Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Sanksi dalam Hukum T2 322014001 BAB II

BAB II
TATARAN HUKUM

A. Konsep Hukum
Konsep hukum yang dipergunakan di sini adalah
hukum sebagai Ius atau Law atau Recht, bahwa
Hukum dalam arti sebagai Ius atau Law atau Recht
mengandung makna suatu ideal atau nilai tentang
keharusan dalam rangka penataan suatu masyarakat
yang merepresentasikan tujuan sangat kuat yang
hendak

direalisasikan

yaitu

Keadilan,

Keadilan

menurut Ulpianus adalah Justitia est perpetua et

constants

voluntas

jus

suum

cuique

tribuendi

terjemahan bebasnya yaitu “keadilan adalah suatu
keinginan

yang

terus-menerus

dan


tetap

untuk

memberikan kepada orang apa yang menjadi haknya.”1
Keadilan adalah unsur utama yang inheren dalam
Hukum sehingga dapat dikatakan bahwa keadilan
merupakan sinonim dari Hukum2 atau bisa dikatakan

1 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi),
Op.Cit., Hlm. 97.
2 Titon Slamet Kurnia, Pengantar Sistem Hukum Indonesia,
Op.Cit., Hlm. 3-4.

29

bahwa

Hukum


adalah

keadilan,

sehingga

konsep

Hukum yang hakiki adalah Hukum sebagai keadilan.3
Pada dasarnya hukum berbeda dengan undangundang. Perbedaan mendasar antara hukum dan
undang-undang atau peraturan yang sangat kental
dengan

unsur

kekuasaan.

Konsep


hukum

yang

dipergunakan di sini adalah terminologi atau istilah
yang dalam bahasa Latin disebut Ius keadilan (keadilan
= iustitia) atau Ius/Recht bahasa Belanda (dari regere =
memimpin)4 dan dalam Bahasa Inggris disebut Law.
Konsep hukum sebagai Ius atau Law berbeda dengan
konsep peraturan atau Lex atau Laws atau Wet yang di
Indonesia kemudian disebut dengan Undang-undang.5
Perbedaan Hukum (Law) dan Peraturan (Laws)
sebagaimana dikemukakan oleh Roscoe Pound sebagai
berikut:
Law is a body of ideals, principles, and precepts for
the adjustment of the relations of human beings and the
ordering of their conduct in society. Law seek to guide
decision as laws seek to constrain action. Law is needed
to achieve and maintain justice. Laws are needed to
keep the peace–to maintain order. Law is experience

developed by reason and corrected by further experience.
Its immediate task is the administration of justice; the
attainment of full and equal justice to all. The task of
laws is one policing, of maintaining the surface of order. 6

3

Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Op.Cit., Hlm. 71
Ibid., Hlm. 49.
5 Titon Slamet Kurnia, Pengantar Sistem Hukum Indonesia,
Op.Cit., Hlm. 3
6 Krishna Djaya Darumurti, “Konsep Kekuasaan Diskresi
Pemerintah”, Disertasi, Universitar Airlangga, Surabaya, 2015.
4

31

Sebagaimana dikemukakan oleh Pound, hukum
diperlukan untuk mencapai dan mempertahankan
keadilan.


Sedangkan

peraturan

mencapai

ketertiban,

dan

diperlukan

bahwa

untuk

hukumlah

yang


menjadi pemandu (guide) peraturan. Pendapat Poud di
atas adalah sejalan dengan ahli hukum Titon Slamet
Kurnia yang juga mengemukakan bahwa Hukum
berbeda dengan peraturan Lex atau Laws sebagaimana
dikemukakan sebagai berikut:
Pengertian hukum tidak sama dengan pengertian
peraturan. Dalam bahasa Latin istilah hukum disebut
ius, sementara peraturan disebut lex. Hukum
merupakan seperangkat prinsip / asas, norma /
kaidah yang memberikan preskripsi dalam situasi
tertentu apakah itu untuk perilaku atau juga
preskripsi
yang
berfungsi
untuk
memberikan
kewenangan. Jika perangkat norma / kaidah tersebut
dipositifkan oleh otoritas yang berwenang dalam
rangka rule-making, maka perangkat norma / kaidah

tersebut dinamakan peraturan (aturan) atau hukum
positif.7

Hukum adalah Prinsip atau Asas sedangkan
Peraturan adalah produk otoritatif dan sebuah aturan
hukum

bertumpu

pada

undang-undang atau dari

kewibawaan
hakim8

pembentuk

oleh karena itu


keberadaan peraturan sangat erat dengan keberadaan

dikutib dari Roscoe Pound, Law Finding Through Experience and
Reason, The University of Georgia Press, Athens, 1960, Hlm. 1-2.
7 Titon Slamet Kurnia, et al, Pendidikan Hukum, Ilmu Hukum
& Penelitian Hukum di Indonesia: Sebuah Orientasi, Op.Cit., Hlm.
99-100.
8
Burgink, J.J.H., Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1999, Hlm. 125.

negara dan lingkup keberlakuannya pun terbatas pada
lingkup teritorial kekuasaan negara tempat otoritas
pembentuk peraturan tersebut

berada.

