INOVASI PENGGUNAAN COLD PACK UNTUK MENGATASI NYERI PASCA OPEN REDUCTION INTERNAL FIXATION (ORIF)

(1)

i

INOVASI PENGGUNAAN COLD PACK UNTUK MENGATASI NYERI PASCA OPEN REDUCTION INTERNAL FIXATION (ORIF)

TESIS

Untuk memenuhi syarat memperoleh derajat Magister Keperawatan Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta

Disusun Oleh : AGUNG KRISTANTO

NIM : 2014105007

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2017


(2)

i

INOVASI PENGGUNAAN COLD PACK UNTUK MENGATASI NYERI PASCA OPEN REDUCTION INTERNAL FIXATION (ORIF)

TESIS

Untuk memenuhi syarat memperoleh derajat Magister Keperawatan Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta

Disusun Oleh : AGUNG KRISTANTO

NIM : 2014105007

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2017


(3)

ii

LEMBAR PENGESAHAN

INOVASI PENGGUNAAN COLD PACK UNTUK MENGATASI NYERI PASCA OPEN REDUCTION INTERNAL FIXATION (ORIF)

Telah diujikan dan disetujui pada tanggal : 4 Januari 2017

Disusun Oleh : AGUNG KRISTANTO

NIM : 2014105007

Penguji :

Fitri Arofiati, S.Kep., Ns., MAN., Ph.D. (………..)

Novita Kurnia Sari, S.Kep., Ns., M.Kep. (..………)

Azizah Khoiriyati.,S.Kep.,Ns., M.Kep. (………..…)

Mengetahui

Ketua Program Magister Keperawatan Program Pascasarjana

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta


(4)

iii

PERNYATAAN ORIGINALITAS

Yang bertanda tangan dibawah ini, Peneliti : Nama : Agung Kristanto

NIM : 2014105007

Prorgam Studi : Magister Keperawatan

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Tesis yang berjudul “INOVASI PENGGUNAAN COLD PACK UNTUK MENGATASI NYERI PASCA OPEN REDUCTION INTERNAL FIXATION (ORIF)” adalah betul -betul karya Peneliti sendiri.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan Peneliti ini tidak benar, maka peneliti bersedia menerima sanksi akademik.

Yogyakarta, Januari 2017 Yang membuat pernyataan


(5)

iv

KATA PENGANTAR

AssalammualaikumWr. Wb

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas Berkat Rahmat dan Ridho dariNya akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan tema “Inovasi Penggunaan Cold Pack Untuk Mengatasi Nyeri Pasca Open Reduction Internal Fixation (ORIF)“.

Dalam penyusunan tesis ini penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan, untuk hal tersebut penulis senantiasa mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan dari tesis ini.

Penyusunan tesis ini tidak akan terlaksana dengan baik dan lancer tanpa bantuan dan bimbingan serta saran dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada : 1. Dr. Achmad Nurman diselaku Direktur Program Pascasarjana

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

2. Fitri Arofiati,S.Kep.,Ns.,MAN, Ph.D selaku Ketua Program Studi Magister Keperawatan Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan dosen pembimbing I yang telah banyak memberi masukan serta saran demi penyempurnaan tesis ini.


(6)

v

3. Novita Kurnia Sari, S.Kep., Ns., M.Kep. selaku dosen pembimbing II yang telah banyak memberi masukan serta saran demi penyempurnaan tesis ini

4. Azizah Khoiriyati, S.Kep.,Ns.,M.Kep selaku dosen penguji yang telah banyak memberi masukan serta saran demi penyempurnaan tesis ini.

5. dr. Alida Lienawati, M.Kes., MARS selaku Direktur Utama RSUP. Dr Soeradji Tirtonegoro Klaten.

6. Istri dan anakku tercinta yang selalu memberi semangat dan motivasi dalam penyusunan tesis ini.

7. Retna, Lucky dan Deppy asisten dalam penelitian ini yang telah banyak membantu dalam pengambilan data penelitian.

8. Seluruh pasien yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

9. Seluruh staf karyawan Program Magister Keperawatan Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

10. Rekan - rekan mahasiswa Program Magister Keperawatan Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.


(7)

vi

Semoga Allah SWT membalas dan melimpahkan rahmat serta hidayahNya dan menjadikan ini sebagai amal jariyah. Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pembangunan ilmu pendidikan keperawatan serta bagi kita semua, amin ya robbal alamin. WassalamualaikumWr.Wb

Yogyakarta ,4 Januari 2017


(8)

vii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ORIGINALITAS ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

INTISARI ... xiii

ABSTRACT ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan ... 11

D. Manfaat Penelitian : ... 12

E. Penelitian Terkait. ... 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori ... 21

1. Konsep Fraktur ... 21

2. Konsep ORIF ... 25

3. Konsep Nyeri ... 27

4. Konsep Kompres Dingin ... 54

B. Kerangka Teori. ... 62

C. Kerangka Konsep Penelitian ... 63

D. Hipotesis... 64

BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian... 65

B. Populasi dan Sampel Penelitian ... 66

C. Lokasi Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian ... 72

D. Variabel penelitian ... 73

E. Definisi Operasional ... 73

F. Instrument Penelitian ... 75

G. Validitas dan Reliabilitas ... 77

H. Uji Keamanan Alat ... 78

I. Cara Pengumpulan Data ... 82

J. Pengolahan dan Metode Analisa Data ... 89


(9)

viii

L. Alur Penelitian ... 95

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 97

1. Gambaran Umum Tempat Penelitian ... 97

2. Analisa Univariat ... 98

3. Analisa Bivariat ... 102

B. Pembahasan ... 120

C. Kelemahan Penelitian ... 141

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 142

B. Saran... 142

DAFTAR PUSTAKA ... 145 LAMPIRAN


(10)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 3. 1 Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 73 Tabel 3. 2 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kenyamanan

Pasien terhadap Penggunaan Kompres Dingin

Cold Pack ... 79 Tabel 3. 3 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas fungsi Kompres

Dingin Cold Pack ... 80 Tabel 3. 4 Hasil uji Validitas dan Reliabilitas Keamanan Alat

Kompres Dingin Cold Pack ... 81 Tabel 3.5 Penggunaan analisa bivariat Paired Test Dan Independen

t-Test ... 92 Tabel 4. 1 Karakteristik Responden Penelitian Berdasarkan Jenis

Kelamin, Umur, Pendidikan ,Pekerjaan, Riwayat

Operasi dan Letak Fraktur ... 99 Tabel 4. 2 Perbandingan Skala Nyeri Post Analgetik I Sebelum

dan Sesudah Pemberian Cold Pack ... 103 Tabel 4. 3 Perbandingan Skala Nyeri Post Analgetik II Sebelum

dan Sesudah Pemberian Cold Pack ... 105 Tabel 4. 4 Perbandingan Skala Nyeri Post Analgetik I Sebelum

dan Sesudah Pemberian Relaksasi Nafas Dalam ... 108 Tabel 4. 5 Perbandingan Skala Nyeri Post Analgetik II Sebelum

dan Sesudah Pemberian Relaksasi Nafas Dalam ... 110 Tabel 4. 6 Perbandingan Skala Nyeri Post Analgetik I Sebelum

Pemberian Kompres Cold Pack dan Relaksasi Nafas

Dalam ... 113 Tabel 4. 7 Perbandingan Skala Nyeri Post Analgetik II Setelah

Pemberian Kompres Cold Pack dan Relaksasi Nafas

Dalam ... 114 Tabel 4. 8 Perbandingan Skala Nyeri Post Analgetik I Sebelum

Pemberian Kompres Cold Pack dan Relaksasi Nafas

Dalam ... 116 Tabel 4.9 Perbandingan Skala Nyeri Post Analgetik II setelah

Pemberian Kompres Cold Pack dan Relaksasi Nafas


(11)

x

Tabel 4.10 Hasil Uji Paired T-Test Perbandingan Skala Nyeri Sebelum mendapat Cold Pack Post Analgetik I pada pengukuran ke-1 dengan Skala Nyeri Setelah mendapat Cold Pack Post Analgetik II pada

pengukuran ke-4 ... 118 Tabel 4.11 Hasil Uji Paired T-Test Perbandingan Skala Nyeri

Sebelum Mendapat Relaksasi Nafas Dalam Post Analgetik I Pada Pengukuran ke-1 Dengan Skala Nyeri Setelah Mendapat Relaksasi Nafas Dalam Post


(12)

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Mekanisme nyeri ... 23

Gambar 2.2 Visual Analog Scale ... 41

Gambar 2.3 Farmako kinetik ketorolak ... 43

Gambar 2.4 Kompres Cold Pack ... 61

Gambar 2.5 Kerangka Teori ... 62

Gambar 2.6 Kerangka Konsep Penelitian... 64

Gambar 3.1 Penggunaan Cold Pack ... 77

Gambar 3.2 Bagan Pelaksanaan Penelitian ...88

Gambar 3.3 Alur Penelitian ... 96

Gambar 4.1 Skala Nyeri Post analgetik I Sebelum dan Sesudah Pemberian Cold pack ... 104

Gambar 4.2 Skala Nyeri Post Analgetik II Sebelum dan Sesudah Pemberian Cold pack ... 107

Gambar 4.3 Skala Nyeri Post Analgetik I Sebelum dan Sesudah Pemberian Relaksasi Nafas Dalam ... 110

Gambar 4.4 Skala Nyeri Post Analgetik II Sebelum dan Sesudah Pemberian Relaksasi Nafas Dalam ... 112

Gambar 4.5 Perbandingan Skala Nyeri Sebelum Intervensi Post Analgetik I pada pengukuran ke-1 dengan Setelah mendapat intervensi Post Analgetik II pada Pengukuran ... 120


(13)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Permohonan Menjadi Responden

Lampiran 2 : Lembar Persetujuan Menjadi Responden Lampiran 3 : Penjelasan Penelitian

Lampiran 4 : Lembar Persetujuan Menjadi Responden Lampiran 5 : Kuisioner Penelitian

Lampiran 6 : Prosedur Pemberian Kompres Dingin Dengan Cold Pack Lampiran 7 : Skala Pengukuran Intensitas Nyeri Dengan Skala VAS Lampiran 8 : Pernyataan Kesediaan Menjadi Asisten Peneliti

Lampiran 9 : Tugas Asisten Peneliti

Lampiran 10 : Lembar Observasi Kelompok Intervensi Penelitian Lampiran 11 : Lembar Prosedur Relaksasi Nafas Dalam

Lampiran 12 : Ijin Penelitian Dan Keterangan Etik Penelitian Dari RSUP dr Soeradji Tirtonegoro Klaten

Lampiran 13 : Surat Keterangan Kelayakan Etik Penelitian dari UMY Lampiran 14 : Uji Statistic Pengolahan Data Penelitian


(14)

xiii

Inovasi Penggunaan Cold Pack Untuk Mengatasi Nyeri Pasca Open Reduction Internal Fixation (ORIF)

Agung Kristanto1,Fitri Arofiati2, Novita Kurnia Sari3 Program Studi Magister Keperawatan Program Paskasarjana

