Evaluasi mutu gizi dan indeks glikemik produk olahan goreng berbahan dasar tepung ubi jalar (Ipomoea batatas L.) klon BB00105.10

(1)

SKRIPSI

EVALUASI MUTU GIZI DAN INDEKS GLIKEMIK PRODUK OLAHAN GORENG BERBAHAN DASAR TEPUNG UBI JALAR

(Ipomoea Batatas L.) KLON BB00105.10

Oleh : Julia Margareth

F24102017

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Julia Margareth. F24102017. Evaluasi Mutu Gizi dan Indeks Glikemik Produk Olahan Goreng Berbahan Dasar Tepung Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Klon BB00105.10. Di bawah Bimbingan Made Astawan dan Sri Widowati. 2006.

RINGKASAN

Permintaan dan pemanfaatan ubi jalar di Indonesia masih cukup rendah. Pengolahan ubi jalar di Indonesia masih cukup sederhana dan pengolahannya dalam bentuk ubi segar seperti dipanggang, direbus, dan digoreng segar. Ubi jalar dalam bentuk tepung akan lebih mudah diolah menjadi berbagai bentuk olahan, yang lebih bergengsi, dan dapat diterima oleh berbagai lapisan masyarakat. Tepung ubi jalar juga dapat diolah menjadi produk pangan yang memberikan manfaat terhadap kesehatan. Produk pangan ini dapat digolongkan ke dalam pangan fungsional.

Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian oleh Astawan dan Widowati (2006) mengenai evaluasi mutu gizi dan indeks glikemik ubi jalar sebagai dasar pengembangan pangan fungsional. Berdasarkan penelitian tersebut, klon unggul ubi jalar BB00105.10 memiliki respon glikemik terbaik dibandingkan klon dan varietas unggul ubi jalar lainnya. Aktivitas hipoglikemik tertinggi tersebut didukung oleh pati resisten (3,8%) dan protein (5,47%) yang paling tinggi serta daya cerna pati yang rendah (51,4%). Ubi jalar klon BB00105.10 mempunyai kadar amilosa sedang (24,94%). Indeks glikemik (IG) ubi jalar segar yang diolah dengan cara digoreng paling rendah (47) dibandingkan IG ubi jalar yang dikukus (62), dan yang dipanggang (80). Berdasarkan data tersebut, maka penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan produk olahan goreng yang diharapkan memiliki mutu gizi yang baik dan indeks glikemik yang rendah sehingga dapat dijadikan pangan alternatif untuk tujuan diit.

Penelitian ini terbagi menjadi enam tahap. Tahap pertama adalah persiapan bahan baku. Tahap kedua adalah analisis karakteristik fisiko-kimia tepung ubi jalar. Tahap ketiga adalah pembuatan produk. Tahap keempat adalah uji organoleptik. Formulasi terbaik dari masing-masing produk olahan goreng akan dianalisis lanjut mengenai sifat fisik dan kimia pada tahap kelima. Tahap keenam adalah uji indeks glikemik dua produk terpilih berdasarkan hasil analisis kimia yang kemungkinan memiliki nilai indeks glikemik rendah.

Formulasi kue biji ketapang terpilih hasil uji organoleptik adalah formula dengan 70% tepung ubi jalar dan 30% gula. Formulasi donat terpilih hasil uji organoleptik adalah formula dengan 30% tepung ubi jalar dan 16% gula. Formulasi kue bawang terpilih hasil uji organoleptik adalah formula dengan 50% tepung ubi jalar dan 10% margarin.

Uji indeks glikemik dilakukan terhadap kue biji ketapang dan kue bawang. Indeks glikemik kue biji ketapang lebih tinggi dibandingkan kue bawang. Kue biji ketapang dan kue bawang memiliki IG rendah. Indeks glikemik kue biji ketapang adalah 49 + 12, sedangkan kue bawang sebesar 32 + 7. Aktivitas hipoglikemik yang tinggi pada kue bawang didukung oleh kadar amilosa yang sedang (20.94%), total serat pangan yang tinggi (7.87%), dan serat pangan larut yang tinggi (4.68%).


(3)

EVALUASI MUTU GIZI DAN INDEKS GLIKEMIK PRODUK OLAHAN GORENG BERBAHAN DASAR TEPUNG UBI JALAR

(Ipomoea Batatas L.) KLON BB00105.10

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh : Julia Margareth

F24102017

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(4)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

EVALUASI MUTU GIZI DAN INDEKS GLIKEMIK PRODUK OLAHAN GORENG BERBAHAN DASAR TEPUNG UBI JALAR

(Ipomoea Batatas L.) KLON BB00105.10 SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh : Julia Margareth

F24102017

Dilahirkan Pada Tanggal 25 Juli 1984 Di Jakarta

Tanggal Lulus : 13 November 2006 Menyetujui,

Bogor, November 2006

Prof.Dr.Ir. Made Astawan, MS Ir. Sri Widowati, M.AppSc Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

DR. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen ITP


(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 25 Juli 1984. Penulis adalah anak

kedua dari dua bersaudara dari Bapak Sotaronggal Siahaan dan Ibu Lungguk Hutagaol.

Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar di TK Yasporbi III Pasar Minggu pada

tahun 1989-1990, SD Yasporbi II Pasar Minggu pada tahun 1990-1996, pendidikan

lanjutan tingkat pertama di SMPN 41 Ragunan pada tahun 1996-1999, dan pendidikan

lanjutan tingkat atas di SMUN 28 Jakarta.

Penulis di terima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2002 melalui jalur Ujian

seleksi masuk IPB (USMI). Selama di perkuliahan penulis aktif di beberapa kegiatan

organisasi, seperti Agria Swara, dan Komisi Kesenian PMK IPB. Selain itu, penulis juga

aktif dalam mengikuti kegiatan non akademis seperti seminar National Students’ Paper

Competition on Food Issue (2003), Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP),

dan

IDF International Conference of FGW Student Forum for Milk and Milk Product

(2005). Penulis juga pernah mengikuti kegiatan Praktek Lapang (PL) di PT. Arnott’s

Bekasi pada tahun 2005.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Teknologi

Pertanian, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dengan tema

Evaluasi

Mutu Gizi dan Indeks Glikemik Produk Olahan Goreng Berbahan Dasar Tepung

Ubi Jalar (

Ipomoea batatas

L.) Klon BB00105.10

dengan bantuan dana dari program B

pada tahun 2006.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME, karena atas kasih karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang begitu besar kepada semua pihak yang turut membantu penulis selama kuliah hingga selesainya skripsi ini, yaitu kepada :

1. Orang tua penulis (Mami dan Papa) serta kakak Nadia, atas semua doa, dorongan, nasihat, semangat, dan kasih sayang yang tulus yang selalu diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat selalu termotivasi untuk berusaha memberikan dan menghasilkan karya-karya yang terbaik.

2. Prof. Dr. Ir. Made Astawan dan Ir. Sri Widowati, M. App.Sc sebagai dosen pembimbing akademik, yang telah memberikan bimbingan dan saran selama penulisan skripsi ini, serta nasihat-nasihat yang dapat membuka wawasan penulis serta menjadi motivasi penulis untuk dapat menghadapi masa depan. 3. Ir. Didah Nur Faridah, MSi selaku dosen penguji yang telah meluangkan

waktu dan pikirannya untuk perbaikan skripsi ini.

4. Program B departemen ITP yang telah membiayai penelitian ini.

5. Seluruh staf pengajar ITP yang telah memberikan bekal pendidikan dan pengetahuan kepada penulis.

6. Seluruh staf dan pegawai Balai Besar Penelitian Pasca Panen yang telah membantu penulis dalam melakukan penelitian di Balai Pasca Panen.

7. Laboran-laboran TPG, dan GMSK khususnya Pak Sobirin, Pak Wahid, Bu Rubiyah, Teh Ida, Pa Rozak, Pa Marsudi, Teknisi Pilot Plan dan SEAFAST PAU yang telah banyak membantu selama penelitian.

8. Bapak-bapak pustakawan di PAU, Fateta dan LSI yang telah membantu dalam pencarian literatur untuk penyusunan skripsi ini.

9. Teman satu penelitian (Evrin, dan Nisvi) atas kebersamaan selama menjalani penelitian dan skripsi.

10.Teman satu bimbingan (Evrin, Nisvi, Fafa, Manto) atas kebersamaan, dukungan, dan kerjasamanya.


(7)

11.Keluarga Bang Bona atas dukungan doa, dan bantuan tenaga yang diberikan selama penulis melaksanakan penelitian.

12.Teman-teman ITP 39. Semoga kebersamaan yang telah kita jalin akan berlanjut untuk selamanya.

13.Teman-teman ITP 40 atas dukungan doa dan kerjasamanya sebagai relawan uji indeks glikemik.

14.Teman-teman di Komisi Kesenian PMK IPB, khususnya komkes 35, 36, 37, 38, 39, 40, dan 41 atas kebersamaan, dukungan dalam doa, tenaga, dan waktu yang telah dilewati bersama selama 4 tahun.

15.Teman- teman Kopral PMK IPB angkatan 39 atas segala kerjasama yang telah terjalin, dukungan dalam doa, dan tenaga, serta semangat yang selalu diberikan kepada penulis.

16.Keluarga besar di Pondok Putri YN atas semangat, kebersamaan, dan indahnya hubungan yang terjalin, yang menjadikan suatu motivasi kepada penulis.

17.Kepada semua pihak yang belum disebut namanya namun telah banyak memberikan bantuan, penulis mengucapkan terima kasih, semoga Tuhan membalas semua kebaikan Ibu/Bapak dan teman-teman semua.

Penulis menyadari skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan tidak lepas dari kesalahan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.

Bogor, November 2006


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan ... 3

C. Manfaat ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. UBI JALAR ... 4

B. PRODUK OLAHAN GORENG ... 6

1. Kue Biji Ketapang ... 6

2. Donat ... 7

3. Kue Bawang ... 9

C. TEPUNG TERIGU ... 10

D. MINYAK GORENG SAWIT ... 11

E. PATI ... 12

1. Komposisi Pati ... 12

2. Pencernaan dan Penyerapan Pati ... 14

F. PANGAN FUNGSIONAL ... 16

G. INDEKS GLIKEMIK ... 17

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 20

A. BAHAN DAN ALAT ... 20

B. METODE PENELITIAN ... 20

1. Persiapan Bahan ... 20

2. Analisis Karakterisasi Bahan Baku ... 21


(9)

4. Uji Organoleptik ... 26

5. Analisis Karakterisasi Produk Olahan Goreng Terpilih ... 26

C. PROSEDUR ANALISIS ... 27

1. Analisis Sifat Fisik ... 27

2. Analisis Sifat Kimia ... 31

3. Uji Organoleptik ... 36

4. Analisis Indeks Glikemik ... 37

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

A. TEPUNG UBI JALAR ... 38

B. KARAKTERISTIK FISIKO-KIMIA BAHAN BAKU ... 40

1. Karakteristik Fisik Bahan Baku ... 40

2. Karakteristik Kimia Bahan Baku ... 46

C. PRODUK OLAHAN GORENG UBI JALAR ... 49

D. UJI ORGANOLEPTIK PRODUK OLAHAN GORENG ... 51

E. KARAKTERISTIK FISIKO-KIMIA PRODUK OLAHAN GORENG ... 55

1. Karakteristik Fisik Produk Olahan Goreng ... 55

2. Karakteristik Kimia Produk Olahan Goreng ... 57

F. INDEKS GLIKEMIK ... 67

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 72

A. Kesimpulan ... 72

B. Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 73


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perbandingan Sifat Kimia Beberapa Varietas dan Klon Ubi Jalar ... 5

Tabel 2. Komposisi Kimia Ubi Jalar Klon BB00105.10 ... 5

Tabel 3. Standar Mutu Minyak Goreng ... 11

Tabel 4. Formulasi Kue Biji Ketapang Ubi Jalar ... 23

Tabel 5. Formulasi Donat Ubi Jalar ... 23

Tabel 6. Formulasi Kue Bawang Ubi Jalar ... 24

Tabel 7. Parameter warna berdasarkan nilai hº (hue) ... 29

Tabel 8. Analisis Fisik Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10 ... 41

Tabel 9. Suhu, Waktu, dan Viskositas Gelatinisasi Tepung Ubi Jalar ... 46

Tabel 10. Komposisi Kimia Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10 ... 47