Sedangkan

Hukum tidak terbatas pada negara saja tetapi melebihi

negara9 sehingga selalu dapat ditemukan dalam semua
masyarakat

atau

bersifat

universal

berkembang sesuai dengan dinamika
Hukum

ditanggapi

dan

terus

masyarakat.10


sebagai

prinsip-prinsip

keadilan, hukum adalah undang-undang yang adil, bila
undang-undang bertentangan dengan prinsip-prinsip
keadilan, maka undang-undang tersebut tidak dapat
disebut sebagai hukum lagi, karena adil merupakan
unsur konstitutif dari segala pengertian hukum.11
Theo Huijbers berpendapat bahwa:
Perbedaan antara kedua istilah memang nyata:
istilah “hukum” mengandung suatu tuntutan keadilan,
istilah “undang-undang” menandakan norma-norma
yang de facto digunakan untuk memenuhi tuntutan
tersebut, entah tertulis entah tidak tertulis. Sudah
jelas, bahwa kata “hukum” sebagai “Ius” lebih
fundamental daripada kata “undang-undang”/lex,
sebab kata “hukum” sebagai “Ius” menunjukkan
hukum dengan mengikutsertakan prinsip-prinsip atau
azas-azas
yang
dikehendaki
orang.
“Lex”
itu
merupakan bentuk eksplisit dari “Ius”.12

9

Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Op.Cit., Hlm. 73.
Titon Slamet Kurnia, Pengantar Sistem Hukum Indonesia,
Op.Cit., Hlm. 4.
11 Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Op.Cit., Hlm. 71.
12 Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Op.Cit., Hlm. 49.
10

33

Dalam berbicara hukum keadilanlah yang menjadi
unsur utamanya atau bisa dikatakan bahwa Hukum
dalam arti Keadilan (Ius) sebagai sumber validitas dari
hukum

sebagai

peraturan

(Lex)

sehingga

dapat

ditangkap konsep hukum yang dijadikan landasan
berfikir dalam penulisan karya ilmiah ini adalah Ius
dan Ius inilah yang merupakan spirit dari lex13
Peraturan hanya salah satu bentuk manifestasi dari
hukum.14 Dikatakan salah satu bentuk saja karena
peraturan tidak dapat menguras hukum.15 Selain
melalui peraturan hukum bisa juga hadir dalam
bentuk-bentuk yang lain seperti kaidah-kaidah tidak
tertulis yang hidup dan berkembang dalam masyarakat
terlepas dari adanya unsur otoritatif atau tidak.
Hukum pada dasarnya hidup dan bekerja dalam
setiap kehidupan masyarakat bekerja melalui akal budi
setiap

individu

dan

memandu

menghadirkan

kedamaian dalam pergaulan masyarakat. Akan tetapi
keberadaan Hukum baru disadari ketika Hukum itu di
langgar16 atau saat terjadi masalah yaitu ketika ideal
atau

keadilan

tidak

tercapai

dalam

kehidupan

masyarakat.17 Karena ketika keadilan tidak terjadi

13

Titon Slamet Kurnia, et al, Pendidikan Hukum, Ilmu Hukum
& Penelitian Hukum di Indonesia: Sebuah Orientasi, Op.Cit., Hlm.
103.
14 Titon Slamet Kurnia, Pengantar Sistem Hukum Indonesia,
Op.Cit., Hlm. 3
15 Sudikno Mertokusumo dan Pilto A., Bab-Bab Tentang
Penemuan Hukum, Op.Cit., Hlm. 53.
16 Ibid., Hlm. 1.
17 Titon Slamet Kurnia, Pengantar Sistem Hukum Indonesia,
Op.Cit., Hlm. 4.

hukum akan menghadirkan mekanisme-mekanisme
untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut pada
proses inilah masyarakat menyebut bahwa hukum
ditemukan.
Dalam ilmu hukum, pada dasarnya hukum dapat
dilihat dalam beberapa bentuk yang saling mendukung
satu sama lain yaitu berupa Asas atau Prinsip Hukum
kemudian Kaidah atau Norma Hukum dan Aturan
Hukum. Setiap bentuk memiliki sifatnya masingmasing dan berada pada lapisan atau tingkatan yang
berbeda dari bentuknya yang lain, akan tetapi pada
prinsipnya lapisan-lapisan tersebut merupakan satu
kesatuan sistemik, mengendap hidup dalam sistem.
Saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya,
bahu membahu (shoulder to shoulder), gotong royong
sebagai suatu sistem18 yang mengalirkan keadilan.

B. Asas Hukum
Kata asas, secara etimologi berasal dari bahasa
Arab asaas, yang berarti dasar, asas, pondasi, prinsip
dan aturan.19 Dalam KBBI,20 kata asas memiliki 3 (tiga)

18

Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat, Op.Cit., Hlm. 2.
Lihat Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdar, Qaamus
Krabyaak ‘Al-‘Ashrii: ‘Arabii-Induuniisii, cet. Ke-9, Multi Karya
Grafika, Yogyakarta, 2004, Hlm. 88.
19

35

makna, yaitu: 1) dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan
berpikir

atau

berpendapat;

2)

dasar

cita-cita

(perkumpulan atau organisasi); 3) hukum dasar.21
Sedangkan pengertian prinsip adalah kebenaran yang
menjadi

pokok

dasar

berpikir,

bertindak

dan

sebagainya.22 Meskipun demikian, terdapat perbedaan
makna antara prinsip dan asas. Secara etimologi (tata
bahasa) prinsip adalah dasar permulaan, aturan pokok.
Juhaya

S.

