ANALISIS PREFERENSI, POLA KONSUMSI, DAN PERMINTAAN TIWUL OLEH KONSUMEN RUMAH MAKAN DI PROVINSI LAMPUNG

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PREFERENSI, POLA KONSUMSI, DAN PERMINTAAN TIWUL OLEH KONSUMEN RUMAH MAKAN DI PROVINSI LAMPUNG

Oleh

TYAS SEKARTIARA SYAFANI

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis preferensi konsumen terhadap tiwul; (2) menganalisis pola konsumsi tiwul oleh konsumen; dan (3) menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap permintaan tiwul oleh konsumen. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode survei di Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Tulang Bawang Barat. Terdapat empat rumah makan sebagai lokasi penelitian yang berada di Desa Sidomulyo, Dayasakti, dan Pulung Kencana. Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja. Responden terdiri dari 60 konsumen tiwul di rumah makan yang dipilih secara accidental sampling. Tujuan pertama dianalisis menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan kategorisasi. Tujuan kedua dianalisis menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan tabulasi data dan tujuan ketiga dianalisis menggunakan metode verifikatif dengan analisis regeresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) preferensi konsumen di Provinsi Lampung terhadap tiwul yang disajikan di rumah makan berada pada kategori

sedang; (2) pola konsumsi konsumen terhadap tiwul di Provinsi Lampung, memiliki frekuensi konsumsi 1–2 kali per bulan, tiwul biasa dikonsumsi secara murni dengan jumlah rata-rata konsumsi dalam sebulan 932,52 gram, dan alasan mengonsumsinya karena kesukaan; dan (3) faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan tiwul oleh konsumen rumah makan di Provinsi Lampung adalah harga lauk hati ampela ayam, harga lauk tempe kering, dan suku.


(2)

ABSTRACT

ANALYSIS OFPREFERENCE, PATTERNS OF CONSUMPTION, AND THE DEMAND OF TIWUL BY CONSUMERS AT RESTAURANT

IN LAMPUNG PROVINCE By

TYAS SEKARTIARA SYAFANI

This research aimed to analyze preference of tiwul by consumers, consumption patterns of tiwul by counsumers, and factors affecting of tiwul’s demand by consumers at restaurant in Lampung Province. Data collection method used was survey, in Sub-District of South Lampung and West Tulang Bawang. There are four restaurants as research location that was located in Sidomulyo, Dayasakti, and Pulung Kencana Village. The research location was chosen purposively. There were 60 respondents in this study that was taken by accidental sampling. The first purpose was analyzed using quantitative descriptive method with categorization. The second purpose was analyzed using quantitative descriptive method with data tab and the third purpose was analyzed using verification method with multiple linier regression analysis. The results showed that: (1) preference of tiwul by consumers at restaurant in Lampung Province was at medium category; (2) consumption patterns of tiwul has consumption frequency of once to twice per month, usually consumed pure tiwul by the number of average consumption of 932.52 grams, and the reason for taking tiwul because of the preference; and (3) factors that significantly affect the demand of tiwul by consumers at restaurant in Lampung Province was price of chicken gizzard, price of tempe, and ethnic.


(3)

ANALISIS PREFERENSI, POLA KONSUMSI, DAN PERMINTAAN TIWUL OLEH KONSUMEN RUMAH MAKAN DI PROVINSI LAMPUNG

Oleh

TYAS SEKARTIARA SYAFANI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PERTANIAN

Pada

Program Studi Agribisnis

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(4)

[,

-'*[;:,.i'i't

*1.';ll.,it

";*t;;-1,,x,

;l

F:-,

; .;,.i.;;i;,,;'.,,; ;

F-': ,.,

,

,,,r,i.Irrtu,ffi

i'tt

'.''

',,,

'

i'

t"*#sr;#il'

,

r,,

,,.:

.,,n,,'.''r.,,,.,,'

'' "

'" ''''il:;'"1': t''''"''' ''.'t"t l "t 't -" '

tt'ti "

'..t,. i. iii.r,' , ' 't'

' ' 'l'

:':';"' ':"

:: "

'"'' '":"'; t

. . .,. :.i,.,., l.: .: ,.'" ' ;":i' ,t,,,,, ,...t

'"ti . . lli..,.', r :.i'.:., l'.: , .:..:,r..lrti:.i.".r ,.. ..i,....i ...

'. l 'r" " t':::"

''t,11',t:.,,,'., ' . '

". ,.,r, . ,, I ,;.'lirt t,li.'. i ..,.i ,rt '',,, ,1, ,

;;:;a,, ii,

;.,.;;r,.l','.'

;'*i l,, i'; n,*,.,.irr':;:',.'',,

*

,,!ii jt;.r

. :riii( '11'

.. :: :lir .r:ii: :.i.1 ir,.:: i"lr i..', r i'iii:i jilii i.j,'.,i,,..."..t:l'i iil,,,.

t.:itiil.ti:k';:f. :; i..;f i!'''"--..,.r'r",,.::l: i .+;l.iilri.;i',:i"i j ,r,i', .. 'i;;ii,'.,i1

i"'iiii:

;*-r*+ffiii*+**ffi

""':.',

"',

''

'i

i:,l.il illi,j I'ji :,' i"l jliii ii:, it;i::i

, .'i ,,,.,

, ,'.

*';.'pfll

t'

''

i*'

,'t'

, -

,'.'"

't'.

'

;

=,''*i...

.'

t$

ii

l t., l,,,, 1.-' i j 1.1:., :.t,., :', :.:.. : : ..- -.

il,ii.i.,r,=.' -: i:itl.lri,i:r,1:-'- q l1.;.Jr.Jr:1..,:r- ji:

i:.:,:i:.j,


(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pringsewu pada tanggal 23 September 1992 dari pasangan Bapak Ir. Joni Sopuan dan Dra. Karlina. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara.

Penulis menyelesaikan studi tingkat Sekolah Dasar di SD Negeri 11 Pringsewu pada tahun 2004, tingkat SLTP di SMP Negeri 1 Pringsewu pada tahun 2007, tingkat SLTA di SMA Negeri 1 Pringsewu pada tahun 2010. Penulis diterima di Universitas Lampung, Fakultas Pertanian, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Program Studi Agribisnis pada tahun 2010 melalui jalur Ujian Mandiri (UM).

Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi Asisten Dosen pada mata kuliah Kewirausahaan semester genap tahun ajaran 2012/2013, Asisten Dosen pada mata kuliah Manajemen Sumber Daya Manusia semester genap tahun ajaran 2013/2014, dan Asisten Dosen Pengantar Ilmu Ekonomi semester genap tahun ajaran 2013/2014. Pada tahun 2012, penulis melakukan Praktik Umum (PU) di PT Great Giant Pineapple Plantation Group III di Gunung Batin, Kabupaten Lampung Tengah dan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Sri Rahayu, Kabupaten Pringsewu.


(7)

SANWACANA

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala curahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, teladan bagi seluruh umat manusia. Penulis menyadari bahwa penulis tidak dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa bantuan, nasihat, serta saran-saran yang membangun dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan rendah hati penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Ir. Dyah Aring Hepiana Lestari., M.Si., sebagai Dosen Pembimbing pertama, yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikiran untuk

membimbing penulis serta memberikan masukan, arahan, dan nasihat kepada penulis. Terimakasih atas kesabarannya dalam membimbing penulis selama proses penyelesaian skripsi ini.

2. Dr. Ir. Wuryaningsih Dwi Sayekti., M.S., sebagai Dosen Pembimbing ke dua atas bimbingan, masukan, arahan, motivasi, dan nasihat yang telah diberikan.

3. Dr. Ir. Dwi Haryono., M.S., sebagai Dosen Penguji Skripsi, atas saran, kritik, dan arahan yang telah diberikan untuk penyempurnaan skripsi ini.

4. Orang tuaku tercinta Ayahanda Ir. Joni Sopuan dan Ibunda Dra. Karlina atas semua limpahan kasih sayang, doa, dukungan, dan motivasi yang luar biasa. Terimakasih karena selalu mengusahakan dan memberikan yang terbaik untukku. Keberhasilanku kelak kupersembahkan untuk kalian.


(8)

6. Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

7. Dr. Ir. F. E. Prasmatiwi., M.S. selaku Ketua Jurusan Agribisnis dan seluruh Dosen dan Karyawan di Jurusan Agribisnis (Mba Iin, Mba Ayi, Mas Bukhari, Mas Kardi, Pak Margono, dan Mas Boim), atas semua ilmu dan bantuan yang telah diberikan.

8. Saudara dan sahabat-sahabat tercinta Yoya Dwi Febrina, Amd. Keb., Wahyuning Tyas Handayani, Amd. Keb., Rissa Popy Azizah., S.Pd., dan Nani Pahini., S.Pd yang telah memberikan dukungan dan semangat selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

9. Fariz Waladin Sholih yang selalu memberikan dukungan, semangat, dan doa kepada penulis, serta sahabat-sahabat terbaik selama masa kuliah Jenny Permasih., S.P., Nita Oktami., S.P., Huda Nur Aini., S.P., Vanessa, Meita Sari Dewi, Septa Meliana Sari, Wida Ayu Winarni., S.P., Aria Juwita, Elvanur Syafitri., S.Pd., Ervina Virgawati Putri, dan M. I. Santa De Vega., S.P., atas bantuan dan semangat yang telah diberikan kepada penulis. Terimakasih atas kesediaan untuk bertukar ilmu dan pendapat serta kebersamaannya selama ini.

10. Sahabat seperjuangan M. Iqbal Kasogi., S.P., Hani Fitria Anggraini, Tunjung, Seta, Dimas Septian, Ellis N Hidayati., S.P., Susi Susanti, Ita Musliha., S.P., Fitria Meriza, Neno Rizki., S.P., Raisa Diti., S.P., Tania Oktrisa, dan

Maryadi., S.P. yang telah menyediakan waktu untuk berdiskusi dan


(9)

Yoandra, Dani Imam, Rizki Ramadhan, Dani Pramaditya, Ludi, Debi, Reza, Rahmat, Wayan, Sastra Delila., S.P., Ayi, Devi Arintika., S.P., Terisia

Sesunan. S.P., Yuni Elmita., S.P., Silvia, Wahyu, dan teman-teman Agribisnis 2010 lainnya, atas pengalaman dan kebersamaan yang telah diberikan.

Semoga kelak kita semua menjadi orang-orang yang sukses dan bermanfaat untuk orang lain.

12. Atu dan kiyai Agribisnis 2007, 2008, 2009, adinda Agribisnis 2011, 2012, dan 2013 atas bantuan dan dukungannya untuk penulis.

13. Semua pihak yang telah membantu demi terselesaikannya skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

14. Almamater tercinta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, akan tetapi penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang

membutuhkan.

