Pengaruh Pemberian Ekstrak Sambiloto, Adas, dan Sirih Merah pada Ayam Broiler terhadap Infeksi Virus Avian Influenza: Histopatologi Hati dan Ginjal
LARASATI PUJI RAHAYU. The Effect of Sambiloto, Adas and Sirih Merah Extract on Avian Influenza Virus Infection in Broiler: Histopathology of Liver and Kidney. Supervised by AGUS SETIYONO.
The objective of this research was to study the effect of extract formulation of sambiloto (Andrographis paniculata), adas (Foeniculum vulgare), and sirih merah (Piper crocatum) to inhibit H5N1 avian influenza virus infection in broiler. Active compounds from each herb were andrographolide, anethole, and piperine respectively. Broiler was divided into eight groups, two as negative (no herbal, unvaccinated) and positive (no herbal, vaccinated) control and the other six groups were treated with herbal formula concentration given 5%, 7.5%, and 10% respectively. The six treated groups were split into three vaccinated and the remaining unvaccinated groups. After infected with H5N1 avian influenza virus, sample from each groups were necropsied and liver and kidney were taken to be evaluated histopathologically. Result of this study indicated that the group treated with 7.5% herb and vaccinated showing the mildest histopathological changes in both organs.
(2)
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK SAMBILOTO, ADAS,
DAN SIRIH MERAH PADA AYAM BROILER TERHADAP
INFEKSI VIRUS AVIAN INFLUENZA: HISTOPATOLOGI
HATI DAN GINJAL
LARASATI PUJI RAHAYU
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
(3)
LARASATI PUJI RAHAYU. Pengaruh Pemberian Ekstrak Sambiloto, Adas, dan Sirih Merah pada Ayam Broiler terhadap Infeksi Virus Avian Influenza: Histopatologi Hati dan Ginjal. Dibimbing oleh AGUS SETIYONO.
Penelitian ini bertujuan mengkaji pengaruh pemberian formula ekstrak sambiloto (Andrographis paniculata), adas (Foeniculum vulgare), dan sirih merah (Piper crocatum) dalam menghambat infeksi virus avian influenza H5N1 pada ayam broiler. Komponen aktif yang terkandung dalam masing-masing tanaman obat yakni andrografolid (sambiloto), anetol (adas), dan piperin (sirih merah). Ayam broiler dibagi menjadi delapan kelompok; dua kelompok masing-masing sebagai kontrol negatif (tanpa ekstrak, tanpa vaksinasi) dan kontrol positif (tanpa ekstrak, divaksin); enam kelompok diberi formula ekstrak dengan konsentrasi 5%, 7,5%, dan 10%. Keenam kelompok yang diberi formula ekstrak terdiri atas tiga kelompok divaksinasi, dan tiga kelompok tidak mendapat vaksinasi. Setelah diinfeksi dengan virus avian influenza H5N1, diambil satu sampel dari masing-masing kelompok untuk dinekropsi. Organ hati dan ginjal dari masing-masing-masing-masing sampel dibuat preparat histopatologi lalu diamati dan dievaluasi secara mikroskopis. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa kelompok perlakuan yang diberi 7,5% formula ekstrak menunjukkan lesio histopatologi yang paling ringan dibandingkan dengan kelompok perlakuan lainnya.
(4)
LARASATI PUJI RAHAYU. The Effect of Sambiloto, Adas and Sirih Merah Extract on Avian Influenza Virus Infection in Broiler: Histopathology of Liver and Kidney. Supervised by AGUS SETIYONO.
The objective of this research was to study the effect of extract formulation of sambiloto (Andrographis paniculata), adas (Foeniculum vulgare), and sirih merah (Piper crocatum) to inhibit H5N1 avian influenza virus infection in broiler. Active compounds from each herb were andrographolide, anethole, and piperine respectively. Broiler was divided into eight groups, two as negative (no herbal, unvaccinated) and positive (no herbal, vaccinated) control and the other six groups were treated with herbal formula concentration given 5%, 7.5%, and 10% respectively. The six treated groups were split into three vaccinated and the remaining unvaccinated groups. After infected with H5N1 avian influenza virus, sample from each groups were necropsied and liver and kidney were taken to be evaluated histopathologically. Result of this study indicated that the group treated with 7.5% herb and vaccinated showing the mildest histopathological changes in both organs.
(5)
INFEKSI VIRUS AVIAN INFLUENZA: HISTOPATOLOGI
HATI DAN GINJAL
LARASATI PUJI RAHAYU
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
(6)
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Pengaruh Pemberian Ekstrak Sambiloto, Adas, dan Sirih Merah pada Ayam Broiler terhadap Infeksi Virus Avian Influenza: Histopatologi Hati dan Ginjal adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, November 2011
Larasati Puji Rahayu NIM B04060536
(7)
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
(8)
Nama : Larasati Puji Rahayu
NIM : B04060536
Disetujui, Pembimbing
drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet NIP.19630810 198803 1 004
Diketahui,
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Dr. Nastiti Kusumorini, AIF NIP. 19621205 198703 2 001
(9)
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Juli 2010 ialah potensi tanaman obat sebagai pemicu pembentukan imunitas terhadap virus avian influenza. Penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) antara Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dan Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Jakarta.
Terima kasih penulis ucapkan kepada drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet sebagai pembimbing, Dr. Drh. Wiwin Winarsih, MSi sebagai dosen penilai seminar, Bayu Febram P, Msi, Apt sebagai moderator dalam seminar, Dr. Drh. Dwi Jayanti Gunandini, Msi. dan Dr. Drh. Savitri Novelina Msi. sebagai penguji sidang, serta drh. M. Subangkit atas bantuannya selama pengamatan histopatologi. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh staf laboratorium histopatologi yang telah membantu selama penelitian, drh. Faisal dan drh. Masda atas bantuan selama peninjauan pustaka, Gusti (STK 45) dan Eka Putri (STK 44) yang telah membantu dalam pengolahan data, WCC (Wawan Copy Center), serta Gesang Baskoroadi atas bantuannya dalam pengolahan dokumentasi hasil. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga tercinta, ayahanda Drs. Purwoko, MSi., ibunda Eva Mutia Noviani Setiarini, dan adinda Bagus Satrio Budiharjo atas dukungan serta nasihatnya, sahabat-sahabat, Faizal Hardi, Inne Larasati, serta teman-teman Aesculapius 43, Gianuzzi 44, Pondok NN, Sparta, Wisma Melati, Lapcom, STEP 2009-2010, Duta Melati, PPI Fuchu-Koganei, PPI Kanto, dan Bina Antarbudaya chapter Bogor atas kebersamaannya.
Skripsi ini tidak luput dari kekurangan dan kesalahan oleh karena itu penulis terbuka menerima kritik dan saran yang membangun guna penulisan selanjutnya. Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, November 2011
(10)
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 5 Agustus 1989 dari ayah Drs. Purwoko, MSi. dan ibu Eva Mutia Noviani Setiarini serta kakak dari Bagus Satrio Budiharjo.
Pendidikan formal dimulai dengan SDN Polisi IV Bogor, SMPN 1 Bogor, dan lulus SMAN 3 Bogor pada tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa program sarjana Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Saringan Masuk IPB (USMI), setahun kemudian penulis masuk ke Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Bulan Oktober 2009 penulis mengikuti program pertukaran mahasiswa di Tokyo University of Agriculture and Technology, Jepang dan kembali melanjutkan studinya di IPB pada September 2010.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi anggota Divisi Kuda Himpunan Minat dan Profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik (HIMPRO HKSA), Veterinary Japanese Club (VJC), Persatuan Pelajar Indonesia Kanto-Jepang, serta ketua Veterinary English Club (VEC), asisten praktikum Embriologi dan Genetika Perkembangan, asisten praktikum Patologi Sistemik II serta panitia dalam berbagai acara yang diselenggarakan oleh organisasi-organisasi di FKH IPB.
(11)
Halaman
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan ... 2
Manfaat ... 2
TINJAUAN PUSTAKA ... 3
Flu Burung ... 3
Hati Ayam ... 4
Ginjal Ayam ... 5
Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) ... 6
Adas (Foeniculum vulgare) ... 7
Sirih Merah (Piper crocatum) ... 8
Vaksin ... 9
BAHAN DAN METODE ... 11
Waktu dan Tempat ... 11
Bahan dan Alat Penelitian ... 11
Kandang Hewan Coba ... 11
Laboratorium Histopatologi ... 11
Metode Penelitian ... 11
Ekstraksi Tanaman Terstandar dan Pembuatan Formula ... 11
Pemeliharaan Hewan Coba ... 12
Pembuatan Preparat Histopatologi ... 13
Pengamatan dan Evaluasi Histopatologi ... 14
Analisis Data ... 15
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16
Evaluasi Histopatologi Organ Hati ... 17
(12)
Saran ... 25 DAFTAR PUSTAKA ... 26 LAMPIRAN ... 29
(13)
Halaman
1 Pemberian tanaman obat, vaksin, dan uji tantang virus AI H5N1 ... 13 2 Skoring organ hatidan ginjal ... 14 3 Klasifikasi skoring organ hati dan ginjal ... 15 4 Data klinis ayam broiler perlakuan setelah uji tantang virus AI strain
H5N1/Ngk/2003 dengan dosis 106,0 EID50/0,1 ml per ekor ... 16
5 Skor pengamatan organ hati ... 18 6 Skor pengamatan organ ginjal ... 21
(14)
Halaman
1 Diagram skematis struktur virus influenza A ... 3
2 Tanaman sambiloto ... 7
3 Tanaman adas ... 8
4 Tanaman sirih merah ... 9
5 Lesio histopatologi hati: kongesti (tanda panah) pada kelompok ayam yang diberi 7,5% formula ekstrak, divaksinasi, dan diinfeksi virus AI, HE, bar 50µm ... 19
6 Lesio histopatologi hati: hipertrofi endotel vena sentralis (tanda panah kuning) dan kongesti (tanda panah hijau) pada kelompok ayam yang divaksinasi, diinfeksi virus AI, dan tidak diberi formula ekstrak, HE, bar 50µm ... 20
7 Lesio histopatologi hati: nekrosis hepatosit (N) dan hemoragi (H) pada kelompok ayam yang divaksinasi, diinfeksi virus AI, dan tidak diberi formula ekstrak, HE, bar 50µm ... 20
8 Lesio histopatologi ginjal: hemoragi (H), nekrosa tubuli (N) pada kelompok ayam yang diinfeksi virus AI tanpa pemberian ekstrak dan vaksinasi, HE, bar 50µm ... 23
9 Lesio histopatologi ginjal: kongesti (tanda panah) pada kelompok ayam yang diberi 10% formula ekstrak, diinfeksi virus AI, dan tidak divaksinasi, HE, bar 50µm ... 23
(15)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Wabah flu burung atau avian influenza (AI) mulai berjangkit di Indonesia sejak tahun 2003 dan menimbulkan kerugian ekonomi cukup besar selain membahayakan kesehatan manusia. Jumlah kasus flu burung di Indonesia sampai tahun 2009 tercatat 147 kasus dengan 212 kematian (Sejati 2010). Tahun 2011, kasus flu burung terjadi di Kabupaten Kubar, Kalimantan Timur. Sekitar 500 unggas ditemukan terinfeksi H5N1 pada tahun 2010 hingga Januari 2011. Penyebaran virus flu burung itu juga ditemukan di Jambi, Sumatra Barat dan Sumatra Utara, serta sejumlah daerah di Pulau Jawa, khususnya Surabaya (Nurhansyah & Dewi 2011).