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta INTISARI

Latar Belakang : Nyeri merupakan masalah utama pasien pada pasien post operasi yang. Penatalaksanaannya dapat dilakukan secara farmakologis dan non farmakologis. Salah satu upaya tindakan non farmakologis adalah menggunakan cold pack yang merupakan inovasi kompres dingin..Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbandingan efektifitas kompres dingin cold pack dengan relaksasi nafas dalam dalam menurunkan nyeri pada pasien post ORIF pada ekstermitas atas dan bawah

Metode: Penelitian ini menggunakan rancangan quasi eksperimen pre-test-post-test with control group subyek penelitian ditentukan dengan teknik total sampling pada pasien post ORIF, yang dibagi menjadi 2 kelompok, perlakuan dan kontrol. Pada kelompok perlakuan diberikan intervensi cold pack dan pada kelompok kontrol di berikan intervensi relaksasi nafas dalam, masing-masing dilakukan 4 kali. Penggunaan uji statistik pada penelitian ini dengan uji independen t-test dan paired t-test. Hasil: Hasil uji paired t-test sebelum dilakukan intervensi relative sama. Setelah perlakuan 4 kali ada penurunan rasa nyeri dengan nilai (p<0,05). Perbedaan penurunan skala nyeri sebelum perlakuan yang ke-1 post analgetik I dan sesudah perlakuan yang ke-4 post analgetik II pada kelompok intervensi kompres dingin cold pack menurun 4,33 point, sedangkan pada kelompok kontrol relaksasi nafas dalam terjadi penurunan 2,13 point

Kesimpulan : Kompres dingin dengan cold pack dapat menurunkan rasa nyeri lebih lebih besar dibandingkan relaksasi nafas pada pasien pasca operasi ORIF dalam pada post analgetik I maupun post analgetik II Kata Kunci : Kompres dingin, cold pack, nyeri

1 Mahasiswa Magister Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 2 Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta


(15)

xiv

Innovations Cold Compresses To Reduce Pain Using Cold Pack.In Post Open Reduction Internal Fixation (ORIF)

Agung Kristanto1, Fitri Arofiati2, Novita Kurnia Sari3

Master Of Nursing Postgraduate Program Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

ABSTRACT

Background: Pain is the main problem of patients post operative. In the management of pain can use pharmacological and non pharmacological. Pain management of post operative non pharmacological the one is a innovations cold compresses to reduce pain using cold pack. Aim Of Research The purpose of this study to compare the effectiveness of cold compress cold pack with deep breathing relaxation to reducing pain in patients with post ORIF (Open Reduction Internal Fixation) at the upper and lower ekstermitas

Research Methods: This study design was Quasi-Experiments pre-Test Post-Test With Control Group studied were patients post ORIF in the third class ward dr Soeradji Tirtonegoro Klaten. Consisting of 15 patients in the intervention cold compress with cold pack and 15 patients the control group in the deep breathing relaxation.. The treatment was done 4 times. Pain was measured by VAS pain scale is done 2 times the first after analgesic 1, second after analgesic 2. Mean while, before and after treatment. The statistical test for analysis data used independent test t-test and paired t- test.

Result: The result of paired t-test before the intervention is relatively the same. After the treatment four times there is a decrease in pain with the value (p <0.05). Differences decrease pain scale before treatment 1st post analgesic I and after treatment 4th post analgesic II in the intervention group cold compress with cold pack decreased 4.33 points, while the control group relaxation breath in a decline of 2.13 points

Conclusion: Cold compresses with cold packs can reduce pain is greater than the deep relaxation in patients with postoperative ORIF in the post analgesic I and post analgesic II

Key Words: Cold Compress, Cold Pack, Pain

1 Student Master of Nursing Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 2 Lecture Universitas Muhammadiyah Yogyakarta


(16)

ii

LEMBAR PENGESAHAN

INOVASI PENGGUNAAN COLD PACK UNTUK MENGATASI NYERI PASCA OPEN REDUCTION INTERNAL FIXATION (ORIF)

Telah diujikan dan disetujui pada tanggal : 4 Januari 2017

Disusun Oleh : AGUNG KRISTANTO

NIM : 2014105007

Penguji :

Fitri Arofiati, S.Kep., Ns., MAN., Ph.D. (………..)

Novita Kurnia Sari, S.Kep., Ns., M.Kep. (..………)

Azizah Khoiriyati.,S.Kep.,Ns., M.Kep. (………..…)

Mengetahui

Ketua Program Magister Keperawatan Program Pascasarjana

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta


(17)

xiii

Inovasi Penggunaan Cold Pack Untuk Mengatasi Nyeri Pasca Open Reduction Internal Fixation (ORIF)

Agung Kristanto1,Fitri Arofiati2, Novita Kurnia Sari3 Program Studi Magister Keperawatan Program Paskasarjana

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta INTISARI

Latar Belakang : Nyeri merupakan masalah utama pasien pada pasien post operasi yang. Penatalaksanaannya dapat dilakukan secara farmakologis dan non farmakologis. Salah satu upaya tindakan non farmakologis adalah menggunakan cold pack yang merupakan inovasi kompres dingin..Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbandingan efektifitas kompres dingin cold pack dengan relaksasi nafas dalam dalam menurunkan nyeri pada pasien post ORIF pada ekstermitas atas dan bawah

Metode: Penelitian ini menggunakan rancangan quasi eksperimen pre-test-post-test with control group subyek penelitian ditentukan dengan teknik total sampling pada pasien post ORIF, yang dibagi menjadi 2 kelompok, perlakuan dan kontrol. Pada kelompok perlakuan diberikan intervensi cold pack dan pada kelompok kontrol di berikan intervensi relaksasi nafas dalam, masing-masing dilakukan 4 kali. Penggunaan uji statistik pada penelitian ini dengan uji independen t-test dan paired t-test. Hasil: Hasil uji paired t-test sebelum dilakukan intervensi relative sama. Setelah perlakuan 4 kali ada penurunan rasa nyeri dengan nilai (p<0,05). Perbedaan penurunan skala nyeri sebelum perlakuan yang ke-1 post analgetik I dan sesudah perlakuan yang ke-4 post analgetik II pada kelompok intervensi kompres dingin cold pack menurun 4,33 point, sedangkan pada kelompok kontrol relaksasi nafas dalam terjadi penurunan 2,13 point

Kesimpulan : Kompres dingin dengan cold pack dapat menurunkan rasa nyeri lebih lebih besar dibandingkan relaksasi nafas pada pasien pasca operasi ORIF dalam pada post analgetik I maupun post analgetik II Kata Kunci : Kompres dingin, cold pack, nyeri

1 Mahasiswa Magister Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 2 Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta


(18)

xiv

Innovations Cold Compresses To Reduce Pain Using Cold Pack.In Post Open Reduction Internal Fixation (ORIF)

Agung Kristanto1, Fitri Arofiati2, Novita Kurnia Sari3

Master Of Nursing Postgraduate Program Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

ABSTRACT

Background: Pain is the main problem of patients post operative. In the management of pain can use pharmacological and non pharmacological. Pain management of post operative non pharmacological the one is a innovations cold compresses to reduce pain using cold pack. Aim Of Research The purpose of this study to compare the effectiveness of cold compress cold pack with deep breathing relaxation to reducing pain in patients with post ORIF (Open Reduction Internal Fixation) at the upper and lower ekstermitas

Research Methods: This study design was Quasi-Experiments pre-Test Post-Test With Control Group studied were patients post ORIF in the third class ward dr Soeradji Tirtonegoro Klaten. Consisting of 15 patients in the intervention cold compress with cold pack and 15 patients the control group in the deep breathing relaxation.. The treatment was done 4 times. Pain was measured by VAS pain scale is done 2 times the first after analgesic 1, second after analgesic 2. Mean while, before and after treatment. The statistical test for analysis data used independent test t-test and paired t- test.

Result: The result of paired t-test before the intervention is relatively the same. After the treatment four times there is a decrease in pain with the value (p <0.05). Differences decrease pain scale before treatment 1st post analgesic I and after treatment 4th post analgesic II in the intervention group cold compress with cold pack decreased 4.33 points, while the control group relaxation breath in a decline of 2.13 points

Conclusion: Cold compresses with cold packs can reduce pain is greater than the deep relaxation in patients with postoperative ORIF in the post analgesic I and post analgesic II

Key Words: Cold Compress, Cold Pack, Pain

1 Student Master of Nursing Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 2 Lecture Universitas Muhammadiyah Yogyakarta


(19)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fraktur merupakan hilangnya kontinuitas tulang, baik yang bersifat total atau sebagian yang disebabkan oleh trauma fisik, kekuatan sudut, tenaga, keadaan tulang, dan jaringan lunak (Price, 2006). Trauma atau cedera memegang proporsi terbesar penyebab fraktur. Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat pada tahun 2011-2012 terdapat 1,3 juta orang menderita fraktur. Menurut data dari Depkes RI tahun 2011, dari sekian banyak kasus fraktur di Indonesia, fraktur pada ekstremitas bawah akibat kecelakaan memiliki prevalensi yang paling tinggi diantara fraktur lainnya yaitu sekitar 46,2%. Kasus fraktur ekstremitas bawah akibat kecelakaan 45.987 orang, yang mengalami fraktur pada tulang femur 19.629 orang, 14.027 orang mengalami fraktur cruris, 3.775 orang mengalami fraktur tibia, 970 orang mengalami fraktur pada tulang-tulang kecil di kaki dan 336 orang mengalami fraktur fibula. Angka kejadian fraktur ekstremitas di RS Soeradji Tirtonegoro pada tahun 2015 yang terbanyak adalah fraktur femur sebanyak 168 pasien dan


(20)

fraktur ekstremitas sebanyak 844 pasien (Data Rekam Medik RSST, 2015).

Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian fungsi serta kekuatan normal dengan rehabilitasi (Brunner, 2005). Penatalaksanaan fraktur dengan reduksi salah satunya adalah tindakan operatif yaitu dengan dilakukannya Open Reduction internal fixation (ORIF). Pasien dengan diagnose fraktur di RSUP dr Soeradji Tirtonegoro Klaten umumnya dilakukan tindakan pembedahan yaitu dilakukan ORIF ataupun Open Reduction External Fixation (OREF) tetapi ada juga yang dilakukan traksi terutama kasus fracture colum femur.

Fraktur dapat terjadi pada semua tingkat usia dan dapat menimbulkan perubahan yang signifikan pada kualitas hidup individu. Perubahan yang ditimbulkan diantaranya terbatasnya aktivitas, karena rasa nyeri akibat rusaknya saraf motorik dan sensorik pada luka fraktur atau luka syatan operasi. (Smeltzer, 2009)

Nyeri merupakan masalah utama pada pasien pasca operasi sekaligus merupakan pengalaman multidimensi yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan (Rizaldi, 2014). Mekanisme munculnya nyeri dimulai dengan adanya stimulus nyeri.