Bandar Lampung, Desember 2014 Penulis,


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xviii

I. PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang dan Masalah ... 1

B.Tujuan Penelitian ... 11

C.Manfaat Penelitian ... 12

II.TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS ... 13

A.Tinjauan Pustaka ... 13

1. Karakteristik dan Proses Pembuatan Tiwul ... 13

2. Preferensi Konsumen ... 17

3. Pola Konsumsi Pangan dan Angka Kecukupan Gizi ... 27

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Pangan ... 33

5. Teori Permintaan ... 36

6. Kajian penelitian terdahulu ... 49

B.Kerangka Pemikiran ... 56

C.Hipotesis ... 59

III. METODE PENELITIAN ... 60

A.Konsep Dasar dan Batasan Operasional ... 60


(11)

C.Pengambilan Sampel dan Pengumpulan Data ... 67

D.Metode Analisis ... 68

1. Analisis data untuk menjawab tujuan pertama ... 68

a. Uji Validitas ... 72

b. Uji Reliablitas ... 73

2. Analisis data untuk menjawab tujuan ke dua ... 74

3. Analisis data untuk menjawab tujuan ke tiga ... 76

a. Uji Asumsi Klasik ... 79

1) Uji Multikolinieritas ... 79

2) Uji Heterokedastis ... 79

b. Uji Goodness of Fit ... 80

1) Analisis Koefisien Determinasi (R²) ... 80

2) Uji F ... 81

3) Uji t ... 81

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 83

A.Kabupaten Lampung Selatan ... 83

1. Kecamatan Sidomulyo ... 86

2. Desa Sidomulyo ... 90

B.Kabupaten Tulang Bawang Barat ... 93

1. Kecamatan Tumijajar ... 96

2. Desa Dayasakti ... 98

3. Kecamatan Tulang Bawang Tengah ... 101

4. Desa Pulung Kencana ... 103

C.Rumah Makan Tiwul di Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Tulang Bawang Barat ... 106

V.HASIL DAN PEMBAHASAN ... 110

A.Keadaan Umum Responden ... 110

B.Preferensi Konsumen Rumah Makan terhadap Tiwul ... 118

C.Pola Konsumsi Tiwul oleh Konsumen Rumah Makan Tiwul ... 136


(12)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 155 A.Kesimpulan ... 155 B.Saran ... 156

DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ... 166


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Komposisi gizi ubi kayu dan nasi (per 100 g) ... 6

2. Luas areal, produksi, dan produktivitas ubi kayu di Provinsi Lampung tahun 2006-2011 ... 7

3. Susunan Pola Pangan Harapan ... 33

4. Penelitian terdahulu ... 51

5. Karakteristik tiwul ... 69

6. Atribut, kriteria, dan indikator preferensi tiwul ... 70

7. Hasil uji validitas kuesioner ... 73

8. Luas panen dan produksi tanaman pangan tahun 2011 – 2012 Kabupaten Lampung Selatan ... 85

9. Sebaran penduduk Kecamatan Sidomulyo menurut kelompok umur dan jenis kelamin pada tahun 2012 ... 87

10. Luas panen, produksi, dan produktivitas jenis tanaman pangan Kecamatan Sidomulyo tahun 2012 ... 88

11. Sebaran penduduk Desa Sidomulyo menurut kelompok umur dan jenis kelamin tahun 2012 ... 91

12. Luas wilayah, jumlah penduduk, dan kepadatan penduduk Kabupaten Tulang Bawang Barat Tahun 2012 ... 94

13. Jumlah penduduk berdasarkan jenis mata pencaharian di Desa Dayasakti tahun 2012 ... 99


(14)

14. Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di Desa Dayasakti

tahun 2012 ... 100

15. Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian di Desa Pulung Kencana tahun 2012 ... 104

16. Jumlah penduduk Desa Pulung Kencana berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2012 ... 104

17. Sebaran responden berdasarkan kelompok usia... 111

18. Sebaran responden berdasarkan jenis kelamin dan status pernikahan ... 112

19. Sebaran responden menurut tingkat pendidikan ... 113

20. Sebaran responden menurut pekerjaan ... 114

21. Sebaran responden menurut tingkat pendapatan ... 116

22. Sebaran responden menurut suku ... 116

23. Sebaran responden menurut tingkat pengetahuan gizi ... 118

24. Preferensi konsumen rumah makan terhadap tiwul ... 120

25. Sebaran responden berdasarkan preferensi konsumen terhadap harga tiwul ... 122

26. Sebaran responden berdasarkan preferensi konsumen terhadap tekstur tiwul ... 124

27. Sebaran responden berdasarkan preferensi konsumen terhadap warna tiwul ... 125

28. Sebaran responden berdasarkan preferensi konsumen terhadap aroma tiwul ... 126

29. Sebaran responden berdasarkan preferensi konsumen terhadap rasa tiwul ... 127

30. Sebaran responden berdasarkan preferensi konsumen terhadap kemudahan memperoleh tiwul ... 128


(15)

31. Preferensi konsumen dan atribut-atribut yang diinginkan konsumen

Tiwul di Rumah Makan di Provinsi Lampung ... 135

32. Pola konsumsi tiwul oleh konsumen di rumah makan ... 136

33. Hasil estimasi persamaan permintaan tiwul oleh konsumen di rumah makan ... 145

34. Hasil uji multikolinieritas ... 146

35. Hasil uji gejala heterokedastis ... 147

36. Identitas Responden ... 166

37. Preferensi Konsumen terhadap Tiwul di Rumah Makan ... 168

38. Preferensi Konsumen terhadap Tiwul di Tulang Bawang Barat ... 170

39. Preferensi Konsumen terhadap Tiwul di Lampung Selatan... 171

40. Penilaian Konsumen terhadap Tiwul yang Disajikan ... 172

41. Atribut-Atribut Tiwul yang Diinginkan Konsumen ... 174

42. Cara Konsumen Mengonsumsi Tiwul... 176

43. Kontribusi Energi dari Konsumsi Tiwul ... 178

44. Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Permintaan Tiwul ... 180

45. Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Permintaan Tiwul dalam Bentuk Logaritma Natural (Ln) ... 184

46. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 188

47. Hasil Regresi Program Eviews ... 191

48. Hasil Uji Heterokedastis Program Eviews ... 192

49. Hasil Regresi dan Uji Multikolinieritas dengan Program SPSS 16.00 ... 193


(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman 1. Penurunan kurva permintaan dari kurva indifference ... 39 2. Kerangka pemikiran analisis preferensi, pola konsumsi, dan

permintaan tiwul oleh konsumen rumah makan di Provinsi Lampung 58 3. Pengaruh variabel suku terhadap permintaan tiwul ... 151


(17)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah

Pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi perekonomian Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung. Sumbangsih pertanian terhadap perekonomian negara diantaranya penyerapan tenaga kerja, penyediakan sumber pangan dan bahan baku industri/biofuel, pemicu pertumbuhan ekonomi di pedesaan, salah satu sumber perolehan devisa dan PDB. Dengan demikian, pembanguan pertanian memiliki peran penting dan strategis bagi perekonomian Indonesia.

Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk membangun ekonomi nasional melalui pembangunan pertanian adalah program ketahanan pangan. Ketahanan pangan merupakan agenda penting di dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Dalam undang-undang RI Nomor 18 tahun 2012 disebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau.


(18)

Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian14/Permentan/Ot.140/3/2012, program ketahanan pangan merupakan prioritas pembangunan nasional. Ketahanan pangan memiliki peran yang strategis bagi negara yaitu untuk menjamin hak atas pangan bagi masyarakat, untuk membentuk sumber daya manusia berkualitas, dan merupakan pilar ketahanan nasional.

Ketahanan pangan umumnya menghendaki adanya kemandirian pangan. Kemandirian pangan dapat dicapai dengan pemenuhan kebutuhan pangan dari sumber pangan domestik. Kemandirian pangan atau yang biasa disebut

kedaulatan pangan memberikan jaminan pemenuhan pangan bagi masyarakat. Pemenuhan pangan merupakan bagian dari hak hidup manusia sebab pangan merupakan kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup setiap manusia. Oleh karena pemenuhan pangan merupakan hak hidup manusia yang dijamin oleh negara, maka pangan merupakan komoditas yang memiliki peranan sangat penting dan strategis.

Pangan diartikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari nabati dan hewani yang diperuntukkan untuk kegiatan konsumsi baik dalam bentuk olahan maupun tidak diolah. Pangan diperlukan tubuh atas fungsinya sebagai triguna makanan untuk pemenuhan gizi dan sumber energi. Pada dasarnya tidak ada satupun jenis pangan yang mempunyai kandungan gizi yang lengkap dan cukup sehingga pangan perlu dikonsumsi secara beragam, berimbang, dan bergizi (3B) sesuai dengan pola pangan harapan yang dianjurkan sehingga tercapai status gizi baik. Berdasarkan gizi yang terkandung, pangan digolongkan sebagai sumber protein,


(19)

vitamin, mineral, dan karbohidrat. Salah satu sumber karbohidrat adalah golongan serelia. Jenis tanaman pangan golongan serelia contohnya yaitu padi-padian yang dikonsumsi dalam bentuk beras.

Beras merupakan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Menurut Sumodiningrat (2001) dilihat dari aspek konsumsi, pemahaman bahwa konsumsi beras merupakan indikator masyarakat maju menyebabkan perubahan kebiasaan dan ketergantungan konsumsi pangan terhadap beras. Selanjutnya, Sumodiningrat (2001) mengatakan bahwa bangsa Indonesia dapat dikategorikan sebagai pengonsumsi beras terbesar di dunia setelah India. Diperkirakan sekitar 96 persen penduduk negeri ini bergantung pada beras (Rozi, 2006). Total permintaan kebutuhan beras terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk yang masih tinggi, yaitu sebesar 1,49 persen per tahun (Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian RI, 2012). Menurut Dinas

Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Lampung (2011), jumlah impor beras pecah mencapai 205.496 kilogram pada tahun 2011. Ketergantungan yang tinggi terhadap beras menyebabkan Indonesia menjadi negara pengimpor beras.

Meskipun demikian, dalam hal pola pangan pokok, Indonesia sudah terjadi kecenderungan penurunan konsumsi beras. Menurut BKP Kementerian

Pertanian RI (2012) Indonesia mengalami penurunan konsumsi beras yang cukup berarti. Dalam jangka waktu delapan tahun telah terjadi penurunan sebesar 9,69 kg berarti telah terjadi penurunan lebih dari satu kilo per tahun. Meskipun telah mengalami penurunan, namun konsumsi beras sebesar 97,63 kg/kapita/tahun


(20)

masih dikategorikan cukup tinggi. Penurunan konsumsi beras tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan konsumsi pangan lokal, namun justru beralih ke pengonsumsian makanan dari gandum dan terigu yang merupakan komoditas impor. Hal tersebut merupakan salah satu indikasi masalah ketahanan pangan karena tidak terpenuhinya ketersediaan pangan bagi penduduk Indonesia yang semakin meningkat. Selain itu, ketergantungan yang begitu tinggi terhadap pangan impor adalah salah satu indikasi dari masalah keberdaulatan pangan.

Dalam mengatasi masalah ketahanan pangan, ada dua jalan yang harus ditempuh yaitu dengan cara meningkatkan produksi beras dan mengurangi konsumsi beras rumah tangga maupun industri (Deptan, 2002 dalam Yusty, 2013). Untuk mengurangi konsumsi beras upaya yang dilakukan adalah dengan program diversifikasi konsumsi pangan. Diversifikasi konsumsi pangan pada dasarnya hanya terbatas pada pangan pokok, yaitu beras sehingga diversifikasi konsumsi pangan diartikan sebagai pengurangan konsumsi beras yang dikompensasi oleh penambahan konsumsi bahan makanan non beras. Dari sisi konsumsi, adanya upaya diversifikasi pangan selain beras diharapkan dapat mengurangi

ketergantungan pangan khususnya beras. Diversifikasi pangan juga akan mengurangi beban daerah dalam memacu penyediaan pangan karena

diversifikasi pangan berbasis pada potensi sumber daya lokal (Sumodiningrat, 2001). Diversifikasi pangan adalah suatu proses pemanfaatan dan


(21)

dan mengacu pada pencapaian pola pangan harapan (PPH) agar tercapai status gizi yang baik.

Diversifikasi konsumsi pangan harus berbasis sumber daya lokal dikarenakan setiap daerah memiliki potensi sumber daya alam yang berbeda. Bahan pangan yang diproduksi secara lokal sudah sesuai dengan sumberdaya dan iklim daerah setempat, sehingga mudah dibudidayakan dan ketersediaannya dapat diupayakan secara optimal. Dengan kemampuan lokal tersebut, maka ketahanan pangan masyarakat lokal di daerah tidak mudah terpengaruh oleh masalah pasokan pangan yang terjadi di luar wilayah atau bahkan luar negeri. Selain itu, pangan berbasis lokal juga sudah pasti dikenal oleh masyarakat.

