Pengaruh Pemberian Ekstrak Tanaman Obat Terhadap Performan Dan Gambaran Histopatologi Hati Ayam Broiler

(1)

HISTOPATOLOGI HATI AYAM BROILER

ADE OCKTAVIANI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

HISTOPATOLOGI HATI AYAM BROILER

ADE OCKTAVIANI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

Judul Skripsi : Pengaruh Pemberian Ekstrak Tanaman Obat terhadap Performan dan Gambaran histopatologi Hati Ayam Broiler Nama : Ade Ocktaviani

NIM : B04103149

Program Studi : Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

Menyetujui,

Pembimbing I

drh.Agus Setiyono, MS, PhD. APVet NIP 19630810 198803 1 004

Mengesahkan,

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

Dr. Nastiti Kusumorini NIP 19621205 198703 2 001


(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Pengaruh Pemberian Ekstrak Tanaman Obat terhadap Performan dan Gambaran Histopatologi Hati Ayam Broiler” adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, November 2010

Ade Ocktaviani

NIM B04103149


(5)

Performan dan Gambaran Histopatologi Hati Ayam Broiler. Di bawah bimbingan AGUS SETIYONO.

Penggunaan tanaman obat sebagai substitusi obat-obatan sintetik atau kimia sangat marak pada masa sekarang ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak tanaman obat terhadap performan serta gambaran histopatologi hati ayam broiler. Hewan coba yang digunakan adalah 40 ekor ayam broiler berumur 1 hari (DOC) dan diberi perlakuan selama 4 minggu. Pembagian kelompok perlakuan berdasarkan tanaman obat yang diberikan berupa Adas, Temu ireng, Sirih merah dan Sambiloto. Data bobot badan mingguan dianalisa menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA), sedangkan lesio histopatologi organ hati dianalisa dengan metode skoring. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot badan ayam broiler tidak berbeda nyata antar perlakuan (p>0.05) tetapi berbeda nyata dengan kontrol (p<0.05). Berdasarkan hasil penelitian ekstrak tanaman obat temu ireng ( Curcuma aeroginosa) memberikan efek terbaik terhadap performan dengan capaian bobot badan tertinggi dan ekstrak tanaman sambiloto (Andrographis paniculata) memberikan gambaran histopatologi hati dengan lesio paling ringan.


(6)

Performance and Liver Histopathology of Chicken. Under direction of AGUS SETIYONO.

Herbal medicine are very famous now, as the substitute of chemical and sintetic drugs. The purpose of the study was to observe the effect of herbal extracts treatment on the chicken performance and the histophatology of liver. This study used 40 day old chick (DOC) and the treatment was given for four weeks. The weekly data of chicken body weight was analyzed using analysis of variance (ANOVA). Scoring system was used for analyzing the lesion of the liver. Results of this study indicated that the chicken body weight was significantly influenced by herbal extracts treatment (p<0.05) compared to negative control. Histopathologically, treatment with sambiloto extract showed the best result in the liver histopathology and treatment results while combination of the adas, temu ireng and sambiloto extract indicating the poor condition in the liver histophatology. Based on the study, it can be concluded that the temu ireng extract showed the best result for chicken performance and sambiloto extract showed the best result for liver histophatology.

Keywords : Herbal extract, liver histophatology, broiler, adas, temu ireng, sambiloto


(7)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya

untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya

ilmiah, penyusunan laporan, penyusunan kritik, atau tinjauan suatu

masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan

dan memperbanyak

sebagian

atau

seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(8)

DAFTAR ISI ……….. xii

DAFTAR TABEL……….. xiii

DAFTAR GAMBAR ……… xiv

DAFTAR LAMPIRAN ……… xv

1. PENDAHULUAN ……… 1

1.1Latar Belakang ……… 1

1.2Tujuan ………. 2

1.3Manfaat ……….. 2

2. TINJAUAN PUSTAKA ………. 3

2.1Perkembangan Pemanfaatan Tanaman Obat di Indonesia …………. 3

2.2Adas (Foeniculum vulgare) ……… 4

2.3Temu Ireng (Curcuma aeruginosa) ……… 6

2.4Sirih Merah (Piper crocatum) ………. 9

2.5Sambiloto (Andrographis paniculata) ………... 10

2.6Hati ………. 12

2.7Farmakokinetika Obat ………. 14

2.8Patologi Hati ……….... 16

2.9Ayam Broiler ………... 19

3. METODOLOGI PENELITIAN ………. 21

3.1Waktu dan Tempat ……….. 21

3.2Alat dan Bahan ……… 21

3.3Metode Kerja ………... 22

3.3.1 Pembuatan Kandang ……… 22 3.3.2 Persiapan Ekstrak Tanaman Obat Terstandar ……….. 22 3.3.3 Pemeliharaan Ayam dan Kelompok Perlakuan...………. 23 3.4Pembuatan Preparat Histopatologi Hati……….. 24


(9)

4.1Hasil Evaluasi Data Performan Ayam ……… 28

4.2Gambaran dan Skor Lesio Histopatologi Hati ……… 30

5. SIMPULAN DAN SARAN ……… 36

5.1Simpulan ………. 36

5.2Saran ……… 36

DAFTAR PUSTAKA ………... 37


(10)

No. halaman Teks

1. Kelompok Perlakuan……… 23 2. Rataan bobot badan ayam (gram) yang diberikan ekstrak tanaman

obat dari minggu ke-1 sampai dengan minggu ke-4……….. 28 3. Persentase skor lesio histopatologi organ hati ayam setelah

pemberian ekstrak tanaman obat ………. 30 4. Rataan skor lesio histopatologi organ hati ayam setelah


(11)

No. halaman Teks

1. Tanaman Adas (Foeniculum vulgare) ……… 4

2. Tanaman dan Umbi Temu Ireng (Curcuma aeruginosa) ……… 8

3. Tanaman Sirih Merah (Piper crocatum) ……….. 9

4. Tanaman Sambiloto (Andrographis paniculata) ... 11

5. Sruktur Kandungan Kimia Utama Sambiloto ……….. 12

6. Berbagai proses farmakokinetika obat ………. 14

7. Pemeliharaan DOC ………... 23

8. Grafik rataan bobot badan ayam (gram) yang diberikan ekstrak tanaman obat dari minggu ke-1 sampai dengan minggu ke-4 …….. 29

9. Gambaran histopatologi sel hati normal kelompok P10 (kontrol) dengan perbesaran 400x ……….… 27 10. Gambaran histopatologi sel hepatosit ayam pada kelompok P7


(12)

No. halaman Teks

1. Identifikasi dan komposisi senyawa kimia adas yang memiliki

kadar diatas 1% ……….. 42

2. Identifikasi dan komposisi senyawa kimia temu ireng yang

memiliki kadar diatas 1 % ………. 42 3. Identifikasi dan komposisi senyawa kimia sirih merah ………. 43 4. Identifikasi dan komposisi senyawa kimia sambiloto yang

memiliki kadar diatas 1 % ………. 43 5. Hasil uji Statistika Sidik Ragam (ANOVA): Bobot Badan


(13)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayati. Negara ini memiliki 262 spesies tanaman obat yang sudah tervalidasi oleh The Committee of Data for Science and Technology (CODATA) Indonesia pada tahun 2000 (CODATA 2002). Sejak dahulu bahan alami tersebut juga dipakai sebagai obat untuk berbagai jenis penyakit atau biasa disebut obat-obatan tradisional. Pada jaman sekarang ini istilah back to nature atau kembali ke alam sangat marak dalam berbagai aspek terutama di bidang medis (Limananti dan Trisnawati 2003). Seiring dengan hal itu banyak dilakukan pengkajian serta penelitian tentang kandungan, manfaat, serta efek toksik pemberian tanaman obat.

Adas (Foeniculum vulgare), temu ireng (Curcuma aeruginosa), sirih merah (Piper crocatum) dan sambiloto (Androgaphis paniculata) adalah beberapa tanaman yang telah diketahui berfungsi sebagai tanaman obat (Radu S dan Kquee CY 2002). Tanaman ini dapat tumbuh liar atau juga banyak yang telah dibudidayakan di pekarangan atau perkebunan (Dalimartha S 1999). Pemerintah Indonesia melalui Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) memasukkan sambiloto dalam tujuh tanaman unggulan berkhasiat obat yang perlu dikembangkan (Winarto WP 2003).

Ayam broiler merupakan salah satu contoh hewan sumber protein hewani yang digemari oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Pertumbuhan dan kenaikan bobot badan yang sangat cepat, identik dengan ayam broiler. Jenis ayam ini merupakan galur ayam hasil rekayasa genetik yang memiliki karakteristik ekonomis dengan ciri khas pertumbuhan yang cepat sebagai penghasil daging, masa panen pendek, menghasilkan kualitas daging yang berserat lunak, timbunan daging baik, dada lebih besar dan kulit licin (North JN dan Bell DD 1990).

Hati memiliki peran yang sangat penting dalam tubuh. Organ ini merupakan kelenjar tubuh yang paling besar dan khas karena mempunyai multifungsi yang sangat kompleks (Dellman HD dan Brown EM 1992). Hormon-hormon yang sudah selesai bekerja pada target organnya harus segera dirombak dalam hati. Hati sangat rentan terhadap pengaruh berbagai zat kimia dan sering menjadi organ sasaran utama dari efek racun zat kimia. Oleh karena itu, hati


(14)

merupakan organ tubuh yang paling sering mengalami kerusakan (Lu FC 1995). Berdasarkan pertimbangan inilah organ hati dipilih untuk menjadi parameter kerusakan yang ditimbulkan oleh tanaman obat.

Dunia perunggasan di Indonesia berkembang pesat dalam beberapa dasawarsa terakhir. Hal ini ditandai dengan jumlah unggas yang terus bertambah tiap tahunnya dan juga diiringi dengan peningkatan jumlah permintaan masyarakat terhadap komoditas ini. Ayam broiler merupakan salah satu komoditas peternakan dengan jumlah permintaan yang cukup tinggi. Bila tanaman obat dapat memberikan efek yang baik terhadap pertumbuhan atau pertambahan bobot ayam serta toksisitas yang rendah terhadap hati maka diharapkan tanaman obat tersebut ke depannya dapat digunakan sebagai feed additive pada pakan ayam.

1.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak tanaman obat yaitu Adas, Temu Ireng, Sirih Merah, sambiloto dan kombinasinya terhadap performan serta gambaran histopatologi hati ayam broiler.

1.3. Manfaat

Penelitian ini dapat memberikan informasi dasar tentang pengaruh pemberian ekstrak tanaman obat terhadap performan dan gambaran histopatologi hati ayam. Sehingga diharapkan dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian lebih lanjut mengenai efek pemberian tanaman obat.


