DESKRIPSI NILAI GIZI DAN INDEKS GLIKEMIK MIE BERBAHAN BAKU NON-TERIGU

(1)

DESKRIPSI NILAI GIZI DAN INDEKS GLIKEMIK

MIE BERBAHAN BAKU NON-TERIGU

Oleh

NOVI SUGIARTINI

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

2012


(2)

ABSTRAK

DESKRIPSI NILAI GIZI DAN INDEKS GLIKEMIK

MIE BERBAHAN BAKU NON-TERIGU

Oleh

Novi Sugiartini

Berdasarkan hasil kajian preferensi konsumen, mie merupakan produk

pangan yang paling sering dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat baik

sebagai makanan sarapan maupun sebagai selingan. Sebagai komoditas tanaman

pangan yang memiliki produktivitas tinggi, perlu dilakukan diversifikasi ubi kayu,

jagung, sagu, beras dan sukun menjadi mie. Penelitian ini bertujuan untuk

mendeskripsikan nilai gizi dan indeks glikemik mie berbahan baku non-terigu

antara lain mie pati sukun, mie pati sagu, mie pati singkong, mie beras komersial,

dan mie pati jagung komersial. Penelitian disusun dalam faktor tunggal dengan

dua ulangan. Faktor tunggal tersebut adalah jenis mie yaitu mie pati sukun, mie

pati sagu, mie pati singkong, mie beras komersial, dan mie pati jagung komersial.

Data hasil penelitian dirata-rata dan disajikan secara deskriptif dalam bentuk

diagram batang.


(3)

(bb). Kandungan abu berkisar antara 0,15% (bb)-0,62% (bb). Kandungan lemak

berkisar antara 0,31% (bb)-0,50% (bb). Kandungan serat kasar berkisar antara

0,23% 0,36% (bb). Kandungan karbohidrat berkisar antara 86,52%

(bb)-81,63% (bb). Kandungan total serat pangan kelima mie non-terigu berkisar antara

(1,59% 6,08% (bb). Kandungan pati resisten berkisar antara 3,58%

(bb)-10,47% (bb). Daya cerna pati berkisar antara 25,07% (bb)-29,45% (bb). Kelima

jenis produk mie berbahan baku non-terigu memiliki nilai indeks glikemik yang

tergolong tinggi (>70) yaitu mie pati singkong sebesar 122,24, mie pati sukun

sebesar 117,94, mie pati sagu sebesar 105,99, mie beras komersial sebesar 104,13,

dan mie pati jagung komersial sebesar 100,18. Rendahnya kandungan serat

pangan yang terkandung dalam produk (1,59%-6,08% bb) menyebabkan tinggi

nya nilai indeks glikemik. Indeks glikemik dipengaruhi oleh daya cerna pati dan

pati resisten. Tingginya Beban Glikemik mie pati sukun, mie pati sagu, mie pati

singkong, mie beras komersial, dan mie pati jagung komersial berkaitan dengan

nilai IG dan kandungan karbohidrat dalam bahan pangan.


(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sungai langka, Lampung Selatan pada tanggal 6

November 1988, sebagai putri kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak

Suwardi (Alm) dan Ibu Teti Rochmaini (Alm). Penulis memulai pendidikan di

Sekolah Dasar Negeri (SDN) 05 Sungai Langka, pada tahun 1993

2000; Sekolah

Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTPN) 13 Bandar Lampung pada tahun

2000

2003; Sekolah Menengah Umum (SMU) Plus Unesco Bandar Lampung

pada tahun 2003

2006. Pada tahun 2006 penulis terdaftar sebagai mahasiswa

Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung

melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

Selama di perguruan tinggi, penulis pernah meraih Juara 1 Lomba Karya

Tulis Ilmiah dengan judul ”Pemanfaatan Algae menjadi Bioetanol” pada tahun

2007. Pada tahun 2010 penulis melaksanakan praktik umum di PTPN 13

Semuntai Kalimantan Timur dengan judul

Mempelajari Proses Pengolahan

Kelapa Sawit Menjadi CPO (

Crude Palm Oil

) di PTPN XIII (Persero) PMS

S

emuntai Kalimantan Timur”

Penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan di antaranya menjadi

pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas Forum Studi Islam Fakultas

Pertanian (UKMF FOSI FP) Universitas Lampung sebagai Keluarga Muda pada

periode 2006-2007, Anggota Bidang Keputrian pada periode 2007

2008, sebagai


(5)

(6)

Kupersembahkan karya kecil-ku teruntuk

Allah

Rasulullah Muhammad SAW

Bapak (Alm) dan Mamah (Alm)

Mas Eko dan Akram Tazkiy Al ghifari

Ayuk serta Ade k ku

Sahabat dan Para Pendidikku

Ikhwatifillah

Almamater tercinta


(7)

“Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada Kemudahan”

(Q.S. Al-insyirah : 6)

“Dan tiada yang memahaminya, kecuali orang yang berilmu”

(Q.S. Al Ankabuut : 43)

“Katakanlah: Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu Pengetahuan”

(Q.S. Thaahaa : 114)

“…Bersabarlah kamu dan kuatkan

kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan

bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung

(Q.S. Ali-Imran : 200)

“Sediakanlah waktu tertawa karena tertawa itu musiknya jiwa, sediakanlah waktu

berpikir karena berpikir itu pokok kemajuan, sediakanlah waktu untuk beramal

karena beramal itu pangkal kejayaan, sediakanlah waktu untuk bercanda karena

bercanda itu akan membuat muda selalu, dan sediakanlah waktu beribadat karena

beribadat itu adalah ibu dari segala ketenangan jiwa”


(8)

SANWACANA

Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan

hidayah-Nya penulis dapat meny

elesaikan skripsi dengan judul “Evaluasi Nilai

Gizi dan Indeks Glikemik Mie Berbahan Baku Non-

Terigu”. Dalam kesempatan

ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1.

Ibu Dr.Ir. Sussi Astuti, M.Si. selaku ketua komisi pembimbing atas segala

saran, motivasi dan bimbingannya yang diberikan selama menyusun skripsi

penulis.

2.

Bapak Ir. Muhammad Nur, M.Sc. selaku anggota komisi yang telah

memberikan bimbingan, pengarahan serta bantuan sebagian dana penelitian

dan literatur selama penyusunan skripsi.

3.

Ibu Ir. Medikasari, M.Si yang telah memberikan pengarahan dan masukan

dalam penyelesaian skripsi..

4.

Ibu Ir. Susilawati, M. S. selaku penguji utama yang telah banyak memberikan

kritik, saran dan bimbingan terhadap karya skripsi penulis.

5.

Bapak Dr. Eng. Ir. Udin Hasanudin, M.T. selaku Ketua Jurusan Teknologi

Hasil Pertanian atas segala bantuan yang diberikan selama penulis menimba

ilmu di Universitas Lampung.

6.

Seluruh bapak dan ibu dosen THP serta seluruh karyawan yang telah sangat

membantu selama perkuliahan dan penelitian ini atas semua bimbingan dan

bantuannya.


(9)

8.

Keluarga tercinta: Ayah (Alm), Ibu (Alm), Suami ku Eko Santoso, Buah

hatiku

Akram serta kakak dan adikku atas do’a, dukungan moril, motivasi,

serta kasih sayang yang tiada henti demi keberhasilanku.

9.

Keluarga besar THP angkatan 2006: Zana, Ana, Debby, Ikke A, Rizky,

Ranny, Hermin, Rinda, Firman, Rindo, Rahma, Amel, Mukha, Haning, Dian,

Debbie, Bohay, Mb fera, Mb fillia dan serta kakak dan adik-adik angkatan

2004, 2005, 2007, 2008, 2009, dan 2010 .

10.

Terima kasih kepada karyawan PT.KBU khususnya : Pak Gunawan, Pak

Alimudin, Pak Ilyas, Pak Edi Umar, Pak Lukman, Pak Sopian, Pak Suraji, Pak

Sudirman, Pak Kaher, Pak Mashenzir, Pak Sariman.

11.

Pak Subandi, Pak Benny, Para relawan, Teman-temanku di IPB : Adit, Retno,

Sri , dan Imah. Teman terbaik ku dalam penelitian : Arif Makharim.

12.

Sobat-sobat ku dalam Komunitas Teater Awan, Estu dan Dian. Kakak-kakak,

mbak-mbak dan adik-adikku yang spesial dan luar biasa,

13.

Semua pihak yang telah banyak berjasa dan tidak dapat penulis sebutkan satu

persatu dalam penyelesaian skripsi ini.

Akhir kata, semoga Allah SWT membalas segala keikhlasannya,

Jazakumullah khairan katsiran

dan penulis berharap skripsi ini dapat memberikan

informasi yang bermanfaat.

Bandar Lampung, Februari 2012


(10)

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

I. PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang dan Masalah ... 1

B.

Tujuan Penelitian ... 3

C.

Kerangka Pemikiran ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.

Mie dan Perkembangannya ... 6

1.

Mie Berbahan Baku Terigu ... 7

2.

Mie Berbahan Baku Non-Terigu ... 10

B.

Pati dan Daya Cerna ... 14

1.

Pati ... 14

2.

