ANALISIS YURIDIS TERHADAP PIDANA REHABILITASI SEBAGAI IMPLEMENTASI PEMBAHARUAN PIDANA BAGI PENGGUNA NARKOTIKA (Studi pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang)

(1)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PIDANA REHABILITASI SEBAGAI IMPLEMENTASI PEMBAHARUAN PIDANA

BAGI PENGGUNA NARKOTIKA

(Studi pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang) Oleh

AGUNG SENNA FERRARI

Pemidanaan dalam bentuk pidana penjara kepada pengguna narkotika menimbulkan dampak negatif bagi terpidana itu sendiri, misalnya terjadi kekerasan selama di dalam lembaga pemasyarakatan, label negatif terhadap mantan narapidana dan setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan tidak menutup kemungkinan pelaku akan kembali menggunakan narkotika, sehingga pemidanaan yang tepat bagi para pecandu ini adalah rehabilitasi agar pengguna narkotika terlepas dari ketergantungan narkotika. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan pidana bagi pengguna narkotika? 2. Apakah faktor-faktor penghambat pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan pidana bagi pengguna narkotika?

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Data dianalisis secara kualitatif untuk memperoleh kesimpulan penelitian.

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan pidana bagi pengguna narkotika dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu dekriminalisasi para pelaku penyalahgunaan narkotika. Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. (2) Faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan pidana bagi pengguna narkotika adalah: a) Faktor Substansi Hukum, yaitu adanya potensi pemahaman yang salah terhadap Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 Tentang Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. b) Faktor Aparat Penegak Hukum, secara secara kuantitas adalah tidak seimbangnya jumlah aparat kepolisian dibandingkan jumlah pelaku penyalahgunaan narkotika., peluang bagi aparat penegak hukum untuk menjadi pengguna dan pengedar narkotika serta menggelapkan barang bukti narkotika.c) Faktor Masyarakat, yaitu masih adanya ketakutan atau keengganan masyarakat untuk menjadi saksi dalam proses penegakan hukum dan tidak melaporkan adanya tindak pidana penyalahgunaan narkotika.

Saran dalam penelitian ini adalah pemidanaan hendaknya semakin berorientasi dan mewujudkan tujuan perlindungan masyarakat dan melakukan pembinaan kepada pelaku. Hakim hendaknya lebih mempertimbangkan aspek rehabilitasi, khususnya bagi pencandu narkotika sebagai salah satu bentuk pemidanaannya


(2)

(3)

(4)

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 15 Februari 1992, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, merupakan buah hati dari pasangan Bapak A. Ben Bella dan Ibu Khairiah.

Penulis mengawali jenjang pendidikan pada tahun Sekolah Dasar Negeri 2 Teladan Rawa Laut Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2003. Pada tahun 2001 penulis masuk ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 4 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2006, setelah itu melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Bandar Lampung dan lulus pada tahun 2009. Pada tahun 2009 penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(6)

MOTO

Ketidaktahuan adalah kelemahan hidup. Tetapi ketidaktahuan yang paling penting adalah

tidak tahu bahwa sesuatu itu mungkin.

Dua hal untuk menjadi Raja/Penguasa dalam kehidupan yaitu fikiran yang kuat dan hati yang lembut.

Sebelum kita berharap dan meminta orang lain

untuk menghargai, menghormati, menyayangi dan mencintai kita, yang harus kita lakukan terlebih dahulu adalah

membuat diri kita layak dan pantas

untuk dihargai, dihormati, disaayangi dan dicintai oleh orang lain.


(7)

PERSEMBAHAN

Alhamdulillah, Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT Dzat yang tiada bandingnya yang telah menjadikan

segala sesuatu yang sulit ini menjadi mudah.

Dengan segala kerendahan hati

Kupersembahkan karya sederhanaku ini kepada:

Kedua Orangtuaku Tercinta

yang telah bekerja keras tanpa mengenal lelah

demi mensukseskan perjuanganku hingga aku mampu menyelesaikan studi

Kakak dan adikku tersayang

yang telah membuatku menjadi lebih dewasa, tegar, dan lebih bijaksana dalam menjalani hidup


(8)

SANWACANA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Semesta Alam Allah SWT serta shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta sahabatnya. Alhamdulillah atas kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul: Analisis Yuridis Terhadap Pidana Rehabilitasi Sebagai Implementasi Pembaharuan Pidana Bagi Pengguna Narkotika (Studi Pada Pengadilan Negeri Kelas Ia Tanjung Karang). Adapun maksud penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Segala kemampuan telah penulis curahkan guna menyelesaikan skripsi ini, namun penulis menyadari masih terdapat kekurangan baik dari segi substansi maupun penulisannya. Penulis juga menyadari ini bukanlah hasil jerih payah sendiri akan tetapi juga berkat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak baik moril maupun materiil sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai. Oleh karena itu didalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(9)

masukan dan saran yang diberikan dalam perbaikan skripsi.

3. Bapak Dr. Maroni, S.H.,M,H., selaku Pembimbing I yang telah meluangkan waktu dan fikirannya untuk serta memberikan semangat kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Ibu Firganefi, S.H.,M,H., selaku Pembimbing II yang telah meluangkan waktu dan fikirannya untuk serta memberikan semangat kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen beserta seluruh staf karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan pembelajaran berharga bagi penulis serta memberikan kemudahan dan bantuannya selama ini.

6. Papaku A. Ben Bella dan Mama Khairiah atas cinta, kasih sayang, dukungan dan pengorbanan yang telah diberikan demi keberhasilanku.

7. Adik-adikku Sandy Naufal dan Evita Thatcer, atas motivasi dan dukungan yang diberikan selama ini.

8. Teman-teman seperjuanganku: Bro_Kum (Feri, Rifki, Soleh, Yoga, Saddam, Aci, Ciendy, Tari, Yoga Pc, Welin, Ami, Anand, Acil, Andri, Tody, Ridho, Dito, Byon, Yuki, Aldis, Soraya dan Angga).

9. Teman-teman KKN Tematik Unila 2009 Desa Sido Asih Lampung Selatan 10.Seluruh angkatan 2009, terutama teman-teman Jurusan Pidana 2009 atas


(10)

semangat, do’a serta bantuan baik secara moril maupun materiil.

12. Semua pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga Allah SWT menerima dan membalas semua kebaikan yang kita perbuat. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi yang membacanya. Amin

Bandar Lampung, Oktober 2014 Penulis


(11)

DAFTAR ISI

I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 10

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 10

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 11

E. Sistematika Penulisan ... 16

II TINJAUAN PUSTAKA ... 18

A. Pembaharuan Hukum Pidana ... 18

B. Teori Tujuan Pemidanaan ... 21

C. Penegakan Hukum Pidana... 26

D. Tindak Pidana Narkotika... 29

E. Rehabilitasi Pecandu Narkotika ... 30

III METODE PENELITIAN ... 33

A. Pendekatan Masalah ... 33

B. Sumber dan Jenis Data ... 33

C. Narasumber Penelitian ... 35

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 36

E. Analisis Data ... 36

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 37

A. Karakteristik Narasumber ... 37

B. Pelaksanaan Pidana Rehabilitasi Sebagai Implementasi Pembaharuan Pidana Bagi Pengguna Narkotika ... 38


(12)

Implementasi Pembaharuan Pidana Bagi Pengguna Narkotika ... 56

V PENUTUP ... 61

A. Simpulan ... 61

B. Saran ... 62


(13)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Kebijakan penanggulangan kejahatan pengedar narkotika dengan pidana penjara ditinjuau dari Pemidanaan terhadap pengedar narkotika terdapat dalam pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Pemidanaan pelaku pengguna narkotika mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lain. pemidanaan sebagai ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat sehingga pandangan ini melihat pemindanaan hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggung jawab moralnya masing-masing. Selain itu pemidanaan dapat bermanfaat dalam untuk mencapai situasi atau keadaan yang ingindihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Tujuan pemidanaan adalah:

a) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;

b) Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;

c) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;

d) Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. 1

1

Muladi. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit UNDIP. Semarang. 2001. hlm. 75.