(15)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perkembangan Pemanfaatan Tanaman Obat di Indonesia

Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati. Negara ini memiliki 262 spesies tanaman obat yang sudah tervalidasi oleh Tim CODATA Indonesia pada tahun 2000 (CODATA 2002). Tanaman obat adalah tanaman yang mengandung bahan yang dapat digunakan untuk pengobatan. Di Indonesia, tanaman obat dimanfaatkan sebagai bahan jamu gendong, obat herbal, makanan penguat daya tahan tubuh, kosmetik serta bahan baku industri makanan dan minuman. Perkembangan industri berbahan baku tanaman obat dalam lima tahun terakhir menunjukkan pertumbuhan yang signifikan dan omset produksinya selama kurun waktu tersebut meningkat sebesar 2.5-3.0% per tahun. Pasokan tanaman obat saat ini diperoleh dari dua sumber, yaitu hasil budidaya dan pemanenan langsung dari alam atau disebut juga hasil penambangan dari hutan (Pribadi 2009).

Ayam pedaging merupakan ternak yang penting dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat. Permintaan terhadap daging ayam semakin bertambah seiring dengan meningkatnya penghasilan dan kesadaran penduduk akan pentingnya protein hewani. Dalam mengembangkan usaha ternak ayam pedaging, pada umumnya peternak memberikan ransum komersil karena ransum komersil telah memenuhi standar kebutuhan zat–zat makanan yang telah ditetapkan selain itu ransum komersil banyak tersedia di pasaran dan mudah didapat, di dalamnya sudah terkandung bahan pakan tambahan (feed additive) seperti tetracycline, procaine, penicilin, teramycin dan tylosin. Walaupun harganya relatif mahal, karena beberapa bahan penyusunnya masih diimpor. Pencampuran feed additive ini dimaksudkan untuk meningkatkan daya simpan ransum dan memacu pertumbuhan ternak. Namun penggunaan feed aditive yang terus menerus akan mengakibatkan terdapatnya produk metabolit berupa residu antibiotik seperti tylosin, penicillin, oxytetracyeline dan kanamycin (Rusiana dan Iswarawanti 2004). Oleh karena itu penggunaan feed additive alami merupakan alternatif untuk mengurangi akumulasi residu feed additive dalam daging (Ahmad dan Elfawati 2008).


(16)

2.2. Adas (Foeniculum vulgare)

Gambar 1 Tanaman dan biji Adas (Foeniculum vulgare) (Sumber : Gunawan S 2001)

Tanaman Adas (Foeniculum vulgare Mill.) adalah tanaman herba tahunan dari famili Umbelliferae dan genus Foeniculum (Gambar 1). Tanaman ini berasal dari Eropa Selatan dan daerah Mediterania, kemudian tanaman ini menyebar cukup luas di berbagai negara seperti Cina, Meksiko, India, Itali, India, dan termasuk negara Indonesia. Genus Foeniculum mempunyai tiga spesies yaitu F. vulgare (adas), F. azoricum (adas bunga digunakan sebagai sayuran) dan F. dulce (adas manis digunakan juga sebagai sayuran). F. vulgare mempunyai sub spesies yaitu F. vulgare var. dulce dan F. vulgare var. vulgare. Di Indonesia dikenal dua jenis adas yang termasuk ke dalam famili Umbelliferae, yaitu adas (F. vulgare) dan adas sowa (Anetum graveolens). Kedua jenis ini telah banyak dibudidayakan di Indonesia, terutama adas (F. vulgare) Sedangkan A. graveolens lebih banyak dibudidayakan di daerah dataran rendah dan daunnya dimakan sebagai lalap (Anonim b 2009).

Berdasarkan Anonim b (2009), tanaman adas memiliki nama yang berbeda-beda di berbagai daerah dan negara seperti Hades (Sunda); adas, adas londa, adas landi (Jawa); adhas (Madura); adas (Bali); wala wunga (Sumba); das pedas (Aceh); adas, adas pedas (melayu); adeh, manih (Minangkabau); paapang,


(17)

paampas (Menado); Popoas (Alfuru); denggu-denggu (Gorontalo); Papaato (Buol); porotomo (Baree); Kumpasi (Sangir Talaud); Adasa, rempasu (Makasar); adase (Bugis); Hsiao hui (China); phong karee, mellet karee (Thailand); Jintan Manis (Malaysia); Barisaunf, madhurika (India/Pakistan); Fennel, commaon fennel, sweet fennel, fenkel, spigel (Inggris) (Anonim b 2009).

Adas merupakan satu dari sembilan tumbuhan obat yang dianggap berkhasiat di Anglo Saxon. Di Indonesia telah dibudidayakan dan kadang digunakan sebagai tanaman bumbu atau tanaman obat. Tumbuhan ini dapat hidup dari dataran rendah sampai ketinggian 1.800 m di atas permukaan laut, namun akan tumbuh lebih baik pada dataran tinggi. Tanaman ini berasal dari Eropa Selatan dan Asia, karena memiliki banyak manfaat maka tanaman ini banyak ditanam di Indonesia, India, Argentina, Eropa dan Jepang. Adas merupakan terna berumur panjang dengan tinggi 50cm - 2m dan tumbuh merumpun. Satu rumpun biasanya terdiri dari 3-5 batang (BALITRO 2009).

Batang tanaman adas berwarna hijau kebiru-biruan, beralur, beruas, berlubang, bila memar baunya wangi. Letak daun berseling, majemuk menyirip ganda dua dengan sirip-sirip yang sempit, bentuk jarum, ujung dan pangkal runcing, tepi rata, berseludang warna putih, seludang berselaput dengan bagian atasnya berbentuk topi. Perbungaan tersusun sebagai bunga payung majemuk dengan 6-40 gagang bunga, panjang ibu gagang bunga 5-10 mm, panjang gagang bunga 2-5 mm, mahkota berwarna kuning, keluar dari ujung batang. Buah lonjong, berusuk, panjang 6-10 mm, lebar 3-4 mm, masih muda hijau setelah tua cokelat agak hijau atau cokelat agak kuning sampai sepenuhnya cokelat (BALITRO 2009).

Adas menghasilkan minyak adas, yang merupakan hasil sulingan serbuk buah adas yang masak dan kering. Ada dua macam minyak adas, manis dan pahit. Keduanya digunakan dalam industri obat-obatan. Adas juga dipakai untuk bumbu atau digunakan sebagai bahan yang memperbaiki rasa (corrigentia saporis) dan mengharumkan ramuan obat. Menurut Gunawan et al. (2001), biasanya adas digunakan bersama-sama dengan kulit batang pulosari, sehingga dapat dikategorikan sebagai zat tambahan (korigen). Daunnya bisa dimakan sebagai sayuran. Perbanyakan dengan biji atau dengan memisahkan anak tanaman (BALITRO 2009).


(18)

Tanaman adas merupakan salah satu tanaman yang mempunyai peranan penting dalam industri obat tradisional di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari laju permintaan dalam negeri terhadap simplisia adas yang terus meningkat. Pada tahun 1984 pemakaian adas sebesar 10.498 ton/tahun, pada tahun 1993 meningkat menjadi 321.520 ton/tahun. Laju permintaan yang tinggi ini tidak diimbangi dengan budidaya secara intensif sehingga negara Indonesia mengimpor adas pada tahun 2000 sebesar 3.000 ton dari negara India, Mesir dan Iran, karena produksi lokal hanya berkisar 300 ton/tahun. Melihat kegunaannya yang beragam dan kebutuhan dalam negeri yang belum terpenuhi maka tanaman ini cukup potensial untuk dikembangkan. Untuk mendukung pengembangan tanaman adas perlu diketahui informasi tentang tanaman adas mulai dari kegunaan, syarat tumbuh, penanganan benih dan teknik budidayanya (Anonim b 2009).

Buah dari tanaman adas yang terletak di tengah-tengah payung umumnya mengandung minyak atsiri yang lebih tinggi dan baunya lebih tajam dibandingkan dengan buah yang terletak di bagian lain. Iklim dan waktu panen sangat menentukan kandungan minyak atsiri. Minyak atsiri yang paling utama dari varietas dulce mengandung anethol (50-80%), limonene (5%), fenchone (5%), estragol (methyl-chavicol), safrol, alpha-pinene (0,5%), camphene, beta-pinene, beta-myrcene dan p-cymen. Sebaliknya varietas vulgare tidak dibudidayakan, kadang-kadang mengandung lebih banyak minyak atsiri, tetapi karena dicirikan oleh fenchone yang pahit (12- 22%) sehingga harganya lebih murah dari varietas dulce (BALITRO 2009).

Estragol merupakan senyawa kimia golongan terphenoid ether dan dengan efek toksik yang sangat kecil (relatif tidak toksik). Senyawa ini adalah salah satu senyawa yang penting dalam pengobatan tradisional. Bahan aktif tanaman ini dapat digunakan untuk aroma terapi serta potensial sebagai anastetik lokal (Cardoso JH 2004). Infusa buah adas setara dengan serbuk 7.3mg/100g berat badan dapat menghambat fase estrus sehingga dapat dikembangkan sebagai bahan kontrasepsi oral alternatif (Sa’roni 1999 dalam Gunawan et al. 2001). Pada dosis 910 mg/kg berat badan mempunyai daya analgetik, sebanding dengan parasetamol dosis 145 mg/kg berat badan pada mencit jantan yang mendapat rangsang panas dengan daya analgetik sebesar 96.99% (Susantini 1998 dalam Gunawan et al. 2001). Perlakuan infus adas-pulosari mempunyai daya analgetik sebesar 97.44% (Widadiningsih 1998 dalam Gunawan et al. 2001). Pemberian ekstrak buah


(19)

Foeniculum vulgare pada mencit dan tikus jantan dengan dosis 2g/kg berat badan menunjukkan peningkatan aktivitas motorik dan rasa ingin tahu secara nyata, mengurangi efek hipnotik barbiturat, memproteksi efek pitosis yang diinduksi dengan reserpin dan meningkatkan lamanya berenang ( Astuti et al. 1998 dalam Gunawan et al. 2001).

Menurut Yushadi (1997), minyak atsiri buah adas dapat menghambat kontraksi trakeal marmot yang disebabkan oleh histamin. Ekstrak n-heksana dan ekstrak etanol memiliki aktivitas ketoksikan tertentu dengan metode pengujian Brain Shrimp Test (BST). Ekstrak etanol buah adas menunjukkan efek diuretik, analgesik, antipiretik, antimikroba dan mempengaruhi sekresi empedu (Tanira et al. 1996 dalam Gunawan et al. 2001). Minyak Adas yang terkandung pada adas berfungsi sebagai bakterisida, desinfektan dan antiseptik.

Pada beberapa kasus penggunaan adas mengakibatkan terjadinya alergi kulit dan saluran pernapasan (Bisset 1994 dalam Gunawan et al. 2001). Minyak atsiri dalam bentuk murni dapat menyebabkan kekakuan (spasmus) saluran pernapasan pada anak kecil dan juga peradangan usus akibat iritasi (Wagner 1993 dalam Gunawan et al. 2001).

