Kualitas Mikrobiologik pada Keju Gouda

KUALITAS MIKROBIOLOGIK PADA KEJU GOUDA

PURI NOVITA ROSSI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini Saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kualitas
Mikrobiologik pada Keju Gouda adalah benar karya Saya dengan arahan dari
Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini Saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis Saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013

Puri Novita Rossi
NIM B04090123

ABSTRAK
PURI NOVITA ROSSI. Kualitas Mikrobiologik pada Keju Gouda. Dibimbing
oleh DENNY WIDAYA LUKMAN.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan dan jumlah total
mikroorganisme dan koliform pada keju Gouda. Sampel diambil satu kali
seminggu selama tiga minggu berturut-turut. Sebanyak sepuluh sampel dari
masing-masing keju Gouda (Gouda young, middle, dan old) diuji menggunakan
metode hitungan cawan dengan cara tuang. Data dianalisis dengan t-student dan
uji Duncan untuk membandingkan jumlah total mikroorganisme dan koliform.
Hasil menunjukkan bahwa keju Gouda old memiliki rata-rata jumlah total
mikroorganisme tertinggi (1.4x108 cfu/gram). Tidak terdapat perbedaan jumlah
total mikroorganisme yang signifikan antara keju Gouda young dan keju Gouda
middle. Perbedaan jumlah total mikroorganisme yang signifikan (p0.05). Keberadaan koliform
pada keju Gouda mengindikasikan adanya kontaminasi selama proses dan
mengurangi kualitas keju tersebut.
Kata kunci: keju gouda, koliform, total mikroorganisme


ABSTRACT
PURI NOVITA ROSSI. Microbiological Quality of Gouda Cheese. Supervised
by DENNY WIDAYA LUKMAN.
The aim of this study was to observe the total number of microorganism and
coliforms in Gouda cheese. Samples were taken every week for three consecutive
weeks. As many as 10 samples of each Gouda cheese (Gouda young, middle, and
old) were examinated using plate count method (pour plate method). The data
was analyzed with t-student and Duncan test to compare the total number of
microorganism and coliforms. The result showed that Gouda old cheese has the
highest average number of total microorganism (1.4x108 cfu/gram). There was
not any significant difference in the total number of microorganism between
Gouda young cheese and Gouda middle cheese. The significant (p0.05). The presence of
coliforms in Gouda cheese indicated any contamination during the process and
reduced the quality.
Key words: coliforms, gouda cheese, total of microorganisms

KUALITAS MIKROBIOLOGIK PADA KEJU GOUDA

PURI NOVITA ROSSI


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi
Nama
NRP

Kualitas Mikrobiologik pada Keju Gouda
Puri Novita Rossi
B04090123

Disetujui oleh


Dr med vet drh Denny Widaya Lukman, MSi
Pembimbing

Tanggal Lulus:

2 1 AUG 2013

Judul Skripsi
Nama
NRP

: Kualitas Mikrobiologik pada Keju Gouda
: Puri Novita Rossi
: B04090123

Disetujui oleh

Dr med vet drh Denny Widaya Lukman, MSi
Pembimbing


Diketahui

drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet
Wakil Dekan

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur Penulis haturkan kepada Tuhan YME atas rahmat dan
karuniaNya, sehingga skripsi dengan judul Kualitas Mikrobiologik pada Keju
Gouda dapat diselesaikan.
Terima kasih Penulis ucapkan kepada Dr med vet drh Denny Widaya
Lukman, MSi selaku Dosen Pembimbing atas segala bimbingan, dorongan, kritik,
dan saran yang telah diberikan selama penelitian dan penulisan skripsi ini. Di
samping itu, Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada drh Agus Wijaya,
MSc, PhD selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing Penulis
selama menjadi mahasiswa FKH IPB. Ungkapan terima kasih Penulis ucapkan
juga kepada Prof Dr drh Mirnawati Sudarwanto, Dr drh Hadri Latif, MSi, drh
Herwin Pisestyani, MSi, Pak Hendra, dan Pak Rahmat atas dorongan, masukan,

dan bantuan selama pengumpulan dan pengolahan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Rosiin, Ibu Dami,
dan adik Nureza Rosivianti atas doa, kasih sayang, dan dukungan yang diberikan
selama ini. Selanjutnya ungkapan terima kasih Penulis ucapkan kepada teman
seperjuangan selama penelitian (Ica, Anggina, Riris) dan Didi yang telah banyak
membantu selama proses penyusunan skripsi. Ucapan terima kasih disampaikan
juga kepada teman-teman seangkatan Geochelone 46 dan Puri Mawar yang samasama berjuang dalam menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor. Penulis
menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kesalahan.
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun sebagai
evaluasi bagi Penulis. Terlepas dari kekurangan yang ada, Penulis berharap
skripsi ini dapat memberi manfaat bagi yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2013
Puri Novita Rossi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii


DAFTAR GAMBAR

viii

PENDAHULUAN
Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Keju

1

Keju Gouda


3

Total Plate Count (TPC)

4

Karakteristik Koliform

5

Escherichia coli

6

MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat

7

Alat dan Bahan


7

Metode Penelitian

8

Analisis Data

8

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian TPC

8

Pengujian Koliform

9


PENUTUP
Simpulan

11

Saran

11

DAFTAR PUSTAKA

12

RIWAYAT HIDUP

15

DAFTAR TABEL
1 Kandungan nutrient yang terdapat dalam keju dan berbagai jenis
bahan lain per 100 gram bahan pangan


2

2 Persyaratan kandungan dalam keju menurut BSN (1992) tentang
Standar Keju Olahan

2

3 Kandungan gizi keju Gouda

3

4 Jumlah rata-rata total mikroorganisme pada sampel keju Gouda
produksi local

9

5 Jumlah rata-rata koliform pada sampel keju Gouda produksi local

10

DAFTAR GAMBAR
1 Biakan mikroorganisme pada media total plate count (TPC)

5

2 Biakan koliform pada media violet red bile agar (VRBA)

6

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keju merupakan salah satu produk olahan susu yang terbentuk karena
koagulasi susu oleh rennet (enzim pencernaan dalam lambung hewan penghasil
susu). Koagulasi dapat dilakukan dengan menggunakan koagulasi garam, asam
atau enzim, pemekatan atau kombinasinya. Kandungan protein dalam keju cukup
dijadikan sebagai pengganti daging, khususnya bagi para vegetarian (Winarno dan
Ivone 2007). Protein dalam keju sebanyak 70 gram setara dengan protein dalam
100 gram daging. Sebagai bahan makanan, keju sangat bermanfaat bagi
kesehatan tubuh yaitu di antaranya sumber zat gizi, menjaga kesehatan gigi,
mencegah kanker, menambah berat tubuh, menambah kekuatan tulang, dan
menjaga tekanan darah.
Keju merupakan salah satu produk olahan susu dengan peminat dalam
jumlah tinggi di Indonesia dan dapat dijadikan sebagai bahan makanan alternatif
untuk memenuhi kebutuhan protein asal hewan. Seiring dengan meningkatnya
konsumsi dan permintaan keju di Indonesia, menuntut ketersediaan keju dalam
jumlah yang besar.
Menurut McSweeney (2007a), keju adalah bahan makanan yang bergizi
tinggi, multifungsi, dan bernutrisi seimbang. Untuk memenuhi permintaan
konsumen yang sadar akan kesehatan, produsen keju telah melakukan beberapa
upaya untuk menghasilkan keju yang rendah kalori seperti keju Cheddar, Gouda,
dan Mozarella. Keju mengandung konsentrasi tinggi akan nutrisi esensial yang
relatif terhadap kandungan energinya. Nutrisi dan kandungan vitaminnya
dipengaruhi oleh jenis susu yang digunakan.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi mikrobiologis keju
Gouda, khususnya total plate count (TPC) dan koliform yang berasal dari
produsen keju lokal di Jawa Barat.

TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Keju
Keju merupakan salah satu produk olahan susu yang dibuat dengan cara
menggumpalkan protein susu dengan bantuan enzim rennin. Kandungan gizi
pada keju adalah energi, protein, lemak, kalsium, mineral, vitamin, karbohidrat,
folat, dan tiamin (Miller et al. 2007). Enzim rennin menyebabkan terbentuknya
gel atau tahu susu yang berupa penggumpalan karena adanya ion kalsium.
Pengendapan senyawa tersebut harus dibuat peka atau sensitif terhadap ion
kalsium yang dapat mengubah kapakasein menjadi parakasein (Winarno 1993).