(14)

Tujuan pemidanaan mengandung unsur perlindungan masyarakat, pandangan rehabilitasi dan resosialisasi terpidana. pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat. Pandangan ini mengerucut pada dua kepentingan, yakni perlindungan masyarakat dan pembinaan bagi pelaku. pemidanaan mengakui asas-asas atau keadaan yang meringankan Pemidanaan,mendasarkan pada keadaan obyektif dan mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual dari pelaku tindak pidana. Dengan kata lain tujuan pemidanaan adalah untuk mencapai manfaat untuk melindungi masyarakat dan menuju kesejahteraan masyarakat. Tujuan pemidanaan bukan merupakan pembalasan kepada pelaku di mana sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan. Berdasarkan peraturan Undang-Undang Narkotika yang ada maka diketahui bahwa pelaku tindak pidana narkoba diancam dengan pidana yang tinggi dan berat dengan dimungkinkannya terdakwa divonis maksimal yakni pidana mati selain pidana penjara dan pidana denda. Mengingat tindak pidana narkotika dan psikotropika termasuk dalam jenis tindak pidana khusus maka ancaman pidana terhadapnya dapat dijatuhkan secara kumulatif dengan menjatuhkan 2 jenis pidana pokok sekaligus, misalnya pidana penjara dan pidana denda atau pidana mati dan pidana denda. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), penjatuhan dua hukuman pokok sekaligus memang tidak dimungkinkan sehingga tidak ada hukuman yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan pidana denda karena KUHP hanya menghendaki salah satu pidana pokok saja. Namun demikian, sebagai tindak pidana yang bersifat khusus, maka untuk tindak pidana narkoba , hakim diperbolehkan untuk menghukum terdakwa dengan dua pidana pokok sekaligus


(15)

yang pada umumnya berupa pidana badan (berupa pidana mati, pidana seumur hidup atau pidana penjara) dengan tujuan agar pemidanaan itu memberatkan pelakunya agar tindak pidana dapat ditanggulangi di masyarakat. Sistem pemidanaan di Indonesia pidana mati menempatkan hukuman mati sebagai hukuman yang paling berat dari sekian banyak hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana, karena hukuman ini menyangkut jiwa manusia. Pemberlakuan pidana mati selalu mengundang kontroversi. Hal tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, namun kontroversi ini terjadi pula di sejumlah negara Eropa yang telah membatalkan pidana mati. Beberapa pendapat menyebutkan bahwa pidana mati tidak sesuai dengan Hak Asasi Manusia. Ancaman terberat yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana narkotika adalah dijatuhinya pelaku dengan pidana mati. Terlepas dari berbagai kontroversi mengenai pidana mati tersebut maka haruslah dilihat terlebih dahulu mengenai relevansinya dengan nilai dan norma Pancasila. Pancasila haruslah menjiwai dan menjadi dasar seluruh tertib hukum yang ada di Indonesia. Ini berarti masalah hukum di Indonesia harus diselesaikan berdasarkan Pancasila. Salah satu masalah tersebut adalah mengenai ancaman dan pelaksanaan pidana mati. 2. Formulasi pemidanaan bagi pengedar narkotika harus sesuai dengan semangat tujuan pemidanaan dalam RUU KUHP salah satunya adalah perlindungan masyarakat (social defence) dengan rumusan mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat dan menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam

2

Satjipto Rahardjo. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana.


(16)

masyarakat. Penerapan tentang bagaimana kebutuhan perlindungan masyarakat ini, RUU KUHP mengatur tentang adanya penentuanpidana minimum dan maksimum dalam delik-delik tertentu. Ketentuan mengenai perumusan pidana maksimum dan minimum dalam penjelasan RUU KUHP dikenal dengan pola pemidanaan baru, yaitu minimum khusus dengan tujuan untuk menghindari adanya disparitas pidana yang sangat mencolok untuk tindak pidana yang secara hakiki tidak berbeda kualitasnya, lebih mengefektifkan pengaruh prevensi umum, khususnya bagi tindak pidana yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat. Ketentuan mengenai pidana penjara menganut asas maksimum khusus dan minimum khusus. Pada prinsipnya, pidana minimum khusus merupakan suatu pengecualian, yaitu hanya untuk tindak pidana tertentu yang dipandang sangat merugikan, membahayakan, atau meresahkan masyarakat dan untuk tindak pidana yang dikualifikasi atau diperberat oleh akibatnya. Ketentuan mengenai pidana minimum (khusus) dan maksimum menegaskan bahwa terhadap kejahatan-kejahatan yang meresahkan masyarakat diberlakukan ancaman secara khusus. Ketentuan mengenai pemidanaan dalam RUU KUHP memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan atau penyesuaian pidana kepada narapidana. Pelaku yang dijatuhi pidana atau tindakan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dilakukan perubahan atau penyesuaian dengan mengingat perkembangan narapidana dan tujuan pemidanaan. Perubahan atau penyesuaian tidak boleh lebih berat dari putusan semula dan harus dengan persetujuan narapidana dan perubahan atau penyesuaian dapat berupa pencabutan atau penghentian sisa pidana atau tindakan; dan penggantian jenis pidana atau tindakan lainnya. Penjelasan ketentuan ini memberikan ketegasan bahwa tujuan


(17)

pemidanaan adalah berorientasi untuk pembinaan terpidana, yakni dengan menyatakan bahwa terpidana yang memenuhi syarat-syarat selalu harus dimungkinkan dilakukan perubahan atau penyesuaian atas pidananya, yang disesuaikan dengan kemajuan yang diperoleh selama terpidana dalam pembinaan. Dalam pengertian seperti ini maka yang diperhitungkan dalam perubahan atau pengurangan atas pidana hanyalah untuk kemajuan positif yang dicapai oleh terpidana dan perubahan yang akan menunjang kemajuan positif yang lebih besar lagi. Ketentuan lain yang menunjukkan bahwa pemidanaan kepada pelaku bertujuan untuk mencapai perbaikan kepada pelaku sebagai tujuan pemidanaan adalah ketentuan Pasal 60 yang menyatakan bahwa jika suatu tindak pidana diancam dengan pidana pokok secara alternatif, maka penjatuhan pidana pokok yang lebih ringan harus lebih diutamakan apabila hal itu dipandang telah sesuai dan dapat menunjang tercapainya tujuan pemidanaan. Ketentuan ini sejalan dengan ketentuan mengenai pengurangan hukuman pada masa penangkapan dan penahanan yang dalam penjelasannya dinyatakan bahwa pengurangan masa pidana bertujuan untuk menimbulkan pengaruh psikologis yang baik terhadap terpidana dalam menjalani pembinaan selanjutnya. Jenis pidana yang diatur dalam RUU KUHP terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri atas sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 65 adalah :

1) Pidana penjara 2) Pidana tutupan 3) Pidana pengawasan; 4) Pidana denda 5) Pidana kerja sosial.


