan-peraturan demikian seringkali mencapai keputusan-keputusan kontingen, guna menyelesaikan konflik antara sasaran-sasaran spesifik.

c. Tahapan-tahapan tindakan pokok atau program-program yang akan mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkan dalam batas-batas yang telah digariskan. Program-program menspesifikasi langkah demi langkah tahapan-tahapan tindakan yang diperlukan untuk mencapai sasaran-sasaran utama. Mereka menyatakan bagaimana sasaran-sasaran akan tercapai di dalam batas-batas oleh kebijakan. Mereka menyatakan bahwa sumber-sumber daya diarahkan ke arah pencapaian tujuan dan dengan apa kemajuan organisasi dapat diukur.

3. Proses Strategi dalam Organisasi

Menurut Hasibuan (2000: 131-132), proses strategi dalam organisasi meliputi delapan langkah, yaitu:


(14)

a. Memprakarsai dan menyepakati suatu proses perencanaan strategis.

Tujuan langkah pertama adalah menegosiasikan kesepakatan dengan orang-orang penting pembuat keputusan (decision makers) atau pembentuk opini (opinion leaders) internal (dan mungkin eksternal) tentang seluruh upaya perencanaan strategis dan langkah perencanaan yang terpenting.

b. Mengidentifikasi mandat organisasi

Mandat formal dan informal yang ditempatkan pada organisasi adalah “keharusan” yang dihadapi organisasi.

c. Memperjelas misi dan nilai-nilai organisasi

Misi organisasi yang berkaitan erat dengan mandatnya, pembenaran sosial bagi keberadaannya.

d. Menilai lingkungan eksternal: peluang dan ancaman

Mengeksplorasi lingkungan di luar organisasi untuk mengidentifikasi peluang dan ancaman yang dihadapi oleh organisasi.

e. Menilai lingkungan internal: Kekuatan dan kelemahan

Untuk mengenali kekuasaan dan kelemahan internal, organisasi dapat memantau sumber daya (inputs), strategi sekarang (process), dan kinerja (outputs).

f. Mengidentifikasi isu strategis yang dihadapi organisasi

Isu strategis, meliputi konflik satu jenis atau lainnya. Konflik dapat menyangkut tujuan (apa); cara (bagaimana); filsafat (mengapa); tempat (di mana); waktu (kapan); dan kelompok yang mungkin diuntungkan atau tidak diuntungkan oleh cara yang berbeda dalam pemecahan isu (siapa). g. Merumuskan strategi untuk mengelola isu-isu

Strategi didefinisikan sebagai pola tujuan, kebijakan, program, tindakan, keputusan, atau alokasi sumber daya yang menegaskan bagaimana organisasi, apa yang dikerjakan organisasi, mengapa organisasi harus melakukan hal tersebut.

h. Menciptakan visi organisasi yang efektif bagi masa depan

Langkah terakhir dari proses manajemen strategis adalah mengembangkan deskripsi mengenai bagaimana seharusnya organisasi itu sehingga berhasil mengimplementasikan strateginya dan mencapai seluruh potensinya.

4. Pendekatan Strategi dalam Organisasi

Menurut Hasibuan (2000: 2-4), strategi dalam organisasi dapat dirumuskan dengan perumusan fungsi-fungsi manajemen, yang meliputi:

a. Perencanaan (Planning)

Perencanaan merupakan suatu fungsi vital dari manajemen, perencanaan berarti menentukan apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara melakukannya. Dengan demikian perencanaan dapat dianggap sebagai suatu keputusan yang dibuat sekarang sebagai tindakan-tindakan untuk masa yang akan datang.


(15)

b. Pengorganisasian (Organizing)

Setelah organisasi menentukan fungsi-fungsi yang harus dijalankan, maka harus dibentuk suatu organisasi yang merupakan alat untuk mencapai tujuan. Pengorganisasian ini dapat diartikan sebagai penentuan penggolongan dan penyusunan aktivitas-aktivitas yang diperlukan, penentuan orang-orang yang melaksanakan, penyediaan alat-alat dan pendelegasian wewenang yang ditugaskan dalam bidang masing-masing. c. Pelaksanaan (Actuating)

Jika sudah mempunyai rencana dan organisasi yang akan melaksanakan rencana tersebut, maka selanjutnya adalah melakukan pekerjaan tersebut. Pelaksanaan di sini merupakan suatu usaha untuk menggerakkan anggota-anggota kelompok sehingga mereka berkeinginan dan berusaha untuk mencapai sasaran organisasi. Dengan demikian pada fungsi ini berarti mengusahakan agar pegawai mau bekerja sama dengan lebih efisien, untuk menyukai pekerjaan mereka, mengembangkan keahlian dan kemampuan dalam rangka mencapai tujuan.

d. Pengawasan (Controlling)

Pengawasan merupakan uatu tindakan mengamati, membandingkan pelaksanaan dengan rencana dan mengoreksinya jika terjadi penyimpangan dan jika perlu menyesuaikan kembali rencana yang dibuat.

5. Strategi Sebagai Bagian Integral Kebijakan Organisasi

Menurut Friedrich dalam Wahab (1997: 3):

Kebijakan ialah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan dalam upaya mencapai tujuan tersebut.

Kebijaksanaan sebagai suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang terarah. Kebijakan publik merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan.

Kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah dimana implikasi dari kebijakan itu adalah: Kebijakan Publik memiliki tujuan tertentu, berisi tindakan-tindakan pemerintah,


(16)

merupakan hal yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah bukan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan, bisa bersifat positif (tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu) dan bersifat negatif (keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu), Kebijakan Publik dalam arti positif setidak-tidaknya didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa. Istilah kebijakan sering dipertukarkan penggunaannya dengan tujuan, program, keputusan, undang-undang, ketentuan-ketentuan, usulan-usulan, dan rancangan besar

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa kebijakan publik merupakan suatu keputusan/tindakan yang memiliki tujuan dan maksud, serta akibat yang dilakukan oleh seorang, sekelompok orang atau pemerintah dalam mengatasi suatu persoalan atau masalah dalam sebuah lingkungan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat.

Sebagai suatu sistem yang terdiri atas sub-sistem atau elemen, komposisi dari kebijakan dapat dilihat dari dua perspektif: dari proses kebijakan dan dari struktur kebijakan. Dari sisi proses kebijakan, terdapat tahap-tahap sebagai berikut: identifikasi masalah dan tujuan, formulasi kebijakan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan. Dilihat dari segi struktur terdapat lima unsur kebijakan menurut wahab (1997: 6):

a. Tujuan Kebijakan

Suatu kebijakan dibuat karena ada tujuan yang ingin dicapai. Tanpa ada tujuan tidak perlu ada kebijakan. Dengan demikian tujuan menjadi unsur pertama dari suatu kebijakan. Namun tidak demikian semua kebijakan mempunyai uraian yang sama tentang tujuan itu. Perbedaan terletak tidak sekedar pada jangka waktu mencapai tujuan dimaksud, tetapi juga ada posisi, gambaran, orientasi dan dukunganya. Kebijakan yang baik


(17)

mempunyai tujuan yang baik. Tujuan yang baik sekurang-kurangnya memenuhi empat kriteria: diinginkan untuk dicapai, rasional atau realistis (rational or realistic), jelas (clear), dan berorientasi ke depan (future oriented)

b. Masalah

Masalah merupakan unsur yang sangat penting dalam kebijakan. Kesalahan dalam menentukan masalah secara tepat dapat menimbulkan kegagalan total dalam seluruh proses kebijakan. Tak ada artinya suatu cara atau metode yang baik untuk pemecahan suatu masalah kebijakan kalau pemecahannya dilakukan bagi masalah yang tidak benar. Dengan cara lain dapat dikatakan, kalau suatu masalah telah dapat diidentifikasikan secara tepat, berarti sebagian pekerjaan dapat dianggap sudah dikuasai.

