Sifat Fisiko-Kimia Dan Indeks Glikemik Produk Cookies Berbahan Baku Pati Garut (Maranta Arundinacea L.) Termodifikasi

(1)

SKRIPSI

SIFAT FISIKO-KIMIA DAN INDEKS GLIKEMIK PRODUK COOKIES BERBAHAN BAKU

PATI GARUT (Maranta arundinacea L.) TERMODIFIKASI

HARIST GUSTIAR F24051902

2009

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

SIFAT FISIKO-KIMIA DAN INDEKS GLIKEMIK PRODUK COOKIES BERBAHAN BAKU

PATI GARUT (Maranta arundinacea L.) TERMODIFIKASI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh:

HARIST GUSTIAR F24051902

2009

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN SIFAT FISIKO-KIMIA DAN INDEKS GLIKEMIK

PRODUK COOKIES BERBAHAN BAKU

PATI GARUT (Maranta arundinacea L.) TERMODIFIKASI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

HARIST GUSTIAR F24051902

Dilahirkan pada tanggal 06 Agustus 1987 di Tangerang

Tanggal lulus :

Menyetujui, Bogor, 19 Mei 2009

Didah Nur Faridah STP, M.Si

Dosen Pembimbing

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc


(4)

Harist Gustiar. F24051902. Physico-chemical Properties and Glycemic Index of Cookies from Modified Arrowroot (Maranta arundinacea L.) Starch . Under supervision of Didah Nur Faridah, STP., M.Si.

ABSTRACT

The objective of this research was to make the cookies from modified arrowroot starch which have high resistant starch content, so that it can be used as functional food which have low glycemic index. The research consisted of three steps: arrowroot extraction, starch modification, and cookies making. The extraction of arrowroot produced 15.69% starch. Starch modification by autoclaving-cooling cycles was run in 3 cycles with 15 minutes gelatinization period in each cycle. Then, modified arrowroot starch was used as main ingredient in the making of cookies. Cookies from wheat were also made as comparison. Physical properties analyzed were breaking strength, color degree, and water activity. Chemical properties analyzed were proximate analysis, starch digestibility, amylose content, starch content, resistant starch content, and total dietary fiber content. Glycemic index was also analyzed for cookies from modified arrowroot starch and cookies from wheat.

Breaking strength of cookies as measured by Texture Analyzer XT-21 showed that the force required to break the cookies significantly decreased with substitutions of wheat with modified arrowroot starch. The use of modified arrowroot starch resulted in the increase of amylose content, total dietary fiber content, and resistant starch content of cookies. It also could reduce starch digestibility of cookies. The glycemic index of cookies from modified arrowroot starch was 31. This value was lower than glycemic index of cookies from wheat that was 44. This was because higher amylose content, total dietary fiber content, and resistant starch content and lower starch digestibility of cookies from modified arrowroot starch than cookies from wheat. It means that the use of modified arrowroot starch as main ingredient in the making of cookies can decrease glycemic index of cookies.

Keywords : cookies from modified arrowroot starch, resistant starch, and glycemic index


(5)

Harist Gustiar. F24051902. Sifat Fisiko-Kimia dan Indeks Glikemik Produk Cookies Berbahan Baku Pati Garut (Maranta arundinacea L.) Termodifikasi Di bawah bimbingan Didah Nur Faridah, STP., M.Si.

RINGKASAN

Orang-orang yang bijaksana sering mengatakan bahwa "kesehatan adalah harta yang paling berharga dalam hidup ini". Sehat dan bugar adalah dua kunci yang sebaiknya dimiliki oleh setiap orang agar hidup ini menjadi lebih bermakna. Untuk mewujudkannya antara lain dapat dilakukan melalui pengaturan pola makan. Sekarang ini, pangan fungsional sedang digemari oleh masyarakat. Pangan fungsional adalah pangan yang secara alamiah maupun yang telah melalui proses pengolahan mengandung satu atau lebih yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan, disajikan dan dikonsumsi layaknya makanan atau minuman dan memiliki karakteristik seperti penampakan, warna, tekstur atau konsistensi, dan citarasa yang dapat diterima konsumen.

Kelompok yang membutuhkan pangan fungsional yang memiliki indeks glikemik (IG) yang rendah diantaranya adalah penderita diabetes mellitus, penderita obesitas, dan orang-orang yang sedang diet. Beberapa hasil penelitian telah melaporkan bahwa pati termodifikasi dapat memiliki daya cerna pati yang rendah dan resistant starch (RS) yang tinggi sehingga dapat dimanfaatkan dalam pembuatan pangan fungsional dengan nilai IG rendah. Selain itu, kandungan serat pangan baik larut maupun tidak larut dalam bahan pangan dapat menurunkan nilai IG pangan. Hal ini disebabkan oleh kemampuannya dalam menghambat penyerapan glukosa hasil hidrolisis pati. Umbi yang berpotensi untuk diolah menjadi pati termodifikasi adalah umbi garut (Maranta arundinacea L.).

Tujuan dari penelitian ini adalah pembuatan cookies dari pati garut termodifikasi yang kaya akan kandungan RS serta kajian sifat fisiko-kimia dan indeks glikemik cookies, sehingga dapat dijadikan sebagai pangan fungsional yang memiliki indeks glikemik yang rendah.

Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, yaitu tahap pertama berupa ekstraksi pati garut, tahap kedua berupa modifikasi pati garut untuk mendapatkan pati resisten tipe III, dan tahapan ketiga adalah pembuatan cookies dari 100% pati garut termodifikasi (PGT). Analisis yang dilakukan adalah analisis fisik, organoleptik, dan indeks glikemik untuk cookies terigu dan cookies PGT, analisis proksimat, total pati, kadar amilosa, kadar serat pangan total, serta kadar pati resisten untuk sampel terigu, pati garut, PGT, cookies terigu, dan cookies PGT.

Hasil analisis fisik berupa kekerasan, derajat warna, dan aktifitas air berturut-turut sebesar 412.7 gram force (gf), L = 69.816 ; a = +17.616 ; b = +30.018 dan oHue = 59.594 atau berwarna kuning merah, serta 0.487 untuk cookies terigu dan cookies PGT sebesar 56.45 gram force (gf), L = 60.255 ; a = +0.625 ; b = +24.332 dan oHue = 88.592 atau berwarna kuning merah, serta 0.398.

Analisis kimia pada terigu, pati garut, PGT, cookies terigu, dan cookies PGT yaitu kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat masing-masing sebesar 12.20% (bb), 0.74% (bk), 11.00% (bk), 1.58% (bk), dan 86.68% (bk) untuk terigu,


(6)

11.48% (bb), 0.34% (bk), 0.24% (bk), 0.68% (bk), dan 98.74% (bk) untuk pati garut, 11.98% (bb), 0.36% (bk), 0.52% (bk), 0.80% (bk), dan 98.32% (bk) untuk PGT, 4.82% (bb), 1.59% (bk), 5.86% (bk), 26.48% (bk), dan 66.07% (bk) untuk cookies terigu, dan 3.82% (bb), 1.47% (bk), 2.71% (bk), 23.66% (bk), dan 72.16% (bk) untuk cookies PGT. Berdasarkan hasil analisis proksimat dapat dihitung nilai energi per 100 gram cookies. Cookies terigu memiliki nilai energi sebesar 501 kkal per 100 gram. Sedangkan nilai energi cookies PGT sebesar 493 kkal per 100 gram.

Analisis kimia berupa analisis total pati, kadar amilosa : amilopektin, daya cerna pati, kadar serat pangan total, serta kadar pati resisten berturut-turut sebesar 73.09% (bk), 4.70% : 68.39% (bk), 19.71% pati, 4.95% (bk), dan 3.37% (bk) untuk terigu, 81.86% (bk), 18.66% : 76.23% (bk), 84.35% pati, 2.74% (bk), dan 1.64% (bk) untuk pati garut, 89.22% (bk), 18.69% : 75.87% (bk), 26.88% pati, 6.43% (bk), dan 4.64% (bk) untuk PGT, 52.70% (bk), 2.07% : 50.63% (bk), 15.53% pati, 3.80% (bk), dan 2.97% (bk) untuk cookies terigu, dan 57.43% (bk), 2.69% : 54.74% (bk), 7.27% pati, 5.21% (bk), dan 4.28% (bk) untuk cookies PGT.

Nilai IG untuk cookies PGT sebesar 31. Nilai ini lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai IG cookies terigu yang sebesar 44. Hal ini disebabkan lebih tingginya kandungan amilosa, serat pangan total, dan RS, serta lebih rendahnya daya cerna cookies PGT dibandingkan dengan cookies terigu. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan PGT sebagai bahan baku dalam pembuatan cookies dapat menurunkan nilai IG cookies.


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 6 Agustus 1987 di Tangerang. Penulis adalah putra dari pasangan Bapak Supardi (Alm) dan Ibu Mursila (Alm), merupakan anak ketujuh dari delapan bersaudara.

Penulis menempuh pendidikan di pendidikan sekolah dasar di SD Negeri Cimone 2 pada tahun 1993-1999, pendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama di SLTP Negeri 8 Tangerang pada tahun 1999-2002, dan pendidikan sekolah lanjutan tingkat atas di SMU Negeri 2 Tangerang pada tahun 2002-2005. Pada tahun 2005, penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor yang diterima melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa baru) dan pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian.

Selama kuliah di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, penulis terlibat dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (BEM-F) sebagai Kepala Departemen Hubungan Eksternal dan Food Processing Club sebagai kordinator bidang Es Krim. Penulis terlibat dalam beberapa kepanitian yang diselenggarakan oleh HIMITEPA (Himpunanan Mahasiswa Teknologi Pangan, seperti Suksesi HIMITEPA, HACCP V, dan BAUR 2007, BEM-F, seperti MPF (Masa Perkenalan Fakultas) Fakultas Teknologi Pertanian tahun 2007, Lomba Essay Nasional, dan 3on3 Basketball Competition, serta kepanitiaan yang diselenggarakan oleh BEM KM (Keluarga Mahasiswa) IPB, seperti Olimpiade Mahasiswa IPB tahun 2007.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis menyusun skripsi setelah melakukan penelitian di Techno-Park dan laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA, IPB mulai bulan Juni 2008 sampai bulan Februari 2009, dengan judul “Sifat Fisiko-Kimia dan Indeks Glikemik Produk Cookies Berbahan Baku Pati Garut (Maranta arundinacea L.) Termodifikasi” yang mendapat dana dari Dikti melalui Program Penelitian Hibah Bersaing LPPM IPB di bawah bimbingan Didah Nur Faridah, STP., M.Si


(8)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wata`ala karena atas limpahan rahmat dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Sifat Fisiko-Kimia dan Indeks Glikemik Produk Cookies Berbahan Baku Pati Garut (Maranta arundinacea L.) Termodifikasi. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Tulisan ini merupakan laporan penelitian yang telah dilakukan penulis di Techno-Park dan Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Keluargaku tercinta: (Alm) Papa dan (Alm) Mama, serta kakak-kakakku dan

adikku yang selalu memberikan doa, kasih sayang, nasihat, dan motivasi tiada henti.

2. Ibu Didah Nur Faridah STP, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberi bimbingan, bantuan, serta nasehat kepada penulis selama perkuliahan, penelitian, dan penyelesaian tugas akhir.

3. Ibu Dr. Ir. Endang Prangdimurti M.Si dan Ibu Dian Herawati, STP. atas saran dan kesediannya menjadi dosen penguji.

4. Ibu Dra. Waysima, M.Si atas bantuan, nasihat, dan dukungannya selama ini. 5. Seluruh Staf pengajar di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB yang

telah membagi ilmunya kepada penulis, semoga ilmu yang diberikan menjadi ilmu yang bermanfaat.

6. Semua teknisi dan laboran Departemen ITP dan Techno-Park: Pak Wahid, Pak Gatot, Pak Rojak, Pak Sobirin, Bu Rubiah, Mas Edi, Pak Iyas, Pak Nur, Pak Basri terima kasih atas bantuan, saran, dan kerja samanya selama penulis melakukan penelitian.