(21)

Stimulus-stimulus tersebut dapat berupa biologis, zat kimia, panas, listrik serta mekanik. Stimulus penghasil nyeri mengirimkan impuls melalui serabut saraf perifer, lalu memasuki medula spinalis dan menjalani salah satu dari beberapa rute saraf dan akhirnya sampai di dalam masa berwarna abu-abu di medula spinalis. Pesan nyeri dapat berinteraksi dengan sel-sel inhibitor, mencegah stimulus nyeri sehingga tidak mencapai otak atau ditransmisi tanpa hambatan ke korteks serebral, maka otak menginterpretasi kualitas nyeri dan mempersepsikan nyeri (Potter, 2005).

Mekanisme penurunan nyeri berdasarkan atas beberapa teori salah satunya yaitu tentang adanya endorfin. Endorfin merupakan zat penghilang rasa nyeri yang diproduksi oleh tubuh. Semakin tinggi kadar endorfin seseorang, semakin ringan rasa nyeri yang dirasakan. Produksi endorfin dapat ditingkatkan melalui stimulasi kulit. Stimulasi kulit meliputi massage, penekanan jari-jari dan pemberian kompres hangat atau dingin. (Smeltzer, 2004) Stimulasi kulit menyebabkan pelepasan endorfin, sehingga memblok transmisi stimulus sensori. Teori gate control mengatakan bahwa stimulasi kulit mengaktifkan transmisi serabut saraf sensori A-beta yang lebih besar dan lebih cepat. Proses ini menurunkan transmisi nyeri melalui serabut C dan delta-A berdiameter kecil sehingga gerbang sinaps


(22)

menutup transmisi impuls nyeri, sehingga nyeri berkurang (Potter, 2005).

Manajemen nyeri yang paling sering digunakan secara farmakologis yaitu dengan memberikan obat opioid, non opioid dan analgetik (Burst, 2011). Perkembangan ilmu kedokteran tentang managemen nyeri menggunakan terapi farmakologi dianggap lebih efektif dan efisien serta signifikan dalam mangatasi nyeri, dan realita di praktek klinik khususnya di rumah sakit kebijakan pimpinan rumah sakit dalam mengatasi nyeri lebih cenderung menggunakan terapi medis. Managemen nyeri dengan kompres dingin yang dilakukan oleh perawat dipandang kurang efektif dan efisien. Hal ini didukung adanya hasil wawancara dengan ±10-15 perawat di dua rumah sakit di ruang rawat bedah orthopaedi menyatakan bahwa kompres dingin tidak masuk dalam panduan penanganan nyeri karena Rumah sakit sudah menentukan bahwa penanganan nyeri menggunakan terapi obat yang sudah di formulasikan dalam bentuk protokol terapi untuk mengurangi nyeri sedang sampai berat (Buku Panduan Nyeri RSST, 2015), sehingga perawat tidak menggunakan tindakan mandiri sebagai penanganan nyeri, tetapi menggunakan tindakan kolaburatif dalam menururnkan nyeri pada pasien


(23)

Selain manajemen nyeri farmakologis saat ini juga dikembangkan manajemen nyeri non farmakologis, diantaranya berupa penggunaan teknik distraksi teknik relaksasi, hypnosis, Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS), pemijatan, tusuk jarum, aroma terapi, serta kompres hangat dan dingin (Pamela et.al, 2010). Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik relaksasi nafas dalam efektif dalam menurunkan intensitas nyeri pada pasien post operasi sectio caesarea di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado (Chandra, 2013). Kompres dingin adalah suatu metode dalam penggunaan suhu rendah setempat yang dapat menimbulkan beberapa efek fisiologis (Price, 2005).

Kompres dingin dalam praktek klinik keperawatan digunakan untuk mengurangi nyeri dan edema, karena akan mengurangi aliran darah ke suatu bagian sehingga dapat mengurangi perdarahan. Diperkirakan bahwa terapi dingin menimbulkan efek analgetik dengan memperlambat kecepatan hantaran saraf sehingga impuls nyeri yang mencapai otak lebih sedikit. Mekanisme lain yang mungkin bekerja adalah bahwa persepsi dingin menjadi dominan dan mengurangi persepsi nyeri.


(24)

Efektifitas kompres dingin dengan menggunakan metode yang bervariasi telah banyak diteliti dan diaplikasikan dalam setting pelayanan keperawatan. Beberapa penelitian yang mendukung diantaranya dilakukan oleh Lewis & Miller (2008) dan Block (2010) terkait efektifitas Cold Pack dalam megurangi nyeri pada kasus ortopaedi ringan, sedangkan pada kasus ortopaedi berat menggunakan perendaman air es. Namun demikian dari segi efisiensi penggunaan cold pack lebih dianjurkan. Penelitian lain yang mendukung telah dilakukan oleh Market & Summer (2011) dan Sheik et al.(2015) yang mebedakan efektifitas Cryoterapi ( kompres dingin) dengan penggunaan bebat, obat epidural dan narkotik. Kompres dingin ini juga tidak mengganggu pembuluh darah perifer dan tidak menyebabkan kerusakan jaringan kulit apabila perendaman dilakukan sesuai prosedur.

Efektifitas tehnik relaksasi nafas dalam menurunkan nyeri juga banyak diteliti diantaranya penelitian Chandra, (2013) menyatakan bahwa tehnik relaksasi nafas dalam dikombinasikan dengan Guided Imagery dapat menurunkan nyeri hebat pada pasien post Sectio Caesare menjadi nyeri sedang atau ringan. Penelitian lain dilakukan oleh Byung, (2015) menyatakan relaksasi nafas dalam


(25)

dikombinasikan dengan Proprioceptive Neuron Facilitation (PNF) dapat menurunkan nyeri pada pasien frozen shoulder

Pengalaman praktek klinik penulis saat di Negara Taiwan tehnik relaksasi nafas dalam sudah tidak diterapkan dalam praktek klinik keperawatan tetapi kompres dingin masih digunakan dalam mengatasi nyeri, karena merupakan tindakan mandiri perawat dalam mengatasi nyeri yaitu dengan mengunakan alat Cryoterapi. Cryoterapi adalah alat kompres dingin dengan air es yang dimasukkan ke dalam termos yang kemudian dialirkan melalui selang pada cuff yang bisa mengembang karena terisi air es dan dapat dipasang pada bagian organ tubuh yang dilakukan operasi. Air es yang digunakan suhunya sekitar 5- 10 °C dan diberikan setiap 15 menit sampai nyeri hilang dan pemakaian diberikan segera setelah dilakukan operasi atau satu jam setelah operasi karena setelah satu jam post operasi pasien mulai merasakan nyeri dikarenakan obat analgetik yang diberikan saat di kamar operasi mulai habis masa paruh obatnya.

Melihat paparan diatas kita bisa melihat bahwa kompres dingin dapat menurunkan nyeri salah satunya nyeri akibat fraktur pada tulang. Dengan berkurangnya nyeri maka pasien akan bisa segera melakukan mobilisasi dimana dengan semakin cepat pasien


(26)

mobilisasi maka akan mempercepat penyembuhan luka (Eldawati,2011). Realita saat ini di praktek klinik keperawatan di Indonesia perawat sudah meninggalkan tindakan kompres dingin. Perawat tidak lagi menggunakan kompres dingin dalam mengurangi rasa nyeri. Di era modern saat ini perawat lebih mengedepankan tindakan kolaboratif pemberian obat untuk menurunkan intensitas nyeri pada pasien. Panduan penanganan nyeri yang merupakan syarat akreditasi rumah sakit,, sudah tidak lagi mencantumkan kompres dingin sebagai penanganan nyeri pada pasien dengan nyeri ringan ataupun sedang, tetapi perawat lebih menggunakan tehnik relaksasi nafas dalam untuk mengatasi nyeri ringan. Pada nyeri sedang dan berat menggunakan terapi obat dalam menangani nyeri (Buku Panduan Nyeri RSST, 2015).

Efisiensi waktu menjadi alasan tidak digunakanya kompres dingin dalam penanganan nyeri. Hal ini dapat dilihat dari proses persiapan sampai dengan pelaksanaan pemberian kompres yang membutuhkan waktu yaitu mulai dari menyiapkan potongan es yang akan dimasukkan dalam kantong karet kemudian harus membungkus kantong dengan kain, dan menggantungkan kantong es diatas luka pasien atau meletakkan kompres diatas luka, menunggu pengompresan dan mengganti es yang sudah cair dengan es yang


(27)

baru. (Kusyati, 2014) Hal ini dirasa sangat menyita waktu dan tenaga dalam menyiapkan serta melakukan tindakan keperawatan kompres dingin. Selain faktor waktu, faktor kenyamanan juga mempengaruhi proses pemberian kompres dingin karena pasien menjadi basah oleh es batu yang mencair. Saat ini telah dikembangkan tehnik kompres dingin dengan menggunakan cold pack (dry ice).

Cold Pack adalah pengganti biang es (Dry Ice) atau es batu. Bentuknya berupa gel dalam kontener yang tidak mudah pecah atau bocor. Perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi di dunia kesehatan telah banyak digunakan cold pack sebagai media untuk melakukan kompres dingin maupun kompres hangat. (Metules, 2007). Cold pack mempunyai beberapa keunggulan dibanding dengan es batu. Jika es batu digunakan ia akan habis dan berubah menjadi gas karbon diosida, sehingga hanya dapat digunakan sekali saja. Cold Pack dapat digunakan berkali-kali dengan hanya mendinginkan kembali kedalam lemari pembuat es (Freezer). Cold Pack merupakan produk alternatif pengganti Dry Ice & Es Batu. Ketahanan beku bisa mencapai 8-12 jam tergantung box yang di gunakan, pemakaiannya dapat berulang-ulang selama kemasan tidak bocor (rusak). Berdasarkan fakta banyak kelebihan cold pack


(28)

dibandingkan dengan es batu sebagai bahan untuk kompres dingin, maka penulis berinovasi menggunakan cold pack sebagai alat untuk melakukan kompres dingin untuk mengurangi nyeri dengan memasukkan cold pack kedalam kantong berbahan kain sintetis tahan air dan menempatkan di sisi kanan dan kiri pada luka bekas operasi fraktur.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan diatas yaitu adanya fakta di Indonesia sudah mulai meninggalkan kompres dingin basah atau kering sebagai tindakan mandiri perawat dan mulai beralih pada penggunaan terapi farmakologi dan relaksasi nafas dalam untuk menurunkan derajad nyeri pada pasien pasca pembedahan fraktur ekstremitas, sedangkan kompres dingin dengan cold pack menurut penelitian yang dilakukan diluar negeri menyatakan efektif dan aman dalam menurunkan rasa nyeri dengan syarat suhu dan waktu pengompresan yang tepat. Kenyataan saat ini penulis melihat belum banyak adanya penelitian penggunaan cold pack dalam mengurangi nyeri dalam dunia keperawatan di Indonesia, maka penulis berminat akan mengadakan penelitian tentang pengaruh kompres dingin dengan cold pack dalam mengurangi nyeri pada pasien pasca


(29)

pembedahan fraktur pada ekstremitas atas ataupun bawah dibandingkan dengan penggunaan tehnik relaksasi nafas dalam. C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan penurunan skala nyeri kompres dingin dengan cold pack dibandingkan dengan penggunaan relaksasi nafas dalam pada pasien pasca ORIFTujuan Khusus

Tujuan khusus pada penelitian ini adalah :

a. Mengetahui karakteristik responden berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan, lokasi fraktur dan pekerjaan.

b. Mengetahui skala nyeri sebelum dilakukan kompres dingin cold pack pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol post analgetik I dan post analgetik II pada pasien post ORIF ekstremitas atas dan bawah.

c. Menganalisis penurunan skala nyeri sesudah dilakukan 4 kali intervensi kompres dingin cold pack dan relaksasi nafas dalam pada kelompok kontrol post analgetik I dan post analgetik II pada pasien post ORIF ekstremitas atas dan bawah


(30)

d. Menganalisis perbedaan skala nyeri sebelum dilakukan kompres dingin cold pack dibandingkan relaksasi nafas dalam pada pengukuran ke-1 post analgetik I dan setelah dilakukan kompres dingin cold pack dibandingkan relaksasi nafas dalam pada pengukuran ke-4 post analgetik II pada pasien post ORIF ekstremitas atas dan bawah.

D. Manfaat Penelitian : 1. Pelayanan Keperawatan

Penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan pemegang kebijakan serta perawat pelaksana dalam menentukan tindakan mandiri keperawatan untuk mengatasi nyeri non farmakologi pada pasien paska ORIF guna meningkatkan mutu pelayanan keperawatan.

2. Perkembangan Ilmu Keperawatan

Penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan bagi perkembangan ilmu keperawatan dalam upaya menciptakan inovasi di bidang keperawatan, sebagai salah satu bentuk pengembangan profesionalisme keperawatan.

3. Penelitian selanjutnya

Penelitian ini sebagai data dasar bagi peneliti selanjutnya, terkait topik yang serupa, dan membuka wawasan yang lebih


(31)

luas umumnya pada perawat dan khususnya pada perawat di ruang orthopedi, dalam meningkatkan kemandirian dalam melakukan intervensi keperawatan dalam mengatasi nyeri pada pasien post operasi fraktur ekstremitas.

E. Penelitian Terkait.

1. A randomized controlled trial comparing compression bandaging and cold therapy in postoperative total knee replacement surgery; Smith John et al .2002

Pada penelitian ini populasi 84 orang rata-rata usia 72 tahun, yang dilakukan kompres dingin berat badan rata-rata 72 kg, pada 21 laki-laki dan 23 wanita dan yang dilakukan pembebatan berat badan rata-rata 78 kg pada pada wanita 19 orang dan laki laki 21 orang. Group pembebatan dibebat selama 24 jam, dan yang dilakukan kompres dengan es dengan kantong diberi alas kain selama 15 menit 3 kali sehari selama 24 jam. Sedangkan goup kompres es yaitu pembebatan dilepas setelah 6 jam post operasi kemudian dikompres denga cyro therapi setiap 15 menit dengan suhu 2-5 derajat dan dilakukan selama 24 jam. Hasilnya adalah sesuai dengan penelitian yang dilakukan Web.et.al (1998) dan Marmer (1993) yang menyatakan bahwa kompres dingin lebih signifikan dari pada


(32)

pembebatan atau tekanan. Persamaan dengan penelitain yang akan dilakukan adalah tema penelitian meneliti penggunaan kompres dingin. Perbedaannya penelitian yang akan dilakukan tidak membandingkan penggunaan kompres dingin cold pack dengan perlakuan lain pada pasien post operasi fraktur ekstremitas.

2. Perineal Analgesia With an Ice Pack After Spontaneous Vaginal Birth: A Randomized Controlled Trial, Lucila Coca Leventhal L.C. et al. (2011).

Studi ini mengevaluasi nyeri pasca melahirkan dari dengan memberikan kompres dingin pada perineum. Dingin meredakan kejang otot dengan mengurangi aktivitas spindle otot dan kecepatan konduksi saraf perifer, meningkatkan ambang nyeri didapatkan penurunan dari 30% dari skor nyeri ketika rasa sakit diukur pada skala 1 sampai 10 secara klinis hasil signifikan. Dalam penelitian ini, penggunaan cryotherapy mengurangi intensitas nyeri lebih besar dari 50% di sebagian besar wanita di masa nifas (57,9%), dan lebih dari sepertiga dari perempuan (34,2%) menyatakan penurunan tingkat nyeri antara 30% dan 50%. Persamaan dengan penelitian ini adalah mengetahui efektifitas penggunaan kompres dingin.


(33)

Perbedaannya adalah pada penelitian ini meneliti tentang penggunaan Cryotherapi untuk menurunkan nyeri pasca persalinan, sedangkan penelitian yang akan dilakukan menggunakan cold pack dalam menurunkan nyeri pada pasien post operasi fraktur ekstremitas.

3. The Use of Cryotherapy After a Total Knee Replacement: A Literature Review. Markert, Summer E. (2011)

Ada data yang terbatas dan penelitian tentang efek cryotherapy pada operasi Total Knee Replacement. Sebelas studi, termasuk satu meta-analisis, telah ditinjau pada efek terapi pengaliran air dingin terus menerus telah di lakukan pada kasus kehilangan darah, nyeri, pembengkakan, dan rentang gerak lutut operasi versus kantong es atau penggunaan narkotika tradisional. Enam dari studi menunjukkan skor nyeri secara signifikan lebih rendah pada kelompok kompres dingin daripada di kelompok kontrol, termasuk analgesia epidural, Robert Jones perban, dan obat narkotika. Banyak studi mencatat tidak ada perbedaan dalam rentang gerak pada operasi Total Knee Replacement.(TKR). Meskipun penggunaan cryotherapy mungkin tidak menunjukkan statistik


(34)

yang spesifik, bagaimanapun memberikan manfaat bagi pasien yang menjalani penggantian lutut total.

Perbedaan penelitian ini adalah sebuah literature review sedangkan penelitian yang akan dilakukan adalah penelitaian dengan design quasi eksperimen. Persamaannya adalah sama dalam meneliti efektifitas kompres dingin.

4. Efektifitas Kompres Dingin Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri Pada Pasien Fraktur Di RSUD Ungaran Elia Purnamasari ,2014.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas kompres dingin terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien fraktur di RSUD Ungaran. Desain penelitian yang digunakan adalah quasy eksperiment dengan one group pre post test. Jumlah sampel yang digunakan sebanyak 21 responden tanpa kelompok kontrol. Berdasarkan hasil penelitian setelah pemberian kompres dingin didapatkan 19 responden (90,5%) mengalami nyeri ringan dan 2 responden (9,5%) mengatakan tidak nyeri. Hasil uji Wilcoxon diperoleh nilai p= 0,000 (p-value<0,05).


(35)

Hal ini menunjukkan adanya efektifitas kompres dingin terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien fraktur di RSUD Ungaran. Rekomendasi dari hasil penelitian adalah kompres dingin dapat dijadikan sebagai tindakan mandiri keperawatan non farmakologi untuk menurunkan intensitas nyeri. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah sama-sama meneliti efektifitas kompres dingin pada pasien post operasi fraktur menggunakan quasi eksperimen. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah dengan kompres dingin cold pack sedangkan pada penelitian ini tidak dijelaskan secara detail model kompres dingin yang dilakukan

5. Short Term Sensory and Cutaneous Vascular Responses to Cold Water Immersion in Patients with Distal Radius Fracture (DRF),Shaik, Macdermid, Birmingham and Grewal,2015.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dampak jangka pendek dari perendaman air dingin pada fungsi sensorik dan pembuluh darah pada pasien dengan Distal Radius Fraktur (DRF) dan membandingkan reaksi di tangan yang fraktur dengan tangan yang tidak fraktur. Metode penelitian tidak disebutkan secara jelas hanya dijelaskan bahwa


(36)

responden berjumlah 20 orang diberi perlakuan rendam air es selama 10 menit dibandingkan antara tangan fraktur dan yang tidak fraktur, kemudian diamati dengan alat Tissue Viabilitas Imager (TIVI) dan The Neurometer untuk mengevaluasi sensorik konduksi saraf pada 0 menit, 1 menit dan 10 menit. Hasil gambar penelitian menunjukkan tidak ada gangguan peredaran darah selama perendaman sehingga tidak mengaggu penyembuhan luka.

Perbedaan dengan penelitian ini adalah penelitian diatas menilai perendaman air es selama 10 menit tidak memperngaruhi penyebuhan luka sedangkan penelitian ini ingin mengetahui efektifitas kompres dingin dengan cold pack berpengaruh terhadap penurunan tingkat nyeri pasien. Persamaannya adalah responden adalah pasien fraktur ekstremitas dan menggunakan media kompres dingin.

6. Effects Of The Combined PNF And Deep Breathing Exercises On The ROM And The VAS Score Of Frozen Shoulder Patient : Single Case Study Byung-Ki Lee,2015.

Penelitian ini meneliti pengaruh kombinasi latihan Propioceptive Neuron Facilitation (PNF) dan relaksasi nafas dalam untuk mengurangi nyeri dan menambah kemampuan


(37)

gerak sendi bahu pada pasien yang mengalami frozen shoulder. Subyek penelitian ini adalah wanita usia 46 tahun ibu rumah tangga yang mengeluh kesulitan dalam melakukan pekerjaan rumah sehari-hari khususnya membersihkan, mencuci dan meraih benda di tempat yang tinggi dan didiagnosis Adhesive Capsulitis di rumah sakit J City di Korea. Penelitian ini dilakukan 4 tahap dan latihan dilakukan selama 3 minggu dalam 11 sesi. Hasil penelitian ROM pasien bisa meningkat dari hanya bisa menggerakkan 100 derajat menjadi gerakan mencapai 160 derajat dan untuk skala nyeri pasien sebelum dilakukan intervensi skala nyeri diukur dengan skala nyeri VAS 6 menjadi 2.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah topik penelitan ini adalah efektifitas kompres dingin dalam menurunkan nyeri pada pasien post ORIF sedangkan penelitian ini melakukan penelitian tentang latihan pada nyeri frozen shoulder selain itu pada penelitian ini mengkombinasi PNF dengan relaksasi nafas dalam sedangkan penelitian yang dilakukan saat ini membandingkan kompres dingin cold pack dengan relaksasi nafas dalam. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah sama-sama


(38)

mengukur derajad nyeri dengan skala nyeri VAS. Selain itu penelitian ini sama dalam memilih subyek pasien dengan kasus masalah dalam bidang orthopaedi.


