Sub Komponen Epistemologi Dalam Komponen Asumsi Filosofis

B. Sub Komponen Epistemologi Dalam Komponen Asumsi Filosofis

Memahami eksistensi teori komunikasi dalam konteks upaya pemberdayaannya sebagai kompas dalam menelaah fenomena komunikasi, maka--yang lazim dilakukan dalam dunia akademik antara lain dilakukan dengan cara mengetahui dan memahami konsep-konsep yang terkandung di dalam suatu teori komunikasi. Akan tetapi, upaya ini saja secara relatif masih belum memadai karena masih belum mampu memberikan gambaran keseluruhan tentang hakikat suatu konsep dalam sebuah teori. Terutama ini

Neuman, W. Lawrence, 2000, “The Ethics And Politic of Social Research”, in chapter 5 on Social Research Methods-Qualitative

60 and Quantitative Approaches, Allyn and Bacon, Boston, USA, p. 40. Littlejohn, Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson Learning Inc., Wadsworth, Belmont,

61 USA, p. 23. Littlejohn, Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson Learning Inc., Wadsworth, Belmont,

62 USA, p. 17. Epistemologi merupakan cabang philosophy yang mempelajari pengetahuan. Epistemologi mencoba untuk menjawab pertanyaan mendasar : apa yang membedakan pengetahuan yang benar dari pengetahuan yang salah. Secara praktis, pertanyaan-pertanyaan ini

ditranslasikan ke dalam masalah-masalah metodologi ilmu pengetahuan. Misalnya seperti : how can one develop theories or models that are better than competing theories?, lihat : Heylighen, F. ,” Epistemology, introduction”, dalam, http://pespmc1.vub.ac.be/ ditranslasikan ke dalam masalah-masalah metodologi ilmu pengetahuan. Misalnya seperti : how can one develop theories or models that are better than competing theories?, lihat : Heylighen, F. ,” Epistemology, introduction”, dalam, http://pespmc1.vub.ac.be/

63 sebelumnya, yaitu mencakup komponen asumsi filosofis, konsep 64 , penjelasan dan prinsip 65 . Jadi, upaya memahami suatu teori secara utuh, tampaknya antara lain dapat

dilakukan dengan baik melalui upaya pemahaman terhadap masing-masing dari keempat komponen dimaksud dalam suatu keseluruhan. Meskipun demikian, paper ini tidak bermaksud untuk meninjau semua komponen dimaksud, melainkan akan dibatasi pada

komponen asumsi filosofis melalui sub komponen epistemologis 66 . Upaya inipun akan dibatasi lagi pada topik epistemologi secara historis dan refleksi epistemologi dalam

forma penteorisasian fenomena komunikasi menurut genre komunikasi. Dengan demikian diharapkan akan dapat membantu dalam mengenal “siapa pencetus” suatu teori komunikasi.

1. Sejarah Epistemologi

Epistemologi merupakan cabang philosophy yang mempelajari pengetahuan. Epistemologi mencoba untuk menjawab pertanyaan mendasar : apa yang membedakan pengetahuan yang benar dari pengetahuan yang salah. Secara praktis, pertanyaan- pertanyaan ini ditranslasikan ke dalam masalah-masalah metodologi ilmu pengetahuan. Misalnya seperti : how can one develop theories or models that are better than competing

theories? 67 Relatif sejalan dengan ini, maka sebagai salah satu komponen dalam filsafat ilmu, epistemologi disebutkan difokuskan pada telaah tentang bagaimana cara ilmu

pengetahuan memperoleh kebenarannya, atau bagaimana cara mendapatkan

pengetahuan yang benar 69 , atau how people know what they claim to know . Jadi, dari sini tampaknya “how” menjadi kata kunci dalam upaya menemukan “rahasia” dibalik

kemunculan konsep-konsep teoritis dalam suatu teori komunikasi. Banyak cara mungkin

Mengenai komponen konsep, ini diartikan sebagai generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu, sehingga dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama (Singarimbun dan Effendy, 1984 : 17). Konsep ini sifatnya masih bermakna tunggal sehingga belum bisa dilakukan pengukuran terhadap fenomena yang dijelaskannya. Guna memungkinkan pengukuran, maka bagi ilmuwan tradisional terhadap suatu konsep harus diberikan sifat-sifat tertentu. Concepts are typically operationalized in traditional science (Littlejohn (2005 : 25) karena ilmu ini memerlukan ketepatan dalam melakukan observasi terhadap konsep yang

64 dipelajari. Komponen ketiga pada teori adalah penjelasan atau eksplanasi. The theorist identifies regularities or patterns in the relationships

among variables. In simplest terms, explanation answers the question, Why ? An explanation identifies a “logical force” among variables that connect them in some way. Penjelasan tersebut banyak jenisnya, namun dua diantaranya yang umum adalah penjelasan sebab-akibat (causal) dan penjelasan praktis (practical). Causal explanation explains outcomes as responses, whereas practical explanation sees action as controllable and strategic. In causal explanation, the consequent event is determined by some antecedent event. In practical explanation, outcomes are made to happen by actions that are chosen. Perbedaan antara penjelasan sebab akibat dan praktis ini sangat penting dalam debat mengenai apa yang harus dilakukan sebuah teori. Banyak teoritisi