Praja

memberikan

sebagai:

permulaan;

tempat

pengertian

prinsip

pemberangkatan; titik

tolak; atau al-mabda’.23 Adapun secara terminologi
prinsip adalah kebenaran universal yang inheren di
dalam hukum dan menjadi titik tolak pembinaannya;
prinsip yang membentuk hukum dan setiap cabangcabangnya.24
Menurut Black Law Dictionary, pengertian prinsip
adalah:
A fundamental truth or doctrine which furnishes a
basis or origin for others," a settled rule of action,
procedure, or legal determination. A truth or proposition
so clear that it cannot be proved or contradicted unless
by proposition which is still clearer. That which

20

Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Hlm. 60.
Bandingkan dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang
disusun oleh Tim Penyusun Pustaka Phoenix. Dalam kamus ini,
asas diartikan sebagai “dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan
berfikir atau berpendapat), alas, pondamen; dasar cita-cita
(perkumpulan organisasi). Mlihat Tim Penyusun Pustaka Phoenix,
Kamus Besar Bahawa Indonesia, Hlm. 79
22Ibid.
23 Jugaya S. Pradja, Filsafat Hukum Islam, LPPM. Unisba,
Bandung, 1995, Hlm. 69
24Ibid.
21

constitutes the essence of a body or its constituent parts.
That which pertain to the theoretical part of a science.

Pada bagian lain, Dictionary of Law memberikan
pengertian prinsip (principle) adalah basic point, general
rule; contohnya in principle, in agreement with a general
rule. Oleh karena itu, dalam dunia hukum asas dan
prinsip hukum tersebut berlaku secara universal dan
kedudukannya berada di atas peraturan perundangundangan.25
Adapun penjelasan mengenai pengertian asas,
lebih lanjut dikemukakan oleh Paton. Ia mendefinisikan
asas: “A principle is the broad reason, which lies at the
base

of

a

rule

mengindikasikan

of

law”.

bahwa

Pengertian

peraturan

tersebut

perundang-

undangan dan para pelaksana yang menjalankan serta
menegakkan

peraturan

perundang-undangan

diharuskan untuk taat dan tunduk kepada asas dan
prinsip hukum yang berlaku secara universal itu.
Sebagai Konsekuensinya adalah apabila pelaksana
hukum tidak taat dan tidak tunduk kepada asas dan
prinsip hukum tersebut, maka keberadaan hukum
tersebut,

menjadi

tidak

ada

artinya

atau

terjadi

ketidaktertiban dan kekacauan dalam pelaksanaan
hukum.26

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West
Publishing CO, St. Paul Minn, 1968, Hlm. 1507.
26 Dikutip Mahdi dalam Surachmin dan Suhandi Cahaya,
222 Asas dan Prinsip Hukum Penyelenggaraan Negara, Yayasan
Gema Yustisia Indonesia, Jakarta, 2010, Hlm. 2.
25

37

Adapun

dalam

tinjauan

terminologi,

yang

dimaksud dengan asas adalah nilai-nilai dasar yang
menjadi

bahan

pertimbangan

untuk

melakukan

perbuatan. Oleh karena nilai-nilai dasar itu sangat
berpengaruh

terhadap

perbuatan

atau

perilaku

manusia secara lahiriah (etika/moral), maka nilai-nilai
dasar

tersebut

harus

mengandung

unsur-

unsur

kebenaran hakiki.27
Asas hukum adalah intisari atau jantungnya
hukum. Tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa
asas hukum merupakan jantungnya peraturan hukum.
Dikatakan demikian, karena ia merupakan landasan
yang paling penting bagi lahirnya peraturan hukum.
Hal ini berati bahwa peraturan-peraturan hukum pada
akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut.
Selain asas disebut sebagai landasan, asas hukum
layak

pula

disebut

sebagai

alasan

bagi

lahirnya

peraturan hukum, atau merupakan “ratio legis” dari
peraturan hukum. Asas hukum ini tidak akan habis
kekuatannya
hukum,

dengan

melainkan

melahirkan
akan

tetap

suatu
ada

peraturan
dan

akan

melahirkan peraturan-peraturan berikutnya.28
Oleh karena itu, LW- Paton menyebutnya sebagai
suatu sarana yang membuat hukum itu hidup, tumbuh
dan berkembang, dan ia juga menunjukkan bahwa

27 Bandingkan dengan Burhanuddin S., Hukum Bisnis
Syariah, UII Press, Yogyakarta, 2011, Hlm. 89.
28 Paton, LW-, A Textbook of Yurisprudence, Oxford University
Press, Oxford, 1969, Hlm. 3

hukum itu bukan sekedar kumpulan dari peraturanperaturan berkala. Jikalau dikatakan bahwa dengan
adanya

asas

kumpulan

hukum,

hukum

peraturan-peraturan,

itu

bukan
maka

sekedar
hal

itu

disebabkan oleh karena asas itu mengandung nilainilai dan tuntutan-tuntutan etis. Apabila kita membaca
suatu

peraturan

hukum,

mungkin

kita

tidak

menemukan pertimbangan etis di dalamnya. Tetapi,
asas hukum menunjukkan adanya tuntutan etis yang
sedemikian itu atau paling kurang kita bisa merasakan
adanya petunjuk ke arah itu.29
Menurut Sudikno Mertokusumo bahwa:
Asas hukum itu merupakan sebagian dari hidup
dan kejiwaan kita. Dalam setiap asas hukum manusia
melihat suatu cita-cita yang hendak diraihnya… suatu
cita-cita atau harapan, suatu ideal. Asas hukum itu
memberi dimensi etis kepada hukum. Oleh karena itu
pula asas hukum itu pada umumnya merupakan suatu
persangkaan (presumptio), yang tidak mengambarkan
suatu kenyataan, tetapi suatu ideal atau harapan. 30

Demikian asas hukum adalah jiwa, harapan dari
hukum yang memberi dimensi etis dan pada umumnya
merupakan

persangkaan

dikatakan

persangkaan

karena memang tataran berfikir asas hukum terlepas
dari fakta yang terjadi sehingga persangkaan di sini
adalah

lebih

tepat

jika

dikatakan

pengharusan.