2.3. Temu Ireng (Curcuma aeruginosa)

Temu Ireng terdapat di Burma, Kamboja, Indocina, dan menyebar sampai ke Pulau Jawa. Selain ditanam di pekarangan atau di perkebunan, temu hitam juga banyak ditemukan tumbuh liar di hutan jati, padang rumput, atau di ladang pada ketinggian 400-750 m dpl. Terna tahunan (Gambar 2) ini mempunyai tinggi 1-2 m, berbatang -semu yang tersusun atas kumpulan pelepah daun, berwarna hijau atau cokelat gelap. Terna ini berdaun tunggal, bertangkai panjang, 2-9 helai.

Helaian daun bentuknya bundar memanjang sampai lanset, ujung dan pangkal runcing, tepi rata, pertulangan menyirip, warnanya hijau tua dengan sisi kiri - kanan ibu tulang daun terdapat semacam pita memanjang berwarna merah gelap atau lembayung, panjang 31-84 cm, lebar 10-18 cm. Bunganya bunga majemuk berbentuk bulir yang tandannya keluar langsung dari rimpang, panjang tandan 20-25 cm, bunga mekar secara bergiliran dari kantong-kantong daun pelindung yang besar, pangkal daun pelindung berwarna putih, ujung daun pelindung berwarna ungu kemerahan. Mahkota bunga berwarna kuning.


(20)

Rimpangnya cukup besar dan merupakan umbi batang. Rimpang juga bercabang-cabang. Jika rimpang tua dibelah, tampak lingkaran berwarna biru kehitaman di bagian luarnya. Rimpang temu hitam mempunyai aroma yang khas. Perbanyakan dengan rimpang yang sudah cukup tua atau pemisahan rumpun (Anonim d 2011).

Secara empiris temu ireng atau temu hitam, digunakan untuk mengobati kolik, mengobati luka lambung dan usus, menambah nafsu makan, asma, batuk, mempercepat pengeluaran lochia (setelah melahirkan), mencegah obesitas, rematik, antelmintikum dan sebagai substitusi sumber tepung. Temu ireng mengandung minyak atsiri turmerone, zingiberene, kurkuminoid (kurkumin I, II dan III) dan alkaloid, saponin, pati, damar, lemak.

Kurkuminoid juga diketahui memiliki efek anti sitokin. Kadar sitokin pada penderita infeksi virus termasuk Avian Flu (H5N1) meningkat. Sitokin dapat menyebabkan perubahan oksigen (O2) menjadi hidrogen peroksida (H2O2) yang merusak sel-sel paru.

Gambar 2 Tanaman dan Umbi Temu Hitam (Curcuma aeruginosa R.) (Sumber: www.deptan.go.id dan rempahputri.web.id)

Menurut Setiyono et al. (2009), kandungan bahan aktif yang paling tinggi dari temu ireng adalah 1,8,8-trimethylfuro [3,4-c] bicycle dengan kadar 19.51% dan diikuti oleh Epicurzerenone dengan kadar 9.39%. Bahan aktif yang bermanfaat dalam temu ireng adalah carpaine walaupun memiliki kadar dibawah 1%. Limananti dan Triratnawati (2003) menyatakan bahwa temu ireng mengandung zat pahit (carpaine atau alkaloida pahit) yang dapat merangsang lambung agar berfungsi dengan baik sehingga akan timbul nafsu makan. Dengan


(21)

nafsu makan yang baik maka pertumbuhan dan performan yang akan dicapai juga menjadi lebih baik.

2.4 Sirih Merah (Piper crocatum)

Sirih memiliki beberapa jenis, antara lain Piper betle, crocatum crocatum, dll. termasuk keluarga Piperceae. Diantara jenis sirih, yang saat ini sedang populer adalah sirih merah (P. crocatum) pada gambar 3 dan sirih hitam. Secara empiris sirih telah dimanfaatkan untuk mengobati berbagai macam penyakit.

Tanaman sirih merah memiliki daun yang berwarna merah keperakan dan mengkilap saat terkena cahaya (Gambar 3). Pada tahun 1990 sirih merah difungsikan sebagai tanaman hias oleh para hobis, karena penampilannya yang menarik. Permukaan daunnya merah keperakan dan mengkilap. Pada beberapa tahun terakhir tanaman ini ramai dibicarakan dan dimanfaatkan sebagai tanaman obat (Farida et al. 2009). Tanaman sirih merah menyukai tempat teduh, berhawa sejuk dengan sinar matahari 60-75%, dapat tumbuh subur dan bagus di daerah pegunungan. Bila tumbuh pada daerah panas, sinar matahari langsung, batangnya cepat mengering. Selain itu, warna merah daunnya akan pudar ( Manoi 2007).

Gambar 3 Tanaman Sirih Merah (Piper crocatum) (Sumber : http://langitlangit.com)

Secara empiris sirih merah dimanfaatkan untuk menurunkan kadar gula darah, antitumor, jantung koroner, asam urat, hipertensi, peradangan organ tubuh


(22)

(paru, hati, ginjal, pencernaan) serta luka yang sulit sembuh. Sirih merah mengandung flavonoid, polevenolad, alkaloid, tanin dan minyak atsiri. Senyawa flavonoid dan polevenolad bersifat anti kanker, antioksidan, antidiabetik, antiseptik dan antiinflamasi. Sirih memiliki khasiat sebagai anti mikroba, sehingga telah dimanfaatkan untuk mengatasi keputihan, bau badan, penyakit infeksi dll (Dalimartha 1999).

Zat kimia yang terkandung pada sirih terutama adalah minyak atsiri dan piperin. Disamping itu, pada sirih merah mengandung flavonoid, polevenolad, alkaloid yang berpotensi sebagai antioksidan (Atta-ur-rahman dan Choudory 2001) dan tanin. Senyawa flavonoid dan polevenolad bersifat anti kanker, anti oksidan, antidiabetik, antiseptik dan anti-inflamasi. Menurut Suratmo (2007), secara keseluruhan aktivitas antioksidan sirih merah masih dibawah aktivitas antioksidan sintesis BHT dan asam askorbat karena ekstrak daun sirih merah bukan merupakan senyawa murni tetapi masih mengandung senyawa-senyawa lain yang kemungkinan tidak mempunyai aktivitas antioksidan.

Berdasarkan analisis menggunakan metode Gas Cromatography-Mass Spectophotometry (GCMS) dari ekstrak etanol, senyawa dengan kadar yang paling tinggi pada sirih merah adalah Phenol, 2-methoxy-4-(2-Propenyl) dengan kadar 41.44% tetapi zat ini belum diketahui memiliki fungsi yang spesifik (Setiyono 2009). Phytol merupakan diterpene alkohol alami yang dimanfaatkan dalam pembuatan Vitamin E dan K, dan merupakan hasil dekomposisi khlorofil (Anonim a 2007). Menurut Farida et al. (2009) sirih merah memiliki bahan aktif alkaloid, tanin dan minyak atsiri yang diduga mempunyai efek anti bakterial.

2.5. Sambiloto (Andrographis paniculata)

Hampir semua daerah di Indonesia dan beberapa negara mengenal jenis tanaman obat ini dengan nama yang berbeda-beda, yaitu : Ki Oray, Ki Peurat, Takilo (Sunda); bidara, sadilata, sambilata, takila (Jawa); pepaitan (Sumatra); Chuan xin lian, yi jian xi, lan he lian xu, yen tam lien (China); cong cong (Vietnam); kirata, mahatitka (India/Pakistan); Creat, green chiretta, halviva, kariyat (Inggris).


(23)

Gambar 4 Tanaman Sambiloto (Andrographis paniculata) (Sumber: www.deptan.go.id dan rempahputri.web.id)

Sambiloto (Gambar 4) tumbuh liar di tempat terbuka, seperti di kebun, tepi sungai, tanah kosong yang agak lembab, atau di pekarangan. Tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian 700 m dpl, terna semusim dengan tinggi 50-90 cm. Batang tanaman ini memiliki banyak cabang berbentuk segi empat (kwadrangularis) dengan nodus yang membesar. Perbungaan berbentuk rasemosa yang bercabang membentuk malai, keluar dari ujung batang atau ketiak daun dengan bunga berbentuk tabung kecil-kecil berwarna putih dengan noda ungu (Balitro 2009).

Kandungan kimia sambiloto yang utama adalah lakton diterpen (bentuk bebas dan bentuk glukosida) meliputi: Andrografolid, deoksiandrografolid, 11,12-didehidroksi-14-deoksiandrografolid, neoandrografolid, andrografisid, deoksiandrografisid dan andropanoside. Menurut hasil analisis GC-MS pada sampel ekstrak etanol dari daun sambiloto, senyawa dengan kadar tertinggi adalah 6-Octadecenoic acid, methyl ester yang mencapai lebih dari 30 %, diikuti oleh Hexadecanoic acid, methyl ester dan Stigmast-5-en-3-ol, (3.beta.,24S) masing-masing sekitar 16% dan 14% (Setiyono 2009). Sambiloto juga mengandung vitamin E sebesar 5%. Menurut Efrizanti (2005), sambiloto mengandung zat aktif yang dapat mengakibatkan perubahan patologis hati. Zat aktif itu antara lain saponin dan androgapholide.


(24)

Gambar 5 Struktur Kandungan Kimia Utama Sambiloto (BALITRO 2009)

Berdasarkan aspek toksikologi, sambiloto mempunyai dosis toksik akut (LD 50) sebesar 71.27 mg/kg BB pada manusia (Darmansjah 1995). Pemberian androgapholide pada tikus atau kelinci secara oral sebanyak 1g/kg berat badan tidak menimbulkan efek gangguan pada fungsi hati dan ginjal (Anonim 2006). Sambiloto dengan konsentrasi lebih tinggi dari 2.5mg/ml bersifat toksik (Wibudi 2006). Menurut Jarukamjorn dan Nemoto (2008), Andrographis paniculata memiliki sifat hepatoprotektif, immunological potential, anti inflamasi, dapat bekerja pada sistem pernapasan, antimalaria, antidiare dan berefek baik pada jantung.

2.6. Hati

Hati merupakan kelenjar tubuh yang paling besar dan khas karena mempunyai multifungsi yang sangat kompleks misalnya ekstraksi (metabolit), sekresi (empedu), penyimpanan (lipid, vitamin A, vitamin B, dan glikogen), sintesis (fiksinogen, globulin,albumin dan protrombin), fagositosis (benda asing), detoksifikasi (obat yang larut dalam lipid), konjugasi (zat beracun, hormon steroid), esterifikasi (asam lemak bebas menjadi gliserida), metabolisme (protein, hidrat arang, lemak, hemoglobin, obat) dan hemopoesis (Delman HD & Brown EM 1992).


