Hama dan penyakit tanaman terung (Solanum melongena L.) di Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor

 1
 

HAMA DAN PENYAKIT
TANAMAN TERUNG (Solanum melongena L.)
DI KECAMATAN RANCABUNGUR, KABUPATEN BOGOR

MEIRZA SAFITRI RIZKY

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

 1
 

ABSTRAK

MEIRZA SAFITRI RIZKY. Hama dan Penyakit Tanaman Terung (Solanum

melongena L.) di Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh
KIKIN HAMZAH MUTAQIN dan SURYO WIYONO.
Terung (Solanum melongena L.) merupakan salah satu tanaman sayuran
yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Konsumsi terung dari tahun ke tahun
meningkat. Organisme pengganggu tanaman dapat menjadi salah satu faktor
pembatas dalam produksi tanaman ini. Hama dan penyakit dapat menimbulkan
kerugian secara ekonomi akibat dari kehilangan hasil tanaman. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk inventarisasi dan pengukuran tingkat serangan hama
dan penyakit tanaman terung di Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor.
Metode yang dilakukan meliputi penentuan petak tanaman contoh dan tanaman
contoh, pengamatan hama dan penyakit, serta identifikasi hama dan penyakit di
laboratorium. Penelitian dilakukan di dua lahan pertanaman terung fase vegetatif
dan fase generatif pada hamparan dan periode waktu yang sama. Organisme
pengganggu tanaman (OPT) golongan hama yang ditemukan pada tanaman terung
antara lain Epilachna sp. (Coleoptera: Coccinellidae), Empoasca sp. (Hemiptera:
Cicadellidae), Valanga spp. (Orthophtera: Acrididae), Acherontia sp.
(Lepidoptera: Sphingidae), Bactrocera spp. (Diptera: Tephritidae), Mictis
longicornis (Hemiptera: Coreidae) dan Aulacophora spp. (Coleoptera:
Chrysomelidae). Sedangkan penyakit yang ditemukan antara lain bercak daun
(Alternaria sp.), busuk buah (Phomopsis sp.), antraknosa (Colletotrichum sp.),

dan layu bakteri (Ralstonia solanacearum). Berdasarkan hasil pengamatan di
lapangan hama yang dominan menyerang tanaman terung dan populasinya tinggi
adalah Empoasca sp. dan Epilachna sp. Sedangkan penyakit yang dominan adalah
busuk buah (Phomopsis sp.) dan antraknosa (Colletotrichum sp.) yang menyerang
tanaman terung pada fase generatif dengan intensitas penyakit berturut-turut
47.09% dan 40.84%.
Kata kunci: generatif, hama, penyakit, terung, vegetatif.

 1
 

ABSTRACT

MEIRZA SAFITRI RIZKY. Pests and Diseases of Eggplant (Solanum melongena
L.) in Rancabungur Subdistrict, Bogor District. Supervised by KIKIN HAMZAH
MUTAQIN and SURYO WIYONO.
Eggplant (Solanum melongena L.) is a vegetable crop that quite common
cultivated in Indonesia. The consumption level of eggplant increases from year to year.
There are few information on pests and diseases of the crop in Indonesia. However, pests
and diseases become potentially problem in the future when the crop is grown widely.

The objective of this research was to obtain information about pest and disease
occurrences found in eggplant growing area in Rancabungur their population or damage
level. The research method included observation, sampling of the pests and diseases at
two eggplant areas, and laboratory identification of the causal agents. The eggplant
vegetative and generative growth phases were observed in the same area and period of
time. There are some pests found predominantly in eggplant at high population i.e.
Empoasca sp. (Hemiptera: Cicadellidae) and Epilachna sp. (Coleoptera: Coccinellidae),
whereas Valanga sp. (Orthophtera: Acrididae) (low population), Acherontia sp.
(Lepidoptera: Sphingidae), Bactrocera spp. (Diptera: Tephritidae), Mictis longicornis
(Hemiptera: Coreidae), and Aulacophora sp. (Coleoptera: Chrysomelidae) were at low
population. Eggplant’s diseases found at high incidence in the area were fruit rot
(Phomopsis sp.) and anthracnose (Colletotrichum sp.), whereas leaf spot (Alternaria sp.)
and bacterial wilt (Ralstonia solanacearum) were at low incidence. All of those pests and
diseases, except Bactrocera spp., caterpillar, fruit rot, and anthracnose found at both
growth phase of the plant. Fruit rot, and anthracnose were the most important diseases of
eggplant at generative phase with the intensity about 47.09% and 40.84%.
Keywords: disease, eggplant, generative,pest, vegetative.

2
 


 

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

 1
 

HAMA DAN PENYAKIT
TANAMAN TERUNG (Solanum melongena L.)
DI KECAMATAN RANCABUNGUR, KABUPATEN BOGOR


MEIRZA SAFITRI RIZKY
A34080068

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
di Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013


 

Judul Skripsi

: Hama dan Penyakit Tanaman Terung (Solanum melongena

L.) di Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor
Nama Mahasiswa : Meirza Safitri Rizky
NIM
: A34080068

Disetujui oleh

Dr. Ir. Kikin Hamzah Mutaqin, MSi
Pembimbing I

Dr. Ir. Suryo Wiyono, MScAgr
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, MSi
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:



 

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat
rahmat dan kasih-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul
“Hama dan Penyakit Tanaman Terung (Solanum melongena L.) di Kecamatan
Rancabungur, Kabupaten Bogor”. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada Dr. Ir. Kikin Hamzah Mutaqin, MSi dan Dr. Ir. Suryo
Wiyono, MScAgr selaku dosen pembimbing yang telah memberikan saran,
arahan, dan motivasi sehingga usulan penelitian ini dapat penulis selesaikan
dengan baik; Dr. Ir. Nina Maryana, MSi selaku dosen penguji tamu yang telah
memberikan saran dan arahan; Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, MSi selaku dosen
pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dan motivasi. Terima kasih
kepada Bapak Istichori dan Bapak Cecep yang berkenan mengizinkan
menggunakan lahannya untuk penelitian. Ucapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada Yuke, Fildzah, dan Sarce yang telah membantu selama
pengamatan. Terima kasih kepada Nazarreta, Keisha, Nia, Pinti, Rara, Risa,
Novra, Veni, Rado, Jack, Syaiful, Aris, Arif, Busyairi, Prio, Yasin, Gusto, dan

teman-teman seperjuangan Proteksi Tanaman angkatan 45 yang selalu
memberikan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
kedua orang tua Bapak Chunainin dan Ibu Laila Nurochma, serta Kakak Yusron
Pahlevi, yang selalu memberikan doa, kasih sayang, motivasi, dan inspirasi yang
luar biasa. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak,
semoga penelitian ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013
Meirza Safitri Rizky