Daya Cerna ... 15

C.

Indeks Glikemik (IG)

... 16

III. METODE PENELITIAN

A.

Waktu dan Tempat Penelitian ... 19

B.

Bahan dan Alat ... 19

1. Bahan ... 19

2. Alat ... 20

C.

Metode Penelitian... 20

D.

Tahapan Penelitian ... 21

1. Pembuatan Mie Pati Sukun ... 21


(12)

3. Pembuatan Mie Pati Singkong ... 25

E.

Analisis Penelitian ... 26

1.

Evaluasi Nilai Gizi ... 27

a. Kadar Air ... 27

b. Kadar Abu ... 27

c. Kadar Protein ... 28

d. Kadar Lemak ... 29

e. Kadar Karbohidrat ... 29

f. Kadar Serat Kasar ... 29

g. Kadar Serat Pangan ... 30

h. Kadar Pati Resisten ... 32

i. Daya Cerna Pati ... 33

2.

Uji Indeks Glikemik ... 34

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

Komposisi Zat Gizi Mie Berbahan Baku Non-Terigu ... 36

1.

Kadar Air ... 36

2.

Kadar Abu ... 37

3.

Kadar Protein ... 38

4.

Kadar Lemak ... 39

5.

Kadar Karbohidrat ... 40

6.

Kadar Serat Kasar ... 41

B.

Serat Pangan ... 42

C.

Pati Resisten ... 45

D.

Daya Cerna Pati... 47

E.

Nilai Energi ... 50

F.

Indeks Glikemik Mie Berbahan Baku Non-Terigu ... 53

1. Penentuan Jumlah Pangan dan Acuan ... 53


(13)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan ... 63

B. Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar

Halaman

1.

Diagram alir ekstraksi pati sukun ... 22

2.

Diagram alir pembuatan mie pati sukun ... 23

3.

Diagram alir pembuatan mie pati sagu ... 24

4.

Diagram alir pembuatan mie pati singkong ... 25

5.

Diagram alir analisis mie berbahan baku non-terigu ... 26

6.

Diagram batang kadar air produk mie berbahan baku non-terigu ... 37

7.

Diagram batang kadar abu produk mie berbahan baku non-terigu ... 38

8.

Diagram batang kadar protein produk mie berbahan baku non-terigu . 39

9.

Diagram batang kadar lemak produk mie berbahan baku non-terigu ... 40

10.

Diagram batang kadar karbohidrat

by difference

produk mie

berbahan baku non-terigu

... 41

11.

Diagram batang kandungan serat kasar produk mie berbahan baku

non-terigu ... 42

12.

Diagram batang kadar total serat pangan produk mie berbahan baku

non-terigu ... 44

13.

Diagram batang kadar serat tak larut mie berbahan baku non-terigu .... 45

14.

Diagram batang kadar serat larut mie berbahan baku non-terigu ... 45

15.

Diagram batang kadar pati resisten mie berbahan baku non-terigu ... 46


(15)

17.

Diagram batang kandungan energi mie berbahan baku non-terigu ... 51

18.

Kurva respon glikemik salah satu subjek terhadap mie pati sukun. ... 55

19.

Kurva respon glikemik salah satu subjek terhadap mie pati sagu ... 56

20.

Kurva respon glikemik salah satu subjek terhadap mie pati singkong .. 56

21.

Kurva respon glikemik salah satu subjek terhadap

mie beras komersial... 56

22.

Kurva respon glikemik salah satu objek terhadap mie pati jagung

komersial ... 57

23.

Nilai rata-rata indeks glikemik mie berbahan baku non-terigu ... 58

24.

Beban glikemik mie berbahan baku non-terigu ... 62


(16)

I.

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang dan Masalah

Saat ini masyarakat mengkonsumsi mie sebagai bahan pangan pokok

alternatif selain beras. Mie merupakan produk pangan yang telah menjadi

kebiasaan konsumsi masyarakat seiring dengan perkembangan teknologi serta

kebutuhan konsumen akan makanan yang praktis. Bagi masyarakat Indonesia

produk mie baik berupa mie basah, mie kering, maupun mie instan kini sudah

menjadi bahan makanan utama kedua setelah beras. Berdasarkan hasil kajian

preferensi konsumen, mie merupakan produk pangan yang paling sering

dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat baik sebagai makanan sarapan

maupun sebagai selingan (Juniawati, 2003).

Bahan baku pada pembuatan mie adalah tepung terigu yang sampai

sekarang masih harus diimpor. Jumlah impor tepung terigu semakin lama

semakin meningkat. Oleh karena itu, perlu dicari sumber daya lokal yang dapat

digunakan sebagai bahan pengganti tepung terigu. Di Indonesia terdapat berbagai

jenis umbi-umbian yang berpotensi sebagai sumber karbohidrat (Budiasih, 2009).

Di daerah-daerah tertentu khususnya kawasan timur Indonesia, makanan

pokok penduduk umumnya dari bahan pangan non-beras yaitu dari jenis

umbi-umbian seperti ubi kayu dan ubi jalar, biji-bijian seperti jagung, dan ada juga yang

mengkonsumsi sagu. Beberapa bahan pangan non-beras yang sudah banyak


(17)

dibudidayakan di kawasan timur Indonesia tersebut masih dalam bentuk

konvensional dengan variasi bentuk olahan yang masih kurang (Amrullah, 2003).

Sukun merupakan tanaman pangan yang juga berpotensi sebagai pangan

alternatif. Komposisi gizi sukun per 100 g berat basah sukun yaitu karbohidrat

35,5 (Koswara, 2006). Sebagai komoditas tanaman pangan yang memiliki

produktivitas tinggi, perlu dilakukan diversifikasi ubi kayu, jagung, sagu, beras

dan sukun menjadi mie. Selain dilakukan pengembangan produk pangan olahan,

perlu dilakukan evaluasi nilai gizi dan beberapa aspek yang berkaitan dengan sifat

fungsional dari mie berbahan baku non-terigu tersebut.

Indeks Glikemik adalah tingkatan pangan menurut efeknya (

immediate

effect

) terhadap kadar glukosa darah. Indeks glikemik merupakan salah satu cara

secara ilmiah sesuai untuk penatalaksanaan diet bagi penderita DM (Diabetes

Melitus), orang yang sedang berupaya menurunkan berat badan, dan olahragawan.

Pendekatan IG memperbolehkan penderita DM memilih jenis karbohidrat yang

tepat untuk pengendalian glukosa darahnya. Dengan mengetahui IG pangan,

mereka dapat memilih makanan yang tidak menaikkan kadar glukosa darahnya

secara drastis, sehingga kadar glukosa darahnya dapat dikontrol pada tingkat yang

aman. Pangan yang memiliki IG tinggi akan menaikkan kadar glukosa darah

dengan cepat, dan sebaliknya (Siagian, 2004).

Penelitian terhadap respon kadar glukosa darah dan respon insulin telah

dilaporkan oleh beberapa peneliti. Behall

et al

, (1988); Miller

et al

. (1992)

mengatakan bahwa kadar glukosa darah dan respon insulin yang rendah

dibuktikan pada relawan setelah mengkonsumsi pangan yang mengandung kadar

amilosa tinggi dibanding pangan dengan kadar amilopektin tinggi.


(18)

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai gizi dan indeks

glikemik mie berbahan baku non-terigu antara lain mie pati sukun, mie pati sagu,

mie pati singkong, mie beras komersial, dan mie pati jagung komersial.

B.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai gizi dan indeks

glikemik mie berbahan baku non-terigu (mie pati sukun, mie pati sagu, mie pati

singkong, mie beras komersial, dan mie jagung komersial).

C.

Kerangka Pemikiran

Rendahnya konsumsi pangan atau tidak seimbangnya gizi makanan yang

dikonsumsi mengakibatkan terganggunya pertumbuhan organ dan jaringan tubuh,

lemahnya daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit, serta menurunnya

aktivitas dan produktivitas kerja. Dunia maju menghadapi epidemi masalah

kelebihan gizi (gizi lebih) dalam bentuk obesitas dan penyakit degeneratif seperti

penyakit jantung, hipertensi, stroke dan diabetes (Soekirman, 2006). Penyakit

diabetes terdapat pada sekitar 1% wanita usia reproduksi dan 1

2% diantaranya

akan menderita diabetes gestasional. Diabetes melitus (DM) merupakan suatu

kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia (meningkatnya

kadar gula darah) yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau

keduanya (Suyono, 2004).

Upaya untuk penanggulangan penyakit degeneratif seperti diabetes melitus

di Indonesia adalah dengan cara mencari pangan alternatif yang memiliki nilai

gizi yang baik dan indeks glikemik (IG) yang rendah. IG berperan dalam

penatalaksanaan makanan pada penderita diabetes adalah memberikan cara yang


(19)

mudah untuk memilih makanan yang tidak menaikkan kadar glukosa darah secara

drastis. Dengan diketahuinya IG pangan tunggal, pangan campuran, dan pangan

olahan maka penderita diabetes dapat memilih makanan secara mandiri. Memilih

makanan dengan IG rendah, secara tidak langsung, juga berarti mengkonsumsi

makanan yang beraneka ragam. Hal ini akan meningkatkan mutu secara

keseluruhan makanan yang dikonsumsi.

