Scientia Juris—Legal Dogmatics

25 BAB II MAKNA DOKTRIN SEBAGAI SUMBER HUKUM

A. Scientia Juris—Legal Dogmatics

Perlu diketahui bahwa pemaknaan doktrin di sini adalah pada batasan doktrin hukum legal doctrine; doctrine of law. Artinya bahwa pemaknaan atau doktrin yang dimaksud dalam penulisan ini senada dengan yang diungkapkan Peczenik, “The so-called doctrine is of significant importance for legal reasoning. The word “doctrine” refers first of all to the professional legal writing in legal dogmatics, whose task is to systematise and interpret valid law ”. 1 Dari referensi berbeda sebagaimana dilansir dari Black’s Law Dictionary, doctrine: “. 1. A principle, esp. a legal principle, that is widely adhered to .” 2 Pengertian tersebut menunjukkan doktrin sebagai prinsip terutama prinsip hukum yang secara luas dianut. Namun, doktrin memiliki pengertian tidak sebatas itu melainkan juga dengan pengertian yang lebih luas dan mendalam. Guna pemahaman yang lebih mendalam, Peczenik juga menyatakan sebagaimana pada intinya sudah disinggung pada awal paragraf ini, untuk memulai dengan beberapa fakta mengenai doktrin scientia iuris, Rechtswissenschaft, Rechtsdogmatik, ``doctrine of law, legal 1 Aleksander Peczenik, On Law and Reason, Springer, Lund University, Sweden, 2008, h.295. 2 Black’s law Dictionary 8th edition, Op.Cit, h.1457. dogmatics bahwa: “Legal doctrine in Continental European law scientia iuris consists of professional legal writings, e.g., handbooks, monographs, etc., whose task is to systematize and interpret valid law. ” 3 Berangkat dari apa yang dikatakan Peczenik, nampak suatu gambaran bahwa doktrin sebagai teachings dari para ahli hukum yang mana mengelaborasi valid law untuk diintrepetasi dalam suatu pemikiran yang tersistematisasi. Selanjutnya ia menyatakan: “..., legal doctrine aims to present the law as a coherent net of principles, rules, meta-rules, and exceptions, at different levels of abstraction, connected by support relations. The argumentation used to achieve coherence involves not only description and logic but also evaluative normative steps.” 4 Terlihat pokok pikiran yang bermaksud untuk menjelaskan bagaimana sebenarnya doktrin memiliki makna sebagai sistematisasi dari hukum itu sendiri. Suatu pemikiran yang berusaha ditunjukkan melalui metafora bahwa doktrin bermaksud bagaikan jaring yang saling mengikat dan berhubungan satu dengan yang lain. Sejalan dengan itu, Pattaro juga mengemukakan bahwa doktrin merupakan “expotition of the law” 5 . Doktrin disebut bahkan 3 Aleksander Peczenik, Ratio Juris. Vol. 14 No. 1, A Theory of Legal Doctrine, Ebsco Publishing, 2003, h.75. 4 Ibid. 5 Enrico Pattaro et.al., A Treatise of Legal Philosophy and General Jurisprudence, Vol.4: Scientia Juris, Legal Doctrine as Knowledge of Law and as Source of Law, Dordrecht, 2005, h.1. sebagai penjelasan yang terperinci mengenai hukum. Dengan penjelasan demikian maka dalam hal ini makna doktrin ialah lebih kepada suatu ajaran teachings yang mana pada isinya yaitu dalam rangka bagaimana menjelaskan hukum sebagai suatu sistem. Penjelasan yang terperinci mengenai hukum yang dijelaskan Pattaro berangkat dari produk aktifitas ahli hukum, sebagaimana ia mengemukakan dalam tulisannya: “The term “legal doctrine” refers in this volume to the activity of scholars as well as to the products of this activity, that is, to the content of books and research. My original intention was to write about the products rather than about the activity. But an understanding of the products very often requires reference to the activity.” 