PENERAPAN ASAS HAKIM AKTIF PADA TAHAP PEMBUKTIAN DI PENGADILAN NEGERI KELAS IA TANJUNG KARANG

(1)

PENERAPAN ASAS HAKIM AKTIF PADA TAHAP PEMBUKTIAN DI PENGADILAN NEGERI KELAS IA TANJUNG KARANG

Oleh Faradhila Putri

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan landasan dasar dari pelaksanaan pemeriksaan terhadap suatu perkara pidana guna mencari dan menemukan suatu kebenaran materiil. KUHAP menganut sistem pembuktian negatif yang disebutkan dalam Pasal 183 KUHAP “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya”. KUHAP tidak secara jelas dan tegas menguraikan definisi hakim aktif dalam tahap pembuktian, namun Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa hakim sebagai penegak hukum wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, berarti adanya perilaku aktif hakim yang seharusnya diterapkan dalam praktiknya.

Permasalahan yang diangkat adalah bagaimanakah penerapan asas hakim aktif pada tahap pembuktian di Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang dan apa saja yang menjadi faktor penghambat bagi hakim dalam menerapkan asas hakim aktif di persidangan.

Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data yang diperoleh adalah data primer yang diperoleh dari penelitian di lapangan yang berupa pendapat-pendapat penegak hukum yang menjadi responden dan data sekunder yang diperoleh dengan melakukan studi kepustakaan, setelah data-data tersebut diperoleh, dilakukan analisis secara kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan, asas hakim aktif dalam tahap pembuktian di Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang berkaitan dengan kasus pencurian atas nama terdakwa Deni Saputra dilakukan oleh hakim melalui dua hal penting yaitu seorang hakim diharuskan memiliki keyakinan dalam dirinya terhadap terdakwa yang berlandaskan pada Pasal 183 KUHAP dan teori pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis


(2)

Faradhila Putri (Conviction Raissunne) yang menghasilkan asas keyakinan hakim, yang kedua seorang hakim tidak boleh hanya percaya semata kepada argumen dari penuntut umum terhadap kesalahan terdakwa. Penerapan asas hakim aktif di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang telah mampu diterapkan walaupun belum berjalan secara maksimal karena penegak hukum juga belum sepenuhnya mengikuti ketentuan undang-undang dalam menjalani tahapan pembuktian dan terkadang hanya berlandaskan keyakinannya dalam mencermati alat-alat bukti yang diajukan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Tidak selamanya menjalani proses peradilan berjalan lancar, bagi hakim yang bersikap aktif ditemui banyak kesulitan untuk membuktikan kesalahan terdakwa, faktor penghambat yang dihadapi hakim untuk menerapkan asas hakim aktif di persidangan antara lain hakim sebagai penegak hukum belum sepenuhnya mengikuti ketentuan undang-undang yang berlaku dalam peradilan, penegak hukum yang bertindak sewenang-wenang dan berperilaku tidak sesuai dengan undang-undang, pendapatan dan sarana yang diterima oleh hakim belum memadai sehingga terjadi interaksi antar hakim dengan pihak berperkara, kesadaran masyarakat yang masih rendah akan hukum serta masih adanya budaya ”main hakim sendiri” di kalangan penegak hukum dalam bersikap terhadap terdakwa disebabkan pula karena rasa tidak percaya masyarakat akan peradilan masa kini sehingga melakukan peradilan sendiri terhadap pelaku kejahatan.

Berdasarkan uraian kesimpulan di atas, disarankan agar hakim lebih cermat dalam menilai alat bukti yang diajukan, lebih meningkatkan pengetahuan dan pengalamannya akan penegakkan hukum dan bersikap objektif dalam menilai setiap fakta yang terungkap ataupun yang disampaikan oleh pihak-pihak dalam persidangan berkaitan dengan perkara yang diperiksanya, dikarenakan belum tentu apa yang diungkapkan adalah yang benar. Bagi setiap hakim yang terikat pada peraturan hukum untuk selalu menerapkan hukumnya sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku agar setiap peranan aktifnya dapat berjalan selaras dengan undang-undang dan kode etik hakimnya.


(3)

A. Latar Belakang

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan landasan dasar dari pelaksanaan pemeriksaan terhadap suatu perkara pidana guna mencari dan menemukan suatu kebenaran materiil, baik pada tingkat penyidikan oleh penyidik maupun pemeriksaan di sidang pengadilan oleh hakim.

Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 2 sampai Pasal 17 secara yuridis menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman memiliki asas-asas yang menjadi dasar dalam ketentuan-ketentuan dalam kekuasaan kehakiman secara umum, yang juga berkaitan dengan apa yang seharusnya hakim aktif lakukan di dalam persidangan. Asas-asas hukum kekuasaan kehakiman (peradilan) yang baik meliputi sebagai berikut:

a. Asas kebebasan hakim

b. Asas larangan menolak memeriksa dan mengadili perkara c. Asas hakim aktif

d. Asas kesamaan

e. Asas penyelesaian perkara secara tuntas f. Asas pengawasan peradilan

Asas hakim aktif yang telah disebutkan dapat dikatakan sebagai suatu sikap yang berlaku sebagai norma yang harus ditegakkan oleh hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, dimana hakim pidana pada praktiknya dituntut untuk bersikap aktif dalam mengemukakan fakta-fakta pada tahap pembuktian di persidangan.


(4)

2

Hakim pidana tidak boleh berhenti hanya dengan memeriksa alat-alat bukti yang tampak tanpa berusaha sungguh-sungguh mendalami untuk menemukan kebenaran yang lebih sejati yang ada dibalik fakta-fakta yang tampak dipersidangan. Tidak benar jika ada pendapat seorang hakim pidana adalah pasif, hanya menerima bukti-bukti yang diajukan penuntut umum, mendengarkan keterangan pihak berperkara, dan menjatuhkan hukuman tanpa hakim berusaha untuk menggali fakta-fakta persidangan lainnya. Sesuai pernyataan asas praduga tak bersalah yang menyatakan seorang terdakwa tidak bersalah hingga pengadilan (hakim) menyatakan sebaliknya. Dalam hal pembuktiannya, akan dipertimbangkan untuk penjatuhan hukuman yang tepat bagi seorang terdakwa sampai saat seorang hakim mampu menemukan bukti-bukti lain yang dapat membuktikan kesalahan terdakwa tersebut.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memang tidak secara jelas dan tegas menguraikan definisi hakim aktif dalam tahap pembuktian di persidangan khususnya untuk hakim pidana, tetapi ditinjau ke dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa hakim sebagai penegak hukum wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, hal ini berarti adanya perilaku aktif hakim yang seharusnya diterapkan dalam hal praktiknya.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada dasarnya menganut sistem pembuktian negatif menurut undang-undang yang disebutkan dalam Pasal 183 KUHAP yang isinya :


(5)

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

R. Subekti (2003: 7) menyatakan pendapatnya bahwa dalam pasal ini mengandung maksud adalah sebagai berikut:

a. Untuk mempermasalahkan seorang terdakwa diperlukan suatu minimum pembuktian yang ditetapkan undang-undang

b. Namun demikian, biarpun bukti bertumpuk-tumpuk melebihi minimum yang ditetapkan undang-undang, jikalau hakim tidak berkeyakinan tentang kesalahan terdakwa ia tidak boleh mempersalahkan dan menghukum terdakwa.

Berdasarkan pernyataan tersebut, memang pada kenyataannya hakim dalam berperkara terikat pada undang-undang, akan tetapi secara samar disebutkan bahwa hakim diwajibkan untuk menggunakan asas hakim aktifnya dalam memeriksa perkara apabila tidak ada keyakinan pada diri hakim walaupun bukti yang dihadirkan telah mencukupi.

Menurut sistem pidana yang dianut Indonesia, pemeriksaan di sidang pengadilan yang dipimpin oleh hakim, hakim harus aktif bertanya dan memberi kesempatan kepada pihak terdakwa untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula dengan penuntut umum. Semua itu dengan maksud untuk menemukan kebenaran materiil. (Andi Hamzah, 2008 : 103).


(6)

4

Seorang hakim memiliki peranan penting dalam penyelenggaraan peradilan, dan hakimlah yang menentukan bagaimana proses persidangan dijalankan bahkan ditangan hakim pula keluar suatu keputusan yang akan menentukan nasib hidup selanjutnya bagi manusia.

Begitu pentingnya seorang hakim sehingga Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman mencantumkan syarat-syarat bagi seorang hakim yaitu jujur, berani mengambil keputusan dan bebas dari pengaruh luar. (Andi hamzah, 1994 : 20). Seorang hakim dalam memimpin persidangan atau membuat suatu keputusan diberikan kebebasan kepadanya yang akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa dan negara. Tidak ada satupun lembaga yang mengawasi terhadap tindakan hakim dalam menjalankan tugasnya memberi keputusan sehingga dapat berakibat hakim dapat bertindak sewenang-wenang tanpa mengindahkan rasa keadilan, dan jika seorang hakim telah dianggap bersikap aktif saat persidangan, maka setiap keputusan yang dikeluarkannya tidak ada yang bisa menyanggah atau menolaknya, kecuali jika ditolak maka akan ada upaya lain yang harus ditempuh. (Wirjono Prodjodikoro, 1974 : 26-27)

Sikap aktif seorang hakim yang diharapkan dapat muncul dalam memeriksa suatu perkara demi menentukan bersalah atau tidaknya seorang terdakwa, yang kemudian dapat ia gunakan untuk menjatuhkan putusan yang tepat bagi seorang terdakwa diuraikan seperti dalam contoh kasus pencurian dalam keadaan memberatkan yaitu pada tanggal 8 Januari 2011, Deni Saputra bersama Suharyanto mencari rongsokan dengan membawa gerobak, lewat di depan sebuah bengkel di daerah Teluk Betung Utara, melihat kios bengkel sedang sepi dan tidak


(7)

ada penunggunya/ditinggal pemiliknya sehingga timbul niatnya untuk melakukan pencurian di bengkel tersebut. Aksi pencurian tersebut berhasil dijalankan. Korban yang mengetahui bengkelnya kecurian kemudian melaporkan kejadian tersebut pada petugas jaga malam/ronda. Petugas jaga malam saat berjaga malam harinya melihat terdakwa lewat di sekitar bengkel dengan membawa gerobak, merasa curiga lalu keduanya ditanyai soal keperluannya, jawabannya ternyata berbelit-belit. Mendengar jawaban yang seperti itulah dan mencurigai gerobak yang diceritakan korban sama persis dengan milik terdakwa, maka petugas jaga malam tersebut berkeyakinan bahwa mereka adalah pelaku pencurian tersebut. Terdakwa menyangkal dan membantah dakwaan yang dibacakan di hadapan hakim dengan alasan terpaksa mengakui perbuatan tersebut pada polisi selaku penyidik dikarenakan mengalami kekerasan oleh penyidik.