c. Tuntutan (demand)

Sudah diketahui partisipasi merupakan indikasi dari masyarakat maju. Partisipasi itu berbentuk dukungan, tuntutan dan tantangan atau kritik seperti halnya partisipasi pada umumnya, tuntutan dapat bersifat moderat atau radikal. Tergantung pada urgensi dari tuntutan tersebut

d. Dampakatau outcomes

Dampak merupakan tujuan lanjutan yang timbul sebagai pengaruh dari tercapainya suatu tujuan.

e. Saranaatau alat kebijakan (policy instruments)

Suatu kebijakan dilaksanakan dengan menggunakan sarana yang dimaksud. Beberapa dari sarana ini antara lain: kekuasaan, insentif, pengembangan kemampuan, simbolis dan perubahan kebijakan itu sendiri

Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Proses-proses penyusunan kebijakan publik tersebut dibagi kedalam beberapa tahapan. Tahapan-tahapan dalam kebijakan publik adalah sebagai berikut (Winarno,2008:32-34):

a. Tahap Penyusunan Agenda

Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Sebelumnya masalah-masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk kedalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk ke agenda kebijakan para perumus kebijakan. Pada tahap ini suatu masalah mungkin tidak disentuh sama sekali, sementara masalah yang lain ditetapkan menjadi fokus pembahasan, atau ada pula masalah karena alasan-alasan tertentu ditunda untuk waktu yang lama.

b. Tahap Formulasi Kebijakan

Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan (policy alternatives/policy options). Sama halnya dengan perjuangan suatu


(18)

masalah untuk masuk kedalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan, masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini, masing-masing aktor akan “bermain” untuk mengusulka pemecahan masalah terbaik.

c. Tahap Adopsi Kebijakan

Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsesus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.

d. Tahap Implementasi Kebijakan

Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit, jika program tersebut tidak diimplementasikan.oleh karena itu, program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah ditingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumberdaya finansial dan manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana, namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh pelaksana.

e. Tahap Penilaian Kebijakan

Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan. Dalam hal ini, memperbaiki masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu, ditentukanlah ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik telah meraih dampak yang diinginkan.

Istilah kebijakan dewasa ini telah digunakan untuk menjelaskan hal yang beragam. Menurut Agustino (2008: 22-23), penggunaan istilah kebijakan dapat dikategorikan sebagai berikut:

a. Kebijakan sebagai label bagi suatu bidang kegiatan tertentu

Dalam konteks ini, kata kebijakan digunakan untuk menjelaskan bidang kegiatan pemerintahan atau bidang kegiatan di mana pemerintah terlibat di dalamnya, seperti kebijakan ekonomi atau kebijakan luar negeri

b. Kebijakan sebagai ekspresi mengenai tujuan umum/keadaan yang dikehendaki


(19)

Kebijakan dalam hal ini digunakan untuk menyatakan kehendak dan kondisi yang dituju, seperti pernyataan tentang tujuan pembangunan di bidang SDM untuk mewujudkan aparatur yang bersih.

c. Kebijakan sebagai bidang proposal tertentu

Dalam konteks ini, kebijakan lebih berupa proposal, seperti misalnya usulan RUU di Bidang Keamanan dan Pertahanan atau RUU di Bidang Kepegawaian.

d. Kebijakan sebagai sebuah keputusan yang dibuat oleh pemerintah

Sebagai contoh adalah keputusan untuk melakakukan perombakan terhadap suatu sistem administrasi negara

e. Kebijakan sebagai sebuah pengesahan formal

Di sini kebijakan tidak lagi dianggap sebagai usulan, namun telah sebagai keputusan yang sah. Sebagai contohnya adalah UU Nomor 32 Tahun 2004 yang merupakan keputusan sah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. f. Kebijakan sebagai sebuah program

Kebijakan dalam hal ini adalah program yang akan dilaksanakan. Sebagai contoh adalah peningkatan pendaya gunaan aparatur negara, yang menjelaskan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan, termasuk cara pengorganisasiannya.

g. Kebijakan sebagai out put atau apa yang ingin dihasilkan

Kebijakan dalam hal ini adalah adalah out put yang akan dihasilkan dari suatu kegiatan, seperti misalnya pelayanan yang murah dan cepat atau pegawai negeri sipil yang profesional.

h. Kebijakan sebagai out come

Kebijakan di sini digunakan untuk menyatakan dampak yang diharapkan dari suatu kegiatan, seperti pemerintahan yang efektif dan efesien.

Menurut Wahab (1997: 95-96):

Formulasi kebijakan merupakan aktivitas fungsional utama berupa formulasi usulan kebijakan (policy proposal) kepada otoritas yang berwenang untuk mendapatkan tindakan yang akan dikaji dan ditetapkan sebagai kebijakan pemerintah secara formal oleh instansi yang berwenang.

Formulasi kebijakan publik mensyaratkan pengetahuan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kebijakan yang akan diambil. Pengetahuan tersebut harus dimiliki oleh aktor-aktor kebijakan atau pembuat kebijakan.

Menurut Wahab (1997: 97), dalam memformulasikan kebijakan, para pembuat kebijakan harus memahami atau memiliki pengetahuan sebagai berikut:


(20)

a. Preferensi nilai-nilai masyarakat dan kecenderungannya

b. Pilihan-pilihan atau alternatif-alternatif kebijakan yang tersedia c. Konsekuensi-konsekuensi dari setiap pilihan kebijakan

d. Rasio yang dicapai bagi setiap nilai sosial yang dikorbankan pada setiap alternatif kebijakan

e. Memilih kebijakan yang paling efisien

Menurut Wahab (1997: 98), tahapan proses formulasi kebijakan publik adalah: 1. Penyiapan agenda, yang merupakan tahap untuk menetapkan issu mana

saja yang akan direspon oleh pemerintah.

2. Formulasi alternatif, yang merupakan tahap untuk menentukan tujuan serta berbagai alternatif untuk mencapai tujuan.

3. Penetapan kebijakan, yang merupakan tahap untuk menentukan alternatif atau pilihan mana yang akan dilaksanakan.

4. Pelaksanaan kebijakan, yang merupakan tahap untuk melaksanakan pilihan yang diambil.

5. Tahap evaluasi, yang merupakan tahap untuk menilai sejauh mana upaya-upaya yang dilakukan sesuai dengan tujuan semula.

6. Penyempurnaan kebijakan, yaitu dengan mengoreksi pelaksnaan kebijakan 7. Terminasi, merupakan tahap akhir untuk mengakhiri kebijakan, baik karena tujuan yang sudah dicapai maupun yang disebabkan oleh kebijakan tersebut yang dirasakan tidak diperlukan lagi.

Menurut Hasibuan (2000: 59),

Implementasi kebijakan bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Oleh sebab itu tidak berlebihan jika dikatakan implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan

Kebijakan publik selalu mengandung setidaknya tiga komponen dasar, yaitu tujuan yang luas, sasaran yang spesifik dan cara mencapai sasaran tersebut. Di dalam “cara” terkandung beberapa komponen kebijakan yang lain, yakni siapa implementatornya, jumlah dan sumber dana, siapa kelompok sasarannya, bagaimana program dan sistem manajemen dilaksanakan, serta kinerja kebijakan diukur.