Perdagangan ayam hidup, terutama broiler dianggap sebagai salah satu penyebab tidak dapat dikendalikannya virus AI ini sampai tuntas. Hingga saat ini ada lima galur broiler yang diusahakan di Indonesia, yaitu Cobb, Ross, Hybro, Hubbard, dan Arbor Acres yang semuanya diimpor dari luar negeri (Muladno et al. 2008).
Untuk menanggulangi wabah flu burung, pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan yang dituangkan dalam Keputusan No.17/Kpts/Pp.640/F/02/04. Dalam keputusan tersebut, dinyatakan sembilan metode untuk mencegah penyebaran dan menghilangkan agen penyebab penyakit, salah satunya yakni pengebalan atau vaksinasi (Sejati 2010). Pengebalan tidak hanya dilakukan dengan vaksinasi, tanaman obat sebagai alternatif pun mulai banyak diaplikasikan.
Penggunaan tanaman sebagai obat-obatan telah digunakan ratusan tahun di Indonesia. Obat yang berasal dari tanaman dikenal dengan obat herbal. Tanaman-tanaman obat yang banyak digunakan dan dipercaya ampuh mengobati berbagai penyakit di antaranya adas (Foeniculum vulgare), sambiloto (Andrographis paniculata Nees), sirih merah (Piper crocatum), dan temu ireng (Curcuma aeruginosa L.).
Saat ini tanaman obat banyak diminati masyarakat karena relatif lebih aman dan murah dibandingkan dengan obat sintetis. Penelitian-penelitian yang
(16)
berkaitan dengan kandungan serta efek farmakologi tanaman obat pun banyak dilakukan (Mahendra 2006).
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh formula ekstrak sambiloto, adas, dan sirih merah dalam menghambat infeksi virus AI H5N1 pada ayam yang mendapat vaksinasi AI dan tidak divaksinasi dengan mengamati gambaran histopatologi hati dan ginjal.
Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data sebagai pertimbangan formulasi tanaman obat yang efektif menghambat virus flu burung pada unggas dan aman, serta mampu meningkatkan daya tahan unggas terhadap infeksi virus AI H5N1.
(17)
TINJAUAN PUSTAKA
Flu Burung
Flu Burung (Avian Influenza, Fowl Plague, Highly Pathogenic Avian Influenza) disebabkan oleh virus dari famili Orthomyxoviridae, genus Influenza, tipe A, strain H5N1. Struktur virus ini memiliki delapan segmen, sense negatif, RNA utas tunggal, beramplop. Pengamatan dengan mikroskop elektron kontras negatif memperlihatkan struktur spherical atau filamentous dengan diameter 80-120 nm (Jordan et al. 2006). Virus influenza A dibagi menjadi sejumlah subtipe berdasarkan hubungan antigenik glikoprotein permukaan, yakni hemaglutinin dan neuraminidase. Sebanyak 16 subtipe HA (H1-H16) dan 9 subtipe NA (N1-N9) telah diidentifikasi (Lee & Sarif 2009).
Gambar 1 Diagram skematis struktur virus influenza A (Lee & Sarif 2009).
Virus flu burung atau avian influenza (AI) pertama kali diidentifikasi menginfeksi unggas ternak pada tahun 1959 dan menyebar luas di seluruh dunia. Reservoir virus ini adalah unggas air liar dan transmisinya pada unggas komersial dapat terjadi melalui berbagai jalur, terutama kontak langsung (Jordan et al. 2006).
Transmisi virus AI yang tergolong Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) dapat terjadi melalui kontak langsung, kontak terhadap peralatan terkontaminasi sekresi respirasi atau feces yang mengandung virus, pergerakan manusia dengan virus yang menempel pada sepatu atau pakaian, udara, maupun
(18)
air. Virus yang masuk secara intranasal mengalami replikasi awal di epitel saluran respirasi. Dua puluh empat jam setelah paparan awal, epitel nasal mengalami ulserasi dan inflamasi dengan virus berada di submukosa, makrofag, heterofil, serta sel endotel. Selanjutnya replikasi terjadi di sel endotel dan menyebar melalui pembuluh darah atau sistem limfatik, mengakibatkan infeksi dan replikasi virus di berbagai tipe sel pada organ viseral. Viremia terjadi dengan atau tanpa replikasi sel endotel vaskuler. Beberapa virus HPAI mengakibatkan viremia yang disertai replikasi pada sel parenkim organ visera (Swayne & Pantin-Jackwood 2008).
Kerusakan yang disebabkan oleh virus AI dapat diakibatkan oleh tiga proses. Pertama, replikasi langsung di sel, jaringan, dan organ. Kedua, efek tidak langsung dari produksi mediator seluler seperti sitokin. Ketiga, iskemia yang disebabkan oleh trombosis vaskuler (Swayne & Pantin-Jackwood 2008).
Wabah HPAI akibat strain H5N1 mulai terjadi pada akhir tahun 2003 di Asia Tenggara dan menyebar ke benua lain. Penyakit ini tergolong salah satu zoonosis penting dan dinyatakan endemik pada tahun 2006 (OIE 2006).
Sejak HPAI terdeteksi di Indonesia tahun 2003, penyakit yang telah menyerang unggas di 31 dari 33 propinsi ini menyebabkan kematian unggas serta kerugian ekonomi bagi masyarakat yang bergantung pada unggas. Laporan kejadian wabah banyak terjadi di pulau-pulau padat penduduk dan unggas, seperti Jawa dan Sumatra (FAO 2009).
Laporan Kementerian Pertanian menyatakan bahwa penyakit flu burung pada tahun 2004 terjadi di Propinsi Jawa Timur (13 Kabupaten), Jawa Tengah (17 Kabupaten), Jawa Barat (6 Kabupaten), Banten (1 Kabupaten), DIY (3 Kabupaten), Lampung (3 Kabupaten), Bali (5 Kabupaten), Kalimantan Timur, Selatan dan Tengah (masing-masing 1 Kabupaten), serta Banten (1 Kabupaten) Jumlah kematian ayam sampai tahun 2004 tidak kurang dari 4,7 juta ekor (Winarno 2004).
(19)
Hati Ayam
Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh dan terletak di rongga abdomen. Fungsi hati yakni sintesis protein, metabolisme bilirubin, asam empedu, karbohidrat, lipid, dan xenobiotik, serta imunitas (Mc Gavin 2007).
Hati ayam terdiri atas dua lobus yang terhubung satu sama lain pada bagian kranial. Lobus kanan berukuran lebih besar daripada lobus kiri. Vesika urinaria menempel pada permukaan viseral lobus kanan. Sementara itu, lobus kiri terbagi atas permukaan parietal dan viseral. Permukaan parietal berbentuk konveks dan terletak pada sternum dan kostae. Permukaan viseral berbentuk konkaf dan bersentuhan dengan limpa, proventrikulus, ventrikulus, duodenum, jejunum, dan ovarium atau testis kanan. Kecuali di daerah dekat hilus, lobulus hati tidak berbatas jelas karena sedikitnya jaringan ikat perilobular (Dyce et al. 2002).
Penyakit hati berdasarkan kausanya terdiri atas kongenital, infeksius, non infeksius, dan neoplastik. Penyakit infeksius disebabkan oleh virus, bakteri, fungi, dan endoparasit. Patologi anatomi dan histopatologi organ hati yang terinfeksi virus, biasanya tidak spesifik. Jika ditemukan lesio hepatitis dan nekrosis pada hati tanpa perubahan patognomonis dari suatu penyakit tertentu, infeksi virus dapat dijadikan sebagai diferensial diagnosa. Perubahan patologi anatomi lain yang mungkin ditemukan pada infeksi virus di antaranya hepatomegali, perubahan warna, hepatitis, kolangitis, hemoragi, dan nekrosis. Sementara itu, secara histopatologi dapat ditemukan infiltrasi limfoplasmasitik, infiltrasi sel-sel radang, dan badan inklusi intrasel (Schmidt et al. 2003).
Ginjal Ayam
Ginjal ayam terdiri atas satu pasang, bilateral simetris, memanjang, dan terletak di ventral synsacrum atau fossa renalis. Setiap ginjal terbagi atas bagian kranial, intermedia, dan kaudal. Setiap bagian terdiri atas lobuli. Sebuah lobus berisi sejumlah besar komponen korteks dan sejumlah kecil komponen medula (Schmidt et al. 2003; Bacha & Bacha 2000).
Nefron pada ginjal ayam terdiri atas dua tipe, kortikal (reptilia) dan medular (mamalia). Tipe kortikal mengandung lebih banyak nefron daripada tipe
(20)
medular tapi tidak memiliki ansa Henle. Tipe ini seluruhnya berada di korteks. Sementara itu tipe medular mengandung sedikit nefron dan memiliki ansa Henle yang meluas di medula. Nefron kortikal tersusun radial mengelilingi vena sentral (intralobular) dari korteks. Korpuskulus renalis terletak di antara vena intralobular dan perifer dari vena interlobular. Nefron kortikal memiliki korpuskulus renalis berukuran lebih kecil daripada nefron medular. Korpuskulus renalis nefron medular terletak dekat dengan bagian medula ginjal (Bacha & Bacha 2000).
Jaringan kortikal yang terletak di antara korpuskulus renalis dan vena interlobularis sebagian besar terdiri atas tubuli kontortus proksimal dan sejumlah kecil tubuli kontortus distal yang terletak di antara korpuskulus renalis dan vena intralobularis. Sel epitel tubuli kontortus proksimal berbentuk silindris sebaris dan memiliki brush border. Sementara itu, sel epitel tubuli kontortus distal berukuran lebih pendek daripada sel epitel tubuli kontortus proksimal. Sebuah tubulus intermedia pada nefron kortikal menghubungkan tubuli kontortus proksimal dan distal. Kedua tubuli tersebut dihubungkan oleh ansa Henle di bagian medula (Bacha & Bacha 2000).
Tubuli kolektivus terletak di bagian perifer korteks dan tersusun atas epitel kubus sampai silindris. Tubuli ini bergabung dengan tubuli kontortus distal di duktus kolektivus perilobular, kemudian bergabung dengan tubuli lainnya membentuk trakti medularis. Trakti tersebut membentuk cone medularis. Setiap cone berakhir pada sebuah cabang ureter (Bacha & Bacha 2000).
Penyakit ginjal berdasarkan kausanya terdiri atas kongenital, infeksius, non-infeksius, nefropati, dan neoplastik. Salah satu kausa penyakit infeksius yakni virus. Perubahan patologi akibat infeksi virus di antaranya pembengkakkan, inflamasi non supuratif, infiltrasi sel mononuklear, vakuolasi sel epitel tubulus, badan inklusi dalam sel epitel intratubular, dan nekrosis (Schmidt et al. 2003).
Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)
Sambiloto telah digunakan selama berabad-abad untuk pengobatan demam dan berbagai penyakit infeksius (Srivastava & Akhila 2010). Wynn dan Fougerè
(21)
(2007) menyebutkan tanaman ini dapat mengobati flu burung. Bagian tanaman yang digunakan adalah daun. Daun sambiloto mengandung saponin, flavonoid, dan tanin. Salah satu senyawa aktif sambiloto yakni andrografolid (Mahendra 2006). Andrografolid telah diidentifikasi sebagai zat kimia utama dalam sambiloto yang berperan sebagai agen terapetik. Zat ini secara umum menunjukkan aktivitas sitotoksik dan sitostatik terhadap sel kanker serta aktivitas hepatoprotektif (Srivastava & Akhila 2010).