(25)

Menurut Amrullah (2002), hati ayam berwarna coklat atau coklat tua dan terdiri dari dua lobus. Struktur umum mirip dengan hati mamalia, hanya saja lobulasinya kurang jelas di daerah segitiga Kiernan. Limfosit dan leukosit banyak terdapat pada stoma hepatic. Susunan sel yang radier dalam lobus kurang jelas, tetapi jalinannya cukup jelas (Hartono 1992).

Menurut Delman HD dan Brown EM (1992), keistimewaan hati terdapat pada sirkulasinya yang berlainan dengan alat tubuh lain. Hati mendapat pemberian darah ganda. Vena porta hepatica membawa darah penuh makanan yang diserap usus dan organ tertentu, sedangkan arteri hepatica menyalurkan darah ke sel-sel hati dengan darah bersih yang kaya oksigen (Delman HD & Brown EM 1992).

Menurut Hartono (1992), di daerah hubungan antara tiga lobules, jaringan ikat interlobularis meluas dan membentuk segitiga Kiernan yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

- arteri lobularis cabang dari arteri hepatica - vena interlobularis cabang vena porta - duktus interlobularis

- pembuluh limfe dan saraf otonom.

Unit fungsional hati adalah asinus hati. Asinus hati memiliki tiga gambaran daerah yang samar. Zona pertama adalah daerah yang dekat dengan kerangka vaskular. Hepatosit adalah yang pertama kali menerima darah dan nutrisi, serta yang pertama mengalami regenerasi. Zona ketiga adalah daerah sekitar vena sentralis. Di daerah ini terdapat sel-sel hati yang paling toleran dan paling cepat mati karena menerima darah dengan mutu yang paling rendah. Zona kedua adalah daerah antara zona pertama dan ketiga. Zona ini mendapat suplai darah berkualitas sedang (Dellman HD & Brown EM 1992).

Salah satu fungsi hati adalah menghasilkan cairan empedu. Cairan lengket berwarna kuning kehijauan ini mengandung asam-asam empedu. Asam-asam ini jika masuk ke bagian ujung bawah duodenum membantu pencernaan lemak. Cairan empedu tidak mengandung enzim pencernaan. Fungsi utamanya adalah menetralkan kondisi asam dari saluran usus dan mengawali pencernaan lemak dengan membentuk emulsi.

Ayam memiliki saluran empedu, tetapi ada unggas lain yang tidak memilikinya. Dua saluran empedu menyalurkan empedu dari hati ke usus. Saluran sebelah kanan membesar membentuk kantung empedu, dimana sebagian besar


(26)

empedu dilewatkan dan sementara disimpan. Saluran bagian kiri tidak membesar dan lebih sedikit empedu yang melewatinya (Amrullah 2002).

2.7. Farmakokinetika Obat

Ekstrak tanaman obat yang diberikan pada ayam memiliki bahan aktif yang akan diproses dalam tubuh melalui kinetika obat. Menurut Lu FC (1995), farmakokinetika merupakan aspek farmakologi yang mencakup proses-proses yang akan dialami obat dalam tubuh yaitu absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresinya (ADME).

Gambar 6 Berbagai proses farmakokinetika obat (Lu FC 1995)

Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umumnya mengalami absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi, obat diekskresi dari dalam tubuh. Proses yang terjadi setelah obat masuk kedalam tubuh adalah:

1) Absorpsi dan Bioavailabilitas

Kedua istilah tersebut tidak sama artinya. Absorpsi, yang merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian, menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses tersebut. Kelengkapan dinyatakan dalam persen dari jumlah obat yang diberikan. Tetapi secara klinik, yang lebih penting ialah bioavailabilitas. Istilah ini menyatakan jumlah obat, dalam persen terhadap dosis, yang mencapai


(27)

sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/aktif. Ini terjadi karena untuk obat-obat tertentu, tidak semua yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sestemik. Sebagian akan dimetabolisme oleh enzim di dinding usus pada pemberian oral dan/atau di hati pada lintasan pertamanya melalui organ-organ tersebut. Metabolisme ini disebut metabolisme atau eliminasi lintas pertama (first pass metabolism or elimination) atau eliminasi prasistemik. Obat demikian mempunyai bioavailabilitas oral yang tidak begitu tinggi meskipun absorpsi oralnya mungkin hampir sempurna. Jadi istilah bioavailabilitas menggambarkan kecepatan dan kelengkapan absorpsi sekaligus metabolisme obat sebelum mencapai sirkulasi sistemik. Eliminasi lintas pertama ini dapat dihindari atau dikurangi dengan cara pemberian parenteral (misalnya lidokain), sublingual (misalnya nitrogliserin), rektal atau memberikannya bersama makanan (Lu FC 1995).

2) Distribusi

Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Selain tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat fisikokimianya. Distribusi obat dibedakan atas dua fase berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik misalnya jantung, hati, ginjal dan otak.

Selanjutnya, distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ di atas misalnya otot, visera, kulit dan jaringan lemak. Distribusi ini baru mencapai keseimbangan setelah waktu yang lebih lama. Difusi ke ruang interstisial jaringan terjadi karena celah antarsel endotel kapiler mampu melewatkan semua molekul obat bebas, kecuali di otak.

Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam otak, sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak akan sulit menembus membran sel sehingga distribusinya terbatas terurama di cairan ekstrasel. Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma, hanya obat bebas yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Derajat ikatan obat dengan protein plasma ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dan kadar proteinnya sendiri. Pengikatan obat oleh protein akan berkurang pada malnutrisi berat karena adanya defisiensi protein (Lu FC 1995).


(28)

3) Biotransformasi / Metabolisme

Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar, artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi inaktif, sehingga biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat. Tetapi, ada obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif, atau tidak toksik. Ada obat yang merupakan calon obat (prodrug) justru diaktifkan oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit aktif akan mengalami biotransformasi lebih lanjut dan/atau diekskresi sehingga kerjanya berakhir (Lu FC 1995).

Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat dibedakan berdasarkan letaknya dalam sel, yakni enzim mikrosom yang terdapat dalam retikulum endoplasma halus (yang pada isolasi in vitro membentuk mikrosom), dan enzim non mikrosom. Kedua macam enzim metabolisme ini terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat di sel jaringan lain misalnya ginjal, paru, epitel, saluran cerna, dan plasma.

4) Ekskresi

Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru. Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting (Lu FC 1995).

2.8. Patologi hati

Hati sangat rentan terhadap pengaruh berbagai zat kimia dan sering menjadi organ sasaran utama dari efek racun zat kimia. Oleh karena itu, hati merupakan organ tubuh yang paling sering mengalami kerusakan. Menurut Lu FC (1995), hal ini disebabkan sebagian besar toksikan yang masuk ke dalam tubuh setelah diserap oleh usus halus dibawa ke hati oleh vena porta hati. Melihat fungsi hati tersebut, maka dapat dipahami bahwa hati merupakan organ yang mudah terkena efek toksik senyawa asing. Peristiwa tersebut dapat terjadi karena: 1) Senyawa kimia yang diberikan secara oral akan diabsorbsi dari saluran cerna ke dalam hati melalui vena porta dapat meracuni hati; 2) Senyawa kimia yang


(29)

dimetabolisme di dalam hati dieksresikan ke dalam empedu dan kembali lagi ke duodenal; 3) Senyawa asing yang dimetabolisme di dalam hati sebagian dilokalisir di dalam hati. Dengan demikian hati merupakan organ yang banyak berhubungan dengan senyawa kimia sehingga mudah terkena efek toksik.

Menurut Linawati et al. (2006), ada tiga macam kerusakan hati, antara lain : kerusakan hati akut, subakut dan kronis. Pada hakekatnya dapat dibedakan tiga macam kerusakan hati akut, yaitu:

(1) sitotoksik (hepatoseluler) yang berhubungan dengan kerusakan parenkim sel hati. Luka ini dapat berupa steatosis (degenerasi melemak) dan atau nekrosis sel-sel hati.

(2) kolestatik berupa hambatan aliran empedu dengan sedikit atau tanpa kerusakan sel-sel hati, baik karena luka pada kanalikuler (hepatokanalikuler) atau luka pada saluran empedu (kolangia destruktif) dan dapat pula tanpa adanya luka (kanalikuler).

(3) campuran berupa kombinasi dari kedua macam kerusakan sitotoksik dan kolestatik.

Perubahan-perubahan histopatologi pada organ hati yang dapat terjadi diantaranya: degenerasi hidropis, degenerasi lemak, apoptosis atau nekrosa dan lain-lain. Degenerasi hidropis merupakan perubahan yang bersifat sementara ditandai dengan kehadiran vakuol-vakuol di sitoplasma.

Sel membutuhkan ATPase untuk mengaktifkan pompa sodium potasium dalam pengaturan keluar dan masuknya ion. Infeksi akut sel akan menyebabkan air dan protein tetap berada pada sitoplasma. Pompa lapisan membran akan memindahkan ion air dengan cepat keluar dari sitosol dan masuk ke reticulum endoplasma. Hal ini akan mengakibatkan kebengkakan sel yang disebut degenerasi hidropis. Kebengkakan RE akan menghambat sintesa protein, sehingga ribosom terlepas dari Rough Endoplasmic Reticulum (RER). Karena sel gagal memperoleh energi yang bersumber dari mekanisme aerobik, untuk sementara sel berusaha memperoleh energi dari sumber mekanisme anaerobik (glikolisis).

Tanda-tanda tersebut merupakan tanda lesio sel yang bersifat sementara (reversible) (Cheville 1999). Penggunaan energi dari suatu sel bersumber dari glikolisis dan akan menghasilkan produk asam laktat. Produk asam laktat terus


(30)

menerus akan menyebabkan penurunan pH intraseluler, yang mengakibatkan penggumpalan kromatin inti (kematian sel).

Selain degenerasi hidropis juga terdapat degenerasi lemak hepatosit. Akumulasi lemak dalam sel biasanya terjadi karena terlalu banyak asupan lemak bebas kedalam sel hati. Peningkatan pembentukan lipid di dalam sel hati akibat toksin yang merusak jalur metabolisme lemak atau hipoksia kronis yang mengganggu kerja enzim pada metabolisme lemak. Secara mikroskopis, akumulasi lemak intraseluler menyebabkan sel membesar berisi vakuola-vakuola lemak bundar yang jernih di dalam sitoplasma. Terkadang vakuol-vakuol kecil bergabung membentuk vakuol yang lebih besar sehingga inti terdesak ke tepi (Darmawan 1996; Saleh 1996). Menurut Maclachlan dan Cullen (1999), secara histopatologi lemak atau lipid di dalam sitoplasma terlihat sebagai rongga bulat tidak berwarna.