Tabel 11. Formula Produk pada Uji Organoleptik ... 52

Tabel 12. Hasil Uji Organoleptik Produk Olahan Goreng ... 53

Tabel 13. Formula Terpilih Produk Hasil Uji Organoleptik ... 53

Tabel 14. Seting Tekstur Analyzer dalam Pengukuran Kekerasan Produk Olahan Goreng ... 57

Tabel 15. Tingkat Kekerasan Produk Olahan Goreng ... 57

Tabel 16. Hasil Analisis Proksimat Produk Olahan Goreng ... 58

Tabel 17. Informasi Nilai Gizi per Takaran Saji ... 58


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur Amilosa ... 13

Gambar 2. Struktur Amilopektin ... 13

Gambar 3. Diagram Proses Pembuatan Tepung Ubi Jalar ... 21

Gambar 4. Diagram Alir Pembuatan Kue Biji Ketapang Ubi Jalar ... 24

Gambar 5. Diagram Alir Pembuatan Donat Ubi Jalar ... 25

Gambar 6. Diagram Alir Pembuatan Kue Bawang Ubi Jalar ... 26

Gambar 7. (a) Tanaman Ubi Jalar; (b) Umbi Ubi Jalar Klon BB00105.10 ... 38

Gambar 8. (a) Sawut Kering; (b) Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10 ... 39

Gambar 9. Peralatan dalam Pembuatan Tepung Ubi Jalar: (a) Mesin Penyawut; (b) Mesin Peniris; (c) Oven Pengering; (d) Mesin Penepung ... 40

Gambar 10. Formula Terpilih Hasil Uji Organoleptik : (a) Kue Biji Ketapang; (b) Donat; (c) Kue Bawang ... 54

Gambar 11. Histogram Rendemen Produk Olahan Goreng ... 56

Gambar 12. Kadar Serat Pangan pada Produk Olahan Goreng ... 64

Gambar 13. Daya Cerna Pati Produk Olahan Goreng ... 65

Gambar 14. Kadar Amilosa Produk Olahan Goreng ... 67

Gambar 15. Kurva Indeks Glikemik Kue Biji Ketapang ... 69


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Analisis Fisik dan Kimia Tepung Ubi Jalar

Klon BB00105.10 ... 79

Lampiran 2. Hasil Pengukuran Sifat Amilograf ... 80

Lampiran 3. Lembar Penilaian Uji Organoleptik ... 81

Lampiran 4. Rekapitulasi Hasil Uji Organoleptik Kue Biji Ketapang secara Overall ... 82

Lampiran 5. Rekapitulasi Hasil Uji Organoleptik Donat secara Overall .... 83

Lampiran 6. Rekapitulasi Hasil Uji Organoleptik Kue Bawang secara Overall ... 84

Lampiran 7. Hasil Uji Hedonik Formula Kue Biji Ketapang dengan ANOVA dan Uji Duncan ... 85

Lampiran 8. Hasil Uji Rangking Formula Kue Biji Ketapang dengan Friedman Test ... 85

Lampiran 9. Hasil Uji Hedonik Formula Donat dengan ANOVA dan Uji Lanjut Duncan ... 86

Lampiran 10. Hasil Uji Rangking Formula Donat dengan Friedman Test ... 86

Lampiran 11. Hasil Uji Hedonik Formula Kue Bawang dengan ANOVA dan Uji Lanjut Duncan ... 87

Lampiran 12. Hasil Uji Rangking Formula Kue Bawang dengan Friedman Test ... 87

Lampiran 13. Analisis Fisik Produk Olahan Goreng Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10 ... 88

Lampiran 14. Analisis Kimia Produk Olahan Goreng Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10 ... 88

Lampiran 15. Rekapitulasi Indeks Glikemik Kue Biji Ketapang ... 89

Lampiran 16. Rekapitulasi Indeks Glikemik Kue Bawang ... 89

Lampiran 17. Resep Kue Biji Ketapang Ubi Jalar ... 90

Lampiran 18. Resep Donat Ubi Jalar ... 90


(13)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penyakit degeneratif di Indonesia saat ini semakin meningkat. Hal ini disebabkan pola konsumsi pangan dan gaya hidup masyarakat yang kurang baik. Penyakit degeneratif tersebut antara lain penyakit jantung koroner, hipertensi, kanker, dan diabetes melitus. Penelitian epidemiologi di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi diabetes melitus mencapai 1,5-2,3% dari jumlah penduduk (Astawan dan Widowati, 2006). Diabetes melitus merupakan penyakit kronik yang timbul karena kadar glukosa darah yang terlalu tinggi.

Salah satu cara pencegahan penyakit diabetes melitus dan obesitas adalah dengan pemilihan konsumsi pangan yang tepat. Beberapa produk pangan memiliki komponen aktif yang bermanfaat bagi kesehatan. Pangan tersebut tergolong pangan fungsional. Pangan fungsional yang sesuai untuk diaplikasikan pada penderita diabetes melitus dan obesitas adalah yang memiliki indeks glikemik (IG) yang rendah.

Indeks glikemik (IG) adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar gula darah (Rimbawan dan Siagian, 2004). Salah satu bahan pangan yang berpotensi memiliki IG rendah adalah ubi jalar. Namun, tidak semua jenis ubi jalar memiliki IG rendah. Saat ini telah ditemukan klon unggul ubi jalar yaitu ubi jalar klon BB00105.10 yang memiliki respon glikemik lebih baik dibandingkan klon maupun varietas ubi jalar lainnya (Astawan dan Widowati, 2006).

Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat alternatif pengganti beras. Tanaman ubi jalar relatif mudah dibudidayakan karena memiliki daya penyesuaian yang tinggi terhadap kekeringan. Selain itu, zat gizi yang terkandung dalam ubi jalar dapat mengimbangi zat gizi yang terdapat pada gandum dan beras. Namun, permintaan dan pemanfaatan ubi jalar di Indonesia masih cukup rendah. Ubi jalar digunakan sebagai makanan pokok masyarakat Papua dan beberapa daerah di Indonesia bagian Timur.


(14)

Pendayagunaan ubi jalar yang belum optimal disebabkan masih sedikitnya teknologi pengolahan pascapanen yang diterapkan dan nilai ekonomis ubi jalar yang rendah. Pengolahan ubi jalar di Indonesia masih cukup sederhana dan pengolahannya masih dalam bentuk ubi segar seperti dipanggang, direbus, dan digoreng segar.

Ubi jalar dalam bentuk tepung akan lebih mudah diolah menjadi berbagai produk olahan, yang lebih bergengsi, dan dapat diterima oleh berbagai lapisan masyarakat. Tepung ubi jalar dapat digunakan sebagai bahan baku, baik dalam bentuk tepung dan pati murni maupun tepung campuran. Tepung ubi jalar mempunyai peluang sebagai komoditas komersial, yaitu sebagai bahan baku berbagai produk pangan olahan, termasuk pangan fungsional. Tepung ubi jalar yang digunakan sebagai bahan baku pangan fungsional diharapkan memiliki indeks glikemik yang rendah sehingga tidak meningkatkan kenaikan glukosa darah secara cepat. Informasi mengenai indeks glikemik berbagai produk pangan di Indonesia masih kurang. Oleh karena itu, penelitian mengenai produk olahan berbahan dasar tepung ubi jalar perlu dilakukan.

Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian oleh Astawan dan Widowati (2006) mengenai evaluasi mutu gizi dan indeks glikemik ubi jalar sebagai dasar pengembangan pangan fungsional. Berdasarkan penelitian tersebut, ubi jalar klon BB00105.10 memiliki respon glikemik terbaik dibandingkan klon dan varietas unggul ubi jalar lainnya. Aktivitas hipoglikemik tertinggi tersebut didukung oleh pati resisten (3,8 %) dan protein (5,47 %) yang paling tinggi serta daya cerna pati yang rendah (51,4%). Ubi jalar klon BB00105.10 mempunyai kadar amilosa sedang (24,94%). IG ubi jalar segar yang digoreng paling rendah (47) dibandingkan yang dikukus (62), dan yang dipanggang (80). Berdasarkan data tersebut, maka penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan produk olahan goreng berbahan dasar tepung ubi jalar klon BB00105.10 yang diharapkan memiliki mutu gizi yang baik dan indeks glikemik yang rendah. Produk ini meliputi kue biji ketapang, donat, dan kue bawang.


(15)

B. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formulasi terbaik pada tiga jenis produk olahan goreng berbahan dasar tepung ubi jalar klon BB00105.10. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menghasilkan produk olahan goreng yang memiliki mutu gizi yang baik dan indeks glikemik yang rendah. Informasi yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk merancang jenis produk pangan alternatif untuk tujuan diit.

C. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi tentang sifat fisiko-kimia dari produk olahan panggang berbahan dasar tepung ubi jalar klon unggul BB00105.10.


(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. UBI JALAR

Tanaman ubi jalar merupakan tanaman semusim yang memiliki susunan tubuh utama yaitu batang ubi, daun, bunga, buah, dan biji. Batang tanaman ubi jalar berakar banyak, berwarna hijau, kuning, atau ungu, berbentuk bulat tidak berkayu, berbuku-buku, dan tipe pertumbuhannya tegak atau merambat (menjalar), dengan panjang tanaman 1 – 3 m (Rukmana, 1997). Daun ubi jalar berbentuk bulat hati, bulat lonjong, dan bulat runcing tergantung varietas. Bunga ubi jalar berbentuk terompet. Menurut Juanda dan Cahyono (2000), taksonomi ubi jalar yaitu:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Convolvulales Famili : Convolvulaceae Genus : Ipomoea

Spesies : Ipomoea batatas. L. sin. Batatas edulis Choisy

Tanaman ubi jalar merupakan tanaman istimewa dibandingkan dengan tanaman pangan lain karena memiliki daya penyesuaian paling tinggi terhadap kondisi lingkungan yang buruk. Menurut Rubatzky dan Yamaguchi (1995), ubi jalar memiliki kemampuan berproduksi tinggi pada tanah tidak subur sekalipun. Hasil umbi yang paling bagus adalah di tanah yang memiliki tingkat kesuburan yang sedang dan cukup mengandung air (Lingga et al., 1989).

Varietas ubi jalar sangat banyak dan bervariasi dalam hal bentuk umbi, warna kulit, komposisi kimia, daya tahan terhadap hama dan penyakit, umur panen, rasa, dan dari segi lainnya. Secara umum ubi jalar dibagi menjadi dua jenis yaitu berumbi keras (banyak mengandung tepung) dan berumbi lunak (banyak mengandung air dan rasanya manis). Ubi jalar dapat dibagi menjadi


(17)

dua jenis berdasarkan umur tanam, yaitu berumur pendek, yang dipanen setelah 4 sampai 6 bulan, dan berumur panjang, yang dipanen setelah 8 sampai 9 bulan. Berdasarkan warna umbi, ubi jalar dapat dibedakan menjadi ubi jalar kuning, ubi jalar merah, dan ubi jalar putih. Beberapa varietas unggul ubi jalar antara lain Sukuh, Binoras Op 95-2, Kidal, Jago, Boko, Sari, MIS 110-1, dan MIS 159-3 (Yusuf, 2003). Saat ini juga telah ditemukan klon unggul ubi jalar BB00105.10 yang memiliki indeks glikemik yang paling rendah dibandingkan varietas unggul lainnya (Astawan dan Widowati, 2006).