(18)

Sementara pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif (Pasal 66) Jenis-jenis pidana tambahan dalam RUU KUHP adalah:

a) Pencabutan hak tertentu

b) Perampasan barang tertentu dan/atau tagihan; c) Pengumuman putusan hakim;

d) Pembayaran ganti kerugian;

e) Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum. 3 Jenis-jenis sanksi dan urutan jenis pidana pokok dalam RUU KUHP sangat berbeda dengan KUHP sekarang di mana dalam KUHP mengenal 5 pidana pokok dan tambahan yang mempunyai tata urutan yang juga berbeda. Tata urutan pidana pokok yang berbeda antara KUHP dengan RUU KUHP ini mengindikasikan bahwa terjadi perubahan dalam penentuan jenis-jenis sanksi pidana. Pidana mati bukan lagi menjadi pidana pokok yang pertama namun menjadi pidana yang sifatnya khusus. Demikian pula dengan pidana tutupan menjadi pidana pokok kedua setelah pidana penjara di mana dalam KUHP, pidana tutupan ini adalah pidana yang berada pada urutan kelima. Salah satu pidana pokok yang tidak lagi dicantumkan adalah pidana kurungan yang pada prinsipnya adalah sanksi pidana yang merupakan pembatasan kebebasan bergerak, sebagaimana pidana penjara, namun dijatuhkan bagi orang-orang yang telah melakukan pelanggaran. RUU KUHP yang tidak lagi mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran sebagaimana pembedaan dalam KUHP sehingga konsekuensinya adalah tidak perlu lagi adanya pidana kurungan.

3

Barda Nawawi Arief. RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi/ Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 2009. hlm.23-24


(19)

Pidana tambahan yang dicantumkan dalam RUU KUHP juga merumuskan pidana tambahan baru yang dinyatakan secara tegas, misalnya tentang pembayaran ganti kerugian dan pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup. Jika dibandingkan dengan KUHP saat ini, dua jenis pidana tambahan tersebut di atas belum dinyatakan sebagai pidana tambahan karena dalam KUHP hanya mengenal 3 jenis pidana tambahan. Berdasarkan ketentuan dalam bagian pidana RUU KUHP, sanksi pidana yang diancamkan mempunyai pembatasan yang bertujuan untuk melindungi dan memberikan upaya rehabilitasi kepada pelaku yang dijatuhi pidana. Indikator utama yang sering digunakan untuk menunjukkan bahwa terpidana dimaksudkan untuk mendapatkan pembinaan adalah dengan adanya perbaikan dari diri terpidana atau terpidana dinyatakan berkelakuan baik. Pengaturan tentang pemidanaan dalam RUU KUHP telah mengalami kemajuan di mana tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan sudah dirumuskan secara jelas dan rinci sebagai bagian untuk menentukan batas pemidanaan (the limit of sentencing) dan penentuan bobot pemidanaan (the level

of sentencing). Ketentuan dalam pemidanaan ini kemudian dipertegas dengan

penentuan jenis-jenis sanksi yang memberikan alternatif bagi pengadilan untuk menentukan sanksi yang patut bagi pelaku berdasarkan tingkat kejahatan, kondisi pelaku dan keadaaan-keadaaan lainnya sehingga tidak ada penyamarataan

(indiscriminately) atas penjatuhan pidana. 4 Tujuan pemidanaan itu baik, tetapi

pada pelaksanaannya di dalam lembaga pemasyarakatan tidak sesuai dengan yang diharapkan, bahkan menimbulkan dampak negatif bagi pelaku tindak pidana, antara lain tindakan kekerasan di dalam lembaga pemasyarakatan, alasan

4

Barda Nawawi Arief. RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi/ Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 2009. hlm. 24


(20)

hilangnya hak keperdataan seseorang (seperti hak waris), setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan susah mencari pekerjaan, karena timbulnya stigma atau label negatif terhadap mantan narapidana. Mengingat dampak negatif yang sedemikian luas maka dicarikan upaya-upaya lain untuk menghindari pidana penjara, antara lain berupa mengefektifkan pidana denda, pidana kerja sosial dan secara khusus berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, yang kemudian dalam pelaksanaan undang-undang tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika. MPasal 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika mengatur bahwa hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat: (a) Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau (b) Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika. Pidana penjara atau pencabutan kemerdekaan, meskipun masih sulit dihapuskan, juga mulai menjadi jenis sanksi yang dalam penerapannya lebih selektif. Namun masih diaturnya hukuman mati, yang banyak tersebar dalam beberapa delik, menjadi bagian yang lebih mengancam tujuan pemidanaan yang telah dirumuskan meskipun dinyatakan sebagai salah satu sanksi pidana yang khusus. Sementara itu sanksi berupa tindakan, diatur lebih maju atau lebih baik dari pengaturan tentang berbagai sanksi tindakan yang saat ini diatur dalam hukum positif Indonesia, baik dalam KUHP maupun undang-undang lainnya. Tujuan pemidanaan yang menekankan pada


(21)

rehabilitasi atau pembinaan terhadap terdakwa terdapat dalam beberapa ketentuan mengenai pengurangan pemidanaannya. Terhadap terpidana yang mendapatkan hukuman penjara seumur hidup, dapat memperoleh keringanan hukuman menjadi 15 tahun apabila terpidana telah menjalani hukumannya selama 10 tahun dan dengan berkelakuan baik. Pelaksanaan sanksi pidana dengan beberapa rumusan tentang diakuinya kondisi, perbuatan atau kelakuan terpidana sebetulnya menegaskan kembali bahwa tujuan pemidanaan yang hendak dianut adalah pola pemidanaan yang menghindarkan dari tujuan pemidanaan yang bersifat retributif di mana terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan bukan sebagai pembalasan. Penetapan dan pelaksanaan sanksi pidana dapat dirubah jika ada perubahan perilaku terpidana ke arah yang lebih baik menjadi salah satu karakteristik bahwa tujuan pemidanaan dari segi manfaat atau kegunaannya di mana yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul: ”Analisis Yuridis Terhadap Pidana Rehabilitasi Sebagai Implementasi Pembaharuan Pidana Bagi Pengguna Narkotika” (Studi Kasus pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang).

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan pidana bagi pengguna narkotika?


(22)

b. Apakah faktor-faktor penghambat pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan pidana bagi pengguna narkotika?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup ilmu penelitian adalah hukum pidana, dengan kajian mengenai pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan pidana bagi pengguna narkotika dan faktor-faktor penghambat pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan pidana bagi pengguna narkotika. Ruang lingkup wilayah penelitian ini adalah pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang dengan waktu penelitian yaitu tahun 2013.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan pidana bagi pengguna narkotika

b. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan pidana bagi pengguna narkotika

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memperkaya kajian ilmu hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan pidana bagi pengguna narkotika dan faktor-faktor penghambat pelaksanaan pidana rehabilitasi


(23)

tersebut. Selain itu sebagai masukan bagi pembuat undang-undang dalam pengaturan mengenai rehabilitasi bagi pengguna narkotika.

b. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi aparat penegak hukum dalam pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan pidana bagi pengguna narkotika yang dipandang sebagai korban kejahatan narkotika. Selain itu sebagai informasi bagi peneliti lain dan masyarakat yang membutuhkan informasi mengenai pelaksanaan pidana rehabilitasi bagi pengguna narkotika

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis merupakan abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan suatu penelitian ilmiah, khususnya penelitian hukum5. Berdasarkan pengertian tersebut maka kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Pidana Rehabilitasi Sebagai Pembaharuan Hukum Pidana