Salah satu pangan lokal yang mudah ditemukan adalah jenis pangan dari golongan umbi-umbian. Sebagai salah satu sumber karbohidrat, umbi-umbian memegang peranan penting sebagai alternatif pengganti pangan pokok beras. Umbi-umbian adalah bahan pangan nabati yang diperoleh dari dalam tanah, misalnya ubi kayu. Ubi kayu dapat dijadikan sebagai alternatif pengganti beras karena kandungan gizi pada ubi kayu yang cukup baik bagi tubuh. Komposisi kandungan gizi ubi kayu dan nasi dapat dilihat pada Tabel 1.

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa ubi kayu memiliki kandungan lemak, kalsium, fosfor dan vitamin C yang lebih banyak dibandingkan dengan nasi. Ubi kayu juga lebih rendah kalori dibandingkan dengan nasi. Meskipun dalam hal kandungan gizi protein lebih rendah, namun ubi kayu mengandung karbohidrat


(22)

kompleks. Ubi kayu memiliki ikatan polisakarida yang panjang sehingga lebih lama dicerna usus dan tidak mudah lapar.

Tabel 1. Komposisi gizi ubi kayu dan nasi (per 100 g)

Komposisi Gizi Ubi Kayu Nasi

Energi (kal) 146,00 178,00

Karbohidrat (g) 34,70 40,60

Protein (g) 1,20 2,10

Lemak (g) 0,30 0,10

Besi (mg) 1,00 1,00

Kalsium (mg) 33,00 5,00

Fosfor (mg) 40,00 22,00

Vitamin A (SI) 0,00 0,00

Vitamin B1 (mg) 0,06 0,20

Vitamin C (mg) 30,00 0,00

Sumber: Daftar Komposisi Bahan Makanan dalam Suyatno (2010)

Selain memiliki kelebihan dalam zat gizi, ubi kayu juga kaya serat. Ubi kayu dapat dikatakan sebagai pangan fungsional (functional food) atau pangan sehat. Makanan fungsional tidak hanya berfungsi mengenyangkan perut, tetapi juga memberikan kontribusi kepada kesehatan dan kebugaran bagi tubuh. Ubi kayu tidak mudah diubah menjadi gula dan memiliki indeks glikemik (IG) yang rendah sehingga cocok untuk penderita Diabetes Mellitus serta tidak mengandung gluten sehingga cocok untuk penderita autis. Oleh karena hal tersebut, selain ubi kayu dapat dijadikan sebagai alternatif pengganti beras, ubi kayu juga bermanfaat untuk kesehatan.


(23)

Ubi kayu dapat tumbuh dengan baik di Indonesia. Ubi kayu mudah tumbuh di lahan yang kurang subur atau lahan marginal, tidak memerlukan persiapan lahan secara intensif, tahan terhadap kekeringan dan OPT, biaya usahatani yang cukup rendah, dan seluruh bagian tanaman memiliki nilai ekonomis (akar, batang, daun). Komoditas ini memiliki potensi nilai ekonomi dan sosial sebagai bahan pangan masa depan yang berdaya guna, bahan baku industri, dan pakan ternak seperti di Lampung (Suhardi, dkk, 2002). Ubi kayu merupakan komoditas andalan di Provinsi Lampung. Menurut BPS (2012b) pada tahun 2011, Provinsi

Lampung menyumbang 38,23 persen dari total produksi Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, maka ubi kayu memegang peranan potensial dalam menujang perekonomian Provinsi Lampung. Luas areal, produksi, dan produktivitas ubi kayu Provinsi Lampung dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Luas areal, produksi, dan produktivitas ubi kayu di Provinsi Lampung tahun 2006-2011.

Tahun Luas Areal (ha) Produksi (ton) Produktivitas (ton/ha)

2006 283.430 5.499.403 19,40

2007 316.806 6.394.906 20,19

2008 318.969 7.721.882 24,21

2009 309.047 7.555.063 24,45

2010 346.217 8.637.594 24,95

2011 368.096 9.193.676 24,98

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung, 2012b

Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa luas lahan, produksi, dan produktivitas ubi kayu di Provinsi Lampung cenderung meningkat pada tahun 2006 sampai dengan


(24)

tahun 2011. Luas areal ubi kayu yang meningkat berbanding lurus terhadap produksi dan produktivitas. Produksi ubi kayu pada tahun 2011 mampu

mencapai 9.193.676 ton. Lampung memiliki potensi tinggi dalam budidaya ubi kayu. Dengan kemampuan produksi ubi kayu tersebut, Provinsi Lampung memiliki ketersediaan ubi kayu yang tinggi untuk konsumsi.

Ketersediaan ubi kayu yang tinggi di Provinsi Lampung ternyata tidak

berbanding lurus dengan konsumsi masyarakat terhadap ubi kayu itu sendiri. Ubi kayu merupakan salah satu bahan makanan lokal Provinsi Lampung yang

memiliki surplus sebesar 8.871 ton atau 9,4 persen (Badan Ketahanan Pangan Provinsi Lampung, 2011). Pada tahun 2012 konsumsi umbi-umbian di Provinsi Lampung belum mencapai harapan yaitu sebesar 22,8 kg/kapita/tahun atau setara ubi kayu 21,1 kg/kapita/tahun. Skor PPH golongan umbi-umbian pada tahun 2012 hanya mencapai 2,0 (Badan Ketahanan Pangan Provinsi Lampung, 2013). Hal tersebut diakibatkan karena bergesernya pola konsumsi masyarakat yang beragam ke pola konsumsi tunggal, yaitu beras. Pola pangan pokok yang beragam sebenarnya ada sejak dahulu, seperti sagu banyak dikonsumsi oleh masyarakat di Papua dan Maluku, serta jagung dikonsumsi oleh masyarakat di NTT. Namun saat ini, pangan pokok masyarakat Indonesia sudah bergeser ke pola tunggal yaitu beras sehingga peran umbi-umbian tidak lagi sebagai pangan pokok. Oleh karena hal tersebut, maka upaya peningkatan konsumsi ubi kayu dapat ditempuh terutama dengan meningkatkan peran ubi kayu melalui berbagai jenis olahannya.


(25)

Salah satu jenis olahan ubi kayu adalah tiwul. Saat ini, kebanyakan orang cenderung tidak lagi mengonsumsi tiwul sebagai makanan pokok. Namun, beberapa daerah di Provinsi Lampung masih menyediakan tiwul sebagai menu pokok alternatif pengganti nasi di beberapa rumah makan. Seseorang

mengonsumsi tiwul bergantung pada preferensi masing-masing terhadap produk tersebut. Setiap orang memiliki kriteria yang berbeda mengenai karakteristik suatu produk yang diinginkan sesuai dengan preferensi yang mereka miliki. Tiwul dapat difungsikan sebagai makanan utama, makanan penyela, atau sebatas jajanan saja.

Preferensi seseorang terhadap makanan menimbulkan perilaku mengonsumsi atau kebiasaan makan. Kebiasaan makan disebut juga pola pangan (Indriani, 2007). Pola pangan adalah susunan beragam pangan yang dikonsumsi dalam waktu tertentu yang tercermin dalam jumlah, frekuensi, dan jenis pangan. Kebiasaan makan atau pola pangan dipengaruhi oleh faktor fisiologis dan psikologis seseorang serta dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya. Pola konsumsi pangan seseorang akan menentukan mutu gizi konsumsi pangan dan tingkat keragaman konsumsi pangan seseorang yang dicerminkan dalam skor pola pangan harapan (PPH). Menurut Harper, Deaton, dan Driskel (1986) ketersediaan pangan, pola sosial budaya, dan faktor pribadi merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kebiasaan makan atau pola pangan baik individu pada tingkat masyarakat maupun rumah tangga. Dari segi ekonomi, faktor yang mempengaruhi pembentukan suatu pola perilaku konsumen dalam mengonsumsi


(26)

tiwul meliputi harga tiwul itu sendiri, harga pangan lain yang berkaitan, dan pendapatan. Selain itu, faktor sosial, topografi, maupun pola karakteristik rumah tangga merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi pola perilaku konsumen (Nurfarma, 2005).

Pola konsumsi atau kebiasaan makan seseorang terhadap tiwul mencerminkan adanya permintaan tiwul itu sendiri. Potensi dan ketersediaan ubi kayu yang tinggi di Lampung memberikan peluang usaha bagi agroindustri maupun industri rumah tangga dalam mengolah ubi kayu guna mendapatkan nilai tambah ubi kayu dan mencapai keuntungan maksimum. Agroindustri maupun industri rumah tangga dalam pengolahan ubi kayu di Provinsi Lampung berkembang cukup pesat. Beberapa agroindustri tersebut mengolah tiwul menjadi tiwul instan dengan tambahan beberapa jenis makanan seperti kedelai guna menambah nilai gizi tiwul instan tersebut. Namun, tiwul tidak hanya dijual dalam bentuk

kemasan tiwul instan saja. Tiwul matang juga dijual di beberapa warung makan ataupun rumah makan yang sederhana.

Saat ini terdapat beberapa Rumah Makan di Provinsi Lampung menyediakan tiwul atau nasi tiwul sebagai menu pokok pengganti nasi beras.

Pengonsumsiannya sama dengan nasi dari beras pada umumnya, yaitu

dikonsumsi bersamaan dengan sayur dan lauk pauk. Hal tersebut menunjukkan adanya penawaran tiwul dari sisi produsen. Oleh karena itu, maka perlu diteliti pula mengenai permintaan tiwul oleh konsumen di beberapa rumah makan yang menjual menu tiwul atau nasi tiwul di Provinsi Lampung.


(27)

Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.Bagaimana preferensi konsumen rumah makan terhadap tiwul di Provinsi Lampung ?

2.Bagaimana pola konsumsi tiwul konsumen rumah makan di Provinsi Lampung ?

3.Faktor-faktor apa yang mempengaruhi permintaan tiwul konsumen rumah makan di Provinsi Lampung ?

B. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis preferensi konsumen rumah makan terhadap tiwul di Provinsi Lampung

2. Menganalisis pola konsumsi tiwul oleh konsumen rumah makan di Provinsi Lampung

3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan tiwul oleh konsumen rumah makan di Provinsi Lampung


(28)

C. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk:

1. Produsen tiwul, sebagai bahan masukan dalam pengembangan agroindustri ataupun industri rumah tangga dalam mengolah ubi kayu menjadi tiwul sehingga mampu memenuhi dan meningkatkan kepuasan konsumen ataupun pasar.

2. Pemerintah dan instansi terkait, sebagai informasi dan bahan pertimbangan dalam penentuan kebijakan yang berkenaan dengan pengembangan

diversifikasi konsumsi pangan olahan berbasis pangan lokal.

3. Peneliti lain, sebagai bahan pembanding dan bahan informasi dalam penelitian sejenis atau penelitian lebih lanjut di masa yang akan datang.


(29)

13

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

A.Tinjauan Pustaka

1. Karakteristik dan Proses Pembuatan Tiwul

Tiwul adalah salah satu jenis pangan olahan dari ubi kayu. Tiwul merupakan makanan tradisional yangmenjadi makanan pokok alternatif pengganti nasi beras. Berbeda dengan nasi putih atau beras yang berasal dari padi, tiwul memiliki ciri tersendiri, sedikit menggumpal dan berwarna kekuningan, kecoklatan, kehitaman, bahkan ada yang berbentuk putih menyerupai beras dengan aroma yang kuat. Tiwul yang biasa dijumpai yaitu berbentuk seperti butiran-butiran beras berwarna coklat kehitaman.

Ubi kayu yang akan diolah tentunya bukan merupakan jenis ubi kayu yang beracun, tetapi ubi kayu manis. Sebelum diolah menjadi tiwul, daging ubi kayu diolah terlebih dahulu menjadi gaplek. Warna kuning kecoklatan pada tiwul diperoleh dari hasil proses pengeringan ubi kayu menjadi gaplek yang kemudian diolah menjadi tiwul (Rachawati, 2010). Warna yang dihasilkan pada tiwul bergantung dari proses pengeringan. Semakin tinggi intensitas


(30)

cahaya matahari saat proses pengeringan gaplek, maka warna yang dihasilkan akan berwarna kuning kecoklatan.