Beberapa faktor yang mempengaruhi IG pangan adalah cara pengolahan,

tingkat gelatinisasi pati, ukuran partikel, rasio amilosa-amilopektin, tingkat

keasaman dan daya osmotik, kadar serat, kadar lemak dan protein, dan kadar

anti-gizi pangan (Siagian, 2004). Galur yang berbeda dari tanaman menyebabkan

perbedaan pada IG (Foster

Powel

et al

, 2002).

Pemanfaatan pati dari berbagai umbi-umbian dan biji-bijian adalah dengan

mengolah pati umbi-umbian maupun pati biji-bijian menjadi berbagai produk

olahan seperti biskuit, roti, maupun mie. Penelitian tentang mie berbahan baku

non-terigu telah banyak dilakukan. Karakteristik mie jagung kering (Lestari,

2009) yang mengalami perlakuan HMT (

Heat Moisture Treatment

) dengan

Subtitusi tepung jagung HMT sebanyak 10% dapat meningkatkan pati resisten

sebesar 19,1%, serat pangan tidak larut 14,6%, dan menurunkan daya cerna pati

12%, serta perubahan indeks glikemik dari 57,59 (sedang) menjadi 51,98

(rendah).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa karbohidrat yang berbeda akan

memberikan efek yang berbeda pada kadar glukosa darah dan respons insulin

walaupun diberikan dalam jumlah (g) yang sama. Penelitian pada hewan dan

penelitian jangka pendek pada manusia menunjukan bahwa kelompok yang


(20)

mengkonsumsi karbohidrat dengan IG tinggi menghasilkan resistensi insulin yang

lebih tinggi dari pada kelompok yang mengkonsumsi karbohidrat dengan IG yang

rendah (Byrnes

et al

, 1994; Higgins, 1997).


(21)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

Mie dan Perkembangannya

Mie adalah produk pasta atau ekstrusi. Mie merupakan jenis makanan yang

diperkirakan berasal dari daratan Cina. Hal ini dapat dilihat dari budaya bangsa

Cina, yang selalu menyajikan mie pada perayaan ulang tahun sebagai simbol

untuk umur yang panjang (Juliano dan Hicks, 1990). Mie dapat pula

dikategorikan sebagai salah satu komoditi pangan subtitusi karena dapat berfungsi

sebagai bahan pangan utama pengganti pangan pokok.

Aneka jenis mie dapat ditemukan di pasar. Keragamannya yang luas

seringkali membuat konsumen mempertanyakan spesifikasi dari setiap produk

mie. Dalam kegiatan sehari-hari telah dikenal berbagai sebutan untuk mie dan

produk sejenis mie, misalnya mie instan, mie telur, mie basah, bihun, sohun dan

sebagainya. Secara sederhana, beragam jenis mie ini dapat dikelompokkan

berdasarkan bahan baku yang digunakannya yaitu mie berbahan baku terigu dan

non-terigu. Namun demikian, setiap mie memiliki perbedaan dalam proses

produksinya.


(22)

1.

Mie Berbahan Baku Terigu

Berbagai jenis mie yang menggunakan bahan baku terigu antara lain mie

instan, mie segar (mie mentah), mie basah, mie kering, dan mie telur. Meskipun

tampak beragam, tahap awal pembuatan mie ini serupa, yakni melalui tahap

pengadukan, pencetakan lembaran (

sheeting

), dan pemotongan (

cutting

). Mie

dimasukkan dalam kelompok mie tertentu berdasarkan komposisi bahan

(

ingredient

), tingkat atau cara pemasakan lanjutan dan tingkat pengeringannya.

Mie segar

Mie segar sering juga disebut mie mentah. Jenis ini biasanya tidak

mengalami proses tambahan setelah benang mie dipotong (Hoseney, 1994).

Mie segar umumnya memiliki kadar air sekitar 35%, sehingga bersifat lebih

mudah rusak. Namun jika penyimpananya dilakukan dalam refrigerator, mie

segar dapat bertahan hingga 50-60 jam dan menjadi gelap warnanya bila

melebihi waktu simpan tersebut. Agar diterima konsumen dengan baik, mie

segar harus berwarna putih atau kuning muda. Mie ini biasanya dibuat dari

terigu jenis keras (

hard wheat

), agar dapat ditangani dengan mudah dalam

keadaan basah.

Mie basah

Mie basah adalah jenis mie yang mengalami proses perebusan setelah

tahap pemotongan. Biasanya mie basah dipasarkan dalam keadaan segar.

Kadar air mie basah dapat mencapai 52% sehingga daya simpannya relatif

singkat (40 jam pada suhu kamar). Proses perebusan dapat menyebabkan

enzim polifenol-oksidase terdenaturasi, sehingga mie basah tidak mengalami

perubahan warna selama distribusi. Di Cina, mie basah biasa dibuat dari


(23)

terigu jenis lunak dan ditambahkan

Kan-sui.

Yang dimaksud kan-sui adalah

larutan alkali yang tersusun oleh garam natrium dan kalium karbonat. Larutan

ini digunakan untuk menggantikan fungsi natrium klorida dalam formula.

Garam karbonat ini membuat adonan bersifat alkali yang menghasilkan mie

yang kuat dengan warna kuning yang cerah. Warna tersebut muncul akibat

adanya pigmen flavonoid yang berwarna kuning pada keadaan alkali

(Hoseney, 1994).

Mie kering

Produk ini tidak mengalami proses pemasakan lanjut ketika benang mie telah

dipotong, tetapi merupakan mie segar yang langsung dikeringkan hingga kadar

airnya mencapai 8-10% Pengeringannya biasanya dilakukan melalui penjemuran.

Karena bersifat kering, daya simpannya juga relatif panjang dan mudah

penanganannya. Mie dengan kualitas yang baik hendaknya mengikuti syarat mutu

yang telah ditentukan. Berikut merupakan syarat mutu mie kering menurut SNI

01-2974-1996 yang di sajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Syarat mutu mie kering

No Jenis uji

Satuan

Persyaratan

Mutu I

Mutu II

1

Keadaan

1.1 Bau

-

Normal

Normal

1.2 Warna

-

Normal

Normal

1.3 Rasa

-

Normal

Normal

2

Air

Maks 8

Maks 10


(24)

Mie telur

Mie telur umumnya terdapat dalam keadaan kering ketika dipasarkan.

Namun demikian tidak tertutup kemungkinan memasarkan mie telur dalam

keadaan basah. Faktor komposisi bahan adalah faktor yang membedakan mie

telur ini dengan mie kering maupun mie basah. Dalam pembuatan mie telur

biasanya ditambahkan telur segar atau tepung telur pada saat pembuatan

adonan. Penambahan telur ini merupakan suatu variasi dalam pembuatan mie

di Asia, sebab secara tradisional mie oriental tidak mengandung telur.

Sebaliknya di Amerika Serikat, penambahan telur merupakan suatu keharusan.

Sebagai contoh, mie kering harus mengandung air kurang dari 13% dan

padatan telur lebih dari 5,5% (Hoseney, 1994).

Mie instan

Mie instan seringkali disebut juga sebagai

ramen

atau

ramyeon

. Mie ini

dibuat dengan menambahkan beberapa proses setelah mie segar diperoleh

pada akhir tahap pemotongan. Tahap-tahap tambahan tersebut adalah

pengukusan, pembentukan (

forming

, per porsi), dan pengeringan. Mie instan

dengan kadar air 5-8% biasanya dikemas bersama dengan bumbunya. Dalam

keadaan seperti ini, mie instan memiliki daya simpan yang lama.

Berdasarkan SII (Standar Industri Indonesia) 1716-90 mie instan

merupakan produk makanan kering dari tepung terigu dengan atau tanpa

penambahan bahan tambahan lain yang diijinkan, berbentuk khas mie dan siap

dihidangkan setelah dimasak atau diseduh dengan air mendidih selama kurang

lebih 4 menit. Sedangkan menurut SNI 01-3551-1996, mie instan dibuat dari

adonan terigu atau tepung lainnya sebagai bahan utama dengan atau tanpa


(25)

penambahan bahan lainnya, dapat diberi perlakuan alkali. Proses

pregelatinisasi dilakukan sebelum mie dikeringkan dengan proses

penggorengan atau proses dehidrasi lainnya.

Bahan baku utama yang digunakan dalam pembuatan mie instan adalah

terigu, tepung beras atau tepung lainnya, dan air. Bahan tambahan yang

digunakan antara lain garam, air abu, bahan pengembang, zat warna dan

bumbu-bumbu (Sunaryo, 1985).

2.

Mie Berbahan Baku Non-Terigu

Ada beberapa jenis mie berbahan baku bukan terigu yang dikenal luas oleh

konsumen mie Indonesia. Mie non-terigu terkadang juga disebut juga dengan mie

berbasis pati. Jenis mie tersebut adalah bihun, kwe tiau, dan sohun. Yang

diuraikan sebagai berikut :

a. Bihun

Bihun merupakan jenis mie dari beras yang paling banyak dikenal.