Melihat dan mencermati alat-bukti yang diajukan pada saat persidangan serta melihat kesaksian-kesaksian saat pembuktian, hakim yang memeriksa perkara tersebut pada proses peradilan meyimpulkan untuk membebaskan terdakwa dari segala tuduhan. (Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor : 191/Pid/B/(A)/2011/PN.TK).

Pernyataan terdakwa mengenai perbuatan yang sebenarnya tidak dilakukan sesuai dengan alat bukti yang dihadirkan di persidangan, dimana alat bukti tidak cukup memenuhi seperti yang diatur dalam undang-undang sebagai alat bukti minimum untuk digunakan sebagai alat pembuktian serta tidak sesuai dengan yang tertulis dalam surat dakwaan serta laporan yang dinyatakan oleh penyidik. Selain itu, untuk dapat menghukum terdakwa, diluar pengakuannya harus dikuatkan dengan


(8)

6

alat-alat bukti yang cukup sesuai dengan alat bukti minimum yang telah disebutkan (Yahya Harahap, 2002 : 254).

Pada praktik peradilan dikenal adanya perkara “buatan” yang dilancarkan oleh pihak-pihak tertentu untuk memenjarakan seseorang yang tidak disukainya, walaupun terdakwa telah mengaku melakukan suatu perbuatan, hal itu belum menjadi jaminan bahwa terdakwa tersebut benar-benar bersalah melakukan tindak pidana yang dituduhkan kepadanya.

Hakim dituntut untuk cermat, teliti dan matang dalam menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian dari alat-alat bukti. Meneliti sampai dimana batas-batas minimum kekuatan pembuktian (bewijs krach) dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. (Alfitra, 2011 : 21)

Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Pembuktian tentang benar tidaknya seseorang melakukan perbuatan yang didakwakan adalah bagian terpenting dalam hukum acara pidana. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa dibebaskan. Sebaliknya, jika pada tahap pembuktian di pengadilan hasil yang ditemukan bersama alat-alat bukti dapat membuktikan bahwa kesalahan memang dilakukan terdakwa, maka terdakwa dapat dikenakan hukuman yang sesuai dengan perbuatannya. (Alfitra, 2011 : 22)


(9)

Seorang hakim yang dalam usahanya bersikap aktif di persidangan atau menangani suatu perkara, masih sedikit yang berani mengungkapkan dan memutuskan apa yang benar adalah benar dan apa yang salah adalah salah.

Bentuk ketidakberdayaan aparat penegak hukum seperti hakim yang begitu diperhatikan wibawanya sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman tampak di lapangan dalam berbagai fenomena hukum dari proses persidangan saat ini. Seorang hakim dinilai dapat menjadi sangat rentan akan berbagai penyimpangan, baik itu yang dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja. Dibutuhkan sosok hakim yang senantiasa menjalankan tugasnya sebagai seorang penegak hukum untuk keadilan yang mampu bersikap aktif dalam menjalankan peradilan.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penulisan skripsi yang berjudul “Penerapan Asas Hakim Aktif pada Tahap Pembuktian di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang.”

B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka ada beberapa masalah yang dirumuskan dan dicari penyelesaiannya secara ilmiah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah penerapan asas hakim aktif pada tahap pembuktian di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang?

b. Apa yang menjadi faktor penghambat bagi hakim dalam menerapkan asas hakim aktif di persidangan?


(10)

8

2. Ruang Lingkup

Penelitian dibatasi pada bidang ilmu hukum pidana yang berkaitan dengan asas-asas hukum kekuasaan kehakiman (peradilan) yang khususnya mengenai penerapan asas hakim aktif pada tahap pembuktian di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang, dengan lokasi penelitian di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang pada tahun 2012.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui penerapan asas hakim aktif pada tahap pembuktian di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang.

b. Untuk mengetahui faktor penghambat bagi hakim dalam menerapkan asas hakim aktif di persidangan.

2. Kegunaan Penelitian

a. Teoritis

Kegunaan penelitian secara teoritis ini adalah dalam rangka pengembangan kemampuan berkarya ilmiah, daya nalar, dan acuan yang sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki, juga untuk memberikan masukan serta memperluas cakrawala pandangan bagi pihak-pihak yang membutuhkan, khususnya bagi pihak pembentuk perundang-undangan dalam rangka menciptakan suatu peraturan hukum yang lebih baru.


(11)

b. Praktis

Kegunaan secara praktis adalah untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan memperluas wawasan, sebagai bentuk informasi bagi masyarakat, memberikan masukan serta bentuk sumbangan pemikiran bagi para praktisi hukum dan penegak hukum di wilayah hukum Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang.

D. Kerangka Teoritis dan Kerangka Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka Teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan unutk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi soaial yang dianggap relevan oleh peneliti (Soerjono Soekanto, 1986 : 124).

Hal-hal mengenai pembuktian, terlebih dahulu mempelajari berbagai teori-teori pembuktian yang dianut oleh hukum acara pidana. Beberapa ahli hukum telah mengemukakan berbagai teori pembuktian, hal itu dikarenakan masing-masing dari ahli hukum memiliki pandangan yang berbeda pula dalam menafsirkan mengenai pembuktian.

Darwan Prinst (1998 : 134) mengatakan terdapat 4 (empat) macam teori pembuktian antara lain :

a. Teori pembuktian positif

Menurut teori ini, bahwa bersalah atau tidaknya terdakwa tergantung sepenuhnya kepada sejumlah alat bukti yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Keyakinan


(12)

10

hakim menurut teori ini harus dikesampingkan, dan kini jarang diterapkan dalam praktik peradilan.

b. Teori pembuktian negatif

Menurut teori ini, hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikitnya dua alat bukti yan ditentukan dalam undang-undang ada, ditambah keyakinan hakim yang diperoleh dari adanya alat-alat bukti itu. KUHAP menganut teori ini.

c. Teori Pembuktian Bebas

Menurut teori ini, alat-alat dan cara pembuktian tidak ditentukan dalam undang-undang. Teori mengakui adanya alat bukti dan cara pembuktian, tetapi tidak diatur dalam undang-undang.

d. Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan

Menurut teori ini, hakim menjatuhkan pidana semata-mata berdasarkan keyakinan pribadinya dan dalam putusannya tidak perlu menyebut alasan-alasan putusannya. Teori pembuktian lain yang dikemukakan oleh Yahya Harahap (1985 : 256-258) adalah sebagai berikut :

a. Conviction in time

Sistem ini menentukan salah atau tidaknya terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa.


(13)

b. Conviction Raisunnee

Sistem ini mengatakan keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa.

c. Pembuktian undang-undang secara positif

Pembuktian menurut undang-undang berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang untuk membuktikan salah tidaknya terdakwa semata-mata tergantung pada alat-alat bukti yang sah. d. Pembuktian menurut undang-undang secara negatif

Sistem ini merupakan gabungan antara teori pembuktian menurut undang-undang positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan untuk menyatakan salah tidaknya terdakwa menurut sistem ini tidak cukup berdasarkan keyakinan hakim semata-mata tetapi harus didukung oleh adanya alat-alat bukti yang sah.

Penerapan sikap hakim yang bersifat aktif dalam persidangan berkaitan erat dengan KUHAP yang menganut teori atau sistem campuran (mixed system) dan memberi kedudukan aktif kepada seorang hakim dalam prakteknya.

Teori atau sistem campuran(mixed system)menjelaskan bahwa KUHAP memberi kedudukan aktif kepada hakim yaitu dalam penerapannya sistem ini tidak bercorak inquisitor (inquisitoir) maupun akusator (accusatoir), tetapi bercorak campuran antara keduanya. Tidak dimungkinkan dalam suatu negara menganut sistem inquisitor murni atau akusator murni saja, oleh karena itu seorang hakim


(14)

12

dalam melaksanakan pemeriksaan pada tahap pembuktian dapat menggunakan campuran antara keduanya untuk mengungkapkan fakta dipersidangan.

Yahya Harahap (1985 : 323) menyatakan bahwa ada beberapa acuan penerapan sikap aktif seorang hakim dalam prakteknya di persidangan adalah sebagai berikut:

a. Pengajuan alat bukti dibebankan kepada jaksa dan terdakwa berdasarkan asas

counter balanceyaitu para pihak mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk membantah dan melumpuhkan pembuktian yang diajukan.

b. Hakim harus aktif dalam memeriksa, terutama pemeriksaan saksi dan terdakwa.

c. Hakim berwenang menentukan apakah perlu diberi kesempatan kepada jaksa atau terdakwa untuk mengajukan pertanyaan langsung atau pertanyaan silang

(cross examination)kepada terdakwa.

d. Hakim berwenang untuk menentukan penghentian pemeriksaan saksi atau pembuktian.