 1
 

DAFTAR ISI

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Manfaat

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Metode Penelitian
Penentuan Petak Tanaman Contoh dan Tanaman Contoh
Pengamatan Hama
Pengamatan Penyakit
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lahan Pertanaman Terung
Hama yang Ditemukan pada Tanaman Terung
Empoasca sp.
Epilachna sp.
Hama Lainnya
Penyakit yang Ditemukan pada Tanaman Terung
Busuk Buah
Antraknosa
Bercak Daun
Layu Bakteri
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
 
 

1
1
2
2
3
3
3
3
3
3
5
5
6
6

7
8
11
11
12
12
14
16
16
16
17
19
23

 

1

 

DAFTAR TABEL

1 Karakteristik lahan pertanaman terung fase vegetatif dan fase generatif
2 Hama yang ditemukan pada tanaman terung di Kecamatan
Rancabungur
3 Penyakit yang terdapat pada tanaman terung di Kecamatan
Rancabungur

5
6
12

DAFTAR GAMBAR

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Letak tanaman contoh yang diamati dalam petak
Curah hujan bulanan di Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor
Pertanaman terung
Rata-rata populasi Empoasca sp. pada tanaman terung fase vegetatif dan
fase generatif
Populasi Epilachna sp. pada lahan terung fase vegetatif dan fase generatif
Empoasca sp. (Hemiptera: Cicadellidae)
Kumbang pemakan daun Epilachna sp. dan gejala kerusakannya
Hama lain yang ditemukan pada tanaman terung
Persentase keparahan penyakit busuk buah pada tanaman terung fase
generatif
Persentase keparahan penyakit antraknosa pada tanaman terung fase
generatif
Persentase kejadian penyakit bercak daun pada tanaman terung fase
vegetatif dan fase generatif
Persentase keparahan penyakit bercak daun pada tanaman terung fase
vegetatif dan fase generatif
Persentase kejadian penyakit layu bakteri pada tanaman terung fase
vegetatif dan fase generatif
Gejala dan penyebab penyakit pada tanaman terung

3
5
6
7
8
9
10
10
11
12
13
13
14
15

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data curah hujan harian pada bulan Oktober sampai Desember 2012
2 Rata-rata populasi Empoasca sp. di lahan pertanaman terung di
Kecamatan Rancabungur pada bulan Oktober sampai Desember 2012
3 Populasi Epilachna sp. di lahan pertanaman terung di Kecamatan
Rancabungur pada bulan Oktober sampai Desember 2012
4 Kejadian dan intensitas penyakit pada lahan pertanaman terung di
Kecamatan Rancabungur pada bulan Oktober sampai Desember 2012

20
21
21
22

1
 

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Terung (Solanum melongena L.) merupakan salah satu jenis tanaman
penting hortikultura dari famili Solanaceae. Terung sangat populer di kalangan
masyarakat dan banyak dibudidayakan di Indonesia. Buah terung dikonsumsi
masyarakat dalam bentuk sayuran atau lalapan. Terung termasuk sayuran yang
digemari masyarakat karena memiliki kandungan gizi yang cukup lengkap, antara
lain kalsium, protein, lemak, karbohidrat, vitamin A, vitamin B, vitamin C, fosfor,
dan zat besi (Hardinsyah 1990).
Tanaman terung sudah dikenal sejak jaman India kuno sehingga tanaman ini
dianggap berasal dari Asia. Pada awalnya terung merupakan tanaman liar yang
berasal dari India dan Burma yang kemudian tersebar luas ke bagian utara
Thailand, Laos, Vietnam, dan China. Terung sangat populer di Asia dan sudah
dibudidayakan sejak ribuan tahun yang lalu. Di India terung disebut sebagai “King
of Vegetables” (Daunay et al. 2007).
Terung dapat ditanam di dataran rendah sampai dataran tinggi dan dapat
tumbuh sepanjang tahun. Tanaman terung tergolong dalam tanaman perdu
tahunan yang berumur pendek dan dapat tumbuh baik dengan pH tanah 5.5
sampai 6.5. Tanah yang cocok untuk pertumbuhan terung secara optimal adalah
tanah lempung berpasir dan berdrainase baik (Praca et al. 2004). Buah terung
memiliki berbagai bentuk tergantung dari varietasnya. Ada yang berbentuk bulat,
bulat telur, oval, dan memanjang. Buah terung termasuk jenis buah berdaging
yang memiliki warna beraneka ragam dari ungu mengkilat, kuning, putih, hijau,
sampai hitam. Keanekaragaman warna dari buah terung dipengaruhi oleh
kandungan klorofil dan antosianin (Frary et al. 2007). Spesies terung yang
ditemukan di Indonesia antara lain Solanum melongena, S. macrocarpon, S.
khasianum, S. americanum, S. torvum, dan S. ferox. Solanum melongena
merupakan spesies yang paling dikenal dibandingkan dengan spesies lainnya
karena paling banyak di konsumsi oleh masyarakat (Daunay et al. 2001).
Di Indonesia produksi buah terung dari tahun 2007 sampai 2011 terus
mengalami peningkatan. Pada tahun 2004 produksi terung mencapai 390 846 ton
dan mengalami kenaikan yang signifikan pada tahun 2007 yaitu mencapai 519
481 ton (Ditjen Hortikultura 2011a). Luas panen lahan terung di Indonesia juga
mengalami peningkatan dari tahun 2007 sampai 2011. Pada tahun 2007 luas
panen terung mencapai 47 589 hektar dan pada tahun 2011 mencapai 52 233
hektar (Ditjen Hortikultura 2011b).
Prospek pasar terung cukup baik dan perlu dikembangkan agar hasilnya
optimal. Namun, hama dan penyakit merupakan salah satu faktor pembatas yang
menyebabkan kerugian secara ekonomi karena dapat menyebabkan kehilangan
hasil. Penambahan luas area pertanaman dan teknik budidaya secara monokultur
dapat menyebabkan meningkatnya permasalahan hama dan penyakit yang sudah
ada atau munculnya hama dan penyakit baru. Informasi mengenai hama dan
penyakit terung belum banyak tersedia di Indonesia. Oleh karena itu, informasi
mengenai hama dan penyakit terung secara spesifik sangat diperlukan.

