Masa Pasca Tsunami ( 2004-2007)

B. Masa Pasca Tsunami ( 2004-2007)

Pada periode ini pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh diantaranya Perpu No. 2 Tahun 2005, Peraturan Presiden No. 30 Tahun 2005, UU No. 10 Tahun 2005 tentang Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara, Perpres No. 69 Tahun 2005 tentang Peran Serta Lembaga/Perorangan Asing Dalam Rangka Hibah Untuk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Sumatera Utara. Di sisi lain, terjadi perubahan politik hukum di Aceh dengan ditandatanganinya MoU antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki dimana salah satu produk dari MoU adalah diterbitkannya UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. UU ini mencabut UU No. 18 Tahun 2001. Dengan lahirnya UU No. 11 Tahun 2006, maka Provinsi Aceh dalam menyelenggarakan kepemerintahannya tidak lagi menggunakan UU No. 32 Tahun 2004 jo UU No. 18 Tahun 2001, tapi berdasar pada pengaturan dalam UU No. 11 Tahun 2006. Selain itu Pemerintah juga terakhir mengeluarkan UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil yang disahkan pada tanggal 17 Juli 2007.

1. Rehabilitasi Dan Rekonstruksi

Dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi, pemerintah pusat berdasarkan Perpu No. 2 Tahun 2005, membentuk sebuah lembaga (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi) yang dibentuk untuk percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah pasca bencana tsunami di Aceh dan Nias yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Secara kelembagaan, BRR dapat diartikan sebagai bagian dari organ pemerintah pusat, namun jika melihat dalam Perpu No. 2 Tahun 2005, pemerintah daerah menjadi bagian dari BRR. Dari tiga organ dalam BRR (Dewan Pengarah, Dewan Pengawas dan Badan Pelaksana), terdapat unsur dari pemerintah daerah dalam dua organ yaitu sebagai anggota Dewan Pengarah dan Wakil Kepala Badan Pelaksana dijabat secara jabatan (ex-officio) oleh Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam. BRR menurut Perpu No. 2 Tahun 2005 hanya melaksanakan tugas selama 4 tahun dan dapat diperpanjang kembali jika diperlukan. Dengan demikian diharapkan jalannya rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dapat terkoordinir dengan baik dan terintegrasi menjadi bagian dari kebijakan pemerintah daerah, bukan hanya menjadi program pemerintah pusat.

Ruang lingkup Perpu berlaku untuk rehabilitasi dan rekonstruksi di Wilayah Pasca Bencana. Batasan wilayah pasca bencana adalah wilayah Provinsi Nanggore Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara yang terkena dampak bencana alam gempa bumi dan gelombang tsunami . Batasan ini penting karena disamping berlakunya Perpu No. 2 Tahun 2005 yang kemudian ditetapkan menjadi UU No. 10 Tahun 2005 berlaku pula UU pemerintah daerah (UU No. 32 Tahun 2004) dan UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam. Batasan ini menjelaskan kewenangan BRR berdasar Perpu No. 2 Tahun 2005 adalah hanya pada wilayah pasca bencana sedang wilayah di luar itu mutlak menjadi kewenangan pemerintah daerah Aceh.

Beberapa hal dalam rehabilitasi dan rekonstruksi yang diatur dalam Perpu yang terkait dengan pengelolaan sumber daya laut dan perikanan adalah :

a. Penataan ruang;

b. Penataan lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam; Program rehabilitasi dan rekonstruksi sebagaimana disebutkan dalam Perpu dijabarkan sesuai dengan rencana induk yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 30 Tahun 2005 tentang Rencana Induk Rehabilitasi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara.

Empat kebijakan utama yang menjadi acuan dari program rehabilitasi dan rekonstruksi di bidang lingkungan hidup dan sumber daya alam, yaitu: (1) memulihan kembali daya dukung lingkungan dan mengamankan lingkungan eksisting ; (2) memulihkan kembali kegiatan perekonomian masyarakat yang mengandalkan sumber daya alam ; (3) melibatkan masyarakat dan menggunakan pranata sosial dan budaya lokal dalam menghadapi bencana dan kegiatan pembangunan ; dan (4) emulihkan kembali sistem kelembagan sumber daya alam dan lingkungan hidup di tingkat pemerintah . Keempat kebijakan di atas tertuang dalam Rencana Induk Rehabilitasi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara yang lebih dikenal dengan “Blue Print”.