Degenerasi bisa bersifat menetap (irreversible). Pada keadaan ini akan terjadi kematian sel (apoptosis atau nekrosa). Apoptosis merupakan kematian sel yang terprogram, melibatkan satu atau sekelompok sel tanpa sel radang dan dapat terjadi pada kondisi normal (fisiologis) maupun abnormal (patologis). Nekrosa melibatkan sekelompok sel hingga pada sebagian jaringan dapat ditemukan sejumlah sel radang. Nekrosa dapat terjadi akibat bahan beracun, aktivitas mikroorganisme, defisiensi pakan dan kadang-kadang gangguan metabolisme termasuk hipoksia. Perubahan sel nekrosa terjadi pada inti dan sitoplasma. Jika nekrosa masih baru terjadi, sitoplasma sel akan lebih banyak mengambil warna eosin, lebih merah dari sel normal jika terjadi autolisis (kematian akibat enzimnya sendiri), sel lebih sedikit mengambil warna eosin. Inti menjadi mengecil dan berwarna biru (piknosis) akibat penggumpalan kromatin inti atau warna inti terlihat tidak jelas atau tidak terjadi sama sekali seolah-olah menghilang (karyolisis) atau inti pecah menjadi bagian-bagian kecil (karyohexis) (Cheville 1999; Jubb et al.1993).

Kongesti adalah terjadinya pembendungan darah pada hati yang disebabkan adanya gangguan sirkulasi yang dapat mengakibatkan kekurangan oksigen dan zat gizi. Pada sel hati, kongesti didahului dengan pembengkakan sel hati sehingga sel hati membesar yang mengakibatkan sinusoid menyempit sehingga aliran darah terganggu. Hal ini menyebabkan terjadinya pembendungan darah pada beberapa tempat.


(31)

Hemoragi adalah keluarnya darah dari sirkulasi kardiovaskuler dan biasanya terdapat kerusakan pada susunan kardiovaskuler tersebut (arteri, vena dan kapiler) (Sudiono 2003). Nekrosis adalah terjadinya kematian sel hati.Kematian sel terjadi bersama dengan pecahnya membran plasma. Perlemakan hati adalah hati yang mengandung berat lipid lebih dari 5% atau telah terjadi penimbunan lipid dalam hati. Atrofi adalah menurunnya ukuran ukuran jaringan yang disebabkan berkurangnya jumlah sel atau ukuran sel.Tingkat kerusakan hati menurut Darmono (1995), dibagi menjadi tiga yaitu ringan, sedang dan berat. Perlemakan hati termasuk dalam tingkat ringan yang ditandai dengan pembengkakan sel. Tingkat kerusakan sedang yaitu kongesti dan hemoragi, sedangkan tingkat berat adalah kematian sel atau nekrosis.

Hepatotoksin didefinisikan sebagai senyawa kimia yang memiliki efek toksik pada sel hati. Dengan dosis berlebihan (dosis toksik) atau pemejanan dalam jangka waktu yang lama senyawa bersangkutan dapat menimbulkan kerusakan hati akut, subakut maupun kronis. Terdapat dua macam senyawa hepatotoksin yaitu hepatotoksin hakiki (hepatotoksin teramalkan) dan hepatotoksin tak teramalkan. Hepatotoksin hakiki adalah golongan senyawa yang memiliki sifat dasar toksik terhadap hati, misalnya karbon tetraklorida (CCl

4), kloroform, etionin dan parasetamol. Senyawa-senyawa tersebut dapat menyebabkan kerusakan hati pada semua individu. Hepatotoksin tak teramalkan adalah golongan senyawa yang bersifat toksik terhadap hati, tetapi hanya dapat mengakibatkan hepatitis (Linawati et al. 2006).

2.9. Ayam broiler

Ayam broiler merupakan jenis ayam yang telah mengalami pemuliaan sehingga menjadi ayam unggul, mempunyai bentuk ukuran serta warna yang seragam (Muchtadi dan Sugiono 1992). Ayam broiler jantan atau betina merupakan sumber daging dan dipotong pada umur 5-6 minggu. Umur potong ayam ini masih sangat muda sehingga dagingnya masih lunak (Hardjosuwono dan Rukmiasih 2000).

Ukuran berat karkas ayam broiler berumur 6 minggu sama besarnya dengan ayam kampung dewasa yang dipelihara selama 8 bulan. Pada umumnya, ayam broiler di Indonesia sudah mulai dipasarkan mulai umur 5-6 minggu dengan


(32)

berat 1.3-1.6 kg walaupun laju pertumbuhan belum mencapai maksimum. Pemeliharaan ayam broiler pada umur diatas enam minggu dapat memperbesar biaya produksi (biaya pakan) karena jumlah biaya yang dikeluarkan tidak seimbang dengan tambahan daging yang dihasilkan. Ayam broiler merupakan ayam pedaging yang mengalami pertumbuhan sangat pesat pada umur 1-5 minggu (Rasyaf 1999). Cuaca yang selalu berubah-ubah akan membuat ayam mudah terserang penyakit. Oleh karena itu disamping pakan yang baik, ayam broiler perlu diberi vitamin , antibiotika dan vaksin agar hidup sehat sampai usia panen (Suharsono 2002).


(33)

3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Patologi Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dari bulan Juli 2008 sampai dengan bulan Februari 2009. Pemeliharaan ayam pada saat pemberian perlakuan dilaksanakan di laboratorium UP3H Fakultas Kedokteran IPB dari bulan Juli 2008 sampai dengan Agustus 2008.

3.2. Alat dan Bahan Penelitian

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Ayam broiler DOC sebanyak 40 ekor.

2. Ekstrak adas 10%, ekstrak temu ireng 10%, ekstrak sirih merah 10% dan ekstrak sambiloto 10% (untuk perlakuan single)

3. Ekstrak adas 2.5%, ekstrak temu ireng 2.5%, ekstrak sirih merah 2.5% dan ekstrak sambiloto 2.5% (untuk perlakuan dengan kombinasi 4 jenis tanaman obat sehingga diperoleh konsentrasi total 10%).

4. Ekstrak adas 3.33%, ekstrak temu ireng 3.33%, ekstrak sirih merah 3.33% dan ekstrak sambiloto 3.33% (untuk perlakuan dengan kombinasi 3 jenis tanaman obat sehingga diperoleh konsentrasi total 10%).

5. Spoit 1ml untuk mencekok ayam.

6. Pengambilan sampel dan pengawetan jaringan: pisau, silet, scalpel, pinset anatomis dan sirurgis, gunting besar, gunting kecil tali label, wadah plastik, alkohol 70%, larutan fiksatif Buffered Neutral Formalin (BNF 10%)

7. Proses pembuatan sediaan histopatologi: Alkohol 70%, 80%, 90%, 95% dan absolut, xylol, parafin, inkubator, cetakan parafin dan mikrotom. 8. Pewarnaan: Wadah dari gelas untuk tempat pewarnaan (staining jar),

Mayer Hemaktosilin Eosin, alkohol absolute, alkohol 70%, 80%, 90%, 95%, aquadestilata, Xylol.


(34)

3.3. Metode kerja

3.3.1. Pembuatan kandang

Kandang ayam dibuat sesuai dengan rancangan percobaan yang akan diterapkan yang berjumlah 10 petak untuk masing-masing kelompok perlakuan. Masing-masing petak kandang diberi label sesuai dengan ekstrak tanaman obat perlakuan yang akan diberikan (1-10). Kandang dipergunakan selama pemberian ekstrak tanaman obat pada ayam.

3.3.2. Persiapan ekstrak tanaman obat terstandar:

a. Budidaya

Persiapan bahan baku dimulai dari panen bahan baku sampai proses pasca panen. Bahan baku tanaman dipanen dari koleksi plasma nutfah tanaman obat di kebun lingkup Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Bogor. Sambiloto dipanen dari kebun koleksi plasma nufah di Kebun Percobaan (KP) Cimanggu, pada ketinggian 240 meter di atas permukaan laut (dpl). Temu ireng dan sirih merah dari KP. Cicurug, pada ketinggian 550 meter dpl dan adas dari KP. Manoko Lembang, pada ketinggian 1200 meter dpl.

Penanaman telah dilakukan pada bulan Desember 2006 dan pemeliharaan tanaman mengikuti Standard Operational Procedure (SOP) budidaya tanaman untuk menghasilkan potensi genetik yang optimal. Cara panen dilakukan sesuai dengan jenis tanaman. Pada temu ireng pemanenan dilakukan dengan cara membongkar seluruh rimpangnya, menggunakan garpu dan cangkul kemudian tanah yang menempel dibersihkan. Sirih merah dan sambiloto dipanen dengan cara membandingkan beberapa stadia kematangan daun yaitu dengan cara membandingkan daun tua, setengah tua dan muda. Pada adas akan dipanen beberapa stadia kematangan buah. Parameter yang diamati adalah mutu (proksimat) dari tiap bagian tanaman yang akan dipanen. Selanjutnya akan dilakukan analisis kimia.

b. Pasca panen

Kegiatan pasca panen dilakukan di laboratorium hasil Balitro mulai bulan Juni tahun 2007. bahan yang digunakan untuk ekstraksi adalah methanol, etanol,


(35)

aseton dingin, etil asetat, kloroform, aquadestilata, asetat, hidrat, H2SO4. Untuk pemisahan dilakukan teknik Kromatografi Lapis Tipis (KLT).

c. Ekstraksi

Proses pembuatan simplisia dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu sortasi, pencucian, pengeringan, penggilingan, dan ekstraksi, serta pengujian komponen fitokimia. Bahan dikeringkan pada suhu tidak lebih dari 45ºC, sampai kadar air ± 10%, kemudian digiling dengan ukuran 60 mesh. Ekstraksi dilakukan secara bertingkat untuk memisahkan fraksi polar, semi polar dan non polar.

3.3.3. Pemeliharaan Ayam dan Kelompok Perlakuan

Ayam broiler DOC yang berjumlah 40 ekor unisex dibagi menjadi 10 kelompok dan dimasukkan ke dalam petak-petak kandang yang sudah disediakan. Ayam tersebut diberi makan dan minum ad libitum. Pakan yang diberikan adalah pakan komersial. Pada minggu pertama ayam belum diberikan perlakuan, hal ini dilakukan agar ayam dapat beradaptasi dengan lingkungan selain itu pada minggu pertama juga diberikan vaksin New Castle Disease (ND). Selama minggu pertama pemeliharaan tiap petak kandang disediakan sebuah lampu pijar untuk menjaga suhu kandang agar tetap hangat.

Gambar 7 Pemeliharaan DOC

Kode kandang diberikan untuk menandakan jenis perlakuan yang akan diberikan. Kandang diberi kode dengan menggunakan angka 1-10, selain itu untuk membedakan masing-masing ayam dalam satu kelompok perlakuan maka di


(36)

pergelangan kaki ayam dipasang gelang plastik modifikasi untuk mempermudah identifikasi. Warna gelang untuk tiap perlakuan berbeda.