Klon BB00105.10 memiliki sifat fisik yaitu kulit berwarna merah berbintik, daging berwarna jingga tua, dan berbentuk lonjong. Perbandingan beberapa varietas dan klon ubi jalar yang sedang dikembangkan dapat dilihat pada Tabel 1. Komposisi kimia ubi jalar klon BB00105.10 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1. Perbandingan sifat kimia beberapa varietas dan klon ubi jalar. Komponen

(% bk) Kidal Sukuh

BB

00105.10 Sari Ungu BO 464

BB

00106.18 Jago Amilosa 23.86 22.57 24.94 21.62 23.02 30.60 26.08 27.91 Amilopektin 76.14 77.43 75.06 78.38 77.03 69.40 73.92 72.09 Pati 79.20 88.40 93.00 72.00 85.40 86.60 89.00 81.80 Pati resisten 3.00 3.00 3.80 3.40 2.00 2.80 2.90 3.40 Gula 0.36 0.34 1.10 2.08 0.12 0.15 0.61 0.45 Daya cerna

pati 71.05 98.30 51.40 45.13 99.99 99.00 44.57 62.00 Serat pangan

larut 14.27 13.89 12.81 21.24 13.28 11.79 17.34 13.30

Sumber : Astawan dan Widowati (2006)

Tabel 2. Komposisi Kimia Ubi Jalar Klon BB00105.10

Komponen Kandungan

Air (% bb) 63.71

Abu (% bk) 1.53

Protein (% bk) 5.47

Lemak (% bk) 0.76

Karbohidrat (% bk) 92.24

Total serat pangan (% bk) 51.37

Serat pangan larut (% bk) 12.81

Serat pangan tidak larut (% bk) 38.56


(18)

B. PRODUK OLAHAN GORENG

Pengolahan produk pangan dewasa ini semakin berkembang. Produk pangan tidak hanya dapat diolah dari bentuk segar seperti dipanggang, direbus, dan digoreng segar, namun juga dapat diolah dari bentuk tepung. Masing-masing teknik pengolahan memiliki karakteristiknya tersendiri. Produk goreng memiliki ciri khas yaitu menggunakan minyak goreng. Oleh karena itu, kandungan lemak pada pangan yang diolah dengan cara digoreng akan lebih tinggi. Minyak berlebih yang menempel pada produk dapat menjadi masalah karena menyebabkan ketengikan. Semakin besar kandungan air adonan yang belum digoreng maka semakin banyak minyak yang menempel pada produk setelah digoreng.

Beberapa makanan ringan diolah dengan cara digoreng seperti kue bawang, kue biji ketapang, dan donat. Hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan produk goreng adalah penambahan air. Agar diperoleh adonan yang dapat dibentuk, maka pada adonan harus ditambahkan air sehingga dicapai kadar air adonan tertentu. Penambahan air yang terlalu banyak menyebabkan adonan menjadi lengket dan lembek. Tingginya kadar air pada adonan kue bawang dapat menyebabkan adonan menjadi lunak dan menyebabkan strukturnya relatif kurang kokoh.

1. Kue Biji Ketapang

Bahan baku selain tepung yang digunakan dalam pembuatan suatu produk pangan memiliki fungsinya masing-masing. Bahan baku kue biji ketapang terdiri dari tepung, telur, kelapa parut, dan gula. Telur berfungsi memberikan sifat kaku pada produk sehingga kue biji ketapang tidak rapuh saat digoreng. Pembuatan kue biji ketapang menggunakan kuning telur dan putih telur. Putih telur mempunyai daya ikat sehingga akan terbentuk adonan yang kompak (Matz, 1982). Kelapa parut memberi aroma khas pada kue biji ketapang. Fungsi gula dalam pembuatan kue biji ketapang, antara lain memberikan rasa manis, memperbaiki tekstur, dan membentuk warna kecoklatan akibat reaksi pencoklatan (browning).


(19)

Penggunaan gula yang tinggi pada adonan kue biji ketapang menghasilkan produk yang memiliki tekstur keras.

2. Donat

Bahan baku donat terdiri dari tepung, gula, ragi, margarin, telur, baking powder, dan bahan pelembut. Gula berfungsi untuk memberikan rasa manis, membentuk warna kecoklatan akibat reaksi pencoklatan (browning), membentuk flavor karamel, dan sebagai nutrisi bagi khamir agar dapat bekerja menghasilkan gas selama proses fermentasi. Margarin berfungsi sebagai pelumas bagi partikel-partikel adonan sehingga terdispersi merata, sebagai stabilizer, mencegah pati dan protein tepung lainnya menggumpal, membuat tekstur lebih halus dan lunak, meningkatkan cita rasa, meningkatkan volume donat, dan mencegah donat agar tidak cepat kering (Hartono, 1993).

Faktor utama yang mempengaruhi pengembangan adonan donat adalah ragi. Ragi yang digunakan yaitu khamir Saccharomyces cerevisiae. Ragi akan bekerja jika kontak dengan tepung, dan air. Menurut Khutschevar (1975), suhu fermentasi yang baik adalah 32 – 38oC, dengan kelembapan relatif 80-85%. Waktu fermentasi yang baik adalah 15 – 45 menit. Waktu fermentasi yang berlebihan menyebabkan adonan menjadi asam. Jika ragi, air, dan tepung dikombinasikan, enzim diastase di dalam tepung saat proses fermentasi akan memecah pati menjadi maltosa yang diperlukan sebagai sumber makanan bagi ragi (Beranbaum, 2003). Oleh karena itu, semakin rendah kadar pati, maka volume donat juga akan menurun, terutama jika tidak dikombinasikan dengan tepung yang mengandung gluten. Ragi bekerja mengkonsumsi gula dari pati sehingga dihasilkan gas CO2, dan etil alkohol. Gas CO2 akan ditahan dalam adonan

oleh jaringan yang dibentuk oleh gluten sehingga adonan mengembang. Alkohol yang dihasilkan memberi flavor pada donat. Gas CO2 dan alkohol

yang dihasilkan akan menguap selama penggorengan.

Telur dalam adonan donat berfungsi sebagai koagulator, emulsifier, dan pengembang, pemberi warna, dan cita rasa produk. Telur meningkatkan nilai gizi dan penerimaan konsumen (U.S. Wheat


(20)

Associates, 1983). Telur mempunyai suatu reaksi mengikat bila digunakan dalam jumlah besar sehingga produk yang dihasilkan akan lebih mengembang. Telur akan menangkap udara saat adonan dikocok sehingga udara menyebar merata pada adonan (Winarno, 1997). Bagian dari telur yang digunakan dalam pembuatan donat adalah kuning telurnya. Adonan yang menggunakan kuning telur akan menghasilkan donat dengan tekstur yang lebih empuk daripada menggunakan seluruh telur. Hal ini disebabkan adanya daya emulsi dari lesitin yang terdapat dalam kuning telur.

Baking powder merupakan bahan peragi hasil reaksi asam dengan sodium bikarbonat (NaHCO3) dengan memakai atau tidak memakai pati

atau tepung sebagai bahan pengisi. Asam yang biasa digunakan adalah bubuk tartrat, bubuk fosfat, dan bubuk sulfat. Sodium bikarbonat dalam air pada adonan akan terurai dan menghasilkan gas CO2 dalam adonan donat.

Saat penggorengan, gas CO2 akan dilepaskan sehingga adonan

mengembang sempurna, dan donat yang dihasilkan tidak rusak. Fungsi baking powder yaitu membentuk volume, mengatur rasa, mengontrol penyebaran, dan membuat hasil produksi menjadi ringan. Penggunaan sodium bikarbonat sebaiknya digunakan sesuai ukuran. Bikarbonat yang terdapat dalam sodium bikarbonat bersifat melemahkan gluten dalam adonan.

Permasalahan utama yang timbul dalam pembuatan donat dari bahan selain terigu adalah lemahnya adonan, dan kurangnya daya penahan gas. Hal ini mempengaruhi mutu fisik produk yang dihasilkan. Selain itu, donat yang terbuat dari bahan selain terigu akan cepat mengalami stalling (pengerasan) dan penurunan kualitas simpan. Pengerasan dapat terjadi karena tepung non-terigu tidak memiliki ikatan disulfida pada proteinnya. Ikatan disulfida terdapat pada gluten dan memiliki pengaruh dalam menstabilkan protein (Nosoh dan Sekiguchi, 1991). Bahan tambahan yang dapat mengurangi pengerasan pada donat adalah potasium bromat.

Garam bromat digunakan dalam pembuatan donat sebagai bahan pelembut (dough improver). Bentuk yang paling banyak digunakan adalah potasium bromat (KBrO3). Penambahan garam bromat pada tepung dapat


(21)

mencegah pelunakan gluten yang berlebihan selama pembuatan adonan. Bromat dapat meningkatkan konsumsi oksigen tepung pada saat pembuatan adonan. Selain itu, bromat juga membantu mempercepat pematangan adonan dan meningkatkan volume roti dengan tidak menyebabkan penurunan mutu remah, serta dapat memperbaiki teksturnya.

3. Kue Bawang

Bahan baku kue bawang terdiri dari tepung, garam, margarin, bawang merah, dan daun seledri. Bawang merah, dan daun seledri berfungsi sebagai penghasil aroma bawang. Garam untuk meningkatkan cita rasa, memperkuat tekstur, dan mengikat air. Dalam pembuatan adonan, penambahan garam sebesar 1-3% dapat memperkuat lembaran adonan dan mengurangi kelengketan. Margarin berfungsi untuk meningkatkan rasa gurih pada kue bawang. Pada saat menggoreng, margarin akan mencair dan keluar dari bahan. Proses pengeluaran margarin dari dalam bahan diharapkan mempercepat proses pindah panas pada bahan dan juga meninggalkan ruang kosong dalam keping kue bawang sehingga meningkatkan kerenyahan.

Masalah yang umumnya terjadi dalam pembuatan kue bawangubi jalar adalah diskolorasi, kekerasan, kerenyahan, dan variasi dalam kualitas. Diskolorasi pada produk disebabkan oleh reaksi non-enzimatis. Diskolorasi non-enzimatis terjadi karena kandungan gula pereduksi pada ubi jalar yang tinggi. Diskolorasi dipengaruhi oleh suhu minyak yang digunakan dan lama pemasakan. Suhu optimum penggorengan kue bawang adalah sekitar 143oC dan 177oC. Suhu penggorengan yang terlalu rendah menyebabkan warna kue bawang yang kurang terang dan membutuhkan waktu penggorengan yang lebih lama, sedangkan suhu yang terlalu tinggi menyebabkan reaksi pencoklatan (Woolfe, 1999). Selama pemasakan terjadi peningkatan kadar maltosa mulai dari jumlah yang kecil pada bahan baku menjadi lebih dari 2% sehingga dapat menyebabkan diskolorasi.

Variasi dalam kualitas kue bawang umumnya terjadi karena ketebalan kue bawang yang berbeda-beda. Bentuk dan ketebalan lembaran


(22)

adonan yang seragam akan memudahkan penetrasi panas pada saat pengolahan. Adonan yang baik untuk kue bawang yaitu yang dapat dibuat lembaran tipis dan mudah dicetak (Meilianti, 2003).

Kualitas kue bawang setelah proses pengolahan dapat menurun apabila produk terlalu lama kontak dengan oksigen dan uap air di udara, dimana produk menjadi melempem dan tengik. Oleh karena itu, kue bawang yang telah diproses harus segera dikemas dengan kemasan yang dapat mencegah udara dan uap air masuk.

C. TEPUNG TERIGU

Tepung merupakan komposisi dasar pada produk makanan ringan. Pada umumnya, tepung yang digunakan untuk membuat kue biji ketapang, donat, dan kue bawang adalah tepung terigu. Dalam adonan, tepung berfungsi sebagai pembentuk tekstur, pengikat bahan-bahan lain, dan mendistribusikannya secara merata, serta berperan dalam membentuk citarasa (Matz dan Matz, 1978). Manley (1983) membagi tepung menjadi tiga jenis berdasarkan kandungan proteinnya, yaitu terigu keras (kadar protein minimal 12%), terigu sedang (kadar protein sebesar 10-11%), dan terigu lunak (kadar protein sebesar 7-9%).

Tepung terigu yang digunakan dalam pembuatan kue biji ketapang dan kue bawang adalah terigu sedang. Tepung terigu sedang biasa digunakan dalam skala industri rumah tangga. Tepung terigu sedang (Segitiga Biru) dapat digunakan untuk membuat berbagai jenis makanan. Menurut Matz (1982), penggunaan tepung terigu jenis sedang agar dihasilkan produk dengan tekstur yang keras dan penampakannya kasar. Jika digunakan tepung terigu jenis lunak yang memiliki kadar protein rendah (8-10%), tekstur produk menjadi kurang keras.

Tepung yang biasa digunakan untuk membuat produk yang membutuhkan pengembangan seperti roti, dan donat adalah terigu keras (Cakra Kembar). Menurut Subarna (1992), tepung terigu kuat mampu menyerap air dalam jumlah besar, dapat mencapai konsistensi adonan yang tepat, dan mempunyai elastisitas yang baik untuk memproduksi roti dengan


(23)

remah yang halus, tekstur lembut, volume besar. Pembuatan adonan donat dengan terigu kuat umumnya membutuhkan air yang lebih banyak, waktu pengadukan, dan fermentasi lebih lama daripada tepung lemah, serta mempunyai kemampuan menahan gas lebih besar (Pomeranz dan Shellenberger, 1971). Tepung terigu keras memiliki kandungan gluten yang tinggi, yang dibutuhkan dalam pengembangan adonan. Gluten adalah protein yang mempunyai sifat membentuk struktur bahan (jaringan sel) berongga. Dengan adanya gluten, produk akan lebih mengembang setelah digoreng dibandingkan tanpa gluten.

