Karakteristik Masyarakat PesisirNelayan Landasan Teori .1 Teori Pembangunan Manusia

yang terjadi dengan keadaannya bisa saja nelayan tetap merasa bahagia dan tidak mempermasalahkan kemiskinan yang membelitnya. Penyebab lainnya adalah karena faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait karakteristik sumber daya serta teknologi yang digunakan.

2.1.4 Karakteristik Masyarakat PesisirNelayan

Menurut Pomeroy, et al. 2004:61-83 masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya pesisir. Imron 2003:51-62 mengemukakan bahwa masyarakat nelayan memiliki paling sedikit lima karakteristik yang membedakan dengan petani pada umumnya. Kelima karakteristik tersebut adalah: a. Pendapatan nelayan biasanya bersifat harian, jumlahnya sulit ditentukan, tergantung pada musim dan status nelayan itu sendiri. Nelayan khususnya pandega merasa kesulitan dalam merencanakan penggunaan pendapatannya. Keadaan demikian mendorong nelayan untuk segera membelanjakan uangnya segera setelah mendapatkan penghasilan. Implikasinya, nelayan sulit untuk mengakumulasikan modal atau menabung. Pendapatan yang mereka peroleh pada musim penangkapan ikan habis digunakan untuk menutup kebutuhan keluarga sehari-hari, bahkan seringkali tidak mencukupi kebutuhan tersebut. b. Segi pendidikan, tingkat pendidikan nelayan maupun anak-anak nelayan pada umumnya rendah. c. Sifat produk yang dihasilkan nelayan lebih banyak berhubungan dengan ekonomi tukar-menukar karena produk tersebut bukan merupakan makanan pokok. Selain itu, sifat produk yang mudah rusak dan harus segera dipasarkan menimbulkan ketergantungan yang besar dari nelayan kepada pedagang. d. Bidang perikanan membutuhkan investasi yang cukup besar dan cenderung mengandung resiko yang lebih besar dibandingkan dengan sektor pertanian lainnya. e. Kehidupan nelayan yang miskin juga diliputi oleh kerentanan, misalnya ditunjukkan oleh terbatasnya anggota yang secara langsung dapat ikut dalam kegiatan produksi dan ketergantungan nelayan yang sangat besar pada mata pencaharian menangkap ikan. Kusnadi 2002:23 menyatakan berdasarkan teori agent and principle jalinan sosial antar nelayan membentuk pola hubungan yang dapat dijabarkan secara horizontal dan vertikal. Pola Horizontal adalah hubungan sesama kerabat, saudara sedarah, dan bentuk-bentuk afinitas. Pola tersebut menggambarkan bahwa individu-individu akan lebih kuat berinteraksi jika antara satu dengan yang lain tidak mengalami kesenjangan sosial ekonomi yang terlalu lebar. Sedangkan pola vertikal tergambar dalam interaksi nelayan yang membentuk pola hubungan patron-klien yang umum terjadi antara nelayan kaya juragan dan tengkulak dengan nelayan miskin buruh. Pola vertikal terbentuk karena ada ketergantungan ekonomi antara buruh dan juragan maupun tengkulak. Pola hubungan kerja di antara unit alat tangkap akan menentukan pola bagi hasil Purwanti, 1994:67. Hasil penerimaan bersih dalam sistem bagi hasil, dibagi menjadi dua yaitu 50 untuk pemilik perahu dan 50 bagian pandega. Bagi hasil ini diperoleh dari penerimaan kotor yang telah dikurangi dengan retribusi, biaya operasi dan perawatan mesin. Bagian pandega 50 dibagi lagi sesuai dengan jumlah anak buah kapal yang turut melaut, sehingga penerimaan pandega tergantung dari jumlah tenaga kerja yang digunakan. Penerimaan yang diperoleh pandega pada satu unit alat tangkap akan semakin kecil jika tenaga kerja yang bekerja semakin banyak. Bagian pandega ini tetap 50, berapapun jumlah pandega yang bekerja. Tingkat pendapatan yang diperoleh nelayan buruh semakin kecil karena biaya operasi dan pemeliharaan peralatan tangkap cukup besar. Biaya tersebut harus ditanggung bersama antara nelayan pemilik dan nelayan buruh. Kehidupan nelayan memiliki hubungan yang erat dengan lingkungan alam. Keeratan hubungan ini menciptakan ketergantungan nelayan pada lingkungan alam, terutama ketergantungan terhadap sumber daya hayati yang ada di lingkungan alam yang dapat memberikan sumber penghidupan bagi mereka. Hubungan ini bersifat timbal balik, lingkungan alam dapat mempengaruhi nelayan, bagitu pula sebaliknya nelayan dapat mempengaruhi lingkungan alam melalui perilakunya Sukadana, 1987. Penyebab kemiskinan nelayan di Indonesia sangatlah komplek, penyebab individual, keluarga, subbudaya, agensi maupun struktural saling berkaitan. Menurut Kusnadi 2002, sebab-sebab pokok yang menimbulkan kemiskinan pada nelayan adalah: a. Belum adanya kebijakan, strategi dan implementasi program pembangunan kawasan pesisir dan masyarakat nelayan yang terpadu di antara para pemangku kepentingan pembangunan. b. Adanya inkonsistensi kuantitas produksi hasil tangkapan, sehingga keberlanjutan aktivitas sosial ekonomi perikanan di desa-desa nelayan terganggu. Hal ini disebabkan oleh kondisi sumber daya perikanan telah mencapai kondisi over fishing, musim paceklik yang berkepanjangan, dan kenaikan harga bahan bakar minyak BBM. c. Masalah isolasi geografis desa nelayan, sehingga menyulitkan keluar-masuk arus barang, jasa, kapital, dan manusia, yang mengganggu mobilitas sosial ekonomi. d. Adanya keterbatasan modal usaha atau modal investasi, sehingga menyulitkan nelayan meningkatkan kegiatan ekonomi perikanannya. e. Adanya relasi sosial ekonomi yang eksploitatif dengan pemilik perahu, pedagang perantara tengkulak, atau pengusaha perikanan dalam kehidupan masyarakat nelayan. f. Rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga nelayan, sehingga berdampak negatif terhadap upaya peningkatan skala usaha dan perbaikan kualitas mereka. Para pakar ekonomi sumberdaya melihat kemiskinan masyarakat pesisir, khususnya nelayan lebih banyak disebabkan karena faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait karakteristik sumberdaya serta teknologi yang digunakan. Faktor- faktor yang dimaksud membuat nelayan tetap dalam kemiskinannya. Subade dan Abdullah 1993, mengajukan argumen bahwa nelayan tetap tinggal pada industri perikanan karena rendahnya opportunity cost mereka. Opportunity cost nelayan, menurut definisi, adalah kemungkinan atau alternatif kegiatan atau usaha ekonomi lain yang terbaik yang dapat diperoleh selain menangkap ikan. Dengan kata lain, opportunity costadalah kemungkinan lain yang bisa dikerjakan nelayan bila saja mereka tidak menangkap ikan. Bila opportunity cost rendah maka nelayan cenderung tetap melaksanakan usahanya meskipun usaha tersebut tidak lagi menguntungkan dan efisien. Panayotou 1982, mengatakan bahwa nelayan tetap mau tinggal dalam kemiskinan karena kehendaknya untuk menjalani kehidupan itu preference for a particular way of life . Pendapat Panayotou 1982 ini dikalimatkan oleh Subade dan Abdullah 1993 dengan menekankan bahwa nelayan lebih senang memiliki kepuasaan hidup yang bisa diperolehnya dari menangkap ikan dan bukan berlaku sebagai pelaku yang semata-mata beorientasi pada peningkatan pendapatan. Karena way of life yang demikian maka apapun yang terjadi dengan keadaannya, hal tersebut tidak dianggap sebagai masalah baginya. Way of life sangat sukar dirubah. Karena itu maka meskipun menurut pandangan orang lain nelayan hidup dalam kemiskinan, bagi nelayan itu bukan kemiskinan dan bisa saja mereka merasa bahagia dengan kehidupan itu.

2.1.5 Pelapisan Sosial Nelayan