(39)

21 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori 1. Konsep Fraktur

a. Pengertian Fraktur

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang baik karena trauma, tekanan maupun kelainan patologis. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Price, 2005). Sedangkan menurut Smeltzer (2005) fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang diabsorpsinya.

b. Penyebab Fraktur

Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan punter mendadak dan kontraksi otot yang ekstrim. Patah tulang mempengaruhi jaringan sekitarnya mengakibatkan oedema jaringan lunak, perdarahan keotot dan sendi, dislokasi sendi, ruptur


(40)

tendon, kerusakan saraf dan pembuluh darah. (Brunner & Suddarth,2005).

c. Jenis fraktur ekstremitas

Fraktur ekstremitas terdiri dari fraktur ekstremita sbawah dan atas adapun jenis jenisnya adalah sebagai berikuit:

1) Fraktur ekatremitas atas : a) Fraktur collum humerus b) Fraktur humerus

c) Fraktur suprakondiler humerus

d) Fraktur radius dan ulna (fraktur an tebrachi) e) Fraktur colles

f) Fraktur metacarpal

g) Fraktur phalang proksimal, medial, dan distal 2) Jenis fraktur ekstremitas bawah

a) Fraktur collum femur b) Fraktur femur

c) Fraktur supra kondiler femur d) Fraktur patella

e) Fraktur plateu tibia f) Fraktur cruris


(41)

g) Fraktur ankle h) Fraktur metatarsal

i) Fraktur phalang proksimal, medial dan distal d. Mekanisme Nyeri pada fraktur.

Nyeri pada fraktur adalah nyeri yang termasuk dalam nyeri nosiseptif. apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka system nosisseptif akan bergeser fungsinya, dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan yang rusak.

Gambar 2.1 Mekanisme Nyeri.

Pada kasus nyeri nosiseptif terdapat proses transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi. Transduksi merupakan konversi stimulus noksious termal, mekanik


(42)

(trauma pada fraktur) atau kimia menjadi aktivitas listrik pada akhiran serabut sensorik nosiseptif. Proses ini diperantarai oleh reseptor ion channel natrium yang spesifik. Konduksi merupakan perjalanan aksi potensial dari akhiran saraf perifer ke sepanjang akson menuju akhiran nosiseptor di system saraf pusat. Transmisi merupakan bentuk transfer sinaptik dari satu neuron ke neuron lainnya. Kerusakan jaringan yang diakibatkan trauma seperti robekan otot, putusnya kontinuitas tulang, akan memacu pelepasan zat-zat kimiawi (mediator inflamasi) yang menimbulkan reaksi inflamasi yang diteruskan sebagai sinyal ke otak. Sinyal nyeri dalam bentuk impuls listrik akan dihantarkan oleh serabut saraf nosiseptor tidak bermielin (serabut C dan delta) yang bersinaps dengan neuron di kornu dorsalis medulla spinalis. Sinyal kemudian diteruskan melalui traktus spinotalakmikus di otak, dimana nyeri pada fraktur dipersepsi, dilokalisis dan diinterpretasikan. Pinzon, (2014)


(43)

e. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan Fraktur dan Kegawat daruratannya Menurut Brunner & Suddarth (2005), pengkajian primer dan resusitasi sangat penting untuk mengontrol perdarahan yang diakibatkan oleh trauma muskuloskeletal. Perdarahan dari patah tulang panjang dapat menjadi penyebab terjadinya syok hipovolemik.

Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian fungsi serta kekuatan normal dengan rehabilitasi. Reduksi pada fraktur yaitu dilakukan bedah Open Reduction Internal Fixation (ORIF)

2. Konsep ORIF a. Definisi ORIF

adalah sebuah prosedur bedah medis, yang tindakannya mengacu pada operasi terbuka untuk mengatur tulang, seperti yang diperlukan untuk beberapa patah tulang, fiksasi internal mengacu pada fiksasi sekrup dan piring untuk mengaktifkan atau memfasilitasi penyembuhan (Brunner&Suddart, 2003).


(44)

b. Tindakan Pembedahan ORIF

Tindakan pembedahan pada ORIF dibagi menjadi 2 jenis metode yaitu meiputi :

1) Reduksi Terbuka

Insisi dilakukan pada tempat yang mengalami cedera dan diteruskan sepanjang bidang anatomi menuju tempat yang mengalami fraktur. Fraktur diperiksa dan diteliti. Fragmen yang telah mati dilakukan irigasi dari luka. Fraktur direposisi agar mendapatkan posisi yang normal kembali. Sesudah reduksi fragmen-fragmen tulang dipertahankan dengan alat ortopedik berupa: pin, skrup, plate, dan paku (Wim de Jong,m, 2000).

a) Keuntungan

Reduksi Akurat, stabilitas reduksi tertinggi, pemeriksaan struktur neurovaskuler, berkurangnya kebutuhan alat imobilisasi eksternal, penyatuan sendi yang berdekatan dengan tulang yang patah menjadi lebih cepat, rawat inap lebih singkat, dapat lebih cepat kembali ke pola ke kehidupan normal (Barbara, 1996)


(45)

b) Kerugian

Kemungkinan terjadi infeksi dan osteomielitis tinggi (Barbara, 1996).

2) Fiksasi Internal

Metode alternatif manajemen fraktur dengan fiksasi eksternal, biasanya pada ekstrimitas dan tidak untuk fraktur lama Post eksternal fiksasi, dianjurkan penggunaan gips. Setelah reduksi, dilakukan insisi perkutan untuk implantasi pen ke tulang. Lubang kecil dibuat dari pen metal melewati tulang dan dikuatkan pennya. Perawatan 1-2 kali sehari secara khusus, antara lain: Observasi letak pen dan area, observasi kemerahan, basah dan rembes, observasi status neurovaskuler. Fiksasi internal dilaksanakan dalam teknik aseptis yang sangat ketat dan pasien untuk beberapa saat mandapat antibiotik untuk pencegahan setelah pembedahan (Barbara, 1996).

3. Konsep Nyeri

a. Pengertian Nyeri

Nyeri merupakan pengalaman multidimensi yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan. (Pinzon,


(46)

2014). Kelompok studi nyeri Perdossi (2000) telah meneterjemahkan definisi nyeri yang dibuat IASP (International Association the study of pain) yang berbunyi “ nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik actual maupun potensial atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut.

b. Type Nyeri

Type nyeri yang digunakan secara luas adalah nosiseptif, inflamasi, neuropatik, dan fungsional. Saat ini mulai jelas mekanisme neurobiologi yang mendasari berbagai type nyeri tersebut. Type nyeri yang berbeda memiliki faktor etiologi yang berbeda pula. Saat ini pendekatan terapi nyeri telah bergeser dari pendekatan terapi yang bersifat empiric menjadi pendekatan terapi yang didasarkan pada mekanisme. (Pinzon, 2014)

Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan adanya bahaya kerusakan jaringan. Nyeri akan membantu individu untuk tetap hidup dan melakukan kegiatan fungsional. Pada kasus – kasus gangguan sensasi nyeri maka dapat terjadi kerusakan jaringan yang hebat. Nyeri pada umumnya dapat


(47)

dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu : nyeri adaptif dan nyeri maladaptive. Nyeri adaptif berperan serta proses bertahan hidup dengan melindungi organism dari cedera berkepanjangan dan membantu proses pemulihan. Sebaliknya nyeri maladaptive merupakan bentuk patologis dari system saraf. (Pinzon, 2014)

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri

Nyeri merupakan hal yang kompleks, banyak faktor yang mempengaruhi pengalaman seseorang terhadap nyeri. Seorang perawat harus mempertimbangkan faktor-faktor tersebut dalam menghadapi klien yang mengalami nyeri. Hal ini sangat penting dalam pengkajian nyeri yang akurat dan memilih terapi nyeri yang baik.

1) Usia

Menurut Potter & Perry (1993) usia adalah variabel penting yang mempengaruhi nyeri terutama pada anak dan orang dewasa. Perbedaan perkembangan yang ditemukan antara kedua kelompok umur ini dapat mempengaruhi bagaimana anak dan orang dewasa bereaksi terhadap nyeri. Anak-anak kesulitan untuk


(48)

memahami nyeri dan beranggapan kalau apa yang dilakukan perawat dapat menyebabkan nyeri.

Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi (Tamsuri, 2007).

2) Jenis kelamin

Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak mempunyai perbedaan secara signifikan mengenai respon mereka terhadap nyeri. Masih diragukan bahwa jenis kelamin merupakan faktor yang berdiri sendiri dalam ekspresi nyeri. Misalnya anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis dimana seorang wanita dapat menangis dalam waktu yang sama. Penelitian yang dilakukan Burn, dkk. (1989) dikutip dari Potter & Perry, 1993 mempelajari kebutuhan narkotik post operative pada wanita lebih banyak dibandingkan dengan pria.


(49)

Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri (Calvillo & Flaskerud, 1991).

4) Ansietas

Meskipun pada umumnya diyakini bahwa ansietas akan meningkatkan nyeri, mungkin tidak seluruhnya benar dalam semua keadaaan. Riset tidak memperlihatkan suatu hubungan yang konsisten antara ansietas dan nyeri juga tidak memperlihatkan bahwa pelatihan pengurangan stres praoperatif menurunkan nyeri saat pasca operatif. Namun, ansietas yang relevan atau berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri. Ansietas yang tidak berhubungan dengan nyeri dapat mendistraksi pasien dan secara aktual dapat menurunkan persepsi nyeri. Secara umum, cara yang efektif untuk menghilangkan nyeri adalah dengan mengarahkan pengobatan nyeri ketimbang ansietas (Smeltzer & Bare, 2002).


(50)

5) Pengalaman masa lalu dengan nyeri

Seringkali individu yang lebih berpengalaman dengan nyeri yang dialaminya, makin takut individu tersebut terhadap peristiwa menyakitkan yang akan diakibatkan. Individu ini mungkin akan lebih sedikit mentoleransi nyeri, akibatnya ia ingin nyerinya segera reda sebelum nyeri tersebut menjadi lebih parah. Reaksi ini hampir pasti terjadi jika individu tersebut mengetahui ketakutan dapat meningkatkan nyeri dan pengobatan yang tidak adekuat. (Smeltzer & Bare, 2002).

6) Keluarga dan Support Sosial

Faktor lain yang juga mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah kehadiran dari orang terdekat. Orang-orang yang sedang dalam keadaan nyeri sering bergantung pada keluarga untuk mensupport, membantu atau melindungi. Ketidakhadiran keluarga atau teman terdekat mungkin akan membuat nyeri semakin bertambah. Kehadiran orangtua merupakan hal khusus yang penting untuk anak-anak dalam menghadapi nyeri (Potter & Perry, 1993).


(51)

7) Pola koping

Ketika seseorang mengalami nyeri dan menjalani perawatan di rumah sakit adalah hal yang sangat tak tertahankan. Secara terus-menerus klien kehilangan kontrol dan tidak mampu untuk mengontrol lingkungan termasuk nyeri. Klien sering menemukan jalan untuk mengatasi efek nyeri baik fisik maupun psikologis. Penting untuk mengerti sumber koping individu selama nyeri. Sumber-sumber koping ini seperti berkomunikasi dengan keluarga, latihan dan bernyanyi dapat digunakan sebagai rencana untuk mensupport klien dan menurunkan nyeri klien. (Potter & Perry, 1993).

d. Klasifikasi Nyeri

Nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan durasi waktu, etiologi, dan intensitas. Klasifikasi nyeri seringkali diperlukan untuk menentukan pemberian terapi yang tepat 1) Berdasarkan Durasi ( Waktu terjadinya )

a) Nyeri Akut

Nyeri akut didefinisikan sebagai nyeri yang dirasakan seseorang selama beberapa detik sampai


(52)

dengan 6 (enam) bulan . Nyeri akut biasanya datang tiba-tiba umumnya berkaitan dengan cidera spesifik jika ada kerusakan maka berlangsung tidak lama dan tidak ada penyakit sistemik, nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan proses penyembuhan. Beberapa pustaka lain menyebutkan nyeri akut adalah bila kurang 12 minggu. Nyeri antara 6-12 minggu adalah nyeri sub akut. Nyeri diatas diatas 12 minggu adalah nyeri kronis. ( Pinzon,2014)

b) Nyeri Kronis

Nyeri kronis sering didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung selama 6 (enam) bulan atau lebih. Nyeri kronis bersifat konstan atau interminten yang menetap sepanjang satu periode waktu. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya.