D. MINYAK GORENG SAWIT

Lemak dan minyak sebagai bahan pangan dibagi menjadi dua yaitu lemak yang siap dikonsumsi tanpa dimasak seperti mentega, dan lemak yang dimasak bersama-sama bahan pangan lainnya atau dijadikan medium penghantar panas dalam memasak bahan pangan seperti minyak goreng (Ketaren, 1986). Minyak goreng adalah minyak yang telah mengalami proses pemurnian seperti degumming, netralisasi, pemucatan, dan deodorisasi. Selain sebagai medium penghantar panas, minyak goreng juga meningkatkan rasa gurih, dan meningkatkan nilai gizi serta energi bahan pangan dalam proses penggorengan. Standar mutu minyak goreng berdasarkan SNI 01-3741-1995 dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Standar Mutu Minyak Goreng

Komponen Persyaratan maksimum

Air 0.3 %

Bilangan peroksida 1.0 mg oksigen/100 g Asam lemak bebas (dianggap

sebagai asam laurat)

0.3 %

Minyak pelikan -

Bau, warna, rasa Normal

Besi 1.5 (mg/kg)

Timbal 0.1 (mg/kg)

Tembaga 0.1 (mg/kg)

Seng 40.0 (mg/kg)

Raksa 0.05 (mg/kg)

Timah 40.0 (mg/kg)


(24)

Sumber : BSN (1995)

Menurut Ketaren (1986), untuk menggoreng bahan pangan yang dibungkus dan tidak segera dikonsumsi, dibutuhkan lemak yang bersifat stabil terhadap panas, misalnya minyak kelapa, atau minyak nabati dihidrogenasi. Asam lemak palmitat dan oleat merupakan asam lemak utama yang terdapat dalam minyak sawit. Kandungan asam lemak jenuh dan tidak jenuh minyak sawit memiliki proporsi yang seimbang. Minyak sawit terdiri dari lemak-lemak netral (96.2%), fosfolipid, dan glikolipid (3.8%). Beberapa keunggulan minyak sawit dibandingkan minyak nabati lainnya, yaitu tahan lama, tahan terhadap tekanan dan suhu tinggi, tidak cepat tengik, dan hampir tidak mengandung kolesterol. Ketahanan terhadap tengik antara lain disebabkan oleh kandungan karoten dan tokoferol yang cukup tinggi.

E. PATI

1. Komposisi Pati

Pati terbentuk pada jaringan tanaman dalam bentuk granula. Ukuran diameter granula pati bermacam-macam berkisar antara 1-100 μm. Bentuk dan ukuran granula pati merupakan karakteristik setiap jenis pati. Butir pati bersifat semi kristalin yang mempunyai unit kristal dan unit amorphous. Unit kristal lebih tahan terhadap perlakuan asam kuat dan enzim, sedangkan unit amorphous bersifat dapat menyerap air dingin sampai 30% tanpa merusak struktur secara keseluruhan.

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Granula pati tersusun dari dua fraksi utama, yaitu amilosa dan amilopektin dalam rasio yang berbeda-beda pada setiap jenis pati (Lineback dan Inglett, 1982). Amilosa dan amilopektin terdapat dalam bentuk kristalin pada pati. Hal ini menyebabkan amilosa-amilopektin bersifat tidak larut air dan sukar untuk dicerna dalam keadaan mentah. Struktur kristalin tersebut akan hancur bersamaan dengan proses gelatinisasi yang melibatkan air dan suhu tinggi. Perbandingan amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati. Semakin besar kandungan amilopektin maka pati akan lebih basah, lengket dan cenderung sedikit menyerap air. Pati yang lebih banyak mengandung amilosa bersifat lebih


(25)

resisten terhadap pencernaan pati dibandingkan dengan pati yang lebih banyak mengandung amilopektin karena struktur linier amilosa yang bersifat kompak (Rashmi dan Urooj, 2003).

Amilosa adalah homopolimer lurus D-glukosa yang dihubungkan dengan ikatan α-(1,4) dari cincin piranosa. Amilosa mengandung 250 - 2000 unit glukosa dengan bobot molekul lebih kurang 40000 - 340000. Molekul amilosa bersifat hidrofilik dan gugusnya bersifat polar. Amilosa dapat menyerap air sekitar empat kali beratnya. Penyerapan air tersebut menyebabkan viskositas meningkat. Amilosa mampu membentuk ikatan kristal karena adanya interaksi molekuler yang kuat. Rantai lurusnya cenderung membentuk susunan paralel satu sama lain dan saling berikatan dengan ikatan hidrogen. Struktur amilosa dapat dilihat pada Gambar 1.

Amilopektin adalah glukan bercabang yang terdiri dari ± 4000 unit glukosa. Pada rantai lurus amilopektin terdapat ikatan α-(1,4) dan pada titik percabangan terdapat ikatan α-(1,6). Ikatan percabangan ini terjadi setiap interval 20-30 unit glukosa (Lineback dan Inglett, 1982). Percabangan ini menyusun sekitar 4-5% dari seluruh ikatan pada amilopektin. Berat molekul amilopektin lebih dari satu juta. Molekul ini membentuk sifat kohesif dan pengental pada pati. Struktur amilopektin dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 1. Struktur Amilosa (Winarno, 1984)


(26)

Perbedaan tingkat kekerasan dan kerenyahan berkaitan erat dengan perbedaan komposisi bahan dasarnya, terutama komposisi amilosa dan amilopektin. Kadar amilosa yang tinggi dalam bahan akan mampu meningkatkan kerenyahan dari keripik yang dihasilkan karena amilosa dalam bahan akan mampu membentuk ikatan hidrogen dengan air dalam jumlah yang lebih banyak. Dengan demikian, saat penggorengan, air akan menguap dan meninggalkan ruang kosong dalam bahan dan membuat keripik lebih renyah (Rahmanto, 1994).

2. Pencernaan dan Penyerapan Pati

Karbohidrat dari pati yang akan diserap tubuh harus diubah menjadi penyusun-penyusunnya, yaitu glukosa. Enzim yang dapat memecah karbohidrat yaitu enzim α-amilase yang terdapat dalam air liur yang dihasilkan oleh kelenjar saliva, dan enzim yang dihasilkan oleh pankreas. Pencernaan karbohidrat dimulai sejak makanan masuk ke dalam mulut oleh enzim α-amilase dalam air liur. Enzim α-amilase ini stabil pada kisaran pH 5.5-8. Enzim α-amilase yang berasal dari kelenjar saliva menjadi inaktif oleh pH rendah dalam lambung. Enzim α-amilase yang berasal dari pankreas berperan dalam memecah pati di usus halus menjadi unit-unit dimerik terutama maltosa. Proses tersebut akan diselesaikan pada bagian brush border usus halus dengan bantuan enzim dari glucoamylase dan α-dextrinase. Pada brush border usus halus juga terjadi pemecahan disakarida menjadi monosakarida (unit-unit heksosa) oleh enzim-enzim disakaridase (Sardesai, 2003). Kemudian unit heksosa tersebut diserap ke dalam mukosa usus dan diedarkan ke hati melalui peredaran darah. Proses penyerapan dibantu oleh carrier atau pembawa khusus yang bersifat ATP-dependent. Glukosa merupakan monosakarida yang paling cepat diserap oleh usus halus. Proses penyerapan fruktosa terjadi melalui proses difusi dan berlangsung lambat.

Karbohidrat yang dikonsumsi makhluk hidup akan dicerna dan diserap pada laju yang berbeda-beda dan juga akan diubah menjadi fraksi pati yang berbeda-beda pada usus kecil. Daya cerna pati adalah kemampuan pati untuk dihidrolisis oleh enzim pemecah pati sehingga


(27)

menjadi unit-unit yang lebih kecil (gula-gula sederhana seperti maltosa atau glukosa dan alfa limit dekstrin) yang dapat diserap oleh tubuh. Proses pencernaan pati oleh enzim amilase dipengaruhi oleh ukuran partikel bahan pangan, dan serat pangan. Semakin kecil ukuran partikel maka luas permukaannya semakin besar sehingga pati lebih cepat dicerna. Serat pangan dapat menyebabkan penurunan waktu transit pada usus halus sehingga waktu pencernaan lebih cepat. Menurut Tharanthan dan Mahadevam (2003), pencernaan terhadap pati dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik yang memperlambat pencernaan pati adalah bentuk makanan yang mengganggu pengeluaran amilase pankreatik, dinding sel granula pati yang tidak lentur yang dapat menghalangi pembengkakan dan dispersi pati, dan kemampuan untuk membentuk kristal. Faktor ekstrinsik yang mempengaruhi hidrolisis pati adalah waktu transit, bentuk makanan, konsentrasi amilase pada usus, jumlah pati, dan keberadaan komponen pangan lainnya. Proses pengolahan juga dapat mempengaruhi daya cerna pati. Semakin tinggi daya cerna suatu pati berarti semakin banyak pati yang dihidrolisis dalam waktu tertentu yang ditunjukkan oleh semakin banyaknya glukosa dan maltosa yang dihasilkan. Faktor yang paling mendukung hidrolisis ini adalah enzim amilase yang bertindak sebagai biokatalisator.

Pati dapat dibedakan menjadi beberapa fraksi pati berdasarkan kecepatan pencernaannya, yaitu RDS (Rapidly Digestible Starch), SDS (Slowly Digestible Starch), RS (Resistant Starch). RDS adalah pati yang dapat dicerna dengan cepat. Pati yang dapat dicerna dengan cepat akan meningkatkan persediaan glukosa dalam tubuh dengan cepat. SDS adalah pati yang lambat dicerna sehingga menyebabkan kenaikan glukosa dalam darah menjadi lambat. Resistant starch adalah fraksi pati yang tidak dapat dihidrolisis pada usus halus tetapi kemudian difermentasi oleh mikroflora usus (Haralampu, 2000). Resistant starch tidak dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim amilolitik pada manusia yang sehat. Dengan demikian, pembentukan resistant starch dapat menurunkan daya cerna pati.


(28)

Pati yang lambat dicerna dan resistant starch bagus untuk dikonsumsi oleh penderita diabetes melitus dan obesitas karena kenaikan glukosa darah menjadi lambat. Pangan yang dikonsumsi sebaiknya memiliki SDI (Starch Digestion Index) yang rendah.

F. PANGAN FUNGSIONAL

Definisi pangan fungsional yang disepakati secara universal sampai saat ini belum ditetapkan. Menurut Badan POM (2005), definisi pangan fungsional adalah pangan yang secara alamiah maupun melalui proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan, dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman, mempunyai karakteristik sensori berupa penampakan, warna, tekstur, dan citarasa yang dapat diterima oleh konsumen, tidak menimbulkan kontradiksi, dan tidak memberikan efek samping pada jumlah penggunaan yang dianjurkan terhadap metabolisme zat gizi lainnya.

Golongan senyawa yang dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu di dalam pangan fungsional adalah senyawa-senyawa alami di luar zat gizi dasar yang terkandung dalam pangan bersangkutan, yaitu : 1) serat pangan (dietary fiber); 2) oligosakarida; 3) gula alkohol; 4) asam lemak tidak jenuh jamak (poly unsaturated fatty acid); 5) peptida dan protein tertentu; 6) glikosida dan isoprenoid; 7) polifenol dan isoflavon; 8) kolin dan lesitin; 9) bakteri asam laktat; 10) fitosterol; dan 11) vitamin dan mineral tertentu. Committee on Opportunities in the Nutrition and Food Sciences, Food and Nutrition Board, Institute of Medicine (1994) menyatakan bahwa yang tergolong pangan fungsional adalah pangan yang konsentrasi satu atau lebih bahan bakunya telah dimodifikasi atau dimanipulasi untuk meningkatkan kontribusinya sebagai pangan yang menyehatkan.