Teori pembaharuan hukum pidana dikemukakan oleh Friedrich Karl von Savigny

dalam Sudarto yang menyatakabn bahwa: “Law is and expression of the common

consciousness or spirit of people” (Hukum tidak dibuat, tetapi ia tumbuh dan

berkembang bersama masyarakat). Pada semua hukum dibentuk dengan cara seperti yang dikatakan orang, hukum adat, dengan bahasa yang biasa tetapi tidak terlalu tepat, dibentuk yakni bahwa hukum itu mulai-mula dikembangkan oleh

5


(24)

adat kebiasaan dan kepercayaan yang umum. Setiap masyararakat mengembangkan hukum kebiasaanya sendiri, karena mempunyai bahasa, adat istiadat (termasuk kepercayaan) dan konstitusi yang khas. 6

Sesuai dengan dasar teori di atas maka produk hukum dapat diketahui melalui pembuatan hukum dan fungsi utama hukum, yaitu:

a) Pembuatan Hukum

Hukum bukan merupakan konsep dalam masyarakat karena hukum tumbuh secara alamiah dalam pergaulan masyarakat yang mana hukum selalu berubah seiring perubahan sosial. Dengan pernyataan ini maka hukum di satu negara tidak dapat diterapkan/ dipakai oleh negara lain karena masyarakatnya berbeda-beda begitu juga dengan kebudayaan yang ada di suatu daerah sudah pasti berbeda pula, dalam hal tempat dan waktu juga berbeda.

Pokok-pokok ajaran mazhab historis yang diuraikan Savigny sebagaimana dikutip Sudarto dapat disimpulkan sebagai berikut:

1) Hukum yang ditemukan tidak dibuat. Pertumbuhan hukum pada dasarnya adalah proses yang tidak disadari dan organis; oleh karena itu perundang-undangan adalah kurang penting dibandingkan dengan adat kebiasaan

2) Karena hukum berkembang dari hubungan-hubungan hukum yang mudah dipahami dalam masyarakat primitif ke hukum yang lebih kompleks dalam peradaban modern kesadaran umum tidak dapat lebih lama lagi menonjolkan dirinya secara langsung, tetapi disajikan oleh para ahli hukum yang merumuskan prinsip-prinsip hukum secara teknis. Tetapi ahli hukum tetap merupakan suatu organ dari kesadaran umum terikat pada tugas untuk memberi bentuk pada apa yang ia temukan sebagai bahan mentah. Perundang-undangan menyusul pada tingkat akhir; oleh karena ahli hukum sebagai pembuat undang-undang relatif lebih penting daripada pembuat undang-undang;

3) Undang-undang tidak dapat berlaku atau diterapkan secara universal. Setiap masyarakat mengembangkan kebiasaannya sendiri karena

6


(25)

mempunyai bahasa adat-istiadat dan konstitusi yang khas. Savigny menekankan bahwa bahasa dan hukum adalah sejajar juga tidak dapat diterapkan pada masyarakat lain dan daerah-daerah lain.Volkgeist dapat dilihat dalam hukumnya oleh karena itu sangat penting untuk mengikuti evolusi volkgeist melalui penelitian sepanjang sejarah. 7 b) Fungsi Utama Hukum

Konsep jiwa masyarakat dalam teori Savigny tentang hukum ini tidak dapat menunjukkan secara jelas bagaimana isi dan ruang lingkupnya. Sehingga amat sulit melihat fungsi dan perkembangannya sebagai sumber utama hukum menurut teori ini. Sesuai dengan teori ini maka hukum yang berlaku pada suatu masyarakat adalah hukum yang berkembang seiring dengan perkembangan yang terjadi dalam konteks kehidupan masyarakat itu sendiri.

b. Teori Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Pidana Penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, namun terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu sebagai berikut:

1) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)

Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Oleh karena itu suatu tindakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. 2) Faktor penegak hukum

Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat dan diaktualisasikan. 3) Faktor sarana dan fasilitas

Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang

7Ibid.


(26)

memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peranan semestinya.

4) Faktor masyarakat

Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. Semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik.

5) Faktor Kebudayaan

Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat. Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegakan hukum, semakin banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam menegakannya. Apabila peraturan-peraturan perundang-undangan tidak sesuai atau bertentangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan hukum.8

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam melaksanakan penelitian 9. Batasan pengertian dari istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Pembaharuan hukum pidana adalah suatu upaya untuk memperbaiki atau memperbaiki berbagai aturan hukum positif, yang secara khusus mengatur masalah pidana dan pemidanaan, dengan melakukan pembenahan dan perbaikan seperangkat aturan hukum berdasarkan tuntutan dan perkembangan kehidupan masyarakat dalam rangka mencapau tujuan pemidanaan yang

8

Soerjono Soekanto. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rineka Cipta. Jakarta.

1986. hlm.8-11

9


(27)

berorientasi pada upaya menciptakan menciptakan hukum pidana yang manusiawi (humanitarian criminal law)10

b. Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum akan membawa bencana ketidakadilan. Dengan demikian demi precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum. 11

c. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum12.

d. Penyalahguna narkotika adalah setiap orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum [Pasal 1 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009].

e. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa

10

Barda Nawawi Arief. Op Cit. hlm.55

11

Romli Atmasasmita. Sistem Peradilan Pidana. Binacipta. Bandung. 1996. hlm. 2

12

Satjipto Rahardjo. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana.


(28)

nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika).

f. Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika. (Pasal 1 Ayat 16 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika).

E. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disajikan ke dalam lima bab dengan sistematika penulisan skripsi yaitu sebagai berikut:

I PENDAHULUAN

Bab ini berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.

II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tinjauan pustaka yang meliputi pengertian tentang pembaharuan hukum pidana, teori tujuan pemidanaan, penegakan hukum pidana, tindak pidana narkotika dan rehabilitasi.

III METODE PENELITIAN

Bab ini berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan Masalah, Sumber Data, Penentuan Populasi dan Sampel, Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data.


(29)

Bab ini berisi penyajian dan pembahasan data yang telah didapat dari hasil penelitian, yang terdiri dari pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan pidana bagi pengguna narkotika dan faktor-faktor yang menghmabat pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan pidana bagi pengguna narkotika.

V PENUTUP

Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan penelitian.


(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pembaharuan Hukum Pidana

KUHP yang sekarang diberlakukan di Indonesia adalah KUHP yang bersumber dari hukum kolonial Belanda (Wetboek van Strafrecht) yang pada prakteknya sudah tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia sekarang. KUHP yang merupakan warisan KUHP Kerajaan Belanda diberlakukan di Indonesia dengan beberapa penyesuaian bahkan Soedarto (1983) menyatakan bahwa teks resmi KUHP hingga saat ini masih dalam bahasa Belanda.1 Pasca kemerdekaan, baik pada masa demokrasi terpimpin maupun Orde Baru, KUHP warisan Belanda ini masih tetap berlaku termasuk pula hatzaai artikelen (pasal-pasal penyebar kebencian) terhadap pimpinan politik, pejabat atau golongan etnis.1 Penjelasan di atas menunjukkan bahwa kondisi perubahan hukum yang adil dan sesuai dengan kenyataan yang berakar dari nilai-nilai yang ada dalam masyarakat kemudian secara tegas juga dinyatakan dalam konsideran Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang menyatakan bahwa materi hukum pidana nasional harus disesuaikan dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia. Sementara tujuan penyusunan hukum pidana dinyatakan sebagai perwujudan upaya pembaharuan hukum nasional Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