2
Enzim pencernaan dalam lambung hewan penghasil susu tersebut dapat diperoleh
dalam bentuk rennet. Rennet adalah proteinase yang digunakan dalam proses
koagulasi susu (McSweeney 2007b).
Daulay (1991) menyatakan bahwa keju merupakan salah satu bahan pangan
dengan daya simpan yang baik dan kaya akan protein, lemak, kalsium, fosfor,
riboflavin, dan vitamin-vitamin lain dalam bentuk pekat. Keunggulan nilai gizi
dari keju bila dibandingkan dengan bahan pangan lain dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Kandungan nutrien yang terdapat dalam keju dan berbagai jenis bahan
lain per 100 gram bahan pangan (McSweeney 2009)
Bahan Pangan

ProteinN x 2.26 (g)

Lemak (g)

Kalsium (g)

Energi (kkal)

26.0
12.3
15.8
2.1
0.8

33.5
10.3
24.3
0.1
0

800
52
7
8
41

406
147
283
87
35

Keju
Telur
Daging Sapi
Kentang
Saribuah Jeruk

Berdasarkan SNI 01-2980-1992 tentang Keju Olahan, terdapat persyaratan
kandungan dalam keju (Tabel 2).
Tabel 2 Standar keju olahan menurut SNI 01-2980-1992 tentang persyaratan
kandungan keju
No

Kandungan

1.
2.
3.
4.

Air
Protein
Lemak
Jumlah bakteri
Koliform
Khamir dan kapang
Abu
Bahan tambahan

5.
6.

Persyaratan
Maksimal 45%
Minimal 19.5%
Minimal 25%
Maksimal 300 koloni/gram
Maksimal – 3 APM/gram
Tidak ada
Maksimal 5.5%
Sesuai yang diijinkan

Pada umumnya, sebagian besar produsen membuat keju melalui proses
pasteurisasi. Namun, ada juga keju yang dibuat tanpa melalui proses tersebut.
Fernandes (2009) mengatakan bahwa demi keamanan kesehatan, pembuatan keju
sebaiknya menggunakan susu pasteurisasi. Pasteurisasi dilakukan dengan
pemanasan pada suhu 65 °C selama 30 menit (low temperature long time/ LTLT).
Hal ini diharuskan karena akan membunuh bakteri yang dapat mempengaruhi
kualitas keju, seperti koliform yang dapat merusak tekstur lebih dini dan rasa
menjadi tidak enak.
Pembuatan keju yang dilakukan tanpa proses pasteurisasi atau pemanasan
harus dimatangkan terlebih dahulu. Pematangan dilakukan dengan cara diperam
minimal 60 hari pada suhu tidak kurang dari 4 °C. Proses ini dilakukan untuk
memastikan keamanan dalam mencegah kontaminasi dari mikroorganisme
patogen. Susu yang tidak dipasteurisasi dapat mengandung mikroorganisme
seperti Salmonella sp., Escherichia coli O157:H7, Listeria monocytogenes,
Lactobacillus sp., Streptococcus sp., Staphylococcus sp., dan Micrococcus spp.

3
Mikroorganisme tersebut dapat menimbulkan penyakit dan menurunkan kualitas
susu yang berakibat perubahan dan penyingkiran karena terjadi pengasaman dan
penggumpalan susu (Chye et al. 2004).
Rennet yang berperan dalam proses koagulasi ditambahkan saat susu sudah
dingin dan dipanaskan sebelumnya. Proses koagulasi dipengaruhi oleh suhu,
keasaman, kandungan kalsium susu, dan faktor lainnya.
Biakan yang digunakan dalam pembuatan keju ada dua, yaitu biakan
mesofilik dengan suhu optimum antara 20 °C dan 40 °C dan biakan termofilik
yang berkembang sampai suhu 45 °C. Biakan yang paling sering digunakan
adalah biakan turunan campuran (mixed-strain), yaitu dua atau lebih turunan
bakteri mesofilik dan termofilik berada dalam simbiosis mutualisme yang saling
menguntungkan (Dusterhoft dan van den Berg 2007). Biakan ini tidak hanya
memproduksi asam laktat tetapi juga komponen aroma dan CO2. Karbondioksida
sangat penting untuk menciptakan rongga-rongga di tipe keju butiran dan tipe
mata bundar (round-eyed), contohnya keju Gouda, Manchego dan Tilsiter dari
biakan mesofilik, serta Emmenthal dan Gruyère dari biakan termofilik. Secara
umum fungsi biakan adalah mengembangkan asam dalam dadih dan menahan
bakteri yang tahan pasteurisasi.

