1
PENDEKATAN KEDWIBAHASAAN SEJAK ANAK USIA DINI: Bahasa Daerah dan Bahasa Indonesia
1
I Wayan Pastika
Abstrak
Penguatan bahasa Indonesia di wilayah pedesaan, yang sebagian besar berpenutur bahasa daerah, harus diwaspadai karena dapat mengancam keberadaan bahasa daerah sebagai pucuk-
pucuk kebudayaan nasional. Solusi yang dapat ditawarkan, agar kedua bahasa itu dapat berkembang selaras, adalah pendekatan kedwibahasaan. Pendekatan kedwibahasaan dapat
dijadikan kebijakan kebahasaan sejak jenjang pendidikan prasekolah sampai SD Kelas III di wilayah pedesaan, sebagai bahasa pengantar di sekolah dan keluarga. Kompetensi utama,
misalnya, pengenalan huruf dan angka, dapat disampaikan dalam bahasa Indonesia, sementara kompetensi pendukung dapat diantarkan dalam bahasa daerah. Tujuan pendekatatan
kedwibahasaan sejak anak usia dini tidak hanya untuk menghasilkan penutur yang cerdas dalam bidang ilmu pengetahuan, tetapi juga mampu menghargai perbedaan, penguatan jati diri bahasa
Indonesia, dan kebertahanan bahasa daerah. Bukti empirik menunjukkan bahwa anak usia dini memiliki kognisi kebahasaan dan perangkat alat ucap yang sedang bertumbuh dan berkembang,
sehingga mereka mudah dan cepat menguasai dua bahasa. Pendekatan kedwibahasaan merupakan salah satu perangkat penguat karakter kebangsaan.
Kata-kata kunci
: kedwibahasaan, bahasa ibu, anak usia dini
1. Pendahuluan
1.1 Dominasi Bahasa Nasional Jangan Mengancam Bahasa Daerah Bahasa Indonesia yang berkedudukan sebagai bahasa nasional telah berhasil menyatukan
warga bangsa dari berbagai latar belakang etnik, budaya dan bahasa ke dalam satu guyub tutur. Dalam kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia juga telah
menunjukkan posisinya yang semakin kuat sebagai alat komunikasi wajib dalam kehidupan bernegara. Namun, perkembangan bahasa Indonesia yang maju begitu pesat, baik dari segi sistem
kelinguistikan maupun dari segi penggunaannya telah mengubah peta penggunaan bahasa daerah. Bahasa daerah masih digunakan oleh sebagain besar pendukungnya bersama dengan bahasa
Indonesia sebagai kemampuan kedwibahasaan mereka, tetapi posisinya tampak mulai terdesak oleh dominasi bahasa Indonesia.
Jika dilihat peta perolehan bahasa yang terjadi pada masyarakat Indonesia yang berlatar belakang etnik dengan bahasa daerahnya, maka klasifikasinya: 1 penutur ekabahasa yang hanya
memperoleh bahasa daerah sebagai bahasa ibu, 2 penutur ekabahasa yang hanya memperoleh bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu, 3 penutur dwibahasa seimbang yang memperoleh bahasa
daerah sebagai bahasa ibu di keluarga dan lingkungan sekitarnya serta memperoleh bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua di sekolah dan pergaulan yang luas, 4 penutur dwibahasa
takseimbang yang memperoleh bahasa Indonesia sebagai bahasa Ibu dan bahasa daerah sebagai
1
Makalah ini disajikan pada Kongres Bahasa Indonesia X di Jakarta, 28 – 31 Oktober 2013.
2
bahasa kedua dari keluarga luas, 5 penutur aneka bahasa yang memperoleh bahasa daerah dan bahasa Indonesia masing-masing sebagai bahasa pertama dan kedua, sementara bahasa daerah
lain danatau bahasa asing sebagai bahasa ketiga, dan 6 penutur aneka bahasa yang memperoleh bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing sebagai bahasa pertama dan kedua,
sementara bahasa daerah lain danatau bahasa asing sebagai bahasa ketiga.
Penutur ekabahasa kategori pertama tergolong penutur yang buta aksara dan hidup di daerah pedesaan tanpa pernah berkesempatan memperoleh bahasa Indonesia sebagai bahasa
kedua. Sebaliknya, penutur ekabahasa kategori kedua adalah penutur yang dibesarkan dalam lingkungan ekabahasa Indonesia dan menjadikan bahasa Indonesia sebagai lingua franca tanpa
ada kesempatan menggunakan bahasa daerahnya. Pada penutur dwibahasa atau aneka bahasa kemampuan menguasai dua bahasa atau lebih bagi penutur anekabahasawan memiliki derajat
penguasaan yang seimbang atau tak seimbang.
Permasalahan utama yang menjadi pusat perhatian makalah ini adalah menyangkut: 1 Mengapakah pendekatan kedwibahasaan bahasa daerah dan bahasa Indonesia lebih
dipentingkan alih-alih pendekatan ekabahasa bahasa Indonesia atau bahasa daerah saja; dan 2 Langkah-langkah apakah yang perlu dilakukan untuk mendorong pendekatan kedwibahasaan
tersebut menjadi pilihan bagi lembaga pendidikan prasekolah, Sekolah Dasar dalam tingkat awal, dan pilihan bahasa keluarga?