1

Barda Nawawi Arief. RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi/ Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 2009. hlm.28


(31)

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Kebutuhan untuk melakukan pembaharuan hukum pidana (penal reform) di Indonesia sejalan dengan hasil dari Kongres PBB tahun 1976 tentang pencegahan kejahatan dan perlakuan kepada pelaku kejahatan. Dalam kongres tersebut dinyatakan bahwa hukum pidana yang ada selama ini di berbagai negara yang sering berasal dari hukum asing dari zaman kolonial yang pada umumnya telah asing dan tidak adil (obsolete and unjustice) serta ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan (outmoded and unreal) karena tidak berakar dan pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada diskrepansi dengan aspirasi masyarakat serta tidak responsif terhadap kebutuhan sosial masa kini.2

Penjelasan Umum RKUHP juga menyatakan bahwa Penyusunan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional untuk menggantikan KUHP peninggalan pemerintah kolonial Belanda dengan segala perubahannya merupakan salah satu usaha dalam rangka pembangunan hukum nasional. Usaha tersebut dilakukan secara terarah dan terpadu agar dapat mendukung pembangunan nasional di berbagai bidang, sesuai dengan tuntutan pembangunan serta tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat. Berdasarkan atas landasan yang terkandung dalam konsideran RKUHP tersebut, reformulasi atas pengaturan hukum pidana yang dilakukan meliputi penentuan tindak pidana (kriminalisasi) yang sangat jauh berbeda dengan KUHP sekarang. Tercatat ada 743 pasal dalam RKUHP dimana 513 di antaranya adalah pasal

2


(32)

mengenai tindak pidana, selebihnya adalah pasal ketentuan umum. Jumlah rancangan pasal yang sedemikian besar terutama berkaitan dengan banyaknya pasal tentang tindak pidana dalam RKUHP ini menimbulkan berbagai reaksi dan sorotan yang mengkritisi bahwa RKUHP mempunyai gejala over criminalization. Konsep pemidanaan dan penetapan sanksi dalam RKUHP selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Adanya perubahan yang cukup mendasar dari konsep awal sampai dengan konsep yang terakhir menunjukkan bahwa persoalan pemberian sanksi dalam RKUHP selalu disesuaikan dengan perkembangan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara. Barda Nawawi Arief dan Muladi (1997) menyatakan bahwa hubungan antara penetapan sanksi pidana dan tujuan pemidanaan adalah titik penting dalam menentukan strategi perencanaan politik kriminal. Menentukan tujuan pemidanaan dapat menjadi landasan untuk menentukan cara, sarana atau tindakan yang akan digunakan. Kebijakan menetapkan sanksi pidana apa yang dianggap paling baik untuk mencapai tujuan, setidak-tidaknya mendekati tujuan, tidak dapat dilepaskan dari persoalan pemilihan berbagai alternatif sanksi. 3 Pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam perumusan tujuan pemidanaan adalah: a) Pada hakekatnya undang-undang merupakan sistem hukum yang bertujuan sehingga dirumuskan pidana dan aturan pemidanaan dalam undang-undang, pada hakikatnya hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan, b) Dilihat secara fungsional operasional, pemidanaan merupakan suatu rangkaian proses dan kebijakan yang konkretasinya sengaja direncanakan melalui tiga tahap. Agar ada keterjalinan dan keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, maka dirumuskan

3


(33)

tujuan pemidanaan, c) Perumusan tujuan pemidanaan dimaksudkan sebagai

”fungsi pengendalian kontrol” dan sekaligus memberikan landasan filosofis, dasar rasionalitas dan motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah. 4 Ketentuan mengenai pemidanaan dalam RKUHP, jika dibandingkan dengan KUHP yang saat ini berlaku mengalami beberapa perubahan mendasar. Bagian mengenai pemidanaan di antaranya berisi tentang tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan dan alasan-alasan mengenai dapat dijatuhkannya pemidanaan bagi pelaku tindak pidana. Pengaturan ini lebih lengkap dibandingkan dengan ketentuan dalam KUHP yang berlaku saat ini. RKHUP menganut sistem pemidanaan dua jalur

(double track system) dimana di samping pelaku tindak pidana dapat dijatuhi

sanksi pidana (criminal punishment), dapat juga dikenakan berbagai tindakan

(treatment). Selain itu, dalam jenis-jenis pemidanaan dalam RKUHP ini juga

bertambah dengan adanya pidana pengawasan dan pidana kerja sosial yang merupakan bagian dari pidana pokok, jenis tindak pidana yang sebelumnya belum pernah dikenal dalam KUHP Indonesia. Namun di tengah beberapa perubahan yang mendasar tersebut, ternyata dalam RKUHP masih mengatur beberapa ketentuan yang selama ini menjadi kontroversi, misalnya ketentuan tentang hukuman mati.

B. Teori Tujuan Pemidanaan

Pemidanaan dalam aliran hukum secara garis besar dapat dibagi dua tiga aliran yaitu sebagai berikut:

Aliran klasik

4


(34)

Aliran yang muncul pada abad ke-18 merupakan respon dari ancietn regime di Perancis dan Inggris yang banyak menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidaksamaan hukum dan ketidakadilan. Aliran ini berfaham indeterminisme mengenai kebebasan kehendak (free will) manusia yang menekankan pada perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendakilah hukum pidana perbuatan

(daad-strefrecht). Aliran klasik pada prinsipnya hanya menganut single track

system berupa sanksi tunggal, yaitu sanksi pidana. Aliran ini juga bersifat

retributif dan represif terhadap tindak pidana karena tema aliran klasik ini, sebagaimana dinyatakan oleh Beccarian adalah doktrin pidana harus sesuai dengan kejahatan. Sebagai konsekuensinya, hukum harus dirumuskan dengan jelas dan tidak memberikan kemungkinan bagi hakim untuk melakukan penafsiran. Hakim hanya merupakan alat undang-undang yang hanya menentukan salah atau tidaknya seseorang dan kemudian menentukan pidana. Undang-undang menjadi kaku dan terstruktur. Aliran klasik ini mempunyai karakteristik yaitu definisi hukum dari kejahatan, pidana harus sesuai dengan kejahatannya, doktrin kebebasan berkehendak, pidana mati untuk beberapa tindak pidana, tidak ada riset empiris dan pidana yang ditentukan secara pasti. 1. Aliran Modern atau aliran positif

Aliran ini muncul pada abad ke-19 yang bertitik tolak pada aliran determinisme yang menggantikan doktrin kebebasan berkehendak (the

doctrine of free will). Manusia dipandang tidak mempunyai kebebasan

berkehendak, tetapi dipengaruhi oleh watak lingkungannya, sehingga dia tidak dapat dipersalahkan atau dipertanggungjawabkan dan dipidana. Aliran ini menolak pandangan pembalasan berdasarkan kesalahan yang subyektif. Aliran ini menghendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan untuk mengadakan resosialisasi pelaku. Aliran ini menyatakan bahwa sistem hukum pidana, tindak pidana sebagai perbuatan yang diancam pidana oleh undang-undang, penilaian hakim yang didasarkan pada konteks hukum yang murni atau sanksi pidana itu sendiri harus tetap dipertahankan. Ciri-ciri aliran modern adalah: menolak definisi hukum dari kejahatan, pidana harus sesuai dengan pelaku tindak pidana, doktrin determinisme, penghapusan pidana mati, riset empiris, dan pidana yang tidak ditentukan secara pasti.