(21)

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa komponen tujuan yang luas dan sasaran yang spesifik diperjelas kemudian diintepretasikan. Cara ini biasa disebut implementasi, yaitu sebagai tindakan yang dilakukan oleh publik maupun swasta baik secara individu maupun kelompok yang ditujukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan kebijakan. Definisi ini menyiratkan adanya upaya mentransformasikan keputusan kedalam kegiatan operasional, serta mencapai perubahan seperti yang dirumuskan oleh keputusan kebijakan.

Pandangan lain mengenai implementasi kebijakan dikemukakan oleh William dan Elmore sebagaimana dikutip Agustino (2008: 69):

Implementasi kebijakan adalah keseluruhan dari kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan. Mempelajari masalah implementasi kebijakan berarti berusaha untuk memahami apa yang senyata-nyata terjadi sesudah suatu program diberlakukan atau dirumuskan yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan kebijakan negara, baik itu usaha untuk mengadministrasikan maupun usaha-usaha untuk memberikan dampak tertentu pada masyarakat ataupun peristiwa-peristiwa. Intinya implementasi kebijakan berarti pelaksanaan dari suatu kebijakan atau program.

Pandangan tersebut di atas menunjukkan bahwa proses implementasi kebijakan tidak hanya menyangkut perilaku badan-badan administratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri target group, melainkan menyangkut lingkaran kekuatan-kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang langsung atau tidak dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat, dan pada akhirnya membawa konsekuensi logis terhadap dampak baik yang diharapkan maupun dampak yang tidak diharapkan. Untuk dapat mengimplementasikan kebijakan secara sempurna maka diperlukan beberapa persyaratan, antara lain: kondisi eksternal yang dihadapi oleh Badan/Instansi


(22)

pelaksana; tersedia waktu dan sumber daya; keterpaduan sumber daya yang diperlukan; implementasi didasarkan pada hubungan kausalitas yang handal; hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubung; hubungan ketergantungan harus dapat diminimalkan; kesamaan persepsi dan kesepakatan terhadap tujuan; tugas-tugas diperinci dan diurutkan secara sistematis; komunikasi dan koordinasi yang baik; Pihak-pihak yang berwenang dapat menuntut kepatuhan pihak lain.

6. Indikator Strategi

Menurut Handoko (2004: 56-57), beberapa indikator yang dapat diterapkan dalam pelaksanaan suatu strategi oleh organisasi adalah sebagai berikut:

a. Menyusun perencanaan

Dalam tahap ini organisasi perlu menyusun perencanaan yang baik sebelum melaksanakan suatu program kerja atau kegiatan, melalui analisis kebutuhan yang diperlukan dalam perencanaan organisasi. Selain itu organisasi perlu menentukan cakupan atau ruang lingkup pekerjaaan sesuai dengan bidangnya masing-masing, agar pelaksanaan pekerjaan menjadi lebih optimal dalam mencapai hasil yang diharapkan.

b. Penerapan perangkat kerja yang memadai

Dalam tahap ini organisasi perlu menerapkan sarana atau perangkat pekerjaan yang modern dalam rangka mempermudah pelaksanaan pekerjaan secara lebih efektif dan efesien

c. Pengaturan mekanisme pelaksanaan pekerjaan secara jelas

Dalam tahap ini organisasi perlu menerapkan pengaturan mekanisme pelaksanaan pekerjaan secara jelas dan terorganisasi dengan baik, sehingga tidak ada over lapping (tumpang tindih) dalam pelaksanaan pekerjaan.

d. Penerapan sistem evaluasi

Dalam tahap ini organisasi perlu menerapkan sistem evaluasi yang baik dalam rangka mengontrol atau memastikan bahwa pelaksanaan pekerjaan telah sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan sebelumnya.


(23)

B. Tinjauan Tentang Satuan Kerja Perangkat Daerah

1. Pengertian Satuan Kerja Perangkat Daerah

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah dinyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah, kepala daerah perlu dibantu oleh perangkat daerah yang dapat menyelenggarakan seluruh urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah. Sesuai dengan Pasal 128 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Susunan dan Pengendalian Organisasi Perangkat Daerah dilakukan dengan berpedoman pada peraturan pemerintah.

Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Perangkat daerah provinsi adalah unsur pembantu kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdiri dari sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah dan lembaga teknis daerah. Sementara itu Perangkat daerah kabupaten/kota adalah unsur pembantu kepala daerah dalam


(24)

penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdiri dari sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan.

Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah ditetapkan dengan peraturan daerah dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah. Peraturan daerah mengatur mengenai susunan, kedudukan, tugas pokok organisasi perangkat daerah. Rincian tugas, fungsi, dan tata kerja diatur lebih lanjut dengan peraturan gubernur/bupati/ walikota.

2. Kedudukan, Tugas dan Fungsi Perangkat Daerah Provinsi

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah, Kedudukan, Tugas dan Fungsi Perangkat Daerah Provinsi adalah sebagai berikut:

(1) Sekretariat Daerah, sekretariat daerah merupakan unsur staf

(2) Sekretariat daerah mempunyai tugas dan kewajiban membantu gubernur dalam menyusun kebijakan dan mengoordinasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah.

(3) Sekretariat daerah dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, menyelenggarakan fungsi:

a) Penyusunan kebijakan pemerintahan daerah;

b) Pengoordinasian pelaksanaan tugas dinas daerah dan lembaga teknis daerah;


(25)

d) Pembinaan administrasi dan aparatur pemerintahan daerah; dan

e) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh gubernur sesuai dengan tugas dan fungsinya.

(4) Sekretariat daerah dipimpin oleh sekretaris daerah

(5) Sekretaris daerah berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada gubernur.

3. Kedudukan, Tugas, Dan Fungsi Perangkat Daerah Kabupaten/Kota

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah, Kedudukan, Tugas dan Fungsi Perangkat Daerah Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut:

(1) Sekretariat Daerah

Sekretariat daerah merupakan unsur staf yang mempunyai tugas dan kewajiban membantu bupati/walikota dalam menyusun kebijakan dan mengoordinasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah. Sekretariat daerah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya menyelenggarakan fungsi: (a) Penyusunan kebijakan pemerintahan daerah;

(b) Pengoordinasian pelaksanaan tugas dinas daerah dan lembaga teknis daerah;

(c) Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan pemerintahan daerah; (d) Pembinaan administrasi dan aparatur pemerintahan daerah; dan

(e) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh bupati/walikota sesuai dengan tugas dan fungsinya.


(26)

Sekretariat daerah dipimpin oleh Sekretaris Daerah, berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada bupati/walikota.

(2) Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Sekretariat dewan perwakilan rakyat daerah yang selanjutnya disebut sekretariat DPRD merupakan unsur pelayanan terhadap DPRD. Sekretariat DPRD mempunyai tugas menyelenggarakan administrasi kesekretariatan, administrasi keuangan, mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD, dan menyediakan serta mengoordinasikan tenaga ahli yang diperlukan oleh DPRD sesuai dengan kemampuan keuangan daerah. Sekretariat DPRD dalam melaksanakan tugasnya, menyelenggarakan fungsi:

(a) Penyelenggaraan administrasi kesekretariatan DPRD; (b) Penyelenggaraan administrasi keuangan DPRD; (c) Penyelenggaraan rapat-rapat DPRD; dan

(d) Penyediaan dan pengoordinasian tenaga ahli yang diperlukan oleh DPRD.

Sekretariat DPRD dipimpin oleh Sekretaris Dewan, yang secara teknis operasional berada di bawah dan bertanggung jawab kepada pimpinan DPRD dan secara administratif bertanggung jawab kepada bupati/walikota melalui Sekretaris Daerah.