Produk ini biasa dibuat dari beras atau menir yang sifat nasinya pera atau

kadar amilosanya mencapai 27% atau lebih. Pada prinsipnya bihun dibuat

dengan cara merendam beras di dalam air, kemudian digiling secara basah

hingga diperoleh bubur beras mentah. Air yang ada dipisahkan melalui proses

pengendapan atau pengepresan. Padatan yang diperoleh kemudian dikukus

atau dimasukkan ke dalam air panas hingga mengapung, dilanjutkan dengan

pengadukan ulang. Setelah bagian yang tergelatinisasi tersebar merata, maka

adonan dimasukkan dalam

extruder

sederhana yang dilengkapi

die

(lubang-lubang kecil) di ujungnya. Benang-benang adonan yang keluar kemudian


(26)

dikukus 30-45 menit, didinginkan dan dijemur hingga kering ( Juliano dan

Hicks, 1990).

Produk mie yang dibuat dari beras dan melibatkan proses ekstrusi seperti di

atas disebut

Senlek

di Thailand. Di beberapa tempat lain, bihun dikenal

dengan sebutan

bihon

,

bijon

,

bifun

,

mehon

,

vermicelli

dan lain-lain (Juliano

dan Hicks,1990). Syarat mutu bihun instan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Persyaratan mutu bihun (SNI 01-3742-1995)

No Kriteria Uji

Satuan

Persyaratan

1

Keadaan:

1.1 Bau

-

Normal

1.2 Rasa

-

Normal

1.3 Warna

-

Normal

2

Air

b/b

Maks 11 %

3

Abu

b/b

Maks 2%

4

Protein

b/b

Min 6%

b. Kwe Tiau

Kwe Tiau juga dibuat dari tepung beras, tetapi ada yang dicampur dengan

terigu. Beberapa pustaka menyebut kwe tiau dari campuran tepung beras dan

tepung terigu sebagai Mie Cina

atau

Chinese Mein

(Juliano dan Hicks, 1990)

dan

Rice Flat Noodle

untuk produk yang dibuat dari tepung beras saja (Juliano

dan Hicks, 1990).

Untuk membuat mie Cina, tepung beras dicampur dengan tepung terigu

dengan perbandingan tertentu. Tepung tersebut kemudian ditambah air dan

dibentuk menjadi adonan yang cukup liat. Adonan kemudian digilas pada


(27)

dimasukkan ke dalam

cutting roller

untuk membagi lembaran dalam beberapa

pita, serta dipotong pada dimensi panjang yang dikehendaki (Winarno, 1997).

Untuk membuat

Rice Flat Noodle

(Kwe tiau beras murni) biasanya diawali

dengan penggilingan basah terhadap beras sehingga diperoleh bubur beras

mentah. Bubur dengan konsistensi yang benar (42% basis berat) dimasukkan

dalam alat pembuat mie hingga separuh drumnya terendam. Drum halus

tersebut kemudian diputar perlahan dan bubur yang menempel di

sekelilingnya dikupas dengan plat baja anti karat pada sudut 45 derajat dan

ditampung pada

belt conveyor

untuk dibawa ke dalam lorong pengukusan dan

dikukus selama 3 menit. Lembaran (

sheet

) yang diperoleh dicelup sebentar ke

dalam minyak dan dipotong menurut ukuran yang dikehendaki. Produk ini

biasa dijual dalam keadaan segar dan hanya tahan 1-2 hari penyimpanan

(Juliano dan Hicks, 1990).

c. Sohun

Sohun merupakan jenis mie yang dibuat dari pati murni. Jenis pati yang

sering digunakan dalam produksi sohun adalah pati kacang hijau. Namun

pengadaan pati kacang hijau yang semakin sulit dan mahal, mengakibatkan

pengrajin sohun sering menggunakan pati sagu dan pati ganyong sebagai

bahan baku. Proses pembuatan sohun hampir sama dengan pembuatan bihun,

terutama dalam hal pengepresan adonan. Bedanya, pembuatan sohun

dilakukan dengan membuat

slurry

pati yang kemudian digelatinisasi

membentuk bubur lem sebelum dipres atau dicetak. Sedangkan

pengeringannya biasanya dilakukan dengan cara dijemur pada rak yang


(28)

dioleskan minyak di atas permukaannya (Direktorat Agroindustri BPPT,

1999).

Syarat mutu sohun sebagai acuan standar mutu sohun yang dapat dibuat

dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Persyaratan mutu sohun (SNI 01-3273-1995)

No Kriteria Uji

Satuan

Persyaratan

1

Keadaan:

1.1 Bau

-

Normal

1.2 Rasa

-

Normal

1.3 Warna

-

Normal

2

Air

b/b

Maks 14,5

3

Abu

b/b

Maks 0,5

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas serta

diversifikasi pengolahan mie, Ramadhan (2009) menyatakan bahwa pati sagu

termodifikasi

Heat Moisture Treatment

(HMT) selama 4 jam memiliki profil yang

terbaik dengan viskositas paling stabil sehingga dipilih untuk digunakan dalam

pembuatan bihun instan. HMT merupakan metode modifikasi pati secara fisik

dengan cara memberikan perlakuan panas pada suhu di atas suhu gelatinisasi

(80-90

0

C) dengan kondisi kadar air terbatas atau di bawah 35% (Collado

et al

, 2001).

Bihun instan dengan komposisi 50% pati sagu alami dan 50% pati termodifikasi

HMT memiliki hasil yang terbaik dengan waktu rehidrasi paling singkat yaitu 2

menit, profil kekerasan 3240,56 gf, nilai kelengketan 1094,41 gf, nilai kekenyalan

0,3377 gs, nilai KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan) yang cukup besar

tapi masih mendekati salah satu standar yang berlaku. Hasil penelitian Budiyah

(2007), menunjukkan bahwa panelis menyukai produk mie pati jagung dengan

prefererensi kesukaan lebih tinggi dari pada mie goreng sedangkan pada mie rebus

panelis menyatakan agak suka. Produk yang cocok untuk mie instan dengan


(29)

seasoning

mie goreng yaitu produk dengan penambahan CGM (

Corn Gluten

Meal

) 10% 200 mesh (ukuran pengayakan) sedangkan produk yang cocok untuk

mie rebus adalah mie dengan penambahan CGM 5% 200 mesh.

B.

Pati Dan Daya Cerna

1.

Pati

Pati merupakan sumber utama karbohidrat dalam pangan. Pati merupakan

bentuk penting polisakarida yang tersimpan dalam jaringan tanaman, berupa

granula dalam kloroplas daun serta dalam amiloplas pada biji dan umbi (Sajilata

et a

l., 2006).

Struktur pati tersusun atas tiga komponen utama, yaitu amilosa, amilopektin,

dan material lain seperti lipida dan protein. Menurut Dziedzic dan Kearsley

(1984), selain tersusun atas dua jenis struktur polimer glukosa (amilosa dan

amilopektin), pati juga mengandung sejumlah air, lemak, protein, dan ion mineral

yang terdapat dalam matriks granula pati. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat

dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarutnya merupakan amilosa, sedangkan

fraksi tidak terlarutnya merupakan amilopektin.

Setiap jenis pati memiliki karakteristik dan sifat fungsional yang berbeda.

Secara umum pati terbagi menjadi dua kelompok yaitu pati asli (alami) dan pati

termodifikasi. Pati asli merupakan cadangan makanan dari biji-bijian,

umbi-umbian, dan terkadang batang. Pati terdiri dari dua tipe molekul polisakarida

yakni amilosa dan amilopektin. Granula pati biasanya mengandung kedua jenis

molekul tersebut. Sementara itu, pati termodifikasi merupakan pati yang gugus

hidroksilnya telah mengalami perubahan melalui reaksi kimia. Definisi lain


(30)

menyebutkan bahwa pati termodifikasi merupakan pati yang telah diubah sifat

aslinya, yaitu sifat kimia dan atau fisiknya sehingga mempunyai karakteristik

yang dikehendaki (Wurzburg, 1989). Modifikasi pati dilakukan untuk

memperbaiki keterbatasan sifat fungsional pati asli. Memodifikasi pati dianggap

penting karena sebagian besar penggunaannya adalah dalam bentuk terlarut

ataupun terdispersi dalam air dengan perlakuan temperatur. Modifikasi akan

membuat adsorpsi pati terhadap kandungan air menjadi signifikan. Pati murni

adalah pati yang hanya terdiri dari komponen (fraksi) utama pati, yaitu amilosa

dan amilopektin.

2.

Daya Cerna

Semua jenis karbohidrat, termasuk pati, mulai mengalami reaksi kimiawi

sejak ada di dalam mulut, yaitu

oleh enzim α

-amilase (ptialin) dalam saliva.

Dalam hal ini, karbohidrat berantai panjang, termasuk pati, mengalami proses

pencernaan sebagian. Setelah melewati lambung, karbohidrat ini akan dicerna

lebih lanjut dalam duodenum oleh enzim amilase yang dihasilkan oleh pankreas

menjadi rantai yang lebih pendek. Pencernaan karbohidrat diakhiri oleh

enzim-enzim disakaridase yang dihasilkan oleh mukosa usus halus menjadi

monosakarida yang dapat diserap ke dalam aliran darah (Bender, 2003).