Menurut konsensus pada The First International Conference on East-West Perspective on Functional Foods yang diorganisir dan disponsori oleh International Life Sciences Institute (ILSI) tahun 1996, pangan fungsional adalah pangan yang karena kandungan komponen aktifnya dapat memberikan


(29)

manfaat bagi kesehatan, di luar manfaat yang diberikan oleh zat-zat gizi yang terkandung di dalamnya (Clydesdale, 1999). Pangan fungsional dibedakan dari suplemen makanan atau obat berdasarkan penampakan dan pengaruhnya terhadap kesehatan. Fungsi obat terhadap penyakit bersifat kuratif, maka pangan fungsional bersifat membantu pencegahan suatu penyakit (Badan POM, 2005).

G. INDEKS GLIKEMIK

Definisi indeks glikemik pangan (IG), menurut Rimbawan dan Siagian (2004), adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar gula darah. IG merupakan suatu ukuran yang menggambarkan luas kurva kenaikan dan penurunan kadar gula darah setelah mengkonsumsi suatu makanan tertentu dibandingkan dengan suatu standar. IG dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu proses pengolahan, kadar amilosa amilopektin, kadar gula dan daya osmotik pangan, kadar serat pangan, kadar lemak dan protein pangan, kadar antigizi pangan, dan daya cerna pati.

Proses pengolahan dapat mengubah karakteristik kimia ubi jalar. Menurut Astawan dan Widowati (2006), ubi jalar mentah yang digoreng memiliki IG yang paling rendah (47) dibandingkan ubi jalar mentah yang dikukus (62) dan dipanggang (80). Rendahnya IG ubi jalar yang digoreng kemungkinan disebabkan oleh pengaruh minyak pada proses penggorengan. Pangan berlemak tinggi cenderung memperlambat laju pengosongan lambung, sehingga penyerapan di dalam usus halus juga lambat.

Respon glikemik dan daya cerna pati tidak berhubungan dengan panjangnya rantai sakarida, melainkan oleh ukuran partikel (Ludwig, 2000). Karbohidrat sederhana tidak semuanya memiliki IG lebih tinggi daripada karbohidrat kompleks. Jenis gula yang terdapat dalam pangan mempengaruhi indeks glikemik pangan tersebut. Fruktosa memiliki IG sangat kecil (IG = 23), sedangkan sukrosa memiliki IG sedang (IG = 65). Selain itu, kehadiran gula di dalam pangan juga menghambat gelatinisasi pati dengan cara mengikat air. Semakin kecil ukuran partikel, semakin mudah pati terdegradasi oleh enzim


(30)

sehingga semakin cepat pencernaan karbohidrat pati yang dapat menyebabkan IG pangan tersebut semakin tinggi (Rimbawan dan Siagian, 2004).

Struktur amilosa-amilopektin yang berbeda menyebabkan daya cerna yang berbeda. Amilosa mempunyai struktur tidak bercabang sehingga amilosa terikat lebih kuat. Granula pati yang lebih banyak kandungan amilosanya, mempunyai struktur yang lebih kristalin. Dengan demikian amilosa sulit tergelatinisasi dan sulit dicerna. Selain itu, amilosa juga mudah bergabung dan mengkristal sehingga mudah mengalami retrogradasi yang bersifat sulit untuk dicerna (Meyer, 1973). Amilopektin mempunyai struktur bercabang, ukuran molekul lebih besar dan lebih terbuka sehingga lebih mudah tergelatinisasi dan lebih mudah dicerna (Rimbawan dan Siagian, 2004).

Jenis serat berpengaruh terhadap indeks glikemik pangan. Dalam bentuk utuh, serat dapat bertindak sebagai penghambat fisik pada pencernaan. Akibatnya, IG cenderung lebih rendah. Serat terlarut dapat menurunkan respon glikemik pangan secara nyata, sedangkan serat kasar mempertebal kerapatan atau ketebalan campuran makanan dalam saluran pencernaan. Serat memperlambat laju makanan pada saluran pencernaan dan menghambat pergerakan enzim, proses pencernaan menjadi lambat, sehingga respon glukosa darah juga rendah. Selain menurunkan IG pangan, serat juga dapat mengurangi resiko terkena kanker kolon, diabetes, penyakit jantung, dan penyakit saluran pencernaan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Astawan dan Widowati (2006), total serat pangan ubi jalar klon unggul BB00105.10 yaitu sebesar 51.37% (bk), dan kandungan serat larut sebesar 12.81% (bk).

Pangan yang mengandung lemak dan protein tinggi cenderung memperlambat laju pengosongan lambung, sehingga pencernaan makanan di usus halus juga diperlambat. Oleh karena itu, pangan berkadar lemak tinggi mampunyai IG lebih rendah daripada pangan sejenis, berlemak rendah. Menurut Ludwig (2000), laju penyerapan karbohidrat dan indeks glikemik akan meningkat setelah mengkonsumsi makanan rendah lemak.

Setiap jenis makanan memiliki IG yang berbeda-beda. Makanan yang memiliki IG rendah akan menghasilkan kenaikan dan penurunan kadar gula


(31)

darah yang tidak terlalu curam sesaat setelah makanan tersebut dicerna dan dimetabolisme oleh tubuh. Klasifikasi bahan pangan berdasarkan nilai IG adalah sebagai berikut : (1) bahan pangan dengan IG rendah (<55), (2) bahan pangan dengan IG sedang (55-69), dan (3) bahan pangan dengan IG tinggi (>70) (Foster-Powell et al., 2002).

Pati yang dicerna dan diserap oleh tubuh akan menyebabkan kenaikan kadar gula darah (plasma glucose). Puncak kenaikan akan terjadi sekitar 15 – 45 menit setelah konsumsi, tergantung dari kecepatan pencernaan dan penyerapan karbohidrat dalam tubuh manusia. Kadar glukosa darah akan kembali normal setelah dua sampai tiga jam. Hormon yang diproduksi oleh tubuh untuk menurunkan kadar glukosa darah adalah hormon insulin. Hormon insulin akan diproduksi sebanding dengan jumlah glukosa yang terkandung dalam darah. Hormon insulin dihasilkan di kelenjar Langherns pada pankreas. Hormon insulin bertugas meningkatkan laju transpor glukosa ke dalam sel dan laju pengubahan glukosa menjadi glikogen (Wardlaw, 1999). Kadar glukosa darah normal menurut Sardesai (2003) berkisar antara 55 – 140 mg/dl. Kadar glukosa darah minimum sebesar 40 – 60 mg/dl diperlukan untuk menyediakan energi bagi susunan saraf pusat, yang memerlukan glukosa sebagai sumber energi utama. Otot dan jaringan adiposa juga menggunakan glukosa sebagai sumber energi utama. Hormon yang berperan dalam meningkatkan kadar glukosa darah adalah hormon adrenalin dan glukagon. Kedua hormon ini dihasilkan di kelenjar adrenal (Wardlaw, 1999).

Indeks glikemik dikaitkan dengan berbagai isu kesehatan seperti obesitas, diabetes, dan penyakit jantung koroner. Menurut Jones (2002), pangan yang memiliki IG tinggi menyebabkan pengeluaran insulin dalam jumlah besar sebagai akibat dari kenaikan gula darah yang tinggi dan cepat. Hal tersebut akan menyebabkan peningkatan rasa lapar setelah makan dan penumpukan lemak pada jaringan adiposa dalam tubuh. Penderita diabetes (baik tipe I maupun tipe II) dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung IG rendah sehingga membantu kontrol kadar gula darah dalam tubuh. Konsumsi makanan yang memiliki IG rendah akan meningkatkan sensitivitas produksi insulin dalam pankreas (Ragnhild et al., 2004) .


(32)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah ubi jalar, minyak goreng, tepung terigu, garam, gula, baking powder, pelembut adonan (bakerine plus), bawang merah, daun seledri, kelapa parut, margarin, ragi, telur, air destilata, K2SO4, HgO, H2SO4, NaOH-Na2S2O3, H3BO3, indikator

merah metil dan biru metil, HCl, pelarut dietil/petroleum eter, NaOH, alkohol 95%, buffer Na-Fosfat 0.05 M, asam asetat 1 N, larutan iod, enzim α-amilase, pereaksi dinitrosalisilat, larutan maltosa standar, buffer Na-Fosfat 0.1 M, suspensi enzim termamil, suspensi enzim pankreatin, aseton, dan etanol 78%.

Alat-alat yang dibutuhkan antara lain alat penggorengan, termometer suhu tinggi, mortar, penggiling mie, slicer, oven, disc mill, gelas ukur, gelas piala, pipet ukur, mikro pipet, sentrifus, corong, buchner, kertas saring, pisau, desikator, cawan alumunium, cawan porselin, tanur, labu Kjeldahl, alat destilasi, buret, ekstraktor Soxhlet, labu lemak, labu takar, kapas bebas lemak, erlenmeyer, neraca analitik, hot plate, inkubator, spektrofotometer, tabung reaksi, kromameter, mesin amilograf, dan texture analyzer.

B. METODE PENELITIAN

1. Persiapan Bahan

Bahan baku utama dalam pembuatan produk olahan ubi jalar adalah tepung ubi jalar. Ubi jalar mentah terlebih dahulu diolah menjadi tepung ubi jalar. Diagram pembuatan tepung ubi jalar dapat dilihat pada Gambar 3.


(33)

Ubi jalar mentah ↓

Dicuci dengan air ↓

Dikupas ↓ Disawut

Direndam dalam larutan sodium metabisulfit 0.3% selama satu jam

Dikeringkan dengan oven

pada suhu 60-70oC hingga kadar air 12 - 14 % ↓

Digiling dengan disc mil ↓

Diayak (80 mesh) ↓

Tepung ubi jalar

Gambar 3. Diagram Proses Pembuatan Tepung Ubi Jalar

2. Analisis Karakterisasi Bahan Baku

Analisis yang dilakukan pada bahan baku meliputi analisis sifat fisik dan komposisi kimia tepung ubi jalar. Analisis sifat fisik tepung ubi jalar meliputi : berat yang dapat dimakan (BDD), rendemen, densitas kamba, densitas padat, kelarutan dalam air, warna, aw, dan amilograf.

Analisis komposisi kimia tepung ubi jalar meliputi : kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat.

3. Pembuatan Produk Olahan Goreng Tepung Ubi Jalar

a. Rancangan Percobaan

Penentuan formula produk terbaik dalam penelitian ini menggunakan rancangan percobaan acak lengkap (RAL) faktorial, dengan dua faktor pada masing-masing jenis produk..


(34)

Kue biji ketapang

Faktor I : persentase tepung ubi jalar (T) terhadap total tepung, yaitu sebesar 50%, 60%, dan 70%

Faktor II : persentase gula (G) terhadap total tepung, yaitu sebesar 30%, dan 40%.

Donat

Faktor I : persentase tepung ubi jalar (T) terhadap total tepung, yaitu sebesar 20%, 30%, dan 40%

Faktor II : persentase gula (G) terhadap total tepung, yaitu sebesar 8%, dan 16%

Kue bawang

Faktor I : persentase tepung ubi jalar (T) terhadap total tepung, yaitu sebesar 30%, 40%, dan 50%

Faktor II : persentase margarin (G) terhadap total tepung, yaitu sebesar 0%, dan 10%

Model matematis untuk rancangan percobaan acak lengkap dengan 2 faktor sebagai berikut:

Dimana:

Yijk : variabel respon karena kombinasi perlakuan T ke i, G ke j dan ulangan ke-k (k = 1, 2)

μ : pengaruh rata-rata umum

Ti : pengaruh faktor T pada taraf ke-i (i = 1, 2) Gj : pengaruh faktor G pada taraf ke-j (j = 1, 2)

(TG)ij : pengaruh interaksi antara taraf ke-i faktor T dengan taraf ke-j faktor G

Σijk : pengaruh kesalahan (galat) percobaan pada ulangan ke-k (k = 1, 2)


(35)

b. Produk Olahan Goreng Tepung Ubi Jalar

Formulasi kue biji ketapang, donat, dan kue bawang ubi jalar dilakukan secara trial and error untuk menentukan formulasi yang secara organoleptik cukup disukai. Masing-masing jenis produk olahan goreng berbahan dasar tepung ubi jalar tersebut dibuat dalam enam formula. Formulasi produk dapat dilihat pada Tabel 4 sampai dengan Tabel 6. Diagram alir pembuatan produk dapat dilihat pada Gambar 4 sampai dengan Gambar 6.