Pemahaman tersebut perlu untuk dilengkapi dengan

29 Surachim dan Suhandi Cahaya, 222 Asas dan Prinsip
Hukum Penyelenggaraan Negara, Hlm. 3.
30
Sudikno Mertokusumo, Penemun Hukum: Sebuah
Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2007, Hlm. 8.

39

pemahaman van Apeldoorn yang menjelaskan bahwa:
“jika terdapat pengertian hukum yang umum berlaku,
maka hal tersebut hanyalah suatu pengertian “a priori”
yakni

suatu

pengalaman,

pengertian

yang

tidak

berasal

melainkan

yang

mendahului

dari

segala

pengalaman.”31 Maka pada dasarnya asas berupa
persangkaan yang sifatnya memberikan preskripsi dan
kebenarannya adalah a priori. Asas hukum adalah
persangkaan yang kebenarannya tak terbantahkan.
Fungsi dan Peranan Asas Dalam hal aturan-aturan
hukum yang ada tidak dapat menetapkan mengenai
hukum sesuatu atau memecahkan persoalan, akan
dibutuhkan

bantuan

asas-asas

hukum

untuk

memberikan makna terhadap aturan-aturan hukum
yang

sudah

ada.

Setiap

kasus

(hukum)

harus

dipecahkan dengan melakukan penafsiran sebagai
semacam pelengkap.
Asas-asas

hukum

diperjuangkan

bukan

pada

tataran penilaian rasio manusia, melainkan pada
tataran kesusilaan. Asas-asas hukum tidaklah sekadar
bersifat umum, melainkan juga bersifat terberi dan
niscaya.

Karena

apabila

tidak

demikian.

Maka

karakternya sebagai asas menjadi hilang.32
Asas-asas hukum ialah pokok-pokok pikiran yang
berpengaruh terhadap norma-norma perilaku dan yang

31 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum
Pradnya Paramita, Jakarta, Hlm. 430.
32Ibid., Hlm. 81

(Cet. 32),

juga menentukan lingkup Keberlakuan norma-norma
hukum. Untuk itulah, asas-asas hukum berfungsi
sebagai penafsir aturan-aturan hukum dan sebagai
pedoman bagi suatu perilaku, meskipun tidak dengan
cara langsung sebagaimana terjadi dengan normanorma perilaku.
Dalam hal ini, R.J. Jue mengatakan: “Asas-asas
hukum menjelaskan dan menjustifikasi norma-norma
hukum; di dalamnya terkandung (dan bertumpu) nilainilai

ideologis

tertib

hukum”.33 J.M.

Smits

lebih

memerinci fungsi asas-asas hukum menjadi 3 (tiga)
macam.

Pertama,

asas-asas

hukum

memberikan

keterjalinan dari aturan-aturan hukum yang tersebar.
Kedua, asas-asas hukum dapat difungsikan untuk
mencari pemecahan atas masalah-masalah baru yang
muncul dan membuka bidang-bidang liputan masalah
baru. Asas-asas hukum juga menjustifikasikan prinsipprinsip “etika”, yang merupakan substansi dari aturanaturan hukum. Dari kedua fungsi asas hukum di atas
diturunkanlah fungsi ketiga, yakni asas-asas hukum
dalam hal demikian dapat digunakan untuk ”menulis
ulang”

bahan-bahan

ajaran

hukum

yang

ada

sedemikian rupa, sehingga dapat dimunculkan solusi
terhadap persoalan-persoalan baru yang berkembang.
Beranjak dari pandangan di atas, dapat dipahami
bahwa asas-asas hukum bertujuan untuk memberikan
arahan

yang

layak/pantas

(menurut

hukum:

33 R. J. Jue, Grondbeginselen van het recht, dikutip dalam
Ibid., Hlm. 82.

41

rechtmatig) dalam hal menggunakan atau menerapkan
aturan-aturan

hukum.

Asas-asas

hukum

tersebut

berfungsi sebagai pedoman atau arahan orientasi agar
suatu hukum dapat dan boleh dijalankan.34 Asas-asas
hukum tersebut tidak hanya akan berguna sebagai
pedoman ketika menghadapi kasus-kasus sulit, tetapi
juga pada umumnya berguna dalam hal menerapkan
aturan.

Asas-asas

hukum

membentuk

konteks

interpretasi yang niscaya dari aturan-aturan hukum.
Mengenai
hukum

fungsi
demi

interpretatif

kepentingan

tersebut,

asas-asas

aturan-aturan

hukum

mensyaratkan pelibatan moral dan susila. Meskipun
aturan-aturan (hukum) harus diterangkan beranjak
dari

latar

belakang

asas-asas

hukum

niscaya

terkonkretisasi ke dalam aturan-aturan, satu persoalan
lagi

yang

perlu

dijelaskan,

yakni

bagaimana

keberadaan asas-asas hukum dalam kaitannya dengan
hukum positif.
Dalam kaitannya dengan hukum positif, Asas-asas
hukum secara reflektif meletakkan perkaitan antara
nilai-nilai (tata nilai). Pokok-pokok pikiran pelibatan
moril dan susila pada satu pihak dengan hukum positif
pada pihak yang lainnya. (Tata-) nilai adalah suatu
fenomena, yang setiap kali mewujudkan diri dalam
kaitannya dengan apa yang “baik” atau “benar”,
Menurut
mengenai