2
 

Tanaman terung dapat tumbuh di sepanjang tahun sehingga menjadi sasaran
serangga hama dari tahap pembibitan sampai panen (Regupathy et al. 1997).
Kumbang Epilchna sp. merupakan salah satu hama yang dilaporkan menyerang
tanaman terung di Indonesia. Serangga ini bersifat polifag dan memakan beberapa
tanaman dari famili Solanaceae. Baik larva maupun imago merusak tanaman
dengan cara memakan lapisan epidermis bawah daun dan menyisakan lapisan
epidermis atas daun (Richards 1983; Imura dan Ninomiya 1978). Tanaman terung
rentan terhadap beberapa patogen yang menginfeksi tanaman dari famili
Solanaceae. Penyakit-penyakit tersebut antara lain busuk buah (Phomopsis
vexans), antraknosa (Colletotrichum melongenae), layu Fusarium (Fusarium
oxysporum f.sp melongenae), bercak daun (Alternaria sp.), dan bercak Cercospora
(Cercospora sp.) (Reddy 2010; Islam dan Meah 2011). Penyakit yang telah
dilaporkan menyerang tanaman terung di Indonesia antara lain bercak daun,
busuk leher akar, rebah semai, busuk buah, antraknosa, dan layu bakteri
(Semangun 1989).
Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan menginventarisasi hama dan penyakit tanaman
terung di salah satu areal penanaman di Bogor serta mengukur tingkat kerusakan
yang ditimbulkannya.
Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai jenis hama
dan patogen penyebab penyakit terung sehingga dapat digunakan sebagai dasar
pertimbangan dalam pengelolaan pertanaman terung.

 3
 

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2012 di
pertanaman terung di Desa Bantarjaya, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten
Bogor. Identifikasi dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan,
Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor.
Metode Penelitian
Penentuan Petak Tanaman Contoh dan Tanaman Contoh
Pengambilan tanaman contoh menggunakan pola diagonal (Gambar 1). Pada
setiap lahan diamati 30 tanaman contoh secara acak. Lahan yang diamati ada dua,
yaitu pertanaman terung fase vegetatif dan fase generatif. Sehingga total tanaman
yang diamati adalah 60 tanaman contoh yang terdiri dari 30 tanaman contoh fase
vegetatif dan 30 tanaman contoh fase generatif.

Gambar 1 Letak tanaman contoh yang diamati dalam petak.
Pengamatan Hama
Pengamatan hama dilakukan secara langsung yaitu dengan mengamati jenis
hama, gejala serangan dan menghitung populasi hama. Pengamatan tentang
tingkat populasi hama hanya dilakukan terhadap hama yang dianggap dominan
pada saat pengamatan di lapang. Untuk serangga yang belum teridentifikasi,
serangga tersebut dimasukkan ke dalam plastik atau botol yang berisi alkohol 70%
dan diidentifikasi di Laboratorium.
Pengamatan Penyakit
Pengamatan penyakit dilakukan secara langsung dengan mengamati gejala
yang ditimbulkan, kemudian membawa contoh tanaman sakit untuk diidentifikasi
di laboratorium. Identifikasi cendawan Deuteromycetes yang menyebabkan
penyakit dilakukan menggunakan kunci identifikasi Barnett dan Hunter (1999).
Sedangkan identifikasi penyebab penyakit layu bakteri dilakukan dengan

4
 

menggunakan media selektif. Penyakit layu bakteri pada tanaman dari famili
Solanaceae umumnya disebabkan oleh R. solanacearum. Isolasi R. solanacearum
dilakukan dengan cara memotong pangkal batang tanaman yang bergejala dan
ditimbang. Kemudian dipotong kecil dan dicampur dengan buffer ekstraksi NaCl
0.85% dengan perbandingan 1:10. Setelah itu dikocok menggunakan shaker
selama 1 jam dengan kecepatan 100 rpm. Setelah itu dilakukan pengenceran
berseri 10-1 sampai 10-5 dan hasil setiap pengenceran dicawankan sebanyak 0.1
ml. Pencawanan dilakukan dengan menggunakan media TZC (Tryphenil
Tetrazolium Chloride) yang merupakan media selektif untuk R. solanacearum.
Setelah itu dimurnikan sebagai isolat murni bakteri (Schaad et al. 2001).
Persentase kejadian penyakit (KP) dihitung menggunakan rumus:

KP = kejadian penyakit
n = jumlah tanaman yang terserang
N = jumlah seluruh tanaman contoh yang diamati
Persentase keparahan penyakit dihitung menggunakan rumus:

I
ni
vi
N
V

= keparahan penyakit
= jumlah bagian tanaman terserang pada kategori ke-i
= nilai numerik pada kategori ke-i
= jumlah tanaman contoh yang diamati
= nilai kategori serangan tertinggi
Nilai kategori kerusakan tanaman (v) ditentukan berdasarkan tingkat
kerusakan tanaman contoh (x) sebagai berikut:
0
tidak ada serangan
1
0 < x ≤ 25%
2
25 < x ≤ 50%
3
50 < x ≤ 75%
4
x > 75%
Persentase keparahan penyakit (I) busuk buah dihitung menggunakan
rumus:

Data diolah menggunakan program Microsoft Excel 2010 dan disajikan
dalam bentuk tabel dan grafik.

  5
 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lahan Pertanaman Terung
Kecamatan Rancabungur merupakan salah satu wilayah sentra produksi
pertanian di Kabupaten Bogor. Lahan yang diamati terletak di Desa Bantarjaya,
Kecamatan Rancabungur yang berada pada ketinggian 179 mdpl. Curah hujan
pada saat pengamatan pada bulan Oktober, November, dan Desember yaitu
berturut-turut 994 mm, 1264.2 mm, dan 655.2 mm (Gambar 2). Data curah hujan
harian selama penelitian diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika,
Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor (Lampiran 1). Terung merupakan salah
satu tanaman yang banyak dibudidayakan oleh petani di Kecamatan Rancabungur.
Selain terung, komoditas lain yang dibudidayakan yaitu singkong, jagung, paria,
mentimun, pepaya, oyong, ubi jalar, kangkung, bengkoang, kacang tanah, kacang
panjang, dan jambu biji. Dua lahan pertanaman terung dalam satu hamparan di
desa tersebut dipilih untuk diamati setiap minggu. Lahan terung yang diamati
terdiri dari dua lahan yaitu tanaman terung fase vegetatif dan fase generatif
(Gambar 3). Karakteristik umum kedua lahan pertanaman terung disajikan pada
Tabel 1.

