Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Doktrin sebagai Sumber Hukum T2 322014015 BAB II

(1)

25 A. Scientia JurisLegal Dogmatics

Perlu diketahui bahwa pemaknaan doktrin di sini adalah pada batasan doktrin hukum (legal doctrine; doctrine of law). Artinya bahwa pemaknaan atau doktrin yang dimaksud dalam penulisan ini senada dengan yang

diungkapkan Peczenik, “The so-called doctrine is of significant importance for legal reasoning. The word “doctrine” refers first of all to the professional legal writing in legal dogmatics, whose task is to systematise and interpret valid law”.1 Dari referensi berbeda sebagaimana dilansir dari

Black’s Law Dictionary, doctrine: “. 1. A principle, esp. a legal principle, that is widely adhered to.”2 Pengertian tersebut menunjukkan doktrin sebagai prinsip terutama prinsip hukum yang secara luas dianut. Namun, doktrin memiliki pengertian tidak sebatas itu melainkan juga dengan pengertian yang lebih luas dan mendalam. Guna pemahaman yang lebih mendalam, Peczenik juga menyatakan sebagaimana pada intinya sudah disinggung pada awal paragraf ini, untuk memulai dengan beberapa fakta mengenai doktrin (scientia iuris, Rechtswissenschaft, Rechtsdogmatik, ``doctrine of law,'' legal

1 Aleksander Peczenik, On Law and Reason, Springer, Lund University, Sweden,

2008, h.295.


(2)

dogmatics) bahwa: “Legal doctrine in Continental European law (scientia iuris) consists of professional legal writings, e.g., handbooks, monographs, etc., whose task is to systematize and interpret valid law.”3 Berangkat dari apa yang dikatakan Peczenik, nampak suatu gambaran bahwa doktrin sebagai teachings dari para ahli hukum yang mana mengelaborasi valid law untuk diintrepetasi dalam suatu pemikiran yang tersistematisasi. Selanjutnya ia menyatakan:

“..., legal doctrine aims to present the law as a coherent net of principles, rules, meta-rules, and exceptions, at different levels of abstraction, connected by support relations. The argumentation used to achieve coherence involves not only description and logic but also evaluative (normative) steps.” 4

Terlihat pokok pikiran yang bermaksud untuk menjelaskan bagaimana sebenarnya doktrin memiliki makna sebagai sistematisasi dari hukum itu sendiri. Suatu pemikiran yang berusaha ditunjukkan melalui metafora bahwa doktrin bermaksud bagaikan jaring yang saling mengikat dan berhubungan satu dengan yang lain. Sejalan dengan itu, Pattaro juga mengemukakan

bahwa doktrin merupakan “expotition of the law”5. Doktrin disebut bahkan

3 Aleksander Peczenik, Ratio Juris. Vol. 14 No. 1, A Theory of Legal Doctrine,

Ebsco Publishing, 2003, h.75.

4Ibid.

5 Enrico Pattaro et.al., A Treatise of Legal Philosophy and General

Jurisprudence, Vol.4: Scientia Juris, Legal Doctrine as Knowledge of Law and as Source of


(3)

sebagai penjelasan yang terperinci mengenai hukum. Dengan penjelasan demikian maka dalam hal ini makna doktrin ialah lebih kepada suatu ajaran (teachings) yang mana pada isinya yaitu dalam rangka bagaimana menjelaskan hukum sebagai suatu sistem. Penjelasan yang terperinci mengenai hukum yang dijelaskan Pattaro berangkat dari produk aktifitas ahli hukum, sebagaimana ia mengemukakan dalam tulisannya:

“The term “legal doctrine” refers in this volume to the activity of scholars as well as to the products of this activity, that is, to the content of books and research. My original intention was to write about the products rather than about the activity. But an understanding of the products very often requires reference to the activity.”6

Namun demikian, meskipun doktrin berasal dari pemikiran para ahli hukum dalam menjelaskan hukum sebagai sistem, bukan berarti doktrin pada pembahasan ini adalah bebas nilai. Karena bisa saja terjadi doktrin diartikan sebagai produk dari pemikiran yang spekulatif. Spekulatif dalam artian ketiadaan koherensi dari alur penalaran untuk memproduksi pokok pikiran yang bisa juga nantinya menjadi doktrin. Justru pada tulisan ini ingin ditunjukkan posisi doktrin yang sarat nilai (value-laden). Sebagaimana yang dikatakan juga oleh Peczenik bahwa:

“The work of legal doctrine is almost always value-laden. Legal doctrine is a good example of a practice of argumentation, pursuing


(4)

knowledge of the existing law, yet in many cases leading to a change in the law.”7

Bahkan dikatakan manakala doktrin merupakan contoh yang baik pada bagaimana menerapkan argumentasi dan mendorong bagi pengembangan pengetahuan tentang existing law, serta pada situasi tertentu membawa perubahan pada hukum. Berbicara mengenai doktrin yang sarat nilai itu, Pattaro menjelaskan tentang bagaimana pengaruh atau peran dari doktrin

yang salah satunya adalah “promoting justice and morality, as by interpreting old law in a new way.”8 Nampak bahwa doktrin tidak bebas nilai. Doktrin memiliki peran untuk mempromosikan keadilan dan moralitas. Oleh sebab itu, seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa doktrin dalam hal ini merupakan produk pemikiran yang sejalan hukum. Sebab hukum mencerminkan keadilan dan moralitas itu sendiri.