Pembuatan tiwul cukup memakan waktu lama dan membutuhkan cahaya matahari yang cukup pada saat proses pengeringan. Tiwul biasanya dibuat pada musim kemarau karena pada musim tersebut intensitas cahaya matahari relatif tinggi. Proses pembuatan tiwul pada umumnya melalui beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut.

a. Pengupasan dan pencucian

Ubi kayu dikupas secara manual menggunakan pisau. Ubi kayu yang akan diolah sebaiknya masih segar sehingga kulit ubi kayu tidak dalam keadaan layu dan sulit untuk dikupas secara manual menggunakan pisau. Pada kondisi masih segar biasanya kulit ubi kayu cukup dikelupas sehingga tidak perlu menggunakan pisau untuk memisahkan daging ubi kayu dari kulitnya. Setelah itu, daging ubi kayu dicuci hingga bersih.

b. Pengirisan dalam bentuk chips

Pengirisan daging ubi kayu yang sudah bersih dilakukan menggunakan golok. Pengirisan dilakukan dengan cara memotong atau mencacah ubi kayu menjadi ukuran yang lebih kecil. Pencacahan ubi kayu menggunakan mesin potong akan menghasilkan potongan chips yang seragam dan lebih praktis. Pengirisan dilakukan agar proses pengeringan menjadi lebih cepat kering.


(31)

c. Perendaman dan penirisan

Ubi kayu yang sudah diiris dan dibentuk menjadi chips direndam selama dua hingga tiga hari. Perendaman dilakukan agar tekstur ubi kayu menjadi lunak sehingga memudahkan dalam proses pembuatan tiwul. Air

rendaman juga harus selalu diganti agar gaplek tidak bau. Gaplek yang sudah direndam kemudian ditiriskan untuk mengurangi kadar air yang terkandung pada ubi kayu.

d. Pengeringan

Pengeringan dilakukan untuk mengurangi kadar air pada ubi kayu dengan cara penjemuran langsung di bawah cahaya matahari atau menggunakan mesin pengering. Pengeringan bertujuan mengurangi kadar air umbi yang dapat menyebabkan fermentasi dan pembusukan. Alat bantu yang

digunakan saat proses pengeringan, yaitu sekop pengumpul, garu penyebar, dan garu kayu pembalik (Direktorat Bina Usaha Pengolahan dan

Pemasaran Hasil Pertanian, 2003).

e. Penggilingan dan Pembentukan butiran

Gaplek chips yang sudah dikeringkan kemudian digiling. Setelah digiling halus, tepung gaplek diberi tambahan air dan dibentuk menjadi butiran-butiran menyerupai beras. Jika dianggap terlalu lembek, maka dapat ditambahkan tepung agar tekstur lebih kenyal dan lebih mudah dibentuk. Proses pembentukan butiran dilakukan secara manual dengan cara


(32)

menggunakan alat tradisional berupa tampah dan alat moderen seperti mesin granul. Namun, pembentukan butiran tiwul dengan cara manual lebih sering digunakan karena butiran tiwul yang dihasilkan lebih berukuran kecil dibandingkan dengan pembentukan tiwul menggunakan alat moderen. Selain itu, pembentukan tiwul secara manual juga dinilai lebih efesien biaya karena tidak menggunakan bahan bakar.

f. Pengeringan Lanjutan

Butiran-butiran tiwul yang dihasilkan kemudian dikeringkan untuk

mengurangi kadar air sehingga tidak terjadi serangan jamur atau cendawan pada tiwul. Pengurangan kadar air dilakukan dengan cara penjemuran di bawah cahaya matahari atau menggunakan mesin pengering. Pengeringan ke dua yang dilakukan pada tahap ini tidak memerlukan waktu lama hanya sekitar 2-3 jam.

g. Pengukusan dan pendinginan

Butiran yang telah setengah kering kemudian dikukus hingga matang hingga berubah warna menjadi kuning kecoklatan. Setelah pengukusan, butiran-butiran akan menggumpal. Gumpalan tiwul tersebut didinginkan terlebih dahulu agar dapat dibentuk menjadi butiran-butiran kembali. Setelah proses pengukusan dan pendinginan tiwul siap untuk disajikan dan dikonsumsi.


(33)

Pada umumnya, tiwul memiliki tesktur yang lebih kenyal dan lengket

dibandingkan dengan nasi. Walaupun berbentuk seperti butiran nasi, namun cita rasa khas dari ubi kayu itu sendiri masih terasa saat dikonsumsi. Tiwul biasanya dijadikan makanan pokok dengan mencampurkannya dengan nasi beras ataupun dikonsumsi dalam bentuk tiwul saja tanpa campuran nasi beras, bahkan beberapa rumah makan menyediakan tiwul yang digoreng sehingga memiliki cita rasa yang sama dengan nasi goreng pada umumnya. Sama seperti konsumsi nasi, tiwul atau nasi tiwul biasa dikonsumsi dengan lauk pauk atau jenis pangan pendamping lain. Hal tersebut akan menambah nilai

kandungan gizi pada saat dikonsumsi. Cara penyajian tiwul pun sama seperti nasi, yaitu dikukus selama 15 hingga 20 menit (Rachmawati, 2010). Tiwul biasanya dijual rata-rata seharga Rp 5.000,00 per porsi/piring. Namun, di beberapa rumah makan tertentu tiwul atau nasi tiwul disediakan secara prasmanan sehingga harga yang diberikan oleh penjual bergantung pada sedikit banyaknya tiwul dan lauk yang dimakan.

2. Preferensi Konsumen

Menurut Simamora (2003) preferensi berasal dari kata prefer yang berarti kecenderungan atau kesukaan seseorang dalam memilih sesuatu. Setiap orang memiliki derajat kesukaan terhadap sesuatu yang berbeda-beda yang disebut dengan preferensi. Preferensi merupakan sesuatu yang diamati, suatu pilihan utama, dan merupakan kebutuhan prioritas bagi konsumen (Wartaka, 2004).


(34)

Menurut Sanjur (1982) preferensi menggambarkan kesukaan seseorang yang dipengaruhi oleh karakteristik individu, karakteristik produk, dan karakteristik lingkungan. Preferensi konsumen menunjukkan kesukaan konsumen dari berbagai pilihan produk yang ada (Kotler, 1992). Dengan kata lain, untuk memilih produk mana yang akan dipilih dan dikonsumsi oleh konsumen, maka konsumen perlu adanya alternatif pilihan sehingga dapat

membandingkan produk mana yang lebih disukai oleh konsumen tersebut.

Preferensi konsumen menggambarkan tindakan yang sesuai dengan selera pribadinya. Sikap seseorang terhadap makanan, suka atau tidak suka, berpengaruh terhadap konsumsi pangan orang tersebut. Pada dasarnya

preferensi seseorang terhadap makanan bergantung pada karakteristik individu itu sendiri, karakteristik lingkungan tempat individu tersebut tinggal, dan karakteristik eksternal dan internal yang melekat pada makanan. Preferensi atau kesukaan seseorang terhadap makanan tidak hanya bergantung pada pengaruh sosial dan budaya, namun juga pada sifat fisik pangan, seperti warna, bentuk, dan rasa (Indriani, 2007). Menurut Drewnowski (1997) sensoris merespon pada rasa, aroma, dan tekstur makanan membantu untuk menentukan preferensi pangan dan kebiasaan makan seseorang. Selain rasa dan aroma, penampilan cara memasak dan ketidaknyamanan yang terjadi ketika seseorang mengonsumsi makanan juga menyebabkan seseorang menjadi suka atau tidak suka seseorang terhadap makanan tersebut (Sachiko, 2002 dalam Yusty, 2013).


(35)

Kondisi individu pada saat disajikan makanan juga dapat mempengaruhi tingkat kesukaan seseorang terhadap makanan, seperti seberapa lapar orang tersebut, mood pada saat itu, dan waktu terakhir sejak seseorang terakhir mengonsumsi makanan tersebut. Umur dan jenis kelamin juga dapat

mempengaruhi preferensi seseorang terhadap makanan. Preferensi terhadap makanan bersifat elastis pada orang yang berusia muda, akan tetapi cenderung bersifat permanen bagi mereka yang berumur tua dan akhirnya menjadi kebiasaan ataupun gaya hidup. Oleh karena itu, kebutuhan kalori pria akan lebih banyak dibandingkan wanita, sehingga laki-laki mengonsumsi lebih banyak makanan. Selain itu, banyak wanita yang sangat memperhatikan citra tubuhnya sehingga banyak dari mereka yang menunda makan bahkan

mengurangi porsi makan sesuai kebutuhannya agar memiliki porsi tubuh yang ideal.

Suku dan tingkat pendidikan seseorang memiliki kaitan dengan preferensi seseorang terhadap makanan yang dikonsumsi. Setiap suku memiliki adat istiadat dan makanan khas sehingga makanan tersebut menjadi suatu makanan yang terbiasa dikonsumsi oleh masyarakat suku tersebut dan melekat pada indera pengecap, contohnya pada masyarakat suku Jawa cenderung lebih menyukai makanan dengan rasa manis dan masyarakat suku Padang cenderung lebih menyukai makanan dengan rasa pedas. Setiap masyarakat mengembangkan cara untuk mencari, memilih, menangani, menyiapkan, dan memakan makanan secara turun menurun. Tingkat pendidikan mempengaruhi


(36)

pengetahuan gizi seseorang terhadap makanan. Orang yang berpendidikan tinggi cenderung memilih makanan yang bernilai gizi tinggi. Seseorang yang lebih mementingkan nilai gizi pada makanan atau alasan status kesehatan akan tetap memilih makanan yang memiliki kandungan gizi baik walaupun orang itu tidak begitu menyukai makanan tersebut sehingga dapat dikatakan bahwa preferensi seseorang terhadap makanan juga dipengaruhi oleh

pengetahuan gizi dan status kesehatan. Pengetahuan gizi dan kesehatan yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi konsumsi pangan orang tersebut (Khomsan, 2000).

Menurut Suhardjo (1989) sosial budaya mempengaruhi pemenuhan selera atau tidak selera seseorang terhadap makanan. Pilihan jenis makanan dan

minuman dalam jumlah yang beragam, pada akhirnya akan mempengaruhi preferensi individu terhadap makanan dan minuman (Sanjur, 1982). Selanjutnya Sanjur mengatakan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi preferensi konsumen, yaitu sebagai berikut.

a. Karakteristik individu meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan, dan pengetahuan gizi.

b. Karakteristik produk meliputi rasa, aroma, kemasan, dan tekstur.

c. Karakteristik lingkungan meliputi jumlah keluarga, tingkat sosial, musim, dan mobilitas.


(37)

Menurut Simamora (2004) preferensi dapat terbentuk melalui tahap pola pikir konsumen yang didasari oleh dua hal, yaitu:

a. Pengalaman yang diperoleh sebelumnya

Apabila konsumen merasakan kepuasan dan kecocokan dalam membeli suatu produk, maka konsumen akan terus menerus memakai produk tersebut sehingga konsumen memutuskan untuk membeli produk tersebut.

b. Kepercayaan turun temurun

Dikarenakan kesetiaan menggunakan atau mengonsumsi produk tersebut, konsumen dapat merasakan manfaat dalam pemakaian produk tersebut, sehingga konsumen merasakan kepuasaan dan manfaat dalam membeli dan mengonsumsi produk tersebut.

Preferensi yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tingkat kesukaan seseorang terhadap berbagai atribut yang melekat pada tiwul. Berdasarkan hasil penelitian Hendaris (2013) atribut yang paling diinginkan konsumen dalam mengonsumsi beras siger oleh rumah tangga di Desa Pancasila Kabupaten Lampung Selatan adalah harga murah (≤ Rp7.000,00/kg), warna coklat tua, kenyal, aroma tidak kuat. Selain itu, hasil penelitian Rochaeni (2013) menyatakan bahwa kemudahan memperoleh juga menjadi pertimbangan seseorang dalam mengonsumsi buah impor dibandingkan dengan buah lokal, sedangkan hasil penelitan Resmawati (2013) menunjukkan bahwa rasa merupakan atribut terpenting yang menjadi preferensi konsumen dalam


(38)

yang akan diteliti meliputi harga, rasa, warna, aroma, tekstur, dan cara memperoleh.