1. Kebijakan pemulihkan kembali daya dukung lingkungan dan mengamankan fungsi sumber daya alam yang masih ada. Besarnya kerusakan sumber daya alam dan ekosistem akibat gempa dan tsunami, terutama di wilayah pesisir, memerlukan perhatian khusus dan menjadi pertimbangan dalam melaksanakan rehabilitasi dan rekonstruksi. Kemampuan daya dukung lingkungan untuk keperluan pembangunan harus dipulihkan kembali agar lebih baik daripada kondisi sebelum terjadi bencana. Sementara itu, potensi sumber daya alam dan kondisi lingkungan yang tidak terkena dampak bencana harus diamankan dan dipergunakan sebijak mungkin mengingat dalam tahapan pembangunan rehabilitasi dan rekonstruksi akan banyak membutuhkan bahan sumber daya alam sebagai bahan baku dasar pembangunan.

Strategi pemulihan kembali daya dukung lingkungan pesisir dan laut, sebagai berikut:

Merehabilitasi terumbu karang. Kegiatan pokok meliputi pendataan kembali terumbu karang, penanaman kembali

terumbu karang dan penyusunan mekanisme kelembagaan. Merehabilitasi dan membangun zona penyangga (green belt), kawasan tambak dan hutan kota sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan karakter pantai. Green belt

(sabuk hijau) adalah suatu hamparan pepohonan yang diharapkan tetap dipertahankan hidup dan tumbuh dalam suatu lebaran tertentu pada sempadan suatu badan perairan. Sabuk hijau bisa terdapat di tepi pantai, di tepi sungai, tepi danau/telaga/waduk dan bertujuan agar garis pantai/tepi dari berbagai badan (sabuk hijau) adalah suatu hamparan pepohonan yang diharapkan tetap dipertahankan hidup dan tumbuh dalam suatu lebaran tertentu pada sempadan suatu badan perairan. Sabuk hijau bisa terdapat di tepi pantai, di tepi sungai, tepi danau/telaga/waduk dan bertujuan agar garis pantai/tepi dari berbagai badan

Konsep sabuk hijau sebenarnya telah lama dituangkan dalam bentuk kebijakan oleh berbagai instansi pemerintah terkait sejak tiga dekade yang lalu. Misalnya oleh Direktorat Jenderal Perikanan melalui SK Dirjen Perikanan No H.I/4/2/18/1975, dimana dinyatakan bahwa lebar habuk hijau adalah 400 m dari rata-rata garis surut terendah; atau kemudian oleh Direktorat Jenderal Kehutanan melalui SK Dirjen Kehutanan No. 60/Kpts/DJ/I//1978 yang menyatakan bahwa lebar sabuk hijau adalah 50 m dari garis pantai dan 10 m dari tepi sungai. Lalu pada tahun 1984 melalui surat keputusan bersama antara Menteri Kehutanan dan Pertanian dikeluarkan lagi surat keputusan bersama No. KB 550/246/Kpts/1984 & 082/Kpts-11/1984, dimana diputuskan bahwa lebar sabuk hijau adalah 200 m di sepanjang pantai, dilarang menebang mangrove di Pulau Jawa dan semua mangrove di pulau-pulau kecil yang berukuran kurang dari 1.000 ha harus dikonservasi. Terakhir, pada tahun 1990, muncul lagi surat Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 yang menyatakan bahwa lebar sabuk hijau adalah 130 kali perbedaan tinggi maksimum pasang surut menuju darat.

Dari berbagai kebijakan di atas, dalam konteks pesisir, jelas telah ada rencana atau usaha-usaha pemerintah untuk menyelamatkan garis pantai/pesisir, meskipun nilai-nilai lebar sabuk hijau tersebut bervariasi dan dalam pelaksanannya di lapangan masih sering atau bakan sepenuhnya menyimpang atau tidak dipatuhi. Namun demikian, meskipun nilai lebar sabuk hijau masih tidak jelas landasannya dan penerapannya di Indonesia, namun dalam peristiwa tsunami yang baru lalu kita dapat melihat betapa konsep ini masih sangat relevan.

Kegiatan: Melakukan rehabilitasi tanaman mangrove pada daerah dimana tanaman mangrove sebelumnya tumbuh.

