STRATEGI PENERAPAN BERBAGI PAKAI

STRATEGI PENERAPAN BERBAGI PAKAI

Seperti layaknya buah simalakama (dilema), perusahaan kerap mengalami kesulitan dalam menentukan strategi penerapan teknologi informasi. Di satu pihak jika tidak dipersenjatai dengan teknologi informasi maka sulit untuk dapat berkembang dan berkompetisi, di pihak lain jika harus mengeluarkan uang untuk berinvestasi maka akan mengalami kesulitan karena dapat membuat arus kas menjadi terkuras. Lalu bagaimana jalan keluarnya?

Salah satu terobosan model bisnis yang dapat diterapkan adalah dengan menggunakan pendekatan shared‐services atau berbagi pakai. Dalam konteks ini, perusahaan tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk berinvestasi, namun cukup membayar seperlunya saja, atau sesuai dengan layanan yang dinikmatinya, misalnya dengan variasi perjanjian sebagai berikut:

• perusahaan membayar layanan per layanan transaksi bisnis yang terjadi; atau

• perusahaan membayar biaya yang sama (flat rate) per periode, misalnya mingguan, bulanan, atau tahunan untuk semua layanan yang

dinikmatinya; atau • perusahaan membayar per volume transaksi (satu paket transaksi) yang

terjadi; atau • perusahaan membayar per pemakaian sumber daya teknologi yang

dipakai dalam satuan waktu maupun program/proyek; dan lain sebagainya.

Intinya adalah bahwa perusahaan tidak perlu memiliki infrastruktur atau aset teknologi informasi yang dibutuhkan, karena ada pihak lain yang melakukan investasi tersebut. Adapun perusahaan berperan sebagai pelanggan yang menikmati layanan dari pihak yang melakukan investasi terkait selama jangka waktu tertentu yang disepakati bersama (tentu saja setelah keduanya melakukan perhitungan cost‐benefit secara cermat sehingga dapat diketahui ROI atau IRR‐nya).

Konsep ini biasanya baru dapat dilakukan apabila dua syarat minimum terpenuhi, yaitu:

1. Perusahaan harus menjamin terjadinya volume transaksi yang memadai (economy of scale) agar pihak yang berinvestasi dapat kembali investasinya dalam waktu yang tidak terlampau lama; dan

2. Perusahaan harus bersedia menandatangani perjanjian tahun jamak (multi years contract), karena kondisi ini dibutuhkan bagi investor untuk mengembalikan investasinya sekaligus memperoleh keuntungan dari usahanya tersebut.

Untuk perusahaan yang besar, dengan frekuensi transaksi yang tinggi/banyak, memenuhi kedua buah persyaratan tersebut tidaklah sulit. Namun untuk perusahaan kecil dan menengah, agak sulit untuk menjamin terpenuhinya syarat yang pertama. Oleh karena itulah maka harus dilakukan terobosan, sebagaimana dijelaskan berikut ini.

Agar terdapat volumen transaksi yang memadai, perusahaan harus saling berkolaborasi atau bekerjasama dengan beberapa perusahaan lainnya (membentuk konsorsium). Hal ini dimungkinkan terutama bagi layanan teknologi informasi yang bukan merupakan bisnis inti atau core business dari perusahaan yang dimaksud. Misalnya adalah sejumlah bank berkolaborasi untuk mendapatkan layanan ATM bersama, atau beberapa perusahaan pertambangan bekerjasama untuk mendapatkan layanan manajemen dokumen elektronik, atau antara perguruan tinggi bersepakat untuk saling berbagi pakai layanan perpustakaan digital, dan lain sebagainya. Dengan adanya kolaborasi ini, maka secara kolektif volume transaksi yang diharapkan dapat terpenuhi. Sementara itu untuk memenuhi butir yang kedua, seluruh pihak yang berkolaborasi tersebut harus membuat kontrak bersama (join contract) atau proposal kemitraan kolektif (join TOR/RFP).

Sebagai tambahan, ada pula sejumlah kondisi, yang memaksa antar perusahaan dalam industri yang sama harus berkolaborasi. Misalnya adalah terkait dengan layanan kliring antar bank, atau layanan transfer kredit antar universitas, atau layanan satu atap proses perijinan di pemerintahan, atau layanan interkoneksi antar operator telekomunikasi, dan lain sebagainya. Dalam konteks ini, maka model saling berbagi pakai merupakan suatu kenischayaan.

Bagi bisnis, pendekatan ini sangat disenangi karena sejumlah alasan, antara lain: • berubahnya capex (capital expenditure, biaya investasi) menjadi opex

(operational expenditure, biaya operasional), sehingga meringankan beban usaha bagi pemodal/investor dalam mengembangkan usahanya;

• diserahkannya kegiatan operasional kepada pihak ketiga yang profesional, sehingga perusahaan tidak harus menanggung berbagai biaya

dan risiko yang ditimbulkan; • dialihkannya urusan kinerja pendukung usaha kepada pihak lain

(outsourcing), sehingga perusahaan dapat fokus pada bisnis intinya; • kekhawatiran akan cepatnya perkembangan teknologi tidak perlu

dipikirkan karena menjadi tanggung jawab dan isu yang harus dipertimbangkan oleh pihak ketiga;

• adanya jaminan terpenuhinya kebutuhan perusahaan berdasarkan tingkat layanan (service level) yang disepakati dalam kontrak;

• tidak perlu disediakannya sumber daya yang besar untuk mendapatkan layanan teknologi informasi; dan lain sebagainya.