Keju Gouda
Keju Gouda pertama kali dibuat di dekat Kota Gouda di Belanda. Keju
Gouda adalah keju semi lembut-keras, berbau halus, tekstur kurang kompak dan
mirip dengan keju Edam. Mayoritas dari keju ini memiliki kandungan lemak
dalam bahan kering di bawah 40% dan kelembaban dalam lemak non-solid di
bawah 63% (McSweeney 2007a). Keju Gouda mengandung kadar air 41–43%,
kadar lemak 40%, garam 2.2%, dan pH 5.5–5.6. Keju Gouda memiliki daya
simpan yang baik dan kandungan gizi yang lengkap. Kandungan gizi keju Gouda
tersebut disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3 Kandungan gizi keju Gouda (Miller et al. 2007)
Kandungan

Total dalam keju (%)

Kandungan

Total dalam keju (%)

Energi

3.3

Zat Besi

0.9

Protein

8.5

Vitamin A

6.9

Lemak

5.7

Riboflavin

4.5

Karbohidrat

0.2

Vitamin B12

4.4

Kalsium

25.5

Vitamin B6

1.2

Fosfor

10.6

Vitamin E

0.9

Zinc

7.1

Folat

0.6

Magnesium

2.5

Tiamin

0.3

1

Niacin

0.1

Potasium

Lactobacillus akan selalu ditemukan pada keju.
Jumlahnya dapat
meningkat tajam dari jumlah terendah 1 cfu/gram dalam susu sampai >107 cfu
pada keju dalam beberapa minggu. Keberadaannya dalam jumlah besar dapat
merusak rasa dan tekstur dari keju Gouda (Hui 1993).

4
Keju Gouda dapat disimpan dalam jangka waktu lama, tetapi harus dilapisi
parafin yang biasanya berwarna merah terang setelah pematangan. Lama
penyimpanan juga berpengaruh terhadap tekstur keju. Jika keju Gouda disimpan
lebih dari 6 bulan, teksturnya akan menjadi keras. Keju Gouda berdasarkan lama
pemeramannya dapat digolongkan menjadi 6, yaitu:
1. Jonge koas (keju jauh dari pematangan), waktu pematangan paling sedikit
dua minggu
2. Jonge belegen, waktu pematangan 2–4 bulan
3. Belegen (matang), waktu pematangan 4–7 bulan
4. Extra belegen (ekstra matang), waktu pematangan 7–10 bulan
5. Oud (tua), waktu pematangan 10–12 bulan
6. Over jariq (lebih tua), waktu pematangan lebih dari 12 bulan
Terdapat 3 tipe keju Gouda yang dihasilkan oleh produsen keju lokal ini,
yaitu Gouda young, Gouda middle, dan Gouda old. Ketiga tipe tersebut
dibedakan pada lama penyimpanannya (Gouda young 1.5–2.5 bulan, Gouda
middle 2.5–4, dan Gouda old lebih dari 4 bulan).
Tekstur keju Gouda young belum keras, rasa belum menyengat, dan sedikit
asin. Harga untuk keju tipe ini lebih murah dibanding Gouda middle dan Gouda
old. Gouda middle memiliki tekstur sedikit lebih keras dari Gouda young, rasa
semakin menyengat, dan lebih asin. Gouda old memiliki tekstur paling keras.
Rasa asin dari keju tipe ini paling kuat dari kedua tipe sebelumnya. Selain itu
aroma dan rasanya juga semakin kuat. Oleh karena itu harga keju Gouda old
paling mahal di antara kedua tipe lainnya.

Total Plate Count (TPC)
Pengujian jumlah mikroorganisme pada bahan pangan merupakan salah satu
pengujian yang umum dan rutin diterapkan dalam rangka pengawasan dan
pengendalian mutu, serta keamanan bahan pangan. Jumlah total mikroorganisme
selalu dimasukkan dalam suatu standar atau spesifikasi suatu produk bahan
pangan. Menurut BSN (2008), prinsip dari pengujian TPC adalah menunjukkan
jumlah mikroorganisme yang terdapat dalam suatu produk dengan cara
menghitung koloni bakteri yang ditumbuhkan pada media agar. Media yang
digunakan dalam uji ini adalah plate count agar (PCA).
Jumlah koloni yang diperoleh dinyatakan dengan colony forming unit (cfu)
per gram atau per ml atau per cm2 (luasan tertentu dari contoh) (Lukman 2009).
Jumlah mikroorganisme pada contoh bahan pangan yang diperoleh dengan
metode hitungan cawan merupakan gambaran populasi mikrorganisme yang
terdapat pada contoh tersebut. Tidak semua mikroorganisme dapat tumbuh dalam
media agar dan kondisi inkubasi yang diterapkan, karena setiap mikroorganisme
membutuhkan kondisi hidup atau pertumbuhan yang berbeda.
Jumlah
mikroorganisme yang tumbuh (membentuk koloni) hanya berasal dari
mikroorganisme yang dapat tumbuh pada kondisi yang ditetapkan (misalnya jenis
media, ketersediaan oksigen, suhu, dan lama inkubasi), karena mikroorganisme
lain yang terdapat pada contoh tidak dapat tumbuh atau bahkan menjadi mati.
Biakan mikroorganisme pada media plate count agar (PCA) dapat dilihat pada
Gambar 1.