Daya cerna pati adalah tingkat kemudahan suatu jenis pati untuk dapat

dihidrolisis oleh enzim pemecah pati menjadi unit-unit yang lebih sederhana.

Daya cerna pati dihitung sebagai persentase relatif terhadap pati murni (

soluble

starch

). Pati murni diasumsikan dapat dicerna dengan sempurna dalam saluran

pencernaan. Kemampuan suatu pati dalam bahan pangan untuk dicerna

berbeda-beda sehingga akan berberbeda-beda pula

bioavailabilitas-

nya di dalam tubuh manusia.


(31)

C.

Indeks Glikemik (IG)

Konsep Indeks Glikemik (IG) pertama kali dikembangkan tahun 1981 oleh

Dr. David Jenkins, seorang Profesor Gizi pada Universitas Toronto, Canada,

untuk membantu menentukan pangan yang paling baik bagi penderita Diabetes

Melitus (DM). Pada saat itu, diet bagi penderita DM didasarkan pada sistem porsi

karbohidrat. Konsep ini menganggap bahwa semua pangan berkarbohidrat

menghasilkan pengaruh yang sama pada kadar glukosa darah. Jenkins adalah

salah seorang peneliti pertama yang mempertanyakan hal ini dan menyelidiki

bagaimana pangan bertindak di dalam tubuh (Miller

et al

,1997).

Menurut Truswell (1992), Indeks glikemik (IG) didefinisikan sebagai ratio

antara luas kurva respon glukosa makanan yang mengandung karbohidrat total

setara 50 g gula, terhadap luas kurva respon glukosa setelah makan 50 g glukosa,

pada hari yang berbeda dan pada orang yang sama. Kedua hal tersebut dilakukan

pada hari pagi hari setelah puasa satu malam dan penentuan kadar gula dilakukan

selama 2 jam.

Makanan yang memiliki IG rendah membantu orang untuk mengendalikan

rasa lapar, nafsu makan dan kadar glukosa darahnya. Indeks glikemik membantu

orang yang sedang berusaha menurunkan berat badannya dengan cara memilih

makanan yang cepat mengenyangkan dan bertahan lebih lama (Miller

et al

, 1997).

Kadar glukosa darah dipertahankan oleh tubuh pada taraf tertentu untuk

mendukung fungsi otak dan sistem saraf pusat. Jaringan ini tidak dapat berfungsi

dengan baik tanpa glukosa. Untuk menjamin suplai glukosa, tubuh menyimpan

cadangan glukosa ini, maka protein otot akan dirombak untuk menyintesa


(32)

glukosa. Konsumsi karbohidrat yang rendah akan membuat kehilangan jaringan

otot bukan lemak dan air (Carlson

et al

. 1994; Stryer 1995).

Karbohidrat dalam pangan yang dipecah dengan cepat selama pencernaan

memiliki IG yang tinggi (

high-release carbohydrate

). Respon glukosa terhadap

pangan (karbohidrat) ini cepat dan tinggi, dengan kata lain, kadar glukosa darah

meningkat dengan cepat. Sebaliknya, karbohidrat yang dipecah dengan lambat

melepaskan glukosa ke dalam darah dengan lambat dan memiliki IG yang rendah

(

slow-release carbohydrate

). Indeks glikemik glukosa murni ditetapkan 100 dan

digunakan sebagai acuan untuk penentuan IG pangan lain. Kategori pangan

menurut rentang indeks glikemik disajikan pada Tabel 4 .

Tabel 4. Kategori pangan menurut rentang indeks glikemik

Kategori Pangan Rentang Indeks glikemik*

IG Rendah <55

IG sedang (intermediate) 55-70

IG tinggi >70

*Pangan acuan adalah glukosa murni

Sumber

:

Miller et al

(1997)

Karena kecepatan peningkatan kadar glukosa darah berbeda untuk jenis

pangan yang berbeda, maka dianjurkan untuk meningkatkan konsumsi pangan

IG-rendah dan sebaliknya mengurangi konsumsi pangan IG-tinggi. Hal ini

bertujuan untuk mengurangi beban glikemik

(glycemic load

) pangan secara

keseluruhan. Beban glikemik berguna untuk menilai dampak konsumsi

karbohidrat dengan memperhitungkan IG pangan. Beban glikemik memberikan

informasi yang lebih lengkap mengenai pengaruh konsumsi pangan aktual pada

peningkatan kadar glukosa darah.


(33)

Indeks glikemik hanya memberikan informasi mengenai kecepatan

perubahan karbohidrat menjadi glukosa darah. Indeks glikemik tidak memberi

informasi mengenai banyaknya karbohidrat di dalam pangan . Untuk mengetahui

jenis pangan yang baik untuk kesehatan (efek pangan terhadap kadar glukosa

darah) harus diketahui nilai indeks glikemik dan beban glikemik.

Para ahli telah mempelajari faktor-faktor yang menjadi penyebab

perbedaan IG antara pangan yang satu dengan pangan yang lainnya. Pangan

dengan jenis yang sama pun dapat memiliki IG yang berbeda apabila diolah atau

dimasak dengan cara yang berbeda. Pengolahan dapat merubah struktur dan

komposisi zat gizi penyusun pangan. Perubahan struktur dan komposisi pangan

ini berdampak pada penyerapan zat gizi. Makin lambat karbohidrat diserap makin

rendah IG pangan tersebut. Galur yang berbeda dari tanaman juga menyebabkan

perbedaan pada IG (Foster

Powel

et al

, 2002). Beberapa faktor yang

mempengaruhi IG pangan adalah cara pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan

ukuran partikel), rasio amilosa-amilopektin, tingkat keasaman dan daya osmotik,

kadar serat, kadar lemak dan protein, dan kadar anti-gizi pangan (Siagian, 2004)


(34)

III.

METODOLOGI PENELITIAN

A.

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret sampai Agustus 2011 di

beberapa laboratorium, yaitu di Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil

Pertanian dan Laboratorium Pengolahan di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Fakultas Pertanian Universitas Lampung serta

Pilot Plan

Politeknik Negeri

Lampung.

B.

Bahan dan Alat

1.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian terdiri dari bahan baku utama dan

bahan tambahan. Bahan baku utama yang digunakan adalah pati sukun (dibuat

sendiri dari buah sukun berumur 5 bulan yang berasal di daerah sekitar Bandar

Lampung), tapioka (pati ubi kayu) merek Sagu Tani Bogor), pati sagu aren merek

Morissi, mie pati beras komersial merek Dua Burung Hong produksi Sumber

Alam Bogor yang dibeli di Chandra supermarket, mie pati jagung komersial

merek Tanam Jagung produksi PT. Subafod Pangan Jaya Tangerang yang dibeli

di Chandra supermarket. Bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan mie

adalah guar gum, STTP, dan Minyak goreng merek Bimoli. Bahan kimia yang di

gunakan diantaranya

enzim α

-amilase, enzim pepsin, enzim pankreatin, enzim


(35)

protease, buffer fosfat, aquades, HCL, NaOH, etanol, aseton, fenol, H

2

SO

4

,

K2SO4, indikator pp, petroleum benzene, HgO,H3BO3, NaS2O3.

2.

Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah blender, pipet tetes,

erlenmeyer,

baker glass

, timbangan, pisau, baskom, oven, kain saring, plastik,

wadah alumunium, mesin pencetak mie (Oxone-355at), refrigrator, desicator,

cawan porselen, panci,

hot plate

, sendok,

cabinet dryer

, termometer, cawan

porselen, dan

glucometer

merek Gluppy.

C.

Metode Penelitian

Penelitian disusun dalam faktor tunggal dengan dua ulangan. Faktor tunggal

tersebut adalah jenis mie yaitu mie pati sukun, mie pati sagu, mie pati singkong,

mie beras komersial, dan mie pati jagung komersial. Data hasil penelitian yaitu

evaluasi nilai gizi mie dengan parameter kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar

lemak, kadar karbohidrat, kadar serat kasar, total serat pangan, pati resisten, dan

daya cerna pati, serta nilai indeks glikemik dirata-rata dan disajikan secara

deskriptif dalam bentuk diagram batang.

Penelitian dimulai dengan pembuatan pati sukun (Gambar 1). Setelah

diperoleh pati sukun, dilakukan pembuatan mie pati sukun (Gambar 2). Proses

pembuatan mie pati sagu disajikan pada Gambar 3, Sedangkan pembuatan mie

pati singkong tersaji pada Gambar 4.


(36)

D.

Tahapan Penelitian

1.

Pembuatan Mie Pati Sukun

Pembuatan mie pati sukun diawali dengan pembuatan pati sukun. Pati sukun

diekstrak dari buah sukun dengan tingkat kematangan optimum yaitu tidak terlalu

muda dan tidak terlalu tua. Buah sukun dikupas bersih, kemudian

dipotong-potong. Selanjutnya diparut atau dihancurkan dengan blender. Penghancuran

bertujuan untuk merusak jaringan umbi dan sel-sel umbi agar sari pati dari umbi

mudah keluar. Bahan hasil penghancuran (bubur sukun) ditambahkan air dengan

perbandingan air dan umbi sebesar 2:1. Penyaringan dilakukan sebanyak 2

3 kali

hingga seluruh pati terlarut yang ditandai dengan air yang semakin jernih.

