Perolehan Ekabahasa PENDEKATAN KEDWIBAHASAAN SEJAK ANAK USIA DINI: Bahasa Derah dan Bahasa Inndonesia.

3 tahun yang pada awalnya menguasai bahasa daerah, tetapi kemampuan bahasa daerahnya hilang setelah diajak menetap di Jakarta atau kota-kota besar lainnya, yang secara dominan menggunakan bahasa Indonesia. Ketika dia sekali-sekali pulang ke daerahnya pada usia remaja dan diajak berbahasa daerah oleh kakek atau neneknya, anak itu dapat memahami maksudnya, tetapi tidak mampu menjawabnya dalam bahasa daerah, melainkan dalam bahasa Indonesia. Dwibahasawan terbatas atau semibahasawan berkemampuan terbatas dalam menggunakan dua bahasa yang dikuasai. Hansegard dalam Bee Chin dan Wigglesworth, 2007: 8 —9 menyebutkan enam macam keterbatasan: jumlah kosakata size of vocabulary, ketepatan bahasa correctness of language, kelancaran automatism, daya cipta bahasa neologization, penguasaan fungsi-fungsi bahasa misalnya, emotif dan kognitif, makna dan daya khayal meanings and imagery. Menurutnya, anak yang memiliki keenam keterbatasan tersebut cenderung berkemampuan terbatas pula dalam dunia akademik. Sebagian masyarakat Indonesia termasuk penutur aneka bahasa dengan kemampuan tuturan takseimbang. Seperti halnya dalam perolehan dwibahasa, dalam perolehan aneka bahasa, mereka ada yang memperoleh bahasa daerah sebagai bahasa pertama dan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua, atau sebaliknya; sementara bahasa daerah lain dan atau bahasa asing diperolehnya sebagai bahasa ketiga. Kemampuan mereka menggunakan bahasa kedua bisa jadi seimbang dengan kemampuan bahasa pertama, tetapi kemampuan bahasa ketiganya berada di bawah bahasa pertama dan kedua. Menurut pengamatan penulis, semenjak Pendidikan Anak Usia Dini PAUD 2 , yang dibedakan atas Kelompok Bermain umur 4 -- 5 tahun dan Taman Kanak-kanak 5 –6 tahun, memasuki wilayah pedesaan, peta perolehan kebahasaan generasi baru kita mengalami pergeseran. Anak-anak berusia dini sebelumnya memperoleh bahasa daerah sebagai bahasa ibu, tetapi karena PAUD diantarkan dalam bahasa Indonesia, para orang tua beralih menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama, sementara bahasa daerah digunakan sebagai bahasa kedua dengan kekerapan yang sangat rendah. Gejala semacam itu dapat disaksikan pada keluarga yang memiliki anak ber-PAUD di wilayah pedesaan di Bali. Dalam keadaan seperti itu, keluarga muda yang baru mempunyai anak telah menganggap bahwa pilihan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama atau bahkan sebagai satu-satunya pilihan kebahasaan untuk anak-anak mereka merupakan suatu kebanggaan.