Gambar 2 Curah hujan selama tiga bulan penelitian di Kecamatan Rancabungur
Kabupaten Bogor.
Tabel 1 Karakteristik lahan pertanaman terung fase vegetatif dan fase generatif
Karakteristik lahan
Luas lahan (m2)
Jenis terung
Umur tanaman (bulan)
Cara tanam
Jarak tanam
Kondisi lahan
Komoditas di sekitar
lahan
Keberadaan gulma
Pengendalian gulma

Fase tanaman terung yang diamati
Vegetatif
Generatif
4 000
4 000
Ungu
Ungu
1.5
12
Monokultur
Monokultur
30 cm x 50 cm
30 cm x 50 cm
Kurang terawat
Terawat
Terung, jambu biji,
Terung, singkong,
bengkoang, mentimun
jagung
Sedikit
Banyak
Manual
Manual

6
 

a
b
Gambar 3 Pertanaman terung: (a) lahan terung fase vegetatif, (b) lahan terung
fase generatif.
Hama yang Ditemukan pada Tanaman Terung
Pada lahan pertanaman terung fase vegetatif dan generatif ditemukan
beberapa organisme pengganggu tanaman (OPT), baik hama maupun patogen.
Keanekaragaman hama pada tanaman terung fase vegetatif dan fase generatif
hampir sama. Empoasca sp. dan Epilachna sp. merupakan hama yang dominan
ditemukan pada kedua lahan. Oleh karena itu, populasi kedua hama ini dihitung
setiap minggunya. Sedangkan hama lain seperti Valanga sp., Acherontia sp.,
Bactrocera spp., Mictis longicornis, dan Aulacophora sp. jarang ditemukan.
Namun, apabila populasi OPT ini pada pertanaman sangat tinggi, maka dapat
berpotensi menjadi hama penting (Tabel 2).
Tabel 2 Hama yang ditemukan pada tanaman terung di Kecamatan Rancabungur
Ordo

Famili

Spesies

Coleoptera
Coleoptera
Diptera
Hemiptera
Hemiptera
Lepidoptera
Orthophtera

Chrysomelidae
Coccinellidae
Tephritidae
Cicadellidae
Coreidae
Sphingidae
Acrididae

Aulacophora sp.
Epilachna sp.
Bactrocera spp.
Empoasca sp.
Mictis longicornis
Acherontia sp.
Valanga sp.

Keterangan:

(√) ditemukan

Fase tanaman yang diserang
Vegetatif
Generatif















(-) tidak ditemukan

Empoasca sp. (Hemiptera: Cicadellidae)
Empoasca sp. merupakan hama yang dominan pada tanaman terung fase
vegetatif dan generatif. Imago berwarna hijau muda dan berukuran sekitar 3 mm
(Gambar 6a). Baik nimfa maupun imago merusak tanaman dengan menusuk dan
menghisap cairan dari permukaan bawah daun. Serangan hama ini menyebabkan
daun menjadi kuning dan melengkung ke bawah (Gambar 6b). Menurut Borror et
al. (1996), serangga dari famili Cicadellidae ini menyebabkan kekerdilan dan
pengeritingan daun yang berasal dari penghambatan pertumbuhan pada bawah
daun tempat serangga ini makan.

7
 

Populasi Empoasca sp. pada tanaman terung fase vegetatif pada awal
pengamatan mengalami peningkatan, tetapi pada minggu ke-4 bulan November
menurun kemudian meningkat lagi pada bulan Desember (Gambar 4). Penurunan
ini disebabkan turunnya hujan secara terus menerus. Sedangkan populasi
Empoasca sp. pada tanaman terung fase generatif juga mengalami penurunan
karena turunnya hujan secara terus-menerus dan pemakaian pestisida. Beberapa
faktor yang mempengaruhi kepadatan populasi Empoasca sp. terhadap tanaman
inang antara lain cuaca, umur tanaman, kepadatan trikoma, senyawa kimia, dan
musuh alami (Norris dan Kogan 1980).
 

 

Gambar 4 Rata-rata populasi Empoasca sp. pada tanaman
terung fase vegetatif (▲) dan fase generatif (●).
Epilachna sp. (Coleoptera: Coccinellidae)
Kumbang pemakan daun Epilachna sp. merupakan hama yang dominan
pada tanaman terung fase vegetatif dan fase generatif. Imago kumbang ini
berwarna jingga kusam dengan bintik-bintik hitam pada elitranya dan panjang
tubuhnya berkisar antara 5-8 mm (Gambar 7a). Larvanya berwarna kuning dan
terdapat seta yang terl;ihat seperti duri pada bagian tubuhnya (Gambar 7b). Baik
larva maupun imago merusak tanaman dengan memakan lapisan epidermis di
bawah daun tetapi bagian atas daun tetap utuh. Sehingga daun yang terserang
tinggal kerangka dan menjadi kering seperti jaring (Gambar 7c dan 7d). Kumbang
Epilacna sp. aktif makan terutama pada pagi hari sedangkan pada siang hari
aktivitas makannya menurun, pada sore hari kembali aktif makan dan kemudian
menjelang malam aktifitas makannya menurun lagi (Abdullah dan Abdullah
2009).
Pada tanaman terung fase vegetatif populasi kumbang Epilachna sp.
meningkat pada bulan Desember (Gambar 5). Peningkatan ini dipengaruhi oleh
umur tanaman, kumbang Epilachna sp. lebih menyukai tanaman muda sebelum
berbunga (Hottesman dan Masrton 2005). Sedangkan pada fase generatif populasi
kumbang Epilachna sp. cenderung mengalami penurunan memasuki bulan
November. Hal ini disebabkan karena hujan yang turun secara terus-menerus dan
umur tanaman yang semakin tua. Pada bulan Desember tanaman terung fase
generatif tidak ada lagi karena telah mencapai akhir usia tanaman.

8
 

Kerapatan trikoma pada daun terung juga mempengaruhi populasi
Epilachna sp. Pada daun terung rata-rata kerapatan trikoma adalah 5
trikoma/mm2, sehingga kumbang Epilachna sp. lebih menyukai tanaman terung
dibandingkan dengan tanaman lain dari famili Solanaceae (Leite et al. 2011).