Tabel 1. Jenis Perlakuan

Perlakuan

(P) Perlakuan

1 Adas

2 Temu ireng

3 Sirih merah

4 Sambiloto

5

Adas + temu ireng + sirih merah + sambiloto 6

Adas + temu ireng + sirih merah 7

Adas + temu ireng + sambiloto 8

Temu ireng + sirih merah + sambiloto 9

Adas + sirih merah + sambiloto 10

Kontrol (aquadestilata)

Pencekokan dilakukan satu kali dalam sehari pada pagi hari dengan menggunakan spoit 1 ml. Ayam kontrol diberikan cekokan aquadest agar memiliki tingkat stres yang sama dengan kelompok perlakuan lainnya. Pengukuran bobot ayam dilakukan setiap pagi setelah ayam diberi cekokan ekstrak tanaman obat, data tersebut dicatat hari perhari sehingga dapat diamati pertambahan bobot badan dari masing-masing ayam di tiap kelompok perlakuan. Ayam dipelihara dan diberikan perlakuan sampai berumur empat minggu.

3.4. Tahap pembuatan preparat histopatologi

Setelah ayam berumur empat minggu dilakukan pemanenan dan siap untuk menuju ke tahap selanjutnya. Dua ekor ayam dari masing-masing kelompok dinekropsi, kemudian sampel hati diambil. Setiap sampel organ diiris setebal ± 0,5


(37)

cm. Organ tersebut kemudian dimasukkan kedalam tissue cassette. Kemudian cassette dimasukkan ke dalam wadah khusus, lalu diproses dalam automatic tissue processor. Di dalam alat tersebut secara otomatis jaringan akan mengalami dehidrasi dengan menggunakan alkohol bertingkat (alkohol 70%, 80%, absolut). Setelah itu jaringan dimasukkan ke dalam xylol untuk melarutkan alkohol yang terdapat dalam jaringan, untuk selanjutnya diinfiltrasi oleh paraffin.

Proses pembuatan preparat selanjutnya adalah embedding, yaitu suatu proses penanaman jaringan ke dalam blok paraffin. Setelah itu disimpan dalam refrigerator 4-6ºC. Setiap blok paraffin yang berisi jaringan dipotong dengan menggunakan mikrotom dengan tebal irisan 3μm. Potongan jaringan tersebut diletakkan di atas permukaan air hangat agar jaringan tidak berkerut, selanjutnya jaringan diletakkan di atas gelas obyek untuk diinkubasi selama ± 24 jam agar jaringan benar-benar melekat.

Keesokan harinya dilakukan proses pewarnaan. Pewarnaan yang dilakukan adalah Hematoxylin-Eosin. Tahapan-tahapan untuk melakukan pewarnaan ini yaitu:

1. Deparafinisasi :

- perendaman gelas obyek dalam xylol I selama 2 menit. - perendaman dalam xylol II selama 2 menit.

2. Dehidrasi :

- perendaman dalam alkohol absolut selama 2 menit. - perendaman dalam alkohol 95% selama 2 menit. - perendaman dalam alkohol 80% selama 2 menit. 3. Pembilasan dengan air mengalir.

4. Pewarnaan : perendaman dalam Mayer’s Hematoxyllin selama 8 menit. 5. Pembilasan dengan air mengalir.

6. Perendaman dalam lithium carbonat selama 15-30 detik. 7. Pembilasan dengan air mengalir.

8. Pewarnaan : perendaman dalam Eosin selama 2-3 menit. 9. Pembilasan dengan air mengalir.

10. Dehidrasi :

- pencelupan dengan alkohol 95% sebanyak 10 kali - pencelupan dengan alkohol absolut I sebanyak 10 kali - pencelupan dengan alkohol absolut II selama 2 menit


(38)

11. Deparafinisasi :

- perendaman gelas obyek dalam xylol I selama 2 menit. - perendaman dalam xylol II selama 2 menit.

Setelah proses pewarnaan selesai preparat direkatkan dengan cover glass dengan menggunakan Permount®, lalu diberi label.

3.5. Parameter Pengamatan Histopatologi dan Evaluasi Data

Pengamatan dilakukan untuk mengetahui tingkat perubahan komponen- komponen penyusun organ hati bila dibandingkan dengan sampel kontrol. Evaluasi histopat menggunakan metode scoring. Setiap sampel organ diamati sebanyak sepuluh lapang pandang, dari setiap lapang pandang akan diberikan skor tergantung seberapa besar perubahan yang terjadi. Skor yang diberikan terdapat pada rentang 0-3, kriteria untuk masing-masing skor tersebut yaitu:

- skor 0 : sel parenkim hati (sel Hepatosit) tersusun radial, vena centralis normal, segitiga Kiernan normal. (pembesaran 40x). (normal)

- skor 1 : sel parenkim hati tidak beraturan/ terjadi oedema, dilatasi vena centralis.(perbesaran 40x). (Lesio sangat ringan)

- skor 2: hiperemi, kongesti, degenerasi berbutir-degenerasi lemak. (perbesaran 40x). (Lesio ringan)

- skor 3 : nekrosa sel parenkim hati berupa inti piknosis, inti pereksis, inti lisis. ( perbesaran 40x). (Lesio berat) Semakin besar rataan skor yang diperoleh dalam satu preparat dengan 10

lapang pandang mengindikasikan terjadinya perubahan yang makin besar. Berdasarkan skor tersebut dapat dilihat kelompok mana yang memberikan efek minimal sampai yang maksimal sehingga kesimpulan tentang perubahan yang terjadi bisa didapat. Pengamatan histopatologi menggunakan mikroskop Olympus

(BH-1 Japan).

Data yang akan diolah meliputi data bobot badan perlakuan per minggu dan skor histopatologi organ perlakuan dibandingkan dengan data organ kontrol, juga antar kelompok perlakuan. Setelah itu pengujian dilakukan dengan Uji Sidik


(39)

Ragam (ANOVA) yang kemudian dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan untuk melihat ada tidaknya perbedaan secara nyata (p<0.5).


(40)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Evaluasi dataPerforman Ayam

Dari hasil penelitian didapatkan rataan bobot badan ayam pada masing-masing kelompok perlakuan, data tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 pemberian ekstrak tanaman obat pada minggu pertama memberikan gambaran bobot badan ayam broiler yang tidak berbeda nyata antar perlakuan (p>0.05), tetapi berbeda nyata dengan kontrol (p<0.05). Ekstrak tanaman obat yang memiliki efek paling baik terhadap bobot badan pada minggu tersebut adalah temu ireng.

Tabel 2 Rataan bobot badan ayam (gram) yang diberikan ekstrak tanaman obat dari minggu ke-1 sampai dengan minggu ke-4

Perlakuan

(P) Perlakuan

Bobot badan (gram)

Minggu-1 Minggu-2 Minggu-3 Minggu-4

1 Adas 134.40

a

448.75a 776.8ab 1143.2ab

2 Temu ireng 141.90

a 496.83a 871.50a 1252.2a

3 Sirih merah 134.56

a

456.45a 760.38ab 1113.7abc

4 Sambiloto 125.18

ab

452.68a 734.95ab

1099.18abc

5 Adas + temu ireng +

sirih merah + sambiloto

128.78ab 437.33a 837.55ab 1092.75bc

6 Adas + temu ireng +

sirih merah

128.58ab 461.33a 775.18abc 1132.7abc

7 Adas + temu ireng +

sambiloto

126.80ab 423.95a 695.18cd 1013.6bc

8 Temu ireng + sirih

merah + sambiloto

133.53ab 484.63a 850.63ab 1228.5ab

9 Adas + sirih merah +

sambiloto

121.88ab 419.18a 754.7abc 1110.2abc

10

Kontrol (aquadestilata) 109.78

b

351.33b 653.80d 962.68d

Ket: Angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)


(41)

Pada minggu ke-2 terjadi kecendrungan yang berbeda, beda nyata (p<0.05) terjadi antara kelompok kontrol dengan semua kelompok. Perlakuan yang memberikan efek paling baik dengan cara menghasilkan bobot badan tertinggi adalah temu ireng (perlakuan 2) pada Tabel 2.

Gambar 8 Grafik rataan bobot badan ayam (gram) yang diberikan ekstrak tanaman obat dari minggu ke-1 sampai dengan minggu ke-4

Pada minggu ke-3 terjadi perbedaan yang signifikan (p<0.05) antara hampir semua kelompok perlakuan kecuali perlakuan dengan menggunakan kombinasi ekstrak adas, temu ireng dan sambiloto terhadap kontrol.

Pada minggu ke-4, kelompok dengan menggunakan ekstrak tanaman temu ireng berbeda nyata dengan kelompok yang mendapatkan ekstrak adas, temu ireng, sirih merah dan sambiloto. Kelompok perlakuan lainnya berbeda nyata dengan kelompok kontrol kecuali pada kelompok yang menggunakan kombinasi ekstrak adas, temu ireng dan sambiloto .

Berdasarkan Tabel 2 dapat terlihat bahwa perlakuan menggunakan ekstrak temu ireng memberikan hasil yang terbaik terhadap performan ayam broiler berdasarkan capaian bobot badan tertinggi pada tiap minggunya, sehingga dapat disimpulkan bahwa temu ireng menjadi tanaman obat yang paling baik untuk meningkatkan bobot badan. Hal ini didukung oleh Limananti et al. (2003),

0 200 400 600 800 1000 1200 1400

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

B ob ot b ad an ( g) Perlakuan Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4


(42)

yang menyatakan bahwa temu ireng mengandung zat pahit (carpaine atau alkaloida pahit) yang dapat merangsang lambung agar berfungsi dengan baik sehingga akan timbul nafsu makan yang baik juga.

4.2. Gambaran Histopatologi hati dan Skor lesio histopatologi

Gambar 9 Gambaran histopatologi hati normal (perbesaran400x) Kelompok kontrol (P10)

Skor lesio histopatologi (Tabel 3) pada hati menggambarkan derajat keparahan yang terjadi (mulai dari normal sampai terjadinya nekrosa). Pada perlakuan dengan menggunakan ekstrak tanaman adas terdapat 25% bagian yang normal dan terjadi lesio dari tingkat ringan (55%) sampai sedang (20%) tetapi lesio masih bersifat reversibel.

Gambar 10 Gambaran histopatologi sel hepatosit ayam pada kelompok P7 dengan perbesaran 400x (degenerasi hidropik ( ) , nekrosis hepatosit ( )


(43)

Estragol adalah salah satu bahan aktif dari adas. Senyawa kimia ini merupakan golongan terphenoid ether dan dengan efek toksik yang sangat kecil (relatif tidak toksik) menurut Cardoso et al.( 2004). Pemberian ekstrak dilakukan dengan cara dicekok (per oral), dengan demikian zat-zat atau senyawa kandungan tanaman tersebut mengalami proses biotransformasi di hati. Tetapi karena sifat bahan aktifnya yang relatif tidak toksik maka lesio yang terjadi pada hati tidak berat. Hasil persentase skoring lesio histoptologi hati tersebut disajikan pada Tabel 3 dibawah ini.

