ASTITI RAHAYU

ASTITI RAHAYU

Empat

FAREWELL Serenada Putih kutulis untukmu pada hari ini tanggal sepuluh mei semoga lepaslah hati sedih lilin penghabisan terbakar habis.

Klak. Kumatikan tape. Farewell. Selamat jalan. Aku tak tahu banyak tentang puisi, tapi baris-baris itu seperti luapan perasaan- .

ku yang tertahan. Seakan kata-kata itu begitu tepat menggam- barkan kata hatiku sehingga beban yang menindihnya jadi ringan dan lepas. Sama seperti ketika aku terbaring sakit beberapa hari yang lalu, kukatakan atau kutanyakan:

engkau yang jauh ingatkah padaku? Lalu kujawab sendiri: tentu tidak atau mungkin ada sejenak mana aku kan tahu?

Nuryati senang sekali dengan sajak itu. Sama senangnya dengan sajak Rendra yang dibuka dengan kata-kata: bagai daun yang melayang bagai burung dalam angin

Antologi Karya Leluhur Sastra Indonesia II

Pacar Nuryanti lagi pergi kuliah kerja di Sumatera waktu itu. Ditinggal selama sekian bulan, rindu kembang dengan pesat- nya. Alangkah indahnya kita dibuai kerinduan kepada sese- orang. Tapi alangkah pedihnya kita disiksanya. Alangkah panas- nya kita dibakarnya. Kuputar lagi yang ini :

aku ingin bertemu denganmu tersenyum lembut dan menyapa:

apa kabar, mahadewa.

Klak! Tanganku terulur mematikannya. Nuryanti jengkel. Direbutnya tape kecil itu dari tanganku. “Aku ingin mendengar lanjutnya,” katanya. Aku mempertahankannya. “Jangan! Nggak baik.” “Biar! Aku lihat.” “Nggak boleh, ya sayang! Ini koleksi pribadi. Tidak diper- .

jualbelikan.” Nunuk merengut. Aku tertawa. Aku hanya mengganggunya saja. Dia anak yang baik. Beruntung aku punya teman sekamar seperti dia, penuh pengertian, ngemong dan sayang. Tipe se- orang gadis keibuan. Rambutnya setengah panjang sampai ke pinggang, biasanya dijalin satu di belakang.

Kami lagi membeli pecel berdua di warung kecil di belakang asrama, waktu Yu Sari memanggil-manggilku, memberi tahukan ada telepon untukku. Aku lari ke kantor asrama. Ketika aku bersuara, aku dengar suara tertawa Harman.

“Coba terka, Asti!” katanya. “Berapa dua kali dua?” Aku tak mengerti maksudnya. Tapi mendengar suara yang

ramai di sana, aku cepat bisa menangkap suasana. Harman tentu lagi bercakap-cakap setengah bergurau dengan Nano, dengan Mas Wid atau entah dengan siapa. Kujawab saja seenakku.

“Mua kali dua sama dengan sepuluh.” 144

Astana Kastawa

“Mungkin malah sebelas.” “Harman!” “Apa, Astiti?” “Sudah makan siang?” “Kira-kira sudah, belum?” “Kenapa dari tadi main terka melulu?” “Bagaimana?” “Kapan lagi tugas saya di InTour? Sudah nggak punya duit.” “Itulah yang mau saya tanyakan, kenapa lama sekali nggak

pernah ke kantor?” “Kapan-kapan aku ke kantor.” Jawabku. “Datanglah nanti malam ke rumah saya,” katanya. “Ada

selamatan sedikit.” “Selamatan apa?” “Kalau nanti datang akan tahu.” Aku diam sejenak. Berpikir. “Ulang tahunmu, Harman?” “Eh, bukan! Aku tak pernah merayakan ulang tahun. Tiap .

tahun mesti ganti.” “Apa sih kalau begitu? Kok mesti berahasia lagi.” “Yang penting nona datang nanti, ya non!” “Aku belum tahu rumahmu.” “Oh ya? Nggak usah datang saja baiknya, kalau begitu, ya!” Harman orangnya ramah. Tapi dalam keramahannya terasa

selalu ada garis yang menjadi batas antara dirinya dengan orang sekelilingnya. Kariernya pesat maju. Ada satu hal yang menurut pikiranku menjadi titik pemikiran bagi kepesatannya. Hobinya bersendagurau dengan anak-anak. Gadis terutama. Tak usah disangsikan, banyak gadis yang menyukainya. Gadis mana tidak menyukai seorang pemuda yang sukses dalam kariernya?