 

Gambar 5 Populasi Epilachna sp. pada lahan terung fase
vegetatif (▲) dan fase generatif (●).
Hama Lainnya
Hama lain juga ditemukan pada kedua lahan yang diamati. Beberapa hama
ini pada saat pengamatan populasinya rendah, sehingga tidak dihitung populasi
setiap minggunya. Apabila populasi hama ini meningkat di lapang, maka dapat
berpotensi menjadi hama penting.
Belalang Valanga spp. (Orthophtera: Acrididae). Belalang ini berwarna
hijau dan berukuran besar sekitar 8 cm (Gambar 6a). Panjang antenanya lebih
pendek dari ukuran tubuhnya. Famili Acrididae kebanyakan berwarna abu-abu
atau kecoklatan dan beberapa ada yang memiliki warna yang cerah pada sayap
bagian belakang (Borror et al. 1996). Gejala yang ditimbulkan yaitu terdapat
bekas gerigitan pada daun yang dimulai dari tepi daun. Belalang ini bersifat
polifag dan memiliki kisaran inang yang luas. Belalang ditemukan pada tanaman
terung fase vegetatif dan fase generatif, namun pada saat pengamatan populasinya
sedikit.
Lalat buah Bactrocera spp. (Diptera: Tephritidae). Bactrocera spp. atau
biasa disebut lalat buah merusak tanaman terung pada bagian buah. Imago
berwana coklat dengan kombinasi kuning pada bagian toraks dan panjang
tubuhnya sekitar 7 mm (Gambar 6b). Larva lalat buah merusak buah dengan cara
memakan daging buah sehingga menyebabkan buah menjadi busuk lebih cepat.
Hama ini merupakan hama penting yang menyerang berbagai tanaman inang di
berbagai negara. Spesies lalat buah yang telah dilaporkan mencapai 4000 spesies
yang menyerang berbagai tanaman yang berbeda (Meritt et al. 2003). Imago
betina meletakkan telur dengan cara menusukkan ovipositornya ke dalam buah.
Dalam waktu singkat telur-telur tersebut akan menetas dan menjadi larva. Larva
ini akan memakan daging buah untuk bertahan hidup. Pupa berwarna kecoklatan
dan berada di tanah. Imago akan mucul setelah 7-10 hari dan mencari makan
sekitar satu minggu sebelum melakukan perkawinan (Pena et al. 2005).

9
 

Ulat Keket Acherontia sp. (Lepidoptera: Sphingidae). Serangga ini
termasuk nokturnal dan menjadi hama pada fase larva. Gejala yang ditimbulkan
yaitu daun menjadi gerigitan karena dimakan oleh ulat dan lama-lama menjadi
habis. Larvanya berukuran sekitar 10 cm, berwarna hijau dengan garis kuning
pada kedua sisi tubuhnya. Di atas garis kuning tersebut terdapat garis berwarna
biru muda. Pada ruas terakhir badannya terdapat struktur seperti tanduk yang
mencuat dan melengkung ke depan (Gambar 6c). Dilihat dari ukuran dan pola
makannya potensi kerusakan yang ditimbulkan sangat tinggi namun selama
pengamatan serangga ini hanya ditemukan satu kali di lahan pengamatan.
Kepik Mictis longicornis (Hemiptera: Coreidae). Baik nimfa maupun
imago dapat merusak tanaman dengan menusuk dan menghisap cairan tanaman
sehingga bagian yang terserang mengalami nekrotik. Imago dari kepik M.
longicornis ini berwarna coklat dan berukuran sekitar 2.7 cm (Gambar 6d). Kepik
dari famili Coreidae ini terdiri dari 2 200 spesies di dunia dan memiliki kisaran
inang yang sangat luas (Dursun dan Fent 2009). Pada saat pengamatan kepik ini
ditemukan pada tanaman terung fase vegetatif dan fase generatif, namun
populasinya sedikit.
Aulacophora sp. (Coleoptera: Chrysomelidae). Kumbang pemakan daun
ini merupakan hama penting pada tanaman dari famili Cucurbitaceae. Imago
berwarna coklat mengkilat, berukuran sekitar 7 mm dan biasanya ditemukan di
atas permukaan daun (Gambar 6e). Akan tetapi kumbang ini juga menyerang
tanaman dari famili Solanaceae. Aulacophora sp. memiliki kisaran inang yang
luas, sehingga sulit untuk memutuskan daur hidupnya. Gejala yang ditimbulkan
yaitu daun menjadi berlubang karena kumbang memakan jaringan tanaman (Rajak
2001). Pada saat pengamatan kumbang Aulacophora sp. ini ditemukan pada
tanaman terung fase vegetatif maupun generatif, hal ini disebabkan lokasi lahan
pertanaman yang berdekatan dengan tanaman mentimun yang merupakan famili
Cucurbitaceae.

a
b
Gambar 6 Empoasca sp. (Hemiptera: Cicadellidae): (a) imago, (b) gejala daun
mengeriting dan berwarna kuning.

10
 

a

b

c
d
Gambar 7 Kumbang pemakan daun Epilachna sp. dan gejala kerusakannya: (a)
imago, (b) larva, (c) gejala pada daun, (d) gejala terlihat seperti jaring.

a

b

c
d
e
Gambar 8 Hama lain yang ditemukan pada tanaman terung: (a) Valanga sp., (b)
Bactrocera spp., (c) Acherontia sp., (d) M. longicornis, (e)
Aulacophora sp.

11
 

Penyakit yang Ditemukan pada Tanaman Terung
Penyakit yang ditemukan pada kedua pertanaman terung di Kecamatan
Rancabungur berdasarkan pengamatan gejala (simtomatologi) meliputi penyakit
yang disebabkan oleh cendawan dan bakteri (Tabel 3). Penyakit tersebut antara
lain bercak daun (Alternaria sp.), busuk buah (Phomopsis sp.), antraknosa
(Colletotrichum sp.), dan layu bakteri (Ralstonia solanacearum). Pada tanaman
terung fase generatif jenis penyakit yang ditemukan lebih banyak karena umur
tanaman sudah tua dan kurang dirawat dengan baik.
Tabel 3 Penyakit yang terdapat pada tanaman terung di Kecamatan Rancabungur
Penyakit

Patogen

Busuk buah
Antraknosa
Bercak daun
Layu bakteri

Phomopsis sp.
Colletotrichum sp.
Alternaria sp.
Ralstonia solanacearum

Keterangan:

(√) ditemukan

Fase tanaman terung
Vegetatif
Generatif







(-) tidak ditemukan

Busuk Buah
Penyakit busuk buah disebabkan oleh cendawan Phomopsis sp. Pada buah
terdapat bercak coklat yang besar dan melekuk, yang akhirnya menyebar seluruh
bagian buah (Gambar 14a). Kemudian pusat bercak menjadi kelabu dan
mempunyai banyak bintik-bintik berwarna hitam yang merupakan piknidium dari
cendawan. Bagian yang busuk menjadi lunak dan berair. Pada akhirnya busuk
buah menjadi hitam dan kering atau biasa disebut mummifikasi (Semangun 1989).
Intensitas penyakit busuk buah relatif tinggi karena umumnya buah yang terserang
hampir busuk total (Gambar 9). Seluruh tanaman contoh pada tanaman terung fase
generatif yang diamati terinfeksi oleh penyakit ini.