5

Gambar 1

Biakan mikroorganisme pada media plate count agar (PCA)

Selain itu, sebuah koloni yang nampak pada biakan tidak selalu berasal dari
satu sel mikroorganisme saja, tetapi dapat berasal dari sekelompok
mikroorganisme (mikroorganisme yang terdapat pada bahan pangan sering
membentuk kelompok atau clump). Oleh sebab itu, jumlah mikroorganisme yang
diperoleh dengan metode ini hanya merupakan jumlah prakiraan (estimasi) saja
dan terdapat kemungkinan bahwa jumlah mikroorganisme yang diperoleh lebih
sedikit dibandingkan dengan jumlah sesungguhnya (Sudarwanto 2012). Oleh
karena itu, hasil pemeriksaan perlu diinterpretasi secara hati-hati. Namun metode
ini merupakan metode yang sangat berguna dan dianjurkan dalam pemeriksaan
rutin.

Karakteristik Koliform
Koliform merupakan bakteri berbentuk batang, gram negatif yang bersifat
aerobik, dan fakultatif anaerobik. Menurut Garbutt (1997), koliform dibagi
menjadi 2 kelompok, yaitu koliform fekal seperti Escherichia coli dan non-fekal
seperti Enterobacter aerogenes, Klebsiella, dan Serratia. Koliform fekal adalah
salah satu jenis koliform yang dapat memfermentasi laktosa menjadi asam dan
gas selama 48 jam pada suhu 44.5–45.5 °C. Koliform jenis ini tidak memiliki
taksonomi yang jelas (Kornacki dan Johnson 2001).
Koliform memiliki enzim galaktosidase dan bersifat oksidase negatif
(Paruch dan Mæhlum 2012). Golongan koliform mempunyai spesies dengan
habitat dalam saluran pencernaan dan non-saluran pecernaan seperti tanah dan air.
Bakteri koliform merupakan salah satu golongan bakteri yang sering
mengontaminasi makanan. Bakteri selain Escherihcia coli dapat hidup dalam
tanah atau air lebih lama daripada Escherichia coli, karena itu adanya bakteri
koliform dalam makanan tidak selalu menunjukkan telah terjadi kontaminasi yang
berasal dari feses. Keberadaannya lebih merupakan indikasi dari kondisi
prosesing dan sanitasi yang tidak memadai serta keberadaannya dalam jumlah
tinggi dalam makanan olahan memungkinkan adanya pertumbuhan dari
Salmonella, Shigella, dan Staphylococcus. Pertumbuhan koliform pada keju
biasanya terjadi selama proses pembuatan atau beberapa hari awal penyimpanan
(Donelly 2007). Biakan koliform pada media violet red bile agar dapat dilihat
pada Gambar 2.

6

Gambar 2

Biakan koliform pada media violet red bile agar (VRBA)

Bakteri ini mengalami pertumbuhan minimum pada suhu -10 °C, optimum
pada suhu 20–30 °C, dan maksimum pada suhu 42 °C (Garbutt 1997). Susu segar
yang tinggi akan kualitas mikrobiologinya biasanya mengandung jumlah koliform
0.05)