7. Dikti melalui LPPM IPB yang telah mendanai penelitian ini melalui Program Penelitian Hibah Bersaing.


(9)

9. Rekan satu proyek, Sobur. Terima kasih atas bantuan yang telah diberikan. 10.Sahabat-sahabatku ITP 42: Ririn, Gia, geng centil (Canny, Wita, Yuni, Yelita,

Sina), Fahmi, Tyu, Achid, Py, Rino, Riska, Atus, Nina SR, Didot, Galih N, Kamlit, Tuti, Siyam, anak bimbingku (Yusi, Dina, dan Ester), Shita, Suhendri, Galih N, Dilla, geng komak (Anjun, Ella, Achuy, dan Sri), serta anak ITP 42 yang lain yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu. Terima kasih selalu mau berbagi kebersamaan, keceriaan, kesedihan, serta terima kasih untuk tiap doa kesuksesannya.

11.Rekan-rekan di BEM-F: Fitrah, Indra, Amel, Puthe, para pimpinan BEM periode 2008/2009, dan divisi Hubungan eksternal (Kochan, Torik, Pitta, Jawa, Agus, Muthi, Aria, Devina, Gaby, dan Aieph). Terima kasih atas kerja sama, dukungan, dan kebersamaannya selama ini.

12.Sahabat2ku Nisa, Panji, Nur Is, Angga, Egy, Nasrul, M, Anto, Febi, Abi, Nana, dan Ardi. Terima kasih atas bantuan dan kebersamaannya selama di IPB.

13.Panelis IG yang tergabung dalam IG Management (Nanda, Achid, Midun, Fera, Wiwi, Icha, Ike, Haris, Mbak Yuli, dan Mbak Siti).

14.Keluarga besar TPG/ ITP angkatan 41, 43, dan 44 atas kebersamaannya selama ini. Semoga persahabatan kita tidak akan pernah hilang.

15.Sahabat2ku di SMA: Ipul, Royhan, Aji, Marendy, Satria, Rully, Idham, Dita, Dimas Kecil, Dimas ndut, Ndet, Riska, Eka, Nisa, Mahendra, Yuniar, Irwan, Adam, Dhorif, Budi, Niken, Presti, Armanda, dan Wahyu L. Terima kasih atas kebersamaannya selama ini.

16.Serta semua pihak yang telah membantu penulis semenjak kuliah sampai penulisan skripsi ini, yang tidak bisa penulis tuliskan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik bagi perbaikan selanjutnya. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca dan menjadi amal shalih bagi penulis.


(10)

(11)

SKRIPSI

SIFAT FISIKO-KIMIA DAN INDEKS GLIKEMIK PRODUK COOKIES BERBAHAN BAKU

PATI GARUT (Maranta arundinacea L.) TERMODIFIKASI

HARIST GUSTIAR F24051902

2009

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

SIFAT FISIKO-KIMIA DAN INDEKS GLIKEMIK PRODUK COOKIES BERBAHAN BAKU

PATI GARUT (Maranta arundinacea L.) TERMODIFIKASI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh:

HARIST GUSTIAR F24051902

2009

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(13)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN SIFAT FISIKO-KIMIA DAN INDEKS GLIKEMIK

PRODUK COOKIES BERBAHAN BAKU

PATI GARUT (Maranta arundinacea L.) TERMODIFIKASI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

HARIST GUSTIAR F24051902

Dilahirkan pada tanggal 06 Agustus 1987 di Tangerang

Tanggal lulus :

Menyetujui, Bogor, 19 Mei 2009

Didah Nur Faridah STP, M.Si

Dosen Pembimbing

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc


(14)

Harist Gustiar. F24051902. Physico-chemical Properties and Glycemic Index of Cookies from Modified Arrowroot (Maranta arundinacea L.) Starch . Under supervision of Didah Nur Faridah, STP., M.Si.

ABSTRACT

The objective of this research was to make the cookies from modified arrowroot starch which have high resistant starch content, so that it can be used as functional food which have low glycemic index. The research consisted of three steps: arrowroot extraction, starch modification, and cookies making. The extraction of arrowroot produced 15.69% starch. Starch modification by autoclaving-cooling cycles was run in 3 cycles with 15 minutes gelatinization period in each cycle. Then, modified arrowroot starch was used as main ingredient in the making of cookies. Cookies from wheat were also made as comparison. Physical properties analyzed were breaking strength, color degree, and water activity. Chemical properties analyzed were proximate analysis, starch digestibility, amylose content, starch content, resistant starch content, and total dietary fiber content. Glycemic index was also analyzed for cookies from modified arrowroot starch and cookies from wheat.

Breaking strength of cookies as measured by Texture Analyzer XT-21 showed that the force required to break the cookies significantly decreased with substitutions of wheat with modified arrowroot starch. The use of modified arrowroot starch resulted in the increase of amylose content, total dietary fiber content, and resistant starch content of cookies. It also could reduce starch digestibility of cookies. The glycemic index of cookies from modified arrowroot starch was 31. This value was lower than glycemic index of cookies from wheat that was 44. This was because higher amylose content, total dietary fiber content, and resistant starch content and lower starch digestibility of cookies from modified arrowroot starch than cookies from wheat. It means that the use of modified arrowroot starch as main ingredient in the making of cookies can decrease glycemic index of cookies.

Keywords : cookies from modified arrowroot starch, resistant starch, and glycemic index


(15)

Harist Gustiar. F24051902. Sifat Fisiko-Kimia dan Indeks Glikemik Produk Cookies Berbahan Baku Pati Garut (Maranta arundinacea L.) Termodifikasi Di bawah bimbingan Didah Nur Faridah, STP., M.Si.

RINGKASAN

Orang-orang yang bijaksana sering mengatakan bahwa "kesehatan adalah harta yang paling berharga dalam hidup ini". Sehat dan bugar adalah dua kunci yang sebaiknya dimiliki oleh setiap orang agar hidup ini menjadi lebih bermakna. Untuk mewujudkannya antara lain dapat dilakukan melalui pengaturan pola makan. Sekarang ini, pangan fungsional sedang digemari oleh masyarakat. Pangan fungsional adalah pangan yang secara alamiah maupun yang telah melalui proses pengolahan mengandung satu atau lebih yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan, disajikan dan dikonsumsi layaknya makanan atau minuman dan memiliki karakteristik seperti penampakan, warna, tekstur atau konsistensi, dan citarasa yang dapat diterima konsumen.

Kelompok yang membutuhkan pangan fungsional yang memiliki indeks glikemik (IG) yang rendah diantaranya adalah penderita diabetes mellitus, penderita obesitas, dan orang-orang yang sedang diet. Beberapa hasil penelitian telah melaporkan bahwa pati termodifikasi dapat memiliki daya cerna pati yang rendah dan resistant starch (RS) yang tinggi sehingga dapat dimanfaatkan dalam pembuatan pangan fungsional dengan nilai IG rendah. Selain itu, kandungan serat pangan baik larut maupun tidak larut dalam bahan pangan dapat menurunkan nilai IG pangan. Hal ini disebabkan oleh kemampuannya dalam menghambat penyerapan glukosa hasil hidrolisis pati. Umbi yang berpotensi untuk diolah menjadi pati termodifikasi adalah umbi garut (Maranta arundinacea L.).

Tujuan dari penelitian ini adalah pembuatan cookies dari pati garut termodifikasi yang kaya akan kandungan RS serta kajian sifat fisiko-kimia dan indeks glikemik cookies, sehingga dapat dijadikan sebagai pangan fungsional yang memiliki indeks glikemik yang rendah.

Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, yaitu tahap pertama berupa ekstraksi pati garut, tahap kedua berupa modifikasi pati garut untuk mendapatkan pati resisten tipe III, dan tahapan ketiga adalah pembuatan cookies dari 100% pati garut termodifikasi (PGT). Analisis yang dilakukan adalah analisis fisik, organoleptik, dan indeks glikemik untuk cookies terigu dan cookies PGT, analisis proksimat, total pati, kadar amilosa, kadar serat pangan total, serta kadar pati resisten untuk sampel terigu, pati garut, PGT, cookies terigu, dan cookies PGT.

Hasil analisis fisik berupa kekerasan, derajat warna, dan aktifitas air berturut-turut sebesar 412.7 gram force (gf), L = 69.816 ; a = +17.616 ; b = +30.018 dan oHue = 59.594 atau berwarna kuning merah, serta 0.487 untuk cookies terigu dan cookies PGT sebesar 56.45 gram force (gf), L = 60.255 ; a = +0.625 ; b = +24.332 dan oHue = 88.592 atau berwarna kuning merah, serta 0.398.

Analisis kimia pada terigu, pati garut, PGT, cookies terigu, dan cookies PGT yaitu kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat masing-masing sebesar 12.20% (bb), 0.74% (bk), 11.00% (bk), 1.58% (bk), dan 86.68% (bk) untuk terigu,


(16)

11.48% (bb), 0.34% (bk), 0.24% (bk), 0.68% (bk), dan 98.74% (bk) untuk pati garut, 11.98% (bb), 0.36% (bk), 0.52% (bk), 0.80% (bk), dan 98.32% (bk) untuk PGT, 4.82% (bb), 1.59% (bk), 5.86% (bk), 26.48% (bk), dan 66.07% (bk) untuk cookies terigu, dan 3.82% (bb), 1.47% (bk), 2.71% (bk), 23.66% (bk), dan 72.16% (bk) untuk cookies PGT. Berdasarkan hasil analisis proksimat dapat dihitung nilai energi per 100 gram cookies. Cookies terigu memiliki nilai energi sebesar 501 kkal per 100 gram. Sedangkan nilai energi cookies PGT sebesar 493 kkal per 100 gram.

Analisis kimia berupa analisis total pati, kadar amilosa : amilopektin, daya cerna pati, kadar serat pangan total, serta kadar pati resisten berturut-turut sebesar 73.09% (bk), 4.70% : 68.39% (bk), 19.71% pati, 4.95% (bk), dan 3.37% (bk) untuk terigu, 81.86% (bk), 18.66% : 76.23% (bk), 84.35% pati, 2.74% (bk), dan 1.64% (bk) untuk pati garut, 89.22% (bk), 18.69% : 75.87% (bk), 26.88% pati, 6.43% (bk), dan 4.64% (bk) untuk PGT, 52.70% (bk), 2.07% : 50.63% (bk), 15.53% pati, 3.80% (bk), dan 2.97% (bk) untuk cookies terigu, dan 57.43% (bk), 2.69% : 54.74% (bk), 7.27% pati, 5.21% (bk), dan 4.28% (bk) untuk cookies PGT.

Nilai IG untuk cookies PGT sebesar 31. Nilai ini lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai IG cookies terigu yang sebesar 44. Hal ini disebabkan lebih tingginya kandungan amilosa, serat pangan total, dan RS, serta lebih rendahnya daya cerna cookies PGT dibandingkan dengan cookies terigu. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan PGT sebagai bahan baku dalam pembuatan cookies dapat menurunkan nilai IG cookies.


(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 6 Agustus 1987 di Tangerang. Penulis adalah putra dari pasangan Bapak Supardi (Alm) dan Ibu Mursila (Alm), merupakan anak ketujuh dari delapan bersaudara.

Penulis menempuh pendidikan di pendidikan sekolah dasar di SD Negeri Cimone 2 pada tahun 1993-1999, pendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama di SLTP Negeri 8 Tangerang pada tahun 1999-2002, dan pendidikan sekolah lanjutan tingkat atas di SMU Negeri 2 Tangerang pada tahun 2002-2005. Pada tahun 2005, penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor yang diterima melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa baru) dan pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian.