6 Namun demikian, meskipun doktrin berasal dari pemikiran para ahli hukum dalam menjelaskan hukum sebagai sistem, bukan berarti doktrin pada pembahasan ini adalah bebas nilai. Karena bisa saja terjadi doktrin diartikan sebagai produk dari pemikiran yang spekulatif. Spekulatif dalam artian ketiadaan koherensi dari alur penalaran untuk memproduksi pokok pikiran yang bisa juga nantinya menjadi doktrin. Justru pada tulisan ini ingin ditunjukkan posisi doktrin yang sarat nilai value-laden. Sebagaimana yang dikatakan juga oleh Peczenik bahwa: “The work of legal doctrine is almost always value-laden. Legal doctrine is a good example of a practice of argumentation, pursuing 6 Ibid, h.2. knowledge of the existing law, yet in many cases leading to a change in the law.” 7 Bahkan dikatakan manakala doktrin merupakan contoh yang baik pada bagaimana menerapkan argumentasi dan mendorong bagi pengembangan pengetahuan tentang existing law, serta pada situasi tertentu membawa perubahan pada hukum. Berbicara mengenai doktrin yang sarat nilai itu, Pattaro menjelaskan tentang bagaimana pengaruh atau peran dari doktrin yang salah satunya adalah “promoting justice and morality, as by interpreting old law in a new way .” 8 Nampak bahwa doktrin tidak bebas nilai. Doktrin memiliki peran untuk mempromosikan keadilan dan moralitas. Oleh sebab itu, seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa doktrin dalam hal ini merupakan produk pemikiran yang sejalan hukum. Sebab hukum mencerminkan keadilan dan moralitas itu sendiri. Selain mempromosikan keadilan dan moral tentunya, doktrin sendiri secara terperinci memiliki peran yang begitu penting. Tampak dari apa sebenarnya yang ‘dilakukan’ doktrin yang dilansir dari pendapat Peczenik dan Hage sebagai berikut.  analysis of particular cases; mapping of possibilities, e.g., listing of possible interpretations of a statute; 7 Aleksander Peczenik, Ratio Juris, Op.Cit, h.76. 8 Enrico Pattaro et.al., A Treatise of Legal Philosophy and General Jurisprudence Vol.4, Op.cit, h.6.  systematisation of law under abstract principles provided by general doctrines, such as the above-mentioned doctrine of ` `adequate causation, negligence, intent, rebus sic stantibus in contract law, doctrines stating the goal of punishment treatment, deterrence, retribution etc.;  development of jurisprudence legal theory with normative consequences, e.g., various doctrines of statutory interpretation; doctrines of the internal system of the law etc.; doctrines about the sources of the law;  development of moral-philosophical doctrines; e.g., philosophy of justice behind the doctrine of ` `adequate causation and, finally,  explication of basic philosophical positions behind jurisprudence and moral philosophy. 9 Doktrin memang sangat erat dengan perannya untuk menginterpretasi peraturan perundang-undangan. Oleh karena, dalam kasus-kasus tertentu butuh suatu penjelasan yang membimbing guidance terutama ketika hakim dalam menangani perkara. Agar suatu hal yang berkaitan dengan perkara yang ditangani jelas dan terang tentunya hakim ‘meminta bantuan’ dari doktrin-doktrin yang relevan untuk itu. Seperti yang diketahui, dalam hukum terdapat prinsip-prinsip. Prinsip-prinsip yang cenderung abstrak dalam hukum disistematisasi oleh doktrin dalam rangka pencapaian suatu pengertian yang lebih jelas. Peranan berikutnya sebagaimana kutipan di atas merupakan peran yang cukup vital bahwa demi pengembangan ilmu hukum. 9 Aleksander Peczenik and Jaap Hage, Ratio Juris. Vol. 13 No. 3, Legal Knowledge about What?, Blackwell Publishers Ltd, 108 Cowley Road, Oxford OX4 1JF, UK and 350 Main Street, Malden, MA 02148, USA, 2000, h.334. Pengembangan ilmu hukum tidak akan lepas dari peran para yurislegal scholar dalam karya-karya akademik mereka. Berangkat dari peranan- peranan tersebut, pada tingkat filosofis sebagaimana kacamata Penulis menggunakan Natural Law, doktrin memiliki peran untuk pengembangan doktrin mengenai posisi moral itu sendiri. Peranan-peranan ini begitu penting berkaitan dengan pemaknaan doktrin, sebab doktrin dalam arti scientia juris berputar pada isu-isu peranan tersebut. Adapun Shecaira memberikan standar dari doktrin yang mana pada poinnya yang pertama sangat berkaitan erat dengan karakter hukum yang preskriptif. Sebagaimana juga sejalan dengan teori hukum alam mengenai apa yang seharusnya “ought”. “So what is standard legal scholarship? It can be identified by reference to three related characteristic: 1 it is prescriptive; 2 it is directed not only at other scholars but also at legal officials and practitioners; and 3 it employs a discourse and style of argument that is typical of the legal professionals who form part of its audience. ” 10 Berkaitan dengan poinnya yang pertama yaitu preskriptif Shecaira mengemukakan: “First, to say that standard legal scholarship is prescriptive is not to say that it necessarily formulates its theses in terms of “ought” scholars, like judges, often prefer to present their views in terms of 10 Fabio P. Shecaira, Legal Scholarship as a Source of Law, Springer, London, 2013, h.36 what the law “is” or “requires” but rather that it is capable of providing as opposed to simply reporting officially sanctioned solutions to fairly specific legal questions .” 