Preferensi seseorang terhadap sesuatu akan menjadi salah satu faktor yang menentukan perilaku mengonsumsi seseorang. Tindakan yang memiliki keterlibatan langsung dalam mendapatkan, mengkomsumsi, dan menghabiskan produk dan jasa disebut perilaku konsumen (Engel, Blackwell, dan Miniard, 1994). Proses pengambilan keputusan termasuk dalam tindakan yang

mendahului dan mengikuti perilaku tersebut. Perilaku konsumen (consumen behavior) oleh Schiffman dan Kanuk (2004) didefinisikan sebagai perilaku yang diperlihatkan konsumen dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi dan menghabiskan produk dengan harapan bahwa perilaku tersebut akan memuaskan kebutuhan hidup konsumen. Semua kegiatan, tindakan, proses psikologis yang mendorong tindakan pada saat sebelum membeli, ketika membeli, menggunakan, menghabiskan produk dan jasa, kegiatan mengevaluasi disebut juga perilaku konsumen (Sumarwan, 2002). Berdasarkan beberapa definisi mengenai perilaku konsumen tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumen adalah tindakan konsumen dalam mendapatkan dan menghabiskan nilai guna suatu produk barang atau jasa guna memenuhi kebutuhan dan mencapai kepuasan.

Perilaku konsumen adalah dinamis. Itu berarti bahwa perilaku seseorang konsumen, grup konsumen, ataupun masyarakat luas selalu berubah dan bergerak sepanjang waktu. Salah satu implikasi dari perilaku konsumen yang


(39)

bersifat dinamis tersebut adalah bahwa generalisasi perilaku konsumen biasanya terbatas untuk jangka waktu tertentu, produk, dan grup tertentu (Setiadi, 2003). Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pembelian konsumen yaitu faktor kebudayaan, sosial, pribadi, dan psikologi konsumen itu sendiri. Sebagian besar adalah faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan oleh pemasar. Menurut Setiadi (2003), faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut. a. Faktor kebudayaan

Kebudayaan merupakan faktor penentu yang paling dasar dari keinginan dan perilaku seseorang. Setiap kebudayaan terdiri dari sub budaya yang lebih kecil yang memberikan identifikasi dan sosialisasi yang lebih spesifik untuk para anggotanya. Sub budaya dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu : (a) kelompok nasionalisme; (b) kelompok keagaaman; (c) kelompok ras; (d) area geografis. Selain itu, kelas sosial juga merupakan faktor yang tercakup dalam kebudayaan yang ikut berperan dalam menentukan perilaku

konsumen dalam keputusan pembelian. Kelas sosial adalah kelompok-kelompok yang relative homogeny dan bertahan lama dalam suatu

masyarakat, yang tersusun secara hierarki dan keanggotaannya mempunyai nilai, minat, dan perilaku serupa.

b. Faktor Sosial

Faktor sosial yang mempengaruhi perilaku konsumen adalah kelompok referensi, keluarga, peran, dan status. Kelompok referensi seseorang terdiri dari seluruh kelompok yang memiliki pengaruh langsung maupun tidak


(40)

langsung terhadap sikap atau perilaku seseorang. Kelompok referensi tersebut digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu (1) kelompok primer, seperti keluarga, teman, tetangga, dan teman sejawat; (2) kelompok sekunder atau kelompok aspirasi, yaitu kelompok yang seseorang ingin menjadi anggotanya; (3) kelompok diasosiatif, yaitu kelompok yang nilai atau perilakunya tidak disukai oleh individu. Orang pada umumnya sangat dipengaruhi oleh kelompok referensi mereka pada tiga cara. Pertama, kelompok referensi memperlihatkan pada seseorang perilaku dan gaya hidup baru. Ke dua, kelompok referensi mempengaruhi konsep jati diri dan sikap seseorang karena umumnya orang tersebut ingin menyesuaikan diri. Ke tiga, kelompok referensi menciptakan tekanan untuk menyesuaikan diri dan dapat mempengaruhi pilihan produk dan merek seseorang.

c. Faktor pribadi

Faktor-faktor pribadi yang mempengaruhi perilaku konsumen adalah umur, tahapan dalam siklus hidup, pekerjaan, keadaan ekonomi, gaya hidup, dan kepribadian. Keadaan ekonomi seseorang yang mempengaruhi perilaku mengonsumsi terdiri dari pendapatan yang dapat dibelanjakan (tingkatnya, stabilitasnya, dan polanya), tabungan dan hartanya (termasuk presentase yang mudah dijadikan uang), kemampuan untuk meminjam dan sikap terhadap mengeluarkan lawan menabung. Menurut Engel, dkk (1994), keadaan ekonomi mempengaruhi keputusan kosumen dalam memilih produk dan merek. Konsumen akan mempertimbangkannya dengan jumlah sumber


(41)

daya ekonomi yang mereka miliki sekarang atau pada masa datang untuk keputusan pembelian. Sumber daya ekonomi tersebut dapat berupa pendapatan atau kekayaan. Pengeluaran konsumen bergantung pada perubahan pendapatannya.

Gaya hidup juga memiliki peran dalam menentukan perilaku seseorang terhadap kegiatan mengonsumsinya. Gaya hidup seseorang adalah pola hidup di dunia yang diekspresikan oleh kegiatan, minat, dan pendapat seseorang. Gaya hidup mencerminkan kelas sosial seseorang. Sedangkan kepribadian merupakan suatu variabel yang sangat berguna dalam

menganalisis perilaku konsumen. Kepribadian adalah karakteristik yang berbeda dari setiap orang yang memandang responnya terhadap lingkungan yang relatif konsisten. Menurut Engel, dkk (1994) kepribadian seseorang dapat digambarkan melalui pengetahuannya. Pengetahuan dalam hal ini adalah apa yang sudah diketahui oleh konsumen, sehingga merupakan faktor penentu utama dalam perilaku konsumen. Pengetahuan konsumen dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu pengetahuan harga, pengetahuan pembelian dan pengetahuan pemakaian.

d. Faktor psikologis

Faktor psikologis yang mempengaruhi perilaku konsumen adalah motivasi, persepsi, proses belajar, kepercayaan, dan sikap. Kebutuhan yang mendesak sehingga mengarahkan seseorang untuk mencari kepuasan dari kebutuhan tersebut disebut motivasi. Menurut Prasetijo dan Ihalaw (2005), motivasi


(42)

adalah daya dorong bagi konsumen untuk berperilaku kepada tujuan tertentu. Motivasi membawa konsumen untuk terlibat dalam proses perilaku beli, terutama dalam proses mencari dan mengevaluasi. Setiadi (2003) mendefinisikan bahwa persepsi adalah proses seseorang memilih, mengorganisasikan, mengartikan masukan informasi untuk menciptakan suatu gambaran yang berarti dari dunia ini. Orang dapat membentuk berbagai macam persepsi yang berbeda dari rangsangan yang sama. Faktor-faktor persepsi meliputi perhatian yang selektif, gangguan yang selektif, dan mengingat kembali yang selektif. Setiap orang memiliki persepsi berbeda dalam melihat berbagai produk. Dengan adanya persepsi, seseorang dapat memilih dan menentukan barang-barang yang baik bagi dirinya.

Setiadi (2003) mengemukakan bahwa proses belajar menyebabkan perubahan dalam perilaku seseorang yang timbul dari pengalaman. Pembelajaran adalah suatu proses, yang selalu berkembang dan berubah sebagai hasil dari

informasi terbaru yang diterima (mungkin didapatkan dari membaca, diskusi, observasi, berpikir) atau dari pengalaman sesungguhnya, baik informasi terbaru yang diterima maupun pengalaman pribadi bertindak sebagai feedback bagi individu dan menyediakan dasar bagi perilaku masa depan dalam situasi yang sama (Schiffman dan Kanuk, 2004). Pembelajaran seseorang dihasilkan melalui dorongan, rangsangan, isyarat, tanggapan dan penguatan. Melalui tindakan dan proses belajar, orang akan mendapatkan kepercayaan dan sikap yang kemudian mempengaruhi perilaku membeli.


(43)

Kepercayaan adalah suatu gagasan deskriptif yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu. Kepercayaan atau beliefs dapat didasarkan pada pengetahuan asli, opini, dan iman (Kotler dan Amstrong, 2006). Kepercayaan dapat berupa

pengetahuan, pendapat atau sekadar percaya.

3. Pola Konsumsi Pangan dan Angka Kecukupan Gizi (AKG)

Pangan merupakan komoditas yang penting dan strategis mengingat bahwa pemenuhan atas pangan adalah hak asasi manusia. Pangan adalah bahan-bahan yang dimakan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan bagi pemeliharaan, pertumbuhan, kerja, dan penggantian jaringan tubuh yang rusak. Pangan diperlukan oleh tubuh karena fungsinya sebagai triguna makanan, yaitu sebagai sumber tenaga, zat pengatur, dan zat pembangun. Pangan dikenal sebagai pangan pokok yang dimakan secara teratur oleh suatu kelompok penduduk dalam jumlah cukup besar untuk menyediakan bagian terbesar dari konsumsi energi total yang dihasilkan oleh makanan. Jenis-jenis pangan yang dikonsumsi penduduk pada suatu daerah biasanya tidak jauh dari jenis-jenis pangan yang dapat diproduksi atau ditanaman di daerah tersebut (Indriani, 2007). Suatu makanan terdiri dari sejumlah makanan padat dan cair yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok penduduk (Harper, dkk, 2006).

Pola konsumsi pangan adalah susunan makanan yang mencakup jenis dan jumlah bahan makanan rata-rata per orang per hari yang umum dikonsumsi pada jangka waktu tertentu (Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan, 2005).


(44)

Secara kualitatif pola konsumsi pangan dapat dilihat dari apa yang dikonsumsi dan secara kuantitatif meliputi jumlah, jenis dan frekuensi yang dikonsumsi. Jumlah adalah banyaknya makanan yang dikonsumsi dalam satuan tertentu. Frekuensi adalah seberapa sering seseorang mengonsumsi suatu jenis

makanan dalam waktu tertentu. Pola makan merupakan berbagai informasi yang memberi gambaran mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan tiap hari oleh seseorang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu (Santosa dan Ranti, 2004). Konsumsi pangan dapat membentuk suatu pola konsumsi pangan karena adanya tindakan mengonsumsi secara rutin atau terus menerus dalam kurun waktu tertentu sehingga membentuk kebiasaan makan.

Berdasarkan hasil penelitian Hendaris (2013) pola konsumsi pangan seseorang juga dapat dilihat dari cara memperoleh, cara mengolah, cara mengonsumsi, dan alasan seseorang mengonsumsi pangan tersebut. Seseorang dapat memperoleh pangan karena membeli atau membuat sendiri. Sedangkan cara mengolah pangan dikategorikan atas mengolah sendiri atau menggunakan jasa pabrik. Cara seseorang mengonsumsi pangan berbeda-beda bergantung preferensi orang tersebut. Cara konsumsi seseorang dapat dilihat dari

konsumsi seseorang terhadap jenis pangan tersebut, dicampur atau murni jenis pangan tersebut saja yang dikonsumsi. Alasan seseorang mengonsumsi pangan dapat dikategorikan sebagai kebiasaan, kesehatan, atau kesukaan seseorang terhadap suatu jenis pangan tertentu.