Gambar 9 Persentase keparahan penyakit busuk buah pada
tanaman terung fase generatif.
Piknidia cendawan Phomopsis sp. berbentuk bulat dan tidak memiliki seta.
Cendawan Phomopsis sp. dapat membentuk 2 tipe konidia, yaitu konidia alfa (α)
dan beta (β). Dari hasil pengamatan hanya ditemukan konidia alfa (α) (Gambar

12
 

14a). Konidia beta (β) hanya akan terbentuk apabila kondisi sangat sesuai dengan
perkembangan penyakit (Mehrotra dan Aneja 1990). Stadia sempurna dari
cendawan Phomopsis sp. adalah Diaporthe sp. dan termasuk ke dalam kelas
Pyrenomycetes, ordo Diaporthales (Weber 1973).
Antraknosa
Penyakit antraknosa disebabkan oleh cendawan Colletotrichum sp. Gejala
yang ditimbulkan yaitu pada buah yang terinfeksi terdapat bercak konsentris
berwarna kuning kecoklatan di tengahnya terdapat konidia cendawan yang
berwarna hitam (Gambar 14b). Konidia cendawan Colletotrichum sp. berbentuk
seperti bulan sabit (Gambar 14b). Konidia dibentuk di struktur aservulus yang
khas disertai seta berwarna gelap. Konidia berukuran sekitar 18.6-25 x 3.5-5.3
μm. Cendawan Colletotrichum sp. merupakan stadia anamorfik dari cendawan
Glomerella sp. yang termasuk ke dalam kelas Pyrenomycetes, ordo Phyllacorales
(Weber 1973). Penyakit ini termasuk penyakit yang ditakuti oleh petani. Seluruh
tanaman contoh pada tanaman terung fase generatif yang diamati terinfeksi oleh
penyakit ini. Intensitas penyakit antraknosa juga hampir sama dengan penyakit
busuk buah yaitu relatif tinggi (Gambar 10). Pada buah yang terinfeksi umumnya
hampir semua bagian busuk.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Gambar 10 Persentase keparahan penyakit antraknosa pada
tanaman terung fase generatif.
Menurut Nelson (2008), pada umumnya konidia cendawan Colletotrichum
sp. penyebab penyakit antraknosa ini disebarkan melalui cipratan air hujan. Pada
saat musim hujan dengan kelembaban yang tinggi, semua stadia buah rentan
terhadap infeksi cendawan ini. Pada beberapa buah terdapat infeksi campuran
yaitu ditemukan gejala busuk buah Phomopsis dan antraknosa pada buah yang
sama.
Bercak Daun
Penyakit bercak daun ini disebabkan oleh cendawan Alternaria sp. Gejala
yang ditimbulkan yaitu terdapat bercak berwarna coklat yang lama-kelamaan
menjadi lebar, pada serangan berat daun menjadi rontok (Gambar 14c). Penyakit
bercak daun menyerang tanaman terung pada fase vegetatif maupun generatif.

13
 

Cendawan Alternaria sp. memiliki miselium berwarna coklat muda,
konidiofor tegak, bersekat, dengan ukuran 50-90 μm. Konidium berbentuk gada
terbalik, berwarna coklat, berukuran 145-370 x 16-18 μm, mempunyai sekat
melintang 5-10 buah dan 1 atau lebih sekat membujur. Konidium memiliki paruh
(beak) pada ujungnya, paruh bersekat. Panjang paruh kurang lebih setengah dari
panjang konidium atau lebih (Gambar 14c). Cendawan dapat mempertahankan
diri pada sisa-sisa tanaman sakit dan tumbuhan lain seperti tomat, kentang, dan
kecubung (Semangun 1989).
Kejadian penyakit bercak daun dari minggu ke minggu relatif meningkat,
tetapi keparahan penyakit tidak terlalu berat (Gambar 11 dan 12). Hal ini
disebabkan lahan pertanaman masih dirawat dengan baik oleh petani. Sedangkan
pada terung fase generatif keparahan penyakit bercak daun meningkat karena pada
akhir pengamatan petani sudah jarang menggunakan pestisida. Seiring dengan
umur tanaman terung yang semakin tua menyebabkan produktivitas tanaman
terung menurun (Sadilova et al. 2006).

Gambar 11 Persentase kejadian penyakit bercak daun
pada tanaman terung fase vegetatif (●)
dan fase generatif (▲).

Gambar 12 Persentase keparahan penyakit bercak daun
pada tanaman terung fase vegetatif (●) dan
fase generatif (▲).

14
 

Layu Bakteri
Penyakit layu bakteri disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum.
Gejala yang ditimbulkan yaitu tanaman mendadak layu (Gambar 14d). Siklus
hidup Ralstonia solanacearum dimulai dengan terjadinya infeksi patogen ke
dalam akar, baik secara sendiri maupun pelukaan akibat nematoda, serangga, dan
alat-alat pertanian. Setelah masuk ke jaringan akar, bakteri ini akan berkembang
biak di dalam pembuluh kayu (xylem) dalam akar dan pangkal batang kemudian
menyebar ke seluruh bagian tanaman. Akibat tersumbatnya pembuluh kayu oleh
massa dari bakteri R. solanacearum, transportasi air dan mineral terhambat
sehingga tanaman menjadi layu dan mati (Supriadi 2011).
Penyakit ini menyerang tanaman terung baik fase vegetatif maupun fase
generatif. Pada tanaman terung fase vegetatif kejadian penyakit meningkat, tetapi
pada minggu ke-4 bulan November menurun, kemudian minggu berikutnya
meningkat lagi (Gambar 13). Hal ini dikarenakan pada minggu ke-3 dilakukan
penyulaman oleh petani sehingga kejadian penyakitnya menurun. Sedangkan pada
tanaman terung fase generatif kejadian penyakit layu bakteri terus meningkat dari
minggu ke minggu. Hal ini disebabkan turunnya hujan dan umur tanaman terung
yang semakin tua sehingga penyakit semakin berkembang.