34Ibid.,

Paul

asas

Scholten,

hukum

Hlm. 82-83.

dapat

dari

pembicaraan

diketahui

bahwa

peraturan-peraturan hukum yang tampaknya berdiri
sendiri-sendiri tanpa ada ikatan, sesungguhnya diikat
oleh beberapa pengertian yang lebih umum sifatnya,
yang mengutarakan suatu tuntutan etis. Oleh karena
itulah, Paul Solten mengatakan bahwa asas hukum
positif tetapi sekaligus juga melampaui hukum positif
dengan cara menunjuk kepada suatu penilaian etis.35
Dengan demikian, asas hukum itu dapat berfungsi dan
berperan sebagai pemberi penilaian etis terhadap
hukum positif apabila ia tidak sekaligus berada di luar
hukum tersebut. Keberadaan asas hukum berada di
luar hukum positif adalah untuk menunjukkan betapa
asas hukum itu mengandung nilai etis yang self-evident
bagi yang mempunyai hukum positif tersebut.36

C. Norma/Kaidah Hukum
Dalam Black's Law Dictionary setidaknya terdapat
dua pengertian dari norma (Norm) yaitu:
1.

2.

35

A model or standard accepted (voluntarily or
involuntarily) by society or other large group,
against which society judges someone or
something. • An example of a norm is the standard
for right or wrong behavior.
An actual or set standard determined by the
typical or most frequent behavior of a group. 37

Suracmin dan Suhandi Cahaya, 222 Asas dan Prinsip
Hukum Penyelenggaraan Negara, Hlm. 5.
36Ibid.
37 Bryan A. Garner, Black's Law Dictionary 8th Edition, Hlm.
3358.

43

Dari pengertian di atas dapat ditarik sebuah
pengertian bahwa norma adalah standar yang diterima
oleh masyarakat tentang bagaimana berperilaku yang
baik dan benar dalam sebuah kelompok masyarakat
yang lahir dari kebiasaan atau perilaku yang paling
sering

dilakukan

kelompok

(most

masyarakat

frequent

tersebut.

behavior)

dalam

Sedangkan

untuk

pengertian kaidah dimana Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia kaidah diartikan sebagai patokan.
Kaidah hukum lazimnya peraturan hidup yang
menentukan
berperilaku,

bagaimana
bersikap

kepentingannya
terlindungi.38
mengenai
dilakukan

dan

manusia

dalam

seyogyanya

masyarakat

kepentingan

orang

agar
lain

Kaidah merupakan pandangan objektif

penilaian
atau

atau

tidak

sikap

yang

dilakukan,

seyogyanya

dilarang,

atau

dianjurkan untuk dilakukan.39
Kaidah-kaidah hukum ditemukan oleh akal budi
manusia

sebagai

mahluk

rasional

yang

memiliki

kemampuan membedakan benar-salah, baik-buruk,
adil-tidak

adil,

manusiawi-tidak

manusiawi

yang

menuntut bagaimana seharusnya manusia bertindak
dalam pergaulannya dalam masyarakat.40 Berkaitan

38

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah
Pengantar, Op.Cit., Hlm. 11.
39 Zainal Azikin, Pengantar Ilmu Hukum , Rajawali Pers,
Jakarta, 2013, Hlm. 27.
40 Bernard Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia: Upaya
Pengembangan Ilmu Hukum Sisitemik Yang Responsif terhadap

dengan kaidah-kaidah, hukum menyatakan diri juga
sebagai hak dan kewajiban yang ada pada orang-orang
yang hidup dalam suatu masyarakat tertentu. Hukum
dalam arti ini disebut hukum subyektif.41
Kebanyakan literatur memberikan pemahaman
tentang norma hukum bahwa norma hukum selalu
diidentikkan dengan aturan hukum, atau bahkan ada
yang mengunakan kalimat norma hukum dengan
aturan hukum secara bergantian untuk menjelaskan
objek yang sama. Norma hukum adalah berbeda
dengan aturan hukum karena norma hukum sebagai
arti dari satuan bahasa yang lebih luas, dari aturan
hukum.42 Memang kaidah hukum sering kali terwujud
dalam

teks

perundang-undangan,

atau

dalam

peraturan-perundang-undangan yang lain, yang dapat
dirasakan dengan indera penglihatan, namun tidak
berarti kaidah hukum sama dengan teks-teks undangundang tersebut. Kaidah hukum pada dasarnya tidak
dapat di tangkap oleh panca indera karena isinya
adalah “kesadaran”. 43
Norma merupakan pranata yang berkaitan dengan
hubungan

antara

individu

dalam

hidup

Perubahan Masyarakat, Genta Publishing, Yogyakarta, 2013,Hlm.
8
41 Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Op.Cit., Hlm. 16.
42
Burgink, J.J.H., Refleksi Tentang Hukum, Op.Cit., Hlm.
88.
43 Kuat Puji Priyanto, Pengantar Ilmu Hukum
(Kesenian
Hukum dan Penemuan Hukum dalam Konteks Hukum Nasional),
Kanwa Publisher, Yogyakarta, 2011, Hlm. 2.