(3) Inspektorat

Inspektorat merupakan unsur pengawas penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah kabupaten/kota, pelaksanaan pembinaan atas


(27)

penyelenggaraan pemerintahan desa dan pelaksanaan urusan pemerintahan desa. Inspektorat dalam melaksanakan tugasnya menyelenggarakan fungsi: (a) Perencanaan program pengawasan;

(b) Perumusan kebijakan dan memfasilitasi pengawasan; dan

(c) Pemeriksaan, pengusutan, pengujian dan penilaian tugas pengawasan. Inspektorat dipimpin oleh inspektur, yang dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab langsung kepada bupati/walikota dan secara teknis administratif mendapat pembinaan dari sekretaris daerah.

(4) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

Badan perencanaan pembangunan daerah merupakan unsur perencana penyelenggaraan pemerintahan daerah yang mempunyai tugas melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah di bidang perencanaan pembangunan daerah. Badan perencanaan pembangunan daerah dalam melaksanakan tugas menyelenggarakan fungsi:

(a) Perumusan kebijakan teknis perencanaan;

(b) Pengoordinasian penyusunan perencanaan pembangunan;

(c) Pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang perencanaan pembangunan daerah; dan

(d) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh bupati/walikota sesuai dengan tugas dan fungsinya.

Badan perencanaan pembangunan daerah dipimpin oleh kepala badan yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada bupati/walikota melalui sekretaris daerah.


(28)

(5) Dinas Daerah

Dinas daerah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah yang mempunyai tugas melaksanakan urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.Dinas daerah dalam melaksanakan tugasnya menyelenggarakan fungsi:

(a) Perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya;

(b) Penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum sesuai dengan lingkup tugasnya;

(c) Pembinaan dan pelaksanaan tugas sesuai dengan lingkup tugasnya; dan (d) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh bupati/walikota sesuai dengan

tugas dan fungsinya.

Dinas daerah dipimpin oleh kepala dinas yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada bupati/walikota melalui sekretaris daerah. Pada dinas daerah dapat dibentuk unit pelaksana teknis dinas untuk melaksanakan sebagian kegiatan teknis operasional dan/atau kegiatan teknis penunjang yang mempunyai wilayah kerja satu atau beberapa kecamatan.

(6) Lembaga Teknis Daerah

Lembaga teknis daerah merupakan unsur pendukung tugas kepala daerah yang mempunyai tugas melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik. Lembaga teknis daerah dalam melaksanakan tugasnya menyelenggarakan fungsi:

(a) Perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya;

(b) Pemberian dukungan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan lingkup tugasnya;


(29)

(c) Pembinaan dan pelaksanaan tugas sesuai dengan lingkup tugasnya; dan (d) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh bupati/walikota sesuai dengan

tugas dan fungsinya.

Lembaga teknis daerah dapat berbentuk badan, kantor, dan rumah sakit. Lembaga teknis daerah yang berbentuk badan dipimpin oleh kepala badan, yang berbentuk kantor dipimpin oleh kepala kantor, dan yang berbentuk rumah sakit dipimpin oleh direktur. Kepala dan direktur tersebut berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada bupati/walikota melalui sekretaris daerah. Pada lembaga teknis daerah yang berbentuk badan dapat dibentuk unit pelaksana teknis tertentu untuk melaksanakan kegiatan teknis operasional dan/atau kegiatan teknis penunjang yang mempunyai wilayah kerja satu atau beberapa kecamatan.

4. Perumpunan Urusan Pemerintahan

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah, penyusunan organisasi perangkat daerah berdasarkan pertimbangan adanya urusan pemerintahan yang perlu ditangani. Penanganan urusan tidak harus dibentuk ke dalam organisasi tersendiri.

Dalam hal beberapa urusan yang ditangani oleh satu perangkat daerah, maka penggabungannya sesuai dengan perumpunan urusan pemerintahan yang dikelompokkan dalam bentuk dinas dan lembaga teknis daerah. Perumpunan urusan yang diwadahi dalam bentuk dinas terdiri dari:

(1) Bidang pendidikan, pemuda dan olahraga; (2) Bidang kesehatan;

(3) Bidang sosial, tenaga kerja dan transmigrasi; (4) Bidang perhubungan, komunikasi dan informatika;


(30)

(5) Bidang kependudukan dan catatan sipil; (6) Bidang kebudayaan dan pariwisata;

(7) Bidang pekerjaan umum yang meliputi bina marga, pengairan, cipta karya dan tata ruang;

(8) Bidang perekonomian yang meliputi koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah, industri dan perdagangan;

(9) Bidang pelayanan pertanahan;

(10)Bidang pertanian yang meliputi tanaman pangan, peternakan, perikanan darat, kelautan dan perikanan, perkebunan dan kehutanan;

(11)Bidang pertambangan dan energi; dan bidang pendapatan, pengelolaan keuangan dan aset.

Sedangkan Perumpunan urusan yang diwadahi dalam bentuk badan, kantor, inspektorat, dan rumah sakit, terdiri dari:

(1) Bidang perencanaan pembangunan dan statistik; (2) Bidang penelitian dan pengembangan;

(3) Bidang kesatuan bangsa, politik dan perlindungan masyarakat; (4) Bidang lingkungan hidup;

(5) Bidang ketahanan pangan; (6) Bidang penanaman modal;

(7) Bidang perpustakaan, arsip, dan dokumentasi;

(8) Bidang pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan desa; (9) Bidang pemberdayaan perempuan dan keluarga berencana; (10) Bidang kepegawaian, pendidikan dan pelatihan;

(11) Bdang pengawasan;

(12) Bidang pelayanan kesehatan.

Perangkat daerah yang dibentuk untuk melaksanakan urusan pilihan, berdasarkan pertimbangan adanya urusan yang secara nyata ada sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah. Pelaksanaan tugas dan fungsi staf, pelayanan administratif serta urusan pemerintahan umum lainnya yang tidak termasuk dalam tugas dan fungsi dinas maupun lembaga teknis daerah dilaksanakan oleh sekretariat daerah.

5. Pembinaan dan Pengendalian Organisasi Perangkat Daerah

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah, Pembinaan dan pengendalian organisasi


(31)

perangkat daerah provinsi dilakukan oleh Pemerintah, sedangkan Pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah kabupaten/kota dilakukan oleh gubernur.

Pembinaan dan pengendalian organisasi dilaksanakan dengan menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan simplifikasi dalam penataan organisasi perangkat daerah. Pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah dilakukan melalui fasilitas terhadap rancangan peraturan daerah tentang organisasi perangkat daerah yang telah dibahas bersama antara pemerintah daerah dan DPRD.

Rancangan peraturan daerah disampaikan kepada gubernur bagi organisasi perangkat daerah kabupaten/kota dan kepada Menteri bagi organisasi perangkat daerah provinsi. Fasilitasi yang dilakukan oleh Menteri dan gubernur dilakukan paling lama 15 hari kerja setelah diterima rancangan peraturan daerah. Apabila dalam tenggang waktu tersebnt tidak memberikan fasilitasi, maka rancangan peraturan daerah dapat ditetapkan menjadi peraturan daerah. Peraturan daerah provinsi tentang organisasi perangkat daerah harus disampaikan kepada Menteri paling lama 15 hari kerja setelah ditetapkan. Peraturan daerah kabupaten/kota tentang organisasi perangkat daerah harus disampaikan kepada gubernur paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah ditetapkan, dengan tembusan Menteri. Peraturan daerah tentang organisasi perangkat daerah dan peraturan pelaksanaannya yang bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dapat dibatalkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


(32)

Menteri melakukan pemantauan dan evaluasi penataan organisasi perangkat daerah. Dalam melakukan pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara.