65 tradisional mengatakan bahwa teori-teori akan berhenti pada tingkatan penjelasan ini. (Lihat, dalam Littlejohn, 2005 : 22). Sebuah prinsip adalah sebuah pedoman yang memungkinkan kita untuk melakukan interpretasi pada sebua peristiwa, membuat sebuah penilaian mengenai apa yang terjadi, dan kemudian memutuskan bagaimana melakukan tindakan dalam suatu situasi. Suatu

prinsip memiliki tiga bagian; (1) prinsip mengidentifikasikan suatu situasi atau peristiwa; (2) prinsip ini mengandung sebuah rangkaian norma-norma atau nilai-nilai, dan (3) prinsip menuntut sebuah hubungan antara suatu jarak tindakan dan konsekuensi- konsekuensi yang mungkin muncul. Principles enable researcher to repflect on the quality of actions observed and to provide

66 guidelines for practice as well. (Littlejohn, 2005 : 23). Komponen asumsi filosofis sering dibagi ke dalam tiga jenis pembahasan, meliputi pembahasan menurut sub komponen :

epistemologi, or questions of knowledge; ontologi, or questions of existence; aksiologi, or questions of value((Littlejohn, 2005 : 20).Looking for these assumptions provides a foundation for understanding how a given theory positions itself in relation to other

67 theories on these basic issues that help construct a theory”, kata Littlejohn (2005 :18).

68 Heylighen,, F.,”Epistemology, Introduction”, dalam , http://pespmc1.vub.ac.be/EPISTEMI.html, diakses, 22 Maret 2007.

69 Suriasumantri, Jujun S., 1984, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Sinar Harapan., hlm. 33-34. (Littlejohn, Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson Learning Inc., Wadsworth, 69 Suriasumantri, Jujun S., 1984, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Sinar Harapan., hlm. 33-34. (Littlejohn, Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson Learning Inc., Wadsworth,

Bila ditinjau menurut sejarah epistemologi, maka terlihat adanya suatu kecenderungan yang jelas mengenai bagaimana riwayat cara-cara menemukan kebenaran (pengetahuan), kendatipun riwayat dimaksud memperlihatkan adanya kekacauan banyak perspektif yang posisinya saling bertentangan. Teori pertama pengetahuan dititikberatkan

pada keabsolutannya, karakternya yang permanen 70 . Sedangkan teori berikutnya menaruh penekanannya

(keadaan)–dependence (ketergantungan), kerelativitasan pengetahuan tersebut berkembang secara terus-menerus atau berevolusi, dan pengetahuan secara aktif campur tangan terhadap the world dan subyek maupun obyeknya. Secara keseluruhan cenderung bergerak dari suatu ke-statis-an, pandangan pasif pengetahuan bergerak secara aktif ke arah penyesuaian demi penyesuaian.

Mari kita mulai dari filsuf Yunani. Dalam pandangan Plato, pengetahuan adalah hanya sebuah kesadaran mutlak, universal Ideas or Forms., keberadaan bebas suatu

subyek yang perlu dipahami 71 . Pemikiran Aristotle lebih menaruh penekanan pada metode logika dan empirik bagi upaya penghimpunan pengetahuan, dia masih menyetujui

pandangan bahwa pengetahuan seperti itu merupakan sebuah apprehension of necessary and universal principles. Mengikuti masa-masa Renaisans, terdapat dua epistemological utama yang posisinya mendominasi filsafat, yaitu empiricism dan rationalism. Empiricism (empirisme) yaitu suatu epistemologi yang memahami bahwa pengetahuan itu sebagai produk persepsi indrawi. Sementara rationalism (rasionalisme) melihat pengetahuan itu sebagai sebuah produk refleksi rasional.

Pengembangan terbaru yang dilakukan empirisme melalui eksperimen ilmu pengetahuan telah berimplikasi pada berkembangnya pandangan ilmu pengetahuan yang secara eksplisit dan implicit hingga sekarang masih dipedomani oleh banyak ilmuwan. Pedoman dimaksud yaitu reflection-correspondence theory. Menurut pandangan ini pengetahuan dihasilkan dari sejenis pemetaan atau refleksi obyek eksternal melalui organ indrawi kita, yang dimungkinkan terbantu melalui alat-alat pengamatan berbeda, menuju ke otak atau pikiran kita. Meskipun pengetahuan tidak mempunyai keberadaan a priori, seperti dalam konsepsi Plato, tetapi mesti dibangun dengan pengamatan, hal yang demikian karenanya masih absolute sifatnya, in the sense that any piece of proposed knowledge is supposed to either truly correspond to a part of external reality, or not. In that view, we may in practice never reach complete or absolute knowledge, but such knowledge is somehow conceivable as a limit of ever more precise reflections of reality.

Ada teori penting yang diperkembangkan pada periode itu yang layak untuk diikuti, yaitu menyangkut sintesa rasionalisme dan empirisme-nya para pengikut Kant.

Menurut Kant 72 , pengetahuan itu dihasilkan dari the organization of perceptual data on

Lihat, Robert N. St. Clair; Walter E. Rodríguez; dan Carma Nelson, “PLATO AND THE WORLDS OF IDEAL AND MATERIAL FORMS” dalam HABITUS AND COMMUNICATION THEORY, dalam http://louisville.edu/~rnstcl01/R- Bourdieu.html, diakses 22

71 Maret 2007. Robert N. St. Clair; Walter E. Rodríguez; dan Carma Nelson, “PLATO AND THE WORLDS OF IDEAL AND MATERIAL FORMS” dalam HABITUS AND COMMUNICATION THEORY, dalam http://louisville.edu/~rnstcl01/R- Bourdieu.html, diakses 22

72 Maret 2007. Immanuel Kant is one of the most influential philosophers in the history of Western philosophy. His contributions to metaphysics,

epistemology, ethics, and aesthetics have had a profound impact on almost every philosophical movement that followed him. This portion of the Encyclopedia entry will focus on his metaphysics and epistemology in one of his most important works, The Critique of Pure Reason. (All references will be to the A (1781) and B(1787) edition pages in Werner Pluhar's translation. Indianapolis: epistemology, ethics, and aesthetics have had a profound impact on almost every philosophical movement that followed him. This portion of the Encyclopedia entry will focus on his metaphysics and epistemology in one of his most important works, The Critique of Pure Reason. (All references will be to the A (1781) and B(1787) edition pages in Werner Pluhar's translation. Indianapolis:

Tahap berikutnya dari perkembangan epistemologi mungkin disebut pragmatis (pragmatic) 73 . Bagian-bagian dari perkembangan dimaksud dapat dijumpai pada masa-

masa mendekati awal abad dua puluh, misalnya seperti logika positivisme, konvensionalisme, dan mekanika kuantum menurut "Copenhagen interpretation” 74 .

Filsafat ini masih mendominasi kebanyakan cara kerja ilmiah dalam cognitive science dan artificial intelligence.

Menurut epistemologi pragmatis, pengetahuan terdiri dari model-model yang mencoba merepresentasikan lingkungan sedemikian rupa guna penyederhanaan secara maksimal pemecahan masalah, to maximally simplify problem-solving. Pemahaman demikian karena diasumsikan bahwa tidak ada model yang pernah bisa diharapkan untuk mampu menangkap semua informasi yang relevan, dan sekalipun model yang lengkap seperti itu ada, model tersebut mungkin akan sangat rumit untuk digunakan dalam cara praktis apapun. Karena itu kita harus menerima keberadaan kesejajaran model-model yang berbeda, sekalipun model-model dimaksud mungkin terlihat saling bertentangan. Model yang akan dipilih tergantung pada masalah yang akan dipecahkan. Ketentuan dasarnya adalah bahwa model yang digunakan sebaiknya menghasilkan perkiraan (melalui pengujian) yang benar (atau approximate) atau problem-solving, dan sesederhana mungkin. Pertanyaan lebih jauh yaitu menyangkut tentang the " the Ding an

Sich" or ultimate reality behind the model are meaningless. 75 Epistemologi pragmatis tidak memberikan jawaban jelas terhadap pertanyaan

mengenai asal-usul pengetahuan atau model. Ada asumsi tersirat bahwa model dibangun dari bagian-bagian model lain dan data empiris yang perolehannya didasarkan pada prinsip coba-coba-salah (trial and error) yang dilengkapi dengan beberapa heuristics atau ilham. Pandangan yang lebih radikal ditawarkan oleh para penganut constructivism. Kalangan ini mengasumsikan bahwa semua pengetahuan dibangun dari scratch by the subject of knowledge. Tidak ada sesuatu yang 'givens', data atau fakta empiris yang obyektif, kategori-kategori bawaan sejak lahir atau struktur-struktur kognitif.Gagasan

that our knowledge is constrained to mathematics and the science of the natural, empirical world. It is impossible, Kant argues, to extend knowledge to the supersensible realm of speculative metaphysics. The reason that knowledge has these constraints, Kant argues, is that the mind plays an active role in constituting the features of experience and limiting the mind's access to the

73 , http://www.utm.edu/research/iep/k/kantmeta.htm, diakses, 6 Juni 2007) pragmatic theory is the theory of truth that the truth of a statement consists in its practical consequences, esp. in its agreement with

empirical realm of space and time.( dalam

subsequent experience.( http://dictionary.reference.com/browse/pragmatic%20theory).

74 The Copenhagen interpretation is an interpretation of quantum mechanics formulated by Niels Bohr and Werner Heisenberg while collaborating in Copenhagen around 1927. Bohr and Heisenberg extended the probabilistic interpretation of the wave function,

proposed by Max Born. Their interpretation attempts to answer some perplexing questions which arise as a result of the quantum mechanics, such as wave-particle duality and the measurement problem. There is no quantum world. There is only an abstract physical description. It is wrong to think that the task of physics is to find out how nature is. Physics concerns what we can say about nature. [1] There is no definitive statement of the Copenhagen Interpretation [2]

since it consists of the views developed by a number of scientists and philosophers at the turn of the 20th Century. Thus, there are a number of ideas that have been associated

with the Copenhagen interpretation.(dalam, http://en.wikipedia.org/wiki/Copenhagen_interpretation).

korespondensi 76 atau refleksi realitas eksternal karenanya menjadi sesuatu hal yang ditolak. Karena kekurangan hubungan di antara model dan hal yang mereka

representasikan ini, maka bahayanya bagi constructivism adalah bahwa mereka mungkin cenderung menjadi relativisme, karena dengan keyakinan mereka bahwa semua pengetahuan dibangun dari scratch by the subject of knowledge maka cara untuk membedakan pengetahuan memadai atau 'sebenarnya' dari pengetahuan yang tidak cukup atau 'palsu', menjadi tiada.

Kita bisa membedakan dua pendekatan yang mencoba menghindari 'kemutlakan relativisme'. Pendekatan yang pertama disebut konstruktivisme individual (individual

constructivism) dan kedua konstruktivisme sosial (social constructivism) 77 . Konstruktivisme individual mengasumsikan bahwa seorang individu mencoba mencapai

koherensi di antara perbedaan potongan-potongan pengetahuan itu. Pembuatan atau pengkonstruksian yang tidak konsisten dengan mayoritas pengetahuan lain akan menyebabkan individu jadi cenderung untuk menolaknya. Pengkonstruksian yang berhasil dalam mengintegrasikan potongan-potongan pengetahuan yang sebelumnya tidak bertautan (incoherent)akan dipelihara.