2. Perolehan Ekabahasa

Pandangan para ahli psikologi terhadap dampak perolehan ekabahasa dan dwibahasa pada anak usia dini cenderung berbeda. Pandangan pertama beranggapan bahwa anak-anak usia dini berkembang lebih cerdas secara kognitif apabila dibesarkan atau diajarkan dalam satu bahasa, sementara pandangan kedua menyatakan sebaliknya: anak usia dini berkembang lebih cerdas secara kognitif, sosial dan emosional apabila mereka dibesarkan atau diajarkan dalam dua bahasa Genesee, 2009. 2.1 Ekabahasawan dari Satu Bahasa Dominan 2 Menurut data Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal, di 33 provinsi Indonesia terdapat 162.748 anak tercatat sebagai peserta didik PAUD http:www.paudni.kemdikbud.go.iddpn. Jumlah itu sampai tahun 2012, menurut Direktur Jenderalnya, hanya 37.8 dari jumlah anak yang semestinya mendapat akses pendidikan PAUD The Jakarta Post, 27 Juli 2013: 2. 4 Perolehan ekabahasa tentu menguntungkan apabila semua informasi akademik, sosial, budaya, politik, imu dan teknologi bersumber dari satu bahasa dominan, lebih-lebih bahasa itu berstatus bahasa internasional. Informasi tertulis yang terekayasa secara nasional ke dalam suatu bahasa, baik informasi itu berasal dari teks asli maupun teks terjemahan, akan memudahkan penuturnya meningkatkan kemampuan bahasa dan pengetahuan akademiknya. Sebuah negara yang didukung oleh warga bangsa yang homogen secara linguistik dan budaya semacam itu misalnya, Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Australian, dan Selandia Baru – dengan bahasa Inggrisnya tentu tidak akan menghadapi banyak permasalahan karena semua warganya dibesarkan dalam satu bahasa dominan secara internasional. Kelompok kecil masyarakatnya dapat saja menguasai bahasa lain, tetapi hanya untuk tujuan-tujuan khusus. Negara-negara dengan penutur ekabahasa seperti itu terbukti melahirkan orang-orang dengan kemampuan dan capaian yang sangat menonjol melampaui batas negaranya. Karya-karya mereka, di bidang seni, budaya, ilmu, politik, ekonomi, teknologi, dan sebagainya, bahkan dijadikan acuan oleh masyarakat atau bangsa yang berbahasa lain. Hal yang berbeda dari penutur ekabahasa di atas adalah penutur ekabahasa dari suatu bahasa berstatus bahasa lokal, yakni, suatu bahasa yang dituturkan oleh satu etnik untuk mengekspresikan berbagai pesan dengan ciri-ciri etniksitasnya. Bahasa-bahasa daerah semacam itu ada yang berstatus bahasa daerah minor dan bahasa daerah mayor. Bahasa daerah tipe pertama, di samping didukung oleh jumlah penutur yang relatif kecil, juga tidak memiliki tradisi tulis dengan sistem aksara yang terekam dalam teks sastra atau teks-teks pengetahuan tertentu. Contoh bahasa daerah minor semacam itu adalah bahasa-bahasa Papua, bahasa-bahasa daerah di pulau Sumba dan pulau Timor. Sebaliknya, bahasa daerah tipe kedua didukung oleh jumlah penutur yang jauh lebih banyak daripada tipe pertama, juga diberdayakan oleh budaya tulis dengan sistem aksaranya sendiri beserta tradisi sastra dan teks-teks pengetahuan lainnya. Contoh bahasa daerah mayor semacam itu adalah bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Madura, bahasa Bali, bahasa Sasak, dan bahasa Bugis. Tradisi tulis dari bahasa-bahasa daerah mayor itu dapat disaksikan dalam bentuk manuskrip atau prasasti daun lontar atau media lain batu, kayu dan tembaga dari zaman dahulu, atau melalui media modern saat ini. Pendukung bahasa daerah mayor juga mampu melahirkan karya-karya besar melampaui batas daerahnya, yang bahkan dijadikan rujukan oleh pendukung bahasa mayor lainnya. Teks sastra Serat Centhini, misalnya, ditulis dalam bahasa dan aksara Jawa Tengahan dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis dan Inggris. Terks itu mengandung berbagai pengetahuan lahir-batin masyarakat Jawa kala itu, termasuk