Selanjutnya pati dibiarkan mengendap dengan memperhatikan lapisan air di

bagian atasnya. Semakin jernih air berarti pengendapan semakin baik. Setelah air

endapan dibuang, pati dikeringkan dalam oven selama 24 jam dengan suhu 50

0

C.

Pati sukun yang sudah kering dapat disimpan dalam plastik. Diagram alir

ekstraksi pati sukun dapat dilihat pada Gambar 1. Sedangkan pembuatan mie pati

sukun (Hadi, 2011) disajikan pada Gambar 2.


(37)

Gambar 1. Diagram alir ekstraksi pati sukun (Aminah, 2002)

Kain saring

Buah Sukun

Pengupasan dan

pencucian

Penghancuran (blender)

Air

Bubur Sukun

Sukun : air = 1 : 2

Pemerasan

Pengendapan 12 jam

Dekantasi (pembuangan air)

Pengeringan dengan oven T=50

0

C , t=10 jam

Pati Sukun


(38)

Gambar 2. Diagram alir pembuatan mie pati sukun (Modifikasi Hadi, 2011)

2.

Pembuatan Mie Pati Sagu

Metode pembuatan mie pati sagu mengacu pada Ramadhan (2009) yang

dimodifikasi. Pembuatan mie pati sagu ini terdiri atas beberapa tahap, meliputi

pembuatan

binder

adonan, pembuatan adonan, pencetakan mie, pengukusan, dan

pengeringan. Binder adonan dibuat dengan cara mencampurkan 25% pati sagu

dari total pati yang digunakan untuk adonan dengan air hingga terbentuk supensi.

Perbandingan pati sagu dengan air yang digunakan adalah 1:2. Selanjutnya

suspensi pati dipanaskan hingga mengental. Pati yang telah mengental atau

tergelatinisasi seluruhnya digunakan sebagai binder. Adonan dibuat dengan

mencampurkan

binder

, pati kering, dan guar gum 0,2 g. Campuran diaduk dan

400 g Pati Sukun

Gelatinisasi

Penambahan

STTP 1 g dan

guar gum 5 g

Pencampuran

Pencetakan

Untaian mie

Pengukusan (T=70

0

C , t=30 detik)

Pengeringan dengan

cabinet dryer

, T: 75

0

C, t=90 menit

Mie Pati Sukun

100 g Pati Sukun

+ 80 ml air


(39)

diadon hingga merata. Adonan yang sempurna terbentuk ketika pati kering telah

tercampur merata dan terikat oleh

binder

sehingga dapat menyatu saat digenggam.

Setelah itu adonan dicetak menjadi untaian mie dan dikukus selama 30 detik pada

suhu 95

0

C. Mie yang telah dikukus kemudian dikeringkan dalam

cabinet dryer

selama 1 jam pada suhu 75

0

C. Mie yang telah kering dikeluarkan dari dalam

cabinet dryer

kemudian didiamkan beberapa saat supaya mengalami penurunan

suhu hingga suhu ruang tercapai. Diagram alir proses pembuatan mie pati sagu

dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Diagram alir pembuatan mie pati sagu (Modifikasi Ramadhan, 2009)

Gelatinisasi

75 g Pati Sagu

25 g Pati Sagu+50

ml air+ STTP 0,2 g

Pencampuran

Adonan mie

Pencetakan

Pengeringan dengan

cabinet dryer

(T=75 0C, t=1 jam)

Pengukusan (T=95

0

C, t= 30 detik)

Untaian mie

Mie Pati Sagu

Pemanasan


(40)

3.

Pembuatan Mie Pati Singkong

Proses pembuatan mie pati singkong dilakukan berdasarkan modifikasi

Hidayat (2008). Proses pembuatan mie pati singkong diawali dengan membuat

adonan yaitu dengan mencampurkan 20% pati sagu dari total pati yang digunakan

untuk adonan dengan air hingga terbentuk supensi. Perbandingan pati singkong

dengan air yang digunakan adalah 1:2. Setelah pati singkong tergelatinisasi,

kemudian dicampurkan dengan STTP 0,2% dan sisa pati singkong. Campuran

tersebut diadon hingga merata. Setelah itu adonan dicetak menjadi untaian mie

dan dikukus selama 30 detik pada suhu 95

0

C. Mie yang telah dikukus kemudian

dikeringkan dalam

cabinet dryer

selama 1,5 jam pada suhu 75

0

C. Mie yang telah

kering dikeluarkan dari dalam

cabinet dryer

kemudian didiamkan beberapa saat

supaya mengalami penurunan suhu hingga suhu ruang tercapai. Diagram alir

proses pembuatan mie pati singkong dapat dilihat pada Gambar 4.


(41)

Gambar 4. Diagram alir pembuatan mie pati singkong (modifikasi Hidayat, 2008)

E.

Analisis Penelitian

Gambar 5. Diagram alir analisis mie berbahan baku non-terigu

Mie berbahan baku non-terigu

(mie pati sukun, mie pati sagu, mie pati singkong, mie

beras komersial, dan mie jagung komersial)

Evaluasi Nilai Gizi

Analisis Nilai Indeks Glikemik (IG)

20 g Pati Ubi Kayu+40

ml air +STTP 0,2 g

Pemanasan

Gelatinisasi

80 g Pati Ubi

Kayu

Penambahan guar

gum 2 g

Pencampuran

Pencetakkan mie

Untaian mie

Pengukusan pada suhu 95

0

C selama 30 detik

Adonan mie

Pengeringan dengan

cabinet dryer

(T= 75

80

0

C, t= 1,5 jam)


(42)

Analisis mie berbahan baku non-terigu yaitu evaluasi nilai gizi dilakukan

terhadap parameter: analisis kadar air (metode oven), kadar abu (metode

pengabuan kering), kadar protein (metode

micro-kjeldahl

), kadar lemak (metode

soxhlet

), kadar karbohidrat (

by difference

), kadar serat kasar (AOAC, 1995), serat

pangan (AOAC,1995), kadar pati resisten (Kim

et al

, 2003), daya cerna pati

(Dubois

et al

, 1956), dan pengukuran nilai indeks glikemik (Miller

et al

, 1996).

1.

Evaluasi Nilai Gizi

a.

Kadar Air

Pengamatan kadar air mengunakan metode AOAC (1995). Cawan porselin

dikeringkan dalam oven selama 30 menit lalu didinginkan dalam desikator, dan

ditimbang. Sebanyak 3 g contoh dimasukkan ke dalam cawan, dan dikeringkan

dalam oven pada suhu 100-105

o

C selama 3 jam, lalu didinginkan dalam

desikator, kemudian ditimbang. Panaskan lagi dalam oven selama 30 menit.

Dinginkan dalam desikator kemudian timbang. Perlakuan ini diulang hingga berat

konstan (selisih penimbangan berturut

turut kurang dari 0,2 mg).

Rumus menghitung kadar air :

Kadar air =

100

%

)

(

)

(

)

(

g

Awal

Bobot

g

Akhir

Bobot

g

Awal

Bobot

b.

Kadar Abu

Pengamatan kadar abu mengunakan metode AOAC (1995). Sampel bekas

pengukuran air dipijarkan dengan tanur 600

o

C sampai selama 4 jam (hingga

diperoleh abu berwarna keputih

putihan). Sampel beserta wadah didinginkan

dalam desikator. Kadar abu dihitung menurut rumus


(43)

Kadar abu = Berat abu (g) x 100 %

Berat sampel (g)

c.

Kadar Protein

Pengamatan kadar protein menggunakan analisis

micro-kjeldahl

AOAC

(1995).

Sampel sebanyak 0,1 g dimasukkan ke dalam labu

Kjedahl

30 ml

,

tambahkan 1,9 g K2SO4, 40 mg HgO dan 2 ml H2SO4 pekat. Kemudian sampel

didihkan selama 1- 5,5 jam sampai cairan menjadi jernih.

Sampel didinginkan dan ditambah sejumlah penambahan air secara

perlahan

lahan, kemudian didinginkan kembali. Isi tabung dipindahkan ke alat

destilasi dan labu dibilas 5

6 kali dengan 1

2 ml air. Air cucian dipindahkan ke

labu destilasi. Erlenmeyer berisi 5 ml larutan H

3

BO

3

dan 2 tetes indikator

(campuran 2 bagian merah meril 0,2 % dalam alkohol dan 1 bagian metilen biru

0,2 % dalam alkohol) diletakkan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor

harus terendam di bawah larutan H3BO3.

Ditambahkan larutan NaOH-NaS2O3,

sebanyak 8

10 ml, kemudian dodestilasi dalam erlenmeyer. Tabung kondensor

dibilas dengan air dan bilasannya ditampung dalam erlenmeyer yang sama. Isi

erlenmeyer diencerkan samapi kira

kira 50 ml, kemudian dititrasi dengan HCL

0,02 N sampai terjadi perubahan warna. Penetapan untuk blanko juga dilakukan.

Kadar N % = mL HCL

mL NaOH blanko x N x 14,007 x 100 %

mg sampel


(44)

d.