(45)

Pola makan disebut juga kebiasaan makan. Menurut Harper, dkk (2006) pola makan adalah cara yang ditempuh seseorang atau kelompok untuk memilih makanan dan mengonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, budaya, dan sosial. Sodioetama (1996) berpendapat bahwa konsumsi pangan merupakan banyaknya atau jumlah pangan, secara tunggal maupun beragam, yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis dan sosiologis. Tujuan fisiologis adalah upaya untuk memenuhi keinginan makan (rasa lapar) atau untuk memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan tubuh. Tujuan psikologis adalah untuk memenuhi kepuasan emosional atau selera, sedangkan tujuan sosiologis adalah untuk memelihara hubungan manusia dalam keluarga dan masyarakat. Perilaku konsumsi pangan merupakan perwujudan dari

kebiasaan makan yang tumbuh berkembang dalam proses sosialisasi keluarga dan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang sedikit banyaknya memberi pengaruh (Baliwati, 2004).

Pola sosial yang berkembang dari adat istiadat setempat dapat mempengaruhi cara makan seseorang. Pola sosial merupakan suatu tatanan atau pola

mengenai keadaan kehidupan masyarakat. Budaya merupakan cara hidup manusia yang mengajarkan bagaimana seseorang bertingkah laku dalam memenuhi kebutuhan dasar biologisnya. Menurut Suhardjo (1989) pola sosial dan budaya menentukan cara makan seseorang dalam hal:


(46)

b. dalam keadaan yang bagaimana makanan disajikan

c. siapa yang menyiapkan makanan, siapa yang menyajikan makanan dan prioritas anggota keluarga tertentu dalam pola pembagian makanan d. hubungan antara besarnya keluarga dan umur anggota keluarga dengan

pola pangan dan status gizi

e. larangan keagaaman yang berhubungan dengan konsumsi pangan f. kapan seseorang boleh atau tidak boleh memakannya

g. apa saja yang dianggap tabu, dan sebagainya

Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan gizi seseorang. Menurut Sedioetama (1996) untuk tingkat konsumsi, pemenuhan gizi lebih banyak ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pangan yang

dikonsumsi. Kualitas pangan mencerminkan adanya zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh yang terdapat dalam bahan pangan, sedangkan kuantitas pangan mencerminkan jumlah setiap gizi dalam suatu bahan pangan. Jika unsur kualitas dan kuantitas dapat terpenuhi, maka status gizi baik akan tercapai.

Kecukupan gizi setiap individu pasti berbeda. Menurut Hardinsyah dan Tampubolon (2004) kecukupan gizi adalah rata-rata asupan gizi harian yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi hampir semua (97,5 persen) orang sehat dalam kelompok umur, jenis kelamin, dan fisiologis tertentu. Menurut Almatsier (2009) Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkaan (AKG) adalah taraf konsumsi zat-zat gizi esensial yang berdasarkan pengetahuan ilmiah dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan hampir semua orang sehat.


(47)

Angka kecukupan gizi adalah banyaknya zat-zat gizi minimal yang

dibutuhkan seseorang untuk mempertahankan status gizi adekuat. AKG yang dianjurkan didasarkan pada patokan berat badan untuk masing-masing

kelompok umur, jenis kelamin, aktivitas fisik, dan kondisi fisiologis tertentu seperti kehamilan dan menyusui. Dalam penggunaannya, bila kelompok penduduk yang dihadapi mempunyai rata-rata berat badan yang berbeda dengan patokan yang digunakan, maka perlu dilakukan penyesuaian. Bila berat badan kelompok penduduk tersebut dinilai terlalu kurus, AKG dihitung berdasarkan berat badan idealnya. AKG yang dianjurkan tidak digunakan untuk perorangan (Almatsier, 2009). Kecukupan energi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, status fisiologis, kegiatan, efek termik, iklim dan adaptasi (Hardinsyah dan Tambupolon, 2004).

Pangan seharusnya dikonsumsi secara beragam, bergizi, dan berimbang sesuai dengan Pola Pangan Harapan (PPH) guna mencapai status gizi baik. Dengan demikian, diharapkan konsumsi pangan yang beraneka ragam dapat

memperbaiki mutu gizi makanan seseorang. Kebutuhan pangan hanya dibutuhkan secukupnya sesuai dengan proporsinya masing-masing. Kelebihan atau kekurangan pangan akan menimbulkan masalah gizi dan penyakit sehingga berbagai macam zat gizi yang dikonsumsi harus dapat memenuhi kebutuhan berbagai zat gizi yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah yang tepat.


(48)

Pola pangan harapan (PPH) adalah susunan beragam pangan atau kelompok pangan yang didasarkan atas sumbangan energinya, baik secara absolute maupun relative terhadap total energi baik dalam hal ketersediaan maupun konsumsi pangan, yang mampu mencukupi kebutuhan dengan

mempertimbangkan aspek-aspek sosial, ekonomi, budaya, agama, cita rasa (Depkes RI, 2005). Menurut Bappenas (2011) pola pangan harapan adalah susunan jumlah pangan menurut 9 (sembilan) kelompok pangan yang didasarkan pada kontribusi energi yang memenuhi kebutuhan gizi secara kuantitas, kualitas maupun keragaman dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, budaya, agama, dan cita rasa.

Pola pangan harapan mencerminkan susunan konsumsi pangan anjuran untuk hidup sehat, aktif, dan produktif. Dengan pendekatan PPH, maka mutu pangan berdasarkan skor pangan dari 9 bahan pangan dapat dinilai. Semakin tinggi skor PPH, maka konsumsi pangan semakin beragam dan berimbang. Pangan yang dikonsumsi secara beragam dalam jumlah cukup dan seimbang akan mampu memenuhi kebutuhan gizi yang diperlukan oleh tubuh. Rata-rata kecukupan energi dan protein per kapita per hari adalah 2.000 kkal dan 52 gram pada tingkat konsumsi dan 2.200 kkal dan 57 gram pada tingkat persediaan (LIPI, 2004). Susunan pola pangan harapan (PPH) dapat dilihat pada Tabel 3.


(49)

Tabel 3. Susunan Pola Pangan Harapan (PPH) Standar

No. Kelompok Pangan Energi (kkal/kap/hari)

% AKG Bobot Skor PPH

1. Padi-padian 1.000 50,0 0,5 25,0

2. Umbi-umbian 120 6,0 0,5 2,5

3. Hewani 240 12,0 2,0 24,0

4. Minyak dan lemak 200 10,0 0,5 5,0

5. Buah dan biji

berminyak

60 3,0 0,5 1,0

6. Kacang-kacangan 100 5,0 2,0 10,0

7. Gula 100 5,0 0,5 2,5

8. Sayur dan buah 120 6,0 5,0 30,0

9. Lain-lain 60 3,0 0,0 0,0

Jumlah 2.000 100,0 100,0

Sumber : Badan Ketahanan Pangan Kementerian RI, 2012

Dalam penelitian ini, pola konsumsi yang akan diteliti meliputi jumlah, frekuensi, cara mengonsumsi, dan alasan mengonsumsi tiwul oleh konsumen di rumah makan. Jumlah menunjukkan banyaknya tiwul yang dikonsumsi dalam waktu tertentu dan frekuensi menunjukkan seberapa sering seseorang mengonsumsi tiwul dalam waktu tertentu. Tiwul biasanya dikonsumsi dengan cara dicampur dengan nasi beras, di konsumsi dalam bentuk tiwul murni, ataupun digoreng. Alasan seseorang mengonsumsi tiwul dapat disebabkan oleh faktor kebiasaan, faktor kesukaan, alasan kesehatan, untuk pemenuhan keinginan saja, penasaran atau sekedar ingin mencoba.

4. Faktor- Faktor yang Berpengaruh terhadap Konsumsi Pangan

Harper, dkk (1986) berpendapat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi cara makan atau kebiasaan makan individu baik pada tingkat masyarakat maupun


(50)

rumah tangga antara lain ketersediaan pangan, pola sosial budaya, dan faktor-faktor pribadi. Menurut Suhardjo (1989) faktor-faktor-faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi pangan sehari-hari adalah persediaan pangan, tingkat pendapatan, pengetahuan gizi, dan besar keluarga. Koentjaraningrat (1984) dalam Khumaidi (1994) berpendapat bahwa faktor-faktor sosial budaya yang mempengaruhi kebiasaan makan individu, keluarga dan masyarakat dipengaruhi oleh:

a. Faktor perilaku

Cara seseorang berpikir/berpengetahuan, berperasaan, dan berpandangan tentang makanan (persepsi) adalah faktor perilaku yang memengaruhi kebiasaan makan. Faktor-faktor tersebut kemudian dinyatakan dalam bentuk tindakan makan dan memilih makanan. Apabila mekanisme ini terjadi berulang-ulang, maka tindakan (perilaku konsumsi) itu menjadi kebiasaan makan yang dapat diukur dengan pola konsumsi pangan. b. Faktor lingkungan sosial

c. Faktor lingkungan ekonomi, daya beli, ketersediaan uang kontan, dan sebagainya.

d. Lingkungan ekologi, meliputi kondisi tanah, iklim, lingkungan biologi, sistem usahatani, sistem pasar, dan sebagainya.

e. Faktor ketersediaan bahan makanan, dipengaruhi oleh kondisi-kondisi yang bersifat hasil karya manusia seperti sistem pertanian (misalnya, perladangan, pengembalaan ternak), prasarana, dan sarana kehidupan


(51)

(jalan raya, jembatan, dan sebagainya), perundang-undangan, dan pelayanan pemerintah.

f. Faktor perkembangan teknologi

Bioteknologi dapat menghasilkan jenis-jenis bahan makanan yang lebih praktis dan bergizi sehingga akan berpengaruh pada pola kebiasaan makan.

Pada dasarnya, ada dua faktor yang mempengaruhi kebiasaan makan manusia, yaitu faktor ekstrinsik dan instrinsik. Faktor ekstrinsik meliputi lingkungan alam, lingkungan budaya dan agama, serta lingkungan ekonomi. Faktor intrinsik yang mempengaruhi kebiasaan makan seseorang diantaranya adalah asosiasi emosional, keadaan (status) kesehatan dan penilaian yang lebih terhadap mutu makanan (Khumaidi, 1994). Selain itu, Indriani (2007)

mengemukakan bahwa faktor intrinsik yang mempengaruhi konsumsi pangan seseorang adalah kesukaan, pengetahuan gizi, dan status kesehatan. Faktor ekstrinsik yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan seseorang adalah lingkungan sosial budaya orang tersebut tinggal. Faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi akseptabilitas seseorang terhadap pangan.

Pola pangan pokok menggambarkan salah satu ciri dari kebiasaan makan seseorang. Dalam memenuhi kebutuhan makan, seseorang akan bertingkah laku berdasarkan sikap, kepercayaan, dan pemilihan makanan. Setiap masyarakat mempunyai aturan, pembatasan, rasa suka dan tidak suka, serta kepercayaan terhadap beberapa jenis makanan yang berbeda-beda sehingga


(52)

membatasi pilihannya terhadap beberapa jenis makanan (Khumaidi, 1994). Pola makan individu dalam keluarga mempunyai peranan penting dalam pembentukan pola makan masyarakat. Jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi selain dipengaruhi oleh hasil budaya setempat juga dipengaruhi oleh preferensi terhadap makanan. Pola konsumsi dipengaruhi oleh faktor intrinsik pada diri seseorang yaitu preferensi seseorang terhadap makanan. Selain budaya, faktor penting yang lainnya yang mempengaruhi perilaku konsumsi adalah pendapatan. Pendapatan mencerminkan kemampuan

seseorang dalam melakukan konsumsi baik secara kualitas maupun kuantitas. Semakin besar pendapatan yang diperoleh, maka kemampuan untuk

memenuhi kebutuhan pangan maupun non pangan semakin meningkat begitu pula sebaliknya.

5. Teori Permintaan

Permintaan menunjukkan berbagai jumlah suatu produk yang konsumen inginkan dan mampu beli pada berbagai tingkat harga yang mungkin selama suatu periode tertentu (Wijaya, 1991). Menurut Suhartanti dan Fathorrozi (2003) permintaan adalah berbagai jumlah barang dan jasa yang diminta pada berbagai tingkat harga pada suatu waktu tertentu. Jumlah barang yang diminta oleh konsumen pada suatu pasar disebut permintaan (Daniel, 2004).