(53)

2) Berdasarkan Etiologi ( Penyebab Timbulnya Nyeri) a) Nyeri Nosiseptik

Merupakan nyeri yang terjadi karena adanya rangsangan atau stimulus mekanis ke nosiseptor. Nosiseptor adalah syaraf eferen primer yang berfungsi untuk menerima dan menyalurkan rangsang nyeri. Ujung-ujung saraf bebas nosiseptor berfungsi sebagai saraf yang peka terhadap rangsangan mekanis, kimia, suhu, listrik yang menimbulkan nyeri. Nosiseptor terletak di jaringan sub cutis , otot rangka dan sendi.

b) Nyeri Neuropatik

Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang terjadi karena adanya lesi atau disfungsi primer pada system syaraf. Nyeri neuropatik biasanya berlangsung lama dan sulit untuk diterapi. Salah satu bentuk yang umum dijumpai di praktek klinik adalah nyeri pasca herpes dan nyeri neuropatik diabetika.


(54)

c) Nyeri Inflamtorik

Nyeri inflamatorik merupakan nyeri yang timbul akibat adanya proses inflamasi. Nyeri inflamatorik kadang dimasukkan dalam klasifikasi nyeri nosiseptif. Salah satu bentuk yang umum dijumpai di praktek klinik adalah osteoarthritis. d) Nyeri Campuran

Nyeri campuran merupakan nyeri yang etiologinya tidak jelas antara nosiseptif maupun neuropatik atau nyeri memang timbul akibat rangsangan pada nosiseptor maupun neuropatik. Salah satu bentuk yang sering dijumpai adalah nyeri punggung bawah ischialgia akibat HNP (Hernia Nukleus Pulposus)

3) Berdasarkan intensitasnya ( Berat Ringannya) a) Tidak Nyeri

Kondisi dimana seseorang tidak mengeluhkan adanya rasa nyeri atau disebut juga bahwa seseorang terbebas dari nyeri


(55)

b) Nyeri Ringan

Seseorang merasakan nyeri dalam intensitas rendah. Pada nyeri ringan seseorang masih bisa melakukan komunikasi dengan baik , masih bisa melakukan aktivitas seperti biasa dan tidak terganggu kegiatannya.

c) Nyeri Sedang

Rasa nyeri seseorang dalam intensitas yang lebih berat. Biasanya mulai menimbulkan respon nyeri sedang akan dimulai mengganggu aktivitas seseorang.

d) Nyeri Berat

Nyeri berat atau hebat merupakan nyeri yang dirasakan berat oleh pasien dan membuat pasien tidak mampu melakukan aktivitas seperti biasanya, bahkan akan terganggu secara psikologis dimana orang akan mudah marah dan tidak mampu untuk mengendalikan diri.

e. Fisiologi Nyeri

Bagaimana nyeri merambat dan dipersepsikan oleh individu masih belum sepenuhnya dimengerti. Akan tetapi


(56)

bisa tidaknya nyeri dirasakan dan hingga derajat mana nyeri tersebut mengganggu dipengaruhi oleh interaksi antara sisten algesia tubuh dan teransmisi system saraf secara interprestasi stimulus (potter & perry, 2009).

Nosisepsi, teori gate control dan pengalaman nyeri masuk dalam fisiologi nyeri. Prasetyo (2010) Adapun fisiologi nyeri adalah sebagai berikut:

1) Nosisepsi

Nosisepsi merupakan proses fisiologi terkait dengan nyeri, yang terdiri dari 4 fase, yaitu:

a) Transduksi

Terjadi pada tempat dimulainya nyeri. Respon nyeri (nosiseptor) di perifer di rangsang oleh kejadian mekanik, termal atau kimiawi. Rangsangan ini menimbulkan pelepasan substansi penghasil nyeri.

b) Transmisi

Transmisi dari implus berlanjut saat masuk kedalam kornu dorsalis dari medulla spinalis melalui serat-serat delta A yang besar dan bermielin tipis, serta serat-serat tipe C tanpa


(57)

meilin. Dari sini impuls dibawah melalui jalur antorelateral ketalamus dan kemudian ke korteks. Dikorteks inilah impuls diterima sebagai nyeri. Baik transduksi atau transmisi terjadi pada jalur aferen.

c) Modulasi

Terjadi pada otak ditingkat substansia griseria periaquaduktus dan medulla oblongata, selain dalam korrnu dorsalis dari medulla spinalis, saat opioid endogen (emfekalin) dilepaskan dalam jalur posteolateral, yaitu sebuah jalur aferen.

d) Presepsi

Pada fase ini, individu mulai menyadari adanya nyeri.

2) Teori gate control

Teori gate control yang dikemukakan oleh Malzack dan Well (1965). Dalam teorinya, Malzeck dan Well menjelaskan bahwa substansi glatinosa pada medulla spinalis bekerja layaknya pintu gerbang yang memungkinkan atau menghalangi masukan impuls nyeri menuju otak. Pada mekanisme nyeri, stimulus


(58)

nyeri ditransmisikan melalui serabut saraf berdiameter kecil melewati gerbang. Akan tetapi serabut saraf yang berdiameter besar yang juga melewati gerbang tersebut dapat menghambat transmisi impuls nyeri dengan cara menutup gerbang itu. Impuls yang berkonduksi pada serabut berdiameter besar bukan sekedar menutup gerbang, tetapi juga merambat langsung ke korteks agar dapat diidentifikasi dengan cepat.

Dalam uji coba yang dilakukan Melzeck dan Well pada delapan orang.

Melzeck dan Well memakai listrik guna merangsang saraf spinalis perifer sehinga menimbulkan rasa nyeri yang seperti terbakar. Kemudian dengan kekuatan listrik yang relative kecil, ia merangsang serabut yang lebih tebal sehingga nyeri tersebut menghilang. Dengan kata lain, uji coba ini membuktikan kebenaran teori gate control. Jika ada suatu zat yang dapat mempengaruhi substansi gelatinosa didalan gate control, zat tersebut dapat


(59)

dipergunakan dalam pengobatan nyeri (potter perry, 2009)

f. Pengukuran Skala Nyeri

Skala analogi visual sangat berguna dalam mengkaji intensitas nyeri . skal tersebut adalah berbentuk garis horizontal sepanjang 10 cm, dan ujungnya mengidentifikasi nyeri yang berat. Pasien diminta untuk menunjuk titik paa garis yang menunjukkna letak nyeri terjadi disepanjang rentang tersebut. Ujung kiri biasanya menandakan tidak ada atau tidak nyeri sedangkan pada ujung kanan menandakan berat atau nyeri yang paling buruk.. metode penilaianyan menggunakan sebuah penggaris diletakkan sepanjang garis dan jarak yang dibuat pasien pada garis dari tidak ada nyeri diukur dan ditulis dalam sentimeter ( Bruner & Suddart, 2002)

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Tidak

nyeri

Nyeri Ringan

Nyeri sedang

Nyeri Berat

Sangat Nyeri Gambar 2.2: Visual Analog Scale ( Bruner & Suddart


(60)

Skala wajah Wong-Baker FACES adalah alternative lain dalam pengukuran skala nyeri. Skala ini ditujukan kepada klien yang tidak mampu menyatakan intensitas nyerinya melalui skala angka. Ini termasuk anak-anak yang tidak mampu berkomunikasi secara verbal dan lansia yang mengalami gangguan kognisi dan komunikasi (Mubarak, 2008)

g. Penatalaksanaan Nyeri farmakologi

Penatalaksanaan nyeri secara farmakologi melibatkan penggunaan opiat (narkotik), nonopiat / obat AINS (anti inflamasi nonsteroid), obat-obat adjuvans atau koanalgesik.

1) Analgesik opiat mencakup derivat opium, seperti morfin dan kodein. Narkotik meredakan nyeri dan memberikan perasaan euforia. Semua opiat menimbulkan sedikit rasa kantuk pada awalnya ketika pertama kali diberikan, tetapi dengan pemberian yang teratur, efek samping ini cenderung menurun. Opiat juga menimbulkan mual, muntah, konstipasi, dan depresi pernapasan serta harus digunakan secara


(61)

hati-hati pada klien yang mengalami gangguan pernapasan (Berman, et al. 2009).

2) Nonopiat (analgesik non-narkotik) termasuk obat : a) AINS seperti aspirin dan ibuprofen. Nonopiat

mengurangi nyeri dengan cara bekerja di ujung saraf perifer pada daerah luka dan menurunkan tingkat mediator inflamasi yang dihasilkan di daerah luka. (Berman, et al. 2009).

b) Obat injeksi Ketorolak pada pemberian IM ( Intra Muskuler) onset obat dalam 10 menit merupakan titik awal kerja obat dan mencapai puncak analgesia pada 2-3 jam dan obat akan mulai menurun kerja obatnya setelah 5-6 jam (Rahmatsyah ,2008 )

Gambar 2.3 : Farmakokinetik Ketorolak

0 50 100 150 200

kerja obat

kerja obat


(62)

3) Analgesik adjuvans adalah obat yang dikembangkan untuk tujuan selain penghilang nyeri tetapi obat ini dapat mengurangi nyeri kronis tipe tertentu selain melakukan kerja primernya. Sedatif ringan atau obat penenang, sebagai contoh, dapat membantu mengurangi spasme otot yang menyakitkan, kecemasan, stres, dan ketegangan sehingga klien dapat tidur nyenyak. Antidepresan digunakan untuk mengatasi depresi dan gangguan alam perasaan yang mendasarinya, tetapi dapat juga menguatkan strategi nyeri lainnya (Berman, et al. 2009).

h. Penatalaksanaan terapi Nyeri Non Farmakologis 1) Teknik Distraksi

Teknik distraksi adalah cara atau pola untuk mengalihkan perhatian klien ke hal yang lain sehingga dapat menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri. Teknik distraksi dapat mengatasi nyeri berdasarkan teori aktivasi retikuler, yaitu menghambat stimulus nyeri ketika seseorang menerima masukan sensori yang cukup atau berlebih, sehingga menghambat impuls


(63)

nyeri ke otak, sekingga nyeri berkurang atau tidak dirasakan oleh klien (Potter & perry, 2009).

2) Teknik Relaksasi Nafas Dalam a) Konsep Relaksasi Nafas Dalam

Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan, selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi nafas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah (Smeltzer & Bare, 2002).