Seorang hakim yang sedang menangani perkara diharapkan dapat bertindak arif, menjunjung tinggi nilai keadilan dan kebenaran material, bersifat aktif dan dinamis, berlandaskan kepada hukum positif, melakukan penalaran logis yang sesuai dan selaras dengan teori dan praktek, yang kesemuanya akan dipertanggungjawabkan dari aspek ilmu hukum itu sendiri berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Mengemban tugas yang sedemikian berat, dalam diri seorang hakim yang bersangkutan juga dituntut untuk memiliki integritas moral yang baik dalam menegakkan hukum dan keadilan agar tidak gampang dipengaruhi oleh hal-hal lain yang dapat merusak pemikiran dan naluri hakim, seperti tergoda kolusi, suap dan lainnya yang akhirnya dapat merugikan justisiabelen (Lilik Mulyadi, 1996 : 33-34).


(15)

Andi Hamzah (1994: 10) mengatakan bahwa ada beberapa hal yang mempengaruhi kewibawaan seorang hakim dalam persidangan yang secara tidak langsung akan mempengaruhi hakim yang bersangkutan tidak mampu bersikap aktif dalam persidangan adalah sebagai berikut:

1. Kecakapan 2. Kejujuran

3. Fisik, termasuk kebersihan, kerapihan, ketelitian dan penampilan.

Ketidakcakapan dan ketidakjujuran para penegak hukum akan langsung menjadikan mereka menjadi semakin tidak berwibawa dalam memimpin persidangan. Tidak akan pernah tercipta aparat penegak hukum yang berwibawa apabila salah satu dari faktor tersebut tidak terpenuhi oleh hakim yang akan menghadapi perkara.

Pada saat menghadapi perkara pidana yang sedang ramai diperbincangkan secara luas, seorang hakim mampu menjadi pribadi yang berbeda jika alat-alat bukti yang dihadirkan pada persidangan tersebut palsu, bohong, ambiguitas, berdiri sendiri, atau juga tidak cocok, yang kemungkinan dapat merusak keyakinan dari diri hakim tersebut dalam menjatuhkan putusannya. Hakim juga merupakan manusia biasa (human being) yang tidak luput dari pengaruh pendapat masyarakat atau opini publik (public opinion), hal ini tentunya sangat potensial melahirkan sikap buruk sangka atau prejudice hakim saat mengambil keputusan. (Yahya Harahap, 2002: 313).


(16)

14

Hakim sebagai seorang penegak hukum dalam menjalankan tugasnya berpedoman pada aturan-aturan penegakkan hukum yang telah diatur oleh undang-undang. Tugas hakim bukan sekedar menghukum melainkan membina dan mengarahkan kesadaran masyarakat akan aturan hukum. Upaya penegakkan hukum yang dilakukan oleh para penegak hukum kepada masyarakat pun memiliki hambatan dalam pelaksanaannya.

Soerjono Soekanto (1983 : 34-35, 40) menyatakan ada beberapa faktor penghambat dalam penegakkan hukum, sebagai berikut:

1. Faktor hukumnya sendiri

Adanya beberapa asas dalam undang yang tujuannya agar undang-undang tersebut mempunyai dampak positif. Artinya, agar undang-undang-undang-undang tersebut mencapai tujuannya secara efektif dalam kehidupan masyarakat. 2. Faktor penegak hukum

Penegak hukum mempunyai kedudukan dan peranan. Penegak hukum merupakan salah satu pilar terpenting dalam proses penegakkan hukum, sering melakukan berbagai tindakan yang bertentangan dengan ketentuan hukum sehingga menimbulkan berbagai masalah.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakkan hukum

Penegakkan hukum tidak mungkin berjalan lancar tanpa adanya faktor sarana atau fasilitas. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai dan keuangan yang cukup.

4. Faktor masyarakat

Penegakkan hukum berasal dari masyarakat. Bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat, oleh karena itu dipandang dari sudut tertentu masyarakat dapat mempengaruhi penegakkan hukum.

5. Faktor kebudayaan

Kebudayaan hukum masyarakat merupakan suatu proses internalisasi nilai-nilai dalam rangka memahami hukum dan berupaya untuk menerapkannya secara baik demi kepentingan bersama. Kebudayaan pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan


(17)

konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk.

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang diinginkan atau diteliti. (Soerjono Soekanto, 1996 : 126) Hal ini dilakukan dan dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam melakukan penelitian. Maka disini akan dijelaskan tetntang pengertian pokok yang dijadikan konsep dari penelitian, sehingga akan memberikan batasan yang tetap dalam penafsiran, antara lain :

a. Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili (Pasal 1 butir 8 KUHAP).

b. Hakim aktif

Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman memberikan peranan yang aktif kepada seorang hakim sebagai penegak hukum dan keadilan untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Direfleksikan dalam hukum acara pidana, dimana hakim itu harus berusaha mencari dan menemukan kebenaran materiil dari suatu perkara yang dihadapkan kepadanya (Oemar Seno Adji, 1972 : 262-263).

c. Pembuktian adalah suatu proses bagaimana alat-alat bukti tersebut dipergunakan, diajukan ataupun dipertahankan, sesuatu hukum acara yang berlaku. (Bambang Waluyo, 1991 : 3).

d. Pengadilan adalah suatu lembaga yang merupakan wadah atau tempat yang terpenting bagi terdakwa untuk pembelaan dirinya dan minta keadilan yang


(18)

16

menjadi dambaan bagi setiap pencari keadilan demi tegaknya hukum dan kepastian hukum (Djoko Prakoso, 1987 : 257).

E. Sistematika Penulisan

Sistematika suatu penulisan bertujuan untuk memberikan suatu gambaran yang jelas mengenai pemahaman pembahasan skripsi, maka dari itu disajikan sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pengantar pemahaman kepada pengertian umum tentang pokok-pokok bahasan sebagai berikut: asas hakim aktif dalam pembuktian perkara pidana, bagaimana penerapan asas hakim aktif pada tahap pembuktian dan hal-hal yang menjadi kendala bagi hakim dalam penerapan asas hakim aktifnya

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menjelaskan langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan populasi dan sampel, cara pengumpulan data serta analisis data.


(19)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan pembahasan terhadap pokok-pokok permasalahan yang terdapat dalam penulisan skripsi ini baik melalui studi kepustakaan maupun menggunakan data yang diperoleh di lapangan mengenai karakterisktik responden, penerapan asas hakim aktif pada tahap pembuktian di Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan faktor-faktor penghambat bagi hakim dalam penerapan asas hakim aktifnya di persidangan.

V. PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan yang merupakan hasil akhir penelitian dan pembahasan serta saran-saran yang diberikan atas dasar penelitian dan pembahasan yang berkaitan dengan pokok-pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini.


(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Pembuktian

Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan serta hal paling utama untuk dapat menentukan dapat atau tidaknya seorang terdakwa dijatuhi pidana. Oleh karena itu, untuk dapat dijatuhkan pidana kepada terdakwa harus diupayakan pembuktian tentang apa yang didakwakan kepada terdakwa sebagaimana tertuang dalam surat dakwaan.

Melalui pembuktianlah ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang “tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa “dibebaskan” dari hukuman sesuai Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang isinya :

“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.”

Pembuktian adalah suatu proses bagaimana alat-alat bukti tersebut dipergunakan, diajukan ataupun dipertahankan, sesuatu hukum acara yang berlaku. (Bambang Waluyo, 1991 : 3).


(21)

Darwan Prinst (1998 : 133) menyatakan perihal makna dari pembuktian adalah sebagai berikut :

Pembuktian bahwa benar suatu tindak pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkan nya. Untuk membuktikan kesalahan terdakwa, pengadilan terikat oleh cara-cara atau ketentuan-ketentuan pembuktian sebagaimana telah diatur dalam undang-undang. Pembuktian yang sah harus dilakukan di sidang pengadilan yang memeriksa terdakwa.

Pembuktian ditinjau dari segi hukum acara pidana adalah ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum, semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Tidak boleh leluasa bertindak dengan caranya sendiri dalam menilai pembuktian. Dalam mempergunakan alat bukti, tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Terdakwa tidak bisa leluasa mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar di luar ketentuan yang telah digariskan undang-undang. (Yahya Harahap, 1985 : 252).

Hukum pembuktian merupakan seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian, yakni segala proses dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah dan dilakukan tindakan-tindakan dengan prosedur khusus guna mengetahui fakta-fakta yuridis di persidangan (Alfitra, 2011 : 21).

Sesuai dengan apa yang telah diuraikan diatas mengenai pembuktian, maka yang sebenarnya pembuktian itu hanya diperlukan dalam perkara maupun persengketaan di muka hakim atau pengadilan.


(22)

20

B. Pengertian Hakim Aktif

Hakim pidana berbeda dengan hakim perdata dalam hal menjalankan tugasnya pada tahap pembuktian. Pada pemeriksaan perkara pidana, hakim berperan aktif dalam mencari kebenaran materiil. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman memberikan peranan yang aktif kepada seorang hakim sebagai penegak hukum dan keadilan untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Perilaku hakim tersebut direfleksikan dalam hukum acara pidana, dimana hakim itu harus berusaha mencari dan menemukan kebenaran materiil dari suatu perkara yang dihadapkan kepadanya (Oemar Seno Adji, 1972 : 262-263).

Keaktifan hakim dalam mencari kebenaran materiil ini 90% (sembilan puluh persen) berada di tangan hakim ketua sidang dalam memimpin sidang di pengadilan. Hakim aktif tercermin dalam setiap aktivitas yang dijalankan oleh hakim ketua sidang pada saat menjalani tahap pembuktian perkara pidana, salah satunya yaitu kegiatan penemuan hukum oleh hakim. Pada tahap ini, aktivitas hakim pidana merupakan implementasi dari penerapan asas hakim aktif yang diwujudkan dari adanya kewajiban hakim untuk menggali, menemukan, memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Aturan ini menghendaki agar penemuan hukum oleh hakim selalu dinamis dan mengikuti perkembangan zaman. (Tata Wijayanta, 2011 : 35).

Hakim aktif pada dasarnya juga merupakan seorang penegak hukum yang memiliki wewenang penuh dalam peradilan dan diberikan kebebasan dalam menyelenggarakan peradilan tersebut. Bukan pula berarti bahwa hakim aktif boleh


(23)

bertindak sekehendak hati, akan tetapi sikap aktifnya di persidangan diikat oleh tanggung jawab untuk menciptakan hukum yang sesuai dengan Pancasila dan perasaan keadilan masyarakat.

Tata Wijayanta (2011 : 20) berpendapat pula bahwa :

Hakim aktif seperti halnya seorang hakim yang berupaya mencari suatu peraturan hukum tidak tertulis maupun kebiasaan-kebiasaan yang hidup dalam masyarakat, apabila suatu perkara yang diperiksanya tidak ditemukan suatu peraturan hukum yang tertulis sebagai pedomannya. Akan tetapi, apabila peraturan hukum tertulis itu ada namun kurang jelas, maka dengan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaannya sebagai hakim dapat menafsirkan peraturan hukum itu secara positif sedemikian rupa menurut keyakinannya sesuai dengan rasa keadilan.

Hal ini berarti, pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, dikarenakan seorang hakim telah diwajibkan untuk mengambil peran aktifnya dalam memimpin sidang di pengadilan, dan memutus perkara yang diperiksanya sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku untuk dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan Tuhan Yang Maha Esa.

Keaktifan hakim diterapkan dalam menjalankan sidang di pengadilan untuk menemukan suatu kebenaran materiil. Hakim aktif dalam proses pembuktian di persidangan adalah hakim yang berusaha untuk mencari kebenaran. Hakim mengadakan penalaran yang logis agar dapat menjernihkan perkara yang diadili dengan cara memeriksa terdakwa, saksi-saksi serta segala sesuatu yang diajukan oleh penuntut umum (misalnya alat-alat bukti), untuk akhirnya ia memperoleh keyakinan untuk memberikan putusan atas perkara-perkara tersebut. (Djoko Prakoso, 1987 : 293).


(24)

22

Pada proses pembuktian dapat ditemukan makna lain dari sosok hakim aktif ialah seorang hakim yang dituntut untuk benar-benar sadar dan cermat dalam menilai dan mempertimbangkan suatu kekuatan pembuktian yang ditemukan selama pemeriksaan persidangan. Kewajibannya untuk meletakkan kebenaran yang ditemukan dalam keputusan yang akan ia jatuhkan, dengan menguji alat-alat bukti ataupun dengan cara dan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang ia temukan. (Yahya Harahap, 1985 : 253)

Seorang hakim yang memiliki sikap hati-hati dan moral yang baik, memiliki keyakinan yang tidak mendahului keterbuktian kesalahan terdakwa. Penerapan sikap aktif bagi hakim mungkin pada taraf pertama menjadi seorang penegak hukum mungkin masih sulit dan bisa saja terpengaruh oleh sifat prasngka. Akan tetapi, bagi seorang hakim pada taraf selanjutnya sebagai penegak keadilan tentulah sudah dapat menjadi seorang hakim aktif dengan berlandaskan sifat jujur dan waspadanya untuk membentuk suatu keyakinan.

Keyakinan dalam diri seorang hakim dapat dimunculkan dari adanya suatu prasangka hakim terhadap perbuatan terdakwa, prasangka itu pula yang bisa memdorong hati nurani seorang hakim untuk benar-benar meyakini kesalahan terdakwa. Hakim aktif dalam proses pembuktian pun tentunya memiliki suatu prasangka terhadap suatu perbuatan, yang apabila prasangka itu benar-benar terbukti di persidangan, maka peran aktif hakim akan dijalankan berdasarkan ketentuan, cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. (Yahya Harahap, 1985 : 261).


(25)

Hakim aktif pada tahap pemeriksaan perkara pidana memiliki aturan-aturan agar setiap kesulitan yang dihadapi di sidang pengadilan tetap dapat berjalan dan diatasi dengan bijaksana. Makna hakim aktif yang juga dikemukakan oleh Yahya Harahap ( 1985 : 313) adalah sebagai berikut :

Hakim aktif ialah seorang hakim sebagai manusia biasa yang tidak luput dari pengaruh pendapat masyarakat luas, yang dapat melahirkan sikap buruk sangka dalam dirinya saat mengambil keputusan. Namun apabila prasangka benar-benar terjadi, seorang hakim aktif harus tetap berpegang pada sistem peradilan untuk mencari dan menemukan kebenaran sejati berdasar asas

presumption of innocent.

C. Teori-Teori Pembuktian

Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang dipergunakan, penguraian alat bukti, dan dengan cara-cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan serta dengan cara bagaimana seorang hakim harus membentuk keyakinannya di depan sidang pengadilan (Alfitra, 2011 : 28).

Hukum pidana tergolong hukum yang bersifat hukum publik, karena itulah terdapat suatu perbedaan dalam sistem hukum pembuktiannya dibandingkan hukum perdata yang bersifat hukum privat. Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian terpenting dalam hukum acara pidana. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat-alat bukti yang ada, padahal tidak benar. Maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil dimana berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formal saja.


(26)

24

Mencari kebenaran materiil itu tidaklah mudah. Alat-alat bukti yang tersedia menurut undang-undang sangatlah relatif. Seperti alat bukti kesaksian yang menurut psikolog, penyaksian suatu peristiwa yang baru saja terjadi oleh beberapa orang akan menjadi berbeda-beda.

Orang-orang terdahulu berpendapat bahwa alat bukti yang paling dipercaya adalah pengakuan dari terdakwa sendiri karena ia lah yang mengalami peristiwa tersebut, seorang hakim berusaha memperoleh pengakuan dari terdakwa tersebut dalam pemeriksaan, yang dapat menentramkan hati hakim yang meyakini ditemukannya kebenaran materiil itu (Andi Hamzah, 2008 : 250).

Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukkan bahwa ada beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan kepada seorang terdakwa.

Andi Hamzah (2008 : 251-257) menguraikan 4 (empat) macam sistem atau teori pembuktian, antara lain :

1. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Positif

(Positive Wettelijk Bewijstheorie)

Menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada, dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian. Pembuktian yang didasarkan kepada alat-alat pembuktian yang disebut undang, dikenal dengan sistem pembuktian berdasar undang-undang secara positif. Dikatakan secara positif karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya, jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak


(27)

diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut dengan sistem pembuktian formal

(formele bewijstheorie).

Sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif ini berusaha menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Teori pembuktian ini sekarang tidak mendapat penganut lagi karena terlalu banyak mengandalkan kekuatan pembuktian yang disebut oleh undang-undang.

2. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu

Teori berdasar keyakinan hakim melulu yang didasarkan kepada keyakinan hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Dengan sistem ini, pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, sistem pembuktian demikian pernah dianut di Indonesia, yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini memungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan medium atau dukun.

Sistem ini memberi kebebasan kepada hakim terlalu besar sehingga sulit diawasi. Disamping itu, terdakwa atau penasihat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam hal ini hakim dapat memidana terdakwa berdasarkan keyakinannya bahwa ia telah melakukan apa yang telah didakwakan.


(28)

26

3. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim atas Alasan yang Logis(La Conviction Raisunnee)

Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seesorang bersalah berdasar keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu.

Sistem atau teori pembuktian ini disebut pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya(vrije bewijstheorie).

Sistem atau teori pembuktian yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu terbagi menjadi dua jurusan. Yang pertama yaitu pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction raisunnee), dan yang kedua adalah teori pembuktian berdasar undang-undang secara negatif(negatief wettelijk bewijstheorie).

Persamaan antar keduanya adalah keduanya berdasarkan atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah. Selanjutnya perbedaannya ada dua yaitu yang pertama pangkal tolaknya pada keyakinan hakim, sedangkan yang kedua pada ketentuan undang-undang. Kemudian pada yang pertama dasarnya ialah suatu konklusi yang tidak didasarkan undang-undang, sedangkan pada yang kedua didasarkan kepada ketentuan undang-undang yang disebut secara limitatif.


(29)

4. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk)

HIR maupun KUHAP menganut sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk). Hal ini dapat disimpulkan dari Pasal 183 KUHAP yang isinya :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan benar terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Sistem atau teori pembuktian yang berdasar undang-undang secara negatif

(Negatief wettelijk bewijstheorie) ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda, yaitu pada peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim dan menurut undang-undang.

Ketentuan dari Pasal 183 KUHAP menyatakan untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang, dan hal ini dipertahankan oleh KUHAP.

Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa :

Sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijk)sebaiknya dipertahankan berdasarakan dua alasan, yang pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Yang kedua ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam menyusun peradilan.