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah. Urusan pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama antartingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren.

Menurut Pasal 10 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan yang menjadi urusan pemerintah pusat. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya daerah, pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembagian. Menurut Pasal 10 Ayat (3), urusan pemerintah yang menjadi


(33)

wewenang Pemerintah pusat adalah politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisia, moneter dan fiskal serta agama.

Menurut Pasal 13 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, urusan pemerintah yang menjadi wewenang Pemerintah Provinsi adalah sebagai berikut: 1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;

2. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;

3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; 4. Penyediaan sarana dan prasarana umum;

5. Penanganan bidang kesehatan;

6. Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; 7. Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;

8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;

9. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota;

10.Pengendalian lingkungan hidup;

11.Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; 12.Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;

13.Pelayanan administrasi umum pemerintahan;

14.Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; 15.Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh

kabupaten/kota ; dan

16.Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya menurut Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, urusan pemerintah yang menjadi wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut:

1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;

2. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;

3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; 4. Penyediaan sarana dan prasarana umum;

5. Penanganan bidang kesehatan; 6. Penyelenggaraan pendidikan; 7. Penanggulangan masalah sosial; 8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan;

9. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; 10.Pengendalian lingkungan hidup;

11.Pelayanan pertanahan;

12.Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; 13.Pelayanan administrasi umum pemerintahan;


(34)

14.Pelayanan administrasi penanaman modal; 15.Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan

16.Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

Urusan pemerintahan yang dapat dikelola secara bersama antartingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren adalah urusan-urusan pemerintahan selain urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi urusan Pemerintah. Dengan demikian dalam setiap bidang urusan pemerintahan yang bersifat konkuren senantiasa terdapat bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Untuk mewujudkan pembagian urusan pemerintahan yang bersifat konkuren tersebut secara proporsional antara Pemerintah, pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota maka ditetapkan kriteria pembagian urusan pemerintahan yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi.

Penggunaan ketiga kriteria tersebut diterapkan secara kumulatif sebagai satu kesatuan dengan mempertimbangkan keserasian dan keadilan hubungan antartingkatan dan susunan pemerintahan. Kriteria eksternalitas didasarkan atas pemikiran bahwa tingkat pemerintahan yang berwenang atas suatu urusan pemerintahan ditentukan oleh jangkauan dampak yang diakibatkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Untuk mencegah terjadinya tumpang tindih pengakuan atau klaim atas dampak tersebut, maka ditentukan kriteria akuntabilitas yaitu tingkat pemerintahan yang paling dekat dengan dampak yang timbul adalah yang paling berwenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan tersebut. Hal ini adalah sesuai dengan prinsip demokrasi yaitu mendorong akuntabilitas Pemerintah kepada rakyat.


(35)

Kriteria efisiensi didasarkan pada pemikiran bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan sedapat mungkin mencapai skala ekonomis. Hal ini dimaksudkan agar seluruh tingkat pemerintahan wajib mengedepankan pencapaian efisiensi dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya yang sangat diperlukan dalam menghadapi persaingan di era global. Dengan penerapan ketiga kriteria tersebut, semangat demokrasi yang diterapkan melalui kriteria eksternalitas dan akuntabilitas, serta semangat ekonomis yang diwujudkan melalui kriteria efisiensi dapat disinergikan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan demokratisasi sebagai esensi dasar dari kebijakan desentralisasi.

C. Tinjauan Tentang Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah maka diketahui bahwa Dinas daerah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah yang mempunyai tugas melaksanakan urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.Dinas daerah dalam melaksanakan tugasnya menyelenggarakan fungsi:

(1) Perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya;

(2) Penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum sesuai dengan lingkup tugasnya;

(3) Pembinaan dan pelaksanaan tugas sesuai dengan lingkup tugasnya;

(4) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh bupati/walikota sesuai dengan tugas dan fungsinya.

Dinas daerah dipimpin oleh kepala dinas yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada bupati/walikota melalui sekretaris daerah. Pada dinas daerah dapat dibentuk unit pelaksana teknis dinas untuk melaksanakan sebagian


(36)

kegiatan teknis operasional dan/atau kegiatan teknis penunjang yang mempunyai wilayah kerja satu atau beberapa kecamatan.

1. Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung

Menurut Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kota Bandar Lampung, tugas pokok Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung mempunyai adalah melaksanakan urusan Pemerintahan Daerah di bidang Perhubungan Darat dan Perhubungan Laut berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Dalam melaksanakan tugas pokok Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung mempunyai fungsi sebagai berikut:

a) Perumusan Kebijakan teknis di bidang Perhubungan Darat, Perhubungan Laut b) Penyelenggaraan urusan pemerintah dan layanan umum sesuai dengan lingkup

tugasnya

c) Pembinaan dan pelaksanaan tugas sesuai dengan lingkup tugasnya dan

d) Pelaksanaan tugas lain yang diperintahkan oleh Walikota sesuai dengan tugas dan fungsinya.

2. Tujuan Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung

Menurut Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kota Bandar Lampung, tujuan Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung adalah sebagai berikut:

a) Meningkatkan pengetahuan, kemampuan, dan perilaku Sumber Daya Manusia (SDM) dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung melalui Pendidikan dan Pelatihan Teknis Sub Sektor Perhubungan maupun diklat dan pelatihan lainnya.


(37)

b) Terpenuhinya kebutuhan sarana dan prasarana transportasi yang mampu menunjang keselamatan dan kenyamanan serta kelancaran transportasi.

c) Terkendalinya pelaksanaan pelayanan, pengaturan dan pengawasan serta pengendalian operasional lalu lintas dan angkutan jalan (orang dan barang). d) Meningkatkan Koordinasi dengan Pemerintah Pusat maupun Daerah terkait

dengan Program Perencanaan Pusat dan Daerah dalam sektor transportasi. e) Menggali dan mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah yang telah ada

maupun potensi Pendapatan yang belum dapat dimaksimalkan dari Sektor Transportasi.

3. Kebijakan Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung

Kebijakan adalah arah/ tindakan yang diambil oleh Pemerintah Daerah untuk mencapai tujuan. Kebijakan merupakan ketentuan ketentuan yang telah disepakati pihak-pihak terkait dan ditetapkan oleh yang berkewenangan untuk dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap usaha dan kegiatan aparatur pemerintah ataupun masyarakat agar tercapai kelancaran dan keterpaduan dalam upaya mencapai sasaran, tujuan, misi, dan visi Dinas. Kebijakan Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung sebagai berikut:

1) Kebijakan Internal

a. Pelaksanaan kinerja Dinas Perhubungan perlu ditunjang dengan manajemen administrasi perkantoran yang efektif dan efisien.

b. Perlu adanya upaya peningkatan pengetahuan, kemampuan, kinerja, dan perilaku Sumber Daya Manusia (SDM) dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung.