Konstruktivisme sosial memahami mufakat antara subyek berbeda sebagai ketentuan tertinggi untuk menilai pengetahuan. 'Kebenaran' atau 'kenyataan' hanya akan diberikan terhadap pengkonstruksian yang disetujui kebanyakan orang dari suatu kelompok masyarakat. Dalam filsafat tersebut pengetahuan tampak sebagai sebuah hipotesis

Sebagai ilmuwan constructivists ’radikal' Maturana 78 dan Varela berargumentasi bahwa, the nervous

‘realitas

eksternal’yang

sangat

independent.

system of an organism cannot in any absolute way distinguish between a perception (caused by an external phenomenon) and a hallucination (a purely internal event) 79 .Satu-

satunya kriteria dasar ialah bahwa perbedaan mental entitas atau perbedaan proses kejiwaan di dalamnya atau di antara individu-individu sebaiknya menjangkau semacam keseimbangan.

Melalui pendekatan Konstruktivis tampak penekanannya lebih banyak pada soal perubahan dan sifat relatif dari pengetahuan, dan cara-cara mereka yang mengunggulkan kesepakatan sosial atau koherensi internal dalam menemukan kebenaran, ini menyebabkan mereka tetap masih memiliki ciri yang absolut. Dengan kata lain, keabsolutan ini ditandai oleh keyakinan para konstruktivist bahwa synthetic outlook is offered by different forms or evolutionary epistemology. Melalui cara ini dianggap bahwa

correspondence theory is the theory of truth that a statement is rendered true by the existence of a fact with corresponding elements

and a similar structure. (http://dictionary.reference.com/search?q=correspondence%20theory).

77 Social constructivism is a variety of cognitive constructivism that emphasizes the collaborative nature of much learning. Social constructivism was developed by post-revolutionary Soviet psychologist, Lev Vygotsky. Vygotsky was a cognitivist, but rejected the

assumption made by cognitivists such as Piaget and Perry that it was possible to separate learning from its social context. He argued that all cognitive functions originate in, and must therefore be explained as products of, social interactions and that learning was not simply the assimilation and accommodation of new knowledge by learners; it was the process by which learners were integrated into a knowledge community. According to Vygotsky: Every function in the child's cultural development appears twice: first, on the social level and, later on, on the individual level; first, between people (interpsychological) and then inside the child (intrapsychological). This applies equally to voluntary attention, to logical memory, and to the formation of concepts. All the higher

functions originate

individuals. (p. 57). (lihat,

http://gsi.berkeley.edu/resources/learning/social.html).

78 Maturana, Humberto is the founder of radical constructivism. Menurutnya : Cognition is a biological phenomenon and can only be understood as such; any epistemological insight into the domain of knowledge requires this understanding. (http://www.enolagaia.

79 com/Tutorial1.html#MV). Heylighen,, F.,” Epistemology, introduction”, dalam , http://pespmc1.vub.ac.be/EPISTEMI.html, diakses, 22 Maret 2007.

pengetahuan itu dikonstruksikan oleh the subject or group of subjects in order to adapt to their environment in the broad sense. 80 Pengkonstruksian itu merupakan sebuah proses

yang terus berkelanjutan pada tingkatan-tingkatan yang berbeda, baik secara biologis maupun psikologis atau sosial. Pengkonstruksian terjadi melalui blind variation of existing pieces of knowledge, and the selective retention of those new combinations that somehow contribute most to the survival and reproduction of the subject(s) within their

given environment. 81 Oleh karena itu, sebagaimana dikatakan Heylighen , bahwa the 'external world' again enters the picture, although no objective reflection or

correspondence is assumed, only an equilibrium between the products of internal variation and different (internal or external) selection criteria. 82 Dalam kaitan ini, maka

bentuk kemutlakan atau ke-permanen-an apapun sudah hilang dalam pendekatan ini. Namun demikian, sebagaimana dikatakan Heylighen, knowledge is basically still a passive instrument developed by organisms in order to help them in their quest for survival.

Pendekatan paling baru terkait epistemologi, dan mungkin ini pendekatan yang lebih radikal, yaitu kalangan ilmuwan yang memandang bahwa ilmuwan itu harus to make knowledge actively pursue goals of its own. Pengetahuan itu dibuat harus mampu

aktif untuk mencapai cita-citanya sendiri. Pendekatan epistemologi ini disebut memetics 83 . Memetics mencatat bahwa pengetahuan bisa ditransmisikan dari satu subyek kepada

subyek lainnya, dan dengan cara demikian kehilangan ketergantungannya pada individu tunggal manapun. Sepotong pengetahuan yang bisa ditranmisikan atau ditiru dengan cara

sedemikian rupa disebut 'meme' 84 (dibaca : -meem-mim). The death of an individual carrying a certain meme now no longer implies the elimination of that piece of

knowledge, as evolutionary epistemology would assume. Sepanjang meme menjalar lebih cepat sampai ke pengangkut baru, setelah itu alat pengangkutnya mati, maka meme akan tetap berkembang biak, sekalipun pengetahuan itu menyebabkan dalam diri individu pengangkut manapun, kemungkinan sama sekali tidak mampu dan juga berbahaya bagi

kelangsungan hidupnya. 85 Dalam pandangan ini, sepotong pengetahuan mungkin succesful (in the sense

that it is common or has many carriers) sekalipun mungkin prediksinya salah sama sekali, sejauh pengetahuan tersebut cukup meyakinkan bagi para individu yang berperan sebagai pengangkut baru pengetahuan. Di sini tampak gambaran di mana subyek pengetahuan pun sudah kehilangan keunggulannya sendiri, dan pengetahuan menjadi a force of its own with proper goals and ways of developing itself. Pengetahuan dalam pengertian dimaksud, dalam kenyataan dapat diilustrasikan melalui banyaknya takhyul,

81 Heylighen,, F.,” Epistemology, introduction”, dalam , http://pespmc1.vub.ac.be/EPISTEMI.html, diakses, 22 Maret 2007.

82 Heylighen,, F.,” Epistemology, introduction”, dalam , http://pespmc1.vub.ac.be/EPISTEMI.html, diakses, 22 Maret 2007. Idem.