Tujuan: Merehabilitasi dan mengembangkan mangrove seluas 164.840 ha di NAD dan 9.750 ha di Sumatera Utara dalam kurun waktu 2006-2010 untuk kepentingan perlindungan pantai maupun pemanfaatannya sebagai tempat pemijahan dan perkembangan perikanan dan ekosistem baru yang berkelanjutan. Kegiatan yang dilakukan meliputi:

o Memetakan kondisi kawasan ekosistem mangrove NAD dan Nias; o Melakukan kajian tentang karakter dan poteni pantai; o Menyusun rencana pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove dan penanaman

pantai lainnya; o Menyusun rencana teknik rehabilitasi hutan mangrove dan penanaman

tanaman pantai lain jangka menengah; tanaman pantai lain jangka menengah;

maupun terintegrasi khususnya dengan metode silvo-fishery (budi daya perikanan berwawasan lingkungan);

o Menyusun mekanisme kelembagaan untuk memelihara, memantau dan mengevaluasi hasil rehabilitasi hutan mangrove.

Rehabilitasi kawasan tambak dan ekosistem habitat kritis Tujuan:

Mengembalikan fungsi ekologi pada ekosistem pantai dan habitat kritis guna meningkatkan nilai dan fungsi ekosistem. Kegiatan yang dilakukan meliputi:

Mengintegrasikan rencana tata ruang tambak ke dalam rencana umum tata ruang provins.i o Menyusun panduan pengelolaan tambak berbasiskan potensi sumber daya

hayati laut lestari; o Menyusun rencana rinci terhadap zonasi kawasan pantai yang berfungsi

untuk lindung, tambak dan hutan kota; o Merehabilitasi dan menata kembali ekosistem pantai termasuk eksosistem

tambak melalui partisipasi masyarakat; o Menyusun masterplan dan detail desain setiap kawasan pengembangan

usaha budidaya tambak; o Melakukan rehabilitasi terhadap vegetasi perintis selain tanaman mangrove

di kawasan pesisir sesuai dengan karakter dan aspirasi masyarakat pesisir; o Melakukan pemantauan dan memelihara nilai keanekaragaman hayati di

dalam eksosistem kritis;

2. Kebijakan revitalisasi kegiatan perekonomian masyarakat pesisir yang berbasis sumber daya alam, strategi yang ditempuh:

Memulihkan dan meningkatkan kegiatan perikanan Kegiatan pokok meliputi: mengembalikan kegiatan perikanan tangkap, merehabilitasi lahan tambak masyarakat dan perikanan budi daya lainnya dan

fasilitas kegiatan ekonomi masyarakat pesisir.

Dalam rangka mendorong ekonomi masyarakat nelayan dan pembudidaya ikan serta masyarakat pesisir lainnya, kebijakan yang ditempuh oleh Departemen Kelautan dan Perikanan antara lain adalah pada tahun pertama dilakukan fasilitasi kegiatan ekonomi masyarakat pesisir yang sifatnya mendesak, termasuk di dalamnya kegiatan ekonomi sementara (temporary livelihood) yaitu menciptakan lapangan pekerjaan sementara untuk memberikan penghasilan bagi keluarga. Kegiatan ekonomi sementara dapat berupa perbaikan kapal, pembersihan tambak, perbaikan atau pembersihan sarana dan prasarana lain.

Kebutuhan modal kerja untuk tahap awal pemulihan ekonomi, baik untuk nelayan dan pembudidaya ikan diharapkan diperoleh dari anggaran yang disediakan oleh pemerintah

(APBN/APBD) ataupun hibah luar negeri difokuskan untuk kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir, pemberdayaan pembudidaya ikan dan pemberdayaan perikanan tangkap skala kecil.

Dalam rangka mendorong pemulihan ekonomi dilakukan penyediaan bantuan teknis kepada sektor swasta, seperti bantuan sarana dan sarana produksi pada pemulihan usaha pembenihan, unit pengolahan ikan, pompa, kapal, alat tangkap, galangan kapal dan lain- lain yang penyediaan kebutuhan investasinya diharapkan dari sektor perbankan ataupun dari investasi sektor swasta.

Pada tahap rekonstruksi (jangka menengah), dilakukan upaya pembangunan kembali seluruh sistem produksi pengolahan dan pemasaran usaha perikanan tangkap, perikanan budidaya, serta pengembangan mata pencaharian alternatif.