(53)

kelompok pelanggan tertentu, lingkungan tertentu, dan program pemasaran tertentu (Kotler, dkk, 2001 dalam Kurniaty, 2008).

Berdasarkan pengertian permintaan tersebut, maka dapat diketahui bahwa permintaan menunjukkan jumlah barang dan jasa yang diminta oleh konsumen pada berbagai tingkat harga, artinya dalam berbagai tingkat harga-harga tertentu terdapat sejumlah barang yang diminta oleh konsumen. Permintaan individu akan suatu barang menunjukan jumlah yang siap untuk dibeli pada berbagai tingkat kemungkinan harga. Apabila permintaan individual akan sesuatu produk dijumlahkan akan diperoleh permintaan pasar akan produk tersebut (Nopirin, 1994).

Hubungan fungsional antara jumlah barang yang diminta pada berbagai tingkat harga tersebut dapat disajikan dalam kurva permintaan. Kurva permintaan menunjukkan hubungan negatif antara harga dan jumlah permintaan. Perubahan faktor-faktor lain tercermin pada pergeseran kurva permintaan. Jumlah yang diminta akan berubah berubah apabila harga berubah, cateris paribus. Perubahan jumlah yang diminta tercermin pada pergerakan di dalam suatu kurva permintaan. Kurva permintaan merupakan tempat titik-titik yang masing-masing menggambarkan tingkat maksimum pembelian pada harga tertentu oleh seseorang, cateris paribus. Kurva permintaan dibentuk berdasarkan hukum permintaan. Kurva permintaan berbentuk miring ke bawah karena harga barang yang lebih tinggi mendorong konsumen beralih ke barang lain atau mengonsumsi dengan jumlah lebih sedikit (Mankiw, 2003).


(54)

Menurut Daniel (2004) hukum permintaan pada hakikatnya adalah makin rendah harga suatu barang, makin banyak permintaan atas barang tersebut, sebaliknya makin tinggi harga suatu barang, makin sedikit permintaan atas barang tersebut. Jumlah barang yang diminta akan naik apabila harga barang yang diminta turun dengan catatan bahwa hal-hal lain adalah tetap. Hal-hal lain yang dimaksud adalah variabel-variabel selain harga barang yang

bersangkutan yang dapat mempengaruhi jumlah barang yang diminta. Terdapat pendekatan untuk menerangkan mengapa konsumen berperilaku seperti yang dinyatakan oleh Hukum Permintaan. Kurva permintaan diturunkan dari kurva indifference.

Kurva indifference adalah konsumsi atau pembelian barang-barang yang menghasilkan tingkat kepuasan yang sama. Menurut Boediono (1982) perilaku konsumen dapat diterangkan dengan pendekatan kurva indifference dengan anggapan bahwa (1) konsumen mempunyai pola preferensi akan barang-barang konsumsi (misalnya X1 dan X2 ) yang bias dinyatakan dalam bentuk indifferencemap, (2) konsumen mempunyai sejumlah uang tertentu, dan (3) konsumen selalu berusaha mencapai kepuasan maksimum. Penurunan kurva permintaan dari kurva indifference dapat dilihat pada Gambar 1.


(55)

Gambar 1. Penurunan kurva permintaan dari kurva indifference Sumber : Boediono, 1982

Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat bahwa dengan sejumlah uang tertentu (M) konsumen bisa membeli barang X sebanyak M/Px dan barang Y sebanyak M/Py atau konsumen bisa membelanjakan jumlah uang M tersebut untuk berbagai kemungkinan kombinasi X dan Y seperti garis yang ditunjukan oleh garis lurus yang menghubungkan M/Px dan M/Py. Garis tersebut disebut garis budget atau budget line. Tingkat kepuasan maksimum yang dicapai bila

Y1

M/Py

I1

M/Px

I2

M/Px’

X1

0 Y1

X1

Px

X1

0 P1

P2

X1 X2

A B


(56)

konsumen membelanjakan uang sejumlah M untuk membeli barang OY1 barang Y dan OX1 barang X, yaitu pada posisi persinggungan antara budget line dengan kurva indifference yang terletak pada titik A. Posisi ini

menunjukkan posisi kepuasan yang maksimum atau posisi equilibrium konsumen karena I1 adalah kurva indifference tertinggi yang bisa dicapai oleh

budget linetersebut. Jika harga X turun dari Px menjadi Px’ dan harga Y tetap, maka budget lineakan bergeser ke kanan menjadi garis M/Py dan M/Px’ sehingga posisi equilibrium yang baru adalah pada titik B. Jadi, dengan

adanya penurunan harga barang X, maka jumlah barang X yang diminta naik dari OX1 menjadi OX2. Perilaku konsumen menurut Hukum Permintaan terbukti.

Pada dasarnya kebutuhan manusia mempunyai sifat yang tidak terbatas, sedangkan alat pemuas kebutuhan itu sifatnya terbatas sehingga tidak semua kebutuhan akan terpenuhi. Kebutuhan seseorang akan dapat terpenuhi apabila ia dapat mengkonsumsi barang/jasa yang ia butuhkan dan mencapai kepuasan maksimum. Perolehan kepuasan merupakan nilai daya guna yang diberikan oleh suatu barang atau jasa yang dikonsumsi. Namun demikian, konsumen dibatasi oleh pendapatan yang digunakan dalam membelanjakan uangnya dan memenuhi kebutuhan konsumen. Permintaan adalah jumlah barang yang diminta konsumen pada suatu waktu yang didukung oleh daya beli. Daya beli mencerminkan kemampuan konsumen dalam membeli sejumlah barang yang diinginkan, yang biasanya dinyatakan dalam bentuk uang.


(57)

Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah barang yang diminta oleh konsumen adalah harga komoditi/barang itu sendiri, harga komoditi lain, pendapatan, rata-rata penghasilan rumah tangga (distribusi pendapatan), selera, dan besarnya populasi atau jumlah penduduk (Lipsey, dkk, 1995). Secara

matematis faktor-faktor tersebut dapat dibentuk dalam fungsi sebagai berikut. Qdx = f (Px, Py, I, T, N)

Keterangan :

Qdx = jumlah barang x yang diminta Px = harga barang x

Py = harga barang y I = pendapatan T = selera N = populasi

Permintaan seseorang atau suatu masyarakat terhadap suatu produk di pasaran ditentukan oleh banyak faktor. Menurut Sugiarto, dkk (2005) permintaan seseorang terhadap suatu komoditas barang tertentu ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya sebagai berikut.

a. Harga komoditas itu sendiri

Dengan asumsi bahwa faktor-faktor lain tidak mengalami perubahan atau cateris paribus, maka dalam teori ekonomi dianggap bahwa permintaan konsumen terhadap suatu komoditas dipengaruhi oleh harga barang itu sendiri. Sesuai dengan hukum permintaan bahwa apabila harga suatu barang semakin murah, maka permintaan konsumen terhadap barang itu akan bertambah. Begitu juga sebaliknya, jika harga suatu barang semakin mahal, maka permintaan konsumen terhadap barang itu akan menurun.


(58)

b. Harga komoditas lain yang berkaitan erat dengan komoditas tersebut Perubahan harga pada suatu barang akan berpengaruh terhadap permintaan barang lain. Keadaan ini bisa terjadi apabila kedua barang tersebut

memiliki hubungan saling menggantikan atau saling melengkapi. Terdapat dua macam barang yang bersifat substitusi (pengganti) dan bersifat

komplemen (pelengkap), sedangkan kaitan suatu komoditas dengan berbagai jenis komoditas lainnya dapat dibedakan menjadi ; (1) komoditas pengganti, (2) komoditas penggenap, (3) komoditas netral. Bila kedua barang tersebut tidak saling berhubungan (netral/independen), maka diantara kedua barang tersebut tidak ada saling pengaruh.

c. Pendapatan rumah tangga

Tingkat pendapatan dapat mencerminkan daya beli. Makin tinggi tingkat pendapatan, daya beli makin kuat, sehingga permintaan terhadap suatu barang meningkat. Pendapatan konsumen merupakan faktor yang sangat menentukan permintaan atas berbagai jenis barang. Jenis barang dapat dibedakan menjadi empat golongan, yaitu barang inferior, barang esensial, barang normal, dan barang mewah. Secara teoritis, peningkatan

pendapatan akan meningkatkan konsumsi. Dengan bertambahnya pendapatan, maka barang yang dikonsumsi tidak hanya bertambah kuantitasnya, tetapi kualitasnya juga meningkat (Daniel, 2004).


(59)

d. Distribusi pendapatan

Perubahan distribusi pendapatan dapat mempengaruhi corak permintaan terhadap berbagai jenis komoditas. Permintaan atas komoditas mewah maupun komoditas sekunder akan meningkat bila konsentrasi pendapatan berada di kalangan atas. Sedangkan permintaan komoditas mewah akan menurun apabila konsentrasi pendapatan berada di kalangan bawah sehingga permintaan komoditas yang dibutuhkan oleh kalangan kelas bawah akan meningkat. Dengan kata lain, apabila distribusi pendapatan buruk, berarti daya beli secara umum melemah, sehingga permintaan terhadap suatu barang menurun.

e. Citarasa atau selera masyarakat

Perubahan citarasa atau selera seseorang terhadap sesuatu barang atau jasa akan mempengaruhi permintaan. Permintaan masyarakat terhadap suatu komoditas akan meningkat apabila selera juga meningkat, demikian pula bila selera konsumen berkurang, maka permintaan komoditas tersebut akan menurun. Selera konsumen dapat disebabkan oleh perubahan umur,

perubahan pendapatan, perubahan lingkungan, dan faktor lainnya. Menurut Daniel (2004) selera konsumen juga dipengaruhi adat dan kebiasaan setempat, tingkat pendidikan, dan lainnya.

f. Jumlah Penduduk

Pertambahan penduduk akan mempengaruhi kuantitas kebutuhan suatu komoditas sehingga permintaan terhadap komoditas tersebut akan


(60)

meningkat pula. Sehingga dapat dikatakan bahwa permintaan suatu barang berhubungan positif dengan jumlah penduduk. Semakin banyak jumlah penduduk, maka semakin banyak pula permintaan barang untuk

dikonsumsi. Dimisalkan saat ini jumlah penduduk bertambah sehingga masyarakat lebih banyak memerlukan barang X. Bila barang X yang tersedia di pasar atau ditawarkan oleh produsen jumlahnya tetap, maka masyarakat harus bersedia membayar komoditas tersebut dengan satuan harga yang lebih tinggi untuk suatu jumlah pembelian yang sama.

g. Ramalan mengenai keadaan di masa datang

Bila diperkirakan bahwa harga suatu barang akan naik di masa mendatang, maka sebaiknya barang itu dibeli sekarang, sehingga

mendorong orang untuk membeli lebih banyak saat ini guna menghemat belanja di masa mendatang. Artinya apabila suatu komoditas tertentu memiliki prospek yang baik di masa mendatang, maka permintaan terhadap komoditas tersebut akan naik, dan sebaliknya apabila suatu komoditas tersebut diperkirakan tidak memiliki prospek yang baik di masa

mendatang, maka permintaan konsumen terhadap komoditas tersebut akan cenderung menurun.

Selain, faktor-faktor yang sudah diuraikan sebelumnya, faktor lain yang berpengaruh terhadap permintaan adalah iklan dan upaya promosi. Menurut Swastha dan Irawan (2002) promosi dapat diartikan sebagai suatu sistem keseluruhan dari kegiatan-kegiatan bisnis yang ditujukan untuk


(61)

merencanakan, menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan barang dan jasa untuk memuaskan kebutuhan baik kepada pembeli yang ada maupun pembeli yang potensial. Iklan dan promosi dilakukan oleh penjual produk dengan harapan dapat mempengaruhi kuantitas yang diminta dari produk itu sendiri. Iklan dan promosi pada dasarnya dirancang untuk mempengaruhi preferensi konsumen. selain itu, kualitas produk dan desain juga mempengaruhi permintaan konsumen. Konsumen biasanya menghargai kualitas dan desain barang dan diharapkan membeli lebih banyak produk ketika mereka melihat kualitas yang lebih tinggi atau dari desain lebih fungsional, mengingat harga yang sama. Kualitas dapat dirancang ke dalam produk perusahaan itu sendiri, atau dapat dilampirkan sebagai atribut perifer seperti layanan sopan, jaminan komprehensif, atau jaringan pelayanan yang nyaman dan sangat terlatih.