Menurut Kneale (2011), relaksasi adalah memutuskan hubungan antara nyeri, tegang otot, rangsang otonom yang berlebih, dan ansietas. Tehnik relaksasi sederhana dapat berlangsung singkat dan mudah diterapkan, seperti menarik napas dalam. Relaksasi otot yang progresif lebih rumit karena metode ini secara sistematis berfokus


(64)

pada sekelompok otot tubuh, membuat pasien harus menegangkan dan merelaksasikan setiap kelompok otot. Menurut Brunner dan Suddart (2002), relaksasi nafas adalah pernapasan abdomen dengan frekuensi lambat atau perlahan, berirama, dan nyaman yang dilakukan dengan memejamkan mata

b) Tujuan

Smeltzer & Bare, 2002 menyatakan bahwa tujuan teknik relaksasi nafas dalam adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasis paru, meningkatkan efisiensi batuk, mengurangi setres baik setres fisik maupun emosional yaitu menurunkan intensitas nyeridan menurunkan kecemasaan yang dilakukan dengan memejamkan mata.

c) Patofisiologi teknik relaksasi nafas dalam terhadap nyeri

Teknik relaksasi nafas dalam dapat mengendalikan nyeri dengan meminimalkan


(65)

aktifitas simpatik dalam sistem saraf otonom. meningkatkan aktifitas komponen saraf parasimpatik vegetatif secara simultan. Teknik tersebut dapat mengurangi sensasi nyeri dan mengontrol intensitas reaksi pasien terrhadap rasa nyeri. Hormon adrenalin dan kortisol yang menyebabkan stres akan menurun, pasien dapat meningkatkan konsentrasi dan merasa tenang sehingga memudahkan pasien untuk mengatur pernafasan sampai frekuensi pernafasan kurang dari 60-70x/menit. Kadar PaCO2 akan meningkat

dan menurunkan PH sehingga akan meningkatkan kadar oksigen dalam darah ( Handerson,2005). d) Manfaat teknik relaksasi nafas dalam

Melakukan relaksasi dapat memberikan keuntungan secara emosional dan psikologis ketika stress terjadi.

(1) Keuntungan emosional

Mengurangi ketegangan dan ketakutan pasien pada sat


(1)

pack dan 15 orang lainnya menjadi responden kelompok kontrol yang diberikan relaksasi nafas dalam sesuai panduan penanganan nyeri di RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten.

Responden kelompok kompres dengan cold pack yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak yaitu 11 orang (73,3%) dibandingkan jenis kelamin laki-laki 4 orang (26,7%), sedangkan pada kelompok kontrol responden antara jenis kelamin laki-laki dengan perempuan mempunyai jumlah yang hampir sama hanya selisih satu yaitu perempuan 7 orang (53,3%) dan laki-laki 8 orang (53,5%). Berdasarkan umur, kedua kelompok kebanyakan berumur lebih dari 50 tahun, sedangkan berdasarkan pendidikan kebanyakan berpendidikan tingkat SD/SMP atau berpendidikan rendah. Mereka umumnya bekerja sebagai buruh. Berdasarkan letak fraktur kedua kelompok kebanyakan mengalami ekstremitas atas.

Perbandingan Skala Nyeri Sebelum dan

Sesudah Intervensi Pos Analgetik I

Hasil perbandingan rasa nyeri sebelum dan sesudah pemberian cold pack dan Relaksasi Nafas Dalam postanalgetik I digambarkan sebagai berikut.

Gambar 1. Skala Nyeri Post Analgetik I Sebelum dan Sesudah Intervensi

Sebelum mendapat perlakuan, rasa nyeri kelompok cold pack maupun relaksasi nafas dalam relatif sama. Setelah mendapat perlakukan kompres cold pack, pasien mengalami penurunan rasa nyeri sebesar 1,46 poinpada pengukuran pertama analgetik I. Pada pengukuran kedua, rasa nyeri mengalami penurunan sebesar 1,73 poin. Pada pengukuran ketiga mengalami penurunan rasa nyeri sebesar 2,20 poin. Pada pengukuran keempat, mengalami penurunan rasa nyeri sebesar 2,13 poin.

Pada kelompok relaksasi nafas dalam, rata-rata skala nyeri pasien mengalami penurunan rasa nyeri sebesar 0,53 poinpada pengukuran pertama analgetik I. Pada pengukuran kedua, rasa nyeri mengalami penurunan sebesar 0,60 poin. Pada pengukuran ketiga, rasa nyeri mengalami penurunan rasa nyeri sebesar 0,67 poin. Pada pengukuran

0 1 2 3 4 5 6

Pre P1 P2 P3 P4

Pre P1 P2 P3 P4

Kompres Cold Pack 5.33 3.87 3.2 2.27 2.07 Relaksasi Nafas

Dalam 5.4 4.87 4.73 4.47 4.13

Post Analgetik I

Sk

a

la

Nye


(2)

keempat, rasa nyeri mengalami penurunan rasa nyeri sebesar 0,83 poin.

Perbandingan skala nyeri pemberian cold pack dengan relaksasi nafas dalam baik post analgetik I maupun postanalgetik II diuji dengan uji independent t-test. Sebelum diintervensi tidak ada perbedaan rasa nyeri pada kedua kelompok. Hal tersebut berarti kedua kelompok mempunyai rasa nyeri yang sama sebelum diintervensi. Setelah mendapat intervensi terdapat selisih dari pengukuran 1-4 dan bermakna secara statistik (p<0,05). Skor rata-rata skala nyeri pasien yang diberi intervensi dengan kompres cold pack lebih rendah dibanding skor rata-rata skala nyeri pasien yang diberi intervensi dengan relaksasi nafas dalam. Hal tersebut menunjukkan bahwa cold pack lebih efektif menurunkan rasa nyeri post analgetik I

dibandingkan relaksasi nafas dalam.

Perbandingan Skala Nyeri Sebelum dan

Sesudah Intervensi Post Analgetik II

Perlakuan Kompers Cold Pack dan Nafas dalam juga dilakukan setelah pasien di bangsal dan setelah diberi obat analgetik II. Sebelum mendapatkan perlakuan analgetik II, rata-rata nyeri kedua kelompok relatif sama. Pada pengukuran pertama analgetik II, rata-rata rasa nyeri mengalami penurunan sebesar 1,40 poin setelah mendapat kompres cold pack. Pada pengukuran kedua,rasa nyeri menurun menjadi 1,87 poin setelah pemberian

cold pack atau mengalami penurunan rasa nyeri sebesar 1,60 poin. Pada pengukuran ketiga, rasa nyeri menurun sebesar 1,93 poin. Pada pengukuran keempat rasa nyeri menurun sebesar 1,93 poin.

Rata-rata skala nyeri pasien mengalami penurunan rasa nyeri sebesar 0,60 poin setelah mendapat perlakukan relaksasi nafas dalam post analgetik II. Pada pengukuran kedua, rata-rata skala nyeri pasien mengalami penurunan rasa nyeri sebesar 0,60 poin. Pada pengukuran ketiga, rata-rata skala nyeri pasien mengalami penurunan rasa nyeri sebesar 0,80 poin. Pada pengukuran keempat, rata-rata skala nyeri pasien mengalami penurunan rasa nyeri sebesar 1,00 poin setelah dilakukan relaksasi nafas dalam.

Hasil perbandingan rasa nyeri sebelum dan sesudah pemberian cold pack dan relaksasi nafas dalam posta nalgetik II digambarkan sebagai berikut.

Gambar 2. Skala Nyeri Post Analgetik II Sebelum dan Sesudah Intervensi

0 1 2 3 4 5 6

Pre P1 P2 P3 P4

Pre P1 P2 P3 P4

Kompres Cold

Pack 4.07 2.67 1.87 1.2 1

Relaksasi Nafas

Dalam 4.6 4 3.73 3.4 3.27

Post Analgetik II

Sk

a

la

Nye


(3)

Sebelum diintervensi tidak ada perbedaan rasa nyeri pada kedua kelompok. Setelah mendapat intervensi terdapat selisih dari pengukuran 1-4 dan bermakna secara statistik (p<0,05). Skor rata-rata skala nyeri pasien yang diberi intervensi dengan kompres cold pack lebih rendah dibanding skor rata-rata skala nyeri pasien yang diberi intervensi dengan relaksasi nafas dalam. Hal tersebut menunjukkan bahwa cold pack lebih efektif menurunkan rasa nyeri postanalgetik I dibandingkan relaksasi nafas dalam.

Pembahasan

Hasil uji independen t-test menunjukkan perbedaan yang kecil rasa nyeri post analgetik I antara kelompok cold pack (5,33 poin) dengan relaksasi nafas dalam (5,4 poin) sebelum dilakukan kompres dingin cold pack dan relaksasi nafas dalam. Hal tersebut berati sebelum mendapat intervensi baik dengan cold pack maupun relaksasi nafas dalam, kondisi nyeri pasien hampir sama.Setelah diintervensi, terdapat selisih dari pengukuran 1 – 4 yang bermakna secara statistik (p<0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa cold pack lebih efektif menurunkan rasa nyeri postanalgetik. Hasil penelitian ini sesuai sebelumnya menyatakan bahwa kompres dingin efektif dalam menurunkan nyeri pasca operasi pada fraktur ataupun masalah dalam musculoskeletal5,9,10,11.

Penelitian terkait yang menggunakan media es yang mirip dengan penelitain ini menyatakan

bahwa perendaman air dingin lebih efektif dibandingkan ice pack dan pemijatan dengan es12. Penelitian lain juga menyatakan perendaman air es efektif dalam menurunkan nyeri pada kasus fraktur radius ulna dan perendaman ini dilakukan dalam suhu 10°C selama 15 menit tidak mengganggu dalam peredaran darah pasien7.

Hasil pengukuran skala nyeri dengan VAS menunjukkan skala nyeri pada pemberian kompres dingin dan tehnik relaksasi nafas dalam ada penurunan angka skala nyeri antara pengukuran setelah pembedahan dan analgetik I dan pengukuran setelah diberikan analgetik II. Hal ini dapat dijelaskan karena nyeri pembedahan sedikitnya mengalami dua perubahan, pertama akibat pembedahan itu sendiri yang menyebabkan rangsangan nosiseptif dan yang kedua setelah proses pembedahan terjadi respon inflamasi pada daerah sekitar operasi, dimana terjadi pelepasan zat-zat kimia (prostaglandin, histamin, serotonin, bradikinin, substansi P dan lekotrein) oleh jaringan yang rusak dan sel-sel inflamasi. Zat-zat kimia yang dilepaskan inilah yang berperan pada proses transduksi dari nyeri pada pasca pembedahan13. Berjalannya waktu maka proses inflamasi akan berkurang dan akan menurunkan intensitas nyeri pada paisen post operasi pembedahan pada umumnya termasuk ORIF.