45

bermasyarakat.44 Karena hubungan yang diatur adalah
antara individu dengan individu lain atau dendang
masyarakat bentuk dari norma selalu berisi perintah
dan larangan,45

perintah dan larangan tersebut

diterima oleh masyarakat untuk alasan rasionalitas
bahwa

sesuatu

mendatangkan

yang

dampak

diperintahkan
yang

baik

akan

begitu

pula

sebaliknya, dan sesuatu dilarang pun karena tindakan
tersebut akan mendatangkan sesuatu yang buruk bagi
masyarakat.
Norma merujuk pada ranah keseyogiaan. Norma
adalah konkretisasi yang diperhalus dari tata nilai dan
mengejawantahkan apa yang secara nyata harus ada
ketika suatu putusan tentang nilai diberikan. Dengan
demikian,

maka

norma

niscaya

muncul

dalam

perintah, larangan, dan kewenangan. Dengan kata lain,
tata nilai secara struktural merupakan landasan pijak
dari norma. Perihal norma ini, apa yang terpikirkan
adalah bagaimana seyogianya manusia berperilaku.
Ruang

lingkup

putusan-putusan

substansi
nilai

norma

ditentukan

(waardeoordelen),

oleh
yang

mencakup pernyataan-pernyataan tentang bagaimana
seharusnya masyarakat yang baik ditata.
Sebagaimana

dikatakan

oleh

Theo

Huijbers

bahwa “hukum muncul dalam pengalaman tiap-tiap
orang. Menurut pengalaman itu hukum pertama-tama

44 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum
Revisi), Op.Cit.,Hlm. 44
45 Ibid., Hlm. 44

(Edisi

muncul sebagai kaidah-kaidah yang mengatur hidup
bersama.”46 Demikian bahwa memang lahirnya norma
atau kaidah adalah dari pengalaman manusia dalam
kehidupan masyarakat yang kemudian oleh rasional
atau akal sehatnya manusia menemukan keharusan
berupa kaidah-kaidah yang harus dilakukan agar
pergaulannya

dengan

masyarakat

dapat

berjalan

dengan baik dan kepentingannya dapat terlindungi.
Kaidah-kaidah itu ada yang berbentuk perintah dan
larangan, yakni kaidah imperatif; ada juga yang
berbentuk disposisi (membuka peluang, mengizinkan,
menjanji),

yakni

kaidah-kaidah

fakultatif.

Kaidah-

kaidah itu ada yang tertulis, ada yang tidak tertulis.
Hukum dalam arti ini disebut hukum subyektif.47
Menurut Sudikno Mertokusumo bahwa dalam
arti sempit yang dimaksudkan dengan kaedah hukum
adalah nilai yang terdapat dalam peraturan konkrit.48
Pendapat tersebut adalah sejalan dengan pendapat
J.J.H. Bruggink yang juga mengatakan bahwa: kaidah
hukum sebagai arti satuan bahasa yang lebih luas,
aturan hukum.49 Jadi kalau asas hukum merupakan
pikiran dasar yang bersifat abstrak, maka kaidah
hukum dalam arti yang sempit merupakan nilai yang

46

Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Op.Cit., Hlm. 15.
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Op.Cit., Hlm. 15-16.
48
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah
Pengantar, Op.Cit., Hlm. 11.
49
Burgink, J.J.H., Refleksi Tentang Hukum, Op.Cit., Hlm.
88.
47

47

bersifat lebih konkrit dari pada asas hukum.50 Sebagai
contoh misalnya kedah atau nila yang terdapat dalam
Pasal 362 KUHP (“barang siapa mengambil barang
orang lain dengan jalan melawan hukum, dihukum
karena….”)

ialah

bahwa

seyogyanya

jangan

mencuri

mencuri

itu

tidak

baik

penilaian).51

(sebuah

Sehingga kaidah yang melatarbelakangi Pasal 362
adalah keharusan manusia tidak boleh mencuri.
Lanjut Sudikno bahwa Kaedah hukum dalam arti
sempit

ini

(nilai)

pada

perkembangan

peraturan

demikian

kaedah

ada

sementara

peraturan

umumnya

yang
atau

mengikuti

konkrit.
nilai

konkritnya

Meskipun

yang

tidak

berubah
berubah.52

Sebagai contoh yaitu kaidah atau nilai yang terdapat
dalam Pasal 1365 KUHPerd. Nilai yang terkandung
dalam

pengertian

mengalami

perbuatan

perubahan.

Sebelum

melawan
1919

hukum
“melawan

hukum” diartikan sempit (HR 10 Juni 1910, pipa air
Zutphen, W 9038), sedangakan sejak 1919 diartikan
luas (HR 31 Jan. 1919, Lindenbaun v. Cohen, W
10365), sementara redaksi Pasal 1365 HUHPerd sampai
sekarang

(sudah

kurang

lebih

100

tahun

tidak

mengalami perubahan.53
Norma atau kaidah yang berisi perintah dan
larangan namun sifatnya belum operasional atau masih
50

Sudikno Mertokusumo,
Pengantar, Op.Cit., Hlm. 11.
51 Ibid., Hlm. 12.
52 Ibid.
53 Ibid.