83 Memetics is the study of ideas and concepts viewed as "living" organisms, capable of reproduction and evolution in an "Ideosphere" (similar to the Biosphere) consisting of the collective of human minds. Memes reproduce by spreading to new hosts, who will

spread them further (typical examples are jokes, catchphrases or politicial ideas). (http://aleph.se/Trans/Cultural/Memetics/).

84 Dalam kamus memetics, meme (pron. `meem') : A contagious information pattern that replicates by parasitically infecting human minds and altering their behavior, causing them to propagate the pattern. (Term coined by Dawkins, by analogy with "gene".)

Individual slogans, catch-phrases, melodies, icons, inventions, and fashions are typical memes. An idea or information pattern is not a meme until it causes someone to replicate it, to repeat it to someone else. All transmitted knowledge is memetic. (Wheelis,

85 quoted in Hofstadter.) (http://pespmc1.vub.ac.be/MEMLEX.html). Heylighen,, F.,” Epistemology, introduction”, dalam , http://pespmc1.vub.ac.be/EPISTEMI.html, diakses, 22 Maret 2007.

cerita-cerita iseng, dan kepercayaan-kepercayaan tak masuk diakal yang telah merambah ke seluruh dunia, dan terkadang dengan kecepatan yang luar biasa.

Seperti halnya social constructivism, maka memetics perhatiannya juga tertarik pada komunikasi dan proses sosial dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Namun dalam memandang pengetahuan sebagai hasil konstruksi sistem sosial, memetic lebih melihat sistem sosial itu sebagai sesuatu yang dikonstruksikan oleh proses pengetahuan. Memang, satu kelompok sosial bisa didefinisikan melalui fakta bahwa semua anggotanya membagikan meme yang sama (Heylighen, 1992). Konsep 'self' -pun ', yaitu konsep yang membedakan seseorang sebagai seorang individu (a person as an individual), bisa dipertimbangkan sebagai sebuah potongan pengetahuan, yang terkonstruksikan melalui proses sosial, dan oleh sebab itu menjadi sebuah hasil dari evolusi memetic. Dari pendekatan konstruktivis, di mana pengetahuan merupakan hasil konstruksi individu atau masyarakat, maka kita telah bergerak ke pendekatan memetic, yakni pendekatan yang melihat masyarakat dan individu sebagai dihasilkan oleh pengkonstruksian melalui sebuah proses evolusi yang terus-menerus dari fragmentasi independent pengetahuan yang berkompetisi demi dominasi.

Dari riwayat singkat tentang cara-cara menemukan kebenaran (pengetahuan) sebelumnya, kiranya memberikan gambaran bahwa melalui argumentasinya masing- masing, kalangan ilmuwan tidak memiliki cara yang sama dalam upayanya menemukan kebenaran pada obyek ilmu dan karena itu berkonsekuensi pada penteorisasian fenomena

komunikasi. Jadi, memang benar apa yang dikatakan Neuman 86 , bahwa Theories come in many shapes and sizes.

2. Refleksi epistemologi dalam forma penteorisasian fenomena komunikasi

Ilmu komunikasi, sebagai ilmu yang menurut banyak ahli sebagai ilmu yang bersifat interdisipliner, telah menimbulkan banyak pandangan ahli dalam berupaya mengkateorikan teori-teori komunikasi yang telah ada. Dalam upaya pengkategorian ini, para teoritisinya masing-masing menunjukkan penggunaan istilah yang berbeda. Istilah itu, menurut penulis ada yang pengkodefikasiannya menurut tempat berasalnya pemikiran-pemikiran teoritis, ada yang menurut “ideologi” yang mendasari lahirnya perspektif teoritis, dan ada yang berdasarkan cara bekerjanya ilmu dalam proses mencapai kebenaran ilmiahnya.

Terhadap pengkodefikasian yang dilakukan berdasarkan tempat asal lahirnya pemikiran teoritis, maka pengkodefikasiannya dikenal dengan kelompok Chicago School yang Liberal-Pluralis dan direpresentasikan sebagai perspektif teori komunikasi Barat yang nota bene positivistic/obyektif. Karenanya, penelitian dalam kubu ini diarahkan pada penggunaan unit analisis individu dengan methode survey dan instrumen-instrumen yang standar, yang dimaksudkan sebagai usaha dalam menjelaskan gejala-gejala sosial sebagaimana dalam hukum-hukum alam, yang hanya terbatas pada erklaeren berdasarkan

hubungan causal. Lawannya adalah Frankfurt School-Marxis Kritikal 87 , yang

Neuman, W. Lawrence, 2000, “The Ethics And Politic of Social Research”, in chapter 5 on Social Research Methods-Qualitative

and Quantitative Approaches, Allyn and Bacon, Boston, USA.