Selain mempromosikan keadilan dan moral tentunya, doktrin sendiri secara terperinci memiliki peran yang begitu penting. Tampak dari apa

sebenarnya yang ‘dilakukan’ doktrin yang dilansir dari pendapat Peczenik dan Hage sebagai berikut.

analysis of particular cases; mapping of possibilities, e.g., listing of possible interpretations of a statute;

7 Aleksander Peczenik, Ratio Juris, Op.Cit, h.76.

8 Enrico Pattaro et.al., A Treatise of Legal Philosophy and General Jurisprudence


(5)

systematisation of law under abstract principles provided by general doctrines, such as the above-mentioned doctrine of ` `adequate' ' causation, negligence, intent, rebus sic stantibus in contract law, doctrines stating the goal of punishment (treatment, deterrence, retribution etc.);

development of jurisprudence (legal theory) with normative consequences, e.g., various doctrines of statutory interpretation; doctrines of the internal system of the law etc.; doctrines about the sources of the law;

development of moral-philosophical doctrines; e.g., philosophy of justice behind the doctrine of ` `adequate' ' causation and, finally,

explication of basic philosophical positions behind jurisprudence and moral philosophy.9

Doktrin memang sangat erat dengan perannya untuk menginterpretasi peraturan perundang-undangan. Oleh karena, dalam kasus-kasus tertentu butuh suatu penjelasan yang membimbing (guidance) terutama ketika hakim dalam menangani perkara. Agar suatu hal yang berkaitan dengan perkara yang ditangani jelas dan terang tentunya hakim ‘meminta bantuan’ dari doktrin-doktrin yang relevan untuk itu. Seperti yang diketahui, dalam hukum terdapat prinsip-prinsip. Prinsip-prinsip yang cenderung abstrak dalam hukum disistematisasi oleh doktrin dalam rangka pencapaian suatu pengertian yang lebih jelas. Peranan berikutnya sebagaimana kutipan di atas merupakan peran yang cukup vital bahwa demi pengembangan ilmu hukum.

9 Aleksander Peczenik and Jaap Hage, Ratio Juris. Vol. 13 No. 3, Legal

Knowledge about What?, Blackwell Publishers Ltd,108 Cowley Road, Oxford OX4 1JF, UK and 350 Main Street, Malden, MA 02148, USA, 2000, h.334.


(6)

Pengembangan ilmu hukum tidak akan lepas dari peran para yuris/legal scholar dalam karya-karya akademik mereka. Berangkat dari peranan-peranan tersebut, pada tingkat filosofis sebagaimana kacamata Penulis menggunakan Natural Law, doktrin memiliki peran untuk pengembangan doktrin mengenai posisi moral itu sendiri. Peranan-peranan ini begitu penting berkaitan dengan pemaknaan doktrin, sebab doktrin dalam arti scientia juris berputar pada isu-isu peranan tersebut.

Adapun Shecaira memberikan standar dari doktrin yang mana pada poinnya yang pertama sangat berkaitan erat dengan karakter hukum yang preskriptif. Sebagaimana juga sejalan dengan teori hukum alam mengenai

apa yang seharusnya (“ought”).

“So what is standard legal scholarship? It can be identified by reference to three related characteristic: (1) it is prescriptive; (2) it is directed not only at other scholars but also at legal officials and practitioners; and (3) it employs a discourse and style of argument that is typical of the legal professionals who form part of its audience.”10 Berkaitan dengan poinnya yang pertama yaitu preskriptif Shecaira mengemukakan:

“First, to say that standard legal scholarship is prescriptive is not to say that it necessarily formulates its theses in terms of “ought” (scholars, like judges, often prefer to present their views in terms of

10 Fabio P. Shecaira, Legal Scholarship as a Source of Law, Springer, London,


(7)

what the law “is” or “requires”) but rather that it is capable of providing (as opposed to simply reporting officially sanctioned) solutions to fairly specific legal questions.”11

Dalam hal ini doktrin diposisikan dalam rangka memberikan solusi terhadap isu hukum yang lebih spesifik. Namun, berangkat dari kutipan di atas, Penulis tidak bersetuju ketika Shecaira mengatakan walaupun doktrin itu preskriptif tetapi tidak mengatakan itu berarti merumuskan thesis dalam

hal apa yang seharusnya (“ought”). Ada ketidak-konsistenan ketika Shecaira mengemukakan demikian. Ketika doktrin itu preskriptif, sudah tentu dalam rumusannya haruslah preskriptif walaupun dikatakan biasanya hakim lebih memilih untuk mengemukakan pandangannya sendiri mengenai apa itu hukum. Ia mengatakan standar preskriptif tersebut ialah dalam rangka memberikan solusi terhadap isu hukum. Bagaimana doktrin akan memberikan solusi ketika ternyata dalam formulasinya tidaklah mengenai

apa yang seharusnya (“ought”) tetapi lebih kepada ‘kemauan’ hakim dalam memandang hukum. Oleh karena itu, Penulis berpendapat akan lebih konsisten ketika para legal scholar termasuk hakim pun dalam menjawab isu hukum dirumuskan dalam kerangka yang juga preskriptif. Mengingat juga dengan yang dimaksudkan dalam natural law mengenai apa yang seharusnya

(“ought”).


(8)

Dari pengertian-pengertian yang telah dikemukakan, juga penting dilihat karakteristik dari doktrin itu sendiri. Nampak dari yang dijelaskan oleh Pattaro,

Thus, legal doctrine appears to be descriptive and normative at the same time. Dreier (1981, 90ff.) makes the following example. Consider two competing theories in contracts, the will theory and the declaration (reliance, trust) theory. According to the first, a party is in principle not bound by declared contract terms that unintentionally end up conflicting with the real will expressed when concluding the contract. According to the second, the declared will takes precedence over factual will, because the other party must go by what was stated. How does one test which theory is right? If the theories are descriptive, the test is in their coherence with the words of the statute and with factual judicial practice. If the theories are normative, the ultimate test lies in the justice and reasonableness of their consequences. In practice, both kinds of testing take place.”12

Selain batasan dari pengertian maupun konsep yang disebutkan di atas, doktrin juga dibatasi dalam karakteristiknya. Doktrin dikatakan memilliki karakteristik yang deskriptif dan juga normatif. Karakter yang deskriptif ialah terletak pada koherensinya pada peraturan perundang-undangan dan praktek peradilan sedangkan karakter normatif pada keadilan dan batas kewajaran. Dalam kutipan tersebut jelas terlihat bahwa pengertian doktrin dalam karakter deskriptif bukan dalam arti empiris. Artinya, doktrin yang dimaksud bukan ketika menjelaskan suatu peristiwa secara deskriptif seperti

12 Enrico Pattaro et.al., A Treatise of Legal Philosophy and General


(9)

halnya pada ilmu sosial. Karakter yang deskriptif itu diperjelas dengan karakter berikutnya tersebut yang mana ketika dilihat dari sudut pandang ilmu sosial sangat dibedakan pengertian secara empiris yang senyatanya dan normatif yang seharusnya. Dengan demikian, karakteristik tersebut sebetulnya telah menonjolkan batasan dari doktrin itu sendiri.

Selain pada maknanya doktrin—legal doctrine—sebagai teachings atau ajaran dalam rangka membuka cakrawala berpikir (knowledge), sisi yang lain dari doktrin adalah sebagai sumber hukum. Sumber hukum merupakan landasan argumentasi, apalagi dalam praktik ajudikasi yang notabene harus memberikan hasil solutif sejalan dengan hukum. Sumber

hukum memberikan batasan mana yang sesuai dan mana yang ‘offside’ menurut hukum. Seperti dikatakan Aarnio,

“The doctrine of the sources of law is thus a cornerstone of argumentation. It draws a boundary between what is legal and what is not... In a way, the sources of law locate the limit of law. However, the source problem is only a part of a more fundamental problem with the limits of law.”13

Landasan argumentasi tersebut adalah dalam bentuk batasan antara what is legal and what is not. Sumber hukum ditempatkan untuk memberikan arena batas dari hukum. Dengan demikian, tidak bisa dipungkiri

13 Aulis Aarnio, Essays on the Doctrinal Study of Law, Springer, Dordrecht, 2011,


(10)

arti pentingnya sumber hukum sebagai landasan argumentasi khususnya dalam proses ajudikasi. Hakim dalam memutus suatu perkara tentunya harus memperhatikan landasan argumentasi yang justifiable. Oleh karena itu, proses legal reasoning merupakan hal yang tak bisa diabaikan. Sebagaimana

pula dinyatakan Aarnio bahwa: “For the above reasons, the doctrine of the sources of law doctrine has been an essential part of the theory of legal reasoning, and as such very much discussed,...”14 Alasan digunakannya sumber hukum ialah karena merupakan bagian esensial dari proses legal reasoning. Artinya, adalah bisa dikatakan sebuah aksioma ketika digunakannya sumber hukum dalam proses legal reasoning.

Doktrin sebagai sumber hukum adalah otoritatif. Otoritatif dalam makna kewibawaan. Doktrin berada pada posisi otoritatif atau memiliki wibawa bagi para yuris. Sebagaimana yang dikatakan Pattaro,

“Legal doctrine is a source of law that a jurist may take into account as an authority reason. In other words, one may pay attention to theses developed in legal writing not only because of the quality of the reasons proffered therein, but also due to the authoritative position that legal writers occupy. It is a well-known phenomenon that a doctoral dissertation gains in authority the moment its author becomes a professor of law.”15

14Ibid.

15 Enrico Pattaro et.al., A Treatise of Legal Philosophy and General


(11)

Nampak dari kutipan tersebut bahwa doktrin sebagai sumber hukum memiliki sifat otoritatif bagi para yuris. Bahkan dikatakan tidak hanya bahwa dalam artian bagaimana kualitas argumentasi (the quality of reason), tetapi juga posisi otoritatif—wibawa—yang ditempati para penulis hukum. Sama halnya dengan yang ia katakan ketika disertasi doktoralnya menjadi otoritatif/berwibawa bersamaan saat ia menjadi profesor hukum. Kewibawaan doktrin sebagai sumber hukum juga oleh karena bagaimana

doktrin memberikan deskripsi rasional dan ‘memurnikan’ hukum, serta

menjelaskan apa sebenarnya hukum itu.

“Legal doctrine has been a source of law of varying importance in the course of history. But legal doctrine is more than merely a source of law. It is a rational description and refining of the law, and it claims (at least occasionally) to tell us what the law actually is. In other words, legal doctrine has a twofold nature: It is, on the one hand, a relatively subordinated source of law and, on the other, the best presentation of the law itself.”16

Dengan demikian, doktrin memiliki wibawa atau otoritatif. Bahwasanya doktrin bukan hanya sekedar sumber hukum, tetapi doktrin adalah lebih dari itu. Berangkat dari Pattaro menjelaskan:

“Why is legal doctrine authoritative? The answer is, because of the quality of argumentation it typically produces. Legal doctrine delivers rational arguments; hence the presumption that it should be regarded


(12)

as authoritative. A more profound answer is that it gains authority because pro tanto well in-formed, coherent, and just.

Thus, legal doctrine converts reason into authority.”17

Berdasarkan dari penjelasan-penjelasan demikian, Penulis memaknai doktrin sebagai ajaran (teachings)—mengenai hukum—dan selain itu juga sebagai sumber hukum (source of law). Doktrin memberikan penjelasan yang terintegrasi mengenai hukum itu sendiri dalam rangka penguatan dan pengembangan pengetahuan (knowledge) hukum. Lepas dari itu, doktrin juga dalam maknanya sebagai sumber hukum yang memberikan deskripsi rasional, koheren, dan apa yang secara moral benar dan adil.

B. Bukan Scientia Juris bukan Doktrin

Sebagaimana dalam batasan bahwa doktrin yang dimaksud di sini adalah scientia juris, maka semua karya akademik di luar itu bukanlah doktrin. Pembedaan terhadap mana yang scientia juris dan kajian eksternal lain sangat vital untuk supaya dipahami. Meskipun dalam praktek peradilan, semua karya akademik termasuk kajian di luar hukum mempunyai pengaruh yang kuat. Dalam hal ini mengapa harus dibedakan, karena dalam konteks yang lebih luas doktrin merujuk pada karya akademis yang tak berkait langsung dengan hukum atau dengan kata lain disiplin ilmu yang menjadikan hukum sebagai objek kajian, seperti sejarah hukum, sosiologi hukum, hukum


(13)

dan ekonomi, filsafat hukum dan lain-lain. Semuanya itu memiliki andil dalam mempengaruhi hakim dalam memutus. Akan tetapi, pengaruh itu hanya sebatas pedoman intepretasi dalam rangka membuat keputusan. Rujukan terhadap doktrin yang bukan produk dari ilmu hukum hanyalah menjadi pedoman interpretasi belaka dan tidak dalam arti sumber hukum. Hal ini tampak dari apa yang dikatakan Peczenik bahwa,

The word “doctrine” may also refer, in some contexts, to other types of legal writing, such as history of law, sociology of law, law and economics, philosophy of law etc. In legal reasoning performed within legal research, importance of previous research is obvious.18

Di sisi lain dalam segala pembedaannya yang mana sangat penting untuk dipahami ketika mengambil keputusan, ternyata bukan hanya hakim saja, seluruh kaum yuris secara luas pun apakah itu pada mahasiswa hukum, dalam berpaktek administrasi, maupun para profesional hukum yang lain dipengaruhi oleh doktrin. Sebagaimana Peczenik melanjutkan,

The author of a legal writing must, of course, pay attention to existing literature concerning the discussed matter. But the doctrine also influences legal reasoning in judicial and administrative practice. The mandatory literature affects all students of law, including future judges and officials. The outstanding legal researchers, appointed as high judges or members of a legislative committee, continue to pay attention

18 Aleksander Peczenik, On Law and Reason, Springer, Lund University, Sweden,


(14)

to the professional literature which have been a necessary tool of their profession.”19

Sebagaimana telah dijelaskan, selain dalam artian scientia juris, dalam konteks yang lebih luas terdapat kajian-kajian ilmiah mengenai hukum—tak berkait langsung dengan hukum—yang mana pada dasarnya itu tidak dalam posisi sebagai sumber hukum tetapi hanya sebatas pedoman hakim dalam interpretasi. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Shecaira, bahwa,

On the broadest meaning of the term, any intellectual enterprise that takes law as its central subject matter would count as an exercise in legal scholarship.”20 Ia pula melanjutkan lalu mencontohkan doktrin dalam konteks yang lebih luas,

Philosophy of law, law and economics, law and literature, critical legal theory, sociology of law, legal history, legal anthropology, comparative law, inquiries into international law, and inquires into the laws of any national jurisdiction are perhaps the most common examples of legal scholarship in the broad sense. They are examples of intellectual undertakings that have law as their central subject matter.”21

Oleh sebab doktrin memiliki konteks yang lebih luas, maka perlu ditekankan lagi bahwa kajian-kajian atau produk intelektual lainnya di luar

19Ibid.

20 Fabio P.Shecaira, Legal Scholarship as a Source of Law, Springer, London,

2013, h.35.


(15)

scientia juris hanya sebatas bahan bagi hakim untuk membuat lebih jelas dan terang mengenai kasus tertentu (particular case). Artinya, material-material yang tidak berkaitan langsung dengan hukum tersebut bukan menjadi sumber hukum. Contohnya ketika misalnya dalam suatu perkara hak asuh anak. Hakim dalam mengambil sikap terhadap perkara tersebut tentu secara hukum harus memperhatikan kepentingan yang terbaik bagi anak. Namun, untuk memutuskan mana yang terbaik bagi kepentingan anak, secara psikologis— nonhukum—harus diketahui bagaimana misalnya seharusnya dipenuhi tumbuh kembang anak itu. Hal tersebut tidak akan didapatkan dalam prinsip hukum, melainkan pada ilmu psikologi. Oleh karenanya, hakim harus menggali dengan misalnya mempelajari hal-hal tertentu di bidang psikologi melalui berbagai referensi atau mengundang saksi ahli psikologi dalam sidang perkara tersebut. Contoh-contoh seperti ini, apakah itu ilmu psikologi, ilmu kedokteran, dan lain sebagainya, agar hakim mengerti mengenai kasus tertentu bisa mempengaruhi hakim dalam mengambil keputusan. Tetapi contoh tersebut bukanlah doktrin melainkan menurut Marzuki merupakan bahan nonhukum.22 Bahan nonhukum ini bisa saja digunakan dalam pengadilan untuk memberi pengertian tertentu bagi hakim.

22 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi. Op.Cit, h.204-206.


(16)

Penekanan atas produk intelektual lainnya yang hanya menjadi bahan supaya memperjelas kasus tertentu bukan menjadi sumber hukum, juga diungkapkan oleh Shecaira bahwasanya,

A truly general account of legal scholarship would have to say something substantive about all these very different intellectual enterprises that have law as their central subject matter. I, however, am interested in discussing legal scholarship as a source of law. In view of this, I will focus hereafter on one particular kind of legal scholarship. It is the sort of legal scholarship that is most likely to serve the function of a souce of law in modern municipal legal systems, i.e. the sort of legal scholarship that judges in such systems are most likely to treat as providing norms that function as (more or less weighty) content-independent reasons for deciding cases in a particular way. I will be focusing on a sort of legal scholarship that is often described by legal scholars as “standard” (or “conventional” or “traditional” or “normal”).”23

Shecaira menambahkan bahwa, “... standard scholarship does not freely employ extra-legal arguments; it argues fundamentally on the basis of legal doctrine, that is, on the basis of rules established in traditional sources of law, such as precedent, legislation and custom.”24 Jadi, dari kutipan ini, doktrin tidak bebas sepenuhnya untuk menggunakan argumen yang extra-legal. Karena, doktrin sebetulnya penggunaannya ialah dalam kerangka prinsip di mana yang dibangun sebagaimana dalam sumber hukum tradisional. Sehubungan dengan pembedaan antara doktrin dengan

23Ibid.


(17)

kajian lain terutama yang menjadikan hukum sebagai objek, Westerman juga menjelaskan,

“... the term ‘legal doctrine’ for the type of research, sketched above, which draws on the legal system as the main supplier of concepts, categories and criteria. The term ‘legal science’, although a rather bizarre term in the english speaking world, can then be used in order to denote a mixed bag of other non-legal disciplines that study the law from an independent theoretical framework, which consists of concepts, categories and criteria that are not primarily borrowed from the legal system itself. These may include historical studies, sociological research, philosophy, political theory and economy.”25 Dibandingkan dengan kajian yang lain, yang mana dalam bahasa Westerman menyebutnya sebagai “legal science” yang menunjukkan campuran disiplin nonhukum, doktrin ialah sebagai pemasok utama dari

konsep, kategori, maupun kriteria. “Legal science” ibaratnya hanyalah

meminjam konsep dari hukum itu sendiri. “Legal science” berdiri di atas kakinya sendiri dan hanya menjadikan hukum sebagai objek amatan. Selanjutnya Westermen memberi penjelasan, terkait pula penekanan akan bedanya doktrin dengan kajian akademis lain sebagaimana telah disebutkan di atas,

25 Pauline C Westerman, Open or autonomous? The debate on legal Methodology

as a Reflection of the Debate on Law, disunting oleh Mark Van Hoecke, Methodologies of Legal Research, Which Kind of Method for, What Kind of discipline?, European Academy of Legal Theory Monograph Series, Hart Publishing, Oxford and Portland, Oregon, 2011, h.94.


(18)

These disciplines, different as they may be, are marked by a more or less independent theoretical perspective and thus do not share the characteristics mentioned above. They may be normative – as political theory or philosophy – but they are not necessarily so. In judging and evaluating a certain legal arrangement they may be informed by legal principles and other criteria that are generally respected within the legal system, but not necessarily so, and more often than not they go ‘beyond’ these principles by examining and questioning their status as such. These disciplines may also be practice-oriented, such as economy or sociology, aiming at either enhancing effectiveness or efficiency, but they do not restrict themselves to enquiries concerning the best legal arrangements. they may include other means in order to maximise these virtues. Unlike legal doctrine, the features of legal science are not bound up with the features of the legal system. The degree to which they address an international audience, as well as the degree of innovation are not determined by the degree of internationalisation and innovation by the legal system. these features are determined by the theoretical perspective, which is, in the case of these disciplines, independent from the legal system.”26

Kajian-kajian di luar hukum yang menjadikan hukum hanya sebagai objek sebagaimana dimaksud di atas mungkin saja normatif seperti halnya hukum atau secara spesifik doktrin (scientia juris) itu sendiri. Akan tetapi, kajian-kajian tersebut tidak selalu normatif. Dalam mengkaji pengaturan hukum tertentu kajian ini bisa saja menggunakan prinsip-prinsip hukum sebagai acuan, tetapi sekali lagi tidak selalu begitu. Kajian-kajian ini justru lebih sering keluar dari prinsip-prinsip hukum dan lebih banyak mempertanyakan, juga lebih berorientasi praktek. Apakah itu berbicara mengenai efektifitas dan efisiensi bukan justru mempertanyakan bagaimana


(19)

pengaturan yang baik dan seharusnya dilakukan. Pada intinya, “legal science” yang dimaksud Westerman adalah mandiri, dalam arti di luar doktrin yang dimaksud dalam tulisan ini yaitu scientia juris.

Seperti halnya Westerman dengan bahasanya “legal science” yang pada intinya adalah kajian yang menjadikan hukum sebagai objek, Marzuki memberikan contoh lain yaitu buku berjudul The Legal System. Sub judul

buku ini adalah “A Social Science Perspective” ditulis oleh Lawrence M. Friedman, seorang yuris. Buku tersebut bukanlah suatu buku hukum (treatise), karena dari Preface disebutkan bahwa:

“... There are, of course, many valid ways to look at law. The lawyer looks at it mostly from the inside. He judges law in its own terms; he has learned certain standards against which he measures legal practices and rules. Or he writes about practical affairs: how to use law, how to work with it. This book falls into another category. It looks at law from the outside. It tries to deal with the legal system from the viewpoint of social science...”27

Preface di atas memberikan gambaran bahwa buku The Legal System yang ditulis Friedman bukan doktrin atau scientia juris, tetapi buku yang berada di ranah ilmu sosial (bukan ilmu hukum). Sub judul buku tersebut

telah memberi gambaran begitu jelas bahwa “The Legal System” yang dimaksud adalah dilihat dari sudut pandang atau perspektif ilmu sosial. Ditambahkan lagi dalam bagian Preface bahwa buku tersebut membahas


(20)

kategori yang lain yaitu melihat hukum dari luar (it looks at law from the outside), atau dengan perkataan lain tidak membicarakan hukum itu sendiri secara langsung.

Dengan demikian, perlu disadari dan dipahami bahwa ketika suatu karya akademis (scholarship) bukan scientia juris, maka itu bukan doktrin yang dimaksud dalam tulisan ini. Doktrin dengan kualifikasi sebagai sumber hukum adalah scientia juris. Hakim sah-sah saja ketika dalam kasus-kasus tertentu menggunakan karya akademik nonhukum, tetapi hanyalah sebatas untuk mencari pemahaman, pencerahan, dan pengertian mengenai kasus per se. Dalam perkataan lain, penggunaan karya akademik nonhukum tersebut sangat mungkin dilakukan oleh hakim, tetapi statusnya bukan doktrin yang merupakan sumber hukum (legal materials atau authorities), tetapi bahan-bahan non-hukum (non-legal materials)28.


(1)

scientia juris hanya sebatas bahan bagi hakim untuk membuat lebih jelas dan terang mengenai kasus tertentu (particular case). Artinya, material-material yang tidak berkaitan langsung dengan hukum tersebut bukan menjadi sumber hukum. Contohnya ketika misalnya dalam suatu perkara hak asuh anak. Hakim dalam mengambil sikap terhadap perkara tersebut tentu secara hukum harus memperhatikan kepentingan yang terbaik bagi anak. Namun, untuk memutuskan mana yang terbaik bagi kepentingan anak, secara psikologis— nonhukum—harus diketahui bagaimana misalnya seharusnya dipenuhi tumbuh kembang anak itu. Hal tersebut tidak akan didapatkan dalam prinsip hukum, melainkan pada ilmu psikologi. Oleh karenanya, hakim harus menggali dengan misalnya mempelajari hal-hal tertentu di bidang psikologi melalui berbagai referensi atau mengundang saksi ahli psikologi dalam sidang perkara tersebut. Contoh-contoh seperti ini, apakah itu ilmu psikologi, ilmu kedokteran, dan lain sebagainya, agar hakim mengerti mengenai kasus tertentu bisa mempengaruhi hakim dalam mengambil keputusan. Tetapi contoh tersebut bukanlah doktrin melainkan menurut Marzuki merupakan bahan nonhukum.22 Bahan nonhukum ini bisa saja digunakan dalam

pengadilan untuk memberi pengertian tertentu bagi hakim.

22 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi. Op.Cit, h.204-206. Lihat bahasan pada Sub-bab mengenai “Bahan-bahan Nonhukum”.


(2)

Penekanan atas produk intelektual lainnya yang hanya menjadi bahan supaya memperjelas kasus tertentu bukan menjadi sumber hukum, juga diungkapkan oleh Shecaira bahwasanya,

A truly general account of legal scholarship would have to say

something substantive about all these very different intellectual enterprises that have law as their central subject matter. I, however, am interested in discussing legal scholarship as a source of law. In view of this, I will focus hereafter on one particular kind of legal scholarship. It is the sort of legal scholarship that is most likely to serve the function of a souce of law in modern municipal legal systems, i.e. the sort of legal scholarship that judges in such systems are most likely to treat as providing norms that function as (more or less weighty) content-independent reasons for deciding cases in a particular way. I will be focusing on a sort of legal scholarship that is

often described by legal scholars as “standard” (or “conventional” or

“traditional” or “normal”).”23

Shecaira menambahkan bahwa, “... standard scholarship does not freely employ extra-legal arguments; it argues fundamentally on the basis of legal doctrine, that is, on the basis of rules established in traditional sources

of law, such as precedent, legislation and custom.”24 Jadi, dari kutipan ini,

doktrin tidak bebas sepenuhnya untuk menggunakan argumen yang

extra-legal. Karena, doktrin sebetulnya penggunaannya ialah dalam kerangka

prinsip di mana yang dibangun sebagaimana dalam sumber hukum tradisional. Sehubungan dengan pembedaan antara doktrin dengan

23Ibid. 24Ibid, h.37


(3)

kajian lain terutama yang menjadikan hukum sebagai objek, Westerman juga menjelaskan,

“... the term ‘legal doctrine’ for the type of research, sketched above,

which draws on the legal system as the main supplier of concepts, categories and criteria. The term ‘legal science’, although a rather bizarre term in the english speaking world, can then be used in order to denote a mixed bag of other non-legal disciplines that study the law from an independent theoretical framework, which consists of concepts, categories and criteria that are not primarily borrowed from the legal system itself. These may include historical studies,

sociological research, philosophy, political theory and economy.”25

Dibandingkan dengan kajian yang lain, yang mana dalam bahasa Westerman menyebutnya sebagai “legal science” yang menunjukkan campuran disiplin nonhukum, doktrin ialah sebagai pemasok utama dari konsep, kategori, maupun kriteria. “Legal science” ibaratnya hanyalah meminjam konsep dari hukum itu sendiri. “Legal science” berdiri di atas kakinya sendiri dan hanya menjadikan hukum sebagai objek amatan. Selanjutnya Westermen memberi penjelasan, terkait pula penekanan akan bedanya doktrin dengan kajian akademis lain sebagaimana telah disebutkan di atas,

25 Pauline C Westerman, Open or autonomous? The debate on legal Methodology as a Reflection of the Debate on Law, disunting oleh Mark Van Hoecke, Methodologies of Legal Research, Which Kind of Method for, What Kind of discipline?, European Academy of Legal Theory Monograph Series, Hart Publishing, Oxford and Portland, Oregon, 2011, h.94.