(30)

28

Alfitra (2011 : 28-29) berpendapat lain mengenai teori atau sistem pembuktian tersebut, dia menyatakan bahwa di dalam teori dikenal dua sistem pembuktian, adalah sebagai berikut :

1. Sistem Pembuktian Positif

Beberapa hal yang diterapkan dalam sistem pembuktian positif ini antara lain : a. Sistem pembuktian positif (positief wettelijk) adalah sistem pembuktian yang

menyandarkan diri pada alat bukti saja, yakni alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang.

b. Seorang terdakwa bisa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana hanya didasarkan pada alat bukti yang sah.

c. Alat bukti yang ditetapkan oleh undang-undang adalah penting. Keyakinan hakim sama sekali diabaikan.

d. Apabila seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat bukti yang sah, yakni yang telah ditentukan oleh undang-undang, maka terdakwa tersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus dipidana.

e. Seorang hakim laksana robot yang menjalankan undang-undang. Namun demikian ada kebaikan dalam sistem pembuktian ini, yakni hakim akan berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benar-benar objektif. Artinya, menurut cara-cara dan alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.

f. Sistem pembuktian positif yang dicari adalah kebenaran formal. Oleh karena itu sistem pembuktian ini dipergunakan dalam hukum acara perdata.


(31)

2. Sistem Pembuktian Negatif

Sistem pembuktian negatif (negatief wettelijk) sangat mirip dengan sistem pembuktian conviction raisunnee. Hakim dalam mengambil keputusan tentang salah atau tidaknya seorang terdakwa terikat oleh alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang dan keyakinan (nurani) hakim sendiri.

Dalam sistem negatif ini ada dua syarat untuk membuktikan kesalahan terdakwa, yakni :

a. Wettelijk : adanya alat bukti yang sah yang telah ditetapkan oleh undang-undang.

b. Negatief : adanya keyakinan (nurani) hakim, yakni berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa.

D. Peranan Hakim dalam Pengadilan

1. Peranan Hakim dalam Pembentukan Hukum

Hakim sebagai pembentuk hukum. Dipundak seorang hakim telah diletakkan kewajiban dan tanggung jawab agar hukum dan keadilan itu dapat ditegakkan, baik yang didasarkan kepada hukum tertulis atau tidak tertulis, tidak boleh ada satu pun yang bertentangan dengan asas dan sendi peradilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam hal ini, undang-undang secara jelas menegaskan tanggung jawab hakim bukan kepada Negara, bangsa, tetapi yang utama adalah kepada Tuhan. Kalau inilah landasan dari tanggung jawab hakim, maka hakim tidak akan ragu-ragu menguji atau membatalkan peraturannya


(32)

30

apabila bertentangan dengan Pancasila dan Tuhan Yang Maha Esa. (Bismar Siregar, 1983 : 8).

Berperan sebagai pelaksana hukum sekaligus penegak hukum, seorang hakim harus mampu menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai peristiwa hukumnya yang konkrit terjadi. Seorang hakim harus menggunakan logika dengan benar agar keputusan yang ia keluarkan merupakan keputusan yang logis. Dari sini dapat dikatakan bahwa peranan hakim yakni menerapkan hukum, menemukan atau membentuk hukum. Dalam membentuk hukum, hakim tidak boleh membentuk hukum tersebut secara sewenang-wenang. Oleh karna itu, seorang hakim juga merupakan salah satu unsur penting dalam suatu badan peradilan tentu saja tidak hanya diharuskan mampu untuk menemukan hukum tetapi juga harus dapat mengembangkan hukum.

Pengadilan mempunyai kedudukan penting, karena ia melengkapi hukum tertulis melalui pembentukan hukum dan penemuan hukum. Jadi hakim berperan untuk membuat hukum baru dimana dalam suatu perkara yang dihadapinya belum ada atau ada ketidaksesuaian dengan peraturan-peraturan hukum yang terdahulu. 2. Tugas dan Kewenangan Hakim di Persidangan

Kewajiban dan tugas hakim tidak hanya terbatas dalam ruang lingkup persidangan, melaksanakan tugas, memeriksa, mempertimbangkan dan mengadili, tetapi mencakup dan menyangkut dari kehidupan sehari-hari. Dibidang hukum pidana, seorang hakim bertugas menerapkan apa yang in concreto ada oleh seorang terdakwa yang melakukan suatu perbuatan pidana. Dalam menetapkan ini


(33)

seorang hakim harus menyatakan secara tepat ketentuan hukum pidana mana yang telah dilanggar. (Wirjono Prodjodikoro, 1974 : 26).

Akan tetapi dilain pihak, untuk menilai serta menentukan apakah sesuatu kata dalam perumusan ketentuan undang-undang pidana adalah jelas ataupun tidak hal itu harus ditetapkan oleh hakim pidana, sesuai tugas serta kewenangannya menetapkan hukum pidana secara in concreto. Oleh karena itu, kiranya tidak ada seorangpun yang dapat menolak hak hakim pidana untuk menafsirkan undang-undang pidana di dalam rangka menjalankan tugas serta kewenangannya menerapkan hukum pidana secarain concretoitu.

Pada hakikatnya, tugas atau pekerjaan seorang hakim dalam hukum pidana adalah laksana kartu terbuka bagi masyarakat. Nilai dari pekerjaan seorang hakim sehari-hari dapat langsung dan seketika ditinjau oleh masyarakat.

Berdasarkan dari pekerjaan seorang hakim yang dapat terlihat jelas oleh masyarakat yang masih membutuhkan keadilan dari seorang hakim, maka tidaklah diperkenankan baginya mengeluarkan kata-kata yang menyinggung dan merendahkan seorang di persidangan dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai pemimpin.

Tugas seorang hakim bukan hanya saja mengadili berdasar hukum-hukum yang ada, tetapi lebih mendalam lagi yaitu mencari dan menemukan hukum untuk kemudian menuangkannya ke dalam putusannya serta mengaplikasian ke dalam nilai-nilai hukum yang ada dalam masyarakat (Bismar Siregar, 1983 : 16).

Hakim juga memiliki tugas lainnya yakni menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya,


(34)

32

sehingga putusan yang dijatuhkannya mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia (Djoko Prakoso, 1987 : 292).

Seorang hakim dalam menyusun peradilan tidak hanya memiliki tugas yang semestinya ia jalankan, akan tetapi masih ada kewajiban serta kewenangan bagi dirinya untuk terus dilaksanakan dalam menjalankan peradilan yang adil, seperti pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih, bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya, kemudian bagi seorang hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Pada posisinya yang juga sebagai aparat penegak hukum, hakim merupakan penggali dan perumus dari nilai-nilai hukum yang hidup dikalangan rakyat. Untuk itulah, bila perlu hakim dapat terjun langsung ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal dan merasakan serta dapat menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat ( Djoko Prakoso, 1987 : 292-293)

Berkenaan dengan tugas dan kewenangan hakim dalam menjalankan peradilan yang adil bagi masyarakat, hakim di dalam hukum pidana dituntut untuk dapat menjadi “ayah” terhadap anak-anaknya dalam persidangan, dapat menjadi “rohaniawan” bagi orang-orang yang tergelincir moralnya, serta menjadi “motivator” bagi orang yang kehilangan kepercayaan kepada kehidupan. Walaupun kata-kata seperti ini dirasa terlalu tinggi untuk dikatakan, tetapi inilah yang dapat menggambarkan apa dan bagaimanakah tugas dan kewenangan hakim sesungguhnya di persidangan (Bismar Siregar, 1983 : 22).


(35)

E. Hakim dan Pelaksanaan Peradilan

Seorang hakim dalam melaksanakan penyelesaian perkara pidana sekiranya dapat sedikit lebih jauh dalam bertindak dan tidak terlampau formalistis menyelesaikan perkara pidana yang ditanganinya. Kewaspadaan hakim diminta benar-benar dalam menghadapi segala hal yang dikemukakan dan dinyatakan oleh pihak-pihak dalam berperkara.

Hakim dalam menunaikan tugasnya sehari-hari harus secara positif menyatakan hukum mana yang in concreto yang diberlakukan dan dilaksanakan. Jika dikatakan hakim memiliki unsur positif dari suatu pekerjaan hakim tersebut, maka muncul unsur lain yang harus dimiliki hakim yaitu unsur aktif dari pekerjaan hakim. Tidak boleh hakim bersikap pasif dalam menghadapi pihak yang berperkara dan dalam menemukan hukum serta untuk mengungkap fakta-fakta di persidangan (Wirjono Prodjodikoro, 1974 : 27). Penerapan keaktifan dari sikap seorang hakim ini juga didukung oleh sistem yang dianut di Indonesia pada persidangan serta keyakinan dari hati seorang hakim juga berperan dalam menjalankan sikap aktifnya tersebut.

Andi Hamzah (2008 : 102-103) berpendapat bahwa :

Menurut sistem yang dianut di Indonesia, pemeriksaan di muka pengadilan yang dipimpin oleh hakim, hakim itu harus aktif bertanya dan memberi kesempatan kepada pihak terdakwa yang diwakili oleh penasehat hukumnya untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula kepada penuntut umum. Hakimlah yang bertanggung jawab atas segala yang diputuskannya.

Hakim yang pasif dan hanya memimpin sidang dan mendengar keterangan pihak-pihak belaka saja itu tidak dibenarkan, dan tidak sesuai dengan sistem di Indonesia yang menyatakan bahwa hakim harus menjadi aktif di persidangan.


(36)

34

Hakim yang pasif seperti itu mungkin hanya dalam sistem akusator (accusatoir)

murni, sedangkan tiada negara yang menganut sistem akusator murni seperti itu. Negara yang tidak menganut sistem akusator murni adalah Amerika Serikat, dimana dalam proses peradilannya menganut sistem penjurian. Hakim di Amerika Serikat mampu menerapkan sikap aktifnya dengan mula-mula mengumpulkan bukti-bukti kemudian memberikan komentar atas bukti-bukti tersebut. Ia dapat memanfaatkan pengalaman dan kecakapannya untuk membantu juri menemukan keputusan yang tepat dan penilaiannya itu berpengaruh besar terhadap penjurian. Sikap aktif atau tidaknya seorang hakim dalam persidangan tidak dapat sepenuhnya dijadikan tolak ukur apakah suatu pemeriksaan inquisitor(inquisitoir)

ataukah akusatoir (accusatoir). Ada pendapat yang menyatakan pula bahwa hakim-hakim di Indonesia dinilai lebih aktif dalam pemeriksaan daripada hakim Amerika Serikat seperti yang telah disebutkan di atas.