87 The Frankfurt School is a school of neo-Marxist social theory, social research, and philosophy. The grouping emerged at the Institute for Social Research (Institut für Sozialforschung) of the University of Frankfurt am Main in Germany when Max

Horkheimer became the Institute's director in 1930. The term "Frankfurt School" is an informal term used to designate the thinkers affiliated with the Institute for Social Research or influenced by them: it is not the title of any institution, and the main thinkers of

the Frankfurt School did not use the term to describe themselves.

direpresentasikan sebagai pemikiran-pemikiran yang melahirkan teori-teori komunikasi Timur. Para Ilmuwan dalam kelompok ini, dengan tokoh yang antara lain terdiri dari Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, Erich Fromm dan Herbert Macuse, banyak dipengaruhi oleh kritik idealisme Karl Marx. Jadi, di antara dua kubu tersebut, forma penteorisasian fenomena komunikasinya, secara epistemologis terutama terbedakan karena soal ‘value’ dalam proses bekerjanya ilmu dalam menemukan kebenaran ilmiahnya.

Kemudian, pengkodefikasian yang dilakukan menurut cara bekerjanya ilmu dalam proses mencapai kebenaran ilmiahnya, maka termasuklah di sini pengistilahan yang diberikan Mc Quail dan Griffin. Mc Quail sendiri mengkodefikasikan istilahnya itu dengan konsep model, yakni model komunikasi yang terdiri dari model Transmisi dan Ritual. Model transmisi merupakan model yang menggambarkan cara bekerjanya ilmu komunikasi dalam perspektif tradisional atau positivistic yang nota bene free value. Jadi, sama dengan proses bekerjanya ilmu dalam perspektif Teori Barat sebelumnya. Sementara model ritual, yakni model yang menggambarkan cara bekerjanya ilmu komunikasi itu dengan proses seperti yang terjadi pada perspektif interpretif (humanis) sebagaimana dikatakan Griffin seperti telah disinggung sebelumnya. Griffin sendiri, mengistilahkan transmisi sebagaimana digunakan Mc Quail tadi dengan istilah Scientific (Objektive). Dengan mana, perspektifnya relatif tidak berbeda dengan apa yang digambarkan oleh Mc Quail.

Kemudian, kodefikasi yang dilakukan menurut “ideologi” sebagai landasan epistemologis yang mendasari lahirnya perspektif teoritis. Untuk yang ini, maka ada dua teoritisi yang mengemukakan gagasannya. Pertama seperti yang dikemukakan Littlejohn

melalui istilah yang disebutnya dengan genre 88 atau jenis-jenis teori komunikasi, dan kedua oleh Miller dengan istilahnya Conceptual Domains of Communication Theory.

Terkait dengan Littlejohn, maka genre teori komunikasi itu menurutnya ada lima:

1. teori struktural fungsional; 2. teori kognitif dan behavioral; 3. teori interaksional; 4. teori interpretif dan 5. teori kritis. (Littlejohn, 1994 : 13). Basis pada teori “1” adalah perspektif sosiologi struktural-fungsionalisme dari Emile Durkheim dan Talcott Parson. Perspektif ini berdasarkan pada perspektif dalam falsafah determinisme. Pada teori kedua, maka basis pemikirannya bertolak pada perspektif psikologis, yakni Stimulus (S) dan Respon (R). Manusia mendapatkan pengetahuannya dengan cara merespon rangsangan-rangsangan yang ada di alam ini. Pada genre ketiga, maka basisnya adalah bahwa kehidupan sosial dipandang sebagai sebuah proses interaksi, tokohnya antara lain Herbert Mead. Kemudian genre keempat, basisnya yaitu pada upaya menemukan makna pada teks. Dalam kelompok ini tergabung para ilmuwan yang menamakan diri dengan henneneuticists, poststructuralis, deconstructivis, phenomenologis, peneliti studi budaya, dan ada yang menyebutnya dengan ahli teori aksi sosial. Terakhir yaitu teori kritis, basis teorinya adalah kritik idealisme Karl Marx, dengan tokoh awalnya Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, Erich Fromm dan Herbert Macuse.

Meskipun teori komunikasi itu terbagi menjadi lima genre, namun ini bukan berarti masing-masing genre tidak memiliki persamaan sama sekali. Persamaan yang kasat mata, paling tidak itu dimungkinkan terjadi menurut motif yang melatar belakangi

Daniel Chandler , “The word genre comes from the French (and originally Latin) word for 'kind' or 'class'. The term is widely used in rhetoric, literary theory, media theory, and more recently linguistics, to refer to a distinctive type of 'text'*. How we define a Daniel Chandler , “The word genre comes from the French (and originally Latin) word for 'kind' or 'class'. The term is widely used in rhetoric, literary theory, media theory, and more recently linguistics, to refer to a distinctive type of 'text'*. How we define a

yang sedalam-dalamnya tentang fenomena (Erscheinungen) komunikasi sebagai obyek forma dari ilmu komunikasi. Selain persamaan umum, juga terdapat persamaan yang khas pada kelima genre itu. Persamaan dimaksud, misalnya antara genre struktural and functional theories dengan genre cognitif and behavioral theories, keduanya dipersamakan oleh landasan falsafah ilmu yang dianut, yakni determinisme – positivisme yang dipelopori A. Comte

(1798-1857) 89 . Dengan demikian, komunikasi antara lain dianggap sebagai proses yang linier, dari komunikator ke komunikan. Jadi, persis seperti apa yang dimaksudkan Mc

Quail dalam model transmisinya. Namun demikian, khusus terhadap genre pertama sebelumnya (struktural and functional), genre itu lahir dari akar pemahaman yang berbeda, di mana struktural berbasis pada pandagan sosiologi, sementara functional basisnya pada biologi, terutama terhadap konsep sistem anatomi tubuh manusianya, yang kemudian dinilai tidak berbeda halnya dengan sosial. Persamaan lainnya adalah, bahwa kedua genre teori komunikasi dimaksud, juga berada dalam posisi yang sama dalam melihat posisi value dalam ilmu, yakni sama-sama meyakini bahwa nilai tidak boleh terlibat dalam proses keilmuan demi tidak lahirnya bad science. Dengan demikian, ilmuwan dalam kelompok ini berupaya tetap menjaga jarak antara dirinya dengan obyek dalam usahanya mengkonseptualisir suatu fenomena. Karenanya, hipotesis yang dirumuskan dengan proses berfikir ilmiah deduktif, dinilai jadi sangat berperan dalam kedua genre ketika berupaya menemukan kebenarannya.