Selama kuliah di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, penulis terlibat dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (BEM-F) sebagai Kepala Departemen Hubungan Eksternal dan Food Processing Club sebagai kordinator bidang Es Krim. Penulis terlibat dalam beberapa kepanitian yang diselenggarakan oleh HIMITEPA (Himpunanan Mahasiswa Teknologi Pangan, seperti Suksesi HIMITEPA, HACCP V, dan BAUR 2007, BEM-F, seperti MPF (Masa Perkenalan Fakultas) Fakultas Teknologi Pertanian tahun 2007, Lomba Essay Nasional, dan 3on3 Basketball Competition, serta kepanitiaan yang diselenggarakan oleh BEM KM (Keluarga Mahasiswa) IPB, seperti Olimpiade Mahasiswa IPB tahun 2007.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis menyusun skripsi setelah melakukan penelitian di Techno-Park dan laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA, IPB mulai bulan Juni 2008 sampai bulan Februari 2009, dengan judul “Sifat Fisiko-Kimia dan Indeks Glikemik Produk Cookies Berbahan Baku Pati Garut (Maranta arundinacea L.) Termodifikasi” yang mendapat dana dari Dikti melalui Program Penelitian Hibah Bersaing LPPM IPB di bawah bimbingan Didah Nur Faridah, STP., M.Si


(18)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wata`ala karena atas limpahan rahmat dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Sifat Fisiko-Kimia dan Indeks Glikemik Produk Cookies Berbahan Baku Pati Garut (Maranta arundinacea L.) Termodifikasi. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Tulisan ini merupakan laporan penelitian yang telah dilakukan penulis di Techno-Park dan Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Keluargaku tercinta: (Alm) Papa dan (Alm) Mama, serta kakak-kakakku dan

adikku yang selalu memberikan doa, kasih sayang, nasihat, dan motivasi tiada henti.

2. Ibu Didah Nur Faridah STP, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberi bimbingan, bantuan, serta nasehat kepada penulis selama perkuliahan, penelitian, dan penyelesaian tugas akhir.

3. Ibu Dr. Ir. Endang Prangdimurti M.Si dan Ibu Dian Herawati, STP. atas saran dan kesediannya menjadi dosen penguji.

4. Ibu Dra. Waysima, M.Si atas bantuan, nasihat, dan dukungannya selama ini. 5. Seluruh Staf pengajar di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB yang

telah membagi ilmunya kepada penulis, semoga ilmu yang diberikan menjadi ilmu yang bermanfaat.

6. Semua teknisi dan laboran Departemen ITP dan Techno-Park: Pak Wahid, Pak Gatot, Pak Rojak, Pak Sobirin, Bu Rubiah, Mas Edi, Pak Iyas, Pak Nur, Pak Basri terima kasih atas bantuan, saran, dan kerja samanya selama penulis melakukan penelitian.

7. Dikti melalui LPPM IPB yang telah mendanai penelitian ini melalui Program Penelitian Hibah Bersaing.


(19)

9. Rekan satu proyek, Sobur. Terima kasih atas bantuan yang telah diberikan. 10.Sahabat-sahabatku ITP 42: Ririn, Gia, geng centil (Canny, Wita, Yuni, Yelita,

Sina), Fahmi, Tyu, Achid, Py, Rino, Riska, Atus, Nina SR, Didot, Galih N, Kamlit, Tuti, Siyam, anak bimbingku (Yusi, Dina, dan Ester), Shita, Suhendri, Galih N, Dilla, geng komak (Anjun, Ella, Achuy, dan Sri), serta anak ITP 42 yang lain yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu. Terima kasih selalu mau berbagi kebersamaan, keceriaan, kesedihan, serta terima kasih untuk tiap doa kesuksesannya.

11.Rekan-rekan di BEM-F: Fitrah, Indra, Amel, Puthe, para pimpinan BEM periode 2008/2009, dan divisi Hubungan eksternal (Kochan, Torik, Pitta, Jawa, Agus, Muthi, Aria, Devina, Gaby, dan Aieph). Terima kasih atas kerja sama, dukungan, dan kebersamaannya selama ini.

12.Sahabat2ku Nisa, Panji, Nur Is, Angga, Egy, Nasrul, M, Anto, Febi, Abi, Nana, dan Ardi. Terima kasih atas bantuan dan kebersamaannya selama di IPB.

13.Panelis IG yang tergabung dalam IG Management (Nanda, Achid, Midun, Fera, Wiwi, Icha, Ike, Haris, Mbak Yuli, dan Mbak Siti).

14.Keluarga besar TPG/ ITP angkatan 41, 43, dan 44 atas kebersamaannya selama ini. Semoga persahabatan kita tidak akan pernah hilang.

15.Sahabat2ku di SMA: Ipul, Royhan, Aji, Marendy, Satria, Rully, Idham, Dita, Dimas Kecil, Dimas ndut, Ndet, Riska, Eka, Nisa, Mahendra, Yuniar, Irwan, Adam, Dhorif, Budi, Niken, Presti, Armanda, dan Wahyu L. Terima kasih atas kebersamaannya selama ini.

16.Serta semua pihak yang telah membantu penulis semenjak kuliah sampai penulisan skripsi ini, yang tidak bisa penulis tuliskan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik bagi perbaikan selanjutnya. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca dan menjadi amal shalih bagi penulis.


(20)

(21)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iii

DAFTAR GAMBAR... vi

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN... 1

A. LATAR BELAKANG... 1

B. TUJUAN PENELITIAN... 3

C. MANFAAT PENELITIAN ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. UMBI GARUT ... 4

1. Botani Umbi Garut... 4

2. Pati Garut ... 5

a. Karakteristik Kimia... 6

b. Karakteristik Fisik ... 9

c. Bentuk Granula Pati... 11

B. SERAT PANGAN ... 12

C. PATI RESISTEN ... 13

D. COOKIES... 15

1. Bahan Pembuat Cookies ... 16

E. INDEKS GLIKEMIK... 18

F. DIABETES MELLITUS ... 20

III. METODE PENELITIAN ... 22

A. BAHAN DAN ALAT ... 22

B. METODE ... 22

1. Tahap Pembuatan Pati Garut... 23

2. Pembuatan Pati Garut Termodifikasi ... 23

3. Pembuatan Cookies... 25

C. METODE ANALISIS ... 26


(22)

a. Uji Kekerasan ... 26 b. Derajat Warna ... 27 c. Uji Aktivitas Air ... 27 2. Analisis Kimia... 28 a. Kadar Air... 28 b. Kadar Abu ... 28 c. Kadar Protein Metode Kjeldahl... 29 d. Kadar Lemak Metode Soxhlet ... 29 e. Kadar Karbohidrat by difference... 30 f. Analisis Nilai Energi... 30 g. Uji Organoleptik... 30 h. Kadar Pati Total ... 30 i. Kadar Amilosa ... 31 j. Kadar Serat Pangan Metode Enzimatik ... 32 k.Kadar Pati Resisten untuk Sampel Pati... 33 l. Kadar Pati Resisten untuk Sampel Terigu dan Cookies... 34 m. Daya Cerna Pati ... 35 n. Uji Indeks Glikemik... 36 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

A. EKSTRAKSI PATI GARUT ( Marantha arundinacea) ... 38

B. PEMBUATAN PATI MODIFIKASI UNTUK

MENGHASILKAN PATI RESISTEN TIPE III... 40 C. ANALISIS KIMIA BAHAN BAKU ... 41

1. Analisis Proksimat ... 41 a. Kadar Air... 42 b. Kadar Abu ... 43 c. Kadar Protein ... 43 d. Kadar Lemak... 44 e. Kadar Karbohidrat... 44 2. Analisis Kadar Total Pati ... 45 3. Analisis Kadar Amilosa dan Amiloprektin ... 46


(23)

5. Analisis Kadar Pati Resisten ... 49 6. Analisis Daya Cerna Pati ... 50 D. PEMBUATAN COOKIES... 52 E. ANALISIS ORGANOLEPTIK... 53

1. Warna ... 55 2. Rasa ... 56 3. Aroma... 56 4. Tekstur... 57 5. Keseluruhan (overall) ... 58 F. ANALISIS FISIK COOKIES... 59

1. Uji Kekerasan... 59 2. Derajat Warna ... 59 3. Uji Aktivitas Air... 60 G. ANALISIS KIMIA COOKIES... 61

1. Analisis Proksimat... 61 a. Kadar Air ... 61 b. Kadar Abu ... 62 c. Kadar Protein... 63 d. Kadar Lemak ... 64 e. Kadar Karbohidrat ... 64 2. Analisis Nilai Energi ... 65 3. Analisis Kadar Total Pati... 66 4. Analisis Kadar Amilosa dan Amilopektin... 67 5. Analisis Kadar Serat Pangan Total... 69 6. Analisis Kadar Pati Resisten... 70 7. Analisis Daya Cerna Pati... 72 H. INDEKS GLIKEMIK ... 73 V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 78

A. KESIMPULAN... 78 B. SARAN ... 78 DAFTAR PUSTAKA ... 80 LAMPIRAN... 90


(24)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Umbi Garut Sebelum dan Sesudah Dikupas ... 4 2. Struktur Amilosa ... 7 3. Struktur Amilopektin ... 7 4. Metode Ektraksi Pati Garut (Lingga dimodifikasi, 1986)... 23 5. Bagan Proses Pembuatan Pati Garut Termodifikasi (PGT) ... 24 6. Diagram Alir Pembuatan Cookies... 26 7. Pati Garut Hasil Ekstraksi ... 39 8. Pati garut termodifikasi (PGT) hasil modifikasi pati secara fisik

dengan metode autoclaving-cooling... 41 9. Hasil Analisis Kadar Total Pati pada Terigu, Pati Garut, dan PGT... 45 10.Hasil Analisis Kadar Amilosa pada Terigu, Pati Garut, dan PGT ... 47 11.Hasil Analisis Kadar Serat Pangan Total pada Terigu, Pati Garut, dan

PGT... 48 12. Hasil Analisis Kadar Pati Resisten pada Terigu, Pati Garut, dan PGT... 50 13. Hasil Analisis Daya Cerna Pati pada Terigu, Pati Garut, dan PGT ... 52 14. Skor Rata-Rata Kesukaan Panelis terhadap Atribut Rasa, Warna,

Aroma, Tekstur, dan Overall Cookies... 54 15. Gambar Cookies Terigu dan Cookies PGT ... 55 16. Hasil Analisis Kadar Total Pati pada Cookies Terigu dan Cookies PGT 67 17. Hasil Analisis Kadar Amilosa pada Cookies Terigu dan Cookies PGT.. 68 18. Hasil Analisis Serat Pangan Total pada Cookies Terigu dan Cookies

PGT... 69 19. Hasil Analisis Kadar Pati Resisten pada Cookies Terigu, dan Cookies

PGT... 71 20. Hasil Analisis Daya Cerna Pati pada Cookies Terigu, dan Cookies

PGT... 73 21. Kurva Perubahan Kadar Glukosa Darah Rata-Rata Relawan Setelah

Konsumsi Cookies Terigu... 75 22. Kurva Perubahan Kadar Glukosa Darah Rata-Rata Relawan Setelah


(25)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Komposisi Zat Gizi dan Kimia Pelbagai Kultivar Umbi Garut

(per 100 gram umbi) ... 5 2. Sifat Amilosa dan Amilopektin... 6 3. Kandungan Amilosa dan Amilopektin Pada Pelbagai Pati ... 8 4. Komposisi Kimia Pati Garut ... 9 5. Profil Gelatinisasi Pelbagai Pati... 10 6. Bentuk dan Diameter Granula Pelbagai Pati... 12 7. Syarat Mutu Biskuit Menurut SNI 01-2973-1992 ... 16 8. Formulasi Cookies... 25 9. Deskripsi Warna Berdasarkan oHue... 27 10. Rendemen Pati Umbi Garut... 40 11. Rendemen Pati Garut Termodifikasi (PGT... 41 12. Hasil Analisis Proksimat Bahan Baku ... 42 13. Syarat Mutu Terigu Menurut SNI 01-3751-2006 ... 42 14. Rendemen cookies PGT dan cookies terigu ... 53 15. Hasil Analisis Statistik Uji Organoleptik... 54 16. Hasil Analisis Fisik Cookies Terigu dan Cookies PGT ... 59 17. Hasil Pengukuran Warna Menggunakan Chromameter... 60 18. Nilai aw Cookies yang Diukur Menggunakan aw-meter... 61 19. Hasil Analisis Proksimat Cookies... 61 20. Hasil Analisis Proksimat Cookies dalam Basis Basah dan Basis Kering 66 21. Komposisi Zat Gizi Cookies Per Takaran Saji... 66 22. Beban Glikemik Cookies Terigu dan Cookies PGT... 76