Upaya pengembangan usaha perikanan dilakukan melalui kegiatan utama seperti: Rehabilitasi perikanan tangkap

Kebijakan penyediaan sarana dalam tahun pertama diprioritaskan untuk penangkapan skala kecil dimaksudkan untuk mendorong nelayan segera kembali ke laut.

Rehabilitasi perikanan budidaya Rehabilitasi perikanan budidaya dilakukan dengan merehabilitasi dan penataan kembali tambak-tambak yang ada sebelum terjadi tsunami. Penyediaan sarana

pembudidayaan, khususnya untuk budidaya air payau dan laut diberikan kepada para pembudidaya sebagai bantuan modal usaha dalam bentuk benih/bibit, pupuk, pestisida, pakan, obat-obatan, dan peralatan budidaya.

Rehabilitasi sarana dan prasarana perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan merencanakan rehabilitasi fasilitas pelatihan

yang rusak akibat tsunami seperti: Loka Budidaya, Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM), Balai benih, dan berbagai prasarana dan sarana perikanan lainnya.

3. Kebijakan melibatkan masyarakat pesisir dan pranata sosial dan budaya dalam menghadapi bencana dan kegiatan pembangunan, strategi yang ditempuh adalah:

Melibatkan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan bidang kelautan dan perikanan. Kegiatan pokok meliputi memberdayakan pranata sosial dan lembaga

adat yang ada dalam proses perencanaan dan pelaksanaan serta membangun mekanisme pengawasan sesuai dengan nilai sosial, budaya dan aspirasi masyarakat setempat.

2. UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

Undang-Undang Pemerintahan Aceh memberikan kewenangan terhadap pemerintah daerah Aceh dalam pengelolaan sumber daya laut dan perikanan sebagai berikut :

1. Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota berwenang untuk mengelola sumber daya alam yang hidup di laut wilayah Aceh.

2. Kewenangan untuk mengelola sumber daya alam yang hidup di laut meliputi : 2. Kewenangan untuk mengelola sumber daya alam yang hidup di laut meliputi :

b. pengaturan administrasi dan perizinan penangkapan dan/atau pembudidayaan ikan;

c. pengaturan tata ruang wilayah laut, pesisir dan pulau-pulau kecil;

d. penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan atas wilayah laut yang menjadi kewenangannya;

e. pemeliharaan hukum adat laut dan membantu keamanan laut ; dan

f. keikutsertaan dalam pemeliharaan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia

3. Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota berwenang menerbitkan izin penangkapan ikan dan pengusahaan sumber daya alam laut lainnya di laut sekitar Aceh sesuai dengan kewenangannya.

4. Pengelolaan sumber daya alam di wilayah laut dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.

5. Izin penangkapan ikan paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan satu pertiga dari wilayah kewenangan daerah provinsi untuk daerah kabupaten/kota.

Kecuali disebutkan dalam Pasal 165 Ayat (3) huruf c, tidak disebut secara eksplisit dalam undang-undang wilayah laut yang menjadi kewenangan Aceh. Namun, jika melihat pada beberapa ketentuan seperti dalam Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 4 dinyatakan secara berulang-ulang bahwa Aceh merupakan provinsi dan pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi, maka jelaslah bahwa wilayah laut yang menjadi kewenangan Aceh adalah sama dengan provinsi lainnya sejauh 12 mil laut. Undang-undang No. 11 Tahun 2006 memberikan ruang yang cukup terbuka dan memberikan pengakuan terhadap

lembaga adat dan pranata adat. 4

3. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang ini menggantikan peraturan sebelumnya, yaitu: UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Di dalam undang–undang ini kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah provinsi sebagai berikut:

1. Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi:

a. pengaturan, pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi, dan kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi dan kabupaten/kota;

b. pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi;

c. pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi; dan

4 Pasal 96-99 UU No. 11 Tahun 2006 4 Pasal 96-99 UU No. 11 Tahun 2006

2. Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:

a. perencanaan tata ruang wilayah provinsi;

b. pemanfaatan ruang wilayah provinsi; dan

c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi.

3. Dalam penataan ruang kawasan strategis provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, pemerintah daerah provinsi melaksanakan:

a. penetapan kawasan strategis provinsi;

b. perencanaan tata ruang kawasan strategis provinsi;

c. pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi; dan

d. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi.

4. Pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan huruf d dapat dilaksanakan pemerintah daerah kabupaten/kota melalui tugas pembantuan.

5. Dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang wilayah provinsi, pemerintah daerah provinsi dapat menyusun petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

6. Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pemerintah daerah provinsi:

a. menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan:

1) rencana umum dan rencana rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi;

2) arahan peraturan zonasi untuk sistem provinsi yang disusun dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi dan petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang;

b. melaksanakan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.

7. Dalam hal pemerintah daerah provinsi tidak dapat memenuhi standar pelayanan minimal bidang penataan ruang, pemerintah mengambil langkah penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sementara kewenangan kabupaten dan kota meliputi:

1. Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi:

a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota;

b. pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota;

c. pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota; dan c. pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota; dan

2. Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:

a. perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/ kota;

b. pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota; dan

c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota.

3. Dalam pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, pemerintah daerah kabupaten/kota melaksanakan:

a. penetapan kawasan strategis kabupaten/kota;

b. perencanaan tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota;

c. pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota; dan

d. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota.

4. Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pemerintah daerah kabupaten/kota mengacu pada pedoman bidang penataan ruang dan petunjuk pelaksanaannya.

5. Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), pemerintah daerah kabupaten/kota:

a. menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan rencana umum dan rencana rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota; dan

b. melaksanakan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.

6. Dalam hal pemerintah daerah kabupaten/kota tidak dapat memenuhi standar pelayanan minimal bidang penataan ruang, pemerintah daerah provinsi dapat mengambil langkah penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Undang-undang ini memberikan kewenangan yang cukup luas kepada Pemerintah Provinsi, Kabupaten/kota untuk menata ruang di wilayahnya. Kewenangan ini sejalan pula dengan kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Aceh maupun kabupaten/kota yang dimandatkan di dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Urusan penataan ruang menjadi urusan wajib bagi Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam maupun Pemerintah Kabupaten/Kotanya.

4). UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil

Undang – undang ini dalam aspek konservasi memberikan ruang untuk dilakukannya dan dijaganya kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, melindungi alur migrasi ikan dan biota laut, melindungi habitan biota laut dan melindungi situs budaya tradisional.

Sementara itu dari sisi kewenangan, undang – undang ini memberikan kewenangan kepada Pemerinta Daerah sebagai berikut:

1. Pemerintah Daerah diberi mandat untuk menetapkan batas sempadan pantai yang disesuaikan dengan karateristik topographi, biofisik, hidro-oceanografi, kebutuhan ekonomi dan budaya serta ketentuan lain.

2. Gubernur berwenang menyusun dan/atau mengajukan usulan akreditasi program pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang menjadi kewenangannya kepada pemerintah sesuai dengan standar dan pedoman yang ada.

3. Bupati/walikota berwenang menyusun dan/atau mengajukan usulan akreditasi program pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang menjadi kewenangannya kepada pemerintah sesuai dengan standar dan pedoman yang ada.

4. Gubernur berwenang memberikan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) sampai dengan 12 (dua belas) mil laut.

5. Bupati/walikota berwenang memberikan HP-3 di wilayah perairan pesisir 1/3 (satu pertiga) di wilayah kewenangan provinsi.

6. Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilaksanakan oleh pemerintah bersama pemerintah daerah.

Kemudian dari sisi pengakuan terhadap hak pengelolaan masyarakat berdasarkan hukum adat yang diatur dalam undang-undang ini antara lain; secara umum undang- undang ini ingin membuka ruang dan akses bagi masyarakat adat, lokal dan tradisional yang di pesisir untuk tetap bisa mengelola wilayah pesisir dan laut sesuai dengan sistem adat yang sudah turun temurun dipertahankan. Dalam ketentuan umum istilah masyarakat adat dan lokal serta masyarakat tradional disebutkan dan kemudian dipertegas lagi melalui Pasal 61. Ini menunjukkan adanya pengakuan terhadap keberadaan mereka.

Namun di sisi lain, kehadiran undang-undang ini bisa mendorong munculnya konflik regulasi seperti dengan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahaan Aceh. Undang- undang ini memberikan kewenangan yang besar bagi Pemerintah Aceh yang salah satunya mengelola sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecilnya. Sedangkan UU No.

27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil memberikan kewenangan yang besar bagi Menteri Kelautan dan Perikanan.

Selain itu, konsep HP-3 membawa kekhawatiran terjadinya eksploitasi dan kerusakan wilayah pesisir, jika upaya untuk melakukan kontrol dan pengawasan yang ketat tidak dilakukan.