Pada suatu sikap aktif yang dimiliki hakim, dimungkinkan hakim mengambil suatu putusan dimana dinyatakan berlaku suatu peraturan hukum yang baik oleh terdakwa ditentang kebenarannya. Sikap aktif hakim ini juga harus ada yang membatasi dalam pelaksanaannya, seperti undang-undang yang berlaku dalam suatu negara dan keyakinan hakim itu sendiri. Dimungkinkan sekali ada hakim yang mulai dengan melulu berpikir, apakah tentang perkara yang bersangkutan ada peraturan yang termuat dalam undang-undang atau dalam suatu peraturan-peraturan tertentu, dan kalau terdapat peraturan-peraturan barulah hakim tersebut kembali memikirkan bagaimana suatu putusan harus diadakan, berdasar alasan-alasan yang telah terdapat dalam peraturan hukum tertentu (Wirjono Prodjodikoro, 1974 : 32).


(37)

Cara menjalankan peradilan yang seperti ini adalah kaku, tidak dinamis. Seorang hakim yang seperti ini akan sering menemukan jalan buntu dan terpaksa mengadakan putusan yang bersifat negatif dan tentunya tidak memuaskan bagi terdakwa yang merasa dirugikan hak asasi manusianya. Dan dalam hal yang seperti inilah, keaktifan hakim dalam persidangan tidak dapat dimunculkan untuk mengungkap fakta yang sesungguhnya terjadi.

Tidak terbentuknya sikap hakim aktif dalam persidangan atau hakim pasif, dapat memunculkan kekhawatiran akan kesewenang-wenangan terhadap putusan yang dijatuhkannya kelak. Kekhawatiran ini dapat diperkecil apabila diingat bahwa hakim-hakim yang berada dibawah sumpah jabatannya boleh dianggap mempunyai rasa tanggung jawab yang penuh dan mereka berada di bawah pengawasan pengadilan dengan tingkat yang lebih tinggi pada umumnya, dan Mahkamah Agung pada khususnya.


(38)

III. METODE PENELITIAN

Metode merupakan suatu bentuk atau cara yang dipergunakan dalam pelaksanaan suatu penelitian guna mendapatkan, mengolah, dan menyimpulkan data yang dapat memecah suatu persoalan (Soerjono Soekanto, 1986 : 5).

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah menelaah hukum sebagai kaidah yang dianggap sesuai dengan pendidikan hukum tertulis. Pendekatan ini dilakukan melalui penelitian kepustakaan dengan cara mempelajari hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas hukum, konsepsi, pandangan, peraturan hukum serta sistem hukum yang berkaitan dengan permasalahan dalam penulisan skripsi ini.

Pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan maksud untuk mempelajari hukum dalam kenyataan atau berdasarkan fakta yang didapat secara objektif di lapangan, baik berupa pendapat, sikap dan perilaku hukum yang didasarkan pada identifikasi hukum dan efektifitas hukum.


(39)

B. Sumber dan Jenis Data

Jenis data dapat dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka (Soerjono Soekanto, 1986 : 11).

Sumber dan jenis data pada penulisan ini menggunakan dua sumber data, yaitu : 1. Data Primer

Data primer adalah data yang didapat secara langsung dari sumber pertama (Soerjono Soekanto, 1986 : 12). Data primer merupakan data yang diperoleh dari studi lapangan yang tentunya berkaitan dengan masalah yang akan diteliti dan dibahas. Penulis akan meneliti dan mengkaji sumber data yang diperoleh dari hasil penelitian di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang. Adapun responden yang dipilih adalah hakim yang berada pada wilayah hukum Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang serta dosen bagian hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan dengan melakukan studi kepustakaan melalui studi dokumen, arsip dan literatur-literatur dengan mempelajari hal-hal yang bersifat teoritis, konsep-konsep, pandangan dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan pokok-pokok penulisan yaitu Penerapan Asas Hakim Aktif pada Tahap Pembuktian di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang.


(40)

✂8

Adapun data sekunder tersebut meliputi :

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, terdiri dari: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

3. Undang-Undang 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk ataupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang terdiri dari literatur-literatur, kamus, media elektronik dan lain-lain.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi atau universe adalah sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri atau karakteristik yang sama (Soerjono Soekanto, 1986 : 172). Dalam penelitian ini yang menjadi populasi yaitu Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang dan Dosen bagian hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Untuk mendapatkan data yang diperlukan dari populasi, penulis melakukan wawancara kepada responden yang telah dipilih sebagai sampel yang dianggap dapat mewakili seluruh responden.

Penentuan sampel dari populasi yang akan diteliti digunakan metode Purposive Sampling,yaitu sampel yang diambil hanya yang sesuai dengan tujuan penelitian. Dengan kata lain, sampel yang dihubungi adalah sampel yang sesuai dengan


(41)

kriteria tertentu yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian (Abdulkadir Muhammad, 2004 : 47). Adapun responden yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah :

1. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 4 (empat) orang 2. Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum

Universitas Lampung : 1 (satu) orang +

Jumlah : 5 (lima) orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai berikut : a. Studi Kepustakaan

Yaitu data yang diperoleh berdasarkan studi kepustakaan baik dari bahan hukum primer berupa undang-undang maupun bahan hukum sekunder berupa penjelasan bahan hukum primer, dilakukan dengan cara mencatat dan mengutip buku serta literatur maupun pendapat para sarjana atau ahli hukum lainnya yang berhubungan dengan penulisan ini.

b. Studi Lapangan

Yaitu data yang diperoleh secara langsung dari responden. Untuk memperoleh data tersebut dilakukan dengan studi lapangan dengan cara menggunakan metode wawancara.


(42)

✆0

2. Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari data primer maupun data sekunder kemudian dilakukan metode sebagai berikut :

a. Editing yaitu data yang diperoleh kemudian diperiksa untuk diketahui apakah masih terdapat kekurangan ataupun apakah data tersebut sesuai dengan penulisan yang akan dibahas.

b. Klasifikasi yaitu mengelompokkan data yang diperoleh untuk mempermudah melakukan analisis.

c. Sistematisasi yaitu data yang diperoleh dan telah diediting kemudian dilakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap pokok bahasan secara sistematis.

E. Analisis Data

Analisis terhadap data yang diperoleh dilakukan denagan cara analisis kualitatif yaitu analisis yang dilakukan secara deskriptif, yakni apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan perilaku yang nyata (Soerjono Soekanto, 1986 : 32).

Kemudian hasil analisis tersebut diteruskan dengan menarik kesimpulan secara induktif yaitu suatu proses berpikir untuk menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat khusus (Abdulkadir Muhammad, 2004 : 8), yang kemudian diperbantukan dengan hasil studi kepustakaan guna menjawab permasalahan yang dikemukakan.


(43)

A. Kesimpulan

Sebagai bagian akhir dari penulisan skripsi yang berjudul Penerapan Asas Hakim Aktif pada Tahap Pembuktian di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang, maka penulis membuat kesimpulan dari data-data yang diperoleh dari hasil penelitian, yaitu :

1. Penerapan asas hakim aktif pada tahap pembuktian di Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang berkaitan dengan kasus pencurian atas nama terdakwa Deni Saputra dilakukan oleh hakim melalui dua hal penting yaitu pertama memiliki keyakinan terlebih dahulu terhadap kesalahan yang dilakukan terdakwa, bertitik tolak dari teori pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (Conviction Raissunne) dan berkaitan erat dengan Pasal 183 KUHAP yang melahirkan suatu “keyakinan hakim” atas keterbuktian kesalahan terdakwa dan yang kedua adalah hakim yang memeriksa perkara tidak boleh hanya percaya semata pada argumen-argumen yang disampaikan penuntut umum dalam persidangan.

Kecakapan seorang hakim dibutuhkan untuk menjadi hakim yang aktif dalam menilai setiap alat bukti yang dihadirkan. Seorang hakim harus lebih pandai dalam mencermati dan menilai alat-alat bukti serta kesaksian baik terdakwa maupun saksi yang dihadirkan dalam proses pembuktian di persidangan.


(44)

✝ ✞

Keaktifan seorang hakim telah mampu diterapkan di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang walaupun belum secara maksimal, karena penegak hukum juga belum sepenuhnya mengikuti undang-undang dan terkadang hanya berlandaskan keyakinannya dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Hukum acara pidana mempunyai ilmu-ilmu bantu yang merupakan pengetahuan tambahan bagi penegak hukum khususnya hakim dalam menjalankan peradilannya antara lain ilmu logika, psikologi, kriminalistik, psikiatri dan kriminologi. Ilmu-ilmu bantu yang salah satunya ilmu psikologi digunakan oleh seorang hakim dalam mengambil peran aktifnya saat proses pembuktian untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terutama saat pemeriksaan terdakwa maupun saksi.