Penemuan

Hukum:

Sebuah

bersifat

umum

karena

norma

mempreskripsikan

sesuatu yang cakupannya bersifat luas. Perintah dan
larangan yang masih bersifat luas itu perlu dituangkan
kedalam

aturan-aturan

kongkret.54
kehidupan

Misalnya

hukum
untuk

bermasyarakat,

yang

bersifat

mempertahankan

dikembangkan

norma

bahwa setiap individu tidak boleh merugikan individu
lain atau masyarakat.55 Jelas bahwa hal merugikan
masyarakat tersebut masih merupakan sebuah situasi
yang sangat luas dan mengambang sehingga norma
tersebut perlu itu dikongkretkan melalui peraturan.56
Untuk

memperoleh

penjelasan

lebih

lanjut

mengenai perbedaan norma dengan aturan J.J.H.
Bruggink menjelaskan bahwa:
Jika dalam sebuah aturan hukum misalnya
dimuat (lebih) banyak bahan-bahan, maka hal ini
dapat mengakibatkan bahwa isi dari kaidah hukum
memperoleh lebih banyak ciri, dan dengan itu maka
wilayah penerapan kaidah hukum itu bertambah
kecil.57

Bahwa
lingkup

aturan

sangat

mempengaruhi

berlakunya

Kaidah

atau

norma,

ruang
dimana

semakin konkret aturan hukum maka semakin kecil
wilayah penerapan dari normanya, namun disatu sisi
normanya menjadi lebih akurat terhadap peristiwa

54

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi
Revisi), Op.Cit.,Hlm. 44
55 Ibid.
56 Ibid.
57
Burgink, J.J.H., Refleksi Tentang Hukum, Op.Cit., Hlm.
89.

49

konkret karena aturan yang membuat norma menjadi
lebih akurat atau norma tersebut lebih mengena ke
peristiwa konkret. Sehingga dapat dikatakan bahwa
norma atau kaidah hukum adalah isi dari aturan
hukum.58
Penjelasan

di

atas

dapat

dilihat

misalnya

ketentuan dalam KUHP Pasal 338 sampai 350, total
terdapat 13 aturan dengan ciri-cirinya (unsur) masingmasing

akan tetapi

satu

kaidah

yang

diatur

di

dalamnya yaitu kaidah manusia tidak dibenarkan
membunuh manusia lain dan sampai kapan pun akan
tetap seperti itu, dalam artian kaidah sifatnya adalah
tetap cuman perubahan peraturan yang menyesuaikan
dengan

perkembangan

undang-undang

mencatat

masyarakat.59
kaidah

Demikian

hukum

dan

memberikan wujud.60
Dikarenakan norma adalah patokan atau standar
yang

mempreskripsikan

bagaimana

individu

berperilaku dalam pergaulannya dengan masyarakat,
pada dasarnya pada tataran norma belum terdapat
sanksi di dalamnya, pendapat ini didukung oleh J.J.H.
Briggink yang menjelaskan bahwa:

58

Ibid., Hlm. 92.
Dengan pengertian kaidah yang seperti ini maka dapat
dikatakan bawa, pemahaman yang mengatakan hukum harus
mengikuti perkembangan masyarakat adalah tidak benar, karena
hukum pada dasarnya tetap aturannya yang harus mengikuti
perkembangan masyarakat.
60 Kuat Puji Priyanto, Pengantar Ilmu Hukum
(Kesenian
Hukum dan Penemuan Hukum dalam Konteks Hukum Nasional),
Kanwa Publisher, Yogyakarta, 2011, Hlm. 2.
59

Mematuhi suatu kaidah hukum jarang sekali
terjadi hanya karena ada paksaan, tetapi jelas sekali
bahwa di dalam masyarakat berlaku (berpengaruh)
kebiasaan untuk mematuhi kaidah-kaidah hukum.
Kebiasaan-kebiasaan itu menunjukkan bahwa orang
jelas-jelas merasakan dirinya berkewajiban untuk
berperilaku sesuai dengan kaidah hukum.61

Keberadaan norma yang belum ada keterkaitannya
dengan sanksi dikarenakan bahwa sebagaimana telah
dijelaskan di atas bahwa norma adalah patokan
mengenai

standar

berperilaku

bagi

individu

yang

memang daya mengikatnya terdapat pada sesuatu yang
datang dari dalam atau dari materi norma tersebut
yaitu bahwa norma tersebut memang menghendaki
sesuatu yang baik yang menyelamatkan masyarakat.

D. Aturan Hukum
Norma yang merupakan patokan atau standar
yang

mempreskripsikan

bagaimana

individu

berperilaku dalam pergaulannya dengan masyarakat
Perintah dan larangan yang masih bersifat luas itu
perlu dituangkan kedalam aturan-aturan hukum yang
bersifat kongkret.62
Aturan hukum adalah bentuk yang lebih konkret
dari kaidah hukum dan didesain untuk sebuah situasi
yang spesifik, untuk itu aturan hukum harus memuat

61

Burgink, J.J.H., Refleksi Tentang Hukum, Op.Cit., Hlm.

98.
62 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum
Revisi), Op.Cit.,Hlm. 44

(Edisi

51

isi yang menunjuk pada sebuah peristiwa yang jelas
sehingga dapat diterapkan secara langsung.63
Sebagai
kehidupan

contoh

untuk

bermasyarakat,

mempertahankan

dikembangkan

norma

bahwa setiap individu tidak boleh merugikan individu
lain atau masyarakat.64 Jelas bahwa hal merugikan
masyarakat tersebut masih merupakan sebuah situasi
yang sangat luas dan mengambang sehingga norma
tersebut

perlu

itu

dikongkretkan.65

menkongkretkan norma tersebut

Untuk

maka diperlukan

aturan yang di dalamnya memuat hal teknis atau halhal

konkret

mengenai

tindakan

apa

saja

yang

merugikan individu lain atau masyarakat sehingga
harus dilarang.
Aturan-aturan

bisa

tertulis

maupun

berupa

kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat
yang keduanya pada intinya telah membatasi tindakan
individu untuk berbuat sesuatu yang dituang di dalam
aturan tersebut karena merugikan.66
Dalam

pandangan

positivisme

hukum

hanya

mengakui bahwa Peraturan – peraturan yang timbul
dan dibuat oleh lembaga kekuasaan negara atau

63

Burgink, J.J.H., Refleksi Tentang Hukum, Op.Cit., Hlm.