Gambar 2 Tanaman sambiloto (ICS 2010).
Taksonomi sambiloto menurut ITIS (1996a) adalah: kingdom : Plantae
divisi : Magnoliophyta kelas : Magnoliopsida ordo : Scrophulariales famili : Acanthaceae genus : Andrographis
(22)
Adas (Foeniculum vulgare)
Secara historis adas telah digunakan oleh masyarakat di beberapa negara sebagai obat yang efektif terhadap berbagai penyakit, di antaranya flatulen, batuk kering, kurang nafsu makan, kolik, halitosis, bronkhitis, asma, dan konstipasi. Tanaman adas memiliki komponen dasar yakni anetol serta komponen lainnya yakni fenchone dan estragole. Anetol sebagai komponen dasar memiliki aktivitas karminatif, digestif, ekspektoran, dan spamolitik pada saluran pernapasan dan pencernaan (De Amit 2004).
Gambar 3 Tanaman adas (Horrisberger 2003).
Taksonomi adas menurut ITIS (1996b) adalah: kingdom : Plantae
divisi : Magnoliophyta kelas : Magnoliopsida
ordo : Apiales
famili : Apiaceae
genus : Foeniculum
(23)
Sirih Merah (Piper crocatum)
Sirih merah merupakan salah satu tanaman obat potensial yang secara empiris memiliki khasiat yakni menurunkan kadar gula darah, anti tumor, jantung koroner, asam urat, hipertensi, peradangan organ tubuh (paru-paru, hati, ginjal, pencernaan), serta luka yang sulit sembuh. Sirih merah mengandung flavonoid, alkaloid senyawa polifenolat, tanin dan minyak atsiri. Senyawa-senyawa tersebut diketahui memiliki sifat antibakteri Sementara itu, senyawa utama pada sirih merah yakni piperin yang memiliki aktivitas anti inflamasi (Sudjarwo 2005).
Gambar 4 Tanaman sirih merah (Rudiana et al. 2011).
Taksonomi sirih merah menurut Backer (1963) adalah: kingdom : Plantae
divisi : Magnoliophyta kelas : Magnoliopsida ordo : Piperales famili : Piperaceae genus : Piper
spesies : Piper crocatum
Vaksin
Vaksin adalah bibit penyakit yang sudah dilemahkan atau dimatikan dengan prosedur tertentu, digunakan untuk merangsang pembentukan zat kekebalan tubuh, sehingga tubuh dapat menahan serangan penyakit yang bersangkutan. Sebuah vaksin pada dasarnya terdiri atas organisme atau bagian dari organisme (antigen) penyebab penyakit yang relevan dalam memproduksi
(24)
antibodi. Antigen tersebut dipresentasikan sedemikian rupa dalam bentuk yang tidak berbahaya bagi hewan namun dapat menggertak respon sistem imun untuk menghasilkan antibodi. Sediaan vaksin berisi antigen, adjuvant, diluent, dan preservative (Kayne & Jepson 2004).
Berdasarkan formulasinya, vaksin dibagi atas live attenuated dan inactivated. Vaksin live attenuated berisi organisme yang dilemahkan tapi tetap mampu bereproduksi secara terbatas. Kemampuan untuk bereplikasi ini dikontrol sedemikian rupa sehingga gejala klinis yang muncul pada hewan sehat akibat pemberian vaksin sangat ringan atau tidak ada sama sekali. Sementara itu pada inactivated vaccine, antigen diinaktifasi sehingga kehilangan kemampuan dalam bereplikasi atau memproduksi faktor virulen penyebab penyakit. Meskipun sudah inaktif, antigen masih mampu menggertak respon sistem imun pada tubuh hewan. (Kayne & Jepson 2004).
(25)
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2010 sampai April 2011 bertempat di Kandang Hewan Laboratorium dan Laboratorium Histopatologi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, serta di fasilitas Bio Safety Level 3 (BSL 3) PT. Vaksindo Satwa Nusantara.
Bahan dan Alat Penelitian Kandang Hewan Coba
Hewan coba yang digunakan digunakan adalah DOC (Day Old Chick). Bahan yang digunakan di Kandang Hewan Laboratorium adalah pakan konsentrat, air, alas kandang (litter), dan ekstrak tanaman obat. Alat yang digunakan adalah kandang hewan coba terbuat dari papan kayu, syringe 1 ml, wadah pakan dan minum ayam, lampu, timbangan elektronik, botol ekstrak, spidol, kain lap, gelang plastik penanda, dan stiker label.
Laboratorium Histopatologi
Bahan yang digunakan yakni preparat organ hati dan ginjal, buffer neutral formalin 10%, air, xylol, alkohol 70%, 80%, 90%, 96%, dan absolut, lithium carbonate, parafin, Mayer Haematoxyline serta Eosin. Alat yang digunakan adalah tissue cassette, tissue processor, cetakan parafin, inkubator, mikrotom, mikroskop cahaya, dan alat tulis.
Metode Penelitian
Ekstraksi Tanaman Terstandar dan Pembuatan Formula
Ekstrak tanaman terstandar dan formula telah disiapkan oleh Laboratorium Fisiologi Hasil Fisiologi Hasil Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balitro) Bogor. Secara ringkas, ekstraksi tanaman terstandar dibuat dengan cara pemanenan kemudian dilakukan ekstraksi bagian tanaman tertentu. Cara panen dilakukan disesuaikan dengan tanaman. Sirih merah dan sambiloto dipanen
(26)
dengan cara memetik daun sedangkan adas dengan memetik buahnya. Bagian tumbuhan yang dipanen digunakan untuk pembuatan ekstrak.
Pembuatan formula dilakukan dengan mencampurkan ekstrak sambiloto, adas, dan sirih merah dengan perbandingan tertentu berdasarkan kadar masing-masing bahan aktif, yakni andrografolid, anetol, dan piperin. Variasi konsentrasi setiap bahan aktif dalam formula yakni 5%, 7,5%, dan 10%. Formula ekstrak diberikan pada dosis 1 ml/ekor/hari.
Pemeliharaan Hewan Coba
Sebanyak 64 ekor ayam DOC broiler strain Cobbs dipelihara di fasilitas Kandang Hewan Laboratorium Fakultas Kedokteran Hewan IPB dengan pemberian pakan dan minum ad libitum. Ayam dikelompokkan menjadi delapan kelompok (Tabel 1). Ayam diadaptasikan selama tujuh hari lalu mendapat ekstrak tanaman obat dalam bentuk formulasi selama dua minggu. Vaksin AI diberikan pada minggu ke-3 secara subkutan dengan dosis 0,5 ml/ekor. Ekstrak tanaman obat diberikan lagi selama satu minggu pasca vaksinasi lalu dilanjutkan dengan pemberian air minum biasa selama satu minggu atau hingga uji tantang dengan virus AI H5N1 pada umur lima minggu (35 hari). Selanjutnya ayam dipelihara di fasilitas Bio Safety Level 3 (BSL 3) milik PT. Vaksindo Satwa Nusantara di Cicadas, Gunung Putri, Bogor untuk uji tantang dengan virus AI strain H5N1/Ngk/2003 per inhalasi dengan dosis 106,0 EID50/0,1 ml per ekor. Selama
enam hari setelah uji tantang, ayam diamati. Perlakuan terhadap ayam disajikan dalam Tabel 1.
(27)
Tabel 1 Pemberian tanaman obat, vaksin, dan uji tantang virus AI H5N1
Kelompok Jumlah
(ekor) Jenis Perlakuan Tanaman Obat (minggu ke-2~4) Vaksin AI (minggu ke-3) Uji tantang virus AI H5N1 (minggu ke-5)
I (kontrol negatif) 8 – – √
II (kontrol positif) 8 – √ √
III (formula A) 8 √ √ √
IV (formula B) 8 √ √ √
V (formula C) 8 √ √ √
VI (formula A) 8 √ – √
VII (formula B) 8 √ – √
VIII (formula C) 8 √ – √
√ : diberikan; – : tidak diberikan
Formula A: ekstrak tanaman obat dengan konsentrasi andrografolid, piperin, dan anetol dalam masing-masing formula, sebesar 5%
Formula B: ekstrak tanaman obat dengan konsentrasi andrografolid, piperin, dan anetol dalam masing-masing formula, sebesar 7,5%
Formula C: ekstrak tanaman obat dengan konsentrasi andrografolid, piperin, dan anetol dalam masing-masing formula, sebesar 10%
Pembuatan Preparat Histopatologi
Ayam yang mati setelah uji tantang virus AI H5N1 dinekropsi kemudian diambil sampel hati dan ginjal serta difiksasi dalam 10% larutan buffer neutral formalin. Setiap sampel organ dipotong dengan ketebalan lebih kurang 1 cm dan dimasukkan ke dalam tissue cassette. Selanjutnya dilakukan rehidrasi, dengan merendam tissue cassette berisi sampel ke dalam alkohol bertingkat 70%, 80%, dan 90%; alkohol absolut I, II, dan III. Proses selanjutnya yakni clearing dengan xylol I, II, dan III. Kemudian sampel diinfiltrasi oleh parafin. Seluruh proses rehidrasi, clearing, dan infiltrasi berjalan secara automatis dalam mesin automatic tissue processor.
Tahap selanjutnya yakni sampel dimasukkan ke dalam alat embedding berisi parafin cair. Letak potongan organ diatur agar tetap berada di tengah blok parafin. Setelah membeku atau mengeras, blok parafin berisi sampel dipotong dengan ketebalan 3-5 µm menggunakan mikrotom. Hasil pemotongan, yang berbentuk seperti pita, diletakkan di atas permukaan air hangat (±45 oC) agar jaringan tidak berkerut. Selanjutnya jaringan diletakkan di atas gelas objek, dikeringkan, dan diinkubasi selama 24 jam, 60 oC. Setelah jaringan terfiksasi pada gelas objek, dilakukan pewarnaan.
(28)
Proses pewarnaan Haematoxyline-Eosin dilakukan dengan tahap perendaman gelas objek dalam xylol I, II, III, alkohol absolut, 96%, 80%, dan 70%. Kemudian sediaan dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Pewarnaan pertama dilakukan dengan merendam sediaan dalam Mayer Haematoxyline selama satu menit, lalu dicuci dengan air mengalir dan dicelupkan tiga kali dalam lithium carbonate. Selanjutnya sediaan dicuci kembali dalam air mengalir sebelum dilakukan perwarnaan dengan zat warna kedua, Eosin, selama 2 menit 30 detik. Sediaan dicuci dalam air mengalir selama 30 detik kemudian dilakukan rehidrasi dalam alkohol 70%, 80%, 96%; serta clearing dalam xylol I, II, III, dan IV.