2. Faktor penghambat bagi hakim dalam menerapkan asas hakim aktif di persidangan antara lain hakim sebagai penegak hukum belum sepenuhnya mengikuti ketentuan undang-undang yang berlaku dalam peradilan, penegak hukum yang bertindak sewenang-wenang dan berperilaku tidak sesuai dengan undang-undang, pendapatan dan sarana yang diterima oleh hakim belum memadai untuk melaksanakan penegakkan hukum sehingga terjadinya interaksi antar hakim dengan pihak berperkara, kesadaran masyarakat yang masih rendah akan hukumserta masih adanya budaya ”main hakim sendiri” di kalangan penegak hukum dalam bersikap terhadap terdakwa yang juga disebabkan karena adanya ketidakpercayaan dari masyarakat pada proses peradilan masa kini sehingga melakukan peradilan sendiri terhadap pelaku kejahatan. Hambatan lain juga terdapat pada alat-alat bukti yang memenuhi minimum pembuktian seperti yang ditentukan oleh undang-undang namun


(45)

hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa, serta saksi dihadirkan dianggap belum cukup untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa, terjadinya mafia peradilan yang dilakukan oleh penegak hukum itu sendiri dalam peradilan serta kurangnya pengetahuan hukum dan pengalaman hakim dalam menerapkan hukum terhadap perkara yang diperiksanya.

B. Saran

Adapun saran-saran yang akan penulis kemukakan sebagai akhir dari keseluruhan penulisan skripsi ini adalah :

1. Seorang hakim yang menjadi tokoh sentral dalam persidangan diharapkan untuk lebih cermat dan teliti dalam menilai alat-alat bukti yang diajukan di persidangan. Diharapkan juga kepada hakim agar lebih objektif dalam menilai setiap fakta-fakta maupun argumen yang terungkap maupun yang disampaikan oleh pihak-pihak berkaitan dengan perkara yang diperiksanya dikarenakan apa yang diungkapkan oleh pihak berperkara belum tentu sepenuhnya benar.

2. Setiap hakim dalam menjalankan kewajiban dan peranannya terikat pada peraturan, untuk itu diharapkan bagi hakim untuk selalu menerapkan hukumnya berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya yang sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku, agar peranan aktifnya sebagai hakim dapat berjalan selaras dengan ketentuan undang-undang dan kode etik hakimnya.


(46)

PENERAPAN ASAS HAKIM AKTIF PADA TAHAP PEMBUKTIAN DI PENGADILAN NEGERI KELAS IA TANJUNG KARANG

Oleh Faradhila Putri

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(47)

(Skripsi)

Oleh

FARADHILA PUTRI

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(48)

i

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang... ... 1

B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

D. Kerangka Teoritis dan Kerangka Konseptual... 9

E. Sistematika Penulisan ... 16

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pembuktian ... 18

B. Pengertian Hakim Aktif... 20

C. Teori-Teori Pembuktian ... 23

D. Peranan Hakim dalam Pengadilan ... 29

E. Hakim dan Pelaksanaan Peradilan... 33

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 36

B. Sumber dan Jenis Data... 37

C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 38

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 39


(49)

ii

B. Penerapan Asas Hakim Aktif Pada Tahap Pembuktian

di Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang ... 43 C. Faktor-Faktor Penghambat bagi Hakim dalam Menerapkan

Asas Hakim Aktif di Persidangan ... 64

V. PENUTUP

A. Kesimpulan... 74 B. Saran ... 76 DAFTAR PUSTAKA


(50)

DAFTAR PUSTAKA

Adji, Oemar Seno. 1984. Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi. Jakarta. Erlangga.

Alfitra. 2011.Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia. Jakarta. Raih Asa Sukses.

Hamzah, Andi. 1994. Pelaksanaan Peradilan Pidana Berdasarkan Teori dan Praktek.Jakarta. Rineka Cipta.

____________. 2008.Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta.Sinar Grafika. Harahap, Yahya. 1985.Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid

II. Jakarta. Pustaka Kartini.

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung. Citra Aditya Bakti.

Mulyadi, Lilik. 1996. Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Pengadilan).Bandung. Citra Aditya Bakti.

Prakoso, Djoko. 1985. Kedudukan Justisiabel di dalam KUHAP. Jakarta. Ghalia Indonesia.

____________. 1987. Penyidik, Penuntut Umum, Hakim dalam Proses Hukum Acara Pidana. Jakarta. Bina Aksara.

Prinst, Darwan. 1998.Hukum Acara Pidana dalam Praktik. Jakarta. Djambatan. Prodjodikoro, Wirjono. 1974.Bunga Rampai Hukum. Jakarta. Ichtiar Baru.

Siregar, Bismar. 1983. Berbagai Segi Hukum dan Perkembangannya dalam Masyarakat. Bandung. Alumni.

Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum.Jakarta. Rajawali Press.

________________. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta. Universitas Indonesia Press.


(51)

Sinar Grafika.

Wijayanta, Tata. 2011. Perbedaan Pendapat dalam Putusan Pengadilan. Yogyakarta. Pustaka Yustisia.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

http://id.shvoong.com/tags/asas-asas-umum-kekuasaan-kehakiman-peradilan-yang-baik/

http://wonkdermayu.wordpress.com/kuliah-hukum/yurisprudensi-hukum-pidana/

http://tiarascastleofthinking.blogspot.com/2009/08/peranan-hakim-dalam-menerapkan-atau.html


(52)

Judul Skripsi : PENERAPAN ASAS HAKIM AKTIF PADA TAHAP PEMBUKTIAN DI PENGADILAN NEGERI KELAS IA TANJUNG KARANG Nama Mahasiswa : Faradhila Putri

No. Pokok Mahasiswa : 0812011165

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1.Komisi pembimbing

Hj. Firganefi, S.H.,M.H. Eko Raharjo, S.H.,M.H

NIP. 19631217 198803 2 003 NIP. 19610406 198903 1 003

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati Maulani, S.H.,M.H. NIP. 19620817 198703 2 003


(53)

1. Tim Penguji

Ketua :Firganefi, S.H., M.H. ...

Sekretaris/Anggota :Eko Raharjo, S.H., M.H. ...

Penguji Utama :Maya Shafira, S.H., M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S NIP. 19621109 198703 1 003


(54)

MOTTO

Tuhan tidak menurunkan takdir begitu saja. Tuhan

memberikan takdir sesuai dengan apa yang kita lakukan. Jika

kita maju dan berusaha, Tuhan akan memberikan takdir

kesuksesan. Jika kita lengah dan malas, maka Tuhan akan

memberikan takdir kegagalan.

Orang yang gagal selalu mencari jalan untuk menghindari

kesulitan, sementara orang yang sukses selalu menerjang

kesulitan untuk menggapai kesuksesan.

Banggalah pada dirimu sendiri meski ada yang tak menyukai.

Kadang mereka membenci karena mereka tak mampu menjadi


(55)

Puji syukur kuucapkan kepada Allah SWT, untuk setiap nikmat, karunia dan kebahagiaan yang di dapat selama perjalanan hidupku ini.

Dengan segala kerendahan hati kupersembahkan karya ini kepada Ayah dan Mama tersayang dan tercinta yang senantiasa mencurahkan begitu banyak kasih

sayang, perhatian dan dukungannya baik secara materiil maupun moril. Tanpa

do’a mereka,karya kecil ini tidak akan tercipta untuk dijadikan sebagai suatu kebanggaan.

Ayuk Ria dan Mas Dimas tersayang yang selalu memberido’a, bantuan dan

semangat kepada penulis dalam kesehariannya.

Sahabat-sahabat terbaikku yang tersayang yang selama ini selalu menemani,

memberikan dukungan dan do’a untuk keberhasilanku dan demi kesuksesan

bersama-sama, terima kasih atas persahabatan yang kalian berikan selama ini. Aditya Ibnu Topan yang selalu memberikan semangat, do’a, bantuan serta

dukungannya demi keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Serta


(56)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 23 Juni 1990. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Maryono dan Ibu Nurjanah.

Penulis memulai pendidikannya di Taman Kanak-Kanak Taruna Jaya dan tamat pada tahun 1996, melanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri 2 Perumnas Wayhalim dan tamat pada tahun 2002, penulis melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 29 Bandar Lampung dan tamat pada tahun 2005, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 5 Bandar Lampung dan tamat pada tahun 2008.

Pada Tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) dan mengambil minat bagian Hukum Pidana.

Pada bulan Juli-Agustus tahun 2011 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Muara Tenang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Mesuji.


(57)

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 23 Juni 1990. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Maryono dan Ibu Nurjanah.

Penulis memulai pendidikannya di Taman Kanak-Kanak Taruna Jaya dan tamat pada tahun 1996, melanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri 2 Perumnas Wayhalim dan tamat pada tahun 2002, penulis melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 29 Bandar Lampung dan tamat pada tahun 2005, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 5 Bandar Lampung dan tamat pada tahun 2008.

Pada Tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) dan mengambil minat bagian Hukum Pidana.

Pada bulan Juli-Agustus tahun 2011 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Muara Tenang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Mesuji.


(58)

SANWACANA

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dan petunjuk dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini izinkan Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Ketua Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Ibu Hj. Firganefi, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Akademik sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah berkenan meluangkan waktu dan pikiran untuk membaca, mengoreksi, mengarahkan, dan memberikan motivasi kepada Penulis selama penulisan skripsi ini dengan penuh perhatian dan kesabaran.

4. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang telah berkenan meluangkan waktu dan pikiran untuk membaca, mengoreksi, mengarahkan, dan mendukung Penulis selama penulisan skripsi ini dengan penuh perhatian dan kesabaran.


(59)

penulisan skripsi ini.

6. Ibu Rini Fathonah, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas II yang telah berkenan memberikan kritik dan saran-sarannya dalam penulisan skripsi ini. 7. Bapak Gunawan Jatmiko, S.H.,M.H., selaku Narasumber yang telah

meluangkan waktunya dan telah memberikan pendapat serta sarannya kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah banyak memberikan ilmu, khususnya ilmu hukum kepada Penulis.