64

(Edisi

125.
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum
Revisi), Op.Cit.,Hlm. 44
65 Ibid.
66 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum
Revisi), Op.Cit.,Hlm. 44

(Edisi

produk otoritas.67 Isinya mengikat bagi setiap orang
dan

pelaksanaannya

dapat

dipertahankan

dengan

segala paksaan oleh alat-alat negara.68 Aturan hukum
sifatnya memaksa karena diletakkan sanksi berupa
ancaman

hukuman

melanggarnya.
pelanggaran
heteronom,

bagi

Penataan

setiap
dan

sanksi

peraturan-peraturan
yang

artinya

orang

dapat

yang

terhadap

hukum

bersifat

dipaksakan

oleh

kekuasaan dari luar yaitu kekuasaan negara.69 Aturan
hukum terbentuk karena pembentuk undang-undang
dalam pembentukan aturannya atau hakim dalam
pengambilan putusan hukumnya menimbang-nimbang
berbagai asas hukum.70
Aturan hukum harus didasarkan kepada norma,
norma

didasarkan

digambarkan

dan

kepada
uraikan

asas
sebagai

yang

dapat

berikut:

Asas

berbunyi sangat luas, agak mengambang. Norma sudah
mulai

kongkret. Mengemban

suatu

profesi untuk

umum (mengambang) diturunkan menjadi “melakukan
pengangkulan untuk umum” (=suatu norma). Sudah
mulai konkret. Dengan demikian apa yang sebelumnya
bersifat umum luas, sudah mulai menciut dan sudah

67

Zainal Azikin, Pengantar Ilmu Hukum , Rajawali Pers,
Jakarta, 2013, Hlm. 27.
68 Ibid.
69 Ibid.
70
Burgink, J.J.H., Refleksi Tentang Hukum, Op.Cit., Hlm.
125.

53

menjurus ke suatu yang kongkret melalui aturan
aturan-aturan inilah yang disebut hukum.71
Bukan karena peraturan tersebut memiliki sanksi
sehingga dapat disebut sebagai hukum, akan tetapi
karena

peraturan

tersebut

berdasarkan

hukum,

maksud berdasarkan hukum di sini adalah dalam
artian ketika peraturan tersebut jika dirunut ke atas
materi muatan atau substansinya akan berpangkal
pada asas hukum. Aturan yang di dalamnya berisikan
norma yang berpangkal pada asas hukumlah yang
kemudian memiliki predikat sebagai hukum, sehingga
di dalamnya dimuat adanya sanksi, sebenarnya sanksi
tersebut

adalah

bentuk

dari

atau

tuntutan

dari

penegakan hukum, karena aturan hukum didesain
sedemikian rupa untuk sebuah peristiwa tertentu
sehingga aturan tersebut juga harus didesain untuk
dapat diterapkan maka dari itu dilekatkanlah sanksi di
dalamnya.
Keberadaan

sanksi

dalam

aturan

hukum

sebenarnya adalah mempertegas bahwa ada nilai, ada
kebenaran atau ada hukum yang memang layak untuk
dipertahankan dan harus dipertahankan yang diatur
dalam aturan hukum, karena jika tidak demikian maka
sanksi

sama

dengan

kesewenang-wenangan

yang

membabi buta. Jadi penanda predikat hukum dalam
aturan hukum adalah bukan karena ada sanksinya

71 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum
Revisi), Op.Cit., Hlm. 44

(Edisi

tetapi karena nilai yang dipertahankan oleh aturan
tersebut.
Dalam

pandangan

positivisme

hukum

hanya

mengakui bahwa Peraturan – peraturan yang timbul
dan dibuat oleh lembaga kekuasaan negara atau
produk otoritas.72 Isinya mengikat bagi setiap orang
dan

pelaksanaannya

dapat

dipertahankan

dengan

segala paksaan oleh alat-alat negara.73 Aturan hukum
sifatnya memaksa karena diletakkan sanksi berupa
ancaman

hukuman

melanggarnya.
pelanggaran
heteronom,

bagi

Penataan

setiap
dan

peraturan-peraturan
yang

artinya

dapat

kekuasaan dari luar yaitu kekuasaan

orang

sanksi
hukum

yang

terhadap
bersifat

dipaksakan

oleh

negara.74

Dari pembahasan di atas maka jika ditanyakan:
Apakah hukum hanyalah kaidah yang diterbitkan oleh
negara? Apakah segala peraturan yang ditetapkan oleh
pemerintah atau yang dipertahankan oleh paksaan
yang

diorganisir,

selalu

merupakan

hukum?

Jawabannya adalah tidak. Karena selain itu hukum
hadir dalam bentuk dan cara yang lain, contohnya:
hukum kebiasaan, hukum antar negara, hukum gereja
(dalam abad menengah, umum diakui sebagai hukum
yang berlaku, terlepas dari kekuasaan negara) dan

72 Zainal Azikin, Pengantar Ilmu Hukum , Rajawali Pers,
Jakarta, 2013, Hlm. 27.
73 Ibid.
74 Ibid.

55

hukum ketuhanan, yang beberapa abad yang lalu
diterima sebagai hukum.75

75 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum
Pradnya Paramita, Jakarta, Hlm. 430.

(Cet. 32),