Berbeda dengan dua genre teori komunikasi sebagaimana dibahas barusan, maka pada tiga genre lainnya, yaitu interactionist symbolic theories; interpretive theories dan critical theories, masalah value dinilai syah dalam proses ilmiah. Ini berhubungan dengan pemahaman bahwa manusia itu sebagai makhluk yang memiliki kehendak bebas. Seiring dengan itu, komunikasipun dirumuskan bukan sebagai sebuah proses yang linier, melainkan sirkuler, dengan mana manusia-manusia yang terlibat di dalamnya tidak dibedakan dalam hal status seperti halnya dalam genre teori yang berperspektif positivis dengan isitilah komunikator dan komunikan. Dalam tiga genre ini, individu yang terlibat disebut dengan partisipan komunikasi, atau ada yang dengan istilah komunikan sebagai ekuivalen dengan partisipan Dengan demikian, maka komunikasipun antara lain didefinisikan sebagai sebuah proses pertukaran makna dan konseptualisasi fenomenanya dilakukan menurut subyek penelitian dengan prinsip ongoing process.

Dari uraian tentang refleksi epistemologi dalam forma penteorisasian fenomena komunikasi tadi, kiranya mengindikasikan bahwa relatif rumitnya dalam upaya memahami eksistensi suatu teori komunikasi dengan baik. Suatu pemahaman yang secara pra kondisional tentunya sangat diperlukan oleh para akademisi komunikasi, terutama bagi para pemula, guna tidak terjadinya kekeliruan dalam mengaplikasikan suatu teori ketika mengkonseptualisasikan sebuah fenomena komunikasi. Namun, kerumitan ini tampaknya antara lain bisa dikurangi dengan cara mengelompokkan teori-teori komunikasi yang ada menurut setiap genre yang ada. Akan tetapi, sejauh pengamatan

dalam, Poedjawijatna, I.R., 1983, Tahu dan Pengetahuan, Pengantar ke Ilmu dan Filsafat, Jakarta, Bina Aksara., hlm. 94.

menunjukkan bahwa upaya yang demikian belum ditemui. Yang ada bukan menurut genre, melainkan diantaranya menurut level, gugusan, dan menurut alpabetisnya. Upaya

yang demikian antara lain telah dilakukan oleh University of Twente Nedherland 90 . Micro level theory deals with small slices of time, space, or numbers of people.

Konsep-konsep yang dikandung biasanya tidak begitu abstrak. Theories micro level, diantaranya terdiri dari : Argumentation Theory; Cognitive Dissonance theory; Elaboration Likelihood Model; Model of Text Comprehension; Semiotics; Speech Act; Uncertainty Reduction Theory. Meso Level theory, level ini secara relatif jarang dijumpai. Level teori tersebut mencoba menghubungkan level makro dan mikro, atau berupaya untuk mengoperasikan teori pada suatu tingkatan intermediate. Teori-teori sosial yang sering mencapai taraf meso ini adalah teori-teori mengenai organisasi, gerakan-gerakan sosial, atau mengenai komunitas-komunitas. Theories meso level ini diantaranya : Adaptive Structuration Theory; Attraction-Selection-Attrition Framework; Contingency Theories; Media Richness Theory. Sedang Macro level theory lebih perhatian terhadap soal “the operation of larger aggregates”,misalnya seperti lembaga-lembaga sosial, sistem budaya secara keseluruhan, dan masyarakat secara keseluruhan. Konsep-konsep yang digunakannya lebih abstrak. Theories macro level diantaranya : Agenda Setting Theory; Cultivation Theory; Diffusion of Innovations Theory; Hypodermic Needle Theory; Medium Theory; Priming; Spiral of Silence; Two Step Flow Theory.

Sementara terkait dengan kategori menurut gugusan (cluster), ini dikelompokkan menjadi menurut :

1) Interpersonal Communication and Relations

2) Organizational Communication

3) Mass Media

4) Communication and Information Technology

5) Communication Processes

6) Health Communication

7) Language Theories and Linguistics

8) Media, Culture and Society

9) Public Relations, Advertising, Marketing and Consumer Behavior Secara rinci mengenai penggugusan tersebut, misalnya pada gugusan Interpersonal Communication and Relations theory, diantaranya terdiri dari : Attribution Theory; ACT* Theory; Argumenation Theory; Contagion Theories; Classical Rhetoric; Cognitive Dissonance theory; Elaboration Likelihood Model; Expectancy Value Model; Interpretative and Interaction Theories; Language Expectancy Theory; Network Theory and Analysis; Sensemaking; Social Identity Theory; Symbolic Interactionism; Social Cognitive Theory; Speech Act ; Theory of Planned Behavior/ Reasoned Action; Uncertainty Reduction Theory. Pada Organizational Communication, terdiri dari : Adaptive Structuration Theory, Attraction-Selection-Attrition Framework; Competing Values Framework; Contingency Theories; Enactment Theory; Framing in organizations; Groupthink; Media Richness Theory; Network Theory and Analysis in Organizations; Sensemaking; Structurational Theory; System Theory; Uncertainty Reduction Theory. Sementara pada kelompok Mass Media Theory, antara lain terdiri dari : Agenda Setting Theory; Priming; Framing; Cultivation Theory; Dependency Theory;

Hypodermic Needle Theory; Knowledge Gap; Media Richness Theory; Medium Theory; Spiral of Silence; Two Step Flow Theory; Uses and Gratifications Approach 91 .