Aku jalan sendiri sore itu ke jalan Tanjung 25, naik Honda biruku. Melihat Harman yang berpakaian Jawa, berkain batik, bersurjan, aku tersenyum sendiri. Kebetulan saja senyumku ter- tangkap olehnya. Mata Harman menyipit sebelah, melihatku

Antologi Karya Leluhur Sastra Indonesia II

Astiti seperti biasa, bercelana komprang, berblus panjang, datang tanpa membawa apa-apa. Tapi biarlah aku begini. Aku toh bukan orang dalam di Indonesia Tour. Dan aku merasa bah- wa masaku yang seperti ini, masih akan lama kualami. Masa ketika aku kerap bersikap seperti anak laki-laki, lebih daripada bersikap keperempuanan. Ketika aku datang, semua sudah siap. Nasi tumpeng di tengah. Pecel, tahu, tempe, kerupuk, sambal merah. Ayam utuh di tengah. Ayam yang sudah dimasak tentu saja.

Udin membaca doa. Yang lain duduk di pinggir mengelilingi nasi tumpeng itu sambil mengamin. Aku berpikir, sebenarnya upacara selamatan adalah upacara khusus yang hanya boleh dila- . kukan oleh kaum pria saja. Tapi selamatan ini memang lain. Se- lamatan ini adalah selamatan bagi sebuah bis besar, bis wisatawan kiriman InTour pusat Jakarta untuk InTour Yogyakarta. Lain Yogya, lain Jakarta. Orang Yogya masih sempat melakukan upa- cara yang barangkali masih bernilai magis dan keagamaan. bukan, bagi kami itu bukan berarti pembuangan waktu dan biaya melulu, karena dengan upacara seperti itu kita sering memper- oleh apa yang oleh sebagian orang disebut hikmah. Kita mera- sakan seolah-olah menerima berkah. Dan kita merasa bersyukur, dan merasa harus berterimakasih. Kepada Tuhan tentu saja. Tu- han. Nama yang sudah kerap dilupakan begitu saja oleh anak- anak manusia generasi abad dua puluh ini.

Seorang gadis, wajahnya lembut, ikut melayani tamu. Mata- nya besar bagus. Cantik sekali gadis itu. R ambutnya dipotong pendek. Rambut yang dipotong pendek pun bisa tetap memba- wakan kelembutan, kesayuan wajah. Aku melihatnya. Seandai-

Astana Kastawa Astana Kastawa

“Martini!” panggil ibu Harman. “Ya bu!” Gadis itu menjawab, seraya bergegas masuk. Aku berbicara dengan Mbak Atik. “Lulik sudah bisa apa sekarang, Mbak?” “Oh sudah besar dia. Sudah bisa berlari-lari menjemput papa-

nya dari kantor.” Harman lewat dekatku. Kami masih duduk di atas tikar. “Harman! Siapa si ayu yang ikut melayani tadi?” “Adikku, Martini. Adikku.” “Adikmu seayu itu?” “Kenapa?” “Tidak apa-apa,” aku tersenyum, sambil makan emping. “Adik sepupu, Astiti.”

Sebentar saja acara itu selesai. Disambung sebentar dengan pembagian tugas dan beberapa hal mengenai pekerjaan InTour selama beberapa bulan yang akan datang. Selesai. Dan bubar. Aku berdiri sambil berbicara ke kanan, berbicara ke kiri. Kami berpamit pulang kepada ibu Harman, seorang wanita setengah baya, seorang ibu yang anaknya paling muda sudah seusia Harman. Harman mengantarku sampai ke halaman. Motorku tadi kutaruh di bawah pohon sawo. Harman mengambilkannya. Dihidupkannya mesinnya kemudian. Aku naik. Berpamit. Tapi Harman masih memegangi setang motor. Kami tersenyum ke- mudian, karena bingung apa yang akan kami ucapkan.

“Kenapa lama tidak ke kantor?” tanyanya. “Malas,” kataku. “Kok malas?” “Apa urusan Harman, kalau aku mau bermalas-malasan?