Tabel 3 Persentase skor lesio histopatologi organ hati ayam setelah pemberian ekstrak tanaman obat

Kode Perlakuan

(P)

Jenis Perlakuan

Persentase skor lesio histopatologi (%) Skor-0 (normal) Skor-1 (ringan ) Skor-2 (sedang) Skor-3 (berat)

1 Adas 25 55 20 0

2 Temu ireng 20 30 50 0

3 Sirih merah 0 70 10 20

4 Sambiloto 20 55 25 0

5

Adas + temu ireng + sirih merah +

sambiloto

0 65 25 10

6 Adas + temu ireng

+ sirih merah 25 35 30 10

7 Adas + temu ireng

+ sambiloto 0 30 70 0

8

Temu ireng + sirih merah + sambiloto

0 80 20 0

9

Adas + sirih merah + sambiloto

0 50 50 0

10 Kontrol

(aquadestilata) 0 50 0 0

Ket : Skor 0 = Sel parenkim hati/sel hepatosit tersusun radial, vena centralis normal, segitiga kiernan normal; Skor 1 = Sel parenkim hati tidak beraturan/ terjadi oedema, dilatasi

vena centralis; Skor 2 = Hiperemi, kongesti, degenerasi berbutir sampai degenerasi lemak ;Skor 3 = Nekrosa sel parenkim hati (inti piknosis, inti pereksis, inti lisis), sel


(44)

Pemberian ekstrak tanaman temu ireng mengakibatkan terjadinya lesio yang bersifat reversibel dengan tingkat ringan (30%) sampai sedang (50%). Bahan aktif yang paling tinggi dari temu ireng adalah 1,8,8-trimethylfuro [3,4-c] bicycle. Bahan aktif ini belum diketahui efeknya secara spesifik. Tetapi hasil proses biotransformasi bahan-bahan aktif dari tumbuhan ini di hati mengakibatkan terjadinya lesio. Pada perlakuan ini masih terdapat sel yang normal sejumlah 20%. Saponin merupakan salah satu kandungan temu ireng yang dapat menetralkan dan membersihkan racun dalam tubuh (Setiawan 2009).

Tabel 4 Rataan skor lesio histopatologi organ hati ayam setelah pemberian ekstrak tanaman obat

Nomor Perlakuan Ulangan

(slide)

Rataan Skor/slide

Rataan Skor/Perlakuan

1 Adas I 1.1 1.05dc

II 1.0

2 Temu Ireng I 1.3 1.3bc

II 1.3

3 Sirih Merah I 1.3 1.5ab

II 1.7

4 Sambiloto I 0.7 0.8de

II 0.9

5 Adas+temu ireng+sirih merah I 1.4 1.45ab

+sambiloto II 1.5

6 Adas+temu ireng+sirih merah I 1.4 1.25bc

II 1.1

7 Adas+temu ireng+sambiloto I 1.6 1.75a

II 1.9

8 Temu ireng+sirih

merah+sambiloto

I 1.3 1.15bc

II 1.1

9 Adas+sirih merah+sambiloto I 1.5 1.5ab

II 1.5

10 Kontrol (aquadestilata) I 0.5 0.5e

II 0.5

Ket: Angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)

Berdasarkan tabel 3, tanaman obat yang menjadi tanaman obat pilihan karena menimbulkan efek yang paling ringan terhadap hati adalah sambiloto (Andrographis paniculata) dengan skor lesio hampir mendekati kelompok kontrol (tidak berbeda nyata dengan kontrol (p>0.05)). Perlakuan dengan menggunakan kombinasi dari adas, temu ireng dan sambiloto mengakibatkan


(45)

terjadinya lesion yang paling berat pada organ hati dengan tingkat lesion berbeda nyata terhadap kelompok kontrol (p<0.05).

Degenerasi hidropis merupakan perubahan yang bersifat sementara ditandai dengan kehadiran vakuol-vakuol di sitoplasma. Sel membutuhkan ATP-ase untuk mengaktifkan pompa sodium-potasium dalam pengaturan keluar dan masuknya ion. Infeksi akut sel akan menyebabkan air dan protein tetap berada pada sitoplasma. Pompa lapisan membran akan memindahkan ion air dengan cepat keluar dari sitosol dan masuk ke retikulum endoplasma. Hal ini akan mengakibatkan pembengkakan sel yang disebut degenerasi hidropis. Kebengkakan RE akan menghambat sintesa protein, sehingga ribosom terlepas dari rough endoplasmic reticulum (RER). Karena sel gagal memperoleh energi yang bersumber dari mekanisme aerobik, untuk sementara sel berusaha memperoleh energi dari sumber mekanisme anaerobik (glikolisis).

Lesio pada hati dengan perlakuan menggunakan tanaman sirih merah yaitu lesion ringan (70%), sedang (10%) sampai berat (nekrosa) (20%) tidak ada yang normal. Zat kimia yang terkandung pada sirih terutama adalah minyak atsiri dan piperin. Disamping itu, pada sirih merah mengandung flavonoid, polevenolad, alkaloid dan tanin. Senyawa flavonoid dan polevenolad bersifat anti kanker, anti oksidan, anti diabetik, anti septik dan anti inflamasi.

Menurut Darmansjah (2005), setiap senyawa kimia pada dasarnya bersifat racun. Keracunan dapat terjadi akibat dosis yang berlebihan ataupun cara pemberian atau aplikasi yang kurang tepat. Sambiloto mengandung zat aktif yang dapat menimbulkan perubahan patologis hati. Zat tersebut antara lain saponin dan androgapholide (Efrizanti 2005 dan Marpaung 2004).

Berdasarkan aspek toksikologi, sambiloto mempunyai dosis toksik akut (LD 50) sebesar 71.27 mg/10 g BB, pada manusia. Sambiloto dengan konsentrasi lebih tinggi dari 2.5 mg/ml bersifat toksik (Wibudi 2006). Pemberian androgapholide pada tikus atau kelinci secara oral sebanyak 1g/kg BB tidak menimbulkan gangguan pada hati dan ginjal (Anonim 2006). Berdasarkan tabel diatas (Tabel 3) lesio histopatologi hati pada perlakuan dengan menggunakan ekstrak sambiloto berupa oedema sel hepatosit dan dilatasi vena sentralis merupakan lesion paling ringan setelah kelompok control.

Bahan aktif dari sambiloto bersifat iritan pada hati tetapi sangat ringan sehingga mengakibatkan terjadinya lesio histopatologi hati berupa oedema dan


(46)

dilatasi vena sentralis (Efrizanti 2005 dan Marpaung 2004). Lesio yang terjadi dari tingkat ringan (25%) sampai sedang ( 55%) tapi merupakan lesio yang paling ringan bila dibandingkan dengan perlakuan yang lain.

Kerusakan yang mungkin muncul akibat pengaruh zat aktif antara lain: dilatasi, kongesti, infiltrasi, akumulasi sel radang serta degenerasi. Tanda-tanda tersebut merupakan tanda lesio sel yang bersifat sementara (reversible) (Cheville 1999). Dilatasi merupakan reaksi lanjutan karena pembuluh darah kapiler pembawa darah dari arteri dan vena interlobularis menuju vena sentralis mengalami konstriksi singkat yang disebabkan masuknya rangsangan iritan (Spector dan Spector 1993).

Kelainan lain yang dapat terjadi pada hati antara lain adalah kongesti. Kongesti adalah berkumpulnya darah di dalam pembuluh darah disertai adanya pelebaran pembuluh darah tersebut (Sudiono et al. 2003). Kongesti di hati dapat terjadi karena masuknya rangsang iritan yang menyebabkan konstriksi pada arterial dan diikuti dilatasi (Rukmono 1996). Gangguan metabolisme pada sel merupakan penyebab utama dari degenerasi. Hal ini terjadi karena intensitas rangsangan patologik dan jangka waktu paparan yang relatif lama sehingga menyebabkan sirkulasi cairan di hati menjadi tidak lancar.

Pada perlakuan 3 (sirih merah), 5 (adas, temu ireng, sirih merah, sambiloto) dan 6 (Adas, temu ireng, sirih merah) terdapat lesio histopatologi hati berupa nekrosa. Menurut Lu FC (1995), hati terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian besar obat dan zat toksikan. Organ hati juga memiliki kadar enzim cukup tinggi yang mampu merubah zat toksik menjadi kurang toksik, tetapi dalam beberapa kasus senyawa racun diaktivasikan sehingga dapat menyebabkan terjadinya kerusakan dari organ hati itu sendiri. Pada keadaan ini akan terjadi kematian sel (apoptosis atau nekrosa). Apoptosis merupakan kematian sel yang terprogram, melibatkan satu atau sekelompok sel tanpa sel radang dan dapat terjadi pada kondisi normal (fisiologis) maupun abnormal (patologis).

Nekrosa melibatkan sekelompok sel hingga pada sebagian jaringan dapat ditemukan sejumlah sel radang. Nekrosa dapat terjadi akibat bahan beracun, aktivitas mikroorganisme, defisiensi pakan dan kadang-kadang gangguan metabolisme termasuk hipoksia. Perubahan sel nekrosa terjadi pada inti dan sitoplasma. Jika nekrosa masih baru terjadi, sitoplasma sel akan lebih banyak


(47)

mengambil warna eosin, jika terjadi autolisis (kematian akibat enzimnya sendiri) sehingga sel lebih sedikit mengambil warna eosin.

Selain itu dapat juga terjadi perubahan ukuran inti sel menjadi mengecil dan berwarna biru (piknosis) akibat penggumpalan kromatin inti atau warna inti terlihat tidak jelas atau tidak terjadi sama sekali seolah-olah menghilang (karyolisis) atau inti pecah menjadi bagian-bagian kecil (karyohexis) (Cheville 1999; Jubb et al. 1993). Lesio ini bisa terjadi karena efek dari bahan aktif kombinasi tanaman obat tersebut, akibat dari pemberian dosis yang tidak tepat ataupun korelasi dari ketiga bahan aktif (saponin) dari tanaman tersebut.

Hasil dari penelitian ini nantinya diharapkan dapat diterapkan pada peternakan-peternakan ayam, baik peternakan ayam broiler (pedaging) maupun layer (petelur). Sehingga residu dari bahan tambahan pakan yang berefek tidak baik bagi kesehatan orang yang akan mengkonsumsi ayam tersebut dapat dikurangi bahkan dihilangkan, sehingga dapat dihasilkan ternak organik yang sangat aman untuk dikonsumsi. Selain itu pemberian ekstrak herbal juga dapat menguntungkan peternak, karena bisa mendapatkan ayam dengan bobot badan (performan) yang baik dan sehat dengan efisiensi yang tinggi serta tingkat kematian akibat penyakit yang bersifat low phatogenic yang rendah tentunya diiringi dengan pemberian vaksin untuk mencegah terjangkitnya penyakit infeksius.