(26)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Hasil Analisis Proksimat Sampel... 91 2. Hasil Analisis Kadar Total Pati... 92 3. Hasil Analisis Kadar Amilosa... 93 4. Hasil Analisis Daya Cerna Pati Sampel... 94 5. Hasil Analisis Kadar Total Serat Pangan... 96 6. Hasil analisis Kadar RS... 97 7. Hasil Analisis Indeks Glikemik... 98 8. Analisis Sidik Ragam Kadar Air Bahan Baku... 104 9. Analisis Sidik Ragam Kadar Abu Bahan Baku... 105 10. Analisis Sidik Ragam Kadar Protein Bahan Baku... 106 11. Analisis Sidik Ragam Kadar Lemak Bahan Baku... 107 12. Analisis Sidik Ragam Kadar Karbohidrat Bahan Baku... 108 13. Analisis Sidik Ragam Kadar Total Pati Bahan Baku... 109 14. Analisis Sidik Ragam Kadar Amilosa Bahan Baku... 110 15. Analisis Sidik Ragam Serat Pangan Bahan Baku... 111 16. Analisis Sidik Ragam Pati Resisten Bahan Baku... 112 17. Analisis Sidik Ragam Daya Cerna Pati Bahan Baku... 113 18. Hasil Pengujian Statistik dengan t-Test Pada Cookies Terigu dan PGT. 114 19. Hasil Penilaian Organoleptik... 118 20. Hasil Pengujian Statistik dengan t-Test... 120 21. Lembar Penilaian Uji Rating Hedonik dengan Skala Garis... 123 22. Pembuatan Larutan Buffer dan Reagen ... 124


(27)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Diabetes mellitus atau kencing manis telah menjadi masalah kesehatan dunia. Menurut survei yang dilakukan WHO, Indonesia menempati urutan keempat dengan jumlah penderita diabetes terbesar di dunia setelah India, Cina, dan Amerika Serikat. Dengan prevalensi 8.6% dari total penduduk, diperkirakan pada tahun 1995 terdapat 4.5 juta pengidap diabetes dan pada tahun 2025 jumlah penderita diabetes di Indonesia diprediksi mencapai 12.4 juta jiwa (Anonim 2005). Bahkan penyakit diabetes saat ini tidak hanya diderita oleh orang dewasa, anak-anak penderita obesitas pun diketahui memiliki potensi menderita penyakit berbahaya ini.

Pangan yang memiliki nilai Indeks Glikemik (IG) yang rendah dapat dijadikan alternatif pencegahan yang murah untuk terapi diet penderita diabetes karena dapat menekan peningkatan kadar gula darah penderita diabetes. Hal ini disebabkan karbohidrat pada pangan yang memiliki IG rendah akan dipecah dan diabsorpsi dengan lambat, sehingga menghasilkan peningkatan glukosa darah dan insulin secara lambat dan bertahap. Penderita diabetes disarankan untuk mengkonsumsi makanan dengan nilai IG rendah dan mempunyai efek hipokolesterolemik. Hal ini disebabkan pada penderita diabetes, terjadi komplikasi metabolik berupa hiperlipidemia, sehingga terapinya sebaiknya bukan hanya diarahkan untuk mencegah kenaikan gula darah tetapi sekaligus mencegah kenaikan kadar kolesterol darah (Marsono 2002). Selain itu, pangan yang memiliki IG rendah dihubungkan dengan penurunan kejadian penyakit jantung, diabetes, dan beberapa jenis kanker (Miller 2007; Brand-Miller et al. 2003; Jenkins 2007; Roberts 2000; Wolever dan Mehling 2002).

Banyaknya komplikasi penyakit berbahaya yang disebabkan oleh penyakit diabetes, menuntut penderitanya lebih peduli pada pengaturan pola makan. Pengembangan produk baru dapat menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan keberagaman makanan bagi penderita diabetes.

Salah satu makanan yang disukai oleh hampir semua tingkat umur adalah cookies. Produk cookies dapat dijadikan sebagai pangan fungsional


(28)

apabila cookies tersebut memiliki sifat fungsional bagi kesehatan, diantaranya dapat mengontrol kadar gula darah dan memiliki indeks glikemik yang rendah. Sifat fungsional tersebut dapat diperoleh melalui perubahan ingredient utama yaitu penggantian terigu dengan pati termodifikasi yang banyak mengandung pati resisten (resistant starch atau RS) tipe III.

RS merupakan bagian pati yang tidak dapat dicerna dalam usus halus, akan tetapi difermentasi dalam usus besar (Haralampu 2000; Sajilata et al. 2006). RS dapat diperoleh dengan modifikasi pati secara fisik salah satunya dengan metode autoclaving-cooling yang dapat menghasilkan RS tipe III. Menurut Sajilata et al. (2006), RS mempunyai efek fisiologis yang bermanfaat bagi kesehatan seperti pencegahan kanker kolon, mempunyai efek hipoglikemik (menurunkan kadar gula darah setelah makan), berperan sebagai prebiotik, mengurangi risiko pembentukan batu empedu, mempunyai efek hipokolesterolemik, menghambat akumulasi lemak, dan meningkatkan absorpsi mineral.

Menurut Utami (2008), IG umbi garut kukus dalam bentuk potongan adalah 32. Hal ini disebabkan oleh kandungan serat pangan yang cukup tinggi pada umbi garut. Umbi garut juga memiliki kandungan pati yang cukup tinggi, yaitu sekitar 20.96%. Selain itu, bila dibandingkan dengan pati dari pelbagai umbi lainnya, pati garut memiliki kandungan amilosa yang cukup tinggi, sehingga pati garut berpotensi untuk diolah menjadi pati termodifikasi untuk menghasilkan RS tipe III. Menurut Pratiwi (2008b), pati garut termodifikasi memiliki daya cerna pati yang rendah serta kadar RS tipe III yang cukup tinggi. Oleh karena itu, digunakan pati garut termodifikasi sebagai bahan baku dalam pembuatan cookies karena memiliki kriteria yang diinginkan sebagai pangan fungsional.


(29)

B. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah pembuatan cookies dari pati garut termodifikasi yang kaya akan kandungan RS serta kajian sifat fisiko-kimia dan indeks glikemik cookies, sehingga dapat dijadikan sebagai pangan fungsional dengan indeks glikemik yang rendah.

C. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat penelitian ini diharapkan masyarakat dapat memiliki produk pangan fungsional dengan indeks glikemik yang rendah.


(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. UMBI GARUT (Maranta arundinaceae L.) 1. Botani Umbi Garut

Tanaman tegak ini termasuk dalam kingdom Plantae, subkingdom Tracheophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Liliopsida, subkelas Zingiberidae, ordo Zingiberales, famili Marantaceae, genus Maranta, dan spesies Maranta arundinacea L. (Anonim 2008). Di Indonesia, tanaman ini dikenal dengan nama yang berbeda-beda pada tiap daerah. Di Jawa Tengah, garut disebut dengan angkrik, arus, erus, dan garut, di Jawa Barat dikenal dengan nama patat dan sagu, dan di Madura dinamakan arut, larut, atau selarut.

Daerah asal tanaman garut adalah Amerika tropis, yang kemudian tersebar luas ke daerah tropis lainnya termasuk Indonesia. Tanaman ini dapat tumbuh pada ketinggian 0-900 m dpl dan tumbuh baik pada ketinggian 60-90 m dpl pada tempat-tempat dengan tanah lembab yang terlindung dari sinar matahari langsung (Sastrapradja et al. 1977). Visualisasi umbi garut dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Umbi garut sebelum dan sesudah dikupas

Villamajor dan Jurkema (1996) menyatakan bahwa garut mempunyai dua jenis kultivar yang penting, yaitu creole dan banana. Kedua jenis kultivar tersebut memiliki umbi yang berwarna putih meskipun karakteristiknya berbeda satu dengan yang lain. Kultivar creole memiliki umbi yang lebih panjang dan langsing dengan pertumbuhan menyebar dan masuk ke tanah


(31)

sehingga lebih mudah dipanen. Kultivar creole mempunyai daya tahan lebih lama, yaitu sekitar tujuh hari dibandingkan kultivar banana yang hanya tahan dua hari.

Komposisi zat gizi masing-masing kultivar berbeda-beda. Kandungan zat gizi ini juga dipengaruhi oleh umur tanam dan keadaan tempat tumbuhnya (Lingga et al. 1986). Komposisi pelbagai kultivar umbi garut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia pelbagai kultivar umbi garut dalam 100 gram bahan Kultivar Umbi Garut

Komposisi

Creolea Bananab Playenc Purworejoc Banjarnegarac Banyumasc Air (%) 72.66 72.00 62.89 72.60 67.23 71.32

Abu (%) 0.81 1.30 3.43 3.81 4.58 4.28

Pati (%) 20.96 19.40 - - - -

Protein (%) 1.59 2.20 1.30 2.61 2.31 1.73 Lemak (%) 0.28 0.10 0.59 0.51 0.57 0.47 Serat Pangan Total

(% bk) 7.59 - - - - -

Serat Kasar (%) - 0.60 2.59 3.05 1.87 2.50 Karbohidrat (%) 24.67 - 31.79 20.47 23.44 19.70 Sumber: a Utami (2008); b Kay (1973); c Mariati (2001)

Umbi garut mempunyai kegunaan cukup banyak antara lain sebagai bahan makanan dan ramuan obat-obatan. Umbi garut yang masih muda dapat digunakan sebagai makanan kecil dengan cara dikukus, direbus, atau dibakar terlebih dahulu. Umbi garut rasanya manis, tetapi bila sudah tua akan banyak seratnya. Umbi garut yang sudah tua umumnya dijadikan tepung atau diambil patinya (Yustiareni 2000).

2. Pati Garut

Tanaman garut dibudidayakan terutama untuk diambil patinya. Pati garut mudah dicerna sehingga di beberapa tempat dimanfaatkan sebagai makanan bayi atau orang yang mengalami gangguan pencernaan. Pati garut juga digunakan sebagai bahan baku industri kosmetik, lem, alkohol, juga tablet yang diinginkan bersifat mudah larut (Kay 1973).


(32)

Pati garut diperoleh dari rimpang garut yan telah berumur 8-12 bulan (Widowati et al. 2002). Pati dibuat melalui tahapan proses pengupasan, pencucian, perendaman, ekstraksi, pengendapan, pengeringan, penggilingan,

pengayakan (Lingga et al., 1986).

a. Karakteristik Kimia

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Menurut Chaplin (2008), secara kimiawi pati terdiri atas dua jenis molekul, yaitu amilosa (normal 20-30 %) dan amilopektin (normal 70-80 %) yang berperan dalam menentukan sifat fisik, kimia, dan fungsional pati. Amilosa adalah homopolimer lurus α-D-glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α-(1,4) bersifat larut dalam air panas. Amilopektin merupakan molekul polisakarida dengan rantai cabang. Ikatan pada rantai utama adalah α-(1,4) sedangkan ikatan pada titik cabang adalah α-(1,6) dan bersifat tidak larut dalam air. Amilosa terdiri atas 500-20000 unit glukosa yang berbentuk heliks pada ujung antar unit-unit glukosa, sedangkan amilopektin terdiri lebih dari 2 juta unit glukosa dimana setiap 20 sampai 30 unit glukosa terikat dengan α-(1,6). Perbandingan sifat amilosa dan amilopektin disajikan pada Tabel 2, sedangkan struktur amilosa dan amilopektin dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3.

Tabel 2 Sifat amilosa dan amilopektin

Sifat Amilosa Amilopektin

Berat Molekul 50,000-200,000 ≥ 1 juta

Ikatan Glikosidik α-D-(1,4) α-D-(1,4) dan α-D-(1,6) Derajat Retrogeradasi Tinggi Rendah

Produk dari β-amilase Maltosa Maltosa, β-limit dekstrin Produk dari Glukoamilase D-glukosa D-glukosa Bentuk Molekul Linear Bercabang


(33)

Gambar 2 Struktur amilosa (Chaplin 2008).

Gambar 3 Struktur amilopektin (Chaplin 2008).