Tabel 4. Formulasi Kue Biji Ketapang Ubi Jalar

Bahan (%) Formulasi Kue Biji Ketapang

F1 F2 F3 F4 F5 F6

Terigu 50 50 40 40 30 30

Tepung ubi jalar 50 50 60 60 70 70

Gula 30 40 30 40 30 40

Kelapa parut 16 16 16 16 16 16

Telur 42.4 42.4 42.4 42.4 42.4 42.4

Tabel 5. Formulasi Donat Ubi Jalar

Bahan (%) Formulasi Donat

F1 F2 F3 F4 F5 F6

Terigu 80 80 70 70 60 60

Tepung ubi jalar 20 20 30 30 40 40

Gula 8 16 8 16 8 16

Margarin 20 20 20 20 20 20

Kuning telur 5.2 5.2 5.2 5.2 5.2 5.2

Ragi 2.4 2.4 2.4 2.4 2.4 2.4

Baking powder 0.64 0.64 0.64 0.64 0.64 0.64


(36)

Dibentuk bulat panjang Tabel 6. Formulasi Kue Bawang Ubi Jalar

Bahan (%) Formulasi Kue Bawang

F1 F2 F3 F4 F5 F6

Terigu 70 70 60 60 50 50

Tepung ubi jalar 30 30 40 40 50 50

Margarin 0 10 0 10 0 10

Garam 2 2 2 2 2 2

Bawang merah 27 27 27 27 27 27

Daun seledri 3 3 3 3 3 3

Gambar 4. Diagram Alir Pembuatan Kue Biji Ketapang Ubi jalar Tepung terigu

Tepung ubi jalar

Kelapa parut

Disangrai

Ditumbuk Gula, dan telur

Dicampur hingga homogen

Dicampur hingga kalis

Dipotong dengan tebal 0.5 cm dan panjang 3 cm

Digoreng Dicampur Air


(37)

Gambar 5. Diagram Alir Pembuatan Donat Ubi Jalar Tepung terigu, tepung ubi jalar, gula, ragi, margarin,

bahan pelembut, baking powder, dan telur

Dicampur hingga kalis

Didiamkan selama 20 menit

Dibentuk bulat-bulat dengan berat 55 gram

Didiamkan selama 10 menit

Digoreng

Dicampur hingga homogen Air


(38)

Gambar 6. Diagram Alir Pembuatan Kue Bawang Ubi Jalar

4. Uji Organoleptik

Pemilihan produk dilakukan dengan uji organoleptik hedonik rating dan ranking terhadap sifat keseluruhan (overall). Formulasi terbaik ditunjukkan oleh penerimaan panelis uji organoleptik.

5. Analisis Karakterisasi Produk Olahan Goreng Terpilih

Kue biji ketapang, donat, dan kue bawang dengan formulasi terpilih yang didapatkan dari hasil uji organoleptik selanjutnya dianalisis. Analisis yang dilakukan meliputi analisis fisik, kimia, dan indeks glikemik. Analisis fisik produk meliputi rendemen dan tekstur. Analisis sifat kimia produk meliputi komposisi proksimat, kadar serat pangan, daya cerna pati, dan kadar amilosa. Analisis indeks glikemik dilakukan terhadap dua jenis produk olahan goreng yang kemungkinan memiliki indeks glikemik terendah dilihat dari hasil analisis kimia produk.

Bawang merah dan garam

Dihaluskan

Tepung terigu, tepung ubi jalar, margarin, dan daun seledri

Dicampur

Dicampur

Dipipihkan dengan mesin pembuat mie

Dicetak

Dipotong dengan panjang 5 cm

Digoreng Air


(39)

C. PROSEDUR ANALISIS

1. Analisis Sifat Fisik

a. Berat yang dapat dimakan (BDD)

Berat yang dapat dimakan dari ubi jalar dihitung berdasarkan perbandingan berat umbi segar tanpa kulit terhadap berat umbi segar dengan kulit yang dinyatakan dalam persen. Perhitungan berat yang dapat dimakan dihitung dengan menggunakan rumus :

Keterangan :

a = berat umbi ubi jalar segar tanpa kulit (g) b = berat umbi ubi jalar segar dengan kulit (g)

b. Rendemen

Rendemen tepung ubi jalar dihitung berdasarkan perbandingan berat tepung yang diperoleh terhadap berat umbi segar tanpa kulit yang dinyatakan dalam persen. Perhitungan rendemen dihitung dengan menggunakan rumus :

Keterangan :

a = berat tepung yang diperoleh (g)

b = berat umbi ubi jalar segar tanpa kulit (g)

Pengukuran rendemen produk dihitung berdasarkan berat adonan. Rendemen produk olahan goreng dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut :

Keterangan:

a = berat produk olahan goreng (g) b = berat adonan basah (g)

Berat dapat dimakan (%) = 100% b

a ×

Rendemen tepung (%) = 100% b

a ×

Rendemen produk olahan goreng (%) 100% b

a ×


(40)

c. Densitas kamba (Khalil, 1999)

Densitas kamba diukur dengan cara memasukkan tepung ke dalam gelas ukur sampai volume tertentu tanpa dipadatkan, kemudian berat tepung ditimbang. Densitas kamba dihitung dengan cara membagi berat tepung dengan volume ruang yang ditempati. Densitas kamba dinyatakan dalam satuan kg/m3 atau g/ml.

d. Densitas padat (Khalil, 1999)

Densitas padat diukur dengan cara memasukkan tepung ke dalam gelas ukur dan dipadatkan sampai volumenya konstan, kemudian berat tepung ditimbang. Densitas padat dihitung dengan cara membagi berat tepung dengan volume ruang yang ditempati. Densitas kamba dinyatakan dalam satuan kg/m3 atau g/ml.

e. Kelarutan dalam air (Sathe dan Salunkhe, 1981 dalam Muchtadi

dan Sumartha, 1992)

Sejumlah 0.75 gram sampel dilarutkan dalam 150 ml air, kemudian disaring menggunakan corong buchner. Sebelumnya kertas saring dikeringkan terlebih dahulu dalam oven 100ºC selama 30 menit dan ditimbang (berat sudah diketahui). Kertas saring dan endapan yang tertinggal pada kertas saring dikeringkan dalam oven 100ºC selama 3 jam (sampai mencapai berat yang konstan), didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.

Keterangan:

a = berat kering sampel (gram)

b = berat endapan dan kertas saring (gram) c = berat kertas saring (gram)

f. Warna, metode Hunter (Hutching, 1999 dalam Djuanda, 2003)

Pengukuran untuk warna tepung dilakukan dengan menggunakan alat chromameter “Minolta CR-200”. Warna tepung

Kelarutan (%) = 100% a

c) -(b


(41)

dibaca dengan detektor digital lalu angka hasil pengukuran akan terbaca pada layar. Pada alat ini yang terukur adalah nilai-nilai L, a, b, dan hº (hue).

Keterangan:

L = nilai yang menunjukkan kecerahan, berkisar antara 0-100 a = merupakan warna campuran merah-hijau

a positif (+) antara 0-100 untuk warna merah a negatif (-) antara 0-(-80) untuk warna hijau b = merupakan warna campuran biru-kuning

b positif (+) antara 0-70 untuk warna kuning b negatif (-) antara 0-(-80) untuk warna biru hº (hue) = parameter untuk kisaran warna (Tabel 7) Tabel 7. Parameter warna berdasarkan nilai hº (hue)

Warna Nilai hº (hue)

Red purple 342 – 18

Red 18 – 54

Yellow red 54 – 90

Yellow 90 – 126

Yellow green 126 – 162

Green 162 – 198

Blue green 198 – 234

Blue 234 – 270

Blue purple 270 – 306

Purple 306 – 342

g. Aktivitas air

Pengukuran aktivitas air (aw) dilakukan dengan menggunakan

alat aw meter ”Shibaura aw meter WA-360”. Alat dikalibrasi dengan

NaCl jenuh yang memiliki nilai aw 0.7547; 0.7529; dan 0.7509 yang

berturut-turut pada suhu 20, 25 dan 290C dengan cara memasukkan

NaCl jenuh tersebut dalam wadah aw meter. Nilai aw dapat dibaca

setelah ada tulisan “completed” di layar.Bila aw yang terbaca tidak

tepat 0.750 maka bagian switch diputar sampai mencapai tepat 0.750.


(42)

kalibrasi alat yaitu sampel dimasukkan dalam wadah aw meter. Nilai aw

dan suhu pengukuran akan terbaca setelah ada tulisan “completed” di

layar. h. Amilograf

Uji amilograf bertujuan untuk mengetahui suhu gelatinisasi tepung ubi jalar. Sebanyak 45 gram sampel ditimbang dan dilarutkan

dengan 450 ml air destilata, kemudian dimasukkan ke dalam bowl.

Lengan sensor dipasang dan dimasukkan ke dalam bowl dengan cara

menurunkan head amilograf. Suhu awal termoregulator diatur pada

suhu 20°C atau 25°C. Switch pengatur diletakkan pada posisi bawah

sehingga jika mesin dihidupkan suhu akan meningkat 1.5°C setiap menit.

Mesin amilograf dihidupkan. Begitu suspensi mencapai suhu 30°C, pena pencatat diatur pada skala kertas amilogram. Setelah pasta mencapai suhu 95°C, mesin dimatikan. Parameter analisis amilograf terdiri dari:

1. Suhu awal gelatinisasi, yaitu suhu pada saat kurva mulai naik

2. Suhu pada puncak gelatinisasi, yaitu suhu pada saat nilai

maksimum viskositas dapat dicapai

3. Viskositas maksimum pada puncak gelatinisasi dinyatakan

dalam Brabender Unit

i. Tekstur (kekerasan dan kerenyahan)

Pengukuran tekstur kue bawang, kue biji ketapang, dan donat

dilakukan dengan menggunakan alat texture analyzer TAXT-2. Alat

dihidupkan lalu sampel diletakkan pada tempat yang telah disediakan dan diukur teksturnya. Produk akan mendapat tekanan dari alat yang

bergerak. Besar kecilnya tekanan akan masuk ke dalam amplifier yang

ada di dalam recorder dan keluarannya berupa grafik. Kekerasan

dinyatakan sebagai kg gaya dari puncak tertinggi pada saat kurva mulai menaik yang dinyatakan sebagai titik nol. Kekerasan dinyatakan dalam satuan gram force (gf)


(43)

2. Analisa Sifat Kimia

a. Analisa Kadar Air, Metode Oven (AOAC, 1995)

Sejumlah sampel (kurang lebih 5 gram) dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Kemudian cawan dimasukkan ke

dalam oven bersuhu 100oC hingga diperoleh berat yang konstan.

Perhitungan kadar air dilakukan dengan menggunakan rumus :

b. Analisa Kadar Abu, Metode Oven (AOAC, 1995)

Cawan porselin dikeringkan dalam tanur bersuhu 400-600oC,

kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3-5 gram sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselin. Selanjutnya sampel dipijarkan di atas nyala pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi, kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur

listrik pada suhu 400-600oC selama 4-6 jam atau sampai terbentuk abu

berwarna putih. Kemudian sampel didinginkan dalam desikator dan selanjutnya ditimbang. Perhitungan kadar abu menggunakan rumus :

c. Analisa Kadar Lemak, Metode Soxhlet (AOAC, 1995)

Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven

bersuhu 100-110oC, didinginkan, dalam desikator dan ditimbang.

Sampel dalam bentuk tepung ditimbang sebanyak 5 gram dibungkus

dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi (soxhlet),

yang telah berisi pelarut (dietil eter atau heksana).

Refluks dilakukan selama 5 jam (minimum) dan pelarut yang ada di dalam labu lemak didistilasi. Selanjutnya labu lemak yang berisi

lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 1000C hingga

Kadar air (% bb) = (berat awal – berat akhir) x 100 % berat awal

Kadar abu (% bb) = berat abu (gram) x 100 % berat sampel (gram)


(44)

beratnya konstan, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Perhitungan kadar lemak dilakukan dengan menggunakan rumus :

d. Analisa Kadar Protein, Metode Mikro-Kjeldahl (AOAC, 1995)

Sejumlah kecil sampel (kira-kira membutuhkan 3-10 ml HCl 0.01 N atau 0.02 N) yaitu sekitar 0.1 gram ditimbang dan diletakkan ke

dalam labu Kjeldahl 30 ml. Kemudian ditambahkan 1.9 gram K2SO4,

40 mg HgO, dan 2 ml H2SO4.

Sampel didinginkan dan ditambah sejumlah kecil air secara perlahan-lahan, kemudian didinginkan kembali. Isi tabung dipindahkan ke alat destilasi dan labu dibilas 5-6 kali dedngan 1-2 ml air. Air cucian dipindahkan ke labu distilasi. Erlenmeyer berisi 5 ml larutan

H3BO3 dan 2 tetes indikator (campuran 2 bagian merah metil

0.2%dalam alkohol dan 1 bagian metilen blue 0.2% dalam alkohol)

diletakkan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus

terendam di bawah larutan H3BO3. Ditambah larutan NaOH-Na2S2O3

sebanyak 8-10 ml, kemudian didestilasi dalam erlenmeyer. Tabung kondensor dibilas dengan air dan bilasannya ditampung dalam erlenmeyer yang sama. Isi erlenmeyer diencerkan sampai kira-kira 50 ml, kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai terjadi perubahan warna. Penetapan untuk blanko juga dilakukan dengan cara yang sama. Perhitungan kadar protein dilakukan dengan menggunakan rumus :

Kadar lemak (% bb) = berat lemak (gram) x 100 % berat sampel (gram)

Kadar N (%) = (ml HCl – ml blanko) x N x 14.007 x 100

mg sampel


(45)

e. Kadar Karbohidrat by diffeerence (AOAC, 1995)

Keterangan :

f. Analisis nilai energi (Almatsier, 2001)

Penentuan nilai energi makanan melalui perhitungan dapat dilakukan menurut komposisi karbohidrat, lemak, protein, serta nilai energi makanan tersebut.

g. Kadar total serat pangan(Asp et al., 1983)

Sebanyak 1 gram sampel diekstrak lemaknya lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer, ditambahkan 25 ml larutan buffer Na-fosfat 0.1 M pH 6 dan dibuat menjadi suspensi kemudian aduk. Selanjutnya ditambahkan 0.1 ml enzim termamil, tutup erlenmeyer dengan aluminium foil, dan diinkubasi dalam penangas air bersuhu 100°C selama 15 menit sambil sesekali diaduk.

Sampel diangkat dan didinginkan lalu ditambahkan 20 ml air destilata dan pH diatur menjadi 1.5 dengan menggunakan HCl 4 M. Selanjutnya ditambahkan 100 g enzim pepsin, tutup erlenmeyer dan diinkubasi dalam penangas air bergoyang bersuhu 40°C selama 60 menit. Selanjutnya ditambahkan 20 ml air destilata dan pH diatur menjadi 6.8 dengan menggunakan NaOH kemudian ditambahkan 100 mg enzim pankreatin ditambahkan, tutup erlenmeyer dan diinkubasi dalam penangas air bergoyang bersuhu 40°C selama 60 menit. Atur pH menjadi 4.5 dengan menggunakan HCl. Larutan sampel disaring

P = kadar protein (%)

KA = kadar air (%)

A = kadar abu (%)

L = kadar lemak (%)

Kadar karbohidrat (%) = 100% - (P + KA + A + L)

Energi = (4 kkal/g x kadar karbohidrat) + (4 kkal/g x kadar protein ) + (9 kkal/g x kadar lemak)


(46)

melalui crucible kering yang telah ditimbang beratnya (porositas 2) dan ditambahkan 0.5 gram celite kering (berat tepat diketahui). Pada penyaringan dilakukan pencucian dengan 2 x 10 ml air destilata. 1. Residu (serat tidak larut)

Cuci dengan 2x 10 ml etanol 95% dan 2x 10 ml aseton.

Keringkan pada suhu 1050C sampai mencapai berat konstan

(semalam). Timbang setelah didinginkan dalam desikator (D1).

Abukan pada suhu 5500C selama 5 jam. Timbang setelah

didinginkan dalam desikator (I1). 2. Filtrat (serat larut)

Atur volume filtrat menjadi 100 ml. Tambahkan 400 ml etanol

95% hangat (600C). Biarkan mengendap selama 1 jam. Saring

dengan crucible kering yang telah ditimbang beratnya (porositas 2)

dan ditambahkan 0.5 gram celite kering (berat tepat diketahui). Cuci dengan 2x 10 ml etanol 78%, 2x 10 ml etanol 95% dan 2x 10

ml aseton. Keringkan pada suhu 1050C sampai mencapai berat

konstan (semalam). Timbang setelah didinginkan dalam desikator

(D2). Abukan pada suhu 5500C selama 5 jam. Timbang setelah

didinginkan dalam desikator (I2). 3. Blanko

Blanko untuk serat tidak larut dan serat larut diperoleh dengan cara seperti prosedur untuk sampel tetapi tanpa sampel (B1 dan B2).

Perhitungan:

% serat tidak larut (IDF) = (D1-I1- B1) x 100% Berat sampel

% serat larut (SDF) = (D2-I2- B2) x 100% Berat sampel

% total serat (TDF) = (SDF+IDF) (%) Keterangan:

D = Berat setelah pengeringan (g) I = Berat setelah pengabuan (g)


(47)

h. Daya cerna pati in vitro (Muchtadi et al., 1992 yang dimodifikasi)

Enzim α-amilase dilarutkan di dalam buffer Na-Fosfat 0.05 M.

Pereaksi dinitrosalisilat dibuat dengan melarutkan 1 gram 3,5-dinitrosalisilat, 30 gram Na-K tartarat dan 1,6 gram NaOH dalam 100 ml aquades. Larutan maltosa standar yang digunakan adalah 0-10 mg masing-masing dalam 10 ml aquades.

Sampel tanpa lemak dibuat suspensi dalam aquades (1%), kemudian dipanaskan dalam penangas air selama 30 menit pada suhu

90°C kemudian didinginkan. Sebanyak 2 ml sampel dalam tabung

ditambahkan 3 ml aquades dan 5 ml buffer Na-Fosfat 0.1 M. Lalu

diinkubasikan pada suhu 37°C selama 15 menit. Selanjutnya

ditambahkan larutan enzim amilase dan diinkubasi lagi pada suhu

37°C selama 30 menit.

Sebanyak 1 ml sampel dipipet ke dalam tabung reaksi lain, ditambah 2 ml pereaksi dinitrosalisilat. Lalu dipanaskan pada suhu

100°C selama 10 menit. Warna merah oranye yang tebentuk diukur

absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm. Kadar maltosa campuran reaksi dihitung dengan menggunakan kurva standar maltosa murni yang diperoleh dengan mereaksikan larutan maltosa standar dengan pereaksi dinitrosalisilat menggunakan prosedur seperti di atas.

Blanko dibuat untuk menghitung kadar maltosa awal (bukan hasil hidrolisis enzim). Prosedur pembuatan blanko sama seperti prosedur untuk sampel hanya saja tanpa sampel dan tidak ditambahkan

larutan enzim α-amilase. Sebagai gantinya untuk blanko diganti buffer

Na-fosfat 0.1M pH 7. Daya cerna pati dihitung sebagai berikut:

Keterangan:

a = kadar maltosa sampel b = kadar maltosa blanko sampel c = kadar maltosa pati murni d = kadar maltosa blanko pati murni

Daya cerna pati (%) = a - b 100% c - d×


(48)

i. Kadar amilosa (Metode IRRI, 1964 yang dimodifikasi) Pembuatan kurva standar

Amilosa murni ditimbang sebanyak 40 mg, dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, dan ditambahkan dengan 1ml etanol dan 9 ml NaOH 1 N. Larutan standar didiamkan selama 24 jam dan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades. Selanjutnya larutan tersebut dipipet masing-masing sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 ml lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Ke dalam masing-masing labu takar tersebut ditambahkan asam asetat 1 N sebanyak masing-masing 0.2; 0.4; 0.6; 0.8 dan 1 ml, lalu ditambahkan larutan iod sebanyak 2 ml. Setelah itu, larutan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades, dikocok, lalu didiamkan selama 20 menit, dan diukur intensitas warna yang terbentuk dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm. Penetapan sampel

Sejumlah 100 mg sampel dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, dan ditambahkan 1 ml etanol dan 9 ml NaOH 1 N. Setelah itu, larutan sampel didiamkan selama 24 jam dan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades. Pipet 5 ml larutan tersebut, lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, dan ditambahkan 1 ml asam asetat 1 N dan 2 ml larutan iod. Setelah itu, larutan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades, dikocok, lalu didiamkan selama 20 menit, dan diukur intensitas warna yang terbentuk dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm. Kadar amilosa dapat dihitung dengan rumus:

3. Uji Organoleptik (Soekarto, 1990)

Pengujian organoleptik yang dilakukan adalah berupa pengujian kesukaan inderawi terhadap produk olahan panggang. Pengujian meliputi uji hedonik untuk mengetahui tingkat kesukaan produk dan uji ranking untuk mengetahui formulasi yang paling disukai. Skor penilaian yang digunakan dalam uji hedonik ada 7 tingkat, yaitu 7 = sangat suka, 6 =

Kadar amilosa (%)

(g) sampel berat

0,2 slope

absorban × =


(49)

suka, 5 = agak suka, 4 = netral, 3 = agak tidak suka, 2 = tidak suka, 1 = sangat tidak suka. Pada uji ranking, ranking 1 menunjukkan produk yang paling disukai. Penilaian dilakukan oleh 30 orang panelis tidak terlatih.

Produk yang diujikan adalah produk olahan goreng (kue biji ketapang, donat, dan kue bawang). Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap tingkat kesukaan panelis maka dilakukan analisis sidik ragam terhadap data hasil uji organoleptik. Hasil uji hedonik akan dianalisis dengan analisis sidik ragam (ANOVA), dan dilanjutkan dengan uji Duncan, sedangkan hasil uji rangking akan dianalisis dengan uji Friedman.

4. Analisis Indeks Glikemik (Miller et al., 1996 yang dikutip Rimbawan dan Siagian, 2004)

Setiap porsi sampel yang akan ditentukan IG-nya (mengandung 50 g karbohidrat) diberikan kepada panelis yang telah menjalani puasa penuh (kecuali air) selama semalam (sekitar pukul 20.00 sampai pukul 08.00 pagi besoknya). Panelis yang digunakan ialah individu sehat, tidak menderita diabetes, dan memiliki IMT dengan kisaran normal (18-25).

Panelis yang digunakan berjumlah 16 orang (8 pria dan 8 wanita). Selanjutnya panelis dibagi menjadi dua grup masing-masing 8 orang (4 pria dan 4 wanita) untuk menguji kedua sampel yang berbeda sehingga masing-masing grup mempunyai standar glukosa sendiri. Selama dua jam pasca-pemberian, sampel darah sebanyak 50 μL (finger-prick cappillary blood samples method) diambil setiap 30 menit selama 2 jam untuk diukur kadar glukosanya (pengukuran menit 0, 30, 60, 90 dan ke-120). Pada waktu berlainan, hal yang sama dilakukan dengan memberikan 50 g glukosa murni (sebagai pangan acuan) kepada panelis.

Kadar gula darah (pada setiap waktu pengambilan sampel) ditebar pada dua sumbu, yaitu sumbu waktu (X) dan sumbu kadar gula darah (Y). Indeks glikemik ditentukan dengan membandingkan luas daerah di bawah kurva antara pangan yang diukur IG-nya dengan pangan acuan (glukosa murni).


(50)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. TEPUNG UBI JALAR

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah ubi jalar klon unggul BB00105.10 yang diperoleh dari Kebun Percobaan Muara, Bogor. Tanaman ubi jalar dan umbi ubi jalar klon unggul BB00105.10 dapat dilihat pada Gambar 7. Ubi jalar memiliki karakteristik yaitu kulit berwarna merah berbintik, daging berwarna jingga tua, berbentuk lonjong, dan memiliki berat ± 350 gram. Pemanenan ubi jalar dilakukan setelah ubi berumur lebih dari tiga bulan dan siap panen.

(a) (b) Gambar 7. (a) Tanaman Ubi Jalar; (b) Umbi Ubi Jalar Klon BB00105.10

Tanaman ubi jalar yang telah panen dibuat tepung. Proses pembuatan tepung diawali dengan pembersihan. Proses pembersihan merupakan unit operasi di mana bagian yang dapat mengkontaminasi dibuang atau dipisahkan sehingga bahan pangan dapat diolah lebih lanjut. Proses pembersihan sebaiknya dilakukan di awal proses (Fellows, 2000). Proses pembersihan meliputi pengupasan dan pencucian ubi jalar. Ubi yang telah dikupas, langsung direndam dalam air agar tidak terjadi pencoklatan (browning). Pencoklatan yang terjadi merupakan pencoklatan enzimatis karena adanya enzim fenolase dari getah umbi yang banyak terdapat pada kulit yang menyebabkan pencoklatan pada umbi jika ada luka (William et al., 1982).

Ubi yang telah dibersihkan, selanjutnya disawut (diiris tipis-tipis) dengan slicer dan direndam dalam larutan sodium metabisulfit 0.3% selama


(51)

satu jam. Tujuan perendaman adalah menghambat reaksi browning enzimatis, sehingga warna sawut dan tepung tetap cerah dan sesuai dengan warna bahan baku. Sebelum dikeringkan dengan oven, sawut yang sudah direndam harus ditiriskan dengan mesin peniris. Penirisan bertujuan untuk mengurangi kadar air sehingga pengeringan dengan oven berlangsung lebih cepat. Selain itu, penirisan juga dapat mengurangi kadar senyawa fenol (Suismono, 2001).

Pengeringan sawut menggunakan oven, suhu 60-70˚C selama + 8 jam hingga kadar air mencapai 12 - 14%. Sawut yang telah dikeringkan dengan oven dapat dilihat pada Gambar 8 (a). Sebelum digiling menjadi tepung, sawut kering dikemas dalam kantong plastik dan dikelim (seal) agar sawut kering tidak menyerap air dari udara sekitar. Penepungan dilakukan dengan menggunakan disc mill. Tepung ubi jalar klon BB00105.10 dapat dilihat pada Gambar 8 (b).

Mutu sawut kering, dan tepung dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain kadar air, dan keberadaaan senyawa phenol pada sawut kering dan tepung. Untuk menyeragamkan dan mempertahankan mutu tepung, tepung yang sudah dihasilkan, selanjutnya diayak dengan ayakan berukuran 80 mesh, dan disimpan dalam kantong plastik, dan dikelim (seal). Peralatan yang digunakan dalam pembuatan tepung ubi jalar dapat dilihat pada Gambar 9.

(a) (b) Gambar 8. (a) Sawut Kering; (b) Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10


(52)

(a) (b)

(c) (d) Gambar 9. Peralatan dalam Pembuatan Tepung Ubi Jalar: (a) Mesin

Penyawut; (b) Mesin Peniris; (c) Oven Pengering; (d) Mesin Penepung

B. KARAKTERISTIK FISIKO-KIMIA BAHAN BAKU Karakteristik Fisik Bahan Baku

Analisis sifat fisik yang dilakukan pada tepung ubi jalar adalah berat dapat dimakan, rendemen, densitas kamba, densitas padat, kelarutan dalam air, warna, aw, dan amilograf tepung yang dihasilkan. Hasil analisis sifat fisik


(53)

Tabel 8. Analisis Fisik Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10

No Jenis analisis Rataan

1 Rendemen tepung (%) 28.46

2 Berat yang dapat dimakan (BDD) (%) 83.74

3 Densitas kamba (g/ml) 0.482

4 Densitas padat (g/ml) 0.647

5 Kelarutan dalam air (%) 19.71

6

Warna : L 63.50

a + 5.50

b + 7.40

ho 53.5

7 Aw 0.350

Suhu (oC) 29.6

8

Suhu awal gelatinisasi (oC) 75.3

Waktu awal gelatinisasi (menit) 30.2

Suhu puncak gelatinisasi (oC) 93.6

Waktu puncak gelatinisasi (menit) 42.4

Viskositas (BU) 535

a. Berat yang dapat dimakan (BDD)

Data berat yang dapat dimakan diperoleh dengan membandingkan berat umbi ubi jalar segar tanpa kulit terhadap berat umbi segar dengan kulit yang dinyatakan dalam persen. Berdasarkan hasil analisis, BDD ubi jalar adalah 83.74%. BDD ubi jalar klon BB00105.10 lebih kecil daripada BDD ubi jalar menurut Suismono (2001) yaitu 89.96%. Hal ini kemungkinan terjadi karena BDD ubi jalar yang dilakukan dalam penelitian ini tidak hanya memperhitungkan jumlah kulit yang terbuang saat pengupasan, tapi juga memperhitungkan jumlah daging umbi yang terbuang karena adanya hama (ulat). Ketebalan pengupasan kulit umbi dapat mempengaruhi nilai BDD.

b. Rendemen

Rendemen tepung ubi jalar dihitung berdasarkan perbandingan antara bobot tepung dengan bobot ubi jalar tanpa kulit kemudian dikalikan dengan 100%. Rendemen dapat digunakan sebagai indikasi keefektifan suatu proses maupun bahan baku yang digunakan. Jika rendemen yang dihasilkan besar, maka proses pembuatan produk tersebut semakin efisien. Rendemen tepung ubi jalar klon BB00105.10 adalah 28.46%. Rendemen


(1)

Lampiran 9. Hasil uji hedonik formula donat dengan ANOVA dan uji lanjut Duncan

Univariate Analysis of Variance

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: SKOR

3637.994a 35 103.943 87.117 .000

115.228 29 3.973 3.330 .000

81.828 5 16.366 13.716 .000

173.006 145 1.193

3811.000 180 Source Model PANELIS SAMPEL Error Total

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

R Squared = .955 (Adjusted R Squared = .944) a.

Homogeneous Subsets

SKOR

Duncana,b

30 3.47

30 3.83 3.83

30 4.07 4.07

30 4.43

30 5.00

30 5.43

.196 .409 .196 .127

SAMPEL 5 1 3 6 4 2 Sig.

N 1 2 3 4

Subset

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 1.193. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. a.

Alpha = .05. b.

Lampiran 10. Hasil uji ranking formula donat dengan Friedman Test

Friedman Test

Ranks 4.47 1.83 3.67 2.73 5.00 3.30 SKOR_1 SKOR_2 SKOR_3 SKOR_4 SKOR_5 SKOR_6 Mean Rank

Test Statisticsa

30 56.724 5 .000 N Chi-Square df Asymp. Sig. Friedman Test a.


(2)

Lampiran 11. Hasil uji hedonik formula kue bawang dengan ANOVA dan uji lanjut Duncan

Univariate Analysis of Variance

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: SKOR

4385.394a 35 125.297 90.117 .000

104.028 29 3.587 2.580 .000

27.894 5 5.579 4.012 .002

201.606 145 1.390

4587.000 180 Source Model PANELIS SAMPEL Error Total

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

R Squared = .956 (Adjusted R Squared = .945) a.

Homogeneous Subsets

SKOR Duncana,b 30 4.03 30 4.87 30 4.90 30 4.97 30 5.17 30 5.23 1.000 .292 SAMPEL 5 6 3 1 2 4 Sig.

N 1 2

Subset

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 1.390. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. a.

Alpha = .05. b.

Lampiran 12. Hasil uji ranking formula kue bawang dengan Friedman Test

Friedman Test

Ranks 3.20 3.17 3.23 2.93 4.60 3.87 SKOR_1 SKOR_2 SKOR_3 SKOR_4 SKOR_5 SKOR_6 Mean Rank


(3)

Lampiran 13. Analisis Fisik Produk Olahan Goreng Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10

Sampel Rendemen (%) Kekerasan (gf)

1 2 rataan 1 2 rataan

Biji ketapang 98.29 98.02 98.15 1648 1598 1623

Donat 99.80 99.50 99.65 2945 2843 2894

Kue bawang 97.34 95.79 96.56 636 586 611

Lampiran 14. Analisis Kimia Produk Olahan Goreng Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10

Sampel Kadar air (% bb) Kadar abu (% bb) Protein (% bb) Lemak (% bb) Karbohidrat (% bb) 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 Rataan Biji ketapang 3.67 3.09 3.38 1.16 1.09 1.12 5.40 5.15 5.27 29.63 32.55 31.09 60.14 58.13 59.14 Donat 21.96 20.70 21.33 1.00 1.04 1.02 6.05 6.80 6.43 19.51 13.04 16.27 51.48 58.43 54.95 Kue bawang 2.03 1.92 1.97 2.11 2.16 2.14 4.41 4.40 4.41 29.60 29.92 29.76 61.85 61.60 61.72

Sampel Daya cerna pati (%) Kadar amilosa Serat makanan tidak larut (%)

Serat makanan larut (%)

Total serat makanan (%) 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 Rataan Biji ketapang 57.50 56.61 57.05 15.40 15.36 15.38 4.19 4.38 4.29 2.91 2.60 2.76 7.10 6.99 7.04 Donat 68.54 69.56 69.05 18.94 20.64 19.79 2.81 3.08 2.94 3.24 3.64 3.44 6.05 6.72 6.39 Kue bawang 63.00 71.51 67.26 20.70 21.19 20.94 3.04 3.35 3.20 4.64 4.71 4.68 7.68 8.06 7.87


(4)

Lampiran 15. Rekapitulasi Indeks Glikemik Kue Biji Ketapang

Panelis

Glukosa Kue Biji Ketapang

Indeks Glikemik Waktu

Luas Waktu Luas

0 30 60 90 120 0 30 60 90 120

1 89 119 134 121 101 3390 91 140 95 91 113 1920 57

2 88 147 142 83 63 3309 88 120 124 97 85 2274 69

3 85 133 123 93 90 2895 85 110 85 97 95 1260 44

4 86 138 165 160 96 6300 81 126 117 99 82 2985 47

5 84 138 109 65 76 2207,5 86 108 99 88 96 1260 57

6 86 148 150 117 102 4950 88 137 107 101 98 2580 52

7 88 148 143 124 108 4830 89 113 98 93 101 1290 27

8 88 138 127 116 115 3915 81 108 85 96 100 1665 43

Indeks Glikemik Total 49 + 12

Lampiran 16. Rekapitulasi Indeks Glikemik Kue Bawang

Panelis

Glukosa Kue Bawang

Indeks Glikemik Waktu

Luas Waktu Luas

0 30 60 90 120 0 30 60 90 120

1 82 122 115 101 94 2940 84 92 96 91 95 975 33

2 94 144 133 105 74 2890 98 120 103 98 108 960 33

3 94 130 128 100 95 2295 91 117 94 91 87 867 38

4 90 133 131 123 100 3660 81 104 95 93 95 1680 46

5 87 146 161 159 123 6690 81 103 96 99 99 1920 29

6 87 134 127 114 102 3645 89 106 101 98 104 1365 37

7 82 166 164 136 97 6825 79 106 92 86 96 1665 24

8 79 128 109 107 94 3435 88 96 97 97 90 810 24


(5)

Lampiran 17. Resep Kue Biji Ketapang Ubi Jalar Bahan : 37.5 gram tepung terigu

87.5 gram tepung ubi jalar 37.5 gram gula pasir

Kelapa parut digongseng, lalu ditumbuk 1 butir telur

Cara membuat :

1. Campur tepung terigu, dan tepung ubi jalar, aduk rata

2. Kocok telur dan gula hingga gula larut, masukkan kelapa parut, kocok hingga rata 3. Masukkan campuran telur ke dalam campuran tepung, aduk rata

4. Tambahkan air sedikit demi sedikit sambil diuleni hingga kalis 5. Pulung adonan lalu potong miring 1 cm

6. Goreng hingga kuning kecoklatan

Lampiran 18. Resep Donat Ubi Jalar Bahan : 175 gram tepung terigu

75 gram tepung ubi jalar 40 gram gula

50 gram margarin ½ sdm ragi

1 butir kuning telur ½ sdt baking powder 1 sdt pelembut

Cara membuat :

1. Campur tepung terigu, tepung ubi jalar, gula, ragi, baking powder, dan pelembut, aduk rata

2. Masukkan margarin, aduk rata 3. Masukkan telur, aduk rata

4. Tambahkan air sedikit demi sedikit sambil diuleni hingga kalis 5. Tutup adonan dengan lap basah dan diamkan selama 20 menit 6. Bagi adonan menjadi beberapa bagian dan dibentuk donat 7. Goreng dengan api kecil


(6)

Lampiran 19. Resep Kue Bawang Ubi Jalar Bahan : 50 gram tepung terigu

50 gram tepung ubi jalar 10 gram margarin 2 gram garam

bawang merah dihaluskan daun seledri secukupnya Air

Cara membuat :

1. Campur tepung terigu, tepung ubi jalar, margarin, garam. Masukkan bawang merah yang sudah dihaluskan, aduk sampai rata

2. Tambahkan air sedikit demi sedikit sambil diuleni hingga adonan kalis 3. Gilas adonan dengan mesin pembuat mie hingga membentuk lembaran tipis 4. Potong adonan dengan panjang 5 – 6 cm