9. Seluruh staf karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung baik dibidang kemahasiswaan maupun akademik, terkhusus Mbak Sri dan Mbak Yanti yang telah banyak membantu Penulis demi kelancaran skripsi ini, terimakasih atas bantuannya.

10. Bapak Binsar Siregar, S.H., M.Hum., selaku Ketua Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang yang telah memberikan izin kepada Penulis untuk melakukan penelitian di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang, sehingga penelitian dapat berjalan dengan lancar.

11. Bapak Jarno Budiyono, S.H.,M.H., Bapak Itoeng Isnaeni Hidayat, S.H.,M.H., dan Bapak Judika M. Hutagalung, S.H.,M.H., serta Ibu Sri Suharini, S.H.,M.H., selaku Hakim di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang yang sudah memberikan waktu dan tempatnya atas informasi yang berguna bagi penulisan skripsi ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.


(60)

12. Ayah dan Mama tersayang, kupersembahkan karya kecil ini sebagai tanda terima kasihku, terimakasih atas do’a, semangat, dukungan dan limpahan kasih sayang yang telah diberikan selama perjalanan hidupku.

13. Ayuk Ria dan Mas Dimas serta Aditya Ibnu Topan yang dengan setianya memberikando’a,semangat serta bantuan yang begitu banyak kepada Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

14. Sahabat-sahabatku tersayang; Dina Maryana, Intan Komala Dewi, Kesuma Ariyanti, Hartiani Wibowo, Ira Q. Saragih, Fenny Tri Astuti, Dwi Haska, Windy Febriyani, Ririn Hardiani, Shinta Pratiwi, Kurnia Dwirizki, Selvy Diah Puspitarini, Marissa, Daniel, dan teman-teman lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas persahabatan yang telah diberikan, doa dan bantuan dari kalian semua yang tidak akan terlupakan. .

15. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan baik itu berupa moril maupun materiil selama penulis menempuh pendidikannya.

16. Almamater tercinta Universitas Lampung.

Hanya kepada Allah SWT Penulis memanjatkan doa dan rasa syukur yang begitu besar, semoga semua amal kebaikan dan bantuan yang telah diberikan kepada Penulis mendapatkan balasan yang lebih besar dari Allah SWT. Amin.

Akhir kata penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Bandar Lampung, 01 Mei 2012

Penulis


(1)

PERSEMBAHAN

Puji syukur kuucapkan kepada Allah SWT, untuk setiap nikmat, karunia dan kebahagiaan yang di dapat selama perjalanan hidupku ini.

Dengan segala kerendahan hati kupersembahkan karya ini kepada Ayah dan Mama tersayang dan tercinta yang senantiasa mencurahkan begitu banyak kasih

sayang, perhatian dan dukungannya baik secara materiil maupun moril. Tanpa do’a mereka,karya kecil ini tidak akan tercipta untuk dijadikan sebagai suatu

kebanggaan.

Ayuk Ria dan Mas Dimas tersayang yang selalu memberido’a, bantuan dan semangat kepada penulis dalam kesehariannya.

Sahabat-sahabat terbaikku yang tersayang yang selama ini selalu menemani, memberikan dukungan dan do’a untuk keberhasilanku dan demi kesuksesan bersama-sama, terima kasih atas persahabatan yang kalian berikan selama ini.

Aditya Ibnu Topan yang selalu memberikan semangat, do’a, bantuan serta dukungannya demi keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Serta


(2)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 23 Juni 1990. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Maryono dan Ibu Nurjanah.

Penulis memulai pendidikannya di Taman Kanak-Kanak Taruna Jaya dan tamat pada tahun 1996, melanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri 2 Perumnas Wayhalim dan tamat pada tahun 2002, penulis melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 29 Bandar Lampung dan tamat pada tahun 2005, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 5 Bandar Lampung dan tamat pada tahun 2008.

Pada Tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) dan mengambil minat bagian Hukum Pidana.

Pada bulan Juli-Agustus tahun 2011 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Muara Tenang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Mesuji.


(3)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 23 Juni 1990. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Maryono dan Ibu Nurjanah.

Penulis memulai pendidikannya di Taman Kanak-Kanak Taruna Jaya dan tamat pada tahun 1996, melanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri 2 Perumnas Wayhalim dan tamat pada tahun 2002, penulis melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 29 Bandar Lampung dan tamat pada tahun 2005, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 5 Bandar Lampung dan tamat pada tahun 2008.

Pada Tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) dan mengambil minat bagian Hukum Pidana.

Pada bulan Juli-Agustus tahun 2011 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Muara Tenang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Mesuji.


(4)

SANWACANA

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dan petunjuk dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini izinkan Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Ketua Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Ibu Hj. Firganefi, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Akademik sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah berkenan meluangkan waktu dan pikiran untuk membaca, mengoreksi, mengarahkan, dan memberikan motivasi kepada Penulis selama penulisan skripsi ini dengan penuh perhatian dan kesabaran.

4. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang telah berkenan meluangkan waktu dan pikiran untuk membaca, mengoreksi, mengarahkan, dan mendukung Penulis selama penulisan skripsi ini dengan penuh perhatian dan kesabaran.


(5)

5. Ibu Maya Shafira, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas I yang telah berkenan memberikan banyak masukan serta kritik yang bersifat membangun dalam penulisan skripsi ini.

6. Ibu Rini Fathonah, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas II yang telah berkenan memberikan kritik dan saran-sarannya dalam penulisan skripsi ini. 7. Bapak Gunawan Jatmiko, S.H.,M.H., selaku Narasumber yang telah

meluangkan waktunya dan telah memberikan pendapat serta sarannya kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah banyak memberikan ilmu, khususnya ilmu hukum kepada Penulis.

9. Seluruh staf karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung baik dibidang kemahasiswaan maupun akademik, terkhusus Mbak Sri dan Mbak Yanti yang telah banyak membantu Penulis demi kelancaran skripsi ini, terimakasih atas bantuannya.

10. Bapak Binsar Siregar, S.H., M.Hum., selaku Ketua Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang yang telah memberikan izin kepada Penulis untuk melakukan penelitian di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang, sehingga penelitian dapat berjalan dengan lancar.

11. Bapak Jarno Budiyono, S.H.,M.H., Bapak Itoeng Isnaeni Hidayat, S.H.,M.H., dan Bapak Judika M. Hutagalung, S.H.,M.H., serta Ibu Sri Suharini, S.H.,M.H., selaku Hakim di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang yang sudah memberikan waktu dan tempatnya atas informasi yang berguna bagi penulisan skripsi ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.


(6)

12. Ayah dan Mama tersayang, kupersembahkan karya kecil ini sebagai tanda terima kasihku, terimakasih atas do’a, semangat, dukungan dan limpahan kasih sayang yang telah diberikan selama perjalanan hidupku.

13. Ayuk Ria dan Mas Dimas serta Aditya Ibnu Topan yang dengan setianya memberikando’a,semangat serta bantuan yang begitu banyak kepada Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

14. Sahabat-sahabatku tersayang; Dina Maryana, Intan Komala Dewi, Kesuma Ariyanti, Hartiani Wibowo, Ira Q. Saragih, Fenny Tri Astuti, Dwi Haska, Windy Febriyani, Ririn Hardiani, Shinta Pratiwi, Kurnia Dwirizki, Selvy Diah Puspitarini, Marissa, Daniel, dan teman-teman lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas persahabatan yang telah diberikan, doa dan bantuan dari kalian semua yang tidak akan terlupakan. .

15. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan baik itu berupa moril maupun materiil selama penulis menempuh pendidikannya.

16. Almamater tercinta Universitas Lampung.

Hanya kepada Allah SWT Penulis memanjatkan doa dan rasa syukur yang begitu besar, semoga semua amal kebaikan dan bantuan yang telah diberikan kepada Penulis mendapatkan balasan yang lebih besar dari Allah SWT. Amin.

Akhir kata penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bandar Lampung, 01 Mei 2012

Penulis


Dokumen yang terkait

ANALISIS PENJATUHAN PIDANA TERHADAP PELAKU KEJAHATAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH MASSA (Studi Pada Wilayah Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang)

0 3 20

ANALISIS PENJATUHAN PIDANA TERHADAP PELAKU KEJAHATAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH MASSA (Studi Pada Wilayah Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang)

0 3 12

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN DOKUMEN PERUSAHAAN (Studi Kasus Pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang)

0 7 55

PERAN HAKIM AD HOC PADA PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (Studi pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang)

0 17 49

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PIDANA REHABILITASI SEBAGAI IMPLEMENTASI PEMBAHARUAN PIDANA BAGI PENGGUNA NARKOTIKA (Studi pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang)

0 7 52

PENERAPAN ASAS AUDI ET ALTERAM PARTEM PADA TAHAP PEMBUKTIAN DALAM SENGKETA PERDATA PENERAPAN ASAS AUDI ET ALTERAM PARTEM PADA TAHAP PEMBUKTIAN DALAM SENGKETA PERDATA (Studi Kasus Tentang Sengketa Tanah di Pengadilan Negeri Surakarta).

0 1 14

PENERAPAN GUGATAN LEGAL STANDING PADA PENGADILAN NEGERI KELAS IA PADANG.

0 0 9

Eksistensi Pidana Denda Dalam Putusan Hakim di Pengadilan Negeri Kelas IA Padang.

0 0 8

PENYELESAIAN PERKARA HADHANAH DI PENGADILAN AGAMA KELAS IA TANJUNG KARANG

0 8 93

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Profil Pengadilan Agama Kelas IA Tanjung Karang 1. Sejarah Pengadilan Agama Kelas IA Tanjung Karang - Analisis putusan pengadilan agama tentang hak hadhanah pada mantan suami:studi di pengadilan agama kelas 1A Tanjung Karang - R

0 1 36