Permintaan menunjukkan perubahan jumlah barang yang diminta akibat adanya perubahan harga. Untuk mengukur seberapa besar perubahan jumlah barang yang diminta akibat adanya perubahan harga digunakan konsep elastisitas. Menurut Boediono (1982) elastisitas permintaan pasar adalah derajat kepekaan jumlah permintaan terhadap perubahan salah satu faktor yang mempengaruhinya. Elastisitas permintaan merupakan tingkat perubahan harga yang diminta akibat adanya perubahan harga suatu barang. Elastisitas permintaan merupakan perbandingan antara persentase perubahan jumlah barang yang diminta dengan persentase perubahan harga barang. Ukuran


(1)

Badan Ketahanan Pangan Provinsi Lampung. 2011. Neraca Bahan Makanan 2011

(Atap 2010). Badan Ketahanan Pangan Provinsi Lampung. Bandar Lampung.

. 2013. Justifikasi Analisis PPH

Konsumsi Pangan Data Susenas. Badan Ketahanan Pangan Provinsi Lampung.

Bandar Lampung.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2011. Pedoman Perencanaan Program Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi. www.bappenas.go.id. Diakses pada 28 Desember 2013 pukul 20.00 WIB.

Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. 2011. Lampung dalam Angka 2011. Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. Bandar Lampung.

. 2012a

.

Kecamatan Sidomulyo dalam

Angka. Badan Pusat Provinsi Lampung. Bandar Lampung.

. 2012b . Lampung dalam Angka 2012. Badan Pusat Provinsi Lampung. Bandar Lampung.

. 2013a. Lampung Selatan dalam Angka 2013. Badan Pusat Provinsi Lampung. Bandar Lampung.

. 2013b. Tulang Bawang Barat dalam Angka 2013. Badan Pusat Provinsi Lampung. Bandar Lampung.

Baliwati, Y. F., A. Khomsan, dan C. W. Dwiriani. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Penebar Swadaya. Jakarta.

Boediono, D. R. 1982. Ekomoni Mikro Edisi Kedua. BPFE. Yogyakarta. Cahyaningsih, R. 2008. Analisis Pola Konsumsi Pangan Jawa Barat. Skripsi

Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga. Fakultas

Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Daniel, M. 2004. Pengantar Ekonomi Pertanian. Bumi Aksara. Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Rencana Strategi Departemen


(2)

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Profil Kesehatan Indonesia. Departemen Republik Indonesia. Jakarta.

Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Lampung. 2012. Jumlah dan Nilai

Impor Beras Pecah di Provinsi Lampung. Dinas Perindustrian dan

Perdagangan Provinsi Lampung. Bandar Lampung.

Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan. 2005. Peta Daerah Rawan Pangan dan

Gizi Provinsi Lampung 2004. Lampung.

Direktorat Bina Usaha Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2003. Pedoman

Pengolahan Ubi Kayu. http://scribd.com/. Diakses 28 Desember 2013

pukul 20.05 WIB.

Drewnowski, A. 1997. Taste Preference and Food Intake. Annual Review Nutrition. USA.

Engel, J. F., R. D. Blackwell, dan P. W. Miniard. 1994. Perilaku Konsumen. Binarupa Aksara. Jakarta.

Gay, L. R dan P. L. Diehl. 1996. Research Methods for Business and. Management. MacMillan Publishing Company. New York.

Ghozali, I. 2006. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. Badan Penerbit Undip. Semarang.

Gujarati, D. N. 2006. Dasar-Dasar Ekonometrika Edisi Ketiga Jilid 2. Erlangga. Jakarta.

Hair, J. F., R. E. Anderson, R. L. Tathtam, dan W. C. Black. 1995. Multivariate Data

Analysis, Fourth Edition. Prentice Hall. New Jersey.

Hardinsyah dan D. Martianto. 1989. Menaksir Kecukupan Energi dan Protein serta

Penilaian Status Konsumsi Pangan. Wirasari. Jakarta.

Hardinsyah dan V. Tambupolon. 2004. Kecukupan Energi, Protein, Lemak, dan

Serat Makanan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta.

Harper, L. J., B. J. Deaton, dan J. A. Driskel. 1986. Pangan Gizi dan Pertanian. Diterjemahkan oleh Suhardjo. UI Pres. Jakarta.


(3)

Hendaris, T. W. 2013. Pola Konsumsi dan Atribut-atribut Beras Siger yang Diinginkan Konsumen Rumah Tangga di Kecamatan Natar Kabupaten

Lampung Selatan. Skripsi Jurusan Agribisnis. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Indriani, Y. 2007. Gizi dan Pangan (buku ajar). Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Khomsan, A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Khumaidi, M. 1994. Gizi Masyarakat. PT BPK Gunung Mulia. Jakarta.

Kotler, P. 1992. Manajemen Pemasaran, Analisis, Perencanaan, Implementasi,

dan Pengendalian. Erlangga. Jakarta.

. 2007. Manajemen Pemasaran, Analisis Perencanaan, Pengendalian. Prentice Hall Edisi Bahasa Indonesia. Salemba Empat. Jakarta.

Kotler, P dan G. Amstrong. 2006. Principles of Marketing Eleventh Edition. Pearson Prentice Hall. New Jersey.

Kuncoro, M. 2001. Metode Kuantitatif. AMP YKPN. Yogyakarta.

Kurniaty, S. 2008. Analisis Permintaan Tepung Tapioka oleh Konsumen Rumah Tangga di Kota Bandar Lampung . Skripsi Jurusan Agribisnis. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung

LIPI. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Dalam Prosiding Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta.

Lipsey, G. C. Roger, D. D. Purvis, dan P. O. Steiner. 1995. Pengantar Mikro

Ekonomi Edisi Kesepuluh. Diterjemahkan oleh Jaka Wasana dan Kirbrandoko.

Binarupa Aksara. Jakarta.

Mankiw, N. G. 2003. Teori Makro Ekonomi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Murhadi, W. R. 2013. Regresi Dengan Eviews.

www.wernermurhadi.wordpress.com. Diakses pada 15 Februari 2014 pukul 16.30 WIB.


(4)

Musnalika, A. 2012. Analisis Permintaan Pangan Tingkat Rumah Tangga Petani Padi di Kabupaten Lampung Tengah. Skripsi Jurusan Agribisnis. Fakultas

Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Nicholson, W. 1995. TeoriEkonomi Mikro. Prinsip Dasar dan Pengembangannya. PT Radja Grafindo. Jakarta.

Nopirin. 1994. Pengantar Ilmu Ekonomi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Nurfarma. 2005. Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Pola Konsumsi dan Permintaan

Pangan Rumah Tangga di Provinsi Sumatera Barat. Tesis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Prasetijo, R. J dan J. O. I. Ihalaw. 2005. Perilaku Konsumen. Andi. Yogyakarta. Qodhar, M. N. 2013. Studi Preferensi Konsumen Terhadap Pasta Mangga Podang

(Mangifera Indica L.) Dengan Metode Conjoint (Studi Kasus Pada Hotel-Hotel di Kota Batu). Jurnal Teknologi Hasil Pertanian. Fakultas Teknologi

Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.

Rachmawati, R. 2010. Pengaruh Penambahan Tepung Jagung pada Pembuatan Tiwul Instan terhadap Daya Kembang dan Sifat Organoleptik.

http://digilib.unimus.ac.id. Diakses tanggal 27 Januari 2013 pukul 19.00 WIB. Resmawati, T. 2013. Analisis Preferensi Konsumen Terhadap Produk Susu Berbasis

Analisis Konjoin Menggunakan Metode Presentasi PAIRWISE-COMPARISON. Jurnal Gaussian, Volume 2, Nomor 4 tahun 2013. Universitas Negeri Semarang. Semarang.

Rochaeni, S. 2013. Analisis Persepsi, Kesadaran, dan Preferensi Konsumen Terhadap Buah Lokal. JurnalAgribisnis, Volume. 7, Nomor 1, Juni 2013. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Syarif Hidayatullah. Jakarta. Rozi, F. 2006. Hambatan Diversifikasi Pangan Masyarakat Jawa Timur.

http://www.balitbangjatim.com. Diakses pada tanggal 27 November 2013 pukul 16.30 WIB.

Sanjur, D. 1987. Socialand Perspectives in Nutrition. Prenctice-Hall Inc. Enlewood Cliffs. New York.


(5)

Santosa, S dan A. C. Rianti. 2004. Kesehatan dan Gizi. Rineka Cipta. Jakarta. Schiffman dan Kanuk. 2004. Perilaku Konsumen (edisi 7). Prentice Hall. Jakarta. Sedioetama, A. D. 1996. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid I. Dian

Rakyat. Jakarta.

Setiadi, J. N. 2003. Perilaku Konsumen : Konsep dan Implikasi untuk Strategi dan

Penelitian Pemasaran. Prenada Media. Bandung.

Simamora, B. 2003. Membongkar Kotak Hitam Konsumen. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

. 2004. Panduan Riset Perilaku Konsumen. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Singarimbun, M. 1995. Metode Penelitian Survei. LP3S. Jakarta. Sugiarto, Herlambang, T. Brastoro, dan K. Said. 2005. Ekonomi Mikro.

PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Sugiyono. 2011. Statistika untuk Penelitian. Alfabeta. Bandung.

Suhardi, S. Sabarnuddin, S. A. Sudjoko, Minarningsih, Dwjidjono, dan A. Widodo. 2002. Hutan dan Kebun Sebagai Sumber Pangan Nasional. Kanisius. Yogyakarta.

Suhardjo. 1989. Perencanaan Pangan dan Gizi. Bumi Aksara. Jakarta.

Suhartanti, T dan M. Fathorrozzi. 2003. Teori Ekonomi Mikro. Salemba Empat. Jakarta.

Sumardi. 2013. Pola Konsumsi Pangan Berbahan Ubi Kayu di Jawa Tengah. Seri

Kajian Ilmiah Volume 15, Nomor 1, Januari 2013. FTP Unika Soegijapranata.

Semarang.

Sumarwan, U. 2002. Manajemen Pemasaran Modern. Liberty. Yogyakarta. Sumodiningrat, G. 2001. Menuju Swasembada Pangan : Revolusi Hijau II


(6)

Suparman. 1990. Statistik Sosial. Rajawali Pers. Jakarta.

Suparmoko. 1998. Pengantar Ekonomi Mikro. BPFE UGM. Yogyakarta. Suyastiri. 2008. Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok Berbasis Potensi Lokal

Dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Kecamatan Semin Kabupaten Gunung Kidul. Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 13, No.1, April 2008. Fakultas Pertanian. UPN Veteran. Yogyakarta.

Suyatno. 2010. DKBM Indonesia. http://suyatno.blog.undip.ac.id/files/2010/04 /DKBM-Indonesia.pdf. Diakses 28 Desember 2013 pukul 20.45 WIB. Swastha, B dan Irawan. 2002. Manajemen Pemasaran Moderen. Liberty. Jakarta Syahril, M. 2003. Pola Makan Keluarga Pada Suku Batak Toba dan Suku Jawa di

Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara.

Wartaka, M. 2004. Analisa Preferensi Konsumen Produk Lipstik Dan Kaitannya Dengan Segmentasi Produk. Thesis S2. Universitas Budi Luhur. Jakarta. Winarna, W. W. 2007. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan Eveiws. UPP

STIM YKPN. Yogyakarta.

Wijaya, F. 1991. Ekonomi Mikro. BPFE-UGM. Yogyakarta.

Yusty, G. T. 2013. Analsis Pola Konsumsi Ubi Kayu dan Olahannya Oleh Rumah Tangga di Kota Bandar Lampung. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung.