Penegakan Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana

perintah tersebut dengan cara misalnya sengaja minta disumpah dengan cara Katolik padahal ia beragama Islam, maka saksi dapat dikenakan ketentuan Pasal 224 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang berbunyi: Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam: 1 Dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan; 2 dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan. Ilman Hadi, 2013, http:www.hukumonline.com

3. Penegakan Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana

Istilah Criminal Justice System atau Sistem Peradilan Pidana menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar “pendekatan sistem”. Sebagai suatu sistem penegakan hukum, sistem peradilan pidana tidak hanya dimaksudkan untuk memproses penyelesaian kejahatan yang cepat, berbiaya murah, dan transparan, akan tetapi juga memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia, menghormati asas praduga tak bersalah dari status tersangka sampai dinyatakan bersalah, dan proses penghukuman yang memberikan jaminan keseimbangan antara perlindungan masyarakat dan kepentingan terdakwa. Sistem Peradilan Pidana yang diserap dalam KUHAP, diberlakukan melalui Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1981, menganut Sistem Campuran yang meletakan kerangka landasan penyelenggaraan sistem peradilan dengan mengatur hubungan antar subsistem peradilan. Hal demikian juga dapat dilihat dari penyelenggaraan peradilan pidana secara normatif dapat digambarkan sebagai berikut : 1 Tahap Penyelidikan. 2 Tahap Penyidikan. 3 Tahap Penuntutan. 4 Tahap Pemeriksaan disidang peradilan 5 Tahap upaya Hukum. 6 Pelaksanaan Putusan Pengadilan. Sistem penegakan hukum pidana pada dasarnya merupakan sistem kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana yang diimplementasikan atau diwujudkan dalam 4 empat sub sistem, yaitu: 1 kekuasaan penyidikan oleh lembaga penyidik; 2 kekuasaan penuntutan oleh lembaga penuntut umum; 3 kekuasaan mengadilimenjatuhkan putusan oleh badan peradilan; dan 4 kekuasaan pelaksanan hukum pidana oleh aparat pelaksana eksekusi. Keempat subsistem itu merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral atau sering disebut dengan istilah Sistem Peradilan Pidana atau SPP terpadu atau Integrated Criminal Justice System. Seperti disinggung diatas bahwa sistem peradilan pidana selalu melibatkan dan mencakup sub sistem dengan ruang lingkup masing- masing proses peradilan pidana sebagai berikut : a. Kepolisian, dengan tugas utama : menerima laporan dan pengaduan dari publik; manakala terjadi tindak pidana; melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana; melakukan penyaringan terhadap kasus-kasus yang memenuhi syarat diajukan ke Kejaksaan; melaporkan hasil penyidikan kepada Kejaksaan dan memastikan dilindunginya para pihak terlibat dalam proses peradilan pidana. b. Kejaksaan dengan tugas pokok : menyaring kasus-kasus yang layak diajukan ke Pengadilan; mempersiapkan berkas penuntutan; melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan pengadilan. c. Pengadilan yang berkewajiban untuk : menegakan hukum dan keadilan; melindungi hak-hak terdakwa; saksi dan korban dalam proses peradilan pidana; melakukan pemeriksaan kasus-kasus secara efisien dan efektif; memberikan putusan yang adil dan berdasar hukum; dan menyiapkan arena publik untuk persidangan sehingga masyarakat dapat berpartisipasi dan melakukan penilaian terhadap proses peradilan di tingkat ini. d. Lembaga pemasyarakatan, yang berfungsi untuk : menjalankan putusan pengadilan yang merupakan pemenjaraan; memastikan terlindunginya hak-hak narapidana; menjaga agar kondisi LP memadai untuk penjalanan pidana setiap narapidana; melakukan upaya-upaya untuk memperbaiki narapidana; mempersiapkan narapidana untuk kembali ke masyarakat. e. Pengacara, dengan fungsi : melakukan pembelaan bagi klien; dan menjaga agar hak-hak klien dipenuhi dalam proses. Sub sistem dalam sistem peradilan pidana sebagaimana dimaksud diatas, mengacu pada kodifikasi hukum pidana formil yakni, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP, Undang-Undang Nomor: 8 tahun 1981, yang merupakan dasar pijakan penegakan hukum pidana materiil. Ketentuan mengenai proses beracaranya hukum pidana di Indonesia harus mengacu pada ketentuan KUHAP, disamping juga terdapat hukum pidana formil selain yang telah diatur dalam KUHAP tersebut, dan tersebar dalam Undang-undang diluar KUHAP. Tugas lembaga penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan harus dibedakan sebagai konsekuensi pembagian kekuasaan demi mencegah terjadinya konsentrasi kekuasaan didalam satu tangan dengan berbagai eksesnya. Pembedaan dan pembagian kekuasaan atau kewenangan juga dimaksudkan agar terjamin pelaksanaan spesialisasi yang mendorong profesionalisme. Namun demikian pembagian kewenangan tersebut tentunya tidak perlu menghalangi kerjasama positif, yang justru sangat diperlukan bagi berjalannya pelaksanaan peradilan.

4. Pembuktian dalam Sistem Peradilan Pidana