Hasil yang didapat menunjukkan jumlah yang lebih tinggi dari batas
standar yang telah ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) mengenai
kandungan keju olahan, yaitu 3 Angka Paling Mungkin (APM) (SNI 01-29801992). Pencemaran oleh koliform pada sampel keju dapat disebabkan oleh
kontaminasi yang berasal dari air yang digunakan selama proses pembuatan. Air
yang terkontaminasi koliform merupakan sumber utama pencemaran karena
bakteri ini dapat bertahan selama 6 bulan dalam sedimen air dan sepanjang musim
dingin (Manning 2010). Tingginya jumlah koliform pada sampel keju yang
diperiksa juga dapat disebabkan telah terkontaminasinya bahan utama pembuat
keju oleh koliform, yaitu susu. Menurut Singh et al. (2003), kualitas susu yang
digunakan selanjutnya menentukan karakteristik keju yang akan dihasilkan baik
tekstur, aroma dan cita rasa. Fernandes (2009) mengatakan bahwa demi
keamanan kesehatan, pembuatan keju sebaiknya menggunakan susu pasteurisasi.
Pasteurisasi dilakukan dengan pemanasan pada suhu 65 °C selama 30 menit (low
temperature long time/ LTLT). Hal ini diharuskan karena akan membunuh
bakteri yang dapat mempengaruhi kualitas keju, seperti koliform yang dapat
merusak tekstur lebih dini dan rasa menjadi tidak enak. Keju yang terbuat dari
susu yang tidak dipasteurisasi memiliki rasa dan aroma lebih baik, namun
kebanyakan produser (kecuali pembuat keju tipe ekstra keras) memilih
menggunakan susu pasteurisasi. Hal ini dikarenakan kualitas susu yang tidak
dipasteurisasi kurang dapat dipercaya, sehingga mereka tidak mau mengambil
risiko lebih besar.
Kontaminasi koliform pada susu merupakan akibat dari kesalahan saat
pemerahan dan penyimpanan yang tidak menggunakan rantai dingin (Altahi dan
Hassan 2009).
Keberadaan bakteri ini merupakan indikasi dari kondisi
pengolahan atau sanitasi yang tidak memadai dan keberadaannya dalam jumlah
tinggi dalam makanan olahan menunjukkan adanya kemungkinan pertumbuhan
dari Salmonella, Shigella, dan Staphylococcus. Pertumbuhan koliform biasanya
terjadi selama proses pembuatan keju atau selama beberapa hari awal
penyimpanan (Donelly 2007). Menurut Bennet (2005), koliform akan merusak
tekstur dan rasa keju.
Koliform dalam jumlah tinggi dapat mengganggu proses pematangan keju,
yang meliputi pembentukan gas berlebihan yang akan merusak struktur dan
menurunkan kualitas keju tersebut. Telah diketahui bahwa koliform merupakan

11
kontributor utama dalam pembentukan gas pada susu segar (Frank 2001).
Koliform merupakan bakteri yang peka terhadap asam, dan kepekaannya dapat
meningkat seiring dengan naiknya konsentrasi garam dan turunnya aktivitas air
(Donelly 2007). Secara umum, koliform dengan jumlah tinggi lebih sering
ditemukan pada keju dengan tekstur lembut daripada keju dengan tekstur semi
keras. Susu dengan kontaminasi koliform tinggi tidak baik digunakan sebagai
bahan dasar membuat keju karena akan menimbulkan lubang. Menurut Ayu et al.
(2005), hal tersebut ada hubungannya dengan sifat koliform yang dapat
memfermentasikan laktosa menjadi asam dan gas. Beda halnya dengan keju
Swiss yang memang sengaja dibuat berlubang, yaitu dengan bantuan bakteri
Propionibacterium freudenreichii.
Escherichia coli merupakan salah satu anggota dari koliform yang dapat
mempengaruhi produk hasil olahan susu karena mempercepat proses pembusukan
susu dan fermentasi laktosa pada suhu 35 °C.
Kemampuannya dalam
mendegradasi protein juga akan mempengaruhi kualitas dari susu serta berbagai
produk olahannya karena susu merupakan salah satu pangan sumber protein tinggi
(Donnenberg 2002). Anggota koliform lainnya seperti Serratia, Pseudomonas
synxantum, dan Pseudomonas syncyanea dapat menimbulkan warna-warna yang
tidak diinginkan pada susu dan mengakibatkan penyingkiran (Sanjaya et al.
2007). Dwidjoseputro (1994) mengatakan bahwa perubahan warna tersebut juga
dapat terjadi pada produk olahan susu. Hal ini dikarenakan mikroorganisme
tersebut dapat membentuk pigmen yang mengubah warna keju.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Rata-rata jumlah total mikroorganisme tertinggi terdapat pada sampel keju
Gouda old, yaitu 1.4x108 cfu/gram. Jumlah tersebut berada di atas ambang batas
standar jumlah mikroorganisme yang ditetapkan dalam SNI (01-2980-1992)
tentang Keju Olahan yaitu sebesar 300 koloni/gram. Rata-rata jumlah koliform
tertinggi terdapat pada sampel keju Gouda young, yaitu 4.3x105 cfu/gram. Jumlah
tersebut melebihi ambang batas standar jumlah koliform yang ditetapkan dalam
SNI (01-2980-1992) tentang Keju Olahan yaitu sebesar 3 Angka Paling Mungkin
(APM).
Saran
Diharapkan dapat dilakukan penelitian lebih lanjut tentang keberadaan
mikroorganisme patogen lain contohnya Listeria sp. Saran yang dapat diberikan
untuk produsen adalah untuk lebih memperhatikan kualitas mikrobiologik susu
sebagai bahan dasar pembuat keju. Selain itu diperlukan adanya pembinaan serta
pelatihan terkait higiene dan sanitasi kepada pekerja yang khususnya yang secara
langsung menangani produk keju.

12

DAFTAR PUSTAKA
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1992. SNI 01–2980–1992. Persyaratan
Kandungan Keju. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2008. SNI 2897: 2008. Metode Pengujian
Cemaran Mikroba dalam Daging, Telur dan Susu, serta Hasil Olahannya.
Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009. SNI 7388: 2009 Batasan Maksimum
Cemaran Mikroba dalam Pangan. Jakarta (ID): Badan Standardisasi
Nasional.
[PerMenKes] Peraturan Menteri Kesehatan.
1990.
416/MEN.KES/PER/IX/1990 tentang Syarat-Syarat
Kualitas Air. Jakarta (ID): Departemen Kesehatan.

PerMenKes No.
dan Pengawasan

Altalhi AD, Hassan SA. 2009. Bacterial quality of raw milk investigated by
Escherichia coli and isolated analysis for specific virulence-gene markers.
Food Control. 20:913–917.
Ayu RDS, Indrawani YM, Sudiarti T. 2005. Analisis mikrobiologi Escherichia
coli O157:H7 pada hasil olahan hewan sapi dalam proses produksinya.
Makara Kesehatan. 9(1):23–28.
Bennett RW. 2005. Staphylococcus aureus. Di dalam: Lund BM, Baird-Parker
TC, Gould GW, editor. The Microbiological Safety and Quality of Food.
Maryland (US): Marcel Dekker.
Chye FY, Abdullah A, Ayob MK. 2004. Bacteriological quality and safety of
raw milk in Malaysia. Food Microbiol. 21:535–541.
Daulay D. 1991. Buku/Monograf Fermentasi Keju. Bogor (ID): Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor.
Donelly CW. 2007. Pathogens and food poisoning bacteria. Di dalam:
McSweeney PLH, editor. Cheese Problems Solved. New York (US): CRC
Pr.
Donnenberg M. 2002. Escherichia coli: Virulence Mechanism of Multipurpose
Pathogen. San Diego (US): Academic Pr.
Dwidjoseputro D. 1994. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Ed ke-2. Jakarta (ID):
Djambatan.
Dusterhoft EM, Van Den Berg G. 2007. Dutch-type cheese. Di dalam:
McSweeney PLH, editor. Cheese Problems Solved. New York (US): CRC
Pr.
Fardiaz S. 1998. Fisiologi Fermentasi. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi IPB.
Fernandes R. 2009. Microbiology Handbook Dairy Products. Cambridge (GB):
Leatherhead Publ.

13
Frank JF. 2001. Milk and dairy products. Di dalam: Doyle MP, Beuchat LR,
Montville TJ, editor. Food Microbiology. Washington DC (US): ASM Pr.
Garbutt J. 1997. Essentials of Food Microbiology. London (GB): Arnold Pr.
Hayes MC, Boor K. 2001. Raw milk microbiology and fluid milk products. Di
dalam: Steele J, Marth E, editor. Appl Dairy Microbiol. Ed ke-2. New
York (US): Marcel Dekker.
Hui YH. 1993. Dairy Science and Technology Handbook 2 Product
Manufacturing. United States of America (US): Wiley-VCH.
Honish L, Predy G, Hislop N, Chui L, Kowalewska-Grochowska K, Trottier L,
Kreplin C, Zazulak I. 2005. An outbreak of E. coli O157:H7 hemorrhagic
colitis associated with unpasteurized Gouda cheese. Can J Public Health.
96:182–184.
Jawetz E, Menick JL, Adelberg EA, Brooks GF, Butel JS, Ornston LN. 1995.
Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta (ID): EGC.
Jay MJ. 1999. Modern Food Microbiology. Ed ke-2. Michigan (US): Detroit.
Johnson JR. 2002. Evolution of pathogenic Escherichia coli. Di dalam:
Donnenberg MS, editor. Virulence Mechanisms of a Versatile Pathogen.
Maryland (US): Elsevier.
Karmali MA. 2003. The medical significance of shiga toxin-producing
Escherichia coli infections. Di dalam: Dana P dan Frank E, editor. E. coli
Shiga Toxin Methods and Protocols. New Jersey (US): Humana Pr.
Kusuma SAF. 2010. Makalah Escherichia coli [Internet]. [diunduh 2013 Jan
26].
Tersedia pada: http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/
2011/09/pustaka_unpad_Escherichia-coli.pdf.
Kornacki JL, Johnson JL. 2001. Enterobacteriaceae, Colifoms, and Escherichia
coli as Quality and Safety Indicators. Di dalam: Downess FP, Ito K, editor.
Microbiological Examination of Foods. United State of America (US):
American Public Health Association.
Lelieveld HLM, Moster MA, Holal J, White B. 2000. Hygiene in Food
Processing. Cambridge (GB): Woodhead Publ and CRC Pr.
Lukman DW. 2009. Penghitungan jumlah mikroorganisme dengan hitungan
cawan. Di dalam: Lukman DW, Purnawarman T, editor. Penuntun
Praktikum Higiene Pangan Asal Hewan. Bogor (ID): Kesmavet FKH IPB.
Lukman DW, Sudarwanto M, Sanjaya AW, Purnawarman T, Latif H, Soejoedono
RR. 2009. Mikrobiologi susu. Di dalam: Pisestyani H, editor. Higiene
Pangan. Bogor (ID): FKH IPB.
Manning SD. 2010. Escherichia Coli Infections. Philadelphia (US): Chelsea
House Publ.
Magadan AH, Ladero V, Martinez N, Roi BD, Martin MC, Alvarez MA. 2010.
Detection of microbial spoilage of milk and dairy products. Di dalam:
Nollet LML, Toldra, editor. Handbook of Dairy Foods Analysis. New
York (US): CRC Pr.

14
McSweeney PLH. 2007a. Nutritional aspects of cheese.
Solved. New York (US): CRC.

Cheese Problems

McSweeney PLH. 2007b. Conversion of milk to curd. Di dalam: McSweeney
PLH, editor. Cheese Problems Solved. New York (US): CRC Pr.
McSweeney PLH. 2009. Cheese Problems Solved. New York (US): CRC Pr.
Miller GD, Jarvis JK, McBean LD. 2007. Dairy Foods and Nutrition. Ed ke-3.
New York (US): CRC Pr.
Paruch AM, Maehlum T. 2012. Specific features of Escherichia coli that
distinguish it from coliform and thermotolerant coliform bacteria and define
it as the most accurate indicator of faecal contamination in the environment.
Ecol Indic. 23:140–142.
Pelczar MJ, Chan ECS. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta (ID): UI Pr.
Sanjaya AW, Sudarwanto M, Soejoedono RR, Purnawarman T, Lukman DW,
Latif H. 2007. Higiene Pangan. Bogor (ID): FKH IPB.
Sawitri ME, Manab A, Padaga MC, Susilorini TE, Wisaptiningsih U, Ghozi K.
2010. Kajian kualitas susu pasteurisasi yang diproduksi U.D Gading Mas
selama masa penyimpanan dalam refrigerator. J Ilmu Teknol Hasil Ternak.
5(2):28–32.
Singh TK, Drake MA, Cadwallader KR. 2003. Cheddar Cheese: A Chemical and
Sensory Perspective. Compr Rev in Food Sci Food Saf. 2:139–162.
Songer JG, Post KW. 2005. Veterinary Microbiology Bacterial and Fungal
Agent of Animal Disease. Maryland (US): Elsevier.
Swanson KMJ, Petran RL, Hanlin JH. 2001. Culture Methods for Enumeration
of Microorganisms. Dalam Downes FP, Ito K, ed, Compendium of Methods
for the Microbiological Examinations of Food. Ed ke–4. Washington, DC
(US): APHA.
Winarno FG. 1993. Pangan, Gizi, Teknologi, dan Konsumen. Jakarta (ID): PT
Gramedia Pustaka Utama.
Winarno FG, Ivone E. 2007. Susu dan Produk Fermentasinya. Bogor (ID): MBRIO Pr.

15

RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 28 November 1991 sebagai anak
pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Rosiin dan Ibu Dami. Penulis
menyelesaikan sekolah dasar di SDN Penjaringan 03 Jakarta pada tahun 2003.
Penulis melanjutkan pendidikan di SMPN 5 Jakarta dan lulus tahun 2006. Tahun
2009 penulis lulus dari SMAN 3 Jakarta dan pada tahun yang sama diterima
sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH
IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi Himpunan
Minat Profesi Hewan Kesayangan, Satwa Akuatik dan Eksotik serta Komunitas
Seni STERIL.