11 Dalam hal ini doktrin diposisikan dalam rangka memberikan solusi terhadap isu hukum yang lebih spesifik. Namun, berangkat dari kutipan di atas, Penulis tidak bersetuju ketika Shecaira mengatakan walaupun doktrin itu preskriptif tetapi tidak mengatakan itu berarti merumuskan thesis dalam hal apa yang seharusnya “ought”. Ada ketidak-konsistenan ketika Shecaira mengemukakan demikian. Ketika doktrin itu preskriptif, sudah tentu dalam rumusannya haruslah preskriptif walaupun dikatakan biasanya hakim lebih memilih untuk mengemukakan pandangannya sendiri mengenai apa itu hukum. Ia mengatakan standar preskriptif tersebut ialah dalam rangka memberikan solusi terhadap isu hukum. Bagaimana doktrin akan memberikan solusi ketika ternyata dalam formulasinya tidaklah mengenai apa yang seharusnya “ought” tetapi lebih kepada ‘kemauan’ hakim dalam memandang hukum. Oleh karena itu, Penulis berpendapat akan lebih konsisten ketika para legal scholar termasuk hakim pun dalam menjawab isu hukum dirumuskan dalam kerangka yang juga preskriptif. Mengingat juga dengan yang dimaksudkan dalam natural law mengenai apa yang seharusnya “ought”. 11 Ibid. Dari pengertian-pengertian yang telah dikemukakan, juga penting dilihat karakteristik dari doktrin itu sendiri. Nampak dari yang dijelaskan oleh Pattaro, “Thus, legal doctrine appears to be descriptive and normative at the same time. Dreier 1981, 90ff. makes the following example. Consider two competing theories in contracts, the will theory and the declaration reliance, trust theory. According to the first, a party is in principle not bound by declared contract terms that unintentionally end up conflicting with the real will expressed when concluding the contract. According to the second, the declared will takes precedence over factual will, because the other party must go by what was stated. How does one test which theory is right? If the theories are descriptive, the test is in their coherence with the words of the statute and with factual judicial practice. If the theories are normative, the ultimate test lies in the justice and reasonableness of their consequences. In practice, both kinds of testing take place. ” 12 Selain batasan dari pengertian maupun konsep yang disebutkan di atas, doktrin juga dibatasi dalam karakteristiknya. Doktrin dikatakan memilliki karakteristik yang deskriptif dan juga normatif. Karakter yang deskriptif ialah terletak pada koherensinya pada peraturan perundang-undangan dan praktek peradilan sedangkan karakter normatif pada keadilan dan batas kewajaran. Dalam kutipan tersebut jelas terlihat bahwa pengertian doktrin dalam karakter deskriptif bukan dalam arti empiris. Artinya, doktrin yang dimaksud bukan ketika menjelaskan suatu peristiwa secara deskriptif seperti 12 Enrico Pattaro et.al., A Treatise of Legal Philosophy and General Jurisprudence Vol.4, Op.cit, h.5 halnya pada ilmu sosial. Karakter yang deskriptif itu diperjelas dengan karakter berikutnya tersebut yang mana ketika dilihat dari sudut pandang ilmu sosial sangat dibedakan pengertian secara empiris yang senyatanya dan normatif yang seharusnya. Dengan demikian, karakteristik tersebut sebetulnya telah menonjolkan batasan dari doktrin itu sendiri. Selain pada maknanya doktrin —legal doctrine—sebagai teachings atau ajaran dalam rangka membuka cakrawala berpikir knowledge, sisi yang lain dari doktrin adalah sebagai sumber hukum. Sumber hukum merupakan landasan argumentasi, apalagi dalam praktik ajudikasi yang notabene harus memberikan hasil solutif sejalan dengan hukum. Sumber hukum memberikan batasan mana yang sesuai dan mana yang ‘offside’ menurut hukum. Seperti dikatakan Aarnio, “The doctrine of the sources of law is thus a cornerstone of argumentation. It draws a boundary between what is legal and what is not... In a way, the sources of law locate the limit of law. However, the source problem is only a part of a more fundamental problem with the limits of law.” 13 Landasan argumentasi tersebut adalah dalam bentuk batasan antara what is legal and what is not. Sumber hukum ditempatkan untuk memberikan arena batas dari hukum. Dengan demikian, tidak bisa dipungkiri 13 Aulis Aarnio, Essays on the Doctrinal Study of Law, Springer, Dordrecht, 2011, h.147. arti pentingnya sumber hukum sebagai landasan argumentasi khususnya dalam proses ajudikasi. Hakim dalam memutus suatu perkara tentunya harus memperhatikan landasan argumentasi yang justifiable. Oleh karena itu, proses legal reasoning merupakan hal yang tak bisa diabaikan. Sebagaimana pula dinyatakan Aarnio bahwa: “For the above reasons, the doctrine of the sources of law doctrine has been an essential part of the theory of legal reasoning, and as such very much discussed,... ” 14 Alasan digunakannya sumber hukum ialah karena merupakan bagian esensial dari proses legal reasoning. Artinya, adalah bisa dikatakan sebuah aksioma ketika digunakannya sumber hukum dalam proses legal reasoning. Doktrin sebagai sumber hukum adalah otoritatif. Otoritatif dalam makna kewibawaan. Doktrin berada pada posisi otoritatif atau memiliki wibawa bagi para yuris. Sebagaimana yang dikatakan Pattaro, “Legal doctrine is a source of law that a jurist may take into account as an authority reason. In other words, one may pay attention to theses developed in legal writing not only because of the quality of the reasons proffered therein, but also due to the authoritative position that legal writers occupy. It is a well-known phenomenon that a doctoral dissertation gains in authority the moment its author becomes a professor of law.” 15 14 Ibid. 15 Enrico Pattaro et.al., A Treatise of Legal Philosophy and General Jurisprudence Vol.4, Op.cit, h.17. Nampak dari kutipan tersebut bahwa doktrin sebagai sumber hukum memiliki sifat otoritatif bagi para yuris. Bahkan dikatakan tidak hanya bahwa dalam artian bagaimana kualitas argumentasi the quality of reason, tetapi juga posisi otoritatif —wibawa—yang ditempati para penulis hukum. Sama halnya dengan yang ia katakan ketika disertasi doktoralnya menjadi otoritatifberwibawa bersamaan saat ia menjadi profesor hukum. Kewibawaan doktrin sebagai sumber hukum juga oleh karena bagaimana doktrin memberikan deskripsi rasional dan ‘memurnikan’ hukum, serta menjelaskan apa sebenarnya hukum itu. “Legal doctrine has been a source of law of varying importance in the course of history. But legal doctrine is more than merely a source of law. It is a rational description and refining of the law, and it claims at least occasionally to tell us what the law actually is. In other words, legal doctrine has a twofold nature: It is, on the one hand, a relatively subordinated source of law and, on the other, the best presentation of the law itself.” 16 Dengan demikian, doktrin memiliki wibawa atau otoritatif. Bahwasanya doktrin bukan hanya sekedar sumber hukum, tetapi doktrin adalah lebih dari itu. Berangkat dari Pattaro menjelaskan: “Why is legal doctrine authoritative? The answer is, because of the quality of argumentation it typically produces. Legal doctrine delivers rational arguments; hence the presumption that it should be regarded 16 Ibid. as authoritative. A more profound answer is that it gains authority because pro tanto well in-formed, coherent, and just. Thus, legal doctrine converts reason into authority.” 17 Berdasarkan dari penjelasan-penjelasan demikian, Penulis memaknai doktrin sebagai ajaran teachings —mengenai hukum—dan selain itu juga sebagai sumber hukum source of law. Doktrin memberikan penjelasan yang terintegrasi mengenai hukum itu sendiri dalam rangka penguatan dan pengembangan pengetahuan knowledge hukum. Lepas dari itu, doktrin juga dalam maknanya sebagai sumber hukum yang memberikan deskripsi rasional, koheren, dan apa yang secara moral benar dan adil.

B. Bukan Scientia Juris bukan Doktrin