Pengamatan dan Evaluasi Histopatologi
Pengamatan histopatologi organ hati dan ginjal dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya, perbesaran 40 x 10 (40 kali objektif dan 10 kali okuler) pada 20 kali lapangan pandang. Evaluasi terhadap perubahan mikroskopis masing-masing organ dilakukan dengan metode skoring. Skoring dilakukan berdasarkan tingkatan kerusakan organ. Semakin besar rataan skor dalam satu preparat mengindikasikan tingkat keparahan perubahan histopatologi. Preparat organ yang dievaluasi yakni satu buah hati dan ginjal dari masing-masing perlakuan, sehingga total preparat yang digunakan adalah 16 buah. Penilaian atau skoring terhadap parenkim organ hati dan ginjal disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Skoring organ hati dan ginjal
Skor Organ Hati Organ Ginjal
0 Normal Normal
1 Edema
Kongesti
Edema Kongesti
2 Degenerasi Degenerasi
3 Degenerasi difus
Hipertrofi endotel pembuluh darah Infiltrasi sel-sel radang
Degenerasi difus
Hipertrofi endotel pembuluh darah Infiltrasi sel-sel radang
4 Hemoragi
Nekrosis
Hemoragi Nekrosis
Setelah dilakukan penilaian pada masing-masing lapangan pandang, dihitung rataan skor pada setiap sampel perlakuan kemudian ditentukan skor
(29)
akhir. Skoring akhir ditentukan berdasarkan hasil rataan tiap perlakuan dilakukan untuk mengelompokkan nilai (Tabel 3).
Tabel 3 Klasifikasi skoring organ hati dan ginjal
Skor Akhir Rataan Skoring
0 0,0 ≤x < 0,9
1 0,9 ≤x < 1,9
2 1,9 ≤x < 2,9
3 2,9 ≤x < 3,9
4 x≥ 3,9
Analisis Data
Hasil skoring histopatologi diuji dengan uji Kruskal-Wallis. Uji lanjutan dilakukan dengan uji Dunn.
(30)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil uji tantang virus avian influenza (AI) strain H5N1/Ngk/2003 secara intranasal dengan dosis 106,0 EID50/0,1 ml per ekor menunjukkan bahwa virus ini
mengakibatkan mortalitas pada ayam broiler (Tabel 4). Seluruh ayam dalam kelompok pemberian 5% formula ekstrak dan divaksin (kelompok III) bertahan hidup sampai hari ke-7 pasca infeksi. Ayam pada kelompok ini dieutanasi kemudian dinekropsi untuk diambil sampel organ hati dan ginjal. Mortalitas terendah ditemukan pada kelompok perlakuan pemberian vaksin tanpa ekstrak (kelompok II) dengan jumlah kematian sebanyak satu ekor pada hari ke-7 pasca infeksi. Sementara itu, mortalitas tertinggi diamati pada tiga kelompok perlakuan, yakni kelompok yang tidak diberi formula ekstrak dan tidak divaksin; kelompok yang diberi 5% formula ekstrak tanpa divaksin; serta kelompok yang diberi 10% formula ekstrak dan tidak divaksin.
Tabel 4 Data klinis ayam broiler perlakuan setelah uji tantang virus AI strain H5N1/Ngk/2003 dengan dosis 106,0 EID50/0,1 ml per ekor
Kelompok Perlakuan Total
Ayam
Total ayam mati pada hari ke- setelah uji tantang virus
AI Total ayam hidup pada hari ke-7 setelah uji tantang (%)
1 2 3 4 5 6
I
Kontrol negatif (tanpa ekstrak, tanpa vaksin)
8 - - 3 4 1 - 0 (0)
II
Kontrol positif (tanpa ekstrak, vaksin)
8 - - - 1 7 (87,5)
III 5% Formula,
vaksin 8 - - - 8 (100)
IV 7,5% Formula,
vaksin 8 - - 1 - 1 - 6 (75)
V 10% Formula,
vaksin 8 - - 2 1 1 - 4 (50)
VI 5% Formula,
tanpa vaksin 8 - - 4 3 1 - 0 (0)
VII 7,5% Formula,
tanpa vaksin 8 - - 6 1 - - 1 (12,5)
VIII 10% Formula,
(31)
Berdasarkan data jumlah kematian ayam, maka terlihat bahwa pemberian formula ekstrak sambiloto, adas, dan sirih merah serta vaksin mampu menekan jumlah kematian ayam yang diinfeksi virus AI. Di sisi lain, pemberian vaksin secara tunggal tanpa pemberian ekstrak cukup mampu melindungi ayam dari virus AI yang ditandai dengan tidak adanya kematian sampai hari ke-5 pasca infeksi. Sementara itu, tidak adanya kematian ayam pada kelompok pemberian 5% formula ekstrak yang divaksinasi kemungkinan disebabkan oleh adanya salah satu zat dalam ekstrak yang berperan sinergis dengan vaksin. Akan tetapi, jenis dan mekanisme zat tersebut belum diketahui secara pasti.
Evaluasi Histopatologi Organ Hati
Hasil pengamatan histopatologi organ hati menunjukkan bahwa kelompok pemberian 7,5% formula dan vaksin (kelompok IV) memiliki lesio paling ringan. Hampir 70% lesio yang terlihat berupa kongesti dengan rataan skor 1,60. Lesio kongesti yang mendominasi organ kelompok perlakuan no.IV ditandai dengan dilatasi vena-vena. Secara kuantitatif kelompok IV memiliki rataan skoring yang lebih rendah daripada kelompok kontrol positif. Hal tersebut berarti perubahan histopatologi pada kelompok IV lebih ringan daripada kelompok kontrol positif dan pemberian ekstrak formula 7,5% mempengaruhi respon ayam terhadap virus avian influenza (AI) H5N1. Analisis statistik Kruskal-Wallis menunjukkan adanya perbedaan gambaran histopatologi yang nyata antara kedelapan kelompok perlakuan. Sementara itu, uji lanjutan Dunn (Tabel 2) menunjukkan bahwa kelompok perlakuan IV tidak berbeda nyata dengan kontrol positif (tanpa ekstrak, vaksin). Lesio histopatologi pada kelompok pemberian 7,5% formula ekstrak dan vaksinasi dapat dilihat pada Gambar 4.
Sementara itu, lesio histopatologi yang terlihat pada perlakuan tanpa ekstrak namun divaksinasi menunjukkan lesio hipertrofi seluruh endotel pembuluh darah vena, termasuk vena sentralis (Gambar 6). Hipertrofi tersebut adalah salah satu reaksi terhadap replikasi virus AI di endotel pembuluh darah. Cardona et al. (2009) menyebutkan bahwa infeksi endotel pembuluh darah merupakan tahap penting dalam patogenesis virus H5N1 HPAI. Infeksi endotel
(32)
pembuluh darah menganggu permeabilitas pembuluh darah serta mengakibatkan edema, hemoragi, dan nekrosis jaringan.
Pemberian formula sebesar 7,5% menunjukkan konsentrasi optimum yang mampu meringankan lesio akibat infeksi virus AI. Hal ini diduga karena peran senyawa tanaman sambiloto (andrografolid) dan senyawa aktif sirih merah (piperin) sebagai hepatoprotektor (Srivastava & Akhila 2010; Mishra 2010). Chen et al. (2009) dan Astani et al. (2011) juga menyebutkan bahwa andrografolid dalam sambiloto berperan sebagai hepatoperotektor dan anetol dalam adas berperan sebagai antiviral.
Tabel 5 Skor pengamatan organ hati
Kelompok Perlakuan Skor
Rataan Akhir
I Kontrol negatif (tanpa ekstrak, tanpa vaksin) 3,95d 4
II Kontrol positif (tanpa ekstrak, vaksin) 1,80ab 1
III 5% Formula, vaksin 2,45bc 2
IV 7,5% Formula, vaksin 1,60a 1
V 10% Formula, vaksin 2,90bc 3
VI 5% Formula, tanpa vaksin 2,05ab 2
VII 7,5% Formula, tanpa vaksin 2,25ab 2
VIII 10% Formula, tanpa vaksin 3,95d 4
Huruf superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05)
Sementara itu, perubahan histopatologi paling berat ditunjukkan pada kelompok perlakuan I (tanpa formula dan tanpa vaksin) dan VIII (10% formula tanpa vaksinasi). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa kelompok perlakuan I dan VIII berbeda nyata dengan hampir seluruh kelompok perlakuan lainnya (Tabel 5). Tingkat keparahan lesio histopatologi yang tinggi pada kelompok perlakuan I disebabkan oleh tidak adanya perlindungan organ terhadap virus oleh vaksinasi maupun formula. Sementara itu, keparahan lesio histopatologi pada kelompok perlakuan VIII selain disebabkan oleh infeksi virus, juga adanya kemungkinan konsentrasi 10% formula ekstrak sebagai konsentrasi sediaan yang toksik bagi hati. Setiyono et al. (2008) telah membuktikan bahwa ketiga tanaman obat mampu menekan lesio akibat infeksi virus AI serta cenderung tidak berpotensi toksik bagi organ pada konsentrasi yang lebih rendah yakni 2,5%.
(33)
Lesio yang diamati pada kelompok perlakuan VIII didominasi oleh nekrosis hepatosit (Gambar 7). Nekrosis hepatosit merupakan proses kematian sel yang dicirikan dengan cytoplasmic swelling, kerusakan organel, dan gangguan membran plasma. Kematian sel dapat diakibatkan oleh infeksi mikroorganisme seperti virus serta hipoksia. Hepatosit dan tubulus proksimal ginjal sangat rentan terhadap keadaan hipoksia. Sel yang mengalami nekrosis biasanya menunjukkan perubahan pada inti sel dan fragmentasi sel. (Mc Gavin & Zachary 2007). Nekrosis hepatosit yang terlihat pada kelompok perlakuan 10% formula tanpa vaksin dicirikan dengan karyorrhexis dan influx eritrosit ke dalam sinusoid, sedangkan nekrosis hepatosit yang terlihat pada kelompok perlakuan tanpa pemberian ekstrak dan tanpa vaksin dicirikan dengan piknosis. Menurut Schmidt et al. (2003), perubahan histopatologi berupa nekrosis hepatosit ditemukan pada infeksi virus. Sementara itu Swayne dan Pantin-Jackwood (2008) menjelaskan bahwa infeksi virus AI pada ayam mengakibatkan nekrosis hepatosit.
Gambar 5 Lesio histopatologi hati: kongesti (tanda panah) pada kelompok ayam yang diberi 7,5% formula ekstrak, divaksinasi, dan diinfeksi virus AI, HE, bar 50µm.
Signifikasi lesio histopatologi pada kelompok perlakuan IV dan VIII menunjukkan peran vaksin dalam melindungi organ dari infeksi virus. Kayne dan Jepson (2004) menjelaskan bahwa vaksin bekerja dengan memanfaatkan spesifisitas dan karakteristik memori pada respon imun dapatan. Sistem imun
(34)
akan menghasilkan respon yang lebih cepat dan kuat terhadap infeksi antigen atau patogen pada infeksi yang kedua kali dan seterusnya. Antigen dalam vaksin dimodifikasi sehingga menjadi kurang berbahaya bagi hewan namun tetap mampu menginduksi sistem imun.
Gambar 6 Lesio histopatologi hati: hipertrofi endotel vena sentralis (tanda panah kuning) dan kongesti (tanda panah hijau) pada kelompok ayam yang divaksinasi, diinfeksi virus AI, dan tidak diberi formula ekstrak, HE, bar 50µm.
Gambar 7 Lesio histopatologi hati: nekrosis hepatosit (N) dan hemoragi (H) pada kelompok ayam yang divaksinasi, diinfeksi virus AI, dan tidak diberi formula ekstrak, HE, bar 50µm.
H
N
(35)
Evaluasi Histopatologi Organ Ginjal
Lesio histopatologi yang diamati pada organ ginjal akibat infeksi virus AI yakni berupa nekrosis tubuli dan hemoragi. Kelompok perlakuan tanpa pemberian formula ekstrak maupun vaksin (Kelompok I) menunjukkan gambaran histopatologis yang didominasi oleh nekrosis tubuli (Gambar 8) dan secara kuantitatif memiliki rataan skor paling tinggi dibandingkan kelompok perlakuan lainnya (Tabel 6). Hasil analisis statistik dengan uji Dunn pun menunjukkan bahwa kerlompok perlakuan I berbeda nyata dengan kelompok perlakuan lainnya. Nekrosis pada organ ginjal tersebut membuktikan bahwa infeksi virus AI menyebabkan kerusakan multi organ, termasuk ginjal.
Kelompok perlakuan VIII, yakni pemberian 10% formula tanpa vaksin menunjukkan perubahan histopatologi paling ringan. Sebanyak 90% lesio didominasi oleh kongesti. Mc Gavin dan Zachary (2007) menjelaskan bahwa kongesti disebabkan oleh peningkatan volume dan tekanan darah pada suatu jaringan dan berkaitan dengan dilatasi kapiler serta dapat mengakibatkan ekstravasasi cairan.
Tabel 6 Skor pengamatan organ ginjal
Kelompok Perlakuan Skor
Rataan Akhir
I Kontrol negatif (tanpa ekstrak, tanpa vaksin) 3,90c 4
II Kontrol positif (tanpa ekstrak, vaksin) 1,35a 1
III 5% Formula, vaksin 1,45a 1
IV 7,5% Formula, vaksin 1,20a 1
V 10% Formula, vaksin 2,05b 2
VI 5% Formula, tanpa vaksin 1,40a 1
VII 7,5% Formula, tanpa vaksin 1,30a 1
VIII 10% Formula, tanpa vaksin 1,10a 1
Huruf superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05)
Lesio ringan yang didominasi oleh kongesti pada kelompok perlakuan VIII (Gambar 9) disebabkan oleh senyawa andrografolid dan anetol dalam formula yang berfungsi sebagai agen antiviral (Srivastava & Akhila 2010; Astani et al. 2011). Anetol sebagai golongan fenilpropanoid berinteraksi dengan partikel virus bebas sebelum virus tersebut melakukan attachment dengan sel inang (Astani et al. 2011). Calabrese et al. (2000) dalam penelitiannya menunjukkan peningkatan
(36)
limfosit CD4+ pada pasien positif HIV yang diberi 10 mg/kg BB andrografolid. Peningkatan CD4+ tersebut berkaitan dengan fungsi imunomodulator andrografolid. Komponen aktif tersebut mampu memodulasi respon imun bawaan (innate) dan dapatan (adaptive) melalui regulasi polarisasi fenotip makrofag serta produksi antigen-spesifik antibodi (Wang et al. 2010).
Antibodi sangat spesifik untuk masing-masing permukaan antigen dan berperan penting dalam mengatasi infeksi virus pada keadaan akut serta mencegah re-infeksi. Pencegahan terhadap infeksi kembali akan efektif jika antibodi terlokalisasi pada situs masuknya virus ke dalam tubuh. Hal ini dikarenakan sejumlah besar virus mengekspresikan molekul pada reseptor permukaan untuk mengawali infeksi. Virus AI secara spesifik berikatan dengan sialic acid pada glikoprotein dan glikolipid membran sel. Jika antibodi terhadap virus dihasilkan, maka ia mampu menghadang infeksi dengan mencegah ikatan partikel virus pada sel inang. Sementara itu, antibodi humoral spesifik untuk molekul hemaglutinin dihasilkan selama infeksi virus AI. Antibodi ini memberikan perlindungan terhadap virus dan bersifat strain spesifik (Kindt et al. 2007).
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa kelompok perlakuan VIII tidak berbeda nyata dengan kelompok perlakuan II, III, IV, VI, dan VII (Tabel 3), meskipun secara kuantitatif memiliki rataan skor paling rendah. Lesio ringan pada perlakuan pemberian 10% formula ekstrak tanpa vaksinasi diduga akibat peran senyawa aktif dalam masing-masing ekstrak tanaman obat dalam melindungi ginjal dari infeksi virus. Chen (2009) serta Chao dan Lin (2010) menyatakan bahwa senyawa aktif andrografolid dalam sambiloto telah terbukti efektif sebagai antivirus pada infeksi AI H5N1.
(37)
Gambar 8 Lesio histopatologi ginjal: hemoragi (H), nekrosa tubuli (N) pada kelompok ayam yang diinfeksi virus AI tanpa pemberian ekstrak dan vaksinasi, HE, bar 50µm.
Gambar 9 Lesio histopatologi ginjal: kongesti (tanda panah) pada kelompok ayam yang diberi 10% formula ekstrak, diinfeksi virus AI, dan tidak divaksinasi, HE, bar 50µm.
Jika hasil pengamatan antara organ hati dan ginjal dihubungkan, maka lesio histopatologi paling ringan ditemukan pada perlakuan 7,5% formula dengan vaksinasi. Masing-masing diperoleh rataan skor sebesar 1,60 (hati) dan 1,20
H
(38)
(ginjal). Lesio yang mendominasi pada kedua organ yakni edema dan kongesti. Mc Gavin dan Zachary (2007) menyebutkan bahwa edema disebabkan oleh peningkatan permeabilitas pembuluh darah, peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular, penurunan tekanan osmotik intravaskular, dan penurunan drainase limfatik. Peningkatan permeabilitas pembuluh darah dapat terjadi akibat kebocoran pembuluh darah yang berkaitan dengan inflamasi oleh infeksi virus maupun reaksi hipersensitivitas tipe I terhadap vaksin.
Dominasi perubahan berupa kongesti menunjukkan bahwa pemberian 7,5% formula merupakan konsentrasi optimal yang mampu memberikan perlindungan terhadap infeksi virus AI H5N1. Hal ini berarti masing-masing komponen aktif mampu berkhasiat sebagai imunomodulator, antivirus, serta protektif terhadap organ, terutama hati.
(39)
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pemberian formula ekstrak sambiloto, adas, dan sirih merah dengan konsentrasi 7,5% serta vaksinasi (kelompok perlakuan IV) mampu menekan lesio histopatologi hati dan ginjal ayam paling ringan berupa kongesti dibandingkan dengan kelompok perlakuan lainnya.
Saran
Perlu dilakukan pengkajian lanjutan untuk mengetahui kemungkinan pembuatan paten sediaan yang mengandung 7,5% formula ekstrak tanaman obat sebagai sediaan antivirus AI H5N1 pada ayam. Penelitian lanjutan juga diperlukan untuk mengetahui efek 7,5% formula ekstrak pada hewan lain yang rentan terinfeksi virus AI H5N1.
(40)
DAFTAR PUSTAKA
Astani A, Reichling J, Schnitzler P. 2011. Screening for antiviral activities of isolated compounds from essential oils. Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine2011.
Bacha WJ, Bacha LM. 2000. Color Atlas of Veterinary Histology. Ed ke-2. USA: Lippincott Williams and Wilkins.
Backer CA, Den Brink van BJR. 1963. Flora of Java. Netherland: The Auspices of The Rijksherbarium Leyden.
Calabrese C et al.. 2000. A phase I trial of andrographolide in HIV positive patients and normal volunteers. Phytother. Res. 14:333-338.
Cardona CJ, Xing Z, Sandrock CE, Davis CE. 2009. Avian influenza in birds and mammals. Comp. Immun. Microbiol. Infect. Dis. 32:255-273.
Chao WW, Lin BF. 2010. Isolation and identification of bioactive compounds in Andrographis paniculata (Chuanxinlian). Chinese Med. 5(17):1-15.
Chen JX et al. 2009. Activity of andrographolide and its derivatives against influenza virus in vivo and in vitro. Biol. Pharm. Bull. 32(8):1385-1391.
Dirjen Produksi Peternakan. 2002. Budidaya Ternak Ayam Pedaging yang Baik (Good Farming Practice) Manajemen Peternakan Bermutu. Jakarta: Dirjen Produksi Peternakan Direktorat Budidaya Peternakan.
De Amit K. 2004. The Genus Foeniculum. Dalam: Jodral MM. Illicum, Pimpinella, Foeniculum. USA: CRC Press.
Dyce KM, Sack WO, Wensing WG. 2002. Textbook of Veterinary Anatomy. Ed ke-3. Philadelphia: Saunders.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2009. Program Pengendalian HPAI di Indonesia: Laporan Tahunan. Jakarta: UN FAO Avian Influenza Control Programme, Kementerian Pertanian.
Horrisberger CJ. 2003. The Biogeography of Sweet Fennel (Foeniculum vulgare) in California. [terhubung berkala]. http://bss.sfsu.edu/holzman/courses/ Fall%2003%20project/foeniculumvulgare1.htm
[ICS] International Center for Science and High Technology. 2010. Andrographis paniculata (Burm. F.) Wall ex Nees. [terhubung berkala] http://portal.ics.trieste.it/MAPs/MedicinalPlants_Plant.aspx?id=573 [2 Mei 2011].
(41)
[ITIS] Integrated Taxonomic Information System. 1996a. Andrographis paniculata (Burm. F.) Wall ex Nees. [terhubung berkala] http://www.its.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt?searchtopic=TSNdansearch value=184881 [4 Mei 2011].
[ITIS] Integrated Taxonomic Information System. 1996b. Foeniculum vulgare P. Mill. [terhubung berkala] http://www.its.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt? search topic=TSNdansearch value=29509 [4 Mei 2011].
Jordan F, Pattison M, Alexander D, Faragher T. 2006. Poultry Disease. USA: Saunders Elsevier.
Kayne SB, Jepson MH. 2004. Veterinary Pharmacy. UK: Pharmaceutical Press.
Kindt TJ, Goldsby RA, Kuby, Osborne BA. 2007. Immunology. Ed ke-6. New York: W.H. Freeman and Company.
Lee CW, Sarif YH. 2009. Avian influenza virus. Comp. Immun. Microbiol. Infect. Dis. 3:301-310.
Mahendra B. 2006. 13 Jenis Tanaman Obat Ampuh. Jakarta: Penebar Swadaya.
Muladno, Sjaf S, Arifin AY, Iswandani. 2008. Struktur Usaha Broiler di Indonesia. Jakarta: Permata Wacana Lestari.
Mc Gavin MD, Zachary JF. 2007. Pathologic Basis of Veterinary Disease. Ed ke-4. USA: Mosby Elsevier.
Mishra P. 2010. Isolation, Spectroscopic characterization and computational modelling of chemical constituents of piper longum natural product. Intl. J. Pharm. Sci. Review and Res 2 (2):78-86.
Nurhansyah VT, Dewi HK. 2011. Flu Burung Merebak di Beberapa Daerah. [terhubung berkala]. http://industri.kontan.co.id/v2/read/industri/61574/Flu-burung-merebak-di-beberapa-daerah [31 Maret 2011]
[OIE] Office Internationalè des Epizootiès. 2006. Update On Highly Pathogenic Avian Influenza in Animals (Type H5 and H7). [terhubung berkala]. http://www.oie.int/animal-health-in-the-world/update-on-avian-influenza/2006 [23 Maret 2011]
Rudiana PA, Paraqbueq R, Widowati U. 2011. 5 Jenis Daun Berkhasiat bagi Kesehatan. [terhubung berkala] http://www.tempointeraktif.com/hg/kesehatan/ 2011/03/29/brk,20110329-323502,id.html [31 Maret 2011].
Schmidt RE, Reavill DR, Phalen DN. 2003. Pathology of Pet and Aviary Birds. Iowa: Blackwell Publishing.
(42)
Sejati WK. 2010. Penerapan Biosekuriti pada Peternakan Ayam Broiler di Kabupaten Bogor. Jakarta: Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian.
Setiyono A, Winarsih W, Syakir M, Bermawie N. 2008. Potensi Tanaman Obat untuk Penanggulangan Flu Burung. Laporan Akhir Penelitian Kerjasama Departemen Pertanian dan Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Srivastava N, Akhila A. 2010. Biosynthesis of andrographolide in Andrographis paniculata. Phytochem. 71:1298-1304.
Sudjarwo SA. 2005. The potency of piperine as anti inflammatory and analgesic in rats and mice. Folia Medica Indonesiana 41:190-194.
Suhirman S, Winarti C. 2007. Prospek dan fungsi tanaman obat sebagai imunomodulator. Buletin Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat Vol. XIX No. 2 2007.
Swayne DE, Pantin-Jackwood M. 2008. Pathobiology of Avian Influenza Virus Infections in Birds and Mammals. Dalam: Swayne DE, editor. 2008. Avian Influenza. USA: Blackwell Publishing.
Wang W et al.. 2010. Immunomodulatory activity of andrographolide on macrophage activation and specific antibody response. Acta Pharmalogica Sinica 31:191-201.
Winarno. 2004. Mengantisipasi Penyakit Flu Burung. [terhubung berkala] http://www.deptan.go.id/pesantren/dispertanak_pandeglang/artikel_16.htm [23 Maret 2011].
(43)
Lampiran 1 Hasil uji Kruskal-Wallis pada organ hati Ranks
perlakuan N Mean Rank
lapang_pandang 1 20 136.70
2 20 48.30
3 20 70.72
4 20 40.85
5 20 88.95
6 20 54.52
7 20 67.25
8 20 136.70
Total 160
Test Statisticsa,b lapang_pandang
Chi-Square 99.342
Df 7
Asymp. Sig. .000
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: perlakuan
Lampiran 2 Hasil uji Dunn pada organ hati Superskrip Perlakuan Mean
Rank Selisih Absolut
a 4 40.85
ab 2 48.3 7.45
ab 6 54.52 13.67 6.22
ab 7 67.25 26.4 18.95 12.73
bc 3 70.72 29.87 22.42 16.2 3.47
bc 5 88.95 48.1 40.65 34.43 21.7 18.23
d 1 136.7 95.85 88.4 82.18 69.45 65.98 47.75
(44)
K 8
N 160
sum(t^3) 276580
sum(t) 4
Z 1.96
Pembanding 27.73043778
Lampiran 3 Hasil uji Kruskal-Wallis pada organ ginjal Ranks
Perlakuan N Mean Rank
lapang_pandang 1 20 149.30
2 20 71.55
3 20 69.32
4 20 62.10
5 20 103.20
6 20 68.48
7 20 64.25
8 20 55.80
Total 160
Test Statisticsa,b lapang_pandang
Chi-Square 83.234
Df 7
Asymp. Sig. .000
a. Kruskal Wallis Test
(45)
Lampiran 4 Hasil uji Dunn pada organ ginjal Superskrip Perlakuan Mean
Rank Selisih Absolut
a 8 55.8
a 4 62.1 6.3
a 7 64.25 8.45 2.15
a 6 68.48 12.68 6.38 4.23
a 3 69.32 13.52 7.22 5.07 0.84
a 2 71.55 15.75 9.45 7.3 3.07 2.23
b 5 103.2 47.4 41.1 38.95 34.72 33.88 31.65
c 1 149.3 93.5 87.2 85.05 80.82 79.98 77.75 46.1
k 8
N 160
sum(t^3) 973378
sum(t) 4
z 1.96
(46)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Wabah flu burung atau avian influenza (AI) mulai berjangkit di Indonesia sejak tahun 2003 dan menimbulkan kerugian ekonomi cukup besar selain membahayakan kesehatan manusia. Jumlah kasus flu burung di Indonesia sampai tahun 2009 tercatat 147 kasus dengan 212 kematian (Sejati 2010). Tahun 2011, kasus flu burung terjadi di Kabupaten Kubar, Kalimantan Timur. Sekitar 500 unggas ditemukan terinfeksi H5N1 pada tahun 2010 hingga Januari 2011. Penyebaran virus flu burung itu juga ditemukan di Jambi, Sumatra Barat dan Sumatra Utara, serta sejumlah daerah di Pulau Jawa, khususnya Surabaya (Nurhansyah & Dewi 2011).
Perdagangan ayam hidup, terutama broiler dianggap sebagai salah satu penyebab tidak dapat dikendalikannya virus AI ini sampai tuntas. Hingga saat ini ada lima galur broiler yang diusahakan di Indonesia, yaitu Cobb, Ross, Hybro, Hubbard, dan Arbor Acres yang semuanya diimpor dari luar negeri (Muladno et al. 2008).
Untuk menanggulangi wabah flu burung, pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan yang dituangkan dalam Keputusan No.17/Kpts/Pp.640/F/02/04. Dalam keputusan tersebut, dinyatakan sembilan metode untuk mencegah penyebaran dan menghilangkan agen penyebab penyakit, salah satunya yakni pengebalan atau vaksinasi (Sejati 2010). Pengebalan tidak hanya dilakukan dengan vaksinasi, tanaman obat sebagai alternatif pun mulai banyak diaplikasikan.
Penggunaan tanaman sebagai obat-obatan telah digunakan ratusan tahun di Indonesia. Obat yang berasal dari tanaman dikenal dengan obat herbal. Tanaman-tanaman obat yang banyak digunakan dan dipercaya ampuh mengobati berbagai penyakit di antaranya adas (Foeniculum vulgare), sambiloto (Andrographis paniculata Nees), sirih merah (Piper crocatum), dan temu ireng (Curcuma aeruginosa L.).
Saat ini tanaman obat banyak diminati masyarakat karena relatif lebih aman dan murah dibandingkan dengan obat sintetis. Penelitian-penelitian yang
(47)
berkaitan dengan kandungan serta efek farmakologi tanaman obat pun banyak dilakukan (Mahendra 2006).
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh formula ekstrak sambiloto, adas, dan sirih merah dalam menghambat infeksi virus AI H5N1 pada ayam yang mendapat vaksinasi AI dan tidak divaksinasi dengan mengamati gambaran histopatologi hati dan ginjal.
Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data sebagai pertimbangan formulasi tanaman obat yang efektif menghambat virus flu burung pada unggas dan aman, serta mampu meningkatkan daya tahan unggas terhadap infeksi virus AI H5N1.
(48)
TINJAUAN PUSTAKA
Flu Burung
Flu Burung (Avian Influenza, Fowl Plague, Highly Pathogenic Avian Influenza) disebabkan oleh virus dari famili Orthomyxoviridae, genus Influenza, tipe A, strain H5N1. Struktur virus ini memiliki delapan segmen, sense negatif, RNA utas tunggal, beramplop. Pengamatan dengan mikroskop elektron kontras negatif memperlihatkan struktur spherical atau filamentous dengan diameter 80-120 nm (Jordan et al. 2006). Virus influenza A dibagi menjadi sejumlah subtipe berdasarkan hubungan antigenik glikoprotein permukaan, yakni hemaglutinin dan neuraminidase. Sebanyak 16 subtipe HA (H1-H16) dan 9 subtipe NA (N1-N9) telah diidentifikasi (Lee & Sarif 2009).
Gambar 1 Diagram skematis struktur virus influenza A (Lee & Sarif 2009).
Virus flu burung atau avian influenza (AI) pertama kali diidentifikasi menginfeksi unggas ternak pada tahun 1959 dan menyebar luas di seluruh dunia. Reservoir virus ini adalah unggas air liar dan transmisinya pada unggas komersial dapat terjadi melalui berbagai jalur, terutama kontak langsung (Jordan et al. 2006).
Transmisi virus AI yang tergolong Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) dapat terjadi melalui kontak langsung, kontak terhadap peralatan terkontaminasi sekresi respirasi atau feces yang mengandung virus, pergerakan manusia dengan virus yang menempel pada sepatu atau pakaian, udara, maupun
(49)
air. Virus yang masuk secara intranasal mengalami replikasi awal di epitel saluran respirasi. Dua puluh empat jam setelah paparan awal, epitel nasal mengalami ulserasi dan inflamasi dengan virus berada di submukosa, makrofag, heterofil, serta sel endotel. Selanjutnya replikasi terjadi di sel endotel dan menyebar melalui pembuluh darah atau sistem limfatik, mengakibatkan infeksi dan replikasi virus di berbagai tipe sel pada organ viseral. Viremia terjadi dengan atau tanpa replikasi sel endotel vaskuler. Beberapa virus HPAI mengakibatkan viremia yang disertai replikasi pada sel parenkim organ visera (Swayne & Pantin-Jackwood 2008).
Kerusakan yang disebabkan oleh virus AI dapat diakibatkan oleh tiga proses. Pertama, replikasi langsung di sel, jaringan, dan organ. Kedua, efek tidak langsung dari produksi mediator seluler seperti sitokin. Ketiga, iskemia yang disebabkan oleh trombosis vaskuler (Swayne & Pantin-Jackwood 2008).
Wabah HPAI akibat strain H5N1 mulai terjadi pada akhir tahun 2003 di Asia Tenggara dan menyebar ke benua lain. Penyakit ini tergolong salah satu zoonosis penting dan dinyatakan endemik pada tahun 2006 (OIE 2006).
Sejak HPAI terdeteksi di Indonesia tahun 2003, penyakit yang telah menyerang unggas di 31 dari 33 propinsi ini menyebabkan kematian unggas serta kerugian ekonomi bagi masyarakat yang bergantung pada unggas. Laporan kejadian wabah banyak terjadi di pulau-pulau padat penduduk dan unggas, seperti Jawa dan Sumatra (FAO 2009).
Laporan Kementerian Pertanian menyatakan bahwa penyakit flu burung pada tahun 2004 terjadi di Propinsi Jawa Timur (13 Kabupaten), Jawa Tengah (17 Kabupaten), Jawa Barat (6 Kabupaten), Banten (1 Kabupaten), DIY (3 Kabupaten), Lampung (3 Kabupaten), Bali (5 Kabupaten), Kalimantan Timur, Selatan dan Tengah (masing-masing 1 Kabupaten), serta Banten (1 Kabupaten) Jumlah kematian ayam sampai tahun 2004 tidak kurang dari 4,7 juta ekor (Winarno 2004).
(50)
Hati Ayam
Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh dan terletak di rongga abdomen. Fungsi hati yakni sintesis protein, metabolisme bilirubin, asam empedu, karbohidrat, lipid, dan xenobiotik, serta imunitas (Mc Gavin 2007).
Hati ayam terdiri atas dua lobus yang terhubung satu sama lain pada bagian kranial. Lobus kanan berukuran lebih besar daripada lobus kiri. Vesika urinaria menempel pada permukaan viseral lobus kanan. Sementara itu, lobus kiri terbagi atas permukaan parietal dan viseral. Permukaan parietal berbentuk konveks dan terletak pada sternum dan kostae. Permukaan viseral berbentuk konkaf dan bersentuhan dengan limpa, proventrikulus, ventrikulus, duodenum, jejunum, dan ovarium atau testis kanan. Kecuali di daerah dekat hilus, lobulus hati tidak berbatas jelas karena sedikitnya jaringan ikat perilobular (Dyce et al. 2002).
Penyakit hati berdasarkan kausanya terdiri atas kongenital, infeksius, non infeksius, dan neoplastik. Penyakit infeksius disebabkan oleh virus, bakteri, fungi, dan endoparasit. Patologi anatomi dan histopatologi organ hati yang terinfeksi virus, biasanya tidak spesifik. Jika ditemukan lesio hepatitis dan nekrosis pada hati tanpa perubahan patognomonis dari suatu penyakit tertentu, infeksi virus dapat dijadikan sebagai diferensial diagnosa. Perubahan patologi anatomi lain yang mungkin ditemukan pada infeksi virus di antaranya hepatomegali, perubahan warna, hepatitis, kolangitis, hemoragi, dan nekrosis. Sementara itu, secara histopatologi dapat ditemukan infiltrasi limfoplasmasitik, infiltrasi sel-sel radang, dan badan inklusi intrasel (Schmidt et al. 2003).
Ginjal Ayam
Ginjal ayam terdiri atas satu pasang, bilateral simetris, memanjang, dan terletak di ventral synsacrum atau fossa renalis. Setiap ginjal terbagi atas bagian kranial, intermedia, dan kaudal. Setiap bagian terdiri atas lobuli. Sebuah lobus berisi sejumlah besar komponen korteks dan sejumlah kecil komponen medula (Schmidt et al. 2003; Bacha & Bacha 2000).
Nefron pada ginjal ayam terdiri atas dua tipe, kortikal (reptilia) dan medular (mamalia). Tipe kortikal mengandung lebih banyak nefron daripada tipe
(51)
medular tapi tidak memiliki ansa Henle. Tipe ini seluruhnya berada di korteks. Sementara itu tipe medular mengandung sedikit nefron dan memiliki ansa Henle yang meluas di medula. Nefron kortikal tersusun radial mengelilingi vena sentral (intralobular) dari korteks. Korpuskulus renalis terletak di antara vena intralobular dan perifer dari vena interlobular. Nefron kortikal memiliki korpuskulus renalis berukuran lebih kecil daripada nefron medular. Korpuskulus renalis nefron medular terletak dekat dengan bagian medula ginjal (Bacha & Bacha 2000).
Jaringan kortikal yang terletak di antara korpuskulus renalis dan vena interlobularis sebagian besar terdiri atas tubuli kontortus proksimal dan sejumlah kecil tubuli kontortus distal yang terletak di antara korpuskulus renalis dan vena intralobularis. Sel epitel tubuli kontortus proksimal berbentuk silindris sebaris dan memiliki brush border. Sementara itu, sel epitel tubuli kontortus distal berukuran lebih pendek daripada sel epitel tubuli kontortus proksimal. Sebuah tubulus intermedia pada nefron kortikal menghubungkan tubuli kontortus proksimal dan distal. Kedua tubuli tersebut dihubungkan oleh ansa Henle di bagian medula (Bacha & Bacha 2000).
Tubuli kolektivus terletak di bagian perifer korteks dan tersusun atas epitel kubus sampai silindris. Tubuli ini bergabung dengan tubuli kontortus distal di duktus kolektivus perilobular, kemudian bergabung dengan tubuli lainnya membentuk trakti medularis. Trakti tersebut membentuk cone medularis. Setiap cone berakhir pada sebuah cabang ureter (Bacha & Bacha 2000).
Penyakit ginjal berdasarkan kausanya terdiri atas kongenital, infeksius, non-infeksius, nefropati, dan neoplastik. Salah satu kausa penyakit infeksius yakni virus. Perubahan patologi akibat infeksi virus di antaranya pembengkakkan, inflamasi non supuratif, infiltrasi sel mononuklear, vakuolasi sel epitel tubulus, badan inklusi dalam sel epitel intratubular, dan nekrosis (Schmidt et al. 2003).
Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)
Sambiloto telah digunakan selama berabad-abad untuk pengobatan demam dan berbagai penyakit infeksius (Srivastava & Akhila 2010). Wynn dan Fougerè
(52)
(2007) menyebutkan tanaman ini dapat mengobati flu burung. Bagian tanaman yang digunakan adalah daun. Daun sambiloto mengandung saponin, flavonoid, dan tanin. Salah satu senyawa aktif sambiloto yakni andrografolid (Mahendra 2006). Andrografolid telah diidentifikasi sebagai zat kimia utama dalam sambiloto yang berperan sebagai agen terapetik. Zat ini secara umum menunjukkan aktivitas sitotoksik dan sitostatik terhadap sel kanker serta aktivitas hepatoprotektif (Srivastava & Akhila 2010).
Gambar 2 Tanaman sambiloto (ICS 2010).
Taksonomi sambiloto menurut ITIS (1996a) adalah: kingdom : Plantae
divisi : Magnoliophyta kelas : Magnoliopsida ordo : Scrophulariales famili : Acanthaceae genus : Andrographis
(53)
Adas (Foeniculum vulgare)
Secara historis adas telah digunakan oleh masyarakat di beberapa negara sebagai obat yang efektif terhadap berbagai penyakit, di antaranya flatulen, batuk kering, kurang nafsu makan, kolik, halitosis, bronkhitis, asma, dan konstipasi. Tanaman adas memiliki komponen dasar yakni anetol serta komponen lainnya yakni fenchone dan estragole. Anetol sebagai komponen dasar memiliki aktivitas karminatif, digestif, ekspektoran, dan spamolitik pada saluran pernapasan dan pencernaan (De Amit 2004).
Gambar 3 Tanaman adas (Horrisberger 2003).
Taksonomi adas menurut ITIS (1996b) adalah: kingdom : Plantae
divisi : Magnoliophyta kelas : Magnoliopsida
ordo : Apiales
famili : Apiaceae
genus : Foeniculum
(54)
Sirih Merah (Piper crocatum)
Sirih merah merupakan salah satu tanaman obat potensial yang secara empiris memiliki khasiat yakni menurunkan kadar gula darah, anti tumor, jantung koroner, asam urat, hipertensi, peradangan organ tubuh (paru-paru, hati, ginjal, pencernaan), serta luka yang sulit sembuh. Sirih merah mengandung flavonoid, alkaloid senyawa polifenolat, tanin dan minyak atsiri. Senyawa-senyawa tersebut diketahui memiliki sifat antibakteri Sementara itu, senyawa utama pada sirih merah yakni piperin yang memiliki aktivitas anti inflamasi (Sudjarwo 2005).
Gambar 4 Tanaman sirih merah (Rudiana et al. 2011).
Taksonomi sirih merah menurut Backer (1963) adalah: kingdom : Plantae
divisi : Magnoliophyta kelas : Magnoliopsida ordo : Piperales famili : Piperaceae genus : Piper
spesies : Piper crocatum
Vaksin
Vaksin adalah bibit penyakit yang sudah dilemahkan atau dimatikan dengan prosedur tertentu, digunakan untuk merangsang pembentukan zat kekebalan tubuh, sehingga tubuh dapat menahan serangan penyakit yang bersangkutan. Sebuah vaksin pada dasarnya terdiri atas organisme atau bagian dari organisme (antigen) penyebab penyakit yang relevan dalam memproduksi
(55)
antibodi. Antigen tersebut dipresentasikan sedemikian rupa dalam bentuk yang tidak berbahaya bagi hewan namun dapat menggertak respon sistem imun untuk menghasilkan antibodi. Sediaan vaksin berisi antigen, adjuvant, diluent, dan preservative (Kayne & Jepson 2004).
Berdasarkan formulasinya, vaksin dibagi atas live attenuated dan inactivated. Vaksin live attenuated berisi organisme yang dilemahkan tapi tetap mampu bereproduksi secara terbatas. Kemampuan untuk bereplikasi ini dikontrol sedemikian rupa sehingga gejala klinis yang muncul pada hewan sehat akibat pemberian vaksin sangat ringan atau tidak ada sama sekali. Sementara itu pada inactivated vaccine, antigen diinaktifasi sehingga kehilangan kemampuan dalam bereplikasi atau memproduksi faktor virulen penyebab penyakit. Meskipun sudah inaktif, antigen masih mampu menggertak respon sistem imun pada tubuh hewan. (Kayne & Jepson 2004).
(56)
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2010 sampai April 2011 bertempat di Kandang Hewan Laboratorium dan Laboratorium Histopatologi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, serta di fasilitas Bio Safety Level 3 (BSL 3) PT. Vaksindo Satwa Nusantara.
Bahan dan Alat Penelitian Kandang Hewan Coba
Hewan coba yang digunakan digunakan adalah DOC (Day Old Chick). Bahan yang digunakan di Kandang Hewan Laboratorium adalah pakan konsentrat, air, alas kandang (litter), dan ekstrak tanaman obat. Alat yang digunakan adalah kandang hewan coba terbuat dari papan kayu, syringe 1 ml, wadah pakan dan minum ayam, lampu, timbangan elektronik, botol ekstrak, spidol, kain lap, gelang plastik penanda, dan stiker label.
Laboratorium Histopatologi
Bahan yang digunakan yakni preparat organ hati dan ginjal, buffer neutral formalin 10%, air, xylol, alkohol 70%, 80%, 90%, 96%, dan absolut, lithium carbonate, parafin, Mayer Haematoxyline serta Eosin. Alat yang digunakan adalah tissue cassette, tissue processor, cetakan parafin, inkubator, mikrotom, mikroskop cahaya, dan alat tulis.
Metode Penelitian
Ekstraksi Tanaman Terstandar dan Pembuatan Formula
Ekstrak tanaman terstandar dan formula telah disiapkan oleh Laboratorium Fisiologi Hasil Fisiologi Hasil Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balitro) Bogor. Secara ringkas, ekstraksi tanaman terstandar dibuat dengan cara pemanenan kemudian dilakukan ekstraksi bagian tanaman tertentu. Cara panen dilakukan disesuaikan dengan tanaman. Sirih merah dan sambiloto dipanen
(57)
dengan cara memetik daun sedangkan adas dengan memetik buahnya. Bagian tumbuhan yang dipanen digunakan untuk pembuatan ekstrak.
Pembuatan formula dilakukan dengan mencampurkan ekstrak sambiloto, adas, dan sirih merah dengan perbandingan tertentu berdasarkan kadar masing-masing bahan aktif, yakni andrografolid, anetol, dan piperin. Variasi konsentrasi setiap bahan aktif dalam formula yakni 5%, 7,5%, dan 10%. Formula ekstrak diberikan pada dosis 1 ml/ekor/hari.
Pemeliharaan Hewan Coba
Sebanyak 64 ekor ayam DOC broiler strain Cobbs dipelihara di fasilitas Kandang Hewan Laboratorium Fakultas Kedokteran Hewan IPB dengan pemberian pakan dan minum ad libitum. Ayam dikelompokkan menjadi delapan kelompok (Tabel 1). Ayam diadaptasikan selama tujuh hari lalu mendapat ekstrak tanaman obat dalam bentuk formulasi selama dua minggu. Vaksin AI diberikan pada minggu ke-3 secara subkutan dengan dosis 0,5 ml/ekor. Ekstrak tanaman obat diberikan lagi selama satu minggu pasca vaksinasi lalu dilanjutkan dengan pemberian air minum biasa selama satu minggu atau hingga uji tantang dengan virus AI H5N1 pada umur lima minggu (35 hari). Selanjutnya ayam dipelihara di fasilitas Bio Safety Level 3 (BSL 3) milik PT. Vaksindo Satwa Nusantara di Cicadas, Gunung Putri, Bogor untuk uji tantang dengan virus AI strain H5N1/Ngk/2003 per inhalasi dengan dosis 106,0 EID50/0,1 ml per ekor. Selama
enam hari setelah uji tantang, ayam diamati. Perlakuan terhadap ayam disajikan dalam Tabel 1.
(58)
Tabel 1 Pemberian tanaman obat, vaksin, dan uji tantang virus AI H5N1
Kelompok Jumlah
(ekor) Jenis Perlakuan Tanaman Obat (minggu ke-2~4) Vaksin AI (minggu ke-3) Uji tantang virus AI H5N1 (minggu ke-5)
I (kontrol negatif) 8 – – √
II (kontrol positif) 8 – √ √
III (formula A) 8 √ √ √
IV (formula B) 8 √ √ √
V (formula C) 8 √ √ √
VI (formula A) 8 √ – √
VII (formula B) 8 √ – √
VIII (formula C) 8 √ – √
√ : diberikan; – : tidak diberikan
Formula A: ekstrak tanaman obat dengan konsentrasi andrografolid, piperin, dan anetol dalam masing-masing formula, sebesar 5%
Formula B: ekstrak tanaman obat dengan konsentrasi andrografolid, piperin, dan anetol dalam masing-masing formula, sebesar 7,5%
Formula C: ekstrak tanaman obat dengan konsentrasi andrografolid, piperin, dan anetol dalam masing-masing formula, sebesar 10%
Pembuatan Preparat Histopatologi
Ayam yang mati setelah uji tantang virus AI H5N1 dinekropsi kemudian diambil sampel hati dan ginjal serta difiksasi dalam 10% larutan buffer neutral formalin. Setiap sampel organ dipotong dengan ketebalan lebih kurang 1 cm dan dimasukkan ke dalam tissue cassette. Selanjutnya dilakukan rehidrasi, dengan merendam tissue cassette berisi sampel ke dalam alkohol bertingkat 70%, 80%, dan 90%; alkohol absolut I, II, dan III. Proses selanjutnya yakni clearing dengan xylol I, II, dan III. Kemudian sampel diinfiltrasi oleh parafin. Seluruh proses rehidrasi, clearing, dan infiltrasi berjalan secara automatis dalam mesin automatic tissue processor.
Tahap selanjutnya yakni sampel dimasukkan ke dalam alat embedding berisi parafin cair. Letak potongan organ diatur agar tetap berada di tengah blok parafin. Setelah membeku atau mengeras, blok parafin berisi sampel dipotong dengan ketebalan 3-5 µm menggunakan mikrotom. Hasil pemotongan, yang berbentuk seperti pita, diletakkan di atas permukaan air hangat (±45 oC) agar jaringan tidak berkerut. Selanjutnya jaringan diletakkan di atas gelas objek, dikeringkan, dan diinkubasi selama 24 jam, 60 oC. Setelah jaringan terfiksasi pada gelas objek, dilakukan pewarnaan.
(1)
DAFTAR PUSTAKA
Astani A, Reichling J, Schnitzler P. 2011. Screening for antiviral activities of isolated compounds from essential oils. Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine2011.
Bacha WJ, Bacha LM. 2000. Color Atlas of Veterinary Histology. Ed ke-2. USA: Lippincott Williams and Wilkins.
Backer CA, Den Brink van BJR. 1963. Flora of Java. Netherland: The Auspices of The Rijksherbarium Leyden.
Calabrese C et al.. 2000. A phase I trial of andrographolide in HIV positive patients and normal volunteers. Phytother. Res. 14:333-338.
Cardona CJ, Xing Z, Sandrock CE, Davis CE. 2009. Avian influenza in birds and mammals. Comp. Immun. Microbiol. Infect. Dis. 32:255-273.
Chao WW, Lin BF. 2010. Isolation and identification of bioactive compounds in
Andrographis paniculata (Chuanxinlian). Chinese Med. 5(17):1-15.
Chen JX et al. 2009. Activity of andrographolide and its derivatives against influenza virus in vivo and in vitro. Biol. Pharm. Bull. 32(8):1385-1391. Dirjen Produksi Peternakan. 2002. Budidaya Ternak Ayam Pedaging yang Baik
(Good Farming Practice) Manajemen Peternakan Bermutu. Jakarta: Dirjen Produksi Peternakan Direktorat Budidaya Peternakan.
De Amit K. 2004. The Genus Foeniculum. Dalam: Jodral MM. Illicum, Pimpinella, Foeniculum. USA: CRC Press.
Dyce KM, Sack WO, Wensing WG. 2002. Textbook of Veterinary Anatomy. Ed ke-3. Philadelphia: Saunders.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2009. Program Pengendalian HPAI di Indonesia: Laporan Tahunan. Jakarta: UN FAO Avian Influenza Control Programme, Kementerian Pertanian.
Horrisberger CJ. 2003. The Biogeography of Sweet Fennel (Foeniculum vulgare) in California. [terhubung berkala]. http://bss.sfsu.edu/holzman/courses/ Fall%2003%20project/foeniculumvulgare1.htm
[ICS] International Center for Science and High Technology. 2010. Andrographis paniculata (Burm. F.) Wall ex Nees. [terhubung berkala] http://portal.ics.trieste.it/MAPs/MedicinalPlants_Plant.aspx?id=573 [2 Mei 2011].
(2)
[ITIS] Integrated Taxonomic Information System. 1996a. Andrographis paniculata (Burm. F.) Wall ex Nees. [terhubung berkala] http://www.its.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt?searchtopic=TSNdansearch value=184881 [4 Mei 2011].
[ITIS] Integrated Taxonomic Information System. 1996b. Foeniculum vulgare P. Mill. [terhubung berkala] http://www.its.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt? search topic=TSNdansearch value=29509 [4 Mei 2011].
Jordan F, Pattison M, Alexander D, Faragher T. 2006. Poultry Disease. USA: Saunders Elsevier.
Kayne SB, Jepson MH. 2004. Veterinary Pharmacy. UK: Pharmaceutical Press. Kindt TJ, Goldsby RA, Kuby, Osborne BA. 2007. Immunology. Ed ke-6. New
York: W.H. Freeman and Company.
Lee CW, Sarif YH. 2009. Avian influenza virus. Comp. Immun. Microbiol. Infect. Dis. 3:301-310.
Mahendra B. 2006. 13 Jenis Tanaman Obat Ampuh. Jakarta: Penebar Swadaya. Muladno, Sjaf S, Arifin AY, Iswandani. 2008. Struktur Usaha Broiler di
Indonesia. Jakarta: Permata Wacana Lestari.
Mc Gavin MD, Zachary JF. 2007. Pathologic Basis of Veterinary Disease. Ed ke-4. USA: Mosby Elsevier.
Mishra P. 2010. Isolation, Spectroscopic characterization and computational modelling of chemical constituents of piper longum natural product. Intl. J. Pharm. Sci. Review and Res 2 (2):78-86.
Nurhansyah VT, Dewi HK. 2011. Flu Burung Merebak di Beberapa Daerah. [terhubung berkala]. http://industri.kontan.co.id/v2/read/industri/61574/Flu-burung-merebak-di-beberapa-daerah [31 Maret 2011]
[OIE] Office Internationalè des Epizootiès. 2006. Update On Highly Pathogenic Avian Influenza in Animals (Type H5 and H7). [terhubung berkala]. http://www.oie.int/animal-health-in-the-world/update-on-avian-influenza/2006 [23 Maret 2011]
Rudiana PA, Paraqbueq R, Widowati U. 2011. 5 Jenis Daun Berkhasiat bagi Kesehatan. [terhubung berkala] http://www.tempointeraktif.com/hg/kesehatan/ 2011/03/29/brk,20110329-323502,id.html [31 Maret 2011].
Schmidt RE, Reavill DR, Phalen DN. 2003. Pathology of Pet and Aviary Birds. Iowa: Blackwell Publishing.
(3)
28
Sejati WK. 2010. Penerapan Biosekuriti pada Peternakan Ayam Broiler di Kabupaten Bogor. Jakarta: Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian.
Setiyono A, Winarsih W, Syakir M, Bermawie N. 2008. Potensi Tanaman Obat untuk Penanggulangan Flu Burung. Laporan Akhir Penelitian Kerjasama Departemen Pertanian dan Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Srivastava N, Akhila A. 2010. Biosynthesis of andrographolide in Andrographis paniculata. Phytochem. 71:1298-1304.
Sudjarwo SA. 2005. The potency of piperine as anti inflammatory and analgesic in rats and mice. Folia Medica Indonesiana 41:190-194.
Suhirman S, Winarti C. 2007. Prospek dan fungsi tanaman obat sebagai imunomodulator. Buletin Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat Vol. XIX No. 2 2007.
Swayne DE, Pantin-Jackwood M. 2008. Pathobiology of Avian Influenza Virus Infections in Birds and Mammals. Dalam: Swayne DE, editor. 2008. Avian Influenza. USA: Blackwell Publishing.
Wang W et al.. 2010. Immunomodulatory activity of andrographolide on macrophage activation and specific antibody response. Acta Pharmalogica Sinica 31:191-201.
Winarno. 2004. Mengantisipasi Penyakit Flu Burung. [terhubung berkala] http://www.deptan.go.id/pesantren/dispertanak_pandeglang/artikel_16.htm [23 Maret 2011].
(4)
Lampiran 1 Hasil uji Kruskal-Wallis pada organ hati
Ranks
perlakuan N Mean Rank
lapang_pandang 1 20 136.70
2 20 48.30
3 20 70.72
4 20 40.85
5 20 88.95
6 20 54.52
7 20 67.25
8 20 136.70
Total 160
Test Statisticsa,b
lapang_pandang
Chi-Square 99.342
Df 7
Asymp. Sig. .000
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: perlakuan
Lampiran 2 Hasil uji Dunn pada organ hati Superskrip Perlakuan Mean
Rank Selisih Absolut
a 4 40.85
ab 2 48.3 7.45
ab 6 54.52 13.67 6.22
ab 7 67.25 26.4 18.95 12.73
bc 3 70.72 29.87 22.42 16.2 3.47
bc 5 88.95 48.1 40.65 34.43 21.7 18.23
d 1 136.7 95.85 88.4 82.18 69.45 65.98 47.75
(5)
30
K 8
N 160
sum(t^3) 276580
sum(t) 4
Z 1.96
Pembanding 27.73043778
Lampiran 3 Hasil uji Kruskal-Wallis pada organ ginjal
Ranks
Perlakuan N Mean Rank
lapang_pandang 1 20 149.30
2 20 71.55
3 20 69.32
4 20 62.10
5 20 103.20
6 20 68.48
7 20 64.25
8 20 55.80
Total 160
Test Statisticsa,b
lapang_pandang
Chi-Square 83.234
Df 7
Asymp. Sig. .000
a. Kruskal Wallis Test
(6)
Lampiran 4 Hasil uji Dunn pada organ ginjal
Superskrip Perlakuan Mean
Rank Selisih Absolut
a 8 55.8
a 4 62.1 6.3
a 7 64.25 8.45 2.15
a 6 68.48 12.68 6.38 4.23
a 3 69.32 13.52 7.22 5.07 0.84
a 2 71.55 15.75 9.45 7.3 3.07 2.23
b 5 103.2 47.4 41.1 38.95 34.72 33.88 31.65
c 1 149.3 93.5 87.2 85.05 80.82 79.98 77.75 46.1
k 8
N 160
sum(t^3) 973378
sum(t) 4
z 1.96