2. Aliran neo klasik (sosiologis)

Aliran ini muncul pada abad ke-19 mempunyai basis yang sama dengan aliran klasik, yakni kepercayaan pada kebebasan berkehendak manusia. Aliran ini beranggapan bahwa pidana yang dihasilkan oleh aliran klasik terlalu berat dan merusak semangat kemanusiaan yang berkembang pada saat itu. Perbaikan dalam aliran neo klasik ini didasarkan pada beberapa kebijakan peradilan dengan merumuskan pidana minimum dan maksimum dan mengakui asas-asas tentang keadaan yang meringankan (principle of extenuating circumtances). Perbaikan selanjutnya adalah banyak kebijakan peradilan yang berdasarkan keadaaan-keadaan obyektif. Aliran ini mulai mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual dari pelaku tindak pidana. Karakteristik aliran neo klasik adalah: Modifikasi dari doktrin kebebasan berkehendak, yang dapat


(35)

dipengaruhi oleh patologi, ketidakmampuan, penyakit jiwa dan keadaan-keadaan lain, Diterima berlakunya keadaan-keadaan-keadaan-keadaan yang meringankan; Modifikasi dari doktrin pertanggungjawaban untuk mengadakan peringatan pemidanaan, dengan kemungkinan adanya pertanggungjawaban sebagian di dalam kasus-kasus tertentu, seperti penyakit jiwa usia dan keadaan-keadaan lain yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan kehendak seseorang pada saat terjadinya kejahatan; dan masuknya kesaksian ahli di dalam acara peradilan guna menentukan derajat pertanggungjawaban.5

Berkenaan dengan tujuan pemidanaan dikenal tiga teori tujuan pemidanaan, yaitu sebagai berikut:

1. Teori Absolut atau Pembalasan

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan suatu pembalasan yang mutlak dari tindak pidana tanpa tawar rnenawar.6

Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat jelas bahwa pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan atau kebaikan masyarakat. tetapi dalam semua hal harus dikenakan karena orang yang bersangkutan telah melakukan kejahatan. Bahwa walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri (membubarkan masyarakat), pembunuhan terakhir yang masih dipidana di dalam penjara harus dipidana sebelum resolusi atau keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini harus dilaksanakan karena setiap orang harus menerima ganjaran dari perbuatanya dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat, karena apabila tidak demikian mereka semua dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan sebagai pelanggaran terhadap keadilan umum.

5

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 46.

6

Muladi. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit UNDIP. Semarang. 2001. hlm. 75.


(36)

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa menurut teori absolut atau pemba1asan ini pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi mutlak menjadi suatu keharusan kerana hakekat dan pidana adalah pembalasan.

2. Teori Relatif atau Tujuan

Menurut teori relatif, tujuan pidana bukanlah sekedar melaksanakan pembalasan dari suatu perbuatan jahat, tetapi juga rnernpunyai tujuan lain yang bermanfaat, dalam arti bahwa pidana dijatuhkan bukan karena orang telah berbuat jahat, melainkan pidana dijatuhkan agar orang tidak melakukan kejahatan. Memidana harus ada tujuan lebih lanjut daripada hanya menjatuhkan pidana saja. Jadi dasar pembenaran pidana munurut teori relatif atau tujuan ini adalah terletak pada tujuannya. 7 Tujuan pidana untuk rnencegah kejahatan ini dapat dibedakan antara prevensi khusus (special

prevention) dengan prevensi umum (general prevention), prevensi khusus

dimaksudkan pengaruh pidana terhadap pidana hingga pencegahan kejahatan ini ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana. Teori ini seperti telah dikenal dengan

rehabilitation theory. Sedangkan prevensi umum dirnaksudkan pengaruh

pidana terhadap masyarakat, artinya pencegaaan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana. Ada tiga bentuk pengaruh dalam pengertian prevensi umum, yaitu pengaruh pencegahan, pengaruh untuk memperkuat larangan-larangan moral dan pengaruh mendorong suatu kebiasaan perbuatan

7

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 101-102.


(37)

patuh pada hukum. Prevensi umum mempunyai tiga fungsi, yaitu menegakkan kewibawaan, menegakkan norma dan membentuk norma. Teori Integratif atau Gabungan

Menurut teori ini pemberian pidana di samping sebagai pembalasan dari suatu tindak pidana yang dilakukan juga sebagai usaha mencegah dilakukannya tindak pidana. Selain sebagai pembalasan atas suatu tidak pidana, pidana diberikan untuk mempengaruhi perilaku masyarakat umum demi perlindungan masyarakat. 8 Tujuan pidana dan pembenaran penjatuhan pidana di samping sebagai pembalasan juga diakui sebagai pidana yang memiliki kemanfaatan baik terhadap individu maupun terhadap masyarakat. Ajaran ini memungkinkan adanya kemungkinan untuk mengadakan sirkulasi terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus Timbulnya teori gabungan atau aliran integratif ini karena adanya berbagai kelemahan pada teori pembalasan dan teori tujuan. Menurut Binding kelemahan-kelemahan terdapat pada teori pembalasan adalah terlalu sulit untuk menentukan berat ringannya pidana diragukankan adanya hak negara untuk rnenjatuhkan pidana sebagai pembalasan, pidana pemba1asan tidak bcrmanfaat bagi masyarakat. Sedangkan dalam teori tujuan pidana hanya ditujukan untuk mencegah kejahatan sehingga dijatuhkan pidana yang berat oleh teori pencegahan umum maupun teori pencegahan khusus, jika ternyata kejahatan itu ringan, maka penjatuhan pidana yang berat tidak akan memenuhi rasa keadi1an bukan hanya masyarakat tidak puas tetapi juga penjahat itu sendiri.

8


(38)

C. Penegakan Hukum Pidana

Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai sistem peradilan pidana9

Penegakan hukum sendiri harus diartikan dalam kerangka tiga konsep, yaitu: a. Konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept)

yang menuntut agar semua nilai yang ada dibelakang norma hukum tersebut ditegakkan tanpa terkecuali

b. Konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (full enforcement concept) yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara dan sebagainya demi perlindungan kepentingan individual

c. Konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept) yang muncul setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena keterbatasan-keterbatasan, baik yang berkaitan dengan sarana-prasarana, kualitas sumber daya manusianya, kualitas perundang-undangannya dan kurangnya partisipasi masyarakat10

Satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana, yaitu due

process of law yang dalam Bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi proses

hukum yang adil atau layak. Secara keliru arti dari proses hukum yang adil dan layak ini seringkali hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum acara pidana suatu negara pada seorang tersangka atau terdakwa. Padahal arti dari due

process of law ini lebih luas dari sekedar penerapan hukum atau

perundang-undangan secara formil.11

Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan

9

Barda Nawawi Arief. RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi/ Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 2009. hlm. 35

10

Barda Nawawi Arief. Ibid. hlm. 37

11


(39)

layak mengandung pula sikap batin penghormatan terhadap hak-hak warga masyarakat meski ia menjadi pelaku kejahatan, namun kedudukannya sebagai manusia memungkinkan dia untuk mendapatkan hak-haknya tanpa diskriminasi. Paling tidak hak-hak untuk didengar pandangannya tentang peristiwa yang terjadi, hak didampingi penasehat hukum dalam setiap tahap pemeriksaan, hak memajukan pembelaan dan hak untuk disidang di muka pengadilan yang bebas dan dengan hakim yang tidak memihak .