Pati tersusun atas amilosa dan amilopektin dalam perbandingan yang berbeda-beda untuk setiap jenis tanaman (Slamet et al. 1989). Amilosa merupakan bagian dari karbohidrat yang dapat larut dalam air hangat, bila ditambahkan iodin akan berwarna biru, sehingga metode uji amilosa sering disebut metode Iodine Colorimetry (Juliano 1971). Kadar amilosa dan


(34)

amilopektin pati bervariasi tergantung dari sumbernya. Kandungan amilosa dan amilopektin pada pelbagai pati dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Kandungan amilosa dan amilopektin pada pelbagai pati Sumber Pati Amilosa (% bk) Amilopektin (% bk)

Garut 31.35a 68.05a

29.67-31.34b 55.81-69.16b

20 80

Kentang 21 79

Gandum 28 72

Tapioka 17 83

Jagung 28 72

Sorghum 28 72

Beras 17 83 Sagu 27 73 Ganyong 25.60-30.10 69.90-74.40 Sumber: Swinkels (1985); a Chilmijati (1999); b Mariati (2001)

Jika dipanen pada kondisi pati optimum, kadar amilosa pati garut dapat mencapai 31% (Chilmijati 1999). Kadar amilosa dipengeruhi beberapa faktor antara lain: jenis botani, vareitas tanaman, umur botani. Pada kondisi pati optimum, dibandingkan dengan kadar amilosa umbi lainnya kadar amilosa garut cukup tinggi (Naraya dan Moorthy 2002). Hal ini menjadikan pati garut baik dijadikan bahan baku pati resisten tipe III.

Berat rata-rata dari amilosa pati garut adalah 32.1 x 10-4 dan ukuran molekulnya 360 Å. Kandungan amilosa pada pati mempunyai pengaruh yang nyata terhadap bentuk dan ukuran granula. Umumnya amilosa yang bersumber dari akar dan umbi mempunyai berat molekul lebih tinggi daripada amilosa yang diperoleh dari serealia (Hodge dan Osman 1976).

Pati merupakan karbohidrat utama dari cadangan makanan pada tanaman. Pati telah dikarakterisasi pada banyak serealia, akar, dan umbi (Wilson et al. 1978). Komposisi kimia pati garut disajikan pada Tabel 4.


(35)

Tabel 4 Komposisi kimia pati garut Komposisi Kimia Pati Garut Kadar air (%bb) 10.05 Kadar abu (%bk) 0.31 Kadar Protein (%bk) 0.23 Kadar Lemak (%bk) 0.55 Kadar Karbohidrat (%bk) 98.92 Sumber: Pratiwi (2008b)

Berdasarkan Tabel 4, pati garut memiliki kandungan protein dan lemak yang rendah. Namun, hal ini sangat diinginkan karena kandungan protein dan lemak akan menghambat pembentukan pati resisten saat proses modifikasi pati garut untuk menghasilkan pati resisten. Terdapat beberapa komponen pada pangan yang berinteraksi dengan pati dan pada akhirnya mempengaruhi pembentukan RS antara lain: protein, serat pangan, enzim inhibitor, ion, dan lipid (Sajilata et al. 2006). Interaksi antara protein dan pati dapat mengurangi kadar pati resisten. Hal ini terbukti pada penelitian Escapa et al. (1996) bahwa pati kentang yang diautoklaf dengan ditambahkan albumin kemudian diretrogradasi pada suhu -20 oC, ternyata mengalami penurunan kandungan pati resisten.

Lemak merupakan komponen yang berinteraksi dengan pati. Interaksi lemak dengan pati terjadi pada saat proses pemanasan pati di atas suhu 100 oC membentuk kompleks amilosa-lipid. Bentuk kompleks amilosa-lipid ini merupakan bentuk enzym-degradable. Penambahan jumlah kompleks amilosa-lipid terbentuk dapat menurunkan kadar pati resisten bahan. Proses rekristalisasi amilosa untuk menghasilkan pati resisten terhambat karena adanya pengkompleksan amilosa oleh lipid. Adanya lemak yang berasal dari bahan pangan itu sendiri juga dapat menurunkan kadar pati resisten (Sajilata et al. 2006).

b. Karakteristik Fisik

Suspensi pati ketika dipanaskan akan mengalami gelatinisasi. Gelatinisasi adalah peristiwa hilangnya sifat birefringence granula pati akibat penambahan air secara berlebihan dan pemanasan pada waktu dan suhu


(36)

tertentu, sehingga granula pati membengkak dan tidak dapat kembali pada kondisi semula (Belitz dan Grosch 1999).

Pada dasarnya proses gelatinisasai terjadi melalui tiga fase, yaitu fase pertama, air secara perlahan-lahan dan bolak-balik berimbibisi ke dalam granula, fase kedua ditandai dengan pengembangan granula dengan cepat karena penyerapan air yang berlangsung secara cepat sehingga kehilangan sifat birefringence, dan fase ketiga jika suhu terus naik, maka molekul amilosa terdifusi keluar granula (McCready 1970).

Pada proses gelatinisasi terjadi proses pengerusakan ikatan hidrogen intermolekuler. Ikatan hidrogen ini mempunyai peranan untuk mempertahankan struktur intergritas granula. Adanya gugus hidroksil yang bebas akan menyerap molekul air, sehingga terjadi pembengkakan granula pati. Semakin banyak jumlah gugus hidroksil dari molekul pati, maka kemampuan menyerap air semakin besar. Peningkatan kelarutan juga diikuti dengan peningkatan viskositas. Hal ini disebabkan air yang sebelumnya bebas bergerak di luar granula pati menjadi terperangkap dan tidak dapat bergerak bebas lagi setelah mengalami gelatinisasi. Profil gelatinisasi pati dapat dilihat pada Tabel 5 yang dianalisis menggunakan alat ”Brabender visko-amilograf”.

Tabel 5 Profil gelatinisasi pelbagai pati

Keteranga Pati Garuta Tapioka Ab Pati Jagung Varietas Bismac

Suhu Gelatinisasi (oC) 75.75 65.25 73.5 Suhu Puncak Gelatinisasi (oC) 85.85 75.75 -

Viskositas Maksimum (BU) 1290 1620 680 Viskositas 95 oC (BU) 920 640 - Viskositas 95 oC /20 (BU) 558 465 - Viskositas 50 oC (BU) 760 710 - Viskositas setback 202 245 1060 Viiskositas breakdown -362 -1155 -200

Sumber: a (Suriani, 2008); b (Rahman, 2007); c (Permatasari, 2007)

Charles et al. (2005) melaporkan bahwa suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh kadar amilosa. Semakin tinggi amilosa semakin tinggi suhu gelatinisasi.


(37)

Taggart (2004), struktur amilosa yang sederhana ini dapat membentuk interaksi molekuler yang kuat dengan air, sehingga pembentukan ikatan hidrogen ini lebih mudah terjadi pada amilosa.

Viskositas setback menggambarkan tingkat kecenderungan proses retrogradasi pasta pati (Faridah et al. 2008). Retrogradasi merupakan perubahan amilosa dari bentuk amorf ke bentuk kristalin. Retrogradasi terjadi apabila antara ikatan hidrogen dan gugus hidroksil molekul amilosa yang berdekatan saling berikatan dalam bentuk pasta. Retrogradasi terjadi ketika pati yang telah digelatinisasi didiamkan beberapa lama sehingga terjadi penurunan suhu (Wurzburg 1989). Semakin tingginya nilai setback maka menunjukkan semakin tinggi pula kecenderungan untuk membentuk gel (meningkatkan viskositas) selama pendinginan. Tingginya nilai setback menandakan tingginya kecenderungan untuk terjadinya retrogradasi (Lestari 2009). Menurut Miller (1973), faktor-faktor yang mendukung terjadinya retrogradasi adalah temperatur yang rendah, pH netral dan derajat polimerisasi yang relatif rendah, tidak adanya percabangan ikatan dari molekul, konsentrasi amilosa yang tinggi, adanya ion-ion organik tertentu dan tidak ada senyawa pembasah (surface active agent).

c. Bentuk Granula Pati

Pati yang terdapat dalam tanaman tergabung dalam suatu paket-paket kecil yang disebut granula (BeMiller dan Whistler 1996). Pati garut memiliki sifat-sifat khas yang berbeda dengan pati dari sumber lain. Penampakan granula pati garut di bawah mikroskop adalah 48.15% berbentuk oval, 21.15% berbentuk bulat, dan 30.70% membulat (spherical). Pati garut yang berukuran besar umumnya berbentuk oval, bentuk membulat umumnya dimiliki oleh granula yang berukuran sedang, dan bentuk bulat dimiliki oleh pati yan kecil (Suranto 1989).

Pati garut mempunyai diameter 30-70 μm (Suriani 2008). Hasil penelitian Mariati (2001) menunjukkan bahwa 44.63% garnula pati garut berukuran ≥ 20 μm, 34.30% berukuran 15-19 μm, dan 21.07% berukuran <


(38)

15 μm. Bentuk dan diameter granula pelbagai jenis pati dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Bentuk dan diameter granula pelbagai pati

Jenis Pati Diameter (μm) Diameter Rata-Rata (μm) Bentuk Granula

Jagung 3-26 15 Bulat, poligonal

Kentang 5-100 33 Oval, membulat

Gandum 2-35 15 Bulat

Tapioka 4-35 20 Oval, bersudut

Waxy Maize 3-26 15 Bulat, poligonal

Sorghum 3-26 15 Bulat, poligonal

Beras 3-8 5 Poligonal, angular

Sagu 5-65 30 Oval, bersudut

Garut 5-70 30 Oval, bersudut

Amylomaize 3-24 12 Bulat

Ubi Jalar 5-25 15 poligonal

Sumber: Swinkels (1985)

B. SERAT PANGAN

Istilah serat pangan telah dikemukakan oleh Hipsley (1953) di dalam McCrealy (2007) menyatakan bagian yang tidak tercerna dari tanaman yang menyusun dinding sel, termasuk selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Trowell et al. (1976) secara umum mendefinisikan serat pangan menjadi definisi secara fisiologis, berdasarkan kemampuan untuk dimakan dan ketahanan terhadap pencernaan dalam usus halus manusia. Definisi tersebut termasuk polisakarida yang tidak dapat dicerna, seperti gum, selulosa termodifikasi, musil dan pektin, serta oligosakarida yang tidak dapat dicerna atau non-digestible oligosaccharides (NDO).

American Association of Cereal Chemist (2001) dalam Álvarez dan Sánchez (2006), mendefinisikan serat pangan sebagai bagian yang dapat dimakan dari tanaman atau karbohidrat yang tahan terhadap pencernaan dan absorpsi dinding usus halus, yang kemudian difermentasi di dalam usus besar. Serat pangan termasuk polisakarida, oligosakarida, dan lignin. Serat pangan memberikan efek fisiologis yang menguntungkan, seperti laksatif, menurunkan kolestrol darah, dan menurunkan glukosa darah.


(39)

Menurut Kin (2000), berdasarkan kelarutannya dalam air, serat dibagi menjadi dua yaitu serat larut dan serat tidak larut. Serat larut ketika berada di usus halus akan membentuk larutan yang memiliki viskositas yang tinggi. Karena sifatnya ini, serat larut dapat mempengaruhi metabolisme lipid dan karbohidrat dan sebagian memiliki potensi antikarsinogenik. Serat tidak larut dapat mempertahankan matriks strukturalnya dari air membentuk campuran yang memiliki viskositas yang rendah. Hal ini menghasilkan peningkatan massa feses dan mempersingkat waktu transit. Hal tersebut mendasari penggunaan serat tidak larut untuk mencegah dan mengobati konstipasi kronis. Pada sisi lain, serat tidak larut juga berkontribusi menurunkan konsentrasi dan waktu kontak karsinogen dengan mukosa kolon.

Kandungan serat pangan pada pati garut dapat ditingkatkan menjadi 3.54 kali melalui modifikasi pati dengan metode autoclaving-cooling (Pratiwi 2008b). Hal ini diperkuat dengan penelitian Ranhotra et al. (1991) di dalam Sajilata et al. (2006) bahwa perlakuan siklus autoclaving-cooling berulang dapat meningkatkan kadar serat pangan total 3 hingga 4 kali lipat. Peningkatan kadar serat pangan total terjadi karena peningkatan kadar pati resisten yang terukur sebagai serat tidak larut. Menurut Ranhotra et al. (1991) di dalam Sajilata et al. (2006) bahwa pati resisten terukur sebagai serat tidak larut.