keyakinan dan penghayatan mereka terhadap agama, kebatinan, kekebalan, dunia keris, tari, tata cara membangun rumah, pertanian, primbon horoskop, makanan dan minuman, adat-istiadat, dan cerita-cerita kuno mengenai Tanah Jawa. Karya sastra terbesar Jawa itu ditulis oleh tiga orang pengarang istana Surakarta Raden Ngabehi Ranggasutrasna, Raden Ngabehi Ranggawarsita I, Raden Ngabehi Sastradipura atas kehendak raja Sunan Pakubawana V pada tahun 1814 Masehi. Panjang Serat Centhini mencapai 12 jilid dalam bentuk bait-bait tembang yang keseluruhannya berjumlah 725 bait. http:ebookbrowse.comserat-centhini-pdf-d229412289; diunduh 24 Juli 2013. 1 Contoh aksara Bali https:www.google.co.idsearch?q=aksara+bali+fontbiw 5 1 Contoh aksara Jawa http:wacananusantara.org; diunduh 10 Juni 2013: Sebuah karya sastra yang dianggap karya sastra terbesar dunia datang dari penutur bahasa Bugis di Sulawesi Selatan. Mahakarya sastra itu berjudul Galigo atau disebut juga La Galigo atau I La Galigo. Karya itu merupakan sebuah epik mitos, menceritakan tentang peradaban Bugis, asal-usul manusia, dan dijadikan almanak praktis sehari-hari. Karya sastra itu ditulis di antara abad ke-13 dan ke-15 berbentuk puisi bahasa Bugis kuno, berhuruf Lontara Bugis kuno, dan bersajak lima suku. Epik itu kemudian berkembang sebagai tradisi lisan dalam masyarakat Bugis 6 dan didendangkan pada upacara-upacara tradisional mereka. Keseluruhan versi I La Galigo yang dapat diselamatkan berjumlah 6.000 halaman atau 300.000 baris teks. http:www.unesco.orgnewencommunication-and-informationflagship-project- activitiesmemory-of-the-worldregisterfull-list-of-registered-heritageregistered-heritage-page- 5la-galigo; diunduh 24 Juli 2013. 2 aksara Lontara Bugis http:wacananusantara.org; diunduh 10 Juni 2013: 2.2 UNESCO: Bahasa Ibu bagi Pendukungnya UNESCO, sebagai satu organisasi di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang mengurusi bidang pendidikan, keilmuan dan kebudayaan, telah mendorong penggunaan bahasa ibu bagi pendukungnya. Salah satu bentuk dukungan itu adalah penetapan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu sedunia sejak tahun 2000 3 . Peringatan itu mempunyai tujuan untuk:  memperingati keberagaman bahasa dan budaya  mempromosikan keanekabahasaan dengan peningkatan kesadaran linguistik dan tradisi budaya komunikasi. Masyarakat didorong dan diinsipirasi untuk mempelajari bahasa- bahasa berbeda  mendorong masyarakat agar bangga menggunakan bahasa ibu mereka  menekankan pentingnya bahasa ibu untuk pengembangan jati diri penuturnya http:www.unesco.orgnewenculturethemescultural-diversitylanguages-and- multilingualisminternational-mother-language-day 3 Tanggal 21 Februari dipilih sebagai penghargaan terhadap mahasiswa pejuang yang terbunuh di kota Dhaka saat memperjuangkan bahasa Bengali sebagai salah satu bahasa nasional di negara Pakistan pada 21 Februari 1952. Pada saat itu bangsa Banglades yang menggunakan bahasa Bengali belum menjadi negara merdeka, tetapi masih menjadi negara bagian Pakistan Timur. 7 Peran UNESCO untuk mendorong pendukung bahasa ibu agar tetap menggunakan dan mengembangkan bahasanya menjadi sangat strategis karena pada dasarnya suatu bahasa berimplikasi pada identitas, komunikasi, integrasi sosial, pendidikan dan pengembangan diri. Semua itu merupakan kepentingan strategik bagi manusia yang hidup di planet ini. Jika bahasa ibu ditinggalkan oleh pendukungnya maka manusia akan kehilangan warisan budaya yang sangat berharga. Kita mungkin tidak akan bisa menikmati atau menghasilkan karya- karya besar seperti Serat Centhini atau I La Galigo apabila jati diri bahasa dan budayanya tidak lagi menjadi bagian ekspresi cipta, karsa dan karya masyarakatnya. Kelahiran teks-teks besar seperti itu membuktikan bahwa secara kognitif dan sosial seorang penutur bahasa ibu dapat berkembang menjadi individu yang cerdas sepanjang dia memperoleh pendidikan yang wajar pada zamannya. Namun, ketika proses pembelajaran dilakukan dalam bentuk pendidikan formal modern, dari pendidikan prasekolah sampai perguruan tinggi, seperti yang berlaku di setiap negara modern, diperlukan perencanaan kebahasaan yang mendorong peserta didik bertumbuh dan berkembang menjadi manusia yang cerdas sehingga mampu mencapai kemajuan di segala bidang tanpa kehilangan jati diri kebangsaan, termasuk jati diri budaya asalnya. Sebuah generasi yang dikembangkan menjadi cendekiawan yang ekabahasawan; hanya menguasai bahasa Indonesia tanpa didukung bahasa ibu, tetap mampu menguasai ilmu dan teknologi sebagaimana mestinya, karena informasi itu cukup tersedia dalam bahasa Indonesia. Namun, pilihan satu-satunya bahasa di tengah masyarakat yang aneka bahasawan merupakan kehilangan besar bagi generasi yang hidup dalam suatu bangsa beraneka bahasa. Pada gilirannya rekayasa kebahasaan semacam itu akan mengancam kelangsungan hidup bahasa daerah asal penutur tersebut. Ketika bahasa daerah itu semakin sedikit dituturkan dan bahkan terancam keberadaannya, maka hal itu berarti sebuah kehilangan besar bagi sebuah bangsa bahkan dunia. Penetapan Hari Bahasa Ibu sedunia, seperti telah disebutkan di atas, tidak terlepas dari kekhawatiran para ahli bahasa dan UNESCO tentang ancaman kepunahan sejumlah bahasa ke depan. Para ahli bahasa memperkirakan bahwa dalam 100 tahun ke depan dunia akan kehilangan sekitar 25 atau sekitar 1.500-an bahasa yang berpenutur sangat kecil. Jika perhitungan jumlah bahasa di dalam Ethnologue tahun 1999 diikuti, maka terdapat 6.784 bahasa di dunia; 50 berada di Asia dan Pasifik 25 dari jumlah itu atau 1.529 bahasa ada di Papua New Guenea dan Indonesia; 31 di Afrika; 15 di Amerika; dan hanya 4 di Eropa. Dari jumlah 6.784 bahasa itu, 96 bahasa dituturkan oleh 4 penduduk dunia dalam Crystal 2000: 4, 14--15. Rinciannya dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel: Jumlah Penutur Bahasa Pertama yang Menuturkan Bahasanya Jumlah Penutur Bahasa Pertama Jumlah Bahasa 100 juta lebih 8 10 juta sampai 99,9 juta 72 1 juta sampai 9,9 juta 239 100.000 -- 999.999 795 10.000 -- 99.999 1.605 1.000 – 9.999 1,782 100 – 999 1.075 10 – 99 302 8 1 – 9 181 Delapan bahasa, yang masing-masing dituturkan oleh lebih dari 100 juta penutur, adalah bahasa Mandarin, Spanyol, Inggris, Bengali, Hindi, Portugis, Rusia dan Jepang. Sementara itu, terdapat 51 bahasa dari 181 bahasa yang masing-masing dituturkan oleh 1 orang: 28 bahasa Aborigin di Australia, 8 bahasa Indian di Amerika Serikat, 3 bahasa Indian di Amerika Selatan, 3 bahasa di Afrika, 6 bahasa di Asia, dan 3 bahasa di kepulauan Pasifik. Kelima puluh satu bahasa tersebut jelas tergolong bahasa yang terancam punah karena masing-masing hanya dituturkan oleh 1 orang penutur terakhir. Menurut Grenoble dan Whaley 2006: 18 terdapat 6 level klasifikasi bahasa yang berkaitan dengan keterancaman: 1 AMAN Semua generasi menggunakan bahasanya pada semua ranah dan biasanya berfungsi sebagai bahasa resmi pemerintahan, pendidikan dan perdagangan. Bahasa tipe ini memiliki status yang lebih tinggi alih-alih bahasa lain. 2 BERESIKO Sebuah bahasa yang hanya dituturkan pada ranah yang sangat terbatas dengan jumlah penutur lebih kecil dari bahasa lain dalam satu kawasan. 3 MENGHILANG Ranah penggunaan bahasa semakin terbatas dan fungsi-fungsinya diambilalih oleh bahasa yang lebih dominan. 4 TIDAK BERTRANSMISI Bahasa yang hanya dituturkan oleh generasi tua tanpa transmisi kepada anak-anaknya. 5 HAMPIR PUNAH Sebuah bahasa yang hanya dituturkan oleh sejumlah orang yang masih tersisa. 6 PUNAH Sebuah bahasa tanpa satu pun penutur yang tersisa.

3. Perolehan Dwibahasa