Boleh saja, kan?”

Antologi Karya Leluhur Sastra Indonesia II

“Gadis semanis kau tidak boleh bermalas-malas. Berseko- lahlah yang baik, biar jelas jadi doktoranda.” “Ih, rayuan murah!” ejekku. “Ih, pura-pura ngejek,” katanya. “Berani pulang sendiri,

Astiti?” “Di abad dua puluh nggak ada lagi hantu, Harman!” Kulepaskan tangannya yang memegangi setang sepeda

motor. Ketika lepas, cepat kakiku menginjak persenaling dan lari meninggalkannya.

Aku terus pelang. Perasaan segar. Di langit bintang bulan Mei berkelip-kelip putih. Musim hujan sudah lewat. Aku lari naik tangga asrama sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Nunuk lagi menggambar rencana gedung bertingkat. Spidol merah, kuning, biru berserakan di atas mejanya. Kutepuk pundaknya sampai dia kaget dan berteriak:

“Astiti!” “Nih, kubawakan kegemaranmu.” “Apa?”

“Emping goreng.” Aku terus lari ke aula, ke ruang televisi. Siang hari aula ini

biasa dipakai bermain pingpong oleh anak-anak. Malam-malam mereka berkumpul lagi di sini menonton televisi. Hari jumat malam. Jam sembilan. Aku tahu benar acaranya. Film seri Hawai Five-O , film detektif. Ada aktor kurus tidak tampan, tapi mena- rik, dan jadi favorit anak-anak asrama. Namanya Steve Mac Garry atau Stave Mac Garret dalam cerita itu, telinga tidak dapat menangkapnya dengan baik.

Paginya, sepulang kuliah aku bermotor ke Ambarukmo Hotel. Harman lagi sibuk. Mas Harmanto, begitu anak buahnya menyebutnya. Dia mengenakan kemeja putih dasi batik. Celana- nya biru tua. Sebentar dia melihat kehadiranku. Tersenyum. Ma- tanya menyipit sebelah. Aku tersenyum. Aku tak bisa ikut-ikutan menyipitkan sebelah mata.

Astana Kastawa

“Harman,” kataku setelah dia tak sibuk lagi. “Kapan giliran- ku guiding lagi?” Dia melihatku beberapa lama. “Kukira kau mau berkuliah dulu.” Aku tak bisa menjawab. Tak tahu, bagaimana mestu men-

jawab perkataannya. Katanya melembut kemudian: “Selesaikan dulu kuliahmu baik-baik Astiti! Engkau bisa kembali setiap waktu ke mari. Bukankah begitu lebih baik? Engkau masih belum me- merlukan pekerjaan secara serius.”

Aku diam. “Asti!” Aku melihat kepadanya. Aku ingat bapak tiba-tiba. Jarak

yang memisahkan kami hanya 177 kilometer. Tapi bapak begitu jauh terasa. Bapak selalu sibuk di rumah. Aku sebenarnya sudah cukup dewasa, lebih dari cukup bahkan untuk tidak meminta- minta perhatian terlalu banyak dari bapak. Tapi aku senang sekali mendapat perhatian sedemikian dari Harman. Tak pernah ku- sangka dia bisa persikap kebapakan demikian. .

“Okey, Asti?” Aku mengangguk. “Okey. Asal akhir tahun nanti aku boleh bekerja kembali di

sini, waktu liburan panjang.” “Tentu,” ditepuknya pundakku.

Selesai makan siang aku berjalan ke kantor asrama. Duduk pada kursi dan mengambil pesawat telepon pada tangkainya. Kuputar nomor Ambarukmo Palace Hotel. Operator menyam- bungkannya dengan InTour. Mas Widi yang menjawab.

“Ada mas Harman, Mas Wid?” “Mas Harman? Oh, dia lagi keluar, Dik Astiti! Ada perlu?” “Ke mana?” aku ingin tahu. “Shalat Jumat. Ke masjid.” “Hohoho,” aku tertawa. “Kenapa?”