Konsekuensi logis dari dianutnya proses hukum yang adil dan layak tersebut ialah sistem peradilan pidana selain harus melaksanakan penerapan hukum acara pidana sesuai dengan asas-asasnya, juga harus didukung oleh sikap batin penegak hukum yang menghormati hak-hak warga masyarakat .Perlindungan hak-hak tersebut, diharapkan sejak awal sudah dapat diberikan dan ditegakkan. Selain itu diharapkan pula penegakan hukum berdasarkan undang-undang tersebut memberikan kekuasaan kehakiman yang bebas dan bertanggungjawab. Namun semua itu hanya terwujud apabila orientasi penegakan hukum dilandaskan pada pendekatan sistem, yaitu mempergunakan segenap unsur di dalamnya sebagai suatu kesatuan dan saling interrelasi dan saling mempengaruhi satu sama lain . Pelaksanaan dari politik hukum pidana harus melalui beberapa tahap kebijakan yaitu sebagai berikut:

a. Tahap Formulasi

Yaitu tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat Undang-Undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil


(40)

undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut Tahap Kebijakan Legislatif

b. Tahap Aplikasi

Yaitu tahap penegakan Hukum Pidana (tahap penerapan hukum pidana) Oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai Pengadilan. Dalam tahap ini aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta menerapkan peraturan Perundang-undangan Pidana yang telah dibuat oleh pembuat Undang-Undang. Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak hukum harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna tahap ini dapat dapat disebut sebagai tahap yudikatif.

c. Tahap Eksekusi

Yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) Hukum secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat-aparat-aparat-aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan peraturan Perundang-undangan Pidana yang telah dibuat oleh pembuat Undang-Undang melalui Penerapan Pidana yang telah ditetapkan dalam putusan Pengadilan. Dalam melaksanakan pemidanaan yang telah ditetapkan dalam Putusan Pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu dalam melaksanakan tugasnya harus berpedoman kepada Peraturan Perundang-undangan Pidana yang dibuat oleh pembuat Undang-Undang dan nilai-nilai keadilan suatu daya guna. 12

Ketiga tahap penegakan hukum pidana tersebut, dilihat sebagai usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus merupakan suatu jalinan mata rantai aktivitas yang tidak termasuk yang bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan.

D. Tindak Pidana Narkotika

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukannya13

12

Muladi. Ibid . hlm. 25-26

13


(41)

Dasar Hukum Tindak Pidana Narkotika adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Menurut Pasal 1 Ayat (1) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Pasal 1 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menjelaskan bahwa peredaran adalah setiap atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindahtanganan. Pasal 1 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menjelaskan bahwa perdagangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka pembelian dan/atau penjualan, termasuk penawaran untuk menjual narkotika, dan kegiatan lain berkenaan dengan pemindahtanganan narkotika dengan memperoleh imbalan

Menurut Pasal 4, Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan:

a. Menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika;

c. Memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan


(42)

d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah Guna dan pecandu Narkotika.

E. Rehabilitasi Pecandu Narkotika

Rehabilitas merupakan bentuk pemidanaan terhadap pecandu norkotika, hal ini diatur dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

yang menyatakan: “pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika

wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Pasal 56 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan: (1) Rehabilitasi medis pecandu narkotika dilakukan di rumah sakit yang

ditunjuk oleh Menteri;

(2) Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis pecandu narkotika setelah mendapat persetujuan menteri.

Selanjutnya Pasal 57 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan pecandu narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional.

Pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika menyatakan Wajib Lapor adalah kegiatan melaporkan diri yang dilakukan oleh pecandu narkotika yang sudah cukup umur atau keluarganya, dan/atau orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur kepada institusi penerima wajib lapor untuk


(43)

mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Pasal 4 Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika menyatakan:

(1) Wajib Lapor Pecandu Narkotika dilakukan di Institusi Penerima Wajib Lapor.

(2) Pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis sebagai Institusi Penerima Wajib Lapor ditetapkan oleh Menteri. (3) Lembaga rehabilitasi sosial sebagai Institusi Penerima Wajib Lapor

ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.

Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika menganut teori treatment sebab rehabilitasi terhadap pecandu narkotika merupakan suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan. Hal tersebut sesuai dengan pemidanaan yang dimaksudkan pada aliran teori treatment yaitu untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan

(rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman.

Pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan perawatan

(treatment) dan perbaikan (rehabilitation).14

Treatment sebagai tujuan pemidanaan sangat pantas diarahkan pada pelaku

kejahatan, bukan pada perbuatannya. Pemidanaan yang dimaksudkan pada aliran ini adalah untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan

(rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman.

14

Barda Nawawi Arief. RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi/ Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 2009. hlm.23-24


(44)

Pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation). Perbuatan seseorang tidak bisa hanya dilihat dari aspek yuridis semata terlepas dari orang yang melakukannya. Perbuatan seseorang itu harus dilihat secara konkrit bahwa dalam kenyataannya perbuatan seseorang itu dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis, maupun faktor-faktor-faktor-faktor lingkungan. Bentuk pertanggungjawaban si pembuat lebih bersifat tindakan (treatment) untuk melindungi kepentingan masyarakat. Metode treatment sebagai pengganti pemidanaan, menjadikan pendekatan secara medis menjadi model yang digemari dalam kriminologi. Metode treatment sebagai pengganti pemidanaan sebagaimana yang dipelopori oleh aliran positif, menjadikan pendekatan secara medis menjadi model yang digemari dalam kriminologi. Pengamatan mengenai bahaya sosial yang potensial dan perlindungan sosial menjadi standar dalam menjustifikasi suatu perbuatan, daripada pertanggungjawaban moral dan keadilan. 15

15Ibid


(45)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan untuk memahami persoalan dengan tetap berada atau bersandarkan pada lapangan atau kajian ilmu hukum, sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan penelitian berdasarkan realitas yang ada atau studi kasus1

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut: 1. Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan responden, untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Data sekunder dalam penelitian ini, terdiri dari:

1


(46)

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer bersumber dari:

(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

(3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

(4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dapat bersumber dari bahan-bahan hukum yang melengkapi hukum primer dan peraturan perundang-undangan lain yang sesuai dengan masalah dalam penelitian ini, di antaranya adalah:

(1) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

(2) Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier dapat bersumber dari berbagai bahan seperti teori/ pendapat para ahli dalam berbagai literatur/buku hukum, dokumentasi, kamus hukum dan sumber dari internet.


(47)

C. Narasumber Penelitian

Dalam menganalisi data diperlukan pendapat beberapa narasumber penelitian, oleh karena itu ditentukan narasumber dalam penelitian ini sebagai beriku:

1. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang 2 Orang 2. Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila 1 Orang +

Jumlah 3 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur studi kepustakaan dan studi lapangan sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan permasalahan.

b. Studi Lapangan

Studi lapangan adalah prosedur yang dilakukan dengan kegiatan wawancara (interview) kepada responden penelitian sebagai usaha mengumpulkan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.