(4)

These disciplines, different as they may be, are marked by a more or less independent theoretical perspective and thus do not share the

characteristics mentioned above. They may be normative – as political

theory or philosophy – but they are not necessarily so. In judging and

evaluating a certain legal arrangement they may be informed by legal principles and other criteria that are generally respected within the legal system, but not necessarily so, and more often than not they go

‘beyond’ these principles by examining and questioning their status as

such. These disciplines may also be practice-oriented, such as economy or sociology, aiming at either enhancing effectiveness or efficiency, but they do not restrict themselves to enquiries concerning the best legal arrangements. they may include other means in order to maximise these virtues. Unlike legal doctrine, the features of legal science are not bound up with the features of the legal system. The degree to which they address an international audience, as well as the degree of innovation are not determined by the degree of internationalisation and innovation by the legal system. these features are determined by the theoretical perspective, which is, in the case of

these disciplines, independent from the legal system.”26

Kajian-kajian di luar hukum yang menjadikan hukum hanya sebagai objek sebagaimana dimaksud di atas mungkin saja normatif seperti halnya hukum atau secara spesifik doktrin (scientia juris) itu sendiri. Akan tetapi, kajian-kajian tersebut tidak selalu normatif. Dalam mengkaji pengaturan hukum tertentu kajian ini bisa saja menggunakan prinsip-prinsip hukum sebagai acuan, tetapi sekali lagi tidak selalu begitu. Kajian-kajian ini justru lebih sering keluar dari prinsip-prinsip hukum dan lebih banyak mempertanyakan, juga lebih berorientasi praktek. Apakah itu berbicara mengenai efektifitas dan efisiensi bukan justru mempertanyakan bagaimana


(5)

pengaturan yang baik dan seharusnya dilakukan. Pada intinya, “legal

science” yang dimaksud Westerman adalah mandiri, dalam arti di luar

doktrin yang dimaksud dalam tulisan ini yaitu scientia juris.

Seperti halnya Westerman dengan bahasanya “legal science” yang pada intinya adalah kajian yang menjadikan hukum sebagai objek, Marzuki memberikan contoh lain yaitu buku berjudul The Legal System. Sub judul buku ini adalah “A Social Science Perspective” ditulis oleh Lawrence M. Friedman, seorang yuris. Buku tersebut bukanlah suatu buku hukum

(treatise), karena dari Preface disebutkan bahwa:

“... There are, of course, many valid ways to look at law. The lawyer looks at it mostly from the inside. He judges law in its own terms; he has learned certain standards against which he measures legal practices and rules. Or he writes about practical affairs: how to use law, how to work with it. This book falls into another category. It looks at law from the outside. It tries to deal with the legal system

from the viewpoint of social science...”27

Preface di atas memberikan gambaran bahwa buku The Legal System

yang ditulis Friedman bukan doktrin atau scientia juris, tetapi buku yang berada di ranah ilmu sosial (bukan ilmu hukum). Sub judul buku tersebut telah memberi gambaran begitu jelas bahwa “The Legal System” yang dimaksud adalah dilihat dari sudut pandang atau perspektif ilmu sosial. Ditambahkan lagi dalam bagian Preface bahwa buku tersebut membahas


(6)

kategori yang lain yaitu melihat hukum dari luar (it looks at law from the

outside), atau dengan perkataan lain tidak membicarakan hukum itu sendiri

secara langsung.

Dengan demikian, perlu disadari dan dipahami bahwa ketika suatu karya akademis (scholarship) bukan scientia juris, maka itu bukan doktrin yang dimaksud dalam tulisan ini. Doktrin dengan kualifikasi sebagai sumber hukum adalah scientia juris. Hakim sah-sah saja ketika dalam kasus-kasus tertentu menggunakan karya akademik nonhukum, tetapi hanyalah sebatas untuk mencari pemahaman, pencerahan, dan pengertian mengenai kasus per se. Dalam perkataan lain, penggunaan karya akademik nonhukum tersebut sangat mungkin dilakukan oleh hakim, tetapi statusnya bukan doktrin yang merupakan sumber hukum (legal materials atau authorities), tetapi bahan-bahan non-hukum (non-legal materials)28.