Antologi Karya Leluhur Sastra Indonesia II

“Tidak apa-apa. Nanti saja saya sambung lagi. Terima kasih, Mas Widiadi!” “Terima kasih kembali.” Kuletakkan tangkai telepon. Andaipun Harman ada, apa

yang akan aku katakan kepadanya? Tak ada sama sekali keper- luanku dengannya. Aku hanya ingin bercakap-cakap dengannya. Aku hanya ingin berkata, bahwa aku kangen kepadanya. Itu saja. begitu saja. biarlah dia jadi kakakku, kakak yang kutemukan di Yogya ini. Di belantara ini. Belantara yang sunyi. Rimba yang sepi. Tanah yang tandus —tandus bagi Astiti Rahayu.

Siang berikutnya aku kembali menelepon Harman. “Sudah makan siang, Harman?” “Kan mendengar nada suaranya saja, tahu bahwa belum,

Asti!” “Aduh, sayang!” kataku. “Aduh, masih ada juga yang menyayangi.” “Ada dong! Itu tuh, gadis cantik di rumahmu waktu sela-

matan kemarin dulu. Siapa namanya? Martini?” . Harman tertawa berderai-derai. Aku diam. Senyumku tak kelihatan olehnya. Aku tak perlu menyesal menyebut nama se- orang gadis, yang barangkali ada sangkut pautnya dengan Harman.

“Martini itu adik sepupuku, Astiti!” “Aku kan tidak bertanya.” “Nah, kan memberi informasi.” “Informasi yang tak benar.” “Benar.” “Bisa dicek kebenarannya?” “Bisa berhubungan dengan jawatan penerangan,” katanya

tertawa. Bersenda tidak berketentuan. Bergurau tidak berujung pang- kal. Tapi menyenangkan. Menyenangkan, karena yang diajak bergurau Harman.

Astana Kastawa

Sesudah bergurau aku belajar. Aku betah saja duduk berjam- jam membaca buku, kalau mau. Tahan saja duduk berjam-jam mendengarkan pita kaset pelajaran bahasa Perancis. Siang hari aku berbaring dengan sebuah roman. Membaca-baca artikel ten- tang Shakespeare. Apa saja. mendengarkan musik klasik per- mainan Manthovani. Atau pun lagu Trio Bimbo dengan syair Taufiq Ismail. Mendengarkan puisi karya penyair dunia yang kurekam sendiri. sore-sore pergi tidur karena lelah. Malam ter- bangun, meneruskan membaca. Semauku aku mengatur hidup. Aku bebas di sini, di Yogyakarta. D i asrama. Seperti sebatang sungai yang mengalir lancar, tak ada tebing yang menjadi penghalang keleluasaan bertindak dan berlaku.

Siang itu aku menerima sepucuk surat dari California. Isinya beberapa potretku bersama Tuan Freeman dan Nyonya, suami istri yang dua bulan lalu berkunjung ke Yogyakarta. tiga helai potret, dua berlatar belakang batu candi, satu lagi gambar kami —berempat— ketika makan malam di Wisma LPP. Yang seorang tidak lain ialah: Mahdi. Kumasukkan potret-potret itu ke dalam . album. Juga kumasukkan ke dalam album hatiku seorang laki- laki muda tampan bernama Mahdi Makka. Perasaanku tenang dan ringan saja ketika aku mencari-cari sesuatu di antara kaset yang berderet di bawah jendela kamar. Pita kaset berisi sajak tentang Mahdi. Kuputar lagi. Terdengar:

aku ingin bertemu denganmu tersenyum lembut dan menyapa: Apa kabar, teruna?

Dan seterusnya...

Antologi Karya Leluhur Sastra Indonesia II

Astana Kastawa

Jussac M.R. (-1999)

Jussac M.R. Wirosubroto, wafat 9 November 1999 di Yogya- karta, (informasi tahun kelahiran Jussac M.R belum berhasil diketahui oleh tim penyusun). Sastrawan ini lebih dikenal sebagai wartawan. Keterlibatannya dalam perkembangan sastra di Yog- yakarta adalah dengan memberi-kan keleluasaan kepada Umbu Landu Paranggi dalam mengelola Mingguan Pelopor Yogya tempat Jussac bekerja sebagai Pemimpin Redaksinya. Pertengahan tahun 1970-an omset mingguan Pelopor Yogya menurun dan terpaksa

memindahnya ke Semarang selama tiga tahun berkat bantuan . Atas Danusubroto terbit hingga tahun 1979.

Antologi Karya Leluhur Sastra Indonesia II

Astana Kastawa