(48)

2. Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pengolahan data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi data, adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini.

b. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.

c. Penyusunan data, adalah kegiatan menyusun data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

Analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis, jelas dan terperinci yang kemudian diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan. Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat khusus lalu menarik kesimpulan yang bersifat umum sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.2

2


(49)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan pidana bagi pengguna narkotika dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu dekriminalisasi para pelaku penyalahgunaan narkotika. Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang

menyatakan bahwa : “pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

2. Faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan pidana bagi pengguna narkotika adalah: a) Faktor Substansi Hukum, yaitu adanya potensi pemahaman yang salah terhadap Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 Tentang Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. b) Faktor Aparat Penegak Hukum, secara secara kuantitas adalah tidak seimbangnya jumlah aparat kepolisian dibandingkan dengan jumlah pelaku penyalahgunaan narkotika. Selain itu adanya peluang bagi aparat penegak


(50)

hukum untuk menjadi pengguna dan pengedar narkotika serta menggelapkan barang bukti narkotika. c) Faktor Masyarakat, yaitu masih adanya ketakutan atau keengganan masyarakat untuk menjadi saksi dalam proses penegakan hukum dan tidak melaporkan adanya tindak pidana penyalahgunaan narkotika ini kepada aparat penegak hukum tentang adanya tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Selain itu adanya sikap individualisme masyarakat perkotaan, sehingga mereka bersikap acuh tidak acuh dan tidak memperdulikan apabila menjumpai atau mengetahui adanya pelaku pengedar narkotika.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pemidanaan hendaknya semakin berorientasi dan mewujudkan tujuan perlindungan masyarakat dan melakukan pembinaan kepada pelaku, yaitu menitikberatkan pada bagaimanamengembalikan pelaku menjadi pihak yang tidak akan mengulangi tindak pidana dan juga masyarakat yang lain agar tidak melakukan tindak pidana. 2. Hakim hendaknya lebih mempertimbangkan aspek rehabilitasi, khususnya bagi

pencandu narkotika sebagai salah satu bentuk pemidanaannya. Selain itu seluruh elemen masyarakat diharapkan saling berkoordinasi dalam memerangi narkotika sebagai musuh bersama, baik dengan pendekatan kebudayaan maupun keagamaan.


(51)

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi. 2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta.

Lastarya, Dharana. 2006. Narkoba, Perlukah Mengenalnya. Pakarkarya. Jakarta Muladi. 2001. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Badan

Penerbit UNDIP. Semarang.

Muladi dan Barda Nawawi Arif. 1984. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana Penerbit Alumni, Bandung,

Moeljatno, 1983. Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.

Nawawi Arief, Barda. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra . Aditya Bakti. Bandung.

__________. 2003. Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti.Bandung __________. 2009. RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi/ Rekonstruksi

Sistem Hukum Pidana Indonesia. Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Semarang.

Rahardjo, Satjipto. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan

Pidana Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998.

Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

__________. 1986. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Sudarto. 1983. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni.Bandung.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.


(52)

Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana.


(1)

35

C. Narasumber Penelitian

Dalam menganalisi data diperlukan pendapat beberapa narasumber penelitian, oleh karena itu ditentukan narasumber dalam penelitian ini sebagai beriku:

1. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang 2 Orang 2. Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila 1 Orang +

Jumlah 3 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur studi kepustakaan dan studi lapangan sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan permasalahan.

b. Studi Lapangan

Studi lapangan adalah prosedur yang dilakukan dengan kegiatan wawancara (interview) kepada responden penelitian sebagai usaha mengumpulkan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.


(2)

36

2. Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pengolahan data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi data, adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini.

b. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.

c. Penyusunan data, adalah kegiatan menyusun data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

Analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis, jelas dan terperinci yang kemudian diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan. Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat khusus lalu menarik kesimpulan yang bersifat umum sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.2

2


(3)

61

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan pidana bagi pengguna narkotika dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu dekriminalisasi para pelaku penyalahgunaan narkotika. Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang

menyatakan bahwa : “pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

2. Faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan pidana rehabilitasi sebagai implementasi pembaharuan pidana bagi pengguna narkotika adalah: a) Faktor Substansi Hukum, yaitu adanya potensi pemahaman yang salah terhadap Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 Tentang Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. b) Faktor Aparat Penegak Hukum, secara secara kuantitas adalah tidak seimbangnya jumlah aparat kepolisian dibandingkan dengan jumlah pelaku penyalahgunaan narkotika. Selain itu adanya peluang bagi aparat penegak


(4)

62

hukum untuk menjadi pengguna dan pengedar narkotika serta menggelapkan barang bukti narkotika. c) Faktor Masyarakat, yaitu masih adanya ketakutan atau keengganan masyarakat untuk menjadi saksi dalam proses penegakan hukum dan tidak melaporkan adanya tindak pidana penyalahgunaan narkotika ini kepada aparat penegak hukum tentang adanya tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Selain itu adanya sikap individualisme masyarakat perkotaan, sehingga mereka bersikap acuh tidak acuh dan tidak memperdulikan apabila menjumpai atau mengetahui adanya pelaku pengedar narkotika.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pemidanaan hendaknya semakin berorientasi dan mewujudkan tujuan perlindungan masyarakat dan melakukan pembinaan kepada pelaku, yaitu menitikberatkan pada bagaimanamengembalikan pelaku menjadi pihak yang tidak akan mengulangi tindak pidana dan juga masyarakat yang lain agar tidak melakukan tindak pidana. 2. Hakim hendaknya lebih mempertimbangkan aspek rehabilitasi, khususnya bagi

pencandu narkotika sebagai salah satu bentuk pemidanaannya. Selain itu seluruh elemen masyarakat diharapkan saling berkoordinasi dalam memerangi narkotika sebagai musuh bersama, baik dengan pendekatan kebudayaan maupun keagamaan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi. 2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta.

Lastarya, Dharana. 2006. Narkoba, Perlukah Mengenalnya. Pakarkarya. Jakarta Muladi. 2001. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Badan

Penerbit UNDIP. Semarang.

Muladi dan Barda Nawawi Arif. 1984. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana

Penerbit Alumni, Bandung,

Moeljatno, 1983. Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.

Nawawi Arief, Barda. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra . Aditya Bakti. Bandung.

__________. 2003. Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti.Bandung __________. 2009. RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi/ Rekonstruksi

Sistem Hukum Pidana Indonesia. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.

Rahardjo, Satjipto. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia

Press. Jakarta.

__________. 1986. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Sudarto. 1983. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni.Bandung.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.


(6)

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana.


Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Rehabilitasi Terhadap Pecandu Narkotika Dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana Nasional

5 136 119

ANALISIS PENJATUHAN PIDANA TERHADAP PELAKU KEJAHATAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH MASSA (Studi Pada Wilayah Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang)

0 3 20

ANALISIS PENJATUHAN PIDANA TERHADAP PELAKU KEJAHATAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH MASSA (Studi Pada Wilayah Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang)

0 3 12

ANALISIS PENJATUHAN PIDANA TERHADAP PELAKU KEJAHATAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH MASSA (Studi Pada Wilayah Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang)

0 3 6

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PELANGGARAN HAK ATAS MEREK (Studi di Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang)

0 5 2

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN DOKUMEN PERUSAHAAN (Studi Kasus Pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang)

0 7 55

PENERAPAN ASAS HAKIM AKTIF PADA TAHAP PEMBUKTIAN DI PENGADILAN NEGERI KELAS IA TANJUNG KARANG

0 17 60

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP JAKSA SEBAGAI PELAKU PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK)

0 8 37

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PIDANA REHABILITASI SEBAGAI IMPLEMENTASI PEMBAHARUAN PIDANA BAGI PENGGUNA NARKOTIKA (Studi p ada Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjung Karang )

1 7 52

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PIDANA REHABILITASI SEBAGAI IMPLEMENTASI PEMBAHARUAN PIDANA BAGI PENGGUNA NARKOTIKA (Studi pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang) Oleh Agung Senna Ferrari, Mahasiswa Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung

0 0 10