1.2 Dwibahasawan dan Derajatnya
Pada penutur dwibahasa, kemampuan menggunakan dua bahasa dibedakan atas kedwibahasaan seimbang dan kedwibahasaan takseimbang. Dalam kedwibahasaan seimbang,
penutur dapat mengekspresikan pikirannya dalam bahasa verbal berperangkat linguistik setara baik dari aspek linguistik mikro pelafalan, pembentukan kata, pembentukan kalimat dan
pemaknaan maupun aspek linguistik makro sosiolinguistik dan pragmatik. Penutur dalam kategori itu biasanya memperoleh bahasa pertama dari keluarga dan lingkungan sekitarnya,
sementara bahasa kedua diperoleh di sekolah dan pergaulan lebih luas. Penutur dwibahasa takseimbang memiliki kemampuan menggunakan salah satu bahasa secara lebih kuat. Hal itu
terjadi karena kesempatan mereka menggunakan satu bahasa lebih kerap alih-alih bahasa lain. Misalnya, dalam penguasaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah, bahasa yang disebutkan
terakhir ini hanya digunakan sekali-sekali saja ketika berkomunikasi dengan keluarga luas kakek-nenek dari pihak ibu danatau kakek-nenek dari pihak ayah, sementara bahasa Indonesia
digunakan pada ranah yang lebih luas dengan kekerapan tinggi.
Derajat dwibahasawan, menutur Bee Chin dan Wigglesworth 2007: 5 —9, tidak hanya
dibedakan atas dwibahasawan seimbang balanced bilinguals dan dwibahasawan takseimbang dominant bilinguals, tetapi juga dwibahasawan pasif atau dwibahasawan tersembunyi passive
or recessive bilinguals dan semibahasawan atau dwibahasawan terbatas semilinguals or limited bilinguals. Dwibahasawan pasif pada awalnya mampu menggunakan dua bahasa, tetapi secara
bertahap kehilangan kemampuan menggunakan salah satunya karena dia lebih sering berhadapan dengan penutur bahasa yang dominan. Misalnya, seorang anak Indonesia berusia 6 tahun diajak
beremigrasi ke Australia, setelah 10 tahun berada di sana, dia dapat saja kehilangan kemampuan berbahasa Indonesia yang dikuasai sebelumnya. Hal itu dapat terjadi karena dia harus berbicara
dalam bahasa Inggris dalam semua ranah. Ketika anak itu diajak berbicara dalam bahasa Indonesia, dia dapat memahami maksudnya, tetapi tidak mampu menjawab dalam bahasa
Indonesia, melainkan dalam bahasa Inggris. Situasi yang serupa dapat terjadi pada anak usia 6
3
tahun yang pada awalnya menguasai bahasa daerah, tetapi kemampuan bahasa daerahnya hilang setelah diajak menetap di Jakarta atau kota-kota besar lainnya, yang secara dominan
menggunakan bahasa Indonesia. Ketika dia sekali-sekali pulang ke daerahnya pada usia remaja dan diajak berbahasa daerah oleh kakek atau neneknya, anak itu dapat memahami maksudnya,
tetapi tidak mampu menjawabnya dalam bahasa daerah, melainkan dalam bahasa Indonesia.
Dwibahasawan terbatas
atau semibahasawan
berkemampuan terbatas
dalam menggunakan dua bahasa yang dikuasai. Hansegard dalam Bee Chin dan Wigglesworth, 2007:
8 —9 menyebutkan enam macam keterbatasan: jumlah kosakata size of vocabulary, ketepatan
bahasa correctness of language, kelancaran automatism, daya cipta bahasa neologization, penguasaan fungsi-fungsi bahasa misalnya, emotif dan kognitif, makna dan daya khayal
meanings and imagery. Menurutnya, anak yang memiliki keenam keterbatasan tersebut cenderung berkemampuan terbatas pula dalam dunia akademik.
Sebagian masyarakat Indonesia termasuk penutur aneka bahasa dengan kemampuan tuturan takseimbang. Seperti halnya dalam perolehan dwibahasa, dalam perolehan aneka bahasa,
mereka ada yang memperoleh bahasa daerah sebagai bahasa pertama dan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua, atau sebaliknya; sementara bahasa daerah lain dan atau bahasa asing
diperolehnya sebagai bahasa ketiga. Kemampuan mereka menggunakan bahasa kedua bisa jadi seimbang dengan kemampuan bahasa pertama, tetapi kemampuan bahasa ketiganya berada di
bawah bahasa pertama dan kedua.
Menurut pengamatan penulis, semenjak Pendidikan Anak Usia Dini PAUD
2
, yang dibedakan atas Kelompok Bermain umur 4 -- 5 tahun dan Taman Kanak-kanak 5
–6 tahun, memasuki wilayah pedesaan, peta perolehan kebahasaan generasi baru kita mengalami
pergeseran. Anak-anak berusia dini sebelumnya memperoleh bahasa daerah sebagai bahasa ibu, tetapi karena PAUD diantarkan dalam bahasa Indonesia, para orang tua beralih menggunakan
bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama, sementara bahasa daerah digunakan sebagai bahasa kedua dengan kekerapan yang sangat rendah. Gejala semacam itu dapat disaksikan pada keluarga
yang memiliki anak ber-PAUD di wilayah pedesaan di Bali. Dalam keadaan seperti itu, keluarga muda yang baru mempunyai anak telah menganggap bahwa pilihan bahasa Indonesia sebagai
bahasa pertama atau bahkan sebagai satu-satunya pilihan kebahasaan untuk anak-anak mereka merupakan suatu kebanggaan.
2. Perolehan Ekabahasa