C. PATI RESISTEN

Pati diklasifikasikan menjadi pati yang dicerna secara cepat (rapidly digestible starch atau RDS), pati yang dicerna secara lambat (slowly digestible starch atau SDS), dan pati resisten (resistant starch atau RS) berdasarkan kecepatan pelepasan glukosa dan kemampuan absorpsi glukosa tersebut dalam saluran pencernaan (Englyst et al. 1992). RDS merupakan fraksi pati yang menyebabkan terjadinya kenaikan glukosa darah setelah makanan masuk ke dalam saluran pencernaan. SDS merupakan fraksi pati yang dicerna sempurna dalam usus halus dengan kecepatan yang lebih lambat dibandingkan dengan RDS. RS merupakan bagian pati yang tidak dapat dicerna dalam usus halus, akan tetapi difermentasi dalam usus besar (Haralampu 2000; Sajilata et al. 2006).


(40)

RS memiliki efek fisologis yang bermanfaat bagi kesehatan seperti pencegahan kanker kolon, memiliki efek hipoglikemik (menurunkan kadar gula darah setelah makan), berperan sebagai prebiotik, mengurangi risiko pembentukan batu empedu, memiliki efek hipokolesterolemik, menghambat akumulasi lemak dan meningkatkan absorbsi mineral (Sajilata et al. 2006).

RS dapat dikelompokkan menjadi empat tipe utama. Tipe pertama (terperangkap) (RS I) ditemukan pada serealia dan biji-bijian. Tipe kedua (terkristalisasi) (RS II) granula pati yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan. Sumber RS II, yaitu kentang mentah, pisang mentah, dan tepung jagung. Tipe ketiga (teretrogradasi) (RS III), yaitu pati yang dirubah konformasinya dengan panas atau dingin. Pemanasan pati tersebut dilakukan dengan penambahan air sehingga terjadi distorsi rantai polisakarida yang membentuk konformasi acak, proses ini disebut gelatinisasi. Ketika didinginkan, proses pengkristalan dimulai yang disebut retrogradasi. Sumber RS III, yaitu roti, cereal flakes, kentang yang direbus dan didinginkan, dan pre-cooked foods. Tipe keempat (termodifikasi secara kimia) (RS IV), yaitu pati yang dimodifikasi secara kimia. RS IV ditemukan dalam pangan yang diolah seperti cake, bumbu yang dibuat secara industri, dan paediatric foods (Álvarez dan Sánchez 2006).

Lehmann et al. (2002) melaporkan bahwa proses debcrancing dan retrogradasi pati alami pisang dengan kandungan RS tipe III 5.9-6.5% meningkat hingga mencapai 47.5-50.6%. Hal tersebut juga dilaporkan oleh Aparico-Saguilan et al. (2005) yang menyatakan bahwa proses lintnerisasi dan retrogradasi pati alami pisang dengan kandungan RS sebesar 1.51% meningkat hingga mencapai 19.34%. Menurut Pratiwi (2008b), modifikasi pati garut dengan metode autoclaving-cooling cycling sebanyak 3 siklus dengan waktu gelatinisasi selama 15 menit dapat meningkatkan kadar RS tipe III lebih dari lima kali lipat dibandingkan dengan pati garut native. Pada penelitian tersebut menggunakan rasio pati : air sebesar 1 : 5. Rasio pati : air sangat mempengaruhi proses ekspansi matriks pati dan gelatinisasi granula (Raja dan Shindu 2000). Proses modifikasi beberapa siklus memerlukan


(41)

kurang menggangu struktur heliks amilosa pada gelatinisasi siklus selanjutnya sehingga jumlah amilosa yang keluar dari granula tidak optimum (Sajilata et al. 2006). Hal ini berakibat jumlah amilosa-amilosa, amilosa-amilopektin yang bereasosiasi pada saat retrogradasi lebih sedikit sehingga kadar pati resistenya pun menjadi lebih rendah.

D. COOKIES

Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) mengenai Mutu dan Cara Uji Biskuit (SNI 01-2973-1992), biskuit adalah sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lainnya, dengan proses pemanasan dan pencetakan. Biskuit terbagi menjadi biskuit keras, crackers, cookies, dan wafer. Cookies adalah sejenis biskuit dari adonan lunak, berlemak tinggi, renyah, dan bila dipatahkan penampang potongannya bertekstur kurang padat (Manley 2000).

Saat ini berkembang cookies yang dijadikan sebagai pangan fungsional karena memiliki nilai indek glikemik yang rendah. Rendahnya nilai indeks glikemik cookies tersebut akibat penambahan serat pangan dalam ingredient utama pembuatan cookies. Menurut Marangoni dan Poli (2008), penambahan serat pangan dalam pembuatan biskuit akan menurunkan indeks glikemiknya sebesar 41%. Selain itu, cookies tersebut menggunakan maltitol dan acesulfame sebagai pemanis. Maltitol merupakan gula alkohol yang memiliki indeks glikemik yang rendah, yaitu sebesar 26 (Matsuo 2009), sedangkan acesulfame merupakan pemanis buatan yang tidak memiliki kalori, cepat memberikan rasa manis, memiliki kestabilan yang baik pada suhu tinggi dan daya larut yang baik sehingga pemanis ini dianggap cocok untuk pelbagai produk (Widodo 2008)


(42)

Tabel 7 Syarat mutu biskuit menurut SNI 01-2973-1992 Kriteria Uji Syarat

Energi (kkal/100 g) Minimal 400 Air (%) Maksimal 5 Protein (%) Minimal 9 Lemak (%) Minimal 9.5 Karbohidrat (%) Minimal 70 Abu (%) Maksimal 1.5 Serat Kasar (%) Maksimal 0.5 Logam Berbahaya Negatif

Bau dan Rasa Normal dan tidak tengik Warna Normal 1. Bahan Pembuat Cookies

Bahan-bahan untuk membuat cookies dibagi menjadi dua. Pertama adalah bahan-bahan yang berfungsi sebagai pengikat dan pembentuk struktur cookies seperti terigu, air, garam, susu tanpa lemak, dan putih telur. Kedua adalah bahan-bahan yang berfungsi sebagai pelembut tekstur seperti shortening dan emulsifier, gula (sampai batas tertentu), bahan-bahan pengembang, pati (pati jagung, gandum, tapioka, dan sebagainya), serta kuning telur. Dalam pembuatan cookies, kedua jenis bahan dasar ini harus seimbang supaya tidak menghasilkan cookies yang tidak terlalu keras atau terlalu renyah (Duncan 2000).

Tepung yang digunakan untuk membuat cookies adalah tepung terigu. Dalam adonan, tepung berfungsi sebagai pembentuk tekstur, pengikat bahan-bahan lain dan mendistribusikannya secara merata, serta berperan dalam membentuk cita rasa (Matz dan Matz 1978). Terigu yang biasanya digunakan untuk membuat cookies adalah terigu lunak (Subarna 1996). Penggunaan terigu lunak dikarenakan terigu lunak cenderung membentuk adonan yang lebih lembut dan lengket (Matz 1992). Selain itu, terigu jenis ini lebih mudah terdispersi dan tidak mempunyai daya serap air yang terlalu tinggi sehingga dalam pembuatan adonan membutuhkan lebih sedikit cairan (U. S. Wheat Associates 1983).


(43)

tekstur, kelembutan, serta memberi flavor (Matz dan Matz 1978). Selama proses pencampuran adonan, lemak memutuskan jaringan gluten sehingga karakteristik makan setelah pemanggangan menjadi tidak keras, lebih pendek, dan lebih cepat meleleh di mulut (Manley 1983). Lemak nabati (margarin) lebih banyak digunakan karena memberikan rasa lembut dan halus. Lemak nabati juga dapat menghasilkan penampakan yang baik. Jika digunakan lemak hewani (butter), volume cookies akan lebih rendah dan membentuk butiran-butiran yang lebih kasar (U. S. Wheat Associates 1983).

Fungsi gula dalam pembuatan cookies selain memberi rasa manis juga untuk memperbaiki tekstur, memberi warna pada permukaan cookies, dan mempengaruhi pengembangan cookies. Penggunaan gula halus akan memberikan hasil yang lebih baik karena tidak menyebabkan pengembangan cookies yang terlalu luas (Matz dan Matz 1978).

Penambahan gula yang berlebihan berpengaruh terhadap tekstur dan penampakan cookies. Menurut Matz dan Matz (1978), meningkatnya kadar gula di dalam adonan akan membuat produk yang dihasilkan akan semakin keras. Selain itu, waktu pemanggangan menjadi lebih singkat agar cookies tidak hangus karena gula yang terdapat di dalam adonan dapat mempercepat proses pembentukan warna.

Telur dalam pembuatan cookies berfungsi sebagai pelembut dan pengikat. Fungsi lainnya adalah untuk aerasi, yaitu kemampuan menangkap udara saat adonan dikocok sehingga udara menyebar merata pada adonan. Telur dapat mempengaruhi warna, meningkatkan nilai gizi, dan menghasilkan flavor yang diinginkan. Dalam pembuatan cookies, penggunaan kuning telur tanpa putih telur akan menghasilkan cookies yang lembut dengan kualitas citarasa yang sempurna. Tetapi struktur cookies tidak sebaik pada penggunaan telur secara keseluruhan. Oleh karena itu, agar adonan lebih kompak sebaiknya ditambahkan putih telur secukupnya (Matz dan Matz 1978). Menurut Indrasti (2004), pembentukan adonan yang kompak terjadi karena daya ikat dari putih telur.

Susu berfungsi memberikan aroma, memperbaiki tekstur, dan memperbaiki warna permukaan cookies. Laktosa yang terkandung dalam susu


(44)

merupakan disakarida pereduksi, yang jika berkombinasi dengan protein melalui reaksi Maillard dan adanya proses pemanasan akan memberikan warna coklat menarik pada permukaan cookies setelah pemanggangan (Manley 1983).

Pengembang adonan yang sering digunakan dalam pembuatan cookies adalah baking powder. Baking powder merupakan campuran sodium bikarbonat (NaHCO3) dan asam seperti sitrat dan tartarat. Biasanya baking powder mengandung pati sebagai bahan pengisi. Sifatnya cepat larut pada suhu kamar dan tahan lama selama pengolahan (Matz dan Matz 1978). Kombinasi sodium bikarbonat dengan asam dimaksudkan untuk memproduksi gas karbondioksida baik sebelum dipanggang maupun pada saat dipanaskan dalam oven (Manley 1983).

Garam adalah bahan yang biasanya diperlukan dalam jumlah yang sedikit untuk menguatkan rasa pada produk pangan. Jumlah garam yang digunakan tergantung pada beberapa faktor terutama pada jenis terigu yang digunakan. Terigu protein rendah lebih banyak memerlukan garam sebab garam akan berpengaruh dalam memperkuat protein gluten. Sebagian besar formula cookies menggunakan 1% garam atau kurang dalam bentuk kristal-kristal kecil (halus) untuk mempermudah kelarutannya (Matz dan Matz 1978). Selain itu, menurut Kaplan (1971), garam dapat memperkuat struktur adonan jika sedikit ditambahkan pada protein telur selama pengocokan.

E. INDEKS GLIKEMIK

Indeks glikemik (IG) merupakan respon kadar gula darah setelah makan (postprandial) (Jenkins 2007; Jenkins et al. 1982). Skala indeks glikemik (IG) dikembangkan untuk membantu mengatur kadar glukosa penderita diabetes (Jenskin et al. 2002). IG merupakan respon glikemik ketika memakan sejumlah karbohidrat dalam pangan dan dengan demikian merupakan indikator tidak langsung dari respon insulin tubuh (Buyken et al. 2006). Peningkatan kadar glukosa darah setelah makan dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu struktur kimia karbohidrat, derajat kematangan, metode


(45)

pengolahan pangan, serta jumlah dan tipe serat yang terkandung dalam pangan.

Berdasarkan penggunaan glukosa sebagai pembanding (IG = 100), pangan dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu pangan IG rendah dengan rentang nilai IG ≤55, pangan IG sedang dengan rentang nilai IG 55-69, dan pangan IG tinggi dengan rentang nilai IG ≥70 (Brand-Miller dan Foster-Powell 1999). Menurut Rimbawan dan Siagian (2004) karbohidrat dalam pangan yang dipecah dengan cepat selama pencernaan memiliki IG tinggi, sebaliknya pangan yang ber-IG rendah karbohidratnya akan dipecah dengan lambat sehingga melepaskan glukosa ke dalam darah dengan lambat.