Penutup

Sebagaimana telah dibatasi sebelumnya pada bagian awal makalah ini, bahwa fokus telaah makalah dibatasi pada risalah teori komunikasi dalam kaitan kepentingan pemahaman fenomena komunikasi yang kompleks yang dikonseptualisir ke dalam teori komunikasi. Setelah itu dilakukan peninjauan terhadap upaya teorisasi fenomena menurut komponen epistemologis sebagai salah satu dari tiga bagian dalam elemen asumsi filosofis, yang nota bene juga menjadi salah satu dari empat komponen dasar dalam suatu teori komunikasi. Dengan pembatasan dimaksud, makalah tersebut membagi pembahasannya menjadi sbb. : A. Fenomena komunikasi dan upaya teorisasinya; B. Sub Komponen Epistemologi Dalam Komponen Asumsi Filosofis : 1. Sejarah Epistemologi dan 2. Refleksi epistemologi dalam forma penteorisasian fenomena komunikasi.

Dari hasil pembahasan terhadap permasalahan Fenomena komunikasi dan upaya teorisasinya, diketahui bahwa upaya dimaksud secara historis telah dimulai sejak filsuf Yunani Aristotle mempelajari seni atau cara-cara berbicara di depan umum. Hasil telaahnya kemudian dikenal luas dengan konsep retorika. Telaah komunikasi kemudian menjadi bagian dari obyek studi sosiologi, yakni sosiologi pers. Perhatian terhadap komunikasipun semakin melebar dan terutama dalam kaitannya untuk mengetahui kesuksesan propaganda politik melalui media massa pada saat pecahnya perang dunia. Dari sini, telaah fenomena komunikasi mulai dituangkan ke dalam bentuk model. Model komunikasi itu perannya baru terbatas hanya sebagai salah satu sumber yang dapat membantu dalam proses perumusan suatu teori komunikasi, sebuah elemen ilmiah yang notabene perannya sangat signifikan dalam proses kerja ilmiah. Karena keterbatasan tersebut, dalam kaitan upaya pemahaman fenomena komunikasi, para akademisi akhirnya berupaya meningkatkan model ke tingkat lebih memadai secara ilmiah, dan karenanya lahirlah apa yang disebut dengan taxonomies. Sebagai sebuah teori, dalam kaitan upaya ilmu komunikasi mengembangkan dirinya sendiri (pure science), maka teori berkadar taxonomie belum memadai dalam membantu ditemuinya pengetahuan yang seumum- umumnya mengenai fenomena human communication. Untuk keperluan tersebut diantaranya diperlukan teori yang di dalamnya terpenuhi empat komponen dasar teori, yakni meliputi komponen : asumsi filosofis, konsep, penjelasan dan prinsip atau panduan untuk bertindak.

Selain itu, diperlukan upaya pengembangan kemampuan teori sebagai petunjuk ini secara kontinyu. Berdasarkan kemampuannya dalam memerankan fungsi sebagai petunjuk dimaksud, maka teori tadi diketahui tingkatannya ada tiga. Terdiri dari : Micro level theory- Macro level tyheory – dan Meso Level Theory. Kemudian, dalam upaya ilmuwan komunikasi untuk meningkatkan teorinya menjadi lebih bermutu, maka ada dua jenis teori yang memungkinkan bagi terwujudnya pencapaian upaya itu. Kedua teori dimaksud adalah nomothetic theory dan practical theory. Teori itu mengandung sebuah rangkaian mengenai petunjuk-petunjuk (indikator) dalam mengetahui dunia dan bertindak sesuai dengan petunjuk-petunjuk dimaksud. Dalam kaitan upaya menjadikan teori sebagai petunjuk dalam menelaah suatu fenomena komunikasi, maka perlu diketahui

Rincian lengkap mengenai teori menurut penggugusan tersebut, dapat dilihat dalam situs University of Twente, Netherlands , (http://www.tcw.utwente.nl/theorieenoverzicht/index.html).

eksistensi hakikinya terlebih dahulu agar fungsinya sebagai kompas benar-benar dapat terberdayakan. Upaya memahami eksistensi hakiki dimaksud, dalam terminologi filsafat ilmu, itu diantaranya dapat dilakukan melalui telaah ilmu pada aspek epistemologi.

Berdasarkan pembahasan pada Sub Komponen Epistemologi Dalam Komponen Asumsi Filosofis, maka menurut telaah Sejarah Epistemologi diketahui bahwa melalui argumentasinya masing-masing, kalangan ilmuwan tidak memiliki cara yang sama dalam upayanya menemukan kebenaran pada obyek ilmu dan karena itu berkonsekuensi pada penteorisasian fenomena komunikasi. Sementara dari hasil pembahasan menurut Refleksi epistemologi dalam forma penteorisasian fenomena komunikasi, diketahui bahwa relatif rumitnya memahami eksistensi suatu teori komunikasi dengan baik. Namun, kerumitan ini tampaknya antara lain bisa dikurangi dengan cara mengelompokkan teori-teori komunikasi yang ada menurut setiap genre yang ada. Akan tetapi, sejauh pengamatan upaya yang demikian masih sulit ditemui. Pengelompokan teori komunikasi yang telah dilakukan akademisi cenderung masih sebatas menurut level, gugusan, dan menurut alpabetisnya.***

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

GANGGUAN PICA(Studi Tentang Etiologi dan Kondisi Psikologis)

4 75 2