(38)

c. Peningkatan kondisi prasarana jalan merupakan upaya mempertahankan tingkat pelayanan (Level of Service), kenyamanan dan keamanan pemakaian jalan.

d. Untuk keselamatan, keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas serta kemudahan bagi pemakai jalan, jalan wajib dilengkapi fasilitas penunjang prasarana lalu lintas.

e. Untuk menunjang kelancaran mobilitas orang dan barang, maka perlu di bangun prasarana terminal yang representatif.

f. Untuk menunjang ketertiban dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan, perlu diadakan fasilitas parkir umum, dengan diadakannya pengendalian dan pengawasan pelaksanaan parkir tersebut.

g. Melaksanakan Pengujian Kendaraan Bermotor terhadap kendaraan wajib uji, sesuai ambang batas standar laik jalan yang sudah ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.

h. Guna mendukung kelancaran dan ketetapan pelayanan angkutan, perlu didukung dengan pengendalian dan pengawasan pelaksanaan angkutan. i. Perlu dilibatkannya Personil Dinas Perhubungan dalam membantu

pengendalian arus lalu lintas, guna menunjang kelancaran dan ketertiban berlalu lintas.

j. Untuk meningkatkan ketertiban dan keselamatan lalu lintas dapat dilakukan pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan.

2) Kebijakan Eksternal

a. Peningkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya transportasi.


(39)

b. Pembinanaan terhadap pemilik/ pengusaha angkutan yang berdomisili didalam Kota Bandar Lampung

c. Peningkatan pelayanan terhadap masyarakat pengguna jasa transportasi. d. Pembangunan lanjutan terminal type A Rajabasa.

(Sumber: Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung Tahun 2012)

4. Strategi Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung

Strategi merupakan cara dalam mencapai sasaran-sasaran strategis secara nyata yang menuntun pencapaian tujuan dan visi/misi organisasi. Berdasarkan visi, misi, tujuan dan sasaran strategis sebagaimana telah dirumuskan serta dengan memperhitungkan faktor kekuatan/ kelemahan dan peluang/ ancaman yang ada maka selanjutnya dirumuskan strategi dan kebijakan pembangunan transportasi di Kota Bandar Lampung adalah sebagai berikut:

a) Meningkatkan kualitas dan keprofesionalan aparatur Dinas Perhubungan melalui peningkatan kualifikasi pendidikan dan pelatihan Sub Sektor Perhubungan maupun pendidikan dan pelatihan lainnya.

b) Memfasilitasi kelancaran angkutan penumpang dan barang melalui penyediaan prasarana transportasi yang aman, lancar, tertib, teratur, nyaman, efisien dan terjangkau.

c) Meningkatkan koordinasi dan kerjasama antara Pemerintah Pusat (Kementrian Perhubungan), maupun Daerah guna menciptakan sinergitas cara kelancaran dalam pelaksanaan tugas.


(40)

d) Meningkatkan produktifitas ekonomi melalui penyediaan dan transportasi yang menunjang dan dapat menggerakkan interaksi ekonorni masyarakat secara terpadu, tertib, lancar dan efisien.

e) Menunjang mobilitas masyarakat melalui peningkatan dan pemerataan penyedian sarana perhubungan untuk segenap lapisan masyarakat.

f) Memelihara dan mempertahankan kwalitas lingkungan melalui penyediaan sarana dan prasarana transportasi.

g) Memantapkan ketersediaan dan sumber pembiayaan kebutuhan penyediaan jasa dan pembangunan prasarana transportasi.

h) Menggali potensi sumber Pendapatan Asli Daerah sektor transportasi. (Sumber: Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung Tahun 2012)

D. Tinjauan Tentang Pemungutan Retribusi Parkir

1. Konsepsi Pemungutan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002: 447), pemungutan berasal dari kata „pungut’ dan mendapatkan imbuhan me – kan, yang berarti suatu kegiatan memungut atau mengambil sesuatu.

Menurut Pangestu (2005: 54):

Pemungutan adalah kegiatan atau aktivitas mengambil sejumlah uang yang dilakukan oleh seseorang atau bahan usaha dari orang lain sebagai pembayaran atas imbalan atas penggunaan fasilitas atau jasa yang diberikan terhadapnya. Pembayaran tersebut bersifat wajib karena si pembayar telah memanfaatkan fasilitas atau jasa dari orang lain.


(41)

Menurut Lesmono (2002: 13):

Pemungutan adalah kegiatan mengambil sejumlah uang sebagai sewa atau pembayaran atas penggunaan fasilitas atau ruang tertentu yang digunakan oleh seseorang untuk kepentingannya.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka yang dimaksud dengan pemungutan dalam penelitian ini adalah kegiatan atau aktivitas mengambil sejumlah uang dari orang lain sebagai pembayaran atas sewa atas penggunaan fasilitas atau pemanfaatan ruang tertentu.

2. Konsepsi Retribusi Parkir

Menurut Pasal 1 Ayat (64) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang dimaksud dengan Retribusi daerah adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.

Maknanya adalah retribusi merupakan pembayaran atas penggunaan barang atau jasa yang disediakan untuk umum oleh pemerintah, maka penarikannya dilakukan umumnya di tempat pemakaian. Retribusi dapat juga ditagihkan kepada badan atau orang pribadi atas dasar pembayaran dengan penggunaan terbatas (dijatahkan) atau pembayaran dengan periode tertentu yang telah disepakati. Permasalahan dan kebijaksanaan pelayanan oleh pemerintah daerah dikatakan pula bahwa persaingan retribusi antara pemerintah daerah tidak akan menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan tarif, yang penting adalah bila ada pemerintah daerah yang berdekatan mengadakan atau menyediakan barang atau


(42)

jasa yang sama, maka saling tukar informasi menjadi penting untuk mengurangi kerugian.

Menurut Kaho (2001: 32), ciri-ciri retribusi daerah adalah sebagai berikut: a) Retribusi dipungut oleh pemerintah daerah;

b) Dalam pungutan retribusi terdapat prestasi yang diberikan daerah yang langsung dapat ditunjuk;

c) Retribusi dikenakan kepada siapa saja yang memanfaatkannya atau dengan jasa yang disiapkan daerah.

Menurut Pasal 125 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah:

(1) Subjek Retribusi Jasa Umum adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan jasa umum yang bersangkutan.

(2) Wajib Retribusi Jasa Umum adalah orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan Retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi, termasuk pemungut atau pemotong Retribusi Jasa Umum.

Pasal 126 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyebutkan bahwa Objek Retribusi Jasa Usaha adalah pelayanan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial yang meliputi:

(a) Pelayanan dengan menggunakan/memanfaatkan kekayaan Daerah yang belum dimanfaatkan secara optimal; dan/atau


(43)

(b) Pelayanan oleh Pemerintah Daerah sepanjang belum disediakan secara memadai oleh pihak swasta.

Secara terperinci mengenai jenis-jenis Retribusi Jasa Usaha disebutkan pada Pasal 127 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, yang meliputi :

a) Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah; b) Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan; c) Retribusi Tempat Pelelangan;

d) Retribusi Terminal;

e) Retribusi Tempat Khusus Parkir;

f) Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa; g) Retribusi Rumah Potong Hewan;

h) Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan; i) Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga;

Berdasarkan ketentuan pasal di atas maka diketahui bahwa retribusi parkir termasuk salah satu objek retribusi yang dapat dioptimalisasikan oleh Pemerintah Daerah.

Menurut Pangestu (2005: 54):

Fasilitas parkir adalah lokasi yang ditentukan sebagai tempat pemberhentian kendaraan yang tidak bersifat sementara untuk melakukan kegiatan pada kurun waktu. Pusat kota sebagai kawasan penarik perjalanan, telah menimbulkan banyak permasalahan di bidang lalu lintas, antara lain tingkat penggunaan fasilitas parkir yang tidak merata dan keterbatasan penyediaan lokasi parkir di pusat kota. Fasilitas parkir sebagai salah satu elemen penting dalam sistem transportasi perkotaan saat ini, perlu pengaturan dalam penggunaannya.


(44)

Fasilitas parkir yang efisien dapat menciptakan lalu lintas di kawasan tersebut menjadi lebih tertib dan lancar. Pemilihan lokasi parkir terkait dengan tingkat kepuasan yang didapatkan oleh para pengguna parkir dalam memilih lokasi parkir, antara lain disebabkan oleh tarif, jarak berjalan menuju tempat tujuan, kenyamanan dan keamanan, dan kemudahan mendapat lokasi parkir.

Menurut Lesmono (2002: 13):

Parkir adalah tempat pemberhentian kendaraan dalam jangka waktu yang lama atau sebentar tergantung kendaraan dan kebutuhan. Parkir sebagai tempat menempatkan/memangkal dengan memberhentikan kendaraan angkutan/barang (bermotor maupun tidak bermotor) pada suatu tempat dalam jangka waktu tertentu

Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat dinyatakan bahwa parkir adalah tempat memberhentikan dan menyimpan kendaraan, baik mobil atau sepeda motor untuk sementara waktu pada suatu ruang tertentu. Ruang tersebut dapat berupa tepi jalan, garasi atau pelataran yang disediakan untuk menampung kendaraan tersebut.

3. Konsepsi Pemungutan Retribusi Parkir

Menurut Lesmono (2002: 15):

Pemungutan retribusi parkir adalah kegiatan mengambil sejumlah uang yang dilakukan oleh juru parkir dari masyaraat yang menggunakan fasilita parkir. Pemungutan retribusi parkir dapat dilaksanakan oleh pribadi atau badan baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha termasuk penyediaan penitipan kendaraan bermotor dan garansi kendaraan bermotor yang menurut bayaran.


(45)

Besaran pemungutan retribusi parkir pada tiap-tiap daerah disesuaikan dengan Peraturan Daerah sebagai landasan hukum operasional dan teknis dalam pelaksanaan dan pemungutan retribusi parkir di daerah kabupaten atau kota yang bersangkutan

Menurut Pangestu (2005: 54):

Pemungutan retribusi parkir adalah pengambilan pembayaran berupa sejumlah uang yang harus dibayarkan pengguna jasa parkir sebagai sebagai imbalan atas penyerahan barang atau jasa pembayaran kepada penyelenggaraan tempat parkir. Tempat parkir merupakan tempat yang disediakan oleh orang pribadi atau badan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor dan generasi kendaraan bermotor yang menurut bayaran.

Subjek retribusi parkir adalah orang pribadi atau badan yang melaksanakan pembayaran atas tempat parkir. Retribusi parkir dibayar oleh pengusaha yang menyediakan tempat parkir dengan pungut bayaran. Pengusaha tersebut secara otomatis ditetapkan sebagai wajib retribusi yang harus membayar retribusi parkir yang terutang. Konsumen yang menggunakan tempat parkir merupakan subjek retribusi yang membayar (menanggung) retribusi sedangkan pengusaha yang menyediakan tempat parkir dengan dipungut bayaran bertindak sebagai wajib retribusi yang diberi kewenangan untuk memungut retribusi dari konsumen.

Retribusi parkir di tepi jalan umum dipungut oleh Juru Parkir yang ditetapkan oleh Dinas Perhubungan dengan menggunakan karcis. Dalam hal pemungutan retribusi parkir juru parkir tidak menggunakan karcis, wajib retribusi berhak untuk meminta karcis kepada juru parkir. Seluruh hasil pemungutan retribusi parkir disetorkan ke Kas Daerah melalui Bendahara Penerimaan Dinas Perhubungan paling lambat 1 x 24 jam.


(46)

Menurut Pasal 1 Ayat (64) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang dimaksud dengan Retribusi daerah adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.

Maknanya adalah retribusi merupakan pembayaran atas penggunaan barang atau jasa yang disediakan untuk umum oleh pemerintah, maka penarikannya dilakukan umumnya di tempat pemakaian. Retribusi dapat juga ditagihkan kepada badan atau orang pribadi atas dasar pembayaran dengan penggunaan terbatas (dijatahkan) atau pembayaran dengan periode tertentu yang telah disepakati. Permasalahan dan kebijaksanaan pelayanan oleh pemerintah daerah dikatakan pula bahwa persaingan retribusi antara pemerintah daerah tidak akan menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan tarif, yang penting adalah bila ada pemerintah daerah yang berdekatan mengadakan atau menyediakan barang atau jasa yang sama, maka saling tukar informasi menjadi penting untuk mengurangi kerugian.

Berdasarkan uraian di atas maka yang menjadi ciri-ciri retribusi daerah adalah sebagai berikut:

(a) Retribusi dipungut oleh pemerintah daerah;

(b) Dalam pungutan retribusi terdapat prestasi yang diberikan daerah yang langsung dapat ditunjuk;

(c) Retribusi dikenakan kepada siapa saja yang memanfaatkannya atau dengan jasa yang disiapkan daerah.

Menurut Pasal 125 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah:


(47)

(a) Subjek Retribusi Jasa Umum adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan jasa umum yang bersangkutan.

(b) Wajib Retribusi Jasa Umum adalah orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan Retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi, termasuk pemungut atau pemotong Retribusi Jasa Umum.

Pasal 126 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyebutkan bahwa Objek Retribusi Jasa Usaha adalah pelayanan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial yang meliputi:

(a) Pelayanan dengan menggunakan/memanfaatkan kekayaan Daerah yang belum dimanfaatkan secara optimal; dan/atau

(b) Pelayanan oleh Pemerintah Daerah sepanjang belum disediakan secara memadai oleh pihak swasta.

Secara terperinci mengenai jenis-jenis Retribusi Jasa Usaha disebutkan pada Pasal 127 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, yang meliputi:

a) Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah; b) Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan; c) Retribusi Tempat Pelelangan;

d) Retribusi Terminal;

e) Retribusi Tempat Khusus Parkir;

f) Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa; g) Retribusi Rumah Potong Hewan;

h) Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan; i) Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga;

Pendapatan Asli Daerah (PAD) berperan sebagai sumber pembiayaan pembangunan daerah masih rendah. Kendatipun perolehan PAD setiap tahunnya relatif meningkat namun masih kurang mampu menggenjot laju pertumbuhan ekonomi daerah. Untuk beberapa daerah yang relatif minus dengan kecilnya peran PAD dalam APBD, maka upayanya adalah menarik investasi swasta domestik ke


(48)

daerah minus. Pendekatan ini tidaklah mudah dilakukan sebab swasta justru lebih berorientasi kepada daerah yang relatif menguntungkan dari segi ekonomi.

E. Kerangka Pikir

Upaya untuk menggali sumber-sumber PAD oleh Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan mengoptimalisasikan perangkat Daerah. Menurut Pertimbangan Huruf (a) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah, dinyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah, kepala daerah perlu dibantu oleh perangkat daerah yang dapat menyelenggarakan seluruh urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah. Perangkat daerah kabupaten/kota adalah unsur pembantu kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdiri dari Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan, dan Kelurahan.

Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kota Bandar Lampung mempunyai tugas pokok melaksanakan urusan Pemerintahan Daerah di bidang Perhubungan Darat dan Perhubungan Laut berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Sehubungan dengan hal ini salah satu sumber retribusi di Kota Bandar Lampung adalah retribusi parkir, oleh karena itu Dinas Perhubungan dituntut untuk mengupayakan strategi dalam pemungutran retribusi parkir.


(49)

Strategi yang dimaksud dalam penelitian ini mengacu pada pendapat Handoko (2004: 56-57), bahwa beberapa indikator yang dapat diterapkan dalam pelaksanaan suatu strategi oleh organisasi adalah menyusun perencanaan, penerapan perangkat kerja yang memadai, pengaturan mekanisme pelaksanaan pekerjaan secara jelas dan penerapan sistem evaluasi.

Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui Strategi Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung dalam Pemungutan Retribusi Parkir, sebagaimana dapat dilihat pada bagan kerangka pikir berikut ini:

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian Strategi Dinas Perhubungan

Kota Bandar Lampung

Penyusunan Perencanaan

Penerapan Perangkat

Kerja

Pengaturan Mekanisme

Kerja

Penerapan Sistem Evaluasi

Pemungutan Retribusi Parkir


(50)

III. METODE PENELITIAN

A.Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Menurut Nawawi (2001: 116), penelitian deskriptif adalah prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang nampak atau sebagaimana adanya

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain. Secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2005:6).

Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dan kawasannya dan dalam peristilahannya.`


(51)

B. Fokus Penelitian

Fokus penelitian menyatakan pokok persoalan apa yang menjadi pusat perhatian dalam penelitian. penelitian kualitatif. Hal ini karena suatu penelitian kualitatif tidak dimulai dari sesuatu yang kosong atau tanpa adanya masalah, baik masalah-maslah yang bersumber dari pengalaman peneliti atau melalui kepustakaan ilmiah (Moleong, 2005 : 62).

Pada prinsipnya fokus penelitian dimaksudkan untuk dapat membantu penulis agar dapat melakukan penelitiannya sehingga hanya akan ada beberapa hal atau beberapan aspek yang dapat diarahkan penulis sesuai dengan tema yang telah ditentukan sebelumnya. Masalah dalam penelitian ini difokuskan pada Strategi Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung dalam Pemungutan Retribusi Parkir, yaitu sebagai berikut:

1. Menyusun perencanaan

Dalam tahap ini Dinas Perhubungan perlu menyusun perencanaan dan menentukan cakupan pemungutan retribusi parkir di Kota Bandar Lampung 2. Penerapan perangkat kerja yang memadai

Dalam tahap ini Dinas Perhubungan menerapkan sarana atau perangkat pekerjaan yang mempermudah pelaksanaan pemungutan retribusi parkir secara efektif dan efesien

3. Pengaturan mekanisme pelaksanaan pekerjaan secara jelas

Dalam tahap ini Dinas Perhubungan menerapkan pengaturan mekanisme pemungutan retribusi parkir secara jelas


(1)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Drs. Denden Kurnia Drajat, M.Si ………

Penguji : Drs. Yana Ekana, P.S., M.Si ………

2. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Drs. Hi. Agus Hadiawan, M.Si. NIP. 19580109 198603 1 002


(2)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Bandar Lampung, pada tanggal 15 Januari 1985,merupakan anak pertama dari dua bersaudara, buah hati pasangan Bapak Chandra Wijaya dengan Ibu Rohmi Hartini.

Pendidikan penulis berawal dari Sekolah Taman Kanak-kanak Pembina Bandar Lampung. Sekolah Dasar (SD) Negeri 03 Bandar Lampung selesai pada tahun 1997. Sekolah Madrasah Tsanawiyah (MTs) Negeri 01Bandar Lampung selesai pada tahun 2000 dan Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 02 Bandar Lampung selesai pada tahun 2003.

Pada tahun 2003 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Imu Politik, Program Studi Ilmu Pemerintahan Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung melalui jalur Non SPMB.


(3)

SAN WACANA

Assalaamu’alaikum Wr.Wb.

Alhamdulillaahirobbil’alamin, Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-NYA yang telah memberikan penulis kesabaran dan kekuatan sehingga terselesaikannya skripsi yang berjudul: Strategi Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung dalam Pemungutan Rerebusi Parkir, sebagai salah satau syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Pemerintahan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih banyak kekurangannya dan juga masih jauh dari kesempurnaan.Didalam penyusunan skripsi ini penulis merasakan bahwa hambatan dan kesulitan selalu ada akibat keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Namun berkat adanya bantuan dan dorongan dari berbagai pihak akhirnya penulisan penelitian ini dapat terselesaikan.Pada kesempatan ini dengan segala keikhlasan dan kerendahan hati yang terdalam penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Drs. Hi. Agus Hadiawan, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

2. Bapak Drs. Hi. Aman Toto Dwijono, M.H, selaku Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung sekaligus Dosen Pembimbing Akademik.


(4)

3. Bapak Drs. Denden Kurnia Drajat, M.Si, selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung sekaligus sebagai Pembimbing Skripsi yang telah memberikan bimbingan, arahan dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Drs. Yana Ekana P.S., M.Si. selaku Penguji Skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk mendiskusikan berbagai hal dalam penulisan skripsi, mengkoreksi dan membimbing dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan dan memberikan ilmunya kepada penulis selama duduk di bangku kuliah.

6. Seluruh Staf dan Karyawan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung yang banyak memberikan bantuan dan informasi kepada penulis selama masa perkuliahan.

7. Kepala Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung) beserta segenap jajarannya yang telah memberikan izin penelitian dan bantuan kepada penulis selama melaksanakan penelitian.

8. Orang Tuaku yang selalu mengingatkanku untuk segera mendapatkan gelar sarjana dan selalu membimbingku untuk taat beribadah dan telah sabar menanti anaknya menjadi seorang sarjana, terimakasih atas segala motivasinya dan do’anya agar cepat selesai.

9. Adikku satu-satunya: AnggaSanjaya, dan adik-adik Sepupuku: Sherly, Hesti, Ica dan lain-lain yang senantiasa memberikan dukungan dan menanti keberhasilanku. 10.Keluargaku: Kakek dan Nenekku yang telah tiada, Omaku Tercinta, WakBus,


(5)

Makcik Lis, Papi, Paman, Ombet, Makwo dan keluarga yang lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu, tak kenal henti selalu mempertanyakanku “kapan kamu selesainya..?” (Maafin kalo selama ini Rendra\Een selalu ngerepotin kalian selama ini).

11.Sahabat-sahabatku: Asran, Rudi, Putra, Khairul, Faisal, Nando, Agung Wibowo, Walid Eeng, Rio, Aan, Kyai Kiki, Arif, Wiwin , Hendi, Dedi, Doni, Nanang, MasYeni, Dori, Imam, Jhon, dan semua sahabat terbaikku.

12.Sahabat-sahabat seperjungan dijurusan Ilmu Pemerintahan: Putra Fani S.IP, Dedi S.IP., Dodi S.IP., Fajrul S.IP., Khairul A, S.IP.,Wiedya S.IP., dan seluruh kawan-kawan yang tidak dapat disebutkan satu persatu (makasih bro atas motivasinya). 13.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu

hingga terselesaikannya skripsi ini. 14.Almamater tercinta

Jika ada kesempurnaan maka itu berasal dari Allah SWT dan partisipasi dari pemikiran orang-orang tersebut diatas. Dan jika ada kekurangan maka itu berasal dari dalam diri penulis, penulis mohon maaf kepada semua insan atas kelalaian yang pernah dilakukan oleh penulis. Akhirnya semoga penelitian ini dapat bermanfaat, Amiin.

Wassaalamu’alaikum Wr.Wb.

Bandar Lampung, November 2012 Penulis


(6)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa

1. Karya tulis saya, skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik (sarjana), baik di Universitas Lampung maupun di Perguruan Tinggi lain.

2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing dan Penguji

3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka

4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari ada penyimpangan dan ketidak benaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di Universitas Lampung.

Bandar Lampung, November 2012 Yang Membuat Pernyataan

Ahmad Rendra Jaya Putra NPM. 0346021004