Gambar 13 Persentase kejadian penyakit layu bakteri pada tanaman
terung fase vegetatif (●) dan fase generatif (▲).
Menurut Supriadi et al. (2000), dari data mengenai berbagai metode
penyebaran R. solanacearum menujukkan bahwa patogen ini sangat mudah
menyebar, baik melalui benih, air, tanah, maupun serangga vektor, sehingga
apabila terjadi outbreak sangat sulit untuk dikendalikan.

15
 

a

b

c
d
Gambar 14 Gejala dan penyebab penyakit pada tanaman terung: (a) gejala busuk
buah (Phomopsis sp.), (b) gejala antraknosa (Colletotrichum sp.), (c)
gejala bercak daun (Alternaria sp.), (d) gejala layu bakteri (isolat
bakteri R. solanacearum).

 

16
 

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Organisme pengganggu tanaman yang ditemukan pada pertanaman terung di
Desa Bantarjaya Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor antara lain adalah
hama Epilachna sp. (Coleoptera: Coccinellidae), Empoasca sp. (Hemiptera:
Cicadellidae), Valanga sp. (Orthophtera: Acrididae), Acherontia sp. (Lepidoptera:
Sphingidae), Bactrocera spp. (Diptera: Tephritidae), Mictis longicornis
(Hemiptera: Coreidae) dan Aulacophora spp. (Coleoptera: Chrysomelidae).
Penyakit yang ditemukan antara lain bercak daun (Alternaria sp.), busuk buah
(Phomopsis sp.), antraknosa (Colletotrichum sp.), dan layu bakteri (Ralstonia
solanacearum). Hama Empoasca sp. dan Epilachna sp. merupakan hama yang
dominan dan populasinya tinggi pada kedua lahan pertanaman yang diamati.
Penyakit busuk buah (47.09%) dan antraknosa (40.84%) hanya ditemukan pada
tanaman terung fase generatif dan intensitas penyakitnya tinggi.

Saran
Perlu diketahui korelasi antara populasi hama, kejadian dan keparahan
penyakit dengan kehilangan hasil atau kerugian panen, serta pengelolaan hama
dan penyakit.

  17
 

DAFTAR PUSTAKA

[Ditjen Horti] Direktorat Jendral Hortikultura. 2011a. Produksi sayuran [internet].
[diunduh 2012 Sep 27]. Tersedia pada: http://www.deptan.go.id/infoekseku
tif/horti//pdf-ATAP20011/ProdSayuran.pdf
[Ditjen Horti] Direktorat Jendral Hortikultura. 2011b. Produksi sayuran [internet].
[diunduh 2013 Feb 17]. Tersedia pada: http://www.deptan.go.id/infoekseku
tif/horti//pdf-ATAP2011/LPSayuran.pdf
Abdullah F, Abdullah F. 2009. The behaviour and feeding preference of the 12spotted beetle Epilachna indica (Coleoptera: Coccinellidae) towards the
black nightshade Solanum nigrum. Journal of Entomology. 6(4):176-187.
Barnett H, Hunter BB. 1999. Illustrated Genera Fungi of Imperfect Fungi. Edisi
ke-4. Minnesota (US): APS Press.
Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga.
Edisi ke-6. Soetiyono P, penerjemah. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada
University Press. Terjemahan dari: An Introduction to the Studies of Insects.
Daunay MC, Lester RN, Gebhard CH, Hennart JW, Jahn M, Frary A, Doganlar S.
2001. Genetic Resources of Eggplant (Solanum melongena L.) and Allien
Species. Nijimegen: Nijimegen University Press.
Daunay MC, Janick J. 2007. History and iconography of eggplant. Chronica
Horticulturae. 47(3):16-22.
Dursun A, Fent M. 2009. A study on the Coreidae (Insecta: Heteroptera) of the
kelkit valley, Turkey. Acta Entomologica Serbica. 14(1):13-25.
Frary A, Doganlar S, Daunay MC, Tanksley SD. 2003. QTL analysis of
morphological traits in eggplant and implications for conservation of gene
function during evolution of solanaceous species. Theory Aplied Genetics.
107:359-370.
Hardinsyah. 1990. Penilaian dan perencanaan konsumsi pangan [skripsi]. Bogor
(ID): Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Hottesman K, Masrton A. 2005. Saponins [internet]. [diunduh 2013 Mar 18].
Tersediapada:http://www.google.co.id/search?tbm=bks&hl=id&q=Tomatine
+content+in+Lycopersicon+esculentum+leaf&btnG
Imura O, Ninomiya S. 1978. Quantitative measurement of leaf area consumption
by Epilachna vigintioctopunctata (Fabricius) (Coleoptera: Coccinellidae)
using image processing. Appl. Entomology Zool. 33(4): 491-495.
Islam MR, Meah MB. 2011. Association of Phomopsis vexans with eggplant
(Solanum melongenae) seeds, seedlings, and its management. The
Agriculturist. 9(1-2):8-17.
Leite GLD, Picanco M, Zanuncio JC, Moreira MD, Jham GN. 2011. Hosting
capacity of horticultural plants for insect pest. Chilean J Agric Res.
71(3):383-389.
Mehrotra RS, Aneja KR. 1990. An introduction to mycology [internet]. [diunduh
2013 Mar 18]. Tersedia pada: http://books.google.co.id/books?id=UUorj_O
2dcsC&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false.
Meritt RW, Courtney GW, Keiper JB. 2003. Diptera (flies, mosquitoes, midges,
gnats). Di dalam Resh VH, Carde RT, editors. Encyclopedia of Insects. New
York (US): Academic Press.