Kadar Lemak

Pengukuran kadar lemak dilakukan berdasarkan metode

soxhlet

AOAC

(1995). Labu lemak dikeringkan di dalam oven, dinginkan dalam desikator lalu

ditimbang. Sampel seberat 5 g dibungkus kertas saring dan dimasukkan ke dalam

alat ekstraksi

soxhl

et. Kemudian alat dipasang.

Petroleum benzene

dituang ke

dalam labu lemak dan diekstraksi selama 5 jam. Cairan yang ada di dalam labu

lemak didestilasi dan pelarutnya ditampung. Labu lemak yang berisi lemak

tersebut diuapkan dalam oven 105

o

C selama 15

20 menit. Kemudian ditimbang

sampai beratnya konstan.

Kadar lemak = Bobot lemak (g) x 100 %

Bobot sampel (g)

e.

Kadar Karbohidrat

Metode

by

difference (Winarno, 1997) : Kadar karbohidrat sampel dihitung

menggunkan rumus :

% Karbohidrat = 100 - % (protein + lemak + abu + air)

f.

Kadar Serat Kasar (AOAC, 1995)

Sampel sebanyak 1 g dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 300 ml

kemudian ditambah dengan H2SO4 0,3 N di bawah pendingin balik kemudian

dididihkan selama 30 menit dengan kadang-kadang digoyang-goyangkan.

Suspensi disaring dengan kertas saring, dan residu yang dapat dicuci dengan air

mendidih hingga tidak bersifat asam lagi (diuji dengan kertas lakmus). Residu

dipindahkan ke dalam erlenmeyer, sedangkan yang tertinggal di kertas saring

dicui kembali dengan 200 ml NaOH mendidih sampai semua residu masuk


(45)

kedalam erlenmeyer. Sampel dididhkan kembali 30 menit dan disaring sambil

dicuci dengan larutan K2SO4 10%. Residu dicuci dengan 15 ml alkohol 95%,

kemudian kertas saring dikeringkan pada suhu 110

0

C sampai berat konstan

kemudian ditimbang.

(berat kertas saring+residu)- berat kertas saring kosong

Serat kasar (%) = x 100

Berat sampel

g.

Kadar serat pangan

Pengujian kadar serat pangan dilakukan dengan menggunakan metode

enzimatis (AOAC, 1995). Timbang sampel sebanyak 1 g, kemudian tambahkan

petroleum eter dengan perbandingan 1 : 2, lalu dipindahkan ke dalam erlenmeyer

dan ditambahkan 25 ml buffer fosfat 0,1 M pada pH 6 diaduk hingga tersuspensi

merata.

Kemudian ditambahkan 0,1 ml enzim

α

-amilase, erlenmeyer ditutup dengan

menggunakan alumunium foil dan diinkubasi pada suhu 80

o

C dalam

waterbath

selama 15 menit sesekali sambil diaduk. Setelah itu diangkat dan didinginkan lalu

ditambahkan aquades sebanyak 20 ml pH diatur menjadi 1,5 dengan penambahan

HCL, kemudian ditambahkan 0,1 enzim pepsin, erlenmeyer ditutup kembali

dengan alumunium foil dan diinkubasi dengan

shaker waterbath

dengan suhu 40

o

C selama 60 menit. Setelah itu ditambahkan 20 ml aquades, pH diatur menjadi

6,8 dengan larutan NaOH 0,1 N. Lalu ditambahkan enzim pankreatin sebanyak

0,1 g, ditutup dengan menggunakan

alumunium foil

dan diinkubasi dengan

shaker

waterbath

dengan suhu 40

o

C selama 60 menit. Kemudian pH diatur dengan


(46)

menggunakan HCL menjadi 4,5, lalu disaring menggunakan 0,5

celite

kering dan

telah diketahui bobot tetapnya (KSI) dengan bantuan pompa vakum.

Pada tahap akhir dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 90%. Residu yang

diperoleh (merupakan serat makanan yang tidak larut atau IDF) dicuci dengan 2 x

10 ml aseton. Kemudian kertas saring beserta residunya dikeringkan dalam oven

pada suhu 105

o

C hingga mencapai berat konstan (kira

kira 12 jam) dan

ditimbang (KS2). Setelah berat konstan diperoleh, masukkan ke dalam cawan

pengabuan yang telah diketahui bobot tetapnya (CW1) lalu diarangkan, kemudian

diabukan dalam tanur suhu 550

o

C sampai menjadi abu (paling sedikit 5 jam),

kemudian didinginkan dalam desikator lalu timbang beratnya (CW2).

Perhitungan

Insolube Dietary Fiber

(IDF) adalah sebagai berikut :

IDF (

% berat sampel kering) = ( (KS2

KS1)

(CW2

CW1)) - B x 100 %

Berat sampel (gr)

Keterangan :

KS1

= Kertas saring kosong (gr)

KS2

= Kertas saring + residu serat (gr)

CW1 = Cawan pengabuan kosong (gr)

CW2

= Cawan pengabuan + abu (gr)

B

= Blanko bebas serat

Sedangkan filtrat yang diperoleh (berupa serat makanan larut atau SDF)

diatur volumenya dengan menggunakan aquades hingga 100 ml lalu ditambahkan

400 ml etanol 95% hangat (60

o

C) dan didiamkan semalam. Saring dengan

menggunakan kertas saring yang mengandung 0,5 g celite kering dan telah

diketahui bobot tetapnya (KS3) dengan bantuan pompa vakum.


(47)

Terakhir dicuci dengan 2 x 10 ml aseton. Kertas saring beserta residunya

dikeringkan dalam oven pada suhu 105

o

C hingga beratnya konstan dan ditimbang

(KS4) dimasukkan cawan pengabuan yang telah diketahui bobot tetapnya (CW3)

lalu diarangkan kemudian diabukan dalam tanur suhu 550

o

C sampai menjadi abu,

kemudian didinginkan dalam desikator lalu timbang beratnya (CW4). Untuk

blanko diperoleh dengan cara yang sama tetapi tanpa menggunakan sampel.

Perhitungan

Solube Dietary Fiber

(SDF) adalah sebagai berikut :

IDF (

% berat sampel kering) = ( (KS4

KS3)

(CW4

CW3))- B x 100 %

Berat sampel (g)

Keterangan :

KS3

= Kertas saring kosong (g)

KS4

= Kertas saring + residu serat (g)

CW3 = Cawan pengabuan kosong (g)

CW4

= Cawan pengabuan + abu (g)

B

= Blanko bebas serat

Untuk perhitungan

Total Dietary Fiber

adalah sebagai berikut :

TDF = IDF + SDF

h.

Kadar Pati Resisten (Kim

et al

, 2003)

Sebanyak 0,5 g pati dilarutkan dengan 25 ml buffer fosfat 0.08 (pH 6.0)

dalam gelas piala 250 ml, lalu ditutup dengan alumunium foil. Kemudian

ditambahkan 0.05 ml enzim termamyl, dan campuran diinkubasi dalam penangas

air suhu 95

0

C selama 15 menit, dengan diaduk lembut setiap 5 menit sekali.

Setelah didinginkan pada suhu ruang pH diatur hingga 7.5 dengan 5 ml larutan

NaOH 0.275 N dan ditambahkan 0.05 ml enzim protease (50 mg/ml protease

dalam buffer fosfat), lalu diinkubasi dalam penangas air bergoyang suhu 60

selama 30 menit.


(48)

Setelah diinkubasi selesai, ditambahkan empat bagian etanol 95% dan

campuran didiamkan selama satu malam pada suhu ruang. Endapan disaring

dengan kertas saring whatman 40. Residu yang tertinggal dicuci dengan 20 ml

etanol 78% sebanyak tiga kali, lalu dengan 10 ml etanol murni sebanyak dua kali,

dan dengan 10 ml aseton sebanyak dua kali. Residu dikeringkan dalam oven suhu

105

0

C hingga bobot konstan. Kadar pati resisten dihitung dengan cara

membandingkan bobot residu dengan bobot sampel dikalikan 100.

Kadar RS = Bobot residu x 100

Bobot sampel

i.

Daya Cerna Pati

Penentuan tingkat konversi pati menjadi glukosa menggunakan enzim

α

-amilase dengan menentukan glukosa yang dilakukan dengan cara spektrofotometri

yaitu menggunakan metode fenol asam sulfat (Dubois

et al

., 1956). Prinsip dari

tingkat hidrolisis mie berbahan baku non-terigu adalah pati dihidrolisis oleh enzim

α

-amilase menjadi gula

gula sederhana (glukosa, maltosa) dan alfa limit dekstrin.

Semakin tinggi tingkat hidrolisis suatu pati berarti semakin banyak pati yang

dapat dihidrolisis dalam waktu tertentu yang ditunjukkan oleh semakin banyak

glukosa dan maltosa yang dihasilkan.

Penentuan tingkat hidrolisis mie berbahan baku non-terigu oleh enzim

α

-amilase dimulai dengan memasukkan 1 gram sampel halus kedalam erlenmeyer

250 ml lalu tambahkan aquades 100 ml dan ditutup alumunium foil. Selanjutnya

panaskan dalam waterbath hingga suhu 90

0

C, lalu angkat dan dinginkan.