Pangan yang memiliki IG rendah, karbohidratnya akan dipecah dan diabsorpsi dengan lambat, sehingga menghasilkan peningkatan glukosa darah dan insulin secara lambat dan bertahap. Pangan yang memiliki IG rendah dihubungkan dengan penurunan kejadian penyakit jantung, diabetes, dan beberapa jenis kanker (Brand-Miller 2007; Brand-Miller et al. 2003; Jenkins 2007; Roberts 2000; Wolever dan Mehling 2002).

Menurut Utami (2008), indeks glikemik umbi garut sebesar 32, sedangkan menurut Marsono (2002), indeks glikemik umbi garut sebesar 14. Perbedaan hasil penentuan nilai IG bahan pangan yang sama biasa terjadi. Foster-Powell dan Miller (1995) menyatakan bahwa tidak ada nilai IG yang pasti untuk sebuah bahan pangan. Perbedaan metode dan proses pemasakan, karakter molekuler dan fisik granula pati dalam produk akhir berpengaruh terhadap nilai IG pangan. Rendahnya indeks glikemik umbi garut disebabkan umbi garut mengandung serat pangan, pati resisnten, amilosa yang cukup tinggi, serta kemungkinan adanya komponen antinutrisi seperti komponen fenolik yang dapat menghambat daya cerna pati (Utami 2008).

FAO/WHO (1998) merekomendasikan peningkatan asupan pangan yang memiliki IG rendah terutama bagi penderita diabetes dan orang yang tidak toleran terhadap glukosa. Berdasarkan laporan WHO (FAO/WHO 2003), hubungan diet pangan yang memiliki IG rendah dalam mencegah obesitas dan diabetes sangatlah mungkin. Studi klinis banyak membuktikan hubungan positif antara asupan pangan yang memiliki IG rendah dengan resistensi


(46)

insulin dan prevalensi sindrom metabolit (Brand-Miller 2007; Jenkins 2007; Mckeown et al. 2004).

F. DIABETES MELITUS

Diabetes merupakan penyakit kronis yang terjadi ketika pankreas tidak menghasilkan cukup insulin, atau secara singkat, tubuh tidak menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif. Insulin adalah hormon yang mengatur gula darah. Hiperglikemia atau peningkatan gula darah, secara umum menyebabkan diabetes yang tidak terkontrol dan dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan kerusakan serius pada banyak sistem tubuh khususnya saraf dan pembuluh darah (WHO 2006).

Implikasi dari pangan dengan indeks glikemik tinggi yaitu muncul respon hormonal (insulin) yang tinggi sebagai counterregulatory terhadap gula darah yang tinggi tersebut. Efek berikutnya, pada periode akhir dua jam setelah makan bahan pangan dengan indeks glikemik tinggi, gula darahnya lebih rendah dibanding kondisi awal dan ini membangkitkan rasa lapar (Yulianto 2003).

Menurut WHO (2006), diabetes dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelas yaitu diabetes tipe 1, diabetes tipe 2, dan diabetes gestational. Diabetes tipe 1 yang dicirikan oleh menurunnya produksi insulin. Tanpa pengaturan insulin harian, diabetes tipe 1 dapat menjadi fatal. Gejala-gejalanya meliputi ekskresi urin yang berlebihan (poliuria), dehidrasi (polidipsia), rasa lapar yang terus-menerus, penurunan berat badan, penglihatan menjadi kabur, dan kesemutan. Gejala ini dapat terjadi secara bersamaan. Diabetes tipe 2 dihasilkan dari insulin yang tidak efektif digunakan oleh tubuh. Diabetes tipe 2 diderita 90% penderita diabetes terbesar di seluruh dunia dan diakibatkan oleh kelebihan berat badan dan kurangnya aktivitas fisik. Gejala-gejalanya hampir sama dengan diabetes tipe 1 tetapi kurang dapat dikenali. Hasilnya, penyakit ini baru dapat didiagnosa beberapa tahun setelah onset, dan komplikasi dapat segera meningkat. Selama beberapa tahun terakhir, diabetes


(47)

Pengaturan pola makan sangat penting untuk mengontrol diabetes. Pola makan yang benar tidak sekedar menghindari makanan dan minuman yang manis saja. Penderita tidak boleh melewatkan waktu makan. Makanan yang mengandung serat yang tinggi seperti cookies jagung, mie, oat, biskuit yang tidak dimaniskan, lentil, dan sayur-sayuran harus dikonsumsi, sedangkan makanan yang mengandung kadar gula yang tinggi, misalnya gula yang telah diproses, coklat, makanan yang digoreng, keripik, dan kacang tanah harus dihindari. Konsumsi garam dan makanan yang asin juga harus dikurangi. Makanan bagi penderita kencing manis harus diatur terlebih dahulu. Makanan haruslah seimbang dan kandungan kalori dalam makanan harus tetap. Hal ini bertujuan untuk memastikan adanya kandungan glukosa yang tetap untuk dapat dikendalikan tubuh. Kalori yang terkontrol, baik untuk menstabilkan berat badan yang normal. Hindari mengkonsumsi alkohol karena dapat meningkatkan kadar glukosa dalam darah (Shaun 2001).


(48)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan utama yang digunakan, yaitu umbi garut yang diperoleh dari Balai penelitian Biogen Cimanggu Bogor. Bahan-bahan untuk membuat cookies, yaitu terigu kunci biru, gula halus merk Pohon Kenari, susu skim merk Sunlac, margarin merk Blue band, kuning telur, garam merk Refina, dan soda kue merk Koepoe-Koepoe. Bahan-bahan untuk analisis yaitu strip Glukometer One Touch UltraTM, lancet Glukometer One Touch UltraTM, K2SO4, HgO, H2SO4 pekat, NaOH, H2BO3, indikator campuran metil red-metilen blue, HCl, heksana, pereaksi Anthrone, glukosa murni, air destilata, amilosa murni, maltosa murni (E Merck), etanol 95%, larutan asetat 1 N, larutan iod, buffer fosfat pH 6 dan pH 7, buffer asetat pH 4.75, enzim termamyl (Sigma A3403-500KU), enzim pepsin (Sigma P-7000), enzim pankreatin (Sigma P-1750), enzim protease (Sigma P-4630), enzim amilogukosidase (Sigma P-7420), aseton, enzim α-amilase (Fluca), asam dimetilsalisilat (DNS), pati murni (E Merck), dan Na2S2O5.

Alat yang digunakan untuk pembuatan pati, yaitu rasper, vibrating screen, bak pengendap pati, loyang, oven pengering, autoklaf, dan drum dryer. Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan cookies, yaitu handmixer, oven pemanggang, loyang, dan timbangan. Alat-alat yang digunakan untuk analisis, yaitu Glukometer One Touch UltraTM, tanur, oven, neraca analitik, desikator, perangkat Soxhlet, perangkat Kjeldahl, sheaker waterbath, penangas air, hotplate, spektrofotometer, sentrifuge, gelas ukur, erlenmeyer, pipet volumetrik, gelas piala, dan alat-alat gelas lainnya.

B. METODE PENELITIAN

Metode penelitian terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap pembuatan pati garut, tahap pembuatan RS tipe III, dan tahap pembuatan cookies.


(49)

1. Tahap Pembuatan Pati Garut

Ekstraksi pati garut dilakukan dengan mengacu metode Lingga (1986) yang telah dimodifikasi untuk mendapatkan optimasi pembuatan pati garut. Diagram alir ekstraksi pati garut dapat dilihat pada Gambar 4.

2. Pembuatan RS III pati garut dengan 3 siklus (metode Mahadevamma et al. yang dimodifikasi 2003)

Selanjutnya dilakukan modifikasi pati garut secara fisik dengan autoclaving-cooling menggunakan metode Mahadevamma et al. (2003) yang dimodifikasi. Proses pembuatan pati garut termodifikasi (PGT) dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 4 Metode ektraksi pati garut (Lingga 1986).

2x Umbi Segar

Pengupasan dan Pencucian

Perendaman selama 1 jam

Pemarutan dengan rasper

Ekstraksi dengan penambahan air (1 : 3.5)

Suspensi pati Ampas + air

Pengendapan

Pengeringan (55 oC, 6 jam)

Penggilingan

Pengayakan (80 mesh)


(50)

Gambar 5 Bagan proses pembuatan pati garut termodifikasi (PGT). Pati Garut

Disuspensikan dalam air 20% w/v

Pemanasan hingga homogen dan mengental

Diautoklaf selama 15 menit, suhu 121 oC

Didinginkan pada suhu ruang selama 1 jam

Disimpan pada suhu 4 oC selama 24 jam

Pengeringan dengan drum dryer 3 rpm, suhu 80-100 oC

2 x

Digiling

Diayak 80 mesh


(51)

3. Tahap Pembuatan Cookies

Pembuatan cookies pada penelitian ini menggunakan PGT 100%. Selain itu, dibuat pula cookies kontrol yang tidak dilakukan substitusi dengan PGT. Formula-formula yang diujicobakan dapat dilihat pada Tabel 8 Proses pembuatan cookies dapat dilihat pada Gambar 6.

Tabel 8 Formulasi cookies

Kompoisi (gram) Bahan

Formula I Formula II Tepung Terigu 250 0

PGT 0 250

Gula Halus 87.5 87.5

Margarin 137.5 137.5

Susu Skim 18.75 18.75 Kuning Telur 31.25 31.25 Garam 0.625 0.625


(52)

Gambar 6 Diagram alir pembuatan cookies.

C. Metode Analisis 1. Analisis Fisik

a. Uji Kekerasan (Giantine 2007)

Pengukuran kekerasan cookies dilakukan dengan menggunakan Texture Analyzer XT-21. Probe yang digunakan adalah P 2. jarak probe dikalibrasi sesuai dengan tinggi cookies (4.00 mm). Cookies yang akan diukur kekerasannya diletakkan di bawah probe, lalu tekan ”Quick Run Test“. Setelah pengukuran selesai, nilai kekerasan cookies dapat dilihat pada layar komputer.

Gula halus, margarin, susu skim,

dan kuning telur

Pencampuran (Mixing) selama ± 10 menit

Pencampuran (Mixing) Tepung sesuai

formula

Garam dan soda kue

Pencetakan

Pemanggangan (160-170 oC, 10-12 Menit)


(53)

b. Derajat Warna, Metode Hunter (Hutching 1999)

Analisis dilakukan dengan menggunakan alat Minolta Chromameters. Pada prinsipnya, Minolta Chromameters bekerja berdasarkan pengukuran perbedaan warna yang dihasilkan oleh permukaan sampel. Pengukuran dilakukan dengan meletakkan sampel di dalam wadah sampel berukuran beragam (misalnya cawan petri). Selanjutnya dilakukan pengukuran nilai L, a, dan nilai b terhadap sampel. Nilai L menyatakan parameter kecerahan (lightness) yang mempunyai nilai dari 0 (hitam) sampai 100 (putih). Nilai a menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a (positif) dari 0-100 untuk warna merah dan nilai – a (negatif) dari 0-(-80) untuk warna hijau. Nilai b menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai +b (positif) dari 0-70 untuk warna kuning dan nilai –b (negatif) dari 0-(-70) untuk warna biru. Selanjutnya dihitung oHue dari nilai a dan b yang diperoleh dengan persamaan oHue = arc tan (a/b). Deskripsi warna berdasarkan oHue dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 4 Deskripsi warna berdasarkan oHue

oHue [arc tan (b/a)] Deskripsi warna

18 – 54 Red (R)

54 – 90 Yellow Red (YR) 90 – 126 Yellow (Y) 126 – 162 Yellow Green (G) 162 – 198 Green (G) 198 – 234 Blue Green (BG)

234 – 270 Blue (B)

270 – 306 Blue Purple (BP) 306 – 342 Purple (P)

342 – 18 Red Purple (RP) Sumber : Hutching 1999

c. Uji Aktivitas Air (aw)

Pengukuran aktivitas air (aw) dilakukan dengan menggunakan alat aw meter ”Shibauru aw meter WA- 360”. Sebelum digunakan, alat dikalibrasi dengan NaCl jenuh yang memiliki nilai aw 0.7547, 0.7529, dan 0.7509 yang berturut-turut pada suhu 20, 25, dan 290C dengan cara memasukkan NaCl jenuh tersebut dalam wadah aw dilakukan setelah indikator proses pengukuran


(54)

telah selesai. Bila aw yang terbaca tepat 0.750 maka bagian switch diputar sampai mencapai tepat 0.750. Pengukuran aw sampel dilakukan dengan cara yang sama dengan kalibrasi alat yaitu sampel kurang lebih 1 g dimasukkan dalam wadah aw meter. Pembacaan nilai aw dilakukan setelah indikator proses pada layar penunjuk menunjukkan proses pengukuran telah selesai.

2. Analisis Kimia

a. Analisis Kadar Air, Metode Oven (AOAC 1995)

Cawan kosong dikeringkan dalam oven selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Sebanyak 4-5 g sampel ditimbang dalam cawan yang telah diketahui bobot kosongnya, lalu dikeringkan dalam oven pengering pada suhu 105oC selama 6 jam. Cawan dengan isinya kemudian didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Pengeringan dilakukan kembali hingga diperoleh berat konstan. Kadar air dihitung berdasarkan kehilangan berat yaitu selisih berat awal sampel sebelum dikeringkan dengan berat akhir setelah dikeringkan.

Kadar air (%bb) = (berat awal-berat akhir) x 100 % berat sampel

b. Analisis Kadar Abu, Metode Oven (AOAC 1995)

Cawan porselen dipanaskan dalam oven selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3-5 g sampel dimasukkan dalam cawan porselen dan ditimbang, lalu dibakar sampai tidak berasap lagi dan diabukan dalam tanur bersuhu 550 oC sampai berwarna putih (semua contoh menjadi abu) dan beratnya konstan. Setelah itu didinginkan dalam desikator dan ditimbang.

Kadar abu (%bb) = berat abu x 100 % berat sampel


(55)

c. Analisis Kadar Protein, metode Kjeldahl (AOAC 1995)

Ditimbang sejumlah kecil sampel (0.2 g) dalam labu Kjeldahl 30 ml. Ditambahkan 1.9 + 0.1 g K2SO4, dan 2.0 + 0.1 ml H2SO4 pekat. Sampel didestruksi selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Cairan didinginkan, ditambah 8-10 ml NaOH-Na2S2O3 dan dimasukkan ke dalam alat destilasi. Di bawah kondensor alat destilasi diletakkan erlenmeyer berisi 5 ml larutan H3BO3 dan beberapa tetes indikator merah metil. Ujung selang kondensor harus terendam larutan untuk menampung hasil destilasi sekitar 15 ml. Distilat dititrasi dengan HCl 0.0235 N sampai terjadi warna abu-abu. Prosedur yang sama juga dilakukan terhadap blanko (tanpa sampel). Jumlah titran sampel (a) dan titran blanko (b) dinyatakan dalam ml HCl 0.0235 N.

Kadar N (%) = (a - b) x N HCl x 14.007 x 100 % mg sampel

Kadar protein (%bb) = Kadar N (%) x FP

FP = faktor konversi = 5.70 untuk tepung dan pati serta 6.25 untuk cookies

Kadar protein (%bk) = kadar protein (%bb) x 100 % 100 - kadar air (%bb)

d. Analisis Kadar Lemak, Metode Soxhlet (AOAC 1995)

Labu lemak dikeringkan dengan oven. Sampel ditimbang sebanyak 5 g dibungkus dengan kertas saring dan ditutup kapas bebas lemak. Kertas saring berisi sampel tersebut diletakkan dalam alat ekstraksi soxhlet yang dirangkai dengan kondensor. Pelarut heksana dimasukkan ke dalam labu lemak lalu direfluks selama minimal 5 jam. Sisa pelarut dalam labu lemak dihilangkan dengan dipanaskan dalam oven, lalu ditimbang.

Kadar lemak (%bb) = berat lemak x 100 % berat sampel

Kadar lemak (%bk) = kadar lemak (%bb) x 100 % 100 - kadar air (%bb)


(56)

e. Analisis Kadar Karbohidrat By Difference (AOAC 1995)

Pengukuran kadar karbohidrat menggunakan metode by difference dilakukan dengan cara mengurangkan 100% dengan nilai total dari kadar air (%bb), kadar abu (%bb), kadar protein (%bb) dan kadar lemak (%bb).

Kadar karbohidrat (%b/b) = 100% - (kadar air + kadar protein + kadar lemak + kadar abu)

f. Analisis Nilai Energi (Almatsier 2001)

Penentuan nilai energi makanan melalui perhitungan dapat dilakukan menurut komposisi karbohidrat, lemak, protein, serta nilai energi makanan tersebut.

Energi = (4 kkal/g x kadar karbohidrat) + (4 kkal/g x kadar protein) + (9 kkal/g x kadar lemak)

g. Uji Organoleptik

Pengujian organoleptik yang dilakukan adalah berupa pengujian kesukaan indrawi terhadap produk olahan panggang. Pengujian meliputi uji hedonik untuk mengetahui tingkat kesukaan produk. Parameter yang diuji meliputi warna, aroma, rasa, tekstur, dan overall. Skor penilaian yang digunakan dalam uji hedonik menggunakan skala garis. Penilaian dilakukan oleh 30 orang panelis tidak terlatih.

Produk yang diujikan adalah cookies PGT dan cookies terigu. Untuk mengetahui pengaruh perlakukan terhadap tingkat kesukaan panelis maka dilakukan analisis statistik dengan t-Test terhadap data hasil uji organoleptik.

h. Total Pati (Apriyantono et al. 1989 yang dimodifikasi) Hidrolisis pati dengan asam


(1)

Panelis 21 6.60 7.50 4.40 7.20 7.40 5.55 6.30 7.25 4.30 5.85 Panelis 22 7.30 6.20 4.75 8.10 9.65 8.80 3.40 6.20 4.95 10.55 Panelis 23 3.60 7.75 1.85 9.00 2.80 7.65 3.50 8.20 6.70 9.20 Panelis 24 5.50 7.50 6.75 8.30 7.15 4.80 3.40 4.30 1.30 1.96 Panelis 25 8.40 8.70 9.00 9.85 9.40 3.00 5.05 7.70 0.35 1.25 Panelis 26 6.70 7.10 6.80 5.30 6.70 7.20 5.90 6.70 5.50 7.70 Panelis 27 7.25 7.80 6.90 8.70 9.40 2.35 5.60 7.30 1.85 2.80 Panelis 28 6.85 8.15 4.90 9.10 7.50 3.50 1.15 6.90 0.85 4.65 Panelis 29 3.40 6.20 5.00 5.50 3.90 7.30 3.00 6.20 6.75 5.30 Panelis 30 7.80 8.55 2.65 7.10 9.60 2.95 4.60 7.40 2.00 5.50 Rata-Rata 6.26 7.79 6.11 7.06 7.28 4.99 4.17 6.69 3.53 5.20


(2)

Lampiran 20. Hasil Pengujian Statistik dengan t-Test Overall

t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances

Overall Overall

Mean 7.281666667 5.197666667

Variance 3.620083333 6.009666782

Observations 30 30

Pooled Variance 4.814875057 Hypothesized Mean Difference 0

Df 58

t Stat 3.678331219

P(T<=t) one-tail 0.000257765

t Critical one-tail 1.671552763 P(T<=t) two-tail 0.00051553 t Critical two-tail 2.001717468

Nilai P(T<=t) two-tail lebih kecil dari 0.05, artinya kedua sampel berbeda nyata pada taraf 5% untuk overall

Rasa

t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances

Rasa Rasa

Mean 6.256666667 4.991666667

Variance 3.61254023 6.83829023

Observations 30 30

Pooled Variance 5.22541523 Hypothesized Mean Difference 0

Df 58

t Stat 2.143264407

P(T<=t) one-tail 0.01814907 t Critical one-tail 1.671552763 P(T<=t) two-tail 0.03629814 t Critical two-tail 2.001717468

Nilai P(T<=t) two-tail lebih besar dari 0.05, artinya kedua sampel tidak berbeda nyata pada taraf 5% untuk rasa


(3)

Warna

t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances

Warna Warna

Mean 7.791666667 4.166666667

Variance 1.778807471 3.322816092

Observations 30 30

Pooled Variance 2.550811782 Hypothesized Mean Difference 0

Df 58

t Stat 8.790517307

P(T<=t) one-tail 1.472E-12 t Critical one-tail 1.671552763 P(T<=t) two-tail 2.94401E-12 t Critical two-tail 2.001717468

Nilai P(T<=t) two-tail lebih kecil dari 0.05, artinya kedua sampel berbeda nyata pada taraf 5% untuk warna

Aroma

t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances

Aroma Aroma

Mean 6.111666667 6.688333333

Variance 4.228393678 3.669772989

Observations 30 30

Pooled Variance 3.949083333 Hypothesized Mean Difference 0

Df 58

t Stat -1.123886175

P(T<=t) one-tail 0.132845763

t Critical one-tail 1.671552763 P(T<=t) two-tail 0.265691525 t Critical two-tail 2.001717468

Nilai P(T<=t) two-tail lebih besar dari 0.05, artinya kedua sampel tidak berbeda nyata pada taraf 5% untuk aroma


(4)

Tekstur

t-Test: Two-Sample Assuming Equal Variances

Tekstur Tekstur

Mean 7.06 3.528333333

Variance 3.717655172 4.970807471

Observations 30 30

Pooled Variance 4.344231322 Hypothesized Mean Difference 0

Df 58

t Stat 6.562493173

P(T<=t) one-tail 7.92709E-09 t Critical one-tail 1.671552763 P(T<=t) two-tail 1.58542E-08 t Critical two-tail 2.001717468

Nilai P(T<=t) two-tail lebih kecil dari 0.05, artinya kedua sampel berbeda nyata pada taraf 5% untuk tekstur


(5)

Lampiran 21. Lembar Penilaian Uji Rating Hedonik dengan Skala Garis

Uji Rating Hedonik

Sampel : Cookies Nama :

Kriteria : rasa, warna, aroma, tekstur, dan overall Tanggal : Di hadapan anda terdapat 2 sampel cookies. Anda diminta untuk memberikan penilaian terhadap tingkat kesukaan Anda terhadap warna, rasa, aroma, tekstur, dan overall sampel ini.

Instruksi :

1. Tuliskan kode setiap sampel (dari kiri ke kanan).

2. Cicipilah sampel secara berurutan dari kiri ke kanan dengan tidak membandingkan tingkat kesukaan antar sampel.

3. Ciciplah sampel yang paling kiri terlebih dahulu. Lalu berikan penilaian dengan menarik garis vertikal di antara garis horisontal yang berisi keterangan tidak suka dan sangat suka.

Kode sampel:

Tidak suka Sangat suka

Kode sampel:

Tidak suka Sangat suka

Komentar:

... ... ...


(6)

Lampiran 22. Pembuatan Larutan Buffer dan Reagen Pembuatan buffer phosfat

Larutan A : 0.1 M Larutan Na-fosfat monobasis sebanyak 27.8 gram dalam 1000 ml

Larutan B : 0.1 M larutan fosfat dibasis (52.65 gram Na2HPO4.7H2O atau 71.7

gram Na2HPO4.12 H2O dalam 1000 ml)

x ml larutan A + y ml larutan B diencerkan sampai 200 ml

Untuk pH 6.0, x : y = 87.7 : 12.3 dan untuk pH 7.0, x : y = 39.0 : 61.0

Pembuatan buffer asetat

Larutan A : 0.4 M Larutan asam asetat (23.1 ml asetat glasial dalam 1000 ml akuades)

Larutan B : 0.4 M Larutan Na-asetat (32.8 g C2H3O2Na/54.4 g C2H3O2Na.3H2O

dalam 1000 ml akuades)

x ml larutan A + y ml larutan B diencerkan sampai 200 ml Untuk pH 4.75, x : y = 21.375 : 28.625

Pembuatan DNS

Timbang 1 gram 3,5 DNS + 30 gram Na-K tartarat + 1,6 gram NaOH. Kemudian dilarutkan ke dalam 100 ml air destilata