Pemberian ekstrak herbal pada peternakan skala besar dapat dicampurkan dengan minuman atau makanan, tetapi karena kendala rasa dari herbal tersebut yang pahit maka perlu diadakan penelitian lebih lanjut untuk mencari bahan-bahan yang dapat memperbaiki rasa agar tingkat konsumsi pakan ternak tersebut tidak berkurang.


(48)

5. SIMPULAN DAN SARAN 5.1Simpulan

Ekstrak tanaman obat temu ireng ( Curcuma aeroginosa) memberikan pengaruh terbaik terhadap performan ayam berupa capaian bobot badan tertinggi dan ekstrak tanaman sambiloto (Andrographis paniculata) memberikan gambaran histopatologi hati dengan lesio paling ringan.

5.2 Saran

Perlu diadakan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui dosis optimum ekstrak tanaman obat untuk meningkatkan bobot badan ayam dengan toksisitas yang rendah sehingga tidak merusak organ hati.


(49)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad dan Elfawati. 2008. Performan Ayam Broiler Yang Diberi Sari Buah Mengkudu (Morinda citrifolia). Jurnal Peternakan 5:1 Februari 2008 [Jurnal]. Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

Amrullah I K. 2005. Nutrisi Ayam Broiler. Cetakan ke-2. Bogor: Lembaga Satu gunung budi.

Anonim . 2006. Andrographis. http://www.altancer.com [21 Juni 2010]

Anonim .2009a. Farmakokinetika dan farmakodinamika obat.

http://www.yoyoke.web.ugm.ac.id [19 Okt 2010]

Anonim . 2009b. Pengembangan tanaman adas. http://www. indonesiaindonesia.com [21 Nov 2009]

Anonim . 2009c. Phytol. http://en.wikipedia.org/wiki/phytol [21 Nov 2009]

Astuti P, Dzulkarnaen B, dan widowati L. 1998. Pengaruh Buah adas (Foeniculum vulgare Mill.) Terhadap Perpanjangan Masa Tidur (Sleeping Time) Pada encit Putih. Simposium Penelitian Obat Tradisional VI. Fakultas Farmasi, Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Alam. Univeritas Indonesia: Depok.

http://obtrando,files.journal.wordpress.com/2010/10/12b1316-Foeniculum-vulgare.pdf [23 Des 2010]

Atta-urrahman dan Choudary MI. 2001. Bioactive Natural Products: A Potential of Pharmacophores. A Theory Of Memory. Pure Application Chemistry.

[BALITRO] Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. 2009. Adas: Tanaman yang Berpotensi Dikembangkan Sebagai Bahan Obat Alami.

http://balitro.litbang.deptaqn.go.id/index.php?option:com_contentview= article&id:adas-tanaman-yang-berpotensi-dikembangkan-sebagai-bahan-obat-alami&catid=19:artikel&Itemid=38 [10 Jan 2010]

Bisset NG. 1994. Herbal Drugs and Phytopharmaceutical. Edpharm scientific

publishers. London.

http://obtrando,files.journal.wordpress.com/2010/10/12b1316-Foeniculum-vulgare.pdf [23 Des 2010]

Cardoso JH et al. 2004. Effects of estragole on the compound action potential of the rat sciatic nerve. Effects of estragole on the compound action potential of the rat sciatic nerve. Brazilian journal of Medical and biological research vol: 7. Brasil


(50)

Chevile NF. 1999. Introduction to Veterinary Pathology. Ed ke-2. United States Of America: Iowa State University Press.

[CODATA Indonesia]. 2002. Tanaman Obat Indonesia. http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/ [21 Nov 2009]

Cotran RS, Kumar V and Robbin S.1989. Pathologis Basis Of Disease. Ed ke-4. Philadelpia: WB Saunders Company.

Dalimartha S. 1999. Tanaman Obat di Lingkungan Sekitar. Jakarta: Penebar Swadaya.

Darmawan S. 1996. Hati dan Saluran Empedu. Di dalam Himawan, editor. Patologi. Bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia.

Darmono. 1995. Logam Dalam Sistem Biologi Air. Jakarta: UI Press.

Delman Brown. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner II. Ed ke-3. Hartono, penerjemah; Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Textbook of Veterinary Histology.

Efrizanti. 2005. Penggunaan Saponin Pada Ayam Broiler: Performa, Perubahan Patologis dan Pengaruhnya Terhadap Infeksi Emeria tenella. [Tesis]. Bogor: Program Pasasarjana. IPB.

Gunawan D, Sudarsono, Wahyuono S, Donatus IA dan Purnomo.2001. Tumbuhan Obat 2: Hasil Penelitian, Sifat-sifat dan Penggunaan. PPOT. UGM: Yogyakarta.

http://obtrando,files.journal.wordpress.com/2010/10/12b1316-Foeniculum-vulgare.pdf [23 Des 2010]

Hardjosuwono PS dan Rukmiarsih. 2000. Meningkatkan Produksi Daging Unggas.Cetakan ke-1. Jakarta: Penebar Swadaya.

Hartono. 1992. Histologi Veteriner Organologi. Jilid II. Laboratorium Histologi. Jurusan Anatomi. Bogor: FKH IPB.

Jarukamjorn K and Nemoto N. 2008. Pharmacological Aspects of Andrographis paniculata on Health and Its Major Diterpenoid Constituent Androgapolide. Journal of Health Science 54:4. Departement of Parmaceutical Chemistry, Faculty of Parmaceutical Science, Khon kaen University Thailand and Graduate School of Medicine and Pharmaceutical Science, University of Toyama Japan.

http://jhs.pharm.or.jp/data/54(4)/54_370.pdf [23 Des 2010]

Jubb KVF, Kennedy PC, Peter C. 1993. Pathology of Domestic Animall. London: Academic Press.


(1)

The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test for BB3

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.

Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 90 Error Mean Square 9358.181

Number of Means 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Critical Range 85.9 90.4 93.4 95.6 97.3 98.7 99.8 100.7 101.6

Means with the same letter are not significantly different.

Duncan Grouping Mean N Perlakuan A 862.34 10 2

A

B A 824.45 10 8 B A

B A 821.94 10 5 B A

B A 811.98 10 1 B A

B A 807.72 10 4 B A

B A C 793.07 10 6 B A C

B A C 789.91 10 9 B C

B C 753.74 10 3 C

D C 709.01 10 7 D

D 653.02 10 10

The SAS System The GLM Procedure

Level of ---BB3--- Perlakuan N Mean Std Dev 1 10 811.980000 123.502666 2 10 862.340000 83.826464 3 10 753.740000 68.211667 4 10 807.720000 99.526800 5 10 821.940000 88.013196 6 10 793.070000 83.656162 7 10 709.010000 172.396452 8 10 824.450000 87.356641 9 10 789.910000 58.222990 10 10 653.020000 35.458451


(2)

The GLM Procedure Class Level Information Class Levels Values

Perlakuan 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Number of Observations Read 100 Number of Observations Used 100

The SAS System

The GLM Procedure Dependent Variable: BB4

Sum of

Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 9 635807.062 70645.229 4.36 <.0001 Error 90 1456782.774 16186.475

Corrected Total 99 2092589.836

R-Square Coeff Var Root MSE BB4 Mean 0.303837 11.21917 127.2261 1134.006

Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F Perlakuan 9 635807.0624 70645.2292 4.36 <.0001

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F Perlakuan 9 635807.0624 70645.2292 4.36 <.0001

The SAS System

The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test for BB4

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.

Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 90 Error Mean Square 16186.48

Number of Means 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Critical Range 113.0 118.9 122.9 125.7 128.0 129.8 131.2 132.5 133.6

Means with the same letter are not significantly different.


(3)

A 1255.07 10 2 A

B A 1204.94 10 8 B A

B A 1191.25 10 1 B A

B A C 1158.25 10 4 B A C

B A C 1156.99 10 9 B A C

B A C 1135.11 10 6 B A C

B A C 1126.28 10 3 B C

B C 1113.65 10 5 C

D C 1036.08 10 7 D

D 962.44 10 10 The SAS System The GLM Procedure

Level of ---BB4--- Perlakuan N Mean Std Dev 1 10 1191.25000 149.752939 2 10 1255.07000 121.992988 3 10 1126.28000 71.597902 4 10 1158.25000 111.546854 5 10 1113.65000 129.832775 6 10 1135.11000 128.570633 7 10 1036.08000 217.291084 8 10 1204.94000 118.501282 9 10 1156.99000 88.475916 10 10 962.44000 67.191124

Lampiran 6. Hasil Analisis Of Variance (ANOVA) Lesio Histopatologi Organ Hati

Ayam Broiler Setelah Pemberian Tanaman Obat

I = adas

II temu ireng

III= sirih merah

IV=sambiloto

V=ada+temu ireng+sirih

merah+sambiloto

VI=adas+temu ireng+sirih merah

VII=adas+temu ireng+sambiloto

VIII=temu ireng+sirihmerah+sambiloto

IX=adas+sirih merah+sambiloto


(4)

The SAS System

The GLM Procedure

Class Level Information

Class

Levels Values

perlakuan

10 I II III IV IX V VI VII VIII X

Number of Observations Read

20

Number of Observations Used

20

The GLM Procedure

Dependent Variable: respon

Source

DF

Sum of

Squares

Mean

Square

F

Value

Pr > F

Model

9

2.44200000

0.27133333

12.33 0.0003

Error

10

0.22000000

0.02200000

Corrected

Total

19

2.66200000

H0 : perlakuan tidak berpengaruh

H1 : perlakuan berpengaruh

Karena p value kurang dari alpha 5% (0.05) maka tolak H0 artinya perlakuan

berpengaruh terhadap respon

R-Square Coeff Var Root MSE respon Mean

0.917355

12.05886

0.148324

1.230000

Source

DF

Type III SS Mean Square F Value

Pr > F

perlakuan

9 2.44200000

0.27133333

12.33 0.0003


(5)

Means with the same letter

are not significantly different.

Duncan Grouping

Mean N perlakuan

A

1.7500 2 VII

A

B

A

1.5000 2 IX

B

A

B

A

1.5000 2 III

B

A

B

A

1.4500 2 V

B

B

C

1.3000 2 II

B

C

B

C

1.2500 2 VI

B

C

B

C

1.2000 2 VIII

C

D

C

1.0500 2 I

D

D

E

0.8000 2 IV

E


(6)

Uji normalitas

H0 : data normal

H1 ; data tidak normal

Karena p value lebih besar dari alpha 5% maka tidak tolak H0,artinya data normal

0,3

0,2

0,1

0,0

-0,1

-0,2

-0,3

99

95 90

80 70 60 50 40 30 20

10 5

1

RESI1

P

e

rc

e

n

t

Mean 6,661338E-17 StDev 0,1076

N 20

KS 0,150 P-Value >0,150

Probability Plot of RESI1