18
 

Nelson S. 2008. Antrachnose of avocado [internet]. [diunduh 2013 Mar 18].
Tersedia pada: http://www.ctarh.hawaii.edu./oc/freepub/pdf/PD-58.pdf.
Norris DM, Kogan M. 1980. Biochemical and morphological bases of resistance.
Di dalam: Maxwell FG, Jennings PR, editor. Breeding plants resistant to
insects. New York (US): J. Wiley. hlm 23-61.
Pena JE, Sharp, JL, Wysok M. 2002. Tropical Fruit Pests and Pollinators:
Biology, Economic Importance, Natural Enemies and Control. New York
(US): CABI Publishing.
Praca, JM, Thomaz A, Caramelli B. 2004. Eggplant (Solanum melongena) extract
does not alter serum lipid levels. Arquivos Brasileiros de Cardiologia.
82(3):27-36.
Rajak DC. 2001. Host range and food preference of the red pumpkin beetle,
Aulacophora foveicollis lucas (Chrysomelidae: Coleoptera). Agriculture
Science Digest. 21(3):179-181.
Reddy PP. 2010. Fungal Diseases and Their Management in Horticultural Crops.
Jodhpur (IN): Scientific Publishers.
Regupathy A, Palanisamy S, Chandramohan N, Gunathilagaraj K. 1997. A Guide
on Crop Pests. Coimbatore (IN): Sooriya Desk Top Publishers.
Richards AM. 1983. The Epilachna vigintioctopunctata Complex (Coleoptera:
Coccinellidae). International Journal of Entomology. 25(1):11-41.
Schaad NW, Jones JB, Chun W. 2001. Plant Pathogenic Bacteria. St. Paul (US):
APS Press.
Semangun H. 1989. Penyakit-Penyakit Hortikultura di Indonesia. Yogyakarta
(ID): Gadjah Mada University Press.
Sadilova E, Stintzing FC, Carle R, Van Eck J, Snyder A. 2006. Anthocyanins,
colour, and antioxidant properties of eggplant (Solanum melongena L.) and
violet pepper (Capsicum annum L.). Methods Mol Biol. 343:439-447.
Supriadi, Mulya K, Sitepu D. 2000. Strategy for controlling wilt disease of ginger
caused by Pseudomonas solanacearum. Pengembangan Inovasi Pertanian.
19(3):106-111.
Supriadi. 2011. Penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum): dampak,
bioekologi, dan peranan teknologi pengendaliannya. Pengembangan Inovasi
Pertanian. 4(4):279-293.
Weber GF. 1973. Bacterial and Fungal Diseases of Plant in the Tropics.
Gainesville (US): Florida University Press.

20
 

LAMPIRAN

19
 

21
20
 

Lampiran 1 Data curah hujan harian pada bulan Oktober sampai Desember 2012
Tanggal
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31

Oktober
21.0
2.2
32.3
62.5
6.3
119.1
3.0
149.0
130.0
25.7
37.0
52.2
46.5
114.0
117.6
0.0
68.6
3.5
3.5

November
98.0
5.0
9.0
12.3
91.0
22.6
15.5
68.0
22.6
67.0
53.1
30.0
8.1
198.0
142.0
13.5
3.0
69.0
8.7
90.3
40.0
63.5
72.9
8.0
53.1

Desember
100.0
4.0
44.0
5.9
29.8
45.1
15.0
7.0
22.9
0.0
23.8
0.0
65.2
27.2
0.0
50.0
8.8
92.0
61.2
8.0
19.6
8.1
17.6
-

Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Dramaga Bogor
Keterangan: (-) tidak ada hujan
(0.0) curah hujan tidak terukur (satuan dalam mm)

22
 

21
Lampiran 2 Rata-rata populasi Empoasca sp. di lahan pertanaman terung di Kecamatan Rancabungur pada bulan Oktober sampai
Desember 2012
Fase tanaman
1
Vegetatif
Generatif

15.4

Rata-rata populasi per tanaman contoh pada minggu pengamatan (individu)
Oktober
November
Desember
2
3
4
1
2
3
4
1
2
0.70
1.33
3
3.67
3.4
2.03
0.37
2.67
3.40
11.53
9.53
9.33
8.07
3.47
2.80
2.17

3
5.07

Lampiran 3 Populasi Epilachna sp. di lahan pertanaman terung di Kecamatan Rancabungur pada bulan Oktober sampai Desember 2012
Fase tanaman
1
Vegetatif
Generatif

34

Populasi pada semua tanaman contoh pada minggu pengamatan (individu)
Oktober
November
Desember
2
3
4
1
2
3
4
1
2
1
1
2
4
2
1
6
21
17
38
27
30
21
12
12
16

3
21

23
 

Lampiran 4 Kejadian dan intensitas penyakit pada lahan pertanaman terung di Kecamatan Rancabungur pada bulan Oktober sampai
Desember 2012
Kejadian penyakit (KP) dan intensitas penyakit (I) pada minggu pengamatan (%)
Penyakit
Fase tanaman Peubah pengamatan
Oktober
November
Desember
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
Busuk buah
Generatif
KP
100
100
100
100
100
100
100
100
I
26.70 26.70
20
50
60
63.30 63.30 66.70
Antraknosa
Generatif
KP
100
100
100
100
100
100
100
100
I
16.70 13.30 16.70
50
53.30 56.70 56.70 63.30
Bercak daun
Vegetatif
KP
6.70 23.30
30
36.70
40
50
63.30 70 66.70 66.70
I
0.33 1.17 1.50 1.72 1.25 1.42
3
3.58 3.92 4.17
Generatif
KP
83.30 86.70
90
96.70 93.30
90
80
76.70
I
12
15.17 15.92 18.92 20.25 20.50 20.92 21.17
Layu bakteri
Vegetatif
KP
0
0
3.30 3.30 6.70
0
3.30
10 13.30 13.30
Generatif
KP
0
0
0
3.30 6.70
10
20
23.30

22

 

23

 

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Malang pada tanggal 14 Mei 1990 sebagai anak kedua dari
dua bersaudara dari pasangan Bapak Chunainin dan Ibu Laila Nurochma. Penulis
menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri I Tumpang, Malang pada tahun 2008.
Pada tahun 2008 penulis diterima Institut Pertanian Bogor sebagai mahasiswa S1
di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian melalui Jalur Undangan
Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama di IPB penulis aktif dalam beberapa
organisasi seperti Entomology Club tahun 2010-2011, Ikatan Mahasiswa Jawa
Timur (IMAJATIM) tahun 2010-2011, dan Organisasi Mahasiswa Daerah
(OMDA) Malang tahun 2008-2012. Penulis juga mengikuti beberapa acara,
seminar dan kepanitiaan di kampus antara lain panitia Green Competition (2009),
panitia Jatim Cup (2010), panitia Seminar dan Kewirausahaan Jawa Timur (2010),
peserta IPB Goes to Field (2010), pengisi acara pentas seni di Departemen
Proteksi Tanaman (2010), Juara I Lomba Perkusi Tingkat Faperta (2011), Juara I
Lomba Aerobik Tingkat Faperta (2011).