(4)

Hasil pengukuran skala nyeri pada pasien post operasi fraktur ekstermitas didapatkan hasil dimana pada pengukuran pertama dan pengukuran yang ke 4 mempunyai pola semakin menurun skala nyerinya baik pada pasien kelompok intervensi dengan kompres dingin cold pack maupun pada kelompok kontrol dengan relaksasi nafas dalam. Skala nyeri pada post analgetik I mempunyai nilai yg lebih tinggi dibanding dengan nilai skala nyeri pada pasien post analgetik II. Hal ini disebabkan adanya proses penyembuhan luka pada tahap inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat perbaikan kerusakan jaringan. Sensitifitas akan meningkat, sehingga stimulus non noksius atau noksius ringan yang mengenai bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri. Nyeri inflamasi akan menurunkan derajat kerusakan dan menghilangkan respon inflamasi dan nyeri akan menurun intensitasnya seiring berjalanya waktu1. Adanya proses inflamasi yang akan semakin berkurang dan intensitas nyeri juga akan berkurang menyebabkan hasil pengukuran skala nyeri pada 3 sampai 4 jam pasca operasi akan lebih tinggii pada skala nyeri 7-8 jam setelah tindakan operasi.

Kompres dingin dengan cold pack memberikan efek yang lebih baik dari tehnik relaksasi nafas. Penurunan skala nyeri pada pemberian kompres dingin dengan cold pack mempunyai penurunan skala nyeri secara spesifik

tiap pengompresan sekitar 2 point dan dapat dibuktikan dengan melihat keseluruhan proses pengompresan dengan cold pack dari pengompresan yang ke 1 sampai pengompresan yang ke 4 terjadi penurunan 3 point baik pada post analgetik I maupun pada post analgetik II. Sedangkan pada pemberian relaksasi nafas dalam secara spesifik tiap perlakuan menurunkan 1 point dan secara keseluruhan pemberian relaksasi nafas dalam dari perlakuan yang ke 1 sampai ke 4 juga menunjukkan penurunan yang tidak begitu besar yaitu 1 point baik post analgetik I dan post analgetik II.

Prinsip yang mendasari penurunan nyeri oleh teknik relaksasi terletak pada fisiologi sistem syaraf otonom yang merupakan bagian dari sistem syaraf perifer yang mempertahankan homeostatis lingkungan internal individu. Pada saat terjadi pelepasan mediator kimia seperti bradikinin, prostaglandin dan substansi P, akan merangsang syaraf simpatis sehingga menyebabkan vasokostriksi yang akhirnya meningkatkan tonus otot yang menimbulkan berbagai efek seperti spasme otot yang akhirnya menekan pembuluh darah, mengurangi aliran darah dan meningkatkan kecepatan metabolisme otot yang menimbulkan pengiriman impuls nyeri dari medulla spinalis ke otak dan dipersepsikan sebagai nyeri.14.

Pada saat relaksasi nafas dalam tersebut menghambat adanya pelepasan mediator kimia


(5)

tersebut diatas sehingga vasokonstriksi dihambat, spasme otot berkurang, penekanan pembuluh darah berkurang sehingga nyeri berkurang. Kompres dingin menstimulasi permukaan kulit untuk mengontrol nyeri, terapi kompres dingin yang diberikan akan mempengaruhi impuls yang dibawa oleh serabut taktil A-beta untuk lebih mendominasi sehingga gerbang akan menutup dan impuls nyeri terhalangi sehingga nyeri yang dirasakan akan berkurang atau hilang untuk sementara14.

Perbandingan proses mekanisme hambatan nyeri pada tehnik relaksasi dan kompres dingin dapat dilihat bahwa pada kompres dingin mempunyai alur yang lebih singkat dibanding relaksasi nafas dalam karena pada kompres dingin pencapaian pada sasaran pengatur nyeri atau pada “gerbang control“ pada teori nyeri lebih singkat dan lebih cepat sedangkan tehnik relaksasi nafas dalam mengurangi nyeri memerlukan proses metabolisme hormone yang memerlukan konsentarsi dan kesungguhan pada pasien dalam melakukan relaksasi nafas dalam untuk dapat menurunkan nyeri.

Kesimpulan

1. Sebelum dilakukan perlakuan kompres dingin cold Pack pada kelompok intervensi dan relaksasi nafas dalam pada kelompok kontrol, nyeri yang dirasakan responden relative sama yaitu pada skala nyeri 4-5.

2. Setelah dilakukan 4 kali perlakuan kompres dingin cold Pack pada kelompok intervensi terjadi penurunan skala nyeri rata-rata 2 point pada tiap perlakuan dan terjadi penurunan skala nyeri rata-rata 1 point pada tiap perlakuan pada kelompok kontrol relaksasi nafas dalam post analgetik I dan post analgetik II.

3. Penurunan skala nyeri setelah perlakuan pertama hingga ke empat pada kelompok intervensi kompres dingin cold pack sebesar 3 point, sedangkan pada kelompok kontrol relaksasi nafas dalam hanya mengalami penurunan 1 point,sehingga kompres dingin cold pack lebih efektif menurunkan nyeri dibandingkan relaksasi nafas dalam baik pada post analgetik 1 maupun post analgetik II.

Saran

1. Kepada RSUP dr Soeradji Tirtonegoro Klaten : a. Kompres dingin cold pack dapat dijadikan

alternatif untuk penatalaksanaan nyeri non farmakologi di Rumah Sakit.

b. Meninjau kembali panduan dan kebijakan penatalaksanaan nyeri post operasi yang ada di rumah sakit dan menambah cold pack sebagai alternatif untuk mengurangi rasa nyeri post operasi fraktur.

2. Bagi peneliti selanjutnya.

a. Peneliti lain diharapkan dapat mengembangkan penelitian ini dengan


(6)

meneliti efektifitas penggunaan cold pack untuk menurunkan intensitas nyeri pada post operasi selain fraktur.

b. Peneliti lain diharapkan dapat mengembangkan penelitian ini dengan meneliti efisiensi penggunaan cold pack dipandang dari sudut ekonomis dan efisiensi waktu perawat dalam menggunakan kompres dingin cold pack. 3. Bagi Institusi Pendidikan :

Institusi pendidikan dapat mensosialisasikan kompres dingin cold pack sebagai alternative penggunaan terapi non farmakologis dalam mengatasi nyeri di praktek klinik atau di rumah sakit.

Daftar Pustaka

1. Rizaldiy Pinzon (2014) Esesmen Nyeri Yogyakarta Betha Grafika

2. L. Tarau & M.Burst .(2011) Nyeri Kronis Jakarta EGC

3. Pamela,et al. (2010) Acut Pain Management : Scientific Evidence Thirt Edition Australian And New Zealand College Of Anaesthethists And Faculty Of Pain Medicine. Australia 4. Krista Lewis & Kevin Miller,(2008)Ice Bag

Application Induced Numbness in Uninjured Ankles with Less Discomfort than Cold Water ImmersionAn Honors Thesis (HONRS 499) Ball State University Muncie, Indiana

5. Jon E Block.(2010). Cold and compression in the management of musculoskeletal injuries and orthopedic operative procedures: a narrative reviewOpen Access Journal of Sports Medicine 6. Shaik, Macdermid, Birmingham & Grewal

(2015) Short Term Sensory and cutaneous Vascular Responses to Cold Water Immersion in Patients with Distal Radius Fracture (DRF)SM J Orthop. 2015;1(1):1003.

7.

Tim Nyeri RSST (2015)

Buku Panduan

Penatalaksanaan Nyeri Di Ruamh Sakit

Dr Soeradji

Tirtonegoro

Klaten.

,

Indonesia

8. Lane, Elaine;Latham, Tracy (2009). Managing Pain Using Heat And Cold Therapy Paediatric Nursing;Jul 2009; 21, 6; Proquest Nursing & Allied Health Source Pg. 142

9. Devi Mediarti, Rosnani & Sosya, (2015) Pengaruh Pemeberian Kompres Dingin Terhadap Nyeri Pada Pasien Fraktur Ekstremitas Tertutup Di IGD RSMH Palembang Tahun 2012, Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan Volume 2 No 3 Oktober 2015 : 253-260

10. Andi Nurchairiah1.(2013). Efektifitas Kompres Dingin Terhadap Intensitas Nyeri Pada Pasien Fraktur Tertutup Di Ruang Dahlia RSUD Arifin Achmad Universitas Riau

11. Manuela, Angela,Philipp,& Reto (2014) Effective Treatment of Posttraumatic and Postoperative Edema in Patients with Ankle and Hindfoot Fractures,A Randomized Controlled Trial Comparing Multilayer Compression Therapy and Intermittent Impulse Compression with the Standard Treatment with Ice,The Journal Of Bone And Joint Surgery, Incorporated2014;96:1263-71

12. Esperanza, Maria, Sandoval, Diana & Tania, (2010) Motor And Sensory Nerve Conduction Are Effected Differently By Ice Pack, Ice Massage And Cold Water Immersion Research Report Physical Therapy Journal Vol. 90 Number 4 13. Brunner & Suddarth (2002). Buku Ajar Medical

Bedah Edisi 8 Jakarta EGC

14. Priharjo, R. (2003). Perawatan nyeri. Jakarta. EGC.


Dokumen yang terkait

Upaya Penurunan Nyeri Pasien Post Open Reduction Internal Fixation Fraktur Ankle Dextra.

0 4 29

Upaya Penggunaan Teknik Nafas Dalam Untuk Penurunan Nyeri Pada Pasien Post Open Reduction Internal Fixation (Orif) Subtrochanter Femur Sinistra.

0 3 26

PENDAHULUAN Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Post Open Reduction And Internal Fixation (Orif) Intercondylar Femur Dextra Comminutive Type Displaced Di Rsud Dr. Moewardi.

0 3 6

PENAFRA Penatalaksanaan Terapi Latihan pada Kasus Fraktur 1/3 Distal Humeri Dextra Post Orif (Open Reduction Internal Fixation) di RST DR. Soedjono.

0 2 11

PENDAHULUAN Penatalaksanaan Terapi Latihan pada Kasus Fraktur 1/3 Distal Humeri Dextra Post Orif (Open Reduction Internal Fixation) di RST DR. Soedjono.

0 2 4

PENDAHULUAN Penatalaksanaan Terapi Latihan Pada Kasus Fraktur 1/3 Distal Humeri Dextra Post ORIF (Open Reduction Internal Fixation) Di RSUP Dr. Sardjito.

0 2 4

Pengaruh Cold Compression Therapy terhadap Proses Penyembuhan Pasien Pasca Open Reduction Internal Fixation (ORIF) Ekstremitas - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

3 18 325

Efektifitas Penggunaan Cold Pack dibandingkan Relaksasi Nafas Dalam untuk Mengatasi Nyeri Pasca Open Reduction Internal Fixation (ORIF) | Kristanto | IJNP (Indonesian Journal of Nursing Practices) 3421 9551 1 SM

0 0 9

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PADA PASIEN PASCA OPEN REDUCTION INTERNAL FIXATION (ORIF) EKSTREMITAS

1 4 79

LATIHAN RANGE OF MOTION (ROM) UNTUK PENINGKATAN VASKULARISASI PERFUSI JARINGAN PERIFER PASIEN PASCA OPEN REDUCTION INTERNAL FIXATION (ORIF) DI RSUD dr. R GOETHENG TARUNADIBRATA PURBALINGGA - repository perpustakaan

0 0 16