Tambahkan 5 ml enzim

α

-amilase dan inkubasi pada suhu 30

0

C selama 20 menit.

Ambil 1 ml larutan sampel tersebut dalam tabung reaksi dan tambahkan fenol 5%


(49)

sebanyak 1 ml dan asam sulfat pekat sebanyak 5 ml. Setelah itu panaskan dalam

air mendidih selama 5 menit dan dinginkan dalam air mengalir. Panjang

absorbansi diukur pada gelombang 520 nm. Sebelum penentuan glukosa sampel,

terlebih dahulu dibuat kurva standard dengan membuat larutan glukosa standard

(10 mg glukosa anhidrat/100 ml air). Kurva standard dibuat seperti pada

penyiapan glukosa sampel untuk analisis kadar mie berbahan baku non-terigu.

Kadar glukosa = A x B x C x 100 %

D

Keterangan :

A = Glukosa yang diperoleh dari kurva standard

B = Volume sampel (ml)

C = Konsentrasi pengen

ceran larutan sampel (μg)

D = Berat sampel (g)

2.

Uji Indeks Glikemik (Miller

et al

, 1996)

Pengukuran nilai indeks glikemik dilakukan pada mie berbahan baku

non-terigu dengan formulasi terbaik yang didapatkan dari penelitian sebelumnya. Mie

yang disajikan merupakan mie yang telah direhidrasi. Sejumlah mie yang

memiliki kandungan karbohidrat sebesar 25 g dimasak dalam air yang mendidih

kira-kira 3-4 menit.

Uji indeks glikemik dilakukan dengan menggunakan darah manusia

sebagai objek penelitian (in vivo). Sukarelawan yang berpartisispasi berjumlah 10

orang. Sukarelawan yang ikut serta dalam analisis ini adalah sukarelawan yang

telah lolos seleksi, untuk meminimalisasi variasi yang mungkin timbul antar

sukarelawan. Syarat-syarat sukarelawan yang digunakan dalam analisis ini adalah

sehat, non-diabetes, dan memiliki nilai IMT (Indeks Massa Tubuh) dalam kisaran

normal 18,5-25 Kg/m

2

.


(50)

Pengukuran kadar gula darah dilakukan setelah periode puasa selama 10

jam. Selama dua jam pasca konsumsi pangan uji mie, diambil sampel darah

sukarelawan sebanyak 0.2 µL (

finger-prick capillary blood sample method

)

diambil sampel setiap selang 30 menit sekali yaitu 0 menit (kadar gula darah

puasa), 30 menit, 90 menit, dan 120 menit setelah konsumsi sampel tersebut.

Pengukuran kadar gula darah dilakukan dengan menggunakan

glucometer

. Selama

pengambilan sampel darah, semua relawan dikumpulkan dalam suatu ruangan

tanpa melakukan kegiatan yang berat. Setiap relawan diambil sampel darah secara

berurutan.

Nilai kadar gula darah ini kemudian diplotkan menjadi sebuah grafik

dengan sumbu x sebagai waktu pengukuran dan sumbu y sebagai kadar gula darah

indeks glikemik dihitung sebagai perbandingan antara luas kurva kenaikan kadar

gula darah setelah mengkonsumsi sampel dan glukosa sebagai standar (Haliza

et

al

, 2009). Nilai indeks glikemik akhir adalah nilai rata-rata dari 10 orang

sukarelawan tersebut.

Indeks Glikemik hanya memberikan informasi mengenai kecepatan

perubahan karbohidrat menjadi gula darah. IG tidak memberikan informasi

mengenai banyaknya karbohidrat dan dampak pangan tertentu terhadap kadar gula

darah. Beban Glikemik (BG) didefinisikan sebagai IG pangan dikalikan dengan

kandungan karbohidrat pangan tersebut. Oleh karena itu, BG menggambarkan

kualitas dan kuantitas karbohidrat serta interaksinya dalam pangan (Liu

et al

,

2001, dalam Siagian, 2004). BG dapat ditentukan dengan rumus berikut :

Nilai BG =IG x Kadar karbohidrat per takaran saji

100


(51)

(52)

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN

A.

Simpulan

1.

Deskripsi nilai gizi mie pati sukun, mie pati sagu, mie pati singkong, mie beras

komersial, dan mie pati jagung komersial adalah :

Kandungan air kelima mie non-terigu berkisar antara 9%-10,2%.

Kandungan protein kelima mie non-terigu berkisar antara 0,63%-3,66%

(bb).

Kandungan abu kelima mie non-terigu berkisar antara 0,15%-0,62% (bb).

Kandungan lemak kelima mie non-terigu berkisar antara 0,31%-0,50%

(bb).

Kandungan serat kasar kelima mie non-terigu berkisar antara

0,23%-0,36% (bb).

Kandungan karbohidrat kelima mie non-terigu berkisar antara

86,52%-89,13% (bb).

Kandungan total serat pangan kelima mie non-terigu berkisar antara

1,59%-6,08% (bb).

Kandungan pati resisten kelima mie non-terigu berkisar antara

3,58%-10,45% (bb).

Daya cerna pati kelima mie non-terigu berkisar antara 25,07%-29,45%

(bb).


(53)

2.

Kelima jenis produk mie berbahan baku non-terigu memiliki nilai indeks

glikemik yang tergolong tinggi (>70) yaitu mie pati singkong sebesar 122,24,

mie pati sukun sebesar 117,94, mie pati sagu sebesar 105,99, mie beras

komersial sebesar 104,13, dan mie pati jagung komersial sebesar 100,18.

Rendahnya serat pangan yang terkandung dalam produk (1,59%-6,08% bb)

menyebabkan tingginya nilai indeks glikemik. Pati resisten mie pati jagung

komersial yang lebih tinggi diduga mampu menurunkan laju pencernaan dan

penyerapan karbohidrat di dalam usus halus. Daya cerna pati mie pati jagung

komersial yang lebih rendah diduga menyebabkan kenaikan kadar glukosa

darah juga berjalan lambat sehingga nilai IG mie pati jagung komersial

menjadi lebih rendah. Indeks glikemik dipengaruhi oleh daya cerna pati dan

pati resisten.

3.

Tingginya Beban Glikemik mie pati sukun, mie pati sagu, mie pati singkong,

mie beras komersial, dan mie pati jagung komersial berkaitan dengan nilai IG

dan kandungan karbohidrat dalam bahan pangan.

B.

Saran

1.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai indeks glikemik mie pati sukun, mie

pati sagu, mie pati singkong, mie beras komersial, dan mie pati jagung

komersial termasuk dalam kategori IG tinggi, sehingga konsumsi mie tersebut

oleh kelompok orang yang diabetes atau sedang mengontrol glukosa darah

perlu diperhatikan. Pangan dengan nilai IG tinggi tersebut dapat dianjurkan

bagi kelompok orang yang sedang dalam proses menaikkan berat badan atau

mengalami kekurangan energi.


(54)

2.

Masih terdapat berbagai macam jenis pangan pokok alternatif yang dikonsumsi

masyarakat, sehingga penelitian mengenai pengaruh pengolahan terhadap nilai

indeks glikemik masih perlu dikembangkan.


(55)

ABSTRACT

THE DESCRIPTION OF NUTRIENT VALUES AND

GLYCEMIC INDEX OF NON-WHEAT NOODLES

By

Novi Sugiartini

According to the observation result of consumer preferences, noodles are

consumed the most frequently by the citizens whether as their breakfast or only as

interlude. As the food commodities with high productivity, need to be diversified

upon cassavas, corns, sago, rice and breadfruit become noodles. The purpose of

this research is to describe the nutrient values and glycemic index of non-wheat

noodles i.e. breadfruit-essence noodles, sago-essence noodles, cassava-essence

noodles, commercial-rice noodles, and corn-essence noodles. The research was

arranged into single factor with double repetition. The single factor is the noodles,

i.e. breadfruit-essence noodles, sago-essence noodles, cassava-essence noodles,

commercial-rice noodles, and corn-essence noodles. All of the data of the research

are managed into average value and served in form of bar diagram.

Based on the result of the research, all the non-wheat noodles contained

Water is about 9% - 10.2%, Protein is about 0.63% - 0.66%, Fat is about 0.31% -

0.50, rough fiber is about 0.23% - 0.36%, Carbohydrate is about 81.63% -


(56)

about 25.07% - 29.45%.

All the non-wheat noodles relatively have high value of glycemic index

(>70) i.e. cassava-essence noodle is 122.24, breadfruit-essence noodle is 117.94,

sago-essence noodle is 105.99, commercial-rice noodle is 104.13, and

commercial-corn noodle is 100.18. The low substance of food fiber in this

products increase the value of glycemic index. Glycemic index is affected by

absorbing effort of essence and the essence resistant. The high glycemic burden of

breadfruit-esssence noodles, sago-essence noodles, cassava-essence noodles,

commercial-rice noodles, and commercial-corn noodles are related to GI value

and Carbohydrate in the food substances.


(57)


(58)


(59)


(60)


(61)


(62)


(63)


(64)


(65)


(66)


(67)


(68)


(69)


(70)


